Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 7, No. 12, Desember
2022
ISU-ISU KRITIS
NEXUS GENDER DAN KEMISKINAN ENERGI DALAM PROGRAM LISTRIK PERDESAAN
Raymond Bona Tua, Mia Siscawati, Shelly Adelina��
Program
Studi Kajian Gender, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas
Indonesia, Indonesia
Email: [email protected], [email protected],
[email protected]
Abstrak
Permasalahan kemiskinan energi yang multidimensi dan kompleks menimbulkan dampak negatif pada kelompok marginal terutama perempuan rural perdesaan.� Salah satu intervensi dalam upaya mengentaskan kemiskinan energi adalah pengembangan listrik perdesaan. Representasi yang keliru tentang perempuan menyebabkan intervensi dalam kemiskinan energi bukan memberikan dampak positif ke perempuan melainkan menambahkan beban dan opresi bagi perempuan. Naskah ini menelusuri permasalahan seputar nexus gender dan kemiskinan energi dalam listrik perdesaandengan cara membedah sejumlah penelitian terdahulu melalui tinjauan pustaka kritis atas nexus gender dan kemiskinan energi. Salah satu tujuan naskah ini adalah memberi masukan kepada pengambil kebijakan yang terlibat dalam pengembangan listrik perdesaan. Temuan utama� adalah pemiskinan energi terjadi akibat konstruksi sosial berideologi patriarki. Dominasi laki-laki, penggunaan asumsi bahwa perempuan adalah entitas homogen, dan relasi kuasa yang timpang, mempengaruhi keputusan-keputusan dalam proses upaya mengentaskan kemiskinan energi.
Kata kunci: gender, kemiskinan energi, listrik perdesaan.
Abstract
The multidimensional and complex problem of energy poverty
has a negative impact on marginalized groups, especially rural rural
women.� One of the interventions in
efforts to alleviate energy poverty is the development of rural electricity.
Misrepresentation of women causes interventions in energy poverty not to have a
positive impact on women but to add weight and oppression to women. This paper
traces the problems surrounding gender nexus and energy poverty in rural
electricity by dissecting a number of previous studies through a critical
literature review of gender nexus and energy poverty. One purpose of this paper
is to provide input to policymakers involved in the development of rural
electricity. The main finding is that energy impoverishment occurs as a result
of patriarchal social constructions. Male dominance, the use of the assumption
that women are homogeneous entities, and unequal power relations, influence
decisions in the process of alleviating energy poverty.
Keywords: gender, energy poverty, rural electricity.
Pendahuluan
Kemiskinan
energi adalah situasi di mana didefinisikan sebagai sebuah keadaan tidak adanya
pilihan yang baik dalam mengakses energi dengan karakteristik terjangkau,
infrastruktur berkualitas optimal, andal, aman, dan ramah lingkungan untuk
mendukung pembangunan ekonomi dan manusia (Mohon cantumkan sumber rujukan di
sini). Permasalahan energi mempunyai sifat inheren yang kompleks sehingga untuk
menganalisis kemiskinan energi dibutuhkan pemahaman yang menyeluruh dari saling
ketergantungan dan hubungan beberapa faktor seperti politik, sosial, ekonomi,
budaya, demografi, geografis, dan teknologi. Pendekatan pemahaman energi bisa
dilakukan dalam konstelasi multi dimensi agar lebih mudah memetakan
permasalahan dan melihat kelindan-kelindan permasalahan satu sama lainnya.
Salah satu pokok bahasan penting dalam energi adalah kehadirannya sebagai
pendukung pembangunan suatu negara. Tujuan utama energi dalam pembangunan
adalah menjamin ketersediaan energi untuk kegiatan pembangunan. Energi
diperlukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya diharapkan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan energi dalam pembangunan ini
pada umumnya bermuara dari kebijakan energi nasional sebagai landasan umum
pelaksanaan pembangunan energi. Pelaksanaan pembangunan energi meliputi
perencanaan dan penetapan strategi pembangunan energi sampai pelaksanaan
pembangunan infrastruktur energi.
Meninjau
kompleksitas pembangunan energi dapat menggunakan kerangka Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs). Tujuan bidang
energi sendiri ada pada tujuan nomor 7 yaitu menjamin tersedianya akses energi
yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern untuk semua. Beberapa
permasalahan untuk mencapai TPB nomor 7 ini dapat diidentifikasi, mulai dari kurang
atau tidak adanya akses jaringan listrik (grid) pada tingkat desa hingga
kecamatan, teknologi yang tidak terjangkau, tarif listrik tinggi, dan
pencemaran lingkungan dari sumber energi fosil konvensional. Hal-hal tersebut
menyebabkan masalah energi kronis dan menghambat pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan. United Nations Development Programme World (UNDP) dalam �Energy
Assessment Energy and The Challenge of Sustainability� (2000) menguraikan bahwa akses ke energi yang bersih, terjangkau
dan dapat diandalkan diidentifikasi sebagai prasyarat untuk mengentaskan
kemiskinan. Permasalahan ini dikonsepkan sebagai kemiskinan energi (sumber
rujukan).
Menggunakan
kerangka TPB, kita dapat menemukan berbagai macam irisan tujuan pembangunan
lainnya dengan tujuan pembangunan energi. Sebagai ilustrasi, berbagai tujuan
yang beririsan dengan energi adalah pengentasan kemiskinan (No.1), perubahan
iklim (No.13), konservasi alam dan lingkungan (No. 14 dan 15), pembangunan
inklusif (No.8), dan kesetaraan gender (No.5). Tentunya tujuan-tujuan lain juga
bisa dihubungkan dengan energi. Dari beberapa kelindan permasalahan tersebut
dapat kita kelompokan dalam dua nuansa yaitu pembangunan berfokus pada material
atau fisik seperti energi, perubahan iklim, konservasi alam, dan pembangunan
berfokus pada non-materi seperti pembangunan inklusif dan kesetaraan gender.
Sementara tujuan pengentasan kemiskinan mempunyai kedua nuansa ini.
Penelitian
ini memfokuskan pada kelindan antara pembangunan energi dan kesetaraan gender
dengan esensi utama untuk pengentasan kemiskinan atau peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Sasaran pengentasan kemiskinan mengarah pada masyarakat rural
perdesaan karena mereka merupakan kelompok masyarakat marginal yang paling
rentan terkena dampak buruk pembangunan. Pendekatan pembangunan kemiskinan
energi yang cenderung netral dan bahkan buta gender, mengasumsikan tidak ada
perbedaan dampak dari pembangunan energi antara perempuan dan laki-laki, telah
meminggirkan permasalahan dan perspektif perempuan dalam energi. Salah satu
solusi yang umum dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan energi
adalah pembangunan listrik perdesaan yang dilakukan baik oleh pemerintah dan
lembaga non-pemerintah (donor dan komunitas masyarakat).
Pemilihan
solusi ini karena masyarakat rural adalah yang paling merasakan dampak
kemiskinan energi. Dampak lebih buruk juga dirasakan oleh kelompok perempuan
marginal di daerah rural, berpendapatan rendah, dan berstatus sosial bawah.
Perempuan pada kelompok ini yang dalam kehidupan mereka sudah mengalami
lapisan-lapisan penindasan dari struktur sosial dan budaya, juga sangat rentan
terhadap peminggiran akses pembangunan infrastruktur termasuk listrik
perdesaan. Perempuan harus menjalankan tiga peran sekaligus yang sangat
penting. Mereka melangsungkan peran reproduktif, produktif, dan sosial
kemasyarakatan yang erat dengan kebutuhan energi.
Konsep
listrik perdesaan dalam penelitian ini digunakan untuk menunjukkan segala
kegiatan pembangunan infrastruktur kelistrikan di daerah rural. Definisi konsep
listrik perdesaan kami gunakan sebagai saduran definisi dari Rural
Electrification. Listrik perdesaan tidak secara spesifik hanya merujuk pada
program pemerintah, karena pada praktiknya pembangunan listrik perdesaan
dilakukan tidak saja oleh pemerintah, tetapi juga swasta dan komunitas
masyarakat secara mandiri atau atas bantuan filantropi dan atau donor.
Pembahasan
gender dan kemiskinan energi yang belum sepenuhnya terungkap, membuat para
pihak kunci pelaksana pembangunan listrik perdesaan terkesan abai terhadap
permasalahan yang muncul akibat relasi gender yang timpang, termasuk relasi
yang ada di tengah kelompok minoritas lainnya. Pada akhirnya pembangunan
listrik perdesaan justru meminggirkan perempuan dan kelompok minoritas lainnya,
baik dalam proses maupun hasilnya. Keadaan ini terjadi karena kekosongan
informasi dan kerangka perumusan masalah dalam nexus gender dan kemiskinan
energi, sehingga menyebabkan pengambil keputusan tidak memiliki panduan untuk
memetakan permasalahan. Penelitian ini mencoba menelusuri kajian-kajian tentang
bagaimana isu-isu kritis nexus gender dan kemiskinan energi dirumuskan untuk
digunakan sebagai kerangka pemetaan masalah dalam listrik perdesaan. Apa saja
isu-isu kritis dalam nexus gender dan energi, termasuk bagaimana pembelajaran
yang bisa disintesiskan dari pembahasan isu-isu kritis ini, serta bagaimana
masukan dan kekosongan pembahasan isu-isu kritis tersebut. Selama ini
kekosongan arahan dan fokus pada aspek gender dalam pengembangan listrik
perdesaan membuat hasil akses listrik tidak memberikan manfaat yang
proporsional buat perempuan. Hasil dari tulisan ini diharapkan dapat menjadi
masukan untuk para pengambil keputusan/kebijakan dan para perencana
program/proyek guna pengembangan listrik perdesaan yang adil gender dan inklusif.
Metode Penelitian
����������������������� Kajian ini menggunakan
kumpulan penjelasan literatur review kritis seputar nexus gender dan kemiskinan
energi. Proses analisis dilalui melalui beberapa tahap. Pertama melakukan
pencarian penelitian melalui mesin pencari dari remote database perpustakaan
Universitas Indonesia (remote-lib.ui.ac.id). Kata kunci yang dimasukkan adalah
energy poverty, gender, rural women dan berfokus pada penelitian sepuluh tahun
terakhir. Hasil awal pencarian menunjukkan ada sekitar 1300 penelitian jurnal
dengan kata kunci ini, namun setelah diteliti lebih lanjut, kata-kata kunci ini
bersifat acak dan tidak menghasilkan penelitian yang relevan dengan nexus
gender dan kemiskinan energi. Langkah berikutnya, menambahkan dua saringan
lagi, pertama secara geografis dari negara-negara dunia ketiga dan negara
berkembang, lalu mengarah ke pembahasan yang lebih feministik, karena sangat
banyak penelitian yang membahas aspek perempuan secara umum. Dari penerapan dua
saringan ini, terjaring sekitar 100 penelitian jurnal.
Upaya mempertajam bahasan dilakukan dengan teknik pembacaan singkat
(skimming) dari sekitar 100 jurnal untuk mendapatkan irisan isu gender dan
kemiskinan energi, hingga kemudian didapat 21 penelitian jurnal. Dari jumlah penelitian
tersebut, diidentifikasi isu-isu kritikal dengan melakukan pengelompokan
isu-isu atau pemetaan topik-topik utama pembahasan. Pengelompokan ini dilakukan
untuk mencari kesamaan tema dan topik, serta mencari keunikan pembahasan dari
masing-masing topik
Hasil dan Pembahasan
Pembahasan seputar
kemiskinan energi dari perspektif gender memang belum terlalu banyak. Kaja
Primc (2021) mengakui hal ini dalam penelitian
jurnalnya yang merupakan hasil penelitian terhadap sekitar 620 penelitian yang
berhubungan dengan kemiskinan energi dari rentang waktu 2004 sampai 2019. Isu
kemiskinan energi memang mencuat setelah 2015 sejak diperkenalkannya Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan. Jumlah penelitian membahas kemiskinan energi
meningkat pesat dari hanya 11 penelitian di 2004 menjadi 135 penelitian di
2019.
Pembahasan kemiskinan
energi paling banyak pada topik-topik seputar kebijakan energi dan teknologi, sementara
pembahasan yang memfokus pada aspek-aspek sosial dan subyek manusia pada
kemiskinan energi masih sangat sedikit. Bahasan utama pada aspek sosial lebih
pada transisi energi, yaitu perubahan dari energi konvensional seperti kayu
bakar ke energi modern seperti gas dan energi terbarukan. Begitu pula
pembahasan kemiskinan energi dalam gender, kesehatan dan demografi masih sangat
minim. Penekanan pada kebijakan dan teknologi karena isu-isu sosial dan gender
memang belum muncul ke permukaan karena fokus pembahasan didominasi perspektif
negara maju.
Dari pemetaan 21 penelitian hanya didapat 4 isu utama dalam nexus gender dan kemiskinan energi, yaitu kesejahteraan dan pemberdayaan perempuan dari akses listrik; dampak kemiskinan energi pada kesehatan perempuan; dinamika gender dan relasi kuasa dalam energi; serta kebijakan energi dan gender. Dari 21 penelitian ini tidak ada yang secara spesifik membahas satu dari ke empat topik di atas. Minimal dua atau tiga topik bisa diidentifikasi ada dalam setiap penelitian. Dengan demikian, berdasarkan penelusuran sejumlah penelitian terdahulu pada pengelompokan penelitian ke dalam masing-masing topik berdasar kedalaman dan fokus dari topik pembahasan, terdapat topik-topik spesifik di bawah ini.
Kebijakan Energi dan Gender
Temuan paling mendasar
dalam penelitian kebijakan energi adalah dekonstruksi mitos-mitos gender dalam
wacana kemiskinan energi dan gender (Romy Listo 2018). Mitos pertama berasumsi
bahwa perempuan dalam peminggiran kemiskinan energi dianggap homogen hanya
sebagai sosok yang rentan, tidak berdaya, berbudi pekerti luhur karena pekerja
keras, dan tertindas, tanpa mencoba melihat mereka sebagai agen perubahan dalam
hidupnya, keluarga dan komunitas. Mitos kedua berasumsi bahwa akses energi
modern diposisikan sebagai agen perubahan yang memperbaiki kualitas hidup dan
kesetaraan gender bagi perempuan. Mitos kedua ini terbangun dari bukti-bukti
empirik yang mendukung dampak positif dari akses energi modern terhadap kesehatan
perempuan dan peningkatan pendidikan. Mitos ketiga berasumsi ketidaksetaraan
gender sebagai akibat dari kemiskinan energi, sehingga dapat diatasi dengan
intervensi energi. Mitos terakhir adalah energi meningkatkan pemberdayaan
perempuan, ketika pemberdayaan perempuan hanya diartikan secara sempit sebagai
peningkatan pendapatan, produktivitas, dan aktivitas komersial. Mitos-mitos ini
memberikan representasi yang salah atas kompleksitas permasalahan perempuan
dalam kemiskinan energi sehingga banyak pendekatan dan intervensi energi
seolah-olah dapat diselesaikan secara logika umum teknis dan meniadakan
pendekatan subyek perempuan. Akibat banyak perumusan kebijakan dan peraturan
tidak tepat sasaran dalam memerhatikan permasalahan perempuan dan kemiskinan
energi.
Perumusan kebijakan energi
tidak menempatkan keterwakilan dan suara yang setara dari perempuan dan
kelompok minoritas lainnya dalam pengambilan keputusan (Carelle Mang-Benza,
2021).
Ketertinggalan perumusan energi ini membuat agensi perempuan dalam kebijakan
energi sangat kecil terlepas sudah diberikannya afirmasi politik dalam sistem,
terutama ditemukan pada negara-negara dunia ketiga dan negara berkembang. (Carelle Mang-Benza,
2021).
Kegagalan dalam kebijakan energi masa lalu, sebagian disebabkan oleh konsultasi
yang buruk dari pengguna, terutama perempuan, dalam konteks negara berkembang (Suveshnee Munien dan
Fathima Ahmed 2012).
Pentingnya melibatkan perempuan dalam perumusan kebijakan karena
pengalaman-pengalaman perempuan dalam transisi energi sangat berbeda,
partikular dan subjektif (Jenny Lieu, 2020). Proses transisi energi di
beberapa negara menghadirkan tingkat kesadaran kritis gender yang sangat
berbeda. Proses mengabaikan perspektif sosial dan gender yang berbeda dalam
pengambilan keputusan pada akhirnya memprioritaskan pengetahuan dari para ahli
teknis laki-laki.
Perubahan atau deregulasi
kebijakan yang buruk menimbulkan penindasan tambahan terhadap perempuan (Suveshnee Munien dan
Fathima Ahmed, 2012).
Ada tambahan biaya yang harus dikeluarkan perempuan baik secara moneter maupun
beban kerja, sehingga menambah tekanan perempuan dalam rumah tangga menjadi
tiga kali lipat, di atas peran ganda perempuan. Keadaan ini dikarenakan upaya
ekonomi berasas liberal menggabungkan pendekatan seolah-olah 'ramah gender'
sebagai pilihan mengentaskan kemiskinan, sambil mempertahankan komitmen pada
struktural neoliberal, pada akhirnya membatasi hasil intervensi kebijakan.
Analisis kebijakan pada
kemiskinan energi dan gender jarang yang menyasar perempuan dan energi strategi
secara holistik namun lebih fokus pada aspek gender dalam praktik energi rumah
tangga (Suveshnee Munien dan
Fathima Ahmed, 2012).
Sebagian besar studi kebijakan gender dan energi berfokus tentang seks dan
energi (Judith Fathallah, 2020). Titik fokus pada seks dan
keluarga tradisional, dan tidak ada data penelitian empirik tentang pengaruh
gender terhadap konsumsi energi dan perilaku hemat energi. Bukti empirik hasil
dari analisis kebijakan kurang tepat menunjukkan bahwa kehadiran pilihan
teknologi energi tertentu, misalnya penggunaan listrik dan baterai,
mengakibatkan diskriminasi yang lebih besar terhadap perempuan.
Analisis dari semua
penelitian gender dan energi menunjukkan pembahasan sempit pada sektor energi,
tanpa melihat keterkaitannya dengan sektor-sektor pembangunan lainnya. Berkaca
pada pendekatan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan kita bisa melihat bagaimana
kompleksitas masalah pembangunan terutama dari sisi keterkaitan sesama, baik
secara horizontal antarsektor, demikian pula vertikal antartema. Energi sebagai
salah satu sektor utama dalam pembangunan mempunyai keterkaitan yang luas
dengan aspek pembangunan lainnya, sehingga menjadi sangat sulit melakukan
pembahasan dengan terlalu banyak variabel, namun, beberapa sektor dan topik
mempunyai tingkat keterkaitan yang tinggi. Sebagai ilustrasi, sektor pendidikan
dan kesehatan perempuan sangat mempengaruhi keberdayaan perempuan di sektor
energi, dan sebaliknya energi pun dapat menopang pendidikan dan kesehatan. Topik
perubahan iklim dan konservasi alam juga mempunyai keterkaitan tinggi, karena
kemiskinan energi banyak terjadi pada daerah-daerah yang rentan kondisi
lingkungan hidupnya, sehingga penggunaan energi terbarukan dan adaptasi
masyarakat terhadap lingkungan menjadi faktor kunci keberlanjutan.
Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan
dari Akses Listrik
Berbagai penelitian
mendapatkan bukti-bukti empirik bahwa akses listrik memberikan dampak positif
terhadap perempuan (Hyee Wang, 2021; Jakub
Polansky, 2021; Ana Puey, 2019; Elena Kim 2019). Dampak paling menonjol
adalah peningkatan kualitas kesehatan, pendidikan, komunikasi dan informasi. Kualitas
kesehatan didapat dari ketersediaan air bersih, kebersihan rumah tangga secara
keseluruhan dan penanganan perawatan terhadap penyakit-penyakit menular. Manfaat
pendidikan dan informasi didapat dari ketersediaan fasilitas pendidikan dan
akses internet. Dampak besar juga didapat dalam memperbaiki kualitas kerja
reproduksi perempuan dalam rumah tangga dengan menggunakan peralatan-peralatan
rumah tangga berbasis listrik. Perempuan mempunyai lebih banyak waktu untuk
pekerjaan yang lain. Namun dampak positif reproduksi ini tidak mengurangi beban
kerja perempuan dalam rumah tangga karena konstruksi gender dan relasi kuasa
pada akhirnya tetap berperan menentukan beban kerja perempuan. Dalam artian,
laki-laki pada akhirnya yang lebih menikmati manfaat dari perubahan beban kerja
reproduksi dalam rumah tangga.
Akses listrik memberikan
kesempatan bekerja perempuan di luar rumah, khususnya untuk masyarakat bukan
berbasis pertanian (Hyee Wang, 2021; Ana
Puey, 2019).
Dengan keberadaan listrik membuka industri dan lahan-lahan usaha baru yang
cenderung menyerap tenaga kerja perempuan, terutama di negara-negara maju, hal
ini tidak terbukti di negara berkembang seperti Tiongkok, karena faktanya
ketika perempuan bekerja di luar rumah justru menambah beban mereka, akibat
dari meningkatnya peran produksi perempuan di luar rumah namun tidak mengurangi
peran reproduksinya di dalam rumah tangga, sehingga mempertajam dilema peran
ganda perempuan dan menjerumuskannya ke dalam situasi multi beban.
Beberapa bukti empirik
mengindikasikan adanya peningkatan kepercayaan diri dan status sosial perempuan
yang sudah mendapatkan akses listrik (Hyee Wang, 2021). Khusus pada masyarakat
rural, akses listrik dipandang sebagai salah satu atribut status sosial. Dari
penelitian kebanyakan rumah tangga yang mendapatkan akses listrik pun memang
keluarga yang sudah bisa memenuhi kebutuhan dasar pangan dan papan dan atau
berpendapatan di atas rerata penduduk sekitar, sehingga peningkatan kepercayaan
diri dan status sosial tampaknya masih belum menyentuh lapisan masyarakat yang
lebih rentan.
Dalam hal pemberdayaan
perempuan, hipotesis yang dipakai selalu bersumbu pada meningkatkan taraf
pendapatan perempuan (Elena Kim, 2019; Ryan
Stock, 2020; Kola O Odeku, 2019). Akses listrik diharapkan meningkatkan
produktivitas perempuan baik dengan wirausaha atau menjadi pekerja di luar
rumah. Hampir semua penelitian menyimpulkan bahwa tidak ditemukan bukti nyata
akses listrik meningkatkan pendapatan perempuan. Kasus-kasus dari pelaksanaan
proyek pembangunan akses listrik menunjukkan bahwa rantai nilai pemasok semua
barang dan jasa pekerja didominasi oleh laki-laki. Kesempatan perempuan untuk berwirausaha
pun masih sangat bergantung pada aspek sumber daya lainnya seperti modal dan
tanah, yang masih juga didominasi laki-laki.
Akses listrik terbukti
sangat berbasis gender, di mana dominasi laki-laki, konstruksi sosial, dan
relasi kuasa menentukan keputusan dalam mendapatkan akses listrik (Jakub Polansky, 2021;
Ana Puey, 2019; Elena Kim, 2019; Ryan Stock, 2020; Tanja Winther, 2018). Laki-laki cenderung memiliki
rumah, memiliki pendapatan lebih tinggi, dan hak moral (dalam pandangan
masyarakat) untuk membuat keputusan besar, sehingga koneksi listrik tidak
memberikan agensi terhadap perempuan (Kola O. Odeku, 2019). Ditambah lagi mekanisme
akses listrik yang berskema berlangganan dengan tarif tertentu yang harus
dikeluarkan berdasarkan pemakaian listrik. Perempuan selain dipinggirkan juga
selalu tidak dilibatkan menentukan keputusan penting dalam penyambungan akses
listrik. Perencanaan suatu sistem kelistrikan memerlukan analisis berapa
penggunaan listrik dari sisi rumah tangga. Laki-laki cenderung memikirkan
kebutuhan penerangan dan hiburan seperti televisi. Ada kebutuhan rumah tangga
penting lain seperti peralatan penyimpanan dan penyiapan makanan, perawatan
kesehatan khususnya untuk anak-anak yang cenderung tidak diperhitungkan.
Pengabaian kebutuhan perempuan ini menyebabkan perencanaan sistem kelistrikan
tidak cocok dengan kebutuhan sehari-hari.
Persoalan bias gender yang
juga muncul adalah keterjangkauan biaya listrik menimbulkan permasalahan bagi
perempuan (Kola O. Odeku, 2019;
Jakub Polansky, 2021).
Bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa tataran ekonomi neo-liberal berasaskan
pasar yang menjauh dari ekonomi kerakyatan, menentukan tarif listrik
berdasarkan harga pasar membuat listrik tidak terjangkau, pada akhirnya
menindas perempuan secara ekonomi, karena perempuanlah yang harus mengatur
pengeluaran rumah tangga. Pada akhirnya, keadilan sosial menjadi sangat terasa
tidak berpihak pada perempuan apabila dilihat dari biaya listrik, ditambah ada
biaya pemasangan dan perawatan fasilitas kelistrikan yang berbasis komunitas. Analisis
biaya versus manfaat harus dipertajam dengan melihat aktivitas dan beban
ekonomi mikro atau piko rumah tangga, sehingga perspektif perempuan dapat
terwakilkan. Alih-alih meningkatkan pendapatan perempuan, kehadiran listrik
justru memberikan tekanan ekonomi baru buat perempuan.
Kesimpulan dari penelitian
ini Rini, A. S., & Sugiharti L (2016) adalah pemberdayaan dan kesejahteraan perempuan tidak terbukti
mengalami perbaikan dengan adanya akses listrik. Kesimpulan penelitian ini
berdasar dari data-data empirik menggunakan metode kuantitatif. Penggalian
pengalaman perempuan sebagai subyek pembangunan belum tereksplorasi dengan
baik. Kritik-kritik yang diidentifikasi dalam isu kebijakan energi dan gender
juga ditemukan dan relevan dengan pemberdayaan dan kesejahteraan dari akses
listrik. Mitos-mitos gender dan energi terlihat bekerja dalam pendasaran
program atau proyek dipakai sebagai asumsi utama. Kesejahteraan dan
pemberdayaan hanya berfokus pada tingkat ekonomi tanpa menggali pengalaman
perempuan di luar aspek ekonomi.
Pada umumnya, penelitian
kesejahteraan dan pemberdayaan dari akses listrik masih sangat berfokus pada
peran domestik atau peran reproduksi perempuan. Hal tersebut dapat dipahami
mengingat pandangan umum energi yang netral gender, pada akhirnya hanya
menempatkan perempuan pada peran tradisional domestik. Sebagian besar
penelitian dalam kajian pustaka ini menyasar masyarakat rural berbasis
pertanian, yang sebenarnya dapat mengeksplorasi pengalaman perempuan dalam
irisan peran produksi pertanian seperti akses ke sumber daya tanah, air, dan
modal. Di tengah dinamika perkembangan teknologi saat ini, terlihat bahwa
pengalaman perempuan terkait informasi dan pengetahuan juga belum tersentuh secara
maksimal. Beberapa pengalaman ini sangat erat hubungannya dengan keberadaan
akses listrik. Sebagai ilustrasi akses perempuan terhadap informasi dan
pendidikan dapat meningkatkan kesadaran kritis perempuan, sehingga pemaknaan
pemberdayaan dan kesejahteraan yang berbeda-beda di setiap daerah bisa dengan
baik disejajarkan dengan kebutuhan setempat. Informasi dan pendidikan bukan
hanya dari lingkungan formal sekolah tetapi bisa melalui media massa televisi
dan media dalam jaringan internet. Keberadaan internet dan televisi sangat
dipengaruhi oleh keberadaan listrik.
Dari kedua kritik di atas [MS1] terlihat
bahwa literatur penelitian terdahulu sama sekali tidak memberi perhatian
terhadap adanya interseksionalitas perempuan. Perempuan belum dilihat sebagai
kelompok sosial yang heterogen, yang terbentuk dari keragaman identitas sosial.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian terdahulu juga belum mampu
mengeksplorasi multi-dimensi energi yang seharusnya dapat dijadikan contoh
dalam analisis interseksionalitas. Perempuan dianggap homogen dan tidak
mempunyai agensi seperti temuan dalam kebijakan energi, semakin jelas ditemukan
juga dalam analisis kesejahteraan dan pemberdayaan perempuan. Situasi perempuan
yang sesungguhnya lebih berdaya dan mempunyai kekuatan dalam keluarga serta
komunitasnya, justru diabaikan dan tidak tersentuh. Hal ini terjadi karena beberapa
penelitian tidak mendasarkan pada teori dan pendekatan feminis, serta lemahnya
pemahaman dan kurangnya sensitivitas gender para peneliti.
Selain itu, pengetahuan tentang
penghidupan perempuan yang berbasis daerah setempat pun tidak dipertimbangkan. Dalam
pembahasan rural perdesaan penting melihat ilmu pengetahuan dengan kearifan
lokal, karena ilmu tidak secara eksplisit tersedia dan terlihat. Penggalian
pengalaman mendalam perempuan dapat memunculkan pengetahuan-pengetahuan yang
sarat makna. Hal ini erat hubungannya dengan kegiatan mata pencaharian
perempuan dan komunitas setempat. Dengan demikian, analisis dapat mencari
solusi kegunaan produktif listrik menunjang produksi masyarakat setempat. Perencanaan
sistem dan mekanisme biaya juga bisa dirumuskan dengan tepat.
Dampak Kemiskinan Energi pada Kesehatan
Perempuan
Kesehatan perempuan bisa
dikategorikan sebagai salah satu faktor menentukan tingkat kesejahteraan perempuan.
Adanya pembedaan kelompok bahasan ini dengan kesejahteraan dan pemberdayaan
perempuan karena penekanan khusus para peneliti hanya pada kesehatan perempuan,
sementara peneliti kesejahteraan dan pemberdayaan perempuan melihat kesehatan
perempuan sebagai salah satu aspek. Pembahasan penelitian juga difokuskan pada
akses listrik. Dalam penelusuran penelitian terdahulu, banyak pembahasan
kesehatan perempuan dari sudut pandang transisi kayu bakar ke energi modern
seperti LPG dan Biogas. Pembahasan melihat dampak buruk dari ppenelitian
berbahaya dihasilkan dari kayu bakar dan beban kerja perempuan lebih besar
dalam pengumpulan kayu bakar. Pembahasan ppenelitian berbahaya lebih berdampak
buruk pada perempuan juga penulis temukan dalam beberapa bahasan Pembangkit
Listrik Batubara.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya
hubungan sebab akibat antara yang signifikan secara statistik antara kemiskinan
energi terhadap kesehatan perempuan (Khizar Abbas, 2021; Soyhea Oum, 2019).
Pembuktian empirik ini diperoleh dari pemodelan hubungan kausatif beberapa
karakteristik kesehatan perempuan dengan kemiskinan energi. Terdapat dua
kelompok karakteristik yang diteliti. Pertama karakteristik yang bersifat
langsung atau dapat diamati secara fisik seperti: sumber air minum, pemurnian
air minum, keberadaan kelambu untuk mencegah nyamuk atau gigitan serangga
pembawa penyakit, fasilitas jamban, kondisi udara dan polusi dalam rumah,
kondisi dapur. Kedua adalah karakteristik yang tidak langsung atau bersifat
lebih abstrak seperti: pola makan dan obesitas, sterilisasi dan keguguran,
pelaksanaan keluarga berencana, kesuburan, tingkat buta huruf dan literasi,
tingkat pendidikan, status perkawinan, jaminan kesehatan. Penelitian[MS2]
dilakukan di negara-negara di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh, Nepal,
Bangladesh, Afganistan dan Maldives) dan Asia Tenggara (Indonesia, Vietnam,
Laos, Myanmar dan Filipina).
Penelitian (Khizar Abbas, 2021) juga mengindikasikan
ketimpangan kondisi kemiskinan energi dari beberapa negara Asia Selatan dan
Asia Tenggara) Peneliti mengembangkan pemodelan multidimensional energy poverty index (MEPI) dari data statistik kependudukan. Indeks yang dihasilkan
mengindikasikan tingkat kemiskinan energi suatu negara. Rerata negara Asia
Selatan memiliki indeks kemiskinan energi yang lebih buruk daripada negara Asia
Tenggara. Indonesia dan Vietnam memiliki indeks paling baik dari semua negara
yang diteliti.
Pemodelan MEPI menyimpulkan secara empirik bahwa
status sosial ekonomi rumah tangga memainkan peran penting dalam menentukan
kemiskinan energi multidimensi rumah tangga (Khizar Abbas, 2021). Faktor sosial ekonomi dan
demografi termasuk ukuran keluarga, jenis kelamin, usia, pekerjaan,
karakteristik perumahan, tempat tinggal, dan status kepemilikan properti tempat
tinggal adalah penentu signifikan dari kemiskinan energi multidimensi di
tingkat rumah tangga.
Penelitian Oktowaty, S., Setiawati,
E. P., & Arisanti, N. (2018) fokus pada peran dampak
kesehatan dari kehidupan keseharian dalam rumah tangga belum menyentuh akses
listrik pada fasilitas kesehatan di perdesaan. Fasilitas kesehatan mempunyai
peran penting dalam meningkatkan taraf kesehatan perempuan. Keandalan kualitas
listrik sangat diperlukan untuk keperluan darurat dan tindakan-tindakan medis
seperti untuk pelayanan persalinan. Akses listrik bisa berjenjang dari hanya
berbasis komunitas kecil terdiri dari beberapa rumah tangga sampai pada tingkat
wilayah beberapa desa. Kualitas akses listrik pada fasilitas kesehatan akan
terlihat pada tingkat lebih tinggi dari komunitas. Analisis ini dapat
mengidentifikasikan kebutuhan dan permasalahan kualitas listrik pada fasilitas
kesehatan sehingga perencanaan sistem kelistrikan dapat lebih sempurna dan
efektif.
Pengembangan asumsi dasar
atas kategori kesehatan perempuan masih bersifat umum. Ada risiko asumsi ini
kurang mempunyai ketajaman dari perspektif gender atau perempuan. Hampir
sebagian besar kategori merupakan keadaan umum yang ada kemungkinan mempunyai
kecenderungan netral gender. Dapat dipahami bahwa ada keterbatasan data, waktu
dan sumber daya untuk melakukan sebuah survei yang ideal.
Semua penelitian
menggunakan metode kuantitatif pemodelan data statistik menyebabkan pengalaman dan
penghayatan perempuan tentang kesehatannya tidak tergali. Kesehatan perempuan yang
bersifat sensitif dan personal akan lebih efektif digali menggunakan pendekatan
kualitatif. Temuan atau bukti-bukti empirik tersebut dapat dijadikan panduan
untuk memperdalam penelitian selanjutnya.
Dinamika Gender dan Relasi Kuasa dalam
Energi
Dalam program pengembangan
akses listrik perempuan kerap dipinggirkan atau tidak diakui baik secara
struktural maupun budaya. Begitu pula implementasi pembangunan listrik dan
transisi energi dari tradisional ke modern, perempuan mengalami peminggiran
karena status sosial dan kelas (Nathanael Ojong, 2021), serta norma-norma budaya
setempat (Oliver W. Johnson, 2019). Perempuan juga mengalami
peminggiran struktural dalam proses prosedural dan distribusi energi (Md Moniruzzaman, 2020). Peminggiran ini membuat
perempuan mengalami ketidaksetaraan dalam relasi gendernya dengan laki-laki
ketika pengambilan keputusan berhubungan dengan energi, walaupun banyak aspek
energi teridentifikasi terhubung erat dengan perempuan. Contohnya pemakaian
energi dalam rumah tangga, manajemen pengeluaran rumah, juga jenis pemilihan
teknologi. Pengambilan keputusan sangat dipengaruhi oleh relasi kuasa berasas
patriarki yang sudah mengakar baik secara struktural dalam sistem formal maupun
non-struktural. Pada akhirnya membuat perempuan mengalami ketidakadilan sosial
dalam energi, manfaat akses listrik, sehingga energi pada umumnya lebih
dirasakan oleh laki-laki.
Aspirasi dan pelibatan
perempuan sangat rendah atau sama sekali tidak disertakan dalam pengambilan
keputusan. Pendapat perempuan tidak disertakan baik dalam hal pengembangan
keputusan pada tingkat mikro proyek (Nathanael Ojong, 2021; Olumide Adisa, 2020; Stephanie Buechler,
2020) maupun pada tataran
pemrograman tingkat komunitas atau wilayah (Md Moniruzzaman, 2020; Khayaat Fakier, 2018).
Perempuan memegang peran penting bukan hanya pada tataran rumah tangga, tetapi
juga di tingkat komunitas (Stephanie Buechler, 2020), terbukti perspektif
perempuan yang berwawasan jangka panjang dan holistik melahirkan banyak
inovator dan agen perubahan dalam pengembangan energi terbarukan tingkat
komunitas. Peran dan kebutuhan perempuan yang tidak diakui dan tidak tersalurkan,
membuktikan bahwa rancangan program atau proyek tidak tepat sasaran. Perancangan
sistem dan jaringan listrik sangat tergantung pada model kebutuhan energi di
tiap rumah tangga, sehingga menentukan keputusan pemilihan teknologi dan biaya
investasi. Pemodelan dasar tidak tepat karena kebutuhan energi tidak mengakomodasi
persepsi perempuan, sehingga hasil pembangunan mempunyai dampak terbalik dengan
kesejahteraan perempuan. Dampak negatif ini terutama dirasakan pada irisan
kelompok perempuan yang cenderung terabaikan seperti perempuan lansia (Stephanie Buechler, 2020) dan perempuan dalam
masyarakat adat (Nathanael Ojong 2021).
Beberapa penelitian
menggunakan pendekatan teori feminis menjelaskan bagaimana pendasaran
pengetahuan feminis tidak digunakan dalam perencanaan dan pelaksanaan program (Stephanie Buechler, 2020; Khayaat Fakier, 2018). Pendasaran kerangka program atau proyek yang
tidak tepat ini menunjukkan ketidakmampuan para pelaksana proyek dalam menggali
pengalaman dan pengetahuan perempuan yang berhubungan dengan kemampuan mereka menjaga
ketahanan hidup. Keberdayaan dan kemampuan perempuan yang sebenarnya sudah
terbukti dalam tataran komunitas dan keluarga pun tenggelam. Ditemukan dalam
beberapa kasus secara tataran informal masyarakat bahwa kepemimpinan perempuan
sebenarnya sudah diakui, namun hal ini tidak tercermin dalam pengambilan
keputusan karena didominasi laki-laki.
Relasi kuasa juga bekerja
pada akses perempuan terhadap teknologi atau pengetahuan perempuan atas
teknologi. Listrik sebagai energi modern erat hubungannya dengan teknologi,
baik dari aspek fasilitas pembangkitan dan penggunaanya. Penelitian yang ada
belum membahas secara mendalam relasi kuasa aspek teknologi. Analisis relasi
kuasa teknologi dapat membongkar bagaimana laki-laki yang secara konstruksi
sosial patriarki dipandang paling mampu dalam teknologi mengkondisikan
ketergantungan perempuan pada laki-laki yang pada akhirnya melahirkan
bentuk-bentuk penindasan baru.
Implikasi Pada Pengembangan Listrik
Perdesaan
Pembelajaran dari
penelitian nexus gender dan kemiskinan energi memberikan beberapa masukan
penting pada pengembangan listrik perdesaan. Masukan pertama adalah merubah
paradigma dasar peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan perempuan yang
selalu berfokus pada aspek materi. Kondisi materi seperti akses sumber daya,
ketersediaan infrastruktur, dan kualitas fasilitas sosial memegang peranan
penting dalam kesejahteraan perempuan, tetapi kesadaran kritis perempuan juga
menentukan pencapaian situasi keberdayaan dan kesejahteraan perempuan. Pendalaman
pemaknaan kesejahteraan dan pemberdayaan perempuan dapat digali dari berbagai
aspek seperti interseksionalitas dan kelindan permasalahan multidimensi
antarsektor atau antartema pembangunan lainnya. Pengalaman perempuan yang tidak
homogen paling sering diabaikan dalam semua penelitian telah membuat
pemberdayaan perempuan di bidang energi menjadi tidak efektif.
Masukan kedua adalah
pelibatan perempuan dalam semua proses dari tataran formulasi kebijakan,
pengembangan program sampai pelaksanaan proyek harus lebih digalakkan. Bukti-bukti
empirik menunjukkan bahwa peminggiran perempuan terjadi hampir pada semua
proses pengambilan keputusan. Alih-alih mendapatkan manfaat positif perempuan
malah mengalami tambahan opresi dan peminggiran dari pengembangan listrik
perdesaan. Pengakuan dan pengangkatan posisi peran perempuan dalam permasalahan
energi menjadi kritikal menentukan sukses tidaknya program. Terutama pada
proses pembangunan fasilitas listrik perdesaan ditemukan banyak kasus perempuan
sama sekali tidak dilibatkan baik dalam survei untuk mengerti kebutuhan energi
dan pengambilan keputusan dalam pemasangan, hal ini membuat rancangan fasilitas
kelistrikan menjadi tidak tepat dengan kebutuhan.
Pendalaman penggunaan
listrik produktif untuk kegiatan produksi perempuan dan komunitas perlu
diperhitungkan. Hampir semua penelitian nexus gender dan kemiskinan energi
hanya menempatkan perempuan pada peran domestik rumah tangga, sehingga peran
produksi perempuan tidak muncul. Pembangunan listrik pedesaan harus dirancang
secara holistik bersama dengan perencanaan dimensi pembangunan lainnya seperti
pendidikan, kesehatan dan peningkatan kegiatan ekonomi yang berbasis kedaerahan
setempat. Peran produksi perempuan khususnya pada masyarakat rural pertanian
banyak yang terabaikan karena dianggap bukan peran utama dalam keluarga dan
komunitas.
Intervensi listrik perdesaan harus juga menyasar transformasi pada tataran kebijakan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa peminggiran perempuan dalam listrik perdesaan bukan saja terjadi dalam tataran budaya dan sosial, namun juga terjadi pada tataran struktural dalam prosedural formal. Keberpihakan kepada perempuan tidak hanya dari afirmasi politik tingkat tinggi, juga harus mengakui hak-hak perempuan dalam tata laksana formal prosedural. Pendasaran analisis kebijakan harus ditempatkan pada jalur teori dan pendekatan feminis.
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan menganalisis isu-isu kritis dalam
nexus gender dan kemiskinan energi serta mencari jawaban dari pertanyaan
bagaimana pembelajaran isu-isu kritis ini dapat digunakan dalam pengembangan
listrik perdesaan. Penulis menemukan empat isu kritis dalam nexus gender dan
kemiskinan energi yaitu: kebijakan energi dan gender, kesejahteraan dan
pemberdayaan perempuan dari akses listrik, dampak kemiskinan energi pada
kesehatan perempuan, dan dinamika gender dan relasi kuasa dalam energi. Keempat
topik ini tidak eksklusif berdiri sendiri, dalam pembahasan ada keterkaitan
satu sama lainnya.
Pembelajaran utama didapat dari temuan-temuan penelitian
terdahulu tadalah aktivitas seputar kemiskinan energi sangat berbasis gender,
konstruksi sosial berasas patriarki, dominasi laki-laki, asumsi bahwa perempuan
adalah kelompok sosial homogen, dan relasi kuasa yang timpang, memengaruhi
proses pengentasan kemiskinan energi dan manfaatnya bagi perempuan dan kelompok
minoritas lainnya. Keterlibatan dan suara perempuan kurang atau tidak pernah
dilibatkan dalam proses-proses intervensi untuk mengentaskan kemiskinan energi.
Dengan demikian, terlihat bahwa paradigma pembangunan dalam meningkatkan
pemberdayaan perempuan didasarkan pada asumsi yang tidak tepat, hingga pada akhirnya
dampak solusi kemiskinan energi bukan saja tidak dirasakan perempuan bahkan
memberikan opresi dan beban tambahan ke perempuan. Penempatan perempuan yang
hanya dalam peran domestik menyempitkan dampak yang bisa dihasilkan dari
listrik pedesaan.
Celah besar dalam penelitian yang ditemukan dari kajian
pustaka ini ada pada analisis pengalaman dan perspektif perempuan. Sebagian
besar penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, tinjauan pustaka, dan
sedikit penelitian yang mengeksplorasi pengalaman subyektif perempuan
menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian selanjutnya perlu menggunakan
teori dan perspektif feminis dalam analisis permasalahan agar dapat lebih jauh
menelusuri dan mengeksplorasi situasi perempuan, membongkar aspek
interseksionalitas perempuan, sebelum perencanaan dan pelaksanaan program atau
proyek diterapkan. Dengan demikian tidak akan terjadi representasi yang keliru
terhadap peran dan kebutuhan perempuan di tengah situasi kemiskinan energi.
Mengingat kemiskinan energi merupakan permasalahan multidimensi, maka
pendalaman pengalaman dan penghayatan perempuan menjadi sangat penting untuk
memahami keterkaitan masalah dengan dimensi-dimensi lainnya.
BIBLIOGRAFI
�Ana Pueyo, Mar Maestre (2019). Linking energy access, gender and poverty:
A review of the literature on productive uses of energy, Energy Research &
Social Science, Volume 53,
Carelle Mang-Benza,(2021) Many shades of pink in the
energy transition: Seeing women in energy extraction, production, distribution,
and consumption, Energy Research & Social Science, Volume 73
E. Kristi Poerwandari (2017). Pendekatan Kualitatif
Untuk Penelitian Perilaku Manusia. LPSP3 UI, Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Elena Kim & Karina Standal (2019) Empowered by
electricity? The political economy of gender and energy in rural Naryn, Gender,
Technology and Development, 23:1
Hyee Hwang & Semee Yoon (2021) Electrification,
labor force participation, and perceived social status for women in rural
China, Asian Journal of Women's Studies, 27:1, 87-108
Jakub Polansky, Murodbek Laldjebaev (2021). Gendered
energy relations at the crossroads of Asia: Electrification, empowerment, and
mixed outcomes in northeastern Afghanistan, Energy Research & Social
Science, Volume 73.
Jenny Lieu, Alevgul H. Sorman, Oliver W. Johnson, Luis
D. Virla, Bernadette P. Resurrecci�n, (2020) Three sides to every story: Gender
perspectives in energy transition pathways in Canada, Kenya and Spain, Energy
Research & Social Science, Volume 68,
Judith Fathallah, Parakram Pyakurel, (2020) Addressing
gender in energy studies,Energy Research & Social Science, Volume 65,
Kaja Primc, Miha Dominko. (2021) Renata Slabe-Erker, 30
years of energy and fuel poverty research: A retrospective analysis and future
trends. Journal of Cleaner Production. Volume 301.
Khayaat Fakier (2018) Women and Renewable Energy in a
South African Community: Exploring Energy Poverty and Environmental Racism,
Journal of International Women�s Studies Vol. 19, No. 5
Khizar Abbas, Deyi Xu, Shixiang Li, Khan Baz. (2021).
Health implications of household multidimensional energy poverty for women: A
structural equation modeling technique. Energy and Buildings. Volume 234,
Khizar Abbas, Xiaoqing Xie, Deyi Xu, Khalid Manzoor
Butt. (2021) Assessing an empirical relationship between energy poverty and
domestic health issues: A multidimensional approach. Energy, Volume 221.
Kola O. Odeku (2019). The Impact of Electricity Tariff
Increase on Indigengent Women in South Africa. Gender & Behaviour, Volume
17 (4)
Md Moniruzzaman, Rosie Day (2020) Gendered energy
poverty and energy justice in rural Bangladesh, Energy Policy, Volume 144,
Nathanael Ojong (2021) The rise of solar home systems
in sub-Saharan Africa: Examining gender, class, and sustainability, Energy
Research & Social Science, Volume 75
Oktowaty, S., Setiawati, E. P., & Arisanti, N. (2018). Hubungan fungsi keluarga dengan kualitas hidup pasien penyakit kronis degeneratif di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Jurnal Sistem Kesehatan, 4(1).
Oliver W. Johnson, Vanessa Gerber, Cassilde Muhoza,
(2019) Gender, culture and energy transitions in rural Africa, Energy Research
& Social Science, Volume 49,
Olumide Adisa (2020) Rural women�s participation in
solar-powered irrigation in Niger: lessons from Dimitra Clubs, Gender &
Development, 28:3)
Romy Listo, (2018) Gender myths in energy poverty
literature: A Critical Discourse Analysis, Energy Research & Social
Science, Volume 38,
Ryan Stock, 2021.Bright as night: Illuminating the
antinomies of �gender positive� solar development, World Development, Volume
138.
Sothea Oum. (2019). Energy poverty in the Lao PDR and
its impacts on education and health. Energy Policy. Volume 132.
Stephanie Buechler, Ver�nica V�zquez-Garc�a, Karina
Guadalupe Mart�nez-Molina, Dulce Mar�a Sosa-Capistr�n, (2020) Patriarchy and
(electric) power? A feminist political ecology of solar energy use in Mexico
and the United States, Energy Research & Social Science, Volume 70,
Suveshnee Munien & Fathima Ahmed (2012), A gendered
perspective on energy poverty and livelihoods � Advancing the Millennium
Development Goals in developing countries. Empowering Women for Gender Equity,
Vol. 26, No. 1 (91)
Tanja Winther, Kirsten Ulsrud, Anjali Saini, 2018 Solar
powered electricity access: Implications for women�s empowerment in rural
Kenya, Energy Research & Social Science, Volume 44,
United Nations Development Programme. (2000). World
energy assessment energy and the challenge of sustainability (1st ed.). New
York, NY, USA: UNDP.
������������������������������������������������
Copyright holder: Raymond Bona Tua, Mia Siscawati,
Shelly Adelina (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |