Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 12, Desember 2022

 

ISU-ISU KRITIS NEXUS GENDER DAN KEMISKINAN ENERGI DALAM PROGRAM LISTRIK PERDESAAN

 

Raymond Bona Tua, Mia Siscawati, Shelly Adelina��

Program Studi Kajian Gender, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas

Indonesia, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Permasalahan kemiskinan energi yang multidimensi dan kompleks menimbulkan dampak negatif pada kelompok marginal terutama perempuan rural perdesaan.� Salah satu intervensi dalam upaya mengentaskan kemiskinan energi adalah pengembangan listrik perdesaan. Representasi yang keliru tentang perempuan menyebabkan intervensi dalam kemiskinan energi bukan memberikan dampak positif ke perempuan melainkan menambahkan beban dan opresi bagi perempuan. Naskah ini menelusuri permasalahan seputar nexus gender dan kemiskinan energi dalam listrik perdesaandengan cara membedah sejumlah penelitian terdahulu melalui tinjauan pustaka kritis atas nexus gender dan kemiskinan energi. Salah satu tujuan naskah ini adalah memberi masukan kepada pengambil kebijakan yang terlibat dalam pengembangan listrik perdesaan. Temuan utama� adalah pemiskinan energi terjadi akibat konstruksi sosial berideologi patriarki. Dominasi laki-laki, penggunaan asumsi bahwa perempuan adalah entitas homogen, dan relasi kuasa yang timpang, mempengaruhi keputusan-keputusan dalam proses upaya mengentaskan kemiskinan energi.

 

Kata kunci: gender, kemiskinan energi, listrik perdesaan.

 

Abstract

The multidimensional and complex problem of energy poverty has a negative impact on marginalized groups, especially rural rural women.� One of the interventions in efforts to alleviate energy poverty is the development of rural electricity. Misrepresentation of women causes interventions in energy poverty not to have a positive impact on women but to add weight and oppression to women. This paper traces the problems surrounding gender nexus and energy poverty in rural electricity by dissecting a number of previous studies through a critical literature review of gender nexus and energy poverty. One purpose of this paper is to provide input to policymakers involved in the development of rural electricity. The main finding is that energy impoverishment occurs as a result of patriarchal social constructions. Male dominance, the use of the assumption that women are homogeneous entities, and unequal power relations, influence decisions in the process of alleviating energy poverty.

 

Keywords: gender, energy poverty, rural electricity.

Pendahuluan

Kemiskinan energi adalah situasi di mana didefinisikan sebagai sebuah keadaan tidak adanya pilihan yang baik dalam mengakses energi dengan karakteristik terjangkau, infrastruktur berkualitas optimal, andal, aman, dan ramah lingkungan untuk mendukung pembangunan ekonomi dan manusia (Mohon cantumkan sumber rujukan di sini). Permasalahan energi mempunyai sifat inheren yang kompleks sehingga untuk menganalisis kemiskinan energi dibutuhkan pemahaman yang menyeluruh dari saling ketergantungan dan hubungan beberapa faktor seperti politik, sosial, ekonomi, budaya, demografi, geografis, dan teknologi. Pendekatan pemahaman energi bisa dilakukan dalam konstelasi multi dimensi agar lebih mudah memetakan permasalahan dan melihat kelindan-kelindan permasalahan satu sama lainnya. Salah satu pokok bahasan penting dalam energi adalah kehadirannya sebagai pendukung pembangunan suatu negara. Tujuan utama energi dalam pembangunan adalah menjamin ketersediaan energi untuk kegiatan pembangunan. Energi diperlukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan energi dalam pembangunan ini pada umumnya bermuara dari kebijakan energi nasional sebagai landasan umum pelaksanaan pembangunan energi. Pelaksanaan pembangunan energi meliputi perencanaan dan penetapan strategi pembangunan energi sampai pelaksanaan pembangunan infrastruktur energi.

Meninjau kompleksitas pembangunan energi dapat menggunakan kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs). Tujuan bidang energi sendiri ada pada tujuan nomor 7 yaitu menjamin tersedianya akses energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern untuk semua. Beberapa permasalahan untuk mencapai TPB nomor 7 ini dapat diidentifikasi, mulai dari kurang atau tidak adanya akses jaringan listrik (grid) pada tingkat desa hingga kecamatan, teknologi yang tidak terjangkau, tarif listrik tinggi, dan pencemaran lingkungan dari sumber energi fosil konvensional. Hal-hal tersebut menyebabkan masalah energi kronis dan menghambat pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. United Nations Development Programme World (UNDP) dalam �Energy Assessment Energy and The Challenge of Sustainability� (2000) menguraikan bahwa akses ke energi yang bersih, terjangkau dan dapat diandalkan diidentifikasi sebagai prasyarat untuk mengentaskan kemiskinan. Permasalahan ini dikonsepkan sebagai kemiskinan energi (sumber rujukan).

Menggunakan kerangka TPB, kita dapat menemukan berbagai macam irisan tujuan pembangunan lainnya dengan tujuan pembangunan energi. Sebagai ilustrasi, berbagai tujuan yang beririsan dengan energi adalah pengentasan kemiskinan (No.1), perubahan iklim (No.13), konservasi alam dan lingkungan (No. 14 dan 15), pembangunan inklusif (No.8), dan kesetaraan gender (No.5). Tentunya tujuan-tujuan lain juga bisa dihubungkan dengan energi. Dari beberapa kelindan permasalahan tersebut dapat kita kelompokan dalam dua nuansa yaitu pembangunan berfokus pada material atau fisik seperti energi, perubahan iklim, konservasi alam, dan pembangunan berfokus pada non-materi seperti pembangunan inklusif dan kesetaraan gender. Sementara tujuan pengentasan kemiskinan mempunyai kedua nuansa ini.

Penelitian ini memfokuskan pada kelindan antara pembangunan energi dan kesetaraan gender dengan esensi utama untuk pengentasan kemiskinan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sasaran pengentasan kemiskinan mengarah pada masyarakat rural perdesaan karena mereka merupakan kelompok masyarakat marginal yang paling rentan terkena dampak buruk pembangunan. Pendekatan pembangunan kemiskinan energi yang cenderung netral dan bahkan buta gender, mengasumsikan tidak ada perbedaan dampak dari pembangunan energi antara perempuan dan laki-laki, telah meminggirkan permasalahan dan perspektif perempuan dalam energi. Salah satu solusi yang umum dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan energi adalah pembangunan listrik perdesaan yang dilakukan baik oleh pemerintah dan lembaga non-pemerintah (donor dan komunitas masyarakat).

Pemilihan solusi ini karena masyarakat rural adalah yang paling merasakan dampak kemiskinan energi. Dampak lebih buruk juga dirasakan oleh kelompok perempuan marginal di daerah rural, berpendapatan rendah, dan berstatus sosial bawah. Perempuan pada kelompok ini yang dalam kehidupan mereka sudah mengalami lapisan-lapisan penindasan dari struktur sosial dan budaya, juga sangat rentan terhadap peminggiran akses pembangunan infrastruktur termasuk listrik perdesaan. Perempuan harus menjalankan tiga peran sekaligus yang sangat penting. Mereka melangsungkan peran reproduktif, produktif, dan sosial kemasyarakatan yang erat dengan kebutuhan energi.

Konsep listrik perdesaan dalam penelitian ini digunakan untuk menunjukkan segala kegiatan pembangunan infrastruktur kelistrikan di daerah rural. Definisi konsep listrik perdesaan kami gunakan sebagai saduran definisi dari Rural Electrification. Listrik perdesaan tidak secara spesifik hanya merujuk pada program pemerintah, karena pada praktiknya pembangunan listrik perdesaan dilakukan tidak saja oleh pemerintah, tetapi juga swasta dan komunitas masyarakat secara mandiri atau atas bantuan filantropi dan atau donor.

Pembahasan gender dan kemiskinan energi yang belum sepenuhnya terungkap, membuat para pihak kunci pelaksana pembangunan listrik perdesaan terkesan abai terhadap permasalahan yang muncul akibat relasi gender yang timpang, termasuk relasi yang ada di tengah kelompok minoritas lainnya. Pada akhirnya pembangunan listrik perdesaan justru meminggirkan perempuan dan kelompok minoritas lainnya, baik dalam proses maupun hasilnya. Keadaan ini terjadi karena kekosongan informasi dan kerangka perumusan masalah dalam nexus gender dan kemiskinan energi, sehingga menyebabkan pengambil keputusan tidak memiliki panduan untuk memetakan permasalahan. Penelitian ini mencoba menelusuri kajian-kajian tentang bagaimana isu-isu kritis nexus gender dan kemiskinan energi dirumuskan untuk digunakan sebagai kerangka pemetaan masalah dalam listrik perdesaan. Apa saja isu-isu kritis dalam nexus gender dan energi, termasuk bagaimana pembelajaran yang bisa disintesiskan dari pembahasan isu-isu kritis ini, serta bagaimana masukan dan kekosongan pembahasan isu-isu kritis tersebut. Selama ini kekosongan arahan dan fokus pada aspek gender dalam pengembangan listrik perdesaan membuat hasil akses listrik tidak memberikan manfaat yang proporsional buat perempuan. Hasil dari tulisan ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk para pengambil keputusan/kebijakan dan para perencana program/proyek guna pengembangan listrik perdesaan yang adil gender dan inklusif.

 

Metode Penelitian

����������������������� Kajian ini menggunakan kumpulan penjelasan literatur review kritis seputar nexus gender dan kemiskinan energi. Proses analisis dilalui melalui beberapa tahap. Pertama melakukan pencarian penelitian melalui mesin pencari dari remote database perpustakaan Universitas Indonesia (remote-lib.ui.ac.id). Kata kunci yang dimasukkan adalah energy poverty, gender, rural women dan berfokus pada penelitian sepuluh tahun terakhir. Hasil awal pencarian menunjukkan ada sekitar 1300 penelitian jurnal dengan kata kunci ini, namun setelah diteliti lebih lanjut, kata-kata kunci ini bersifat acak dan tidak menghasilkan penelitian yang relevan dengan nexus gender dan kemiskinan energi. Langkah berikutnya, menambahkan dua saringan lagi, pertama secara geografis dari negara-negara dunia ketiga dan negara berkembang, lalu mengarah ke pembahasan yang lebih feministik, karena sangat banyak penelitian yang membahas aspek perempuan secara umum. Dari penerapan dua saringan ini, terjaring sekitar 100 penelitian jurnal.

Upaya mempertajam bahasan dilakukan dengan teknik pembacaan singkat (skimming) dari sekitar 100 jurnal untuk mendapatkan irisan isu gender dan kemiskinan energi, hingga kemudian didapat 21 penelitian jurnal. Dari jumlah penelitian tersebut, diidentifikasi isu-isu kritikal dengan melakukan pengelompokan isu-isu atau pemetaan topik-topik utama pembahasan. Pengelompokan ini dilakukan untuk mencari kesamaan tema dan topik, serta mencari keunikan pembahasan dari masing-masing topik

 

Hasil dan Pembahasan

Pembahasan seputar kemiskinan energi dari perspektif gender memang belum terlalu banyak. Kaja Primc (2021) mengakui hal ini dalam penelitian jurnalnya yang merupakan hasil penelitian terhadap sekitar 620 penelitian yang berhubungan dengan kemiskinan energi dari rentang waktu 2004 sampai 2019. Isu kemiskinan energi memang mencuat setelah 2015 sejak diperkenalkannya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Jumlah penelitian membahas kemiskinan energi meningkat pesat dari hanya 11 penelitian di 2004 menjadi 135 penelitian di 2019.

Pembahasan kemiskinan energi paling banyak pada topik-topik seputar kebijakan energi dan teknologi, sementara pembahasan yang memfokus pada aspek-aspek sosial dan subyek manusia pada kemiskinan energi masih sangat sedikit. Bahasan utama pada aspek sosial lebih pada transisi energi, yaitu perubahan dari energi konvensional seperti kayu bakar ke energi modern seperti gas dan energi terbarukan. Begitu pula pembahasan kemiskinan energi dalam gender, kesehatan dan demografi masih sangat minim. Penekanan pada kebijakan dan teknologi karena isu-isu sosial dan gender memang belum muncul ke permukaan karena fokus pembahasan didominasi perspektif negara maju.

Dari pemetaan 21 penelitian hanya didapat 4 isu utama dalam nexus gender dan kemiskinan energi, yaitu kesejahteraan dan pemberdayaan perempuan dari akses listrik; dampak kemiskinan energi pada kesehatan perempuan; dinamika gender dan relasi kuasa dalam energi; serta kebijakan energi dan gender. Dari 21 penelitian ini tidak ada yang secara spesifik membahas satu dari ke empat topik di atas. Minimal dua atau tiga topik bisa diidentifikasi ada dalam setiap penelitian. Dengan demikian, berdasarkan penelusuran sejumlah penelitian terdahulu pada pengelompokan penelitian ke dalam masing-masing topik berdasar kedalaman dan fokus dari topik pembahasan, terdapat topik-topik spesifik di bawah ini.

Kebijakan Energi dan Gender

Temuan paling mendasar dalam penelitian kebijakan energi adalah dekonstruksi mitos-mitos gender dalam wacana kemiskinan energi dan gender (Romy Listo 2018). Mitos pertama berasumsi bahwa perempuan dalam peminggiran kemiskinan energi dianggap homogen hanya sebagai sosok yang rentan, tidak berdaya, berbudi pekerti luhur karena pekerja keras, dan tertindas, tanpa mencoba melihat mereka sebagai agen perubahan dalam hidupnya, keluarga dan komunitas. Mitos kedua berasumsi bahwa akses energi modern diposisikan sebagai agen perubahan yang memperbaiki kualitas hidup dan kesetaraan gender bagi perempuan. Mitos kedua ini terbangun dari bukti-bukti empirik yang mendukung dampak positif dari akses energi modern terhadap kesehatan perempuan dan peningkatan pendidikan. Mitos ketiga berasumsi ketidaksetaraan gender sebagai akibat dari kemiskinan energi, sehingga dapat diatasi dengan intervensi energi. Mitos terakhir adalah energi meningkatkan pemberdayaan perempuan, ketika pemberdayaan perempuan hanya diartikan secara sempit sebagai peningkatan pendapatan, produktivitas, dan aktivitas komersial. Mitos-mitos ini memberikan representasi yang salah atas kompleksitas permasalahan perempuan dalam kemiskinan energi sehingga banyak pendekatan dan intervensi energi seolah-olah dapat diselesaikan secara logika umum teknis dan meniadakan pendekatan subyek perempuan. Akibat banyak perumusan kebijakan dan peraturan tidak tepat sasaran dalam memerhatikan permasalahan perempuan dan kemiskinan energi.

Perumusan kebijakan energi tidak menempatkan keterwakilan dan suara yang setara dari perempuan dan kelompok minoritas lainnya dalam pengambilan keputusan (Carelle Mang-Benza, 2021). Ketertinggalan perumusan energi ini membuat agensi perempuan dalam kebijakan energi sangat kecil terlepas sudah diberikannya afirmasi politik dalam sistem, terutama ditemukan pada negara-negara dunia ketiga dan negara berkembang. (Carelle Mang-Benza, 2021). Kegagalan dalam kebijakan energi masa lalu, sebagian disebabkan oleh konsultasi yang buruk dari pengguna, terutama perempuan, dalam konteks negara berkembang (Suveshnee Munien dan Fathima Ahmed 2012). Pentingnya melibatkan perempuan dalam perumusan kebijakan karena pengalaman-pengalaman perempuan dalam transisi energi sangat berbeda, partikular dan subjektif (Jenny Lieu, 2020). Proses transisi energi di beberapa negara menghadirkan tingkat kesadaran kritis gender yang sangat berbeda. Proses mengabaikan perspektif sosial dan gender yang berbeda dalam pengambilan keputusan pada akhirnya memprioritaskan pengetahuan dari para ahli teknis laki-laki.

Perubahan atau deregulasi kebijakan yang buruk menimbulkan penindasan tambahan terhadap perempuan (Suveshnee Munien dan Fathima Ahmed, 2012). Ada tambahan biaya yang harus dikeluarkan perempuan baik secara moneter maupun beban kerja, sehingga menambah tekanan perempuan dalam rumah tangga menjadi tiga kali lipat, di atas peran ganda perempuan. Keadaan ini dikarenakan upaya ekonomi berasas liberal menggabungkan pendekatan seolah-olah 'ramah gender' sebagai pilihan mengentaskan kemiskinan, sambil mempertahankan komitmen pada struktural neoliberal, pada akhirnya membatasi hasil intervensi kebijakan.

Analisis kebijakan pada kemiskinan energi dan gender jarang yang menyasar perempuan dan energi strategi secara holistik namun lebih fokus pada aspek gender dalam praktik energi rumah tangga (Suveshnee Munien dan Fathima Ahmed, 2012). Sebagian besar studi kebijakan gender dan energi berfokus tentang seks dan energi (Judith Fathallah, 2020). Titik fokus pada seks dan keluarga tradisional, dan tidak ada data penelitian empirik tentang pengaruh gender terhadap konsumsi energi dan perilaku hemat energi. Bukti empirik hasil dari analisis kebijakan kurang tepat menunjukkan bahwa kehadiran pilihan teknologi energi tertentu, misalnya penggunaan listrik dan baterai, mengakibatkan diskriminasi yang lebih besar terhadap perempuan.

Analisis dari semua penelitian gender dan energi menunjukkan pembahasan sempit pada sektor energi, tanpa melihat keterkaitannya dengan sektor-sektor pembangunan lainnya. Berkaca pada pendekatan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan kita bisa melihat bagaimana kompleksitas masalah pembangunan terutama dari sisi keterkaitan sesama, baik secara horizontal antarsektor, demikian pula vertikal antartema. Energi sebagai salah satu sektor utama dalam pembangunan mempunyai keterkaitan yang luas dengan aspek pembangunan lainnya, sehingga menjadi sangat sulit melakukan pembahasan dengan terlalu banyak variabel, namun, beberapa sektor dan topik mempunyai tingkat keterkaitan yang tinggi. Sebagai ilustrasi, sektor pendidikan dan kesehatan perempuan sangat mempengaruhi keberdayaan perempuan di sektor energi, dan sebaliknya energi pun dapat menopang pendidikan dan kesehatan. Topik perubahan iklim dan konservasi alam juga mempunyai keterkaitan tinggi, karena kemiskinan energi banyak terjadi pada daerah-daerah yang rentan kondisi lingkungan hidupnya, sehingga penggunaan energi terbarukan dan adaptasi masyarakat terhadap lingkungan menjadi faktor kunci keberlanjutan.

Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan dari Akses Listrik

Berbagai penelitian mendapatkan bukti-bukti empirik bahwa akses listrik memberikan dampak positif terhadap perempuan (Hyee Wang, 2021; Jakub Polansky, 2021; Ana Puey, 2019; Elena Kim 2019). Dampak paling menonjol adalah peningkatan kualitas kesehatan, pendidikan, komunikasi dan informasi. Kualitas kesehatan didapat dari ketersediaan air bersih, kebersihan rumah tangga secara keseluruhan dan penanganan perawatan terhadap penyakit-penyakit menular. Manfaat pendidikan dan informasi didapat dari ketersediaan fasilitas pendidikan dan akses internet. Dampak besar juga didapat dalam memperbaiki kualitas kerja reproduksi perempuan dalam rumah tangga dengan menggunakan peralatan-peralatan rumah tangga berbasis listrik. Perempuan mempunyai lebih banyak waktu untuk pekerjaan yang lain. Namun dampak positif reproduksi ini tidak mengurangi beban kerja perempuan dalam rumah tangga karena konstruksi gender dan relasi kuasa pada akhirnya tetap berperan menentukan beban kerja perempuan. Dalam artian, laki-laki pada akhirnya yang lebih menikmati manfaat dari perubahan beban kerja reproduksi dalam rumah tangga.

Akses listrik memberikan kesempatan bekerja perempuan di luar rumah, khususnya untuk masyarakat bukan berbasis pertanian (Hyee Wang, 2021; Ana Puey, 2019). Dengan keberadaan listrik membuka industri dan lahan-lahan usaha baru yang cenderung menyerap tenaga kerja perempuan, terutama di negara-negara maju, hal ini tidak terbukti di negara berkembang seperti Tiongkok, karena faktanya ketika perempuan bekerja di luar rumah justru menambah beban mereka, akibat dari meningkatnya peran produksi perempuan di luar rumah namun tidak mengurangi peran reproduksinya di dalam rumah tangga, sehingga mempertajam dilema peran ganda perempuan dan menjerumuskannya ke dalam situasi multi beban.

Beberapa bukti empirik mengindikasikan adanya peningkatan kepercayaan diri dan status sosial perempuan yang sudah mendapatkan akses listrik (Hyee Wang, 2021). Khusus pada masyarakat rural, akses listrik dipandang sebagai salah satu atribut status sosial. Dari penelitian kebanyakan rumah tangga yang mendapatkan akses listrik pun memang keluarga yang sudah bisa memenuhi kebutuhan dasar pangan dan papan dan atau berpendapatan di atas rerata penduduk sekitar, sehingga peningkatan kepercayaan diri dan status sosial tampaknya masih belum menyentuh lapisan masyarakat yang lebih rentan.

Dalam hal pemberdayaan perempuan, hipotesis yang dipakai selalu bersumbu pada meningkatkan taraf pendapatan perempuan (Elena Kim, 2019; Ryan Stock, 2020; Kola O Odeku, 2019). Akses listrik diharapkan meningkatkan produktivitas perempuan baik dengan wirausaha atau menjadi pekerja di luar rumah. Hampir semua penelitian menyimpulkan bahwa tidak ditemukan bukti nyata akses listrik meningkatkan pendapatan perempuan. Kasus-kasus dari pelaksanaan proyek pembangunan akses listrik menunjukkan bahwa rantai nilai pemasok semua barang dan jasa pekerja didominasi oleh laki-laki. Kesempatan perempuan untuk berwirausaha pun masih sangat bergantung pada aspek sumber daya lainnya seperti modal dan tanah, yang masih juga didominasi laki-laki.

Akses listrik terbukti sangat berbasis gender, di mana dominasi laki-laki, konstruksi sosial, dan relasi kuasa menentukan keputusan dalam mendapatkan akses listrik (Jakub Polansky, 2021; Ana Puey, 2019; Elena Kim, 2019; Ryan Stock, 2020; Tanja Winther, 2018). Laki-laki cenderung memiliki rumah, memiliki pendapatan lebih tinggi, dan hak moral (dalam pandangan masyarakat) untuk membuat keputusan besar, sehingga koneksi listrik tidak memberikan agensi terhadap perempuan (Kola O. Odeku, 2019). Ditambah lagi mekanisme akses listrik yang berskema berlangganan dengan tarif tertentu yang harus dikeluarkan berdasarkan pemakaian listrik. Perempuan selain dipinggirkan juga selalu tidak dilibatkan menentukan keputusan penting dalam penyambungan akses listrik. Perencanaan suatu sistem kelistrikan memerlukan analisis berapa penggunaan listrik dari sisi rumah tangga. Laki-laki cenderung memikirkan kebutuhan penerangan dan hiburan seperti televisi. Ada kebutuhan rumah tangga penting lain seperti peralatan penyimpanan dan penyiapan makanan, perawatan kesehatan khususnya untuk anak-anak yang cenderung tidak diperhitungkan. Pengabaian kebutuhan perempuan ini menyebabkan perencanaan sistem kelistrikan tidak cocok dengan kebutuhan sehari-hari.

Persoalan bias gender yang juga muncul adalah keterjangkauan biaya listrik menimbulkan permasalahan bagi perempuan (Kola O. Odeku, 2019; Jakub Polansky, 2021). Bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa tataran ekonomi neo-liberal berasaskan pasar yang menjauh dari ekonomi kerakyatan, menentukan tarif listrik berdasarkan harga pasar membuat listrik tidak terjangkau, pada akhirnya menindas perempuan secara ekonomi, karena perempuanlah yang harus mengatur pengeluaran rumah tangga. Pada akhirnya, keadilan sosial menjadi sangat terasa tidak berpihak pada perempuan apabila dilihat dari biaya listrik, ditambah ada biaya pemasangan dan perawatan fasilitas kelistrikan yang berbasis komunitas. Analisis biaya versus manfaat harus dipertajam dengan melihat aktivitas dan beban ekonomi mikro atau piko rumah tangga, sehingga perspektif perempuan dapat terwakilkan. Alih-alih meningkatkan pendapatan perempuan, kehadiran listrik justru memberikan tekanan ekonomi baru buat perempuan.

Kesimpulan dari penelitian ini Rini, A. S., & Sugiharti L (2016) adalah pemberdayaan dan kesejahteraan perempuan tidak terbukti mengalami perbaikan dengan adanya akses listrik. Kesimpulan penelitian ini berdasar dari data-data empirik menggunakan metode kuantitatif. Penggalian pengalaman perempuan sebagai subyek pembangunan belum tereksplorasi dengan baik. Kritik-kritik yang diidentifikasi dalam isu kebijakan energi dan gender juga ditemukan dan relevan dengan pemberdayaan dan kesejahteraan dari akses listrik. Mitos-mitos gender dan energi terlihat bekerja dalam pendasaran program atau proyek dipakai sebagai asumsi utama. Kesejahteraan dan pemberdayaan hanya berfokus pada tingkat ekonomi tanpa menggali pengalaman perempuan di luar aspek ekonomi.

Pada umumnya, penelitian kesejahteraan dan pemberdayaan dari akses listrik masih sangat berfokus pada peran domestik atau peran reproduksi perempuan. Hal tersebut dapat dipahami mengingat pandangan umum energi yang netral gender, pada akhirnya hanya menempatkan perempuan pada peran tradisional domestik. Sebagian besar penelitian dalam kajian pustaka ini menyasar masyarakat rural berbasis pertanian, yang sebenarnya dapat mengeksplorasi pengalaman perempuan dalam irisan peran produksi pertanian seperti akses ke sumber daya tanah, air, dan modal. Di tengah dinamika perkembangan teknologi saat ini, terlihat bahwa pengalaman perempuan terkait informasi dan pengetahuan juga belum tersentuh secara maksimal. Beberapa pengalaman ini sangat erat hubungannya dengan keberadaan akses listrik. Sebagai ilustrasi akses perempuan terhadap informasi dan pendidikan dapat meningkatkan kesadaran kritis perempuan, sehingga pemaknaan pemberdayaan dan kesejahteraan yang berbeda-beda di setiap daerah bisa dengan baik disejajarkan dengan kebutuhan setempat. Informasi dan pendidikan bukan hanya dari lingkungan formal sekolah tetapi bisa melalui media massa televisi dan media dalam jaringan internet. Keberadaan internet dan televisi sangat dipengaruhi oleh keberadaan listrik.

Dari kedua kritik di atas [MS1] terlihat bahwa literatur penelitian terdahulu sama sekali tidak memberi perhatian terhadap adanya interseksionalitas perempuan. Perempuan belum dilihat sebagai kelompok sosial yang heterogen, yang terbentuk dari keragaman identitas sosial. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian terdahulu juga belum mampu mengeksplorasi multi-dimensi energi yang seharusnya dapat dijadikan contoh dalam analisis interseksionalitas. Perempuan dianggap homogen dan tidak mempunyai agensi seperti temuan dalam kebijakan energi, semakin jelas ditemukan juga dalam analisis kesejahteraan dan pemberdayaan perempuan. Situasi perempuan yang sesungguhnya lebih berdaya dan mempunyai kekuatan dalam keluarga serta komunitasnya, justru diabaikan dan tidak tersentuh. Hal ini terjadi karena beberapa penelitian tidak mendasarkan pada teori dan pendekatan feminis, serta lemahnya pemahaman dan kurangnya sensitivitas gender para peneliti.

Selain itu, pengetahuan tentang penghidupan perempuan yang berbasis daerah setempat pun tidak dipertimbangkan. Dalam pembahasan rural perdesaan penting melihat ilmu pengetahuan dengan kearifan lokal, karena ilmu tidak secara eksplisit tersedia dan terlihat. Penggalian pengalaman mendalam perempuan dapat memunculkan pengetahuan-pengetahuan yang sarat makna. Hal ini erat hubungannya dengan kegiatan mata pencaharian perempuan dan komunitas setempat. Dengan demikian, analisis dapat mencari solusi kegunaan produktif listrik menunjang produksi masyarakat setempat. Perencanaan sistem dan mekanisme biaya juga bisa dirumuskan dengan tepat.

Dampak Kemiskinan Energi pada Kesehatan Perempuan

Kesehatan perempuan bisa dikategorikan sebagai salah satu faktor menentukan tingkat kesejahteraan perempuan. Adanya pembedaan kelompok bahasan ini dengan kesejahteraan dan pemberdayaan perempuan karena penekanan khusus para peneliti hanya pada kesehatan perempuan, sementara peneliti kesejahteraan dan pemberdayaan perempuan melihat kesehatan perempuan sebagai salah satu aspek. Pembahasan penelitian juga difokuskan pada akses listrik. Dalam penelusuran penelitian terdahulu, banyak pembahasan kesehatan perempuan dari sudut pandang transisi kayu bakar ke energi modern seperti LPG dan Biogas. Pembahasan melihat dampak buruk dari ppenelitian berbahaya dihasilkan dari kayu bakar dan beban kerja perempuan lebih besar dalam pengumpulan kayu bakar. Pembahasan ppenelitian berbahaya lebih berdampak buruk pada perempuan juga penulis temukan dalam beberapa bahasan Pembangkit Listrik Batubara.

Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara yang signifikan secara statistik antara kemiskinan energi terhadap kesehatan perempuan (Khizar Abbas, 2021; Soyhea Oum, 2019). Pembuktian empirik ini diperoleh dari pemodelan hubungan kausatif beberapa karakteristik kesehatan perempuan dengan kemiskinan energi. Terdapat dua kelompok karakteristik yang diteliti. Pertama karakteristik yang bersifat langsung atau dapat diamati secara fisik seperti: sumber air minum, pemurnian air minum, keberadaan kelambu untuk mencegah nyamuk atau gigitan serangga pembawa penyakit, fasilitas jamban, kondisi udara dan polusi dalam rumah, kondisi dapur. Kedua adalah karakteristik yang tidak langsung atau bersifat lebih abstrak seperti: pola makan dan obesitas, sterilisasi dan keguguran, pelaksanaan keluarga berencana, kesuburan, tingkat buta huruf dan literasi, tingkat pendidikan, status perkawinan, jaminan kesehatan. Penelitian[MS2]  dilakukan di negara-negara di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh, Nepal, Bangladesh, Afganistan dan Maldives) dan Asia Tenggara (Indonesia, Vietnam, Laos, Myanmar dan Filipina).

Penelitian (Khizar Abbas, 2021) juga mengindikasikan ketimpangan kondisi kemiskinan energi dari beberapa negara Asia Selatan dan Asia Tenggara) Peneliti mengembangkan pemodelan multidimensional energy poverty index (MEPI) dari data statistik kependudukan. Indeks yang dihasilkan mengindikasikan tingkat kemiskinan energi suatu negara. Rerata negara Asia Selatan memiliki indeks kemiskinan energi yang lebih buruk daripada negara Asia Tenggara. Indonesia dan Vietnam memiliki indeks paling baik dari semua negara yang diteliti.

Pemodelan MEPI menyimpulkan secara empirik bahwa status sosial ekonomi rumah tangga memainkan peran penting dalam menentukan kemiskinan energi multidimensi rumah tangga (Khizar Abbas, 2021). Faktor sosial ekonomi dan demografi termasuk ukuran keluarga, jenis kelamin, usia, pekerjaan, karakteristik perumahan, tempat tinggal, dan status kepemilikan properti tempat tinggal adalah penentu signifikan dari kemiskinan energi multidimensi di tingkat rumah tangga.

Penelitian Oktowaty, S., Setiawati, E. P., & Arisanti, N. (2018) fokus pada peran dampak kesehatan dari kehidupan keseharian dalam rumah tangga belum menyentuh akses listrik pada fasilitas kesehatan di perdesaan. Fasilitas kesehatan mempunyai peran penting dalam meningkatkan taraf kesehatan perempuan. Keandalan kualitas listrik sangat diperlukan untuk keperluan darurat dan tindakan-tindakan medis seperti untuk pelayanan persalinan. Akses listrik bisa berjenjang dari hanya berbasis komunitas kecil terdiri dari beberapa rumah tangga sampai pada tingkat wilayah beberapa desa. Kualitas akses listrik pada fasilitas kesehatan akan terlihat pada tingkat lebih tinggi dari komunitas. Analisis ini dapat mengidentifikasikan kebutuhan dan permasalahan kualitas listrik pada fasilitas kesehatan sehingga perencanaan sistem kelistrikan dapat lebih sempurna dan efektif.

Pengembangan asumsi dasar atas kategori kesehatan perempuan masih bersifat umum. Ada risiko asumsi ini kurang mempunyai ketajaman dari perspektif gender atau perempuan. Hampir sebagian besar kategori merupakan keadaan umum yang ada kemungkinan mempunyai kecenderungan netral gender. Dapat dipahami bahwa ada keterbatasan data, waktu dan sumber daya untuk melakukan sebuah survei yang ideal.

Semua penelitian menggunakan metode kuantitatif pemodelan data statistik menyebabkan pengalaman dan penghayatan perempuan tentang kesehatannya tidak tergali. Kesehatan perempuan yang bersifat sensitif dan personal akan lebih efektif digali menggunakan pendekatan kualitatif. Temuan atau bukti-bukti empirik tersebut dapat dijadikan panduan untuk memperdalam penelitian selanjutnya.

 

 

Dinamika Gender dan Relasi Kuasa dalam Energi

Dalam program pengembangan akses listrik perempuan kerap dipinggirkan atau tidak diakui baik secara struktural maupun budaya. Begitu pula implementasi pembangunan listrik dan transisi energi dari tradisional ke modern, perempuan mengalami peminggiran karena status sosial dan kelas (Nathanael Ojong, 2021), serta norma-norma budaya setempat (Oliver W. Johnson, 2019). Perempuan juga mengalami peminggiran struktural dalam proses prosedural dan distribusi energi (Md Moniruzzaman, 2020). Peminggiran ini membuat perempuan mengalami ketidaksetaraan dalam relasi gendernya dengan laki-laki ketika pengambilan keputusan berhubungan dengan energi, walaupun banyak aspek energi teridentifikasi terhubung erat dengan perempuan. Contohnya pemakaian energi dalam rumah tangga, manajemen pengeluaran rumah, juga jenis pemilihan teknologi. Pengambilan keputusan sangat dipengaruhi oleh relasi kuasa berasas patriarki yang sudah mengakar baik secara struktural dalam sistem formal maupun non-struktural. Pada akhirnya membuat perempuan mengalami ketidakadilan sosial dalam energi, manfaat akses listrik, sehingga energi pada umumnya lebih dirasakan oleh laki-laki.

Aspirasi dan pelibatan perempuan sangat rendah atau sama sekali tidak disertakan dalam pengambilan keputusan. Pendapat perempuan tidak disertakan baik dalam hal pengembangan keputusan pada tingkat mikro proyek (Nathanael Ojong, 2021; Olumide Adisa, 2020; Stephanie Buechler, 2020) maupun pada tataran pemrograman tingkat komunitas atau wilayah (Md Moniruzzaman, 2020; Khayaat Fakier, 2018). Perempuan memegang peran penting bukan hanya pada tataran rumah tangga, tetapi juga di tingkat komunitas (Stephanie Buechler, 2020), terbukti perspektif perempuan yang berwawasan jangka panjang dan holistik melahirkan banyak inovator dan agen perubahan dalam pengembangan energi terbarukan tingkat komunitas. Peran dan kebutuhan perempuan yang tidak diakui dan tidak tersalurkan, membuktikan bahwa rancangan program atau proyek tidak tepat sasaran. Perancangan sistem dan jaringan listrik sangat tergantung pada model kebutuhan energi di tiap rumah tangga, sehingga menentukan keputusan pemilihan teknologi dan biaya investasi. Pemodelan dasar tidak tepat karena kebutuhan energi tidak mengakomodasi persepsi perempuan, sehingga hasil pembangunan mempunyai dampak terbalik dengan kesejahteraan perempuan. Dampak negatif ini terutama dirasakan pada irisan kelompok perempuan yang cenderung terabaikan seperti perempuan lansia (Stephanie Buechler, 2020) dan perempuan dalam masyarakat adat (Nathanael Ojong 2021).

Beberapa penelitian menggunakan pendekatan teori feminis menjelaskan bagaimana pendasaran pengetahuan feminis tidak digunakan dalam perencanaan dan pelaksanaan program (Stephanie Buechler, 2020; Khayaat Fakier, 2018). Pendasaran kerangka program atau proyek yang tidak tepat ini menunjukkan ketidakmampuan para pelaksana proyek dalam menggali pengalaman dan pengetahuan perempuan yang berhubungan dengan kemampuan mereka menjaga ketahanan hidup. Keberdayaan dan kemampuan perempuan yang sebenarnya sudah terbukti dalam tataran komunitas dan keluarga pun tenggelam. Ditemukan dalam beberapa kasus secara tataran informal masyarakat bahwa kepemimpinan perempuan sebenarnya sudah diakui, namun hal ini tidak tercermin dalam pengambilan keputusan karena didominasi laki-laki.

Relasi kuasa juga bekerja pada akses perempuan terhadap teknologi atau pengetahuan perempuan atas teknologi. Listrik sebagai energi modern erat hubungannya dengan teknologi, baik dari aspek fasilitas pembangkitan dan penggunaanya. Penelitian yang ada belum membahas secara mendalam relasi kuasa aspek teknologi. Analisis relasi kuasa teknologi dapat membongkar bagaimana laki-laki yang secara konstruksi sosial patriarki dipandang paling mampu dalam teknologi mengkondisikan ketergantungan perempuan pada laki-laki yang pada akhirnya melahirkan bentuk-bentuk penindasan baru.

Implikasi Pada Pengembangan Listrik Perdesaan

Pembelajaran dari penelitian nexus gender dan kemiskinan energi memberikan beberapa masukan penting pada pengembangan listrik perdesaan. Masukan pertama adalah merubah paradigma dasar peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan perempuan yang selalu berfokus pada aspek materi. Kondisi materi seperti akses sumber daya, ketersediaan infrastruktur, dan kualitas fasilitas sosial memegang peranan penting dalam kesejahteraan perempuan, tetapi kesadaran kritis perempuan juga menentukan pencapaian situasi keberdayaan dan kesejahteraan perempuan. Pendalaman pemaknaan kesejahteraan dan pemberdayaan perempuan dapat digali dari berbagai aspek seperti interseksionalitas dan kelindan permasalahan multidimensi antarsektor atau antartema pembangunan lainnya. Pengalaman perempuan yang tidak homogen paling sering diabaikan dalam semua penelitian telah membuat pemberdayaan perempuan di bidang energi menjadi tidak efektif.

Masukan kedua adalah pelibatan perempuan dalam semua proses dari tataran formulasi kebijakan, pengembangan program sampai pelaksanaan proyek harus lebih digalakkan. Bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa peminggiran perempuan terjadi hampir pada semua proses pengambilan keputusan. Alih-alih mendapatkan manfaat positif perempuan malah mengalami tambahan opresi dan peminggiran dari pengembangan listrik perdesaan. Pengakuan dan pengangkatan posisi peran perempuan dalam permasalahan energi menjadi kritikal menentukan sukses tidaknya program. Terutama pada proses pembangunan fasilitas listrik perdesaan ditemukan banyak kasus perempuan sama sekali tidak dilibatkan baik dalam survei untuk mengerti kebutuhan energi dan pengambilan keputusan dalam pemasangan, hal ini membuat rancangan fasilitas kelistrikan menjadi tidak tepat dengan kebutuhan.

Pendalaman penggunaan listrik produktif untuk kegiatan produksi perempuan dan komunitas perlu diperhitungkan. Hampir semua penelitian nexus gender dan kemiskinan energi hanya menempatkan perempuan pada peran domestik rumah tangga, sehingga peran produksi perempuan tidak muncul. Pembangunan listrik pedesaan harus dirancang secara holistik bersama dengan perencanaan dimensi pembangunan lainnya seperti pendidikan, kesehatan dan peningkatan kegiatan ekonomi yang berbasis kedaerahan setempat. Peran produksi perempuan khususnya pada masyarakat rural pertanian banyak yang terabaikan karena dianggap bukan peran utama dalam keluarga dan komunitas.

Intervensi listrik perdesaan harus juga menyasar transformasi pada tataran kebijakan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa peminggiran perempuan dalam listrik perdesaan bukan saja terjadi dalam tataran budaya dan sosial, namun juga terjadi pada tataran struktural dalam prosedural formal. Keberpihakan kepada perempuan tidak hanya dari afirmasi politik tingkat tinggi, juga harus mengakui hak-hak perempuan dalam tata laksana formal prosedural. Pendasaran analisis kebijakan harus ditempatkan pada jalur teori dan pendekatan feminis.

 

Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan menganalisis isu-isu kritis dalam nexus gender dan kemiskinan energi serta mencari jawaban dari pertanyaan bagaimana pembelajaran isu-isu kritis ini dapat digunakan dalam pengembangan listrik perdesaan. Penulis menemukan empat isu kritis dalam nexus gender dan kemiskinan energi yaitu: kebijakan energi dan gender, kesejahteraan dan pemberdayaan perempuan dari akses listrik, dampak kemiskinan energi pada kesehatan perempuan, dan dinamika gender dan relasi kuasa dalam energi. Keempat topik ini tidak eksklusif berdiri sendiri, dalam pembahasan ada keterkaitan satu sama lainnya.

Pembelajaran utama didapat dari temuan-temuan penelitian terdahulu tadalah aktivitas seputar kemiskinan energi sangat berbasis gender, konstruksi sosial berasas patriarki, dominasi laki-laki, asumsi bahwa perempuan adalah kelompok sosial homogen, dan relasi kuasa yang timpang, memengaruhi proses pengentasan kemiskinan energi dan manfaatnya bagi perempuan dan kelompok minoritas lainnya. Keterlibatan dan suara perempuan kurang atau tidak pernah dilibatkan dalam proses-proses intervensi untuk mengentaskan kemiskinan energi. Dengan demikian, terlihat bahwa paradigma pembangunan dalam meningkatkan pemberdayaan perempuan didasarkan pada asumsi yang tidak tepat, hingga pada akhirnya dampak solusi kemiskinan energi bukan saja tidak dirasakan perempuan bahkan memberikan opresi dan beban tambahan ke perempuan. Penempatan perempuan yang hanya dalam peran domestik menyempitkan dampak yang bisa dihasilkan dari listrik pedesaan.

Celah besar dalam penelitian yang ditemukan dari kajian pustaka ini ada pada analisis pengalaman dan perspektif perempuan. Sebagian besar penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, tinjauan pustaka, dan sedikit penelitian yang mengeksplorasi pengalaman subyektif perempuan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian selanjutnya perlu menggunakan teori dan perspektif feminis dalam analisis permasalahan agar dapat lebih jauh menelusuri dan mengeksplorasi situasi perempuan, membongkar aspek interseksionalitas perempuan, sebelum perencanaan dan pelaksanaan program atau proyek diterapkan. Dengan demikian tidak akan terjadi representasi yang keliru terhadap peran dan kebutuhan perempuan di tengah situasi kemiskinan energi. Mengingat kemiskinan energi merupakan permasalahan multidimensi, maka pendalaman pengalaman dan penghayatan perempuan menjadi sangat penting untuk memahami keterkaitan masalah dengan dimensi-dimensi lainnya.

 


BIBLIOGRAFI

 

�Ana Pueyo, Mar Maestre (2019). Linking energy access, gender and poverty: A review of the literature on productive uses of energy, Energy Research & Social Science, Volume 53,

 

Carelle Mang-Benza,(2021) Many shades of pink in the energy transition: Seeing women in energy extraction, production, distribution, and consumption, Energy Research & Social Science, Volume 73

 

E. Kristi Poerwandari (2017). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. LPSP3 UI, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

 

Elena Kim & Karina Standal (2019) Empowered by electricity? The political economy of gender and energy in rural Naryn, Gender, Technology and Development, 23:1

 

Hyee Hwang & Semee Yoon (2021) Electrification, labor force participation, and perceived social status for women in rural China, Asian Journal of Women's Studies, 27:1, 87-108

 

Jakub Polansky, Murodbek Laldjebaev (2021). Gendered energy relations at the crossroads of Asia: Electrification, empowerment, and mixed outcomes in northeastern Afghanistan, Energy Research & Social Science, Volume 73.

 

Jenny Lieu, Alevgul H. Sorman, Oliver W. Johnson, Luis D. Virla, Bernadette P. Resurrecci�n, (2020) Three sides to every story: Gender perspectives in energy transition pathways in Canada, Kenya and Spain, Energy Research & Social Science, Volume 68,

 

Judith Fathallah, Parakram Pyakurel, (2020) Addressing gender in energy studies,Energy Research & Social Science, Volume 65,

 

Kaja Primc, Miha Dominko. (2021) Renata Slabe-Erker, 30 years of energy and fuel poverty research: A retrospective analysis and future trends. Journal of Cleaner Production. Volume 301.

 

Khayaat Fakier (2018) Women and Renewable Energy in a South African Community: Exploring Energy Poverty and Environmental Racism, Journal of International Women�s Studies Vol. 19, No. 5

 

Khizar Abbas, Deyi Xu, Shixiang Li, Khan Baz. (2021). Health implications of household multidimensional energy poverty for women: A structural equation modeling technique. Energy and Buildings. Volume 234,

 

Khizar Abbas, Xiaoqing Xie, Deyi Xu, Khalid Manzoor Butt. (2021) Assessing an empirical relationship between energy poverty and domestic health issues: A multidimensional approach. Energy, Volume 221.

 

Kola O. Odeku (2019). The Impact of Electricity Tariff Increase on Indigengent Women in South Africa. Gender & Behaviour, Volume 17 (4)

 

Md Moniruzzaman, Rosie Day (2020) Gendered energy poverty and energy justice in rural Bangladesh, Energy Policy, Volume 144,

 

Nathanael Ojong (2021) The rise of solar home systems in sub-Saharan Africa: Examining gender, class, and sustainability, Energy Research & Social Science, Volume 75

 

Oktowaty, S., Setiawati, E. P., & Arisanti, N. (2018). Hubungan fungsi keluarga dengan kualitas hidup pasien penyakit kronis degeneratif di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Jurnal Sistem Kesehatan, 4(1).

 

Oliver W. Johnson, Vanessa Gerber, Cassilde Muhoza, (2019) Gender, culture and energy transitions in rural Africa, Energy Research & Social Science, Volume 49,

 

Olumide Adisa (2020) Rural women�s participation in solar-powered irrigation in Niger: lessons from Dimitra Clubs, Gender & Development, 28:3)

 

Romy Listo, (2018) Gender myths in energy poverty literature: A Critical Discourse Analysis, Energy Research & Social Science, Volume 38,

 

Ryan Stock, 2021.Bright as night: Illuminating the antinomies of �gender positive� solar development, World Development, Volume 138.

 

Sothea Oum. (2019). Energy poverty in the Lao PDR and its impacts on education and health. Energy Policy. Volume 132.

 

 

Stephanie Buechler, Ver�nica V�zquez-Garc�a, Karina Guadalupe Mart�nez-Molina, Dulce Mar�a Sosa-Capistr�n, (2020) Patriarchy and (electric) power? A feminist political ecology of solar energy use in Mexico and the United States, Energy Research & Social Science, Volume 70,

 

Suveshnee Munien & Fathima Ahmed (2012), A gendered perspective on energy poverty and livelihoods � Advancing the Millennium Development Goals in developing countries. Empowering Women for Gender Equity, Vol. 26, No. 1 (91)

 

Tanja Winther, Kirsten Ulsrud, Anjali Saini, 2018 Solar powered electricity access: Implications for women�s empowerment in rural Kenya, Energy Research & Social Science, Volume 44,

 

United Nations Development Programme. (2000). World energy assessment energy and the challenge of sustainability (1st ed.). New York, NY, USA: UNDP.

 

������������������������������������������������

Copyright holder:

Raymond Bona Tua, Mia Siscawati, Shelly Adelina (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under:

 

 


 [MS1]Aku usul ditulis lagi scr singkat dua kritik yg dimaksud

 [MS2]Penelitian yg mana? Yg dilakukan Khizar Abbas (2021) atau Sooyhea Oum (2019)? Mhn diperjelas