Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 12, Desember 2022

 

STUDI KASUS PUTUSAN PERKARA NOMOR 07/KPPU-I/2020 KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA TENTANG DUGAAN PRAKTEK DISKRIMINASI TERKAIT DENGAN KERJASAMA PENJUALAN KAPASITAS KARGO DALAM JASA PENGANGKUTAN BARANG

 

Victor Ary Subekti, Utji Sri Wulan Wuryandari

Fakultas Hukum, Universitas Pancasila, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha dibentuk dengan tujuan sebagaimana disebutkan pada Pasal 3, yaitu menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha. Penulis perlu meneliti hasil dari Keputusan Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai sarana akademis dalam memberikan pendapat dari sisi Terlapor yang telah mendapatkan putusan tersebut demi mewujudkan� iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil, sesuai dengan tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha. Metode penyusunan makalah ini berdasarkan pada pendekatan empiris yang mana penulis merupakan pihak yang menerima kuasa dari Terlapor IV, yaitu PT Lion Express, yang beralamat di Jalan Raya Agave Nomor 55 Kedoya Selatan, Jakarta Barat, DKI Jakarta 11520 Nomor Telepon (021) 580 939 Fax (021) 225 80868. Perusahaan yang terbukti telah melakukan pelanggaran hukum persaingan usaha dan telah dijatuhi hukuman oleh KPPU akan mengakibatkan hilangnya nama baik perusahaan, dan hal tersebut secara otomatis menurunkan reputasi perusahaan.

 

Kata kunci: Monopoli, Efisiensi Ekonomi, Persaingan Usaha.

 

 

 

Abstract

Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopoly Practices and Business Competition was formed with the objectives as mentioned in Article 3, namely maintaining the public interest and improving economic efficiency, realizing a conducive business climate through the regulation of healthy business competition, preventing monopolistic practices and business competition. The author needs to examine the results of the Decision of the Panel of the Business Competition Supervisory Commission as an academic means of providing opinions from the side of the Reported Party who has received the decision in order to create a conducive business climate through healthy business competition arrangements so as to ensure the certainty of equal business opportunities for large business actors, medium business actors and small business actors, in accordance with the purpose of the establishment of Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopoly Practices and Business Competition. The method of preparing this paper is based on an empirical approach where the author is the party who receives the power of attorney from the Reported Iv, namely PT Lion Express, which is located at Jalan Raya Agave Number 55 Kedoya Selatan, West Jakarta, DKI Jakarta 11520 Telephone Number (021) 580 939 Fax (021) 225 80868. Companies that are proven to have violated competition law and have been sentenced by the KPPU will result in the loss of the company's good name, and this automatically lowers the company's reputation.

 

Keywords: Monopoly, Economic Efficiency, Business Competition.

 

Pendahuluan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha dibentuk dengan tujuan sebagaimana disebutkan pada Pasal 3, yaitu:

1.     Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat;

2.     Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil;

3.     Mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha;

4.     Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

����������� Terkait dengan judul makalah, bahwa Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha menerima Laporan Dugaan Pelanggaran tentang Dugaan Praktik Diskriminasi terkait dengan Kerja Sama Penjualan Kapasitas Kargo dalam Jasa Pengangkutan Barang dari Bandara Hang Nadim ke Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Halim Perdana Kusuma, Bandara Juanda dan Bandara Kualanamu yang dilakukan oleh para Terlapor yang pada pokoknya sebagai berikut;

1.     Terlapor I: PT Lion Mentari, yang beralamat di Lion Air Tower Jalan Gajah Mada Nomor 7 Jakarta Barat, DKI Jakarta, Nomor Telepon (021) 637 98000 Fax. (021) 633 5669.

2.     Terlapor II: PT Batik Air Indonesia, yang beralamat di Jalan A.M. Sangaji Nomor 19 RT. 002 RW 006 Kelurahan Petojo Kecamatan Gambir Jakarta Pusat atau alamat korespondensi lain di Lion Air Tower Jalan Gajah Mada Nomor 7 Jakarta Barat, DKI Jakarta, Nomor Telepon (021) 637 98000 Fax. (021) 634 8744.

3.     Terlapor III: PT Wings Abadi, yang beralamat di Jalan A.M. Sangaji Nomor 17 Jakarta Pusat atau alamat korespondensi lain di Lion Air Tower Jalan Gajah Mada Nomor 7 Jakarta Barat, DKI Jakarta, Nomor Telepon (021) 637 98000 Fax. (021) 634 8744.

4.     Terlapor IV: PT Lion Express, yang beralamat di Jalan Raya Agave Nomor 55 Kedoya Selatan, Jakarta Barat, DKI Jakarta 11520 Nomor Telepon (021) 580 939 Fax (021) 225 80868.

����������� Dalam amar Putusan Perkara Nomor 07/KPPU-I/2020, salah satu keputusan yang diambil oleh Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah �Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor IV terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.�

Dapat dijelaskan Pasal 19 huruf d UU No. 5 Tahun 1999 berbunyi sebagai berikut:

�Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa: (d)melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.�

Oleh karenanya penulis perlu meneliti hasil dari Keputusan Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai sarana akademis dalam memberikan pendapat dari sisi Terlapor yang telah mendapatkan putusan tersebut demi mewujudkan� iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil, sesuai dengan tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha.

Makalah ini hanya membahas salah satu putusan yaitu pelanggaran Pasal 19 huruf d UU No. 5 Tahun 1999 yang dilakukan Terlapor I, II, dan IV. Sedangkan untuk amar putusan yang lainnya, yang jumlahnya sebanyak 5 (lima) butir amar putusan, tidak akan dibahas dalam makalah ini karena tidak sesuai dengan analisis empiris yang dilaksanakan oleh penulis.

����������� Dengan pembahasan yang telah disampaikan di atas, maka yang menjadi pokok studi kasus dalam makalah ini adalah:

1.     Apakah Keputusan Majelis Komisi telah melihat secara detail hasil laporan investigator, pemeriksaan saksi, dan penjelasan-penjelasan yang telah dilaksanakan secara daring (online) maupun langsung (offline) ?

2.     Bagaimana pertimbangan Majelis Komisi dalam menetapkan sanksi yang tercantum dalam putusan yang dimaksud ?

Metode Penelitian

Metode penyusunan makalah ini berdasarkan pada pendekatan empiris (Adiyanta, 2019) yang mana penulis merupakan pihak yang menerima kuasa dari Terlapor IV, yaitu PT Lion Express, yang beralamat di Jalan Raya Agave Nomor 55 Kedoya Selatan, Jakarta Barat, DKI Jakarta 11520 Nomor Telepon (021) 580 939 Fax (021) 225 80868. Penulis mengikuti dari tahapan mediasi dari para Pelapor di Batam di pertengahan tahun 2018, tahapan proses pemeriksaan investigator KPPU Daerah di Batam dan Medan, sampai dengan tahapan proses persidangan di KPPU Pusat Jakarta dari tahun 2019 sampai dengan tahun 2020.

����������� Penulis juga menggunakan sumber data seperti bahan-bahan persidangan, salinan keputusan, salinan penetapan dari Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan studi kepustakaan yang turut mendukung hukum persaingan usaha, serta bahan kepustakaan dalam angkutan udara niaga berjadwal untuk memperkuat analisis studi kasus dalam makalah ini.

 

Hasil dan Pembahasan

����������� Hukum persaingan merupakan salah satu perangkat hukum penting dalam ekonomi pasar (market economy). Melalui hukum persaingan usaha, pemerintah berupaya melindungi persaingan yang sehat antar pelaku usaha di dalam pasar (Adiyanta, 2019). Persaingan yang sehat akan memaksa pelaku usaha menjadi lebih efisien dan menawarkan lebih banyak pilihan produk barang dan jasa dengan harga yang lebih murah (Dikjaya, 2022). Pengalaman di banyak negara industri baru di Asia Timur terutama Korea Selatan dan Taiwan menunjukkan bahwa persaingan usaha yang sehat memaksa pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi dan mutu produk serta melakukan inovasi (Wie, 2004).

����������� Di Amerika Serikat, kedudukan hukum persaingan (Antitrust Law) diibaratkan seperti Magna Carta bagi kebebasan berusaha.Yang mana kebebasan ekonomi dan sistem kebebasan berusaha itu sama pentingnya dengan Bill of Rights yang melindungi Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat. Gellhorn dan Kovacic juga menegaskan bahwa hukum ini dapat berfungsi sebagai alat untuk mengontrol penyalahgunaan kekuatan ekonomi dengan mencegah terjadinya praktek monopoli, menghukum kartel, dan juga melindungi persaingan (Gellhorn, 2004).

����������� Maria Vagliasindi dalam kajiannya menyimpulkan bahwa implementasi efektif dari hukum persaingan usaha merupakan tugas yang sulit, serta memerlukan tingkat pengetahuan dan keahlian yang tinggi. Kondisi struktur awal yang terjadi dalam ekonomi transisi dari proteksi ke liberalisasi, khususnya pada negara berkembang seperti Indonesia, membuat implementasi hukum persaingan menjadi tugas yang lebih menantang daripada implementasi hukum persaingan pada negara maju. Hambatan masuk yang timbul dari konsentrasi pasar yang tinggi, kontrol dan kepemilikan pemerintah, serta hambatan administratif, semuanya tinggi di ekonomi transisi (Vagliasindi, 2002).

����������� Perkara persaingan usaha juga merupakan salah satu perkara hukum yang cukup rumit penanganannya dibandingkan perkara hukum lainnya, yang mana analisis dari ilmu pengetahuan yang lain seperti ilmu ekonomi, ilmu penerbangan, ilmu penerapan dalam dunia angkutan kargo, sangat diperlukan dalam proses pembuktiannya. Sehingga efektivitas implementasi dari suatu undang-undang persaingan usaha merupakan tugas yang sangat sulit dan memerlukan tingkat pengetahuan, koordinasi antar ahli yang terkait dengan dengan perkara, serta keahlian yang tinggi.

����������� Kehadiran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5 Tahun 1999) telah banyak memberikan arti bagi perubahan dalam iklim berusaha menjadi lebih sehat dibandingkan sebelum diberlakukan undang-undang ini. UU No. 5 Tahun 1999 sedikit demi sedikit mengembalikan kepercayaan pelaku usaha terhadap usaha pemerintah untuk mewujudkan iklim usaha yang sehat dan kondusif, yang dapat memberikan jaminan adanya kesempatan berusaha yang sama bagi setiap pelaku usaha, tanpa melihat besar kecilnya skala usaha mereka. Latar belakang diterapkan UU No. 5 Tahun 1999 adalah untuk meminimalkan hambatan berusaha di Indonesia, untuk mengisi kekosongan hukum mengenai pengaturan larangan persaingan usaha tidak sehat dan praktik monopoli sehingga menghindari adanya pemusatan ekonomi kepada salah satu pihak saja yang menguasai proses produksi sampai kepada pemasaran ke pengguna akhir, serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam memberikan laporan mengenai adanya praktik-praktik usaha yang tidak sehat serta merugikan salah satu pihak yang berusaha dan masyarakat pada umumnya (Rachmadi Usman, 2022).

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha dibentuk dengan tujuan sebagaimana disebutkan pada Pasal 3, yaitu:

a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat;

b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil;

c. Mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha;

d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Dalam rangka mewujudkan tujuan di atas maka Komisi Pengawas Persaingan Usaha selain aktif melaksanakan tugasnya dalam bidang penegakan hukum persaingan, juga aktif dalam hal pencegahan terjadinya pelanggaran persaingan usaha tidak sehat serta pengawasan kemitraan.

KPPU menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam beberapa pengaturan sektor yang mengimplementasikan persaingan sebagai mekanisme pengelolaannya. KPPU dalam beberapa hal telah diminta masukan oleh Pemerintah terkait dengan persoalan yang dihadapi, terutama yang memiliki indikasi hadirnya persaingan usaha tidak sehat dalam sektor tersebut. Hal ini antara lain dilakukan melalui Kementerian Perekonomian. Di sisi lain, secara aktif KPPU juga mengeluarkan beberapa saran pertimbangan yang diharapkan mampu mendorong terjadinya perbaikan kinerja sektor ekonomi. Beberapa kinerja sektor ekonomi serta merta berubah ke arah yang lebih baik saat Pemerintah memberlakukan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat di dalamnya sebagaimana yang terjadi dalam sektor telekomunikasi dan penerbangan.

����������� Sesuai dengan studi kasus mengenai Putusan Perkara Nomor 07/KPPU-I/2020, salah satu keputusan yang diambil oleh Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah �Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor IV terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999�, yang mana dijelaskan mengenai Pasal 19 huruf d yaitu �Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa: (d)melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.�

Dalam UU No. 5 Tahun 1999, dijelaskan:

1)    Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.

2)    Praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

3)    Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

4)    Praktik diskriminasi merupakan tindakan atau perlakuan dalam berbagai bentuk yang berbeda yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu (WAHYU HIDAYA, 2022).

Studi kasus terhadap Putusan Perkara Nomor 07/KPPU-I/2020 adalah mengenai pemenuhan unsur Pasal 19 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1999 yang mengatur �Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik� sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa: d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu�, yang mana unsur-unsur tersebut dapat disimpulkan dalam beberapa bagian berikut ini;

Penegasan unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 19 huruf d UU No. 5 Tahun 1999 adalah

A.     Unsur pelaku usaha

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

Pelaku usaha yang dimaksud adalah Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor III yang merupakan badan usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan serta melakukan kegiatan usaha angkutan udara dengan menjalankan perusahaan penerbangan berjadwal serta menjalankan kegiatan di bidang angkutan kargo dan tergabung dalam satu holding yaitu Lion Group.

B.      Unsur melakukan baik sendiri maupun bersama;

Kegiatan yang dilakukan sendiri oleh pelaku usaha merupakan keputusan dan perbuatan independen tanpa bekerja sama dengan pelaku usaha yang lain, sedangkan kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama merupakan kegiatan yang dilakukan oleh beberapa pelaku usaha dalam pasar bersangkutan yang sama yang mana� pelaku usaha mempunyai hubungan dalam kegiatan usaha yang sama.

Sesuai fakta persidangan bahwa Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor III menyetujui untuk menjual kapasitas kargo kepada Terlapor IV atas penggunaan kapasitas kargo sebesar 40 (empat puluh) ton per-hari untuk rute penerbangan yang telah disepakati dalam Perjanjian Kerjasama Nomor 004. Namun Terlapor III meskipun turut menyetujui dalam menjual kapasitas kargo kepada Terlapor IV tidak memiliki rute-rute penerbangan yang disepakati dalam Perjanjian Kerjasama Nomor 004, sehingga Terlapor III harus dianggap sebagai pihak yang tidak berkompeten untuk melaksanakan perjanjian atau setidak-tidaknya tidak terkait secara langsung melaksanakan perjanjian dimaksud dan unsur yang dimaksud tidak terpenuhi.

���� Perlu diperhatikan bahwa perjanjian kerjasama antara perusahaan penerbangan dengan agen kargo adalah perbuatan yang wajar dan lazim dilaksanakan, meskipun ada sedikit perbedaan yaitu di tiap-tiap perjanjian kerjasama antara perusahaan penerbangan dengan agen kargo tidak menyebutkan suatu bentuk nominal atau jumlah yang disetujui para pihak.

Menurut pendapat penulis, penyebutan nominal berupa ��penggunaan kapasitas kargo sebesar 40 (empat puluh) ton per-hari untuk rute penerbangan yang telah disepakati�� merupakan hal yang biasa dalam suatu perikatan bisnis. Sesuai dengan Asas-Asas Hukum Kontrak Perdata disebutkan sebagai berikut

1)    Asas Kebebasan Berkontrak

Yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak dapat dilihat secara implisit dalam Pasal 1338 ayat (1) jo Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), di antaranya yaitu para pihak memiliki kebebasan untuk

v Menentukan atau memilih klausa dari perjanjian yang akan dibuatnya;

v Menentukan objek perjanjian;

v Menentukan bentuk perjanjian;

v Menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional

(aanvullend, optional).

Meskipun para pihak memiliki kehendak bebas, merujuk pendapat Niewenhuis yang menegaskan, terdapat pengecualian kebebasan berkontrak, yakni dalam hal�������� kontrak-kontrak formal dan riil (bentuk perjanjian) dan syarat klausa yang diperbolehkan (isi perjanjian). Para Pihak bebas membuat perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum (Hernoko, 2014).

Penulis berpendapat bahwa ��penggunaan kapasitas kargo sebesar 40 (empat puluh) ton per-hari untuk rute penerbangan yang telah disepakati�� mengganggu ketertiban umum karena dapat diperlakukan sebagai tindakan monopoli adalah tidak tepat, karena terbukti Persentase Penguasaan Pasar Terlapor I = 35% dan Terlapor II = 9%, total hanya 44% dan tidak menguasai di atas 50% atau sampai di atas 75% pangsa pasar (jasa angkutan kargo) dalam Pasar bersangkutan yang sama, masih lebih banyak dikuasai oleh Pelaku Usaha pesaing lainnya yaitu Citilink 27% dan Garuda 27% total yang dikuasai Garuda Group 54%, masih lebih banyak dari Lion Group, sehingga membuktikan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III tidak menguasai pasar jasa angkutan kargo dan menjadi pelaku usaha yang dominan, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menyalahgunakan market power-nya/posisi dominan untuk dalih mengganggu ketertiban umum.

2)    Asas Konsensualisme

Yang dimaksud dengan asas konsensualisme yaitu para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju, atau se-iya sekata mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian yang diadakan itu. Asas ini tercantum dalam salah satu syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata. Apa yang dikehendaki oleh pihak satu, dikehendaki juga oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik (LUMBANBATU, 2020).

Dalam praktik dunia penerbangan kargo dapat digambarkan dalam Tabel 1 sebagaimana di bawah ini, yang artinya adalah setiap agen kargo wajib mengikuti situasi jumlah tonase yang dapat diangkut menurut ketersediaan yang tersisi di ruang kargo melalui suatu sistem informasi yang dapat diakses oleh setiap agen kargo yang terdaftar, aktif dan masih menjadi agen kargo dari perusahaan penerbangan. Sehingga bilamana adanya Perjanjian Kerjasama yang menyebutkan jumlah 40 ton per hari adalah sesuai dengan kapasitas yang diberikan oleh perusahaan penerbangan kepada agen kargo dalam hal ini Terlapor IV, dan Terlapor IV wajib memberikan pembayaran untuk jumlah tonase yang dapat diberikan oleh perusahaan penerbangan kepadanya dengan maksimum 40 ton per hari.

 

 

 

 

 

 

Tabel 1

Best Practice Airline Reservation

Sumber : (RATNASARI, 2017)

3)    Asas Pacta Sunt Servanda

Asas pacta sunt servanda berarti perjanjian yang dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sebagaimana dimaksud Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Para pihak wajib menaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana menaati undang-undang (Harahap, 2017).

4)    Asas Iktikad Baik (good faith)

Merujuk ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang dimaksud dengan iktikad baik berarti melaksanakan perjanjian dengan iktikad baik. Artinya, dalam melaksanakan perjanjian, kejujuran harus berjalan dalam hati sanubari seorang manusia. Pemahaman substansi iktikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata tidak harus diintepretasikan secara gramatikal, bahwa iktikad baik hanya muncul sebatas pada tahap pelaksanaan kontrak (WASTON, 2015).

C.     Unsur pelaku usaha lain

Pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang mempunyai hubungan vertikal maupun horizontal yang berada dalam satu rangkaian produksi dan distribusi baik di hulu maupun di hilir dan bukan merupakan pesaingnya (M Yahya Harahap, 2023).

Pendapat penulis bahwa Terlapor IV bukanlah pelaku usaha lain yang dimaksudkan oleh Pasal 19 Huruf d, karena maksud dari Pasal 19 Huruf d adalah pelaku usaha lain yang melakukan kegiatan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri-sendiri atau bersama pelaku usaha lain untuk melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu pada pasar bersangkutan yang sama, sedangkan Terlapor IV tidak melakukan hal tersebut karena notabene hanya merupakan PJT yang tidak memiliki kemampuan dan kekuasaan untuk melakukan atau memberikan persetujuan pengangkutan� kargo dari pelaku usaha tertentu, seperti jenis bidang usaha Jasa Angkutan Kargo yang dilakukan oleh Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor III, sebagai pihak perusahaan penerbangan. Dan Terlapor IV juga masih menggunakan sistem yang sama yang dipergunakan oleh agen kargo yang lainnya, seperti yang dijelaskan dalam Tabel 2 mengenai Skema Pergerakan Barang (Cargo Flow) di Batam, terlampir bawah ini.

Tabel 2

Skema Pergerakan Barang (Cargo Flow) Di Batam

Sumber :� (Sanger, 2021)

Dari gambar diatas dapat disimpulkan bahwa Terlapor IV tidak dalam satu rangkaian produksi dan distribusi baik di hulu maupun di hilir Terlapor lainnya.

D.     Unsur melakukan satu atau beberapa kegiatan

Unsur melakukan satu atau beberapa kegiatan adalah kegiatan yang dilakukan dalam bentuk kegiatan secara terpisah atau beberapa kegiatan sekaligus yang ditujukan untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing.

Pendapat penulis bahwa Terlapor I, Terlapor II dan Terlapor III, ketiganya memiliki kedudukan yang sama sebagai pelaku usaha angkutan udara niaga berjadwal yang menyediakan layanan jasa angkutan barang dari bandara tertentu ke bandara tujuan (port to port), sedangkan Terlapor IV kedudukannya merupakan Perusahaan Jasa Pengiriman Paket dan dokumen secara door to door ke seluruh wilayah Indonesia, sehingga terbukti Majelis Komisi tidak jelas menentukan kedudukan Terlapor IV sebagai Perusahaan Jasa Pengiriman Paket dan dokumen dor to door yang diduga menerima hak eksklusif, tidak memiliki kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar bersangkutan (karena tidak mempunyai rute, tidak berada dalam pasar bersangkutan yang sama) dimasukkan ke dalam unsur melakukan satu atau beberapa kegiatan.

E.      Unsur dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau Unsur persaingan usaha tidak sehat;

Makna kata dan/atau pada unsur dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat bersifat alternatif atau kumulatif, yang artinya bisa terpenuhi salah satu atau keduanya. Sesuai dengan Putusan Perkara Nomor 07/KPPU-I/2020, dalam makalah ini hanya membahas salah satu putusan yaitu pelanggaran Pasal 19 huruf d UU No. 5 Tahun 1999, mengenai Praktik diskriminasi merupakan tindakan atau perlakuan dalam berbagai bentuk yang berbeda yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu, sudah semestinya unsur mengenai monopoli dan persaingan usaha tidak terpenuhi dalam unsur ini, karena pendapat penulis, praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

Dalam hal ini baik Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV, sesuai dengan fakta persidangan tidak menguasai pangsa pasar 50% atau bahkan 75%, sesuai dengan bukti analisis yang dilaksanakan Majelis Komisi yaitu total hanya 44% dan tidak menguasai diatas 50% atau sampai diatas 75% pangsa pasar (jasa angkutan kargo) dalam Pasar bersangkutan yang sama, masih lebih banyak dikuasai oleh Pelaku Usaha pesaing lainnya yaitu Citilink 27% dan Garuda 27% total yang dikuasai Garuda Group 54%, masih lebih banyak dari Lion Group, sehingga membuktikan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III tidak menguasai pasar jasa angkutan kargo dan menjadi pelaku usaha yang dominan, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menyalahgunakan market power-nya/posisi dominan untuk melakukan diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu pada pasar bersangkutan yang sama, sehingga mengakibatkan pasar terganggu, terjadi praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (Jati, 2022).

F.      Unsur melakukan praktik diskriminasi.

Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2011 praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu merupakan penentuan perlakuan dengan cara yang berbeda mengenai persyaratan pemasokan atau persyaratan pembelian barang dan/atau jasa (tanpa adanya justifikasi). Praktik diskriminasi diartikan sebagai perbuatan yang tidak mempunyai justifikasi secara sosial, ekonomi, teknis, maupun pertimbangan efisiensi lainnya. Praktik diskriminasi harus memiliki dampak menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat baik di level horizontal (di pasar pelaku praktik diskriminasi) dan atau di level vertikal (di pasar korban praktik diskriminasi).

Dalam amar keputusannya, Majelis Komisi berpendapat perilaku diskriminatif yang dilakukan oleh Terlapor I dan Terlapor II mengakibatkan terhambatnya pelaku usaha lain selain Telapor IV yaitu PT Jasamitra Nusantara Express menggunakan jasa layanan Terlapor I dan Terlapor II pada kurun waktu bulan Juli-September 2018.

Pendapat penulis bahwa Majelis Komisi tidak melihat dengan detail mengenai pelaku usaha lain yang merasa terhambat, yaitu PT Jasamitra Nusantara Express karena sesuai dengan Keterangan Para Saksi dalam bab Pemberlakuan Kerjasama Pengangkutan yang Mengistimewakan Terlapor IV, saksi� Asep Sopandi dari PT Jasa Mitra Kargo yang merupakan salah satu agen kargo Terlapor I, Terlapor II dan Terlapor III pada pokoknya menyatakan bahwa PT Jasa Mitra Kargo dan���������������� PT Jasamitra Ekspress Nusantara dimiliki oleh pihak yang sama dan berkantor di lokasi yang sama. Meskipun sama namun yang tercantum di dalam keagenan kargo dengan pihak perusahaan penerbangan adalah PT Jasa Mitra Kargo, dan bukan PT Jasamitra Ekspress.

Sesuai dengan fakta persidangan bahwa Saksi tidak ingat siapa yang tercantum secara resmi� dalam perjanjian keagenan kargo Lion Air Group merupakan suatu bentuk saksi yang dihadirkan tidak kompeten dan sepatutnya tidak dapat dijadikan bukti bahwa Para Terlapor memenuhi unsur diskrimanasi.

Sesuai dengan asas �Unus testis nullus testis� yang terdapat dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP yaitu: �Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya�. Isi pasal ini menjelaskan bahwa satu alat bukti tidak dapat membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Dari 13 (tiga belas) saksi yang merupakan Pelapor yang dihadirkan investigator KPPU, hanya 1(satu) orang saja yang dijadikan rujukan untuk pemenuhan unsur praktik diskriminasi yang dilakukan Para Terlapor. Sehingga pembuktian unsur tersebut menjadi sumir dan terkesan dipaksakan hanya berdasarkan analisis dari Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

A.    Pembahasan mengenai Rekomendasi Majelis Komisi

Putusan Perkara Nomor 07/KPPU-I/2020 juga memuat mengenai rekomendasi-rekomendasi Majelis Komisi yang pada intinya :

1)    Menugaskan Kedeputian Kajian dan Advokasi agar melakukan pengawasan terhadap Terlapor I, Terlapor II dan Terlapor IV agar melaksanakan Putusan Majelis Komisi yang pada prinsipnya:

�       Pada butir ke-3, memerintahkan Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor IV tidak mengulangi perbuatan sebagaimana pelanggaran Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;

�       Pada butir ke-4 dan ke-5, menghukum Terlapor I, Terlapor II dan Terlapor IV masing-masing membayar denda sejumlah Rp.1.000.000.000 (satu miliar) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja KPPU melalui bank pemerintah dengan kode penerimaan 425812 (pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha), yang mana denda tersebut tidak perlu dilaksanakan, kecuali jika dalam jangka waktu 1 (satu) tahun semenjak Putusan ini berkekuatan hukum tetap Terlapor I, Terlapor II dan Terlapor IV melakukan pelanggaran Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

2)    Menghimbau kepada Terlapor I, Terlapor II dan Terlapor IV untuk melaksanakan program kepatuhan terhadap Undang - Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

����������� Pendapat penulis mengenai rekomendasi yang diberikan Majelis Komisi sepertinya sebagai pengulangan yang memperkuat untuk Para Terlapor tidak melakukan tindakan yang sama yaitu melanggar Pasal 19 huruf d Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sedangkan sesuai dengan fakta persidangan bahwa perjanjian kerjasama antara Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III dengan Terlapor IV sudah berakhir yaitu dengan periode tanggal 1 Juli 2018 sampai dengan tanggal 15 September 2018 (Kamal & Azzam, 2019). Sehingga rekomendasi yang dibuat yaitu berdasarkan dari analisis Majelis Komisi atas kenaikan tonase Terlapor IV yang diangkut oleh Terlapor I dan Terlapor II, serta adanya kesaksian serta perhitungan dari 1 (satu) orang saksi yaitu PT Jasa Mitra Kargo dan/atau PT Jasa Mitraekspres yang mana dari 13 (tiga belas) saksi yang diajukan oleh Investigator KPPU hanya 1 (satu) yang dipergunakan Majelis Komisi (asas Unus testis nullus testis), dan kesaksian dari 1 (satu) orang saksi tersebut tidak kompeten untuk dijadikan dalil penjatuhan sanksi atau hukuman kepada Para Terlapor.

����������� Selanjutnya, himbauan Majelis Komisi dalam amar putusannya agar Para Terlapor untuk melaksanakan Program Kepatuhan terhadap Undang - Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, ternyata baru di-sah-kan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2022 tentang Program Kepatuhan Persaingan Usaha, ditetapkan pada tanggal 23 Maret 2022 dan diundangkan pada Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 313 tanggal 24 Maret 2022. Terdapat jeda sekitar 360 (tiga ratus enam puluh) hari sejak Putusan Nomor 07/KPPU-I/2020 dibacakan oleh Majelis Komisi dan terbuka untuk umum pada tanggal 29 Maret 2021. Sehingga Para Terlapor, termasuk Terlapor I, baru dapat melaksanakan Program Kepatuhan KPPU secara penuh setelah Program Kepatuhan tersebut di-sah-kan dan diundangkan oleh KPPU sendiri.

����������� Apakah kondisi di atas dapat dikaitkan dengan asas non-retroaktif, yaitu asas yang melarang keberlakuan surut dari suatu undang-undang. Menurut Wirjono (Prodjodikoro, 2018), larangan keberlakuan surut ini bertujuan untuk menegakkan kepastian hukum bagi penduduk/masyarakat, yang selayaknya ia harus tahu perbuatan apa yang merupakan tindak pidana atau tidak. Dalam konstitusi Indonesia, asas non retroaktif dianut sebagai asas yang mutlak keberlakuannya. Dari studi kasus di atas, Program Kepatuhan Persaingan Usaha, ditetapkan pada tanggal 23 Maret 2022 dan diundangkan pada Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 313 tanggal 24 Maret 2022 termasuk hal yang berlaku surut untuk suatu Keputusan Nomor 07/KPPU-I/2020 dibacakan oleh Majelis Komisi dan terbuka untuk umum pada tanggal 29 Maret 2021. Namun diperlukan suatu studi lebih lanjut yang akan membahas keberlakuan asas non retroaktif terhadap keputusan yang bersifat hukum yang diambil oleh lembaga non litigasi formal.�

B.    Penetapan Hasil Pengawasan Pelaksanaan Putusan Nomor 07/KPPU-I/2020

Selama proses pengawasan yang dilakukan selama 1 (satu) tahun setelah Putusan KPPU Nomor 07 /KPPU-I/2020 berkekuatan hukum tetap, artinya Para Terlapor tidak mengajukan Proses Banding dan menerima hasil Putusan KPPU tersebut dengan faktor efisiensi dan ekonomis, maka Majelis Komisi berdasarkan Laporan Hasil Pengawasan, menyimpulkan bahwa Terlapor I, Terlapor II dan Terlapor IV telah melakukan perubahan perilaku dan tidak melakukan praktik diskriminasi kepada agen Surat Muatan Udara (SMU) pesaing.

Namun dalam butir ke-3 Penetapan Hasil Pengawasan, Majelis Komisi menetapkan agar Para Terlapor melaksanakan Program Kepatuhan terhadap�� Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal penetapan ini.

Sebelum penetapan ini dikeluarkan, penulis yang juga sebagai yang diberikan kuasa oleh Terlapor IV dan penanggung jawab untuk pemenuhan kepatuhan untuk hasil Keputusan KPPU Nomor 07 /KPPU-I/202, telah melaksanakan, membuat, dan mengirimkan Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan Terhadap Kegiatan Workshop KPPU, Pedoman Perilaku Bisnis Kebijakan Umum Mengenai Hukum dan� Perilaku Bisnis PT Lion Express (sebagai Terlapor IV), dan Laporan Pelaksanaan Putusan KPPU Nomor 07 /KPPU-I/202, yang pada intinya dapat dilihat pada screenshot dari Surat yang dikirimkan kepada Ketua KPPU Pusat, tertanggal 23 Maret 2022, sebagai berikut:

Halaman ke-1������������������������������������������������ Halaman ke-2

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

����������� Dalam hal ini, Terlapor IV pada khususnya telah melaksanakan segala yang diamanatkan dalam Putusan KPPU Nomor 07 /KPPU-I/202, bahkan sama tanggal atau sebelum diundangkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia mengenai Program Kepatuhan terhadap Undang - Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, di-sah-kan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2022 tentang Program Kepatuhan Persaingan Usaha, tanggal 23 Maret 2022 dan diundangkan pada Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 313 tanggal 24 Maret 2022.

 

Kesimpulan

Dalam menjalankan kegiatan usaha, pelaku usaha harus memperhatikan rambu-rambu yang diatur dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1999, sehingga dapat terwujud persaingan usaha yang sehat.

����������� Dalam studi kasus ini, penulis menggarisbawahi mengenai Putusan Perkara Nomor 07/KPPU-I/2020, salah satu keputusan yang diambil oleh Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah �Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor IV terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999�, yaitu �Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa: (d)melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu�. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah pemenuhan unsur-unsur dalam keputusan tersebut yang banyak tidak menyentuh secara komprehensif dalam aktualisasi perbuatan pelaksanaan kerjasama angkutan barang/kargo, sehingga dapat terjadi multi tafsir dan pengertian yang berbeda.

Perusahaan yang terbukti telah melakukan pelanggaran hukum persaingan usaha dan telah dijatuhi hukuman oleh KPPU akan mengakibatkan hilangnya nama baik perusahaan, dan hal tersebut secara otomatis menurunkan reputasi perusahaan. Perusahaan yang dinyatakan melanggar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 juga menjadi tidak menarik bagi mitra bisnis, investor maupun konsumen yang memiliki perhatian khusus terhadap masalah etika dan citra baik perusahaan. Untuk itu pelaksanaan Program Kepatuhan sangat perlu dilaksanakan untuk bersama-sama membangun suatu komunitas bisnis yang baik, adil dan berkeadilan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia ber-falsafah-kan Pancasila.

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adiyanta, F. C. Susila. (2019). Hukum Dan Studi Penelitian Empiris: Penggunaan Metode Survey Sebagai Instrumen Penelitian Hukum Empiris. Administrative Law And Governance Journal, 2(4), 697�709.

 

Dikjaya, Arby Pratama. (2022). Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Praktik Monopoli Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Universitas Islam Kalimantan Mab.

 

Gellhorn, Ernest. (2004). Antitrust Law And Economics In A Nutshell. [Kiip] 한국지식재산연구원 도서 Db, 2004, 0.

 

Harahap, M. Yahya. (2017). Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan. Sinar Grafika.

 

Hernoko, Agus Yudha. (2014). Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial (Edisi Pertama. Jakarta: Prenadamedia Group.

 

Jati, Estri Dewangga Cadipa. (2022). Praktek Diskriminasi Kapasitas Kargo Oleh Lion Air Group (Studi Kasus Putusan Kppu Nomor 07/Kppu-I/2020). Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.

 

Kamal, Ubaidillah, & Azzam, Abdullah. (2019). Kajian Yuridis Praktek Persekongkolan Dalam Tender Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Studi Putusan Kppu Perkara Nomor 16/Kppu-I/2016). Jurnal Meta-Yuridis, 2(1).

 

Lumbanbatu, Zenris Renaldo. (2020). Pelindungan Hukum Konsumen Perumahan Di Kota Palu. Universitas Tadulako.

 

M Yahya Harahap, S. H. (2023). Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Sinar Grafika.

 

Prodjodikoro, Wirjono. (2018). Perbuatan Melanggar Hukum Di Pandang Dari Sudut Hukum. Bandung: Mandar Maju.

 

Rachmadi Usman, S. H. (2022). Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Sinar Grafika.

Ratnasari, Baiq. (2017). Analisis Putusan Kppu Nomor 04/Kppu-1/12016 Tentang Praktek Monopoli Dalam Perjanjian Penetapan Harga Sepeda Motor Matik. Universitas Mataram.

 

Sanger, Brigitte Dewinta Naftalia. (2021). Tinjauan Yuridis Problematika Penegakan Hukum Persaingan Usaha Dalam Menciptakan Kepastian Hukum. Lex Administratum, 9(3).

 

Vagliasindi, Maria. (2002). Competition Across Transition Economies: An Enterprise-Level Analysis Of The Main Policy And Structural Determinants. Available At Ssrn 314273.

 

Wahyu Hidaya, Tirrahmani. (2022). Analisis Yuridis Terhadap Persaingan Usaha Tidak Sehat Dalam Kerjasama Pengangkutan Kargo (Studi Putusan Kppu Pasal 19 Nomor 07/Kppu-I-2020). Universitas Mataram.

 

Waston, Frans. (2015). Tinjauan Yuridis Terhadap Adanya Wanprestasi Dalam Memorandum Of Understanding Pt. Matahari Anugerah Perkasa Dengan Cv. Ponorogo Di Kota Medan. Premise Law Journal, 11, 14118.

 

Wie, Thee Kian. (2004). Kebijakan Persaingan Dan Undang-Undang Antimonopoli Dan Persaingan Di Indonesia.� Dalam Buku Pembangunan. Kebebasan. Dan �Mukjizat� Orde Baru. Cet, 1.

 

Copyright holder:

Victor Ary Subekti, Utji Sri Wulan Wuryandari (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: