Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 2, Februari 2023

 

RASIONALITAS TINDAKAN SABUNG AYAM DI KALANGAN PENGGEMAR

 

Abdul Munir, Sobri

Jurusan Kriminologi, Universitas Islam Riau, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Sabung ayam adalah fenomena sosial yang melekat dalam masyarakat. Ada kecenderungan kegiatan sabung ayam dengan judi di dalamnya. Tentu ada motivasi atau pertimbangan logis dari penggemar memilih sabung ayam sebagai alat untuk berjudi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan verstehen. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan informan kunci ditambah dengan data kepustakaan berupa teori atau penelitian sebelumnya. Analisis data dilakukan secara kualitatif, dengan melakukan interpretasi mendalam terhadap hasil wawancara. Kemudian lakukan pengkodean atau pelabelan bagian data yang identik dengan tema masalah, disusun secara berurutan, untuk analisis lebih lanjut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di kalangan penggemar, sabung ayam digunakan sebagai alat yang paling aman untuk kegiatan perjudian. Pilihan berjudi melalui sabung ayam sangat logis bagi mereka, berangkat dari pertimbangan karena tidak ada reaksi sosial dari masyarakat, baik berupa larangan, melapor ke pejabat, atau melabeli mereka sebagai perilaku menyimpang. Aktivitas judi sabung ayam oleh masyarakat setempat dinilai terbatas pada tradisi atau hobi hiburan belaka, tanpa ingin memahami konteks judi sebagai turunannya. Situasi ini kondusif bagi para penjudi sabung ayam, dimana mereka merasa nyaman melakukan kegiatan perjudiannya tanpa merasa bersalah dan disalahkan.

 

Kata Kunci:�Rasionalitas, Penyimpangan, Sabung Ayam, Reaksi Sosial.

 

Abstract

Cockfighting is a social phenomenon inherent in society. There is a tendency for cockfighting activities with gambling in it. Of course there are motivations or logical considerations from fans choosing cockfighting as an instrument for gambling. This study uses a qualitative method with a verstehen approach. The data used are primary data obtained through in-depth interviews with key informants coupled with literature data in the form of theories or previous research studies. Data analysis was carried out qualitatively, by making in-depth interpretation of the results of the interviews. Then do the coding or labeling of the part of the data that is identical to the theme of the problem, arranged sequentially, for further analysis. The results of the study show that among fans, cockfighting is used as the safest instrument for gambling activities. The choice to gamble through cockfights is very logical for them, departing from considerations because there is no social reaction from society, whether in the form of prohibitions, reporting to officials, or labeling them as deviant behavior. The activity of cockfighting gambling by the local community is considered to be limited to a tradition or a hobby for mere entertainment, without wanting to understand the context of gambling as its derivative. This situation is conducive for cockfighting gamblers, where they feel comfortable carrying out their gambling activities without feeling guilty and blamed.

 

Keywords: Rationality, Deviance, Cockfighting, Social Reaction.

 

Pendahuluan

Sejarah mencatat dalam The History of Java yang terbit pertama kali pada tahun 1817, dikatakan bahwa sabung ayam dan adu burung puyuh telah menjadi perlombaan yang sudah sangat umum dilakukan di kalangan masyarakat Jawa pada kala itu (Raffels, 2014: 241). Anthony Reid dalam karyanya Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680 Volume One: The Lands Below the Winds, juga menerangkan dari masa pra-Islam, di Jawa dan di Bali, praktik sabung ayam memiliki ragam makna, dilakukan dalam ritus sosial, keagamaan. Selanjutnya darah ayam sabungan dipandang sebagai korban untuk menyenangkan dewa-dewa, demi kesuburan, demi upacara penyucian, dan untuk merayakan keberhasilan perang (Reid, 2011).

Dalam pandangan lain, antropolog terkemuka, Clifford James (Geertz, 1992) melalui essay nya tentang �Deep Play: Notes on The Balinese Cockfight� sebuah riset berbasis etnografi� yang dilakukan pada tahun 1958, bahwa sabung ayam bagi masyarakat Bali dianggap sebagai simbol ekspresi dari status, otoritas, dan lain sebagainya (Geertz, 1992).

Oleh karena itu hingga saat ini, sabung ayam masih sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kegemaran sabung ayam oleh sebagian masyarakat dapat terlihat baik bersifat orang-perorangan maupun yang tergabung dalam satu komunitas (pecinta sabung ayam). Mereka yang tergabung dalam komunitas, menganggap aktifitas sabung ayam tak lebih sebagai bagian dari hobi sekaligus melestarikan budaya leluhur.

Lepas dari persoalan tradisi atau budaya, bahwa muncul anggapan menghubungkan fenomena sabung ayam identik dengan perjudian. Hal ini seolah menjadi fakta tersendiri yang tidak dapat dipungkiri dilapangan. Sehingga pandangan seperti yang dikemukakan (Geertz, 1992), tentang sabung ayam dari persfektif etnografi budaya, sebagai simbol dari status, kekuasaan, ritus agama dan sebagainya, seolah telah bergeser makna yang oleh mereka menjadikannya sebagai instrumen dalam melakukan aktifitas perjudian.

Sebagai antropolog, Geertz dan Reid tentu tidak membahas secara spesifik kaitan perilaku budaya dengan tindakan penyimpangan. Sebab budaya sendiri merupakan keseluruhan dari keyakinan, nilai dan kebiasaan yang dipelajari oleh suatu kelompok masyarakat tertentu yang membantu mengarahkan perilaku (Sumarwan & Tjiptonon, 2019). Oleh karena itu, dapatlah dimaklumi jika pendekatan budaya tidak untuk dipakai mengukur kualitas tindakan atau perilaku, sebab perilaku sendiri bagian dari budaya.

Saat ini isu perjudian selalu menjadi penyerta dalam setiap kegiatan sabung ayam dilakukan. Pada konteks itulah menjadi penting untuk difahaminya logika atau rasionalitas mereka yang menjadikan sabung ayam sebagai pilihan dalam melangsungkan aktifitas perjudian. Memahami sesuatu yang tersembunyi dari mengapa dilakukannya tindakan sabung ayam dan bukan tindakan yang lain dalam aktifitas perjudian, sudah barang tentu memiliki konsekuensi logis dan masuk akal dari mereka selaku pelaku. Bagaimanapun sebuah perilaku sosial yang muncul dan tampak kepermukaan itu hanyalah satu gejala dari apa yang tersembunyi dari munculnya perilaku itu sendiri. Baru dapat difahami atau dijelaskan manakala bisa diungungkap atau dibongkar apa yang tersembunyi dalam dunia kesadaran si pelaku (Bungin, 2011).

Tindakan Perilaku Menyimpang, dari perspektif kriminologis, perilaku menyimpang merupakan sebuah kajian yang aktual, mandiri, dan menarik. Menurut Hisyam & Hamid, perilaku menyimpang (deviant behaviour) merupakan semua tindakan yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem tata sosial masyarakat yang dalam tindakannya dapat� dilakukan secara sadar atau tidak sadar yang berakibat timbulnya korban maupun tanpa korban (2015 : 8).

Selanjutnya, perilaku menyimpang yang menimbulkan korban dapat dikategorikan sebagai kejahatan, pelanggaran, dan kenakalan. Sedangkan perilaku menyimpang yang tidak menimbulkan korban disebut penyimpangan, dimana korbannya adalah diri sendiri (Hisyam & Hamid, 2015).

Senada dengan di atas, dalam pandangan kriminologi, antara kejahatan dan perilaku menyimpang merupakan dua konsep yang berbeda namun sama-sama sebagai objek kajian utama disamping juga korban dan reaksi sosial. Konteks yang membedakan antara kejahatan dan penyimpangan adalah unsur kerugian yang ditimbulkannya. Jika kejahatan melahirkan kerugian fisik, fsikis dan materi, maka tindakan penyimpangan hanya berkaitan dengan pelanggaran terhadap norma-norma sosial yang kecenderungannya tidak melahirkan secara langsung kerugian berupa fisik dan materi terhadap orang lain (Mustofa, 2013).

Rasionalitas Tindakan Perilaku Menyimpang, menurut Adiwarman A. Karim, menerangkan, yang dimaksud dengan rasionalitas adalah anggapan bahwa manusia berperilaku secara rasional (masuk akal), dan tidak akan secara sengaja membuat keputusan yang akan menjadikan mereka lebih buruk (Firmansyah, 2021).

 

Selanjutnya, perilaku rasional sendiri dapat mempunyai dua makna, berkaitan dengan metode dan hasil. Dalam makna metode, perilaku rasional berarti �action selected on the basis of reasoned thought racher than out of habbit, prejudice or emotion� (tindakan yang dipilih berdasarkan pikiran yang beralasan, bukan berdasarkan kebiasaan, prasangka, atau emosi). Sedangkan dalam makna hasil, perilaku rasional berarti �action that actually secceeds in achieving desired goals� (tindakan yang benar-benar dapat mencapai tujuan yang ingin dicapai) (Firmansyah, 2021).

Konsep rasional berasal dari satu akar kata Rasio, reason (Inggris), ratio (latin) yang berarti hubungan atau pikiran. Sedangkan dalam bahasa Yunani tedapat tiga istilah yang secara garis besar memiliki arti yang sama yaitu : phronesis, nous, dan logos. Rasionalisme (Inggris : rationalism) adalah sebuah pendekatan filosofis yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul, dan bebas dari pengamatan indrawi (Lorens, 2005).

Dalam hal lain, Loren menjelaskan tentang rasionalisasi yang secara hakiki memiliki dua artian, yaitu posotif dan negatif. Artian positifnya adalah membuat rosional (masuk akal) atau membuat sesuatu dengan akal budi atau menjadi masuk akal. Sedangkan artian negatifnya adalah pembenaran berdasarkan motif-motif tersembunyi (yang biasanya egoistik). Dalam artian negatif ini, alasan-alasan yang diberikan dalam rasionalisasi umumnya adalah penemuan-penemuan yang tidak benar yang lebih dapat diterima oleh ego seseorang ketimbang kebenaran itu sendiri (Lorens, 2005).

Dengan demikian menurut Loren, rasionalisasi adalah suatu upaya untuk menjadikan atau membuat sesuatu itu menjadi rasional (masuk akal) dengan memberikan alasan-alasan agar sesuatu itu dapat diterima oleh akal dan diterima oleh orang lain (Lorens, 2005).

Sedangkan dalam pandangan Max Weber, konsep rasionalisasi dihubungkan dengan tindakan individu yang subjektif. Tindakan subjektif individu itu kemudian menjadi basis dari teori Weber yang terkenal tentang tindakan sosial (social action). Adapun yang dimaksudkan dengan tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi pelaku yang diarahkan kepada orang lain atau sebaliknya tindakan yang dilakukan atas respon dari tindakan orang lain (Wirawan, 2012).

Selanjutnya makna subjektif (a subjective meaning) bagi dan dari aktor dalam bertindak tersebut dapat secara terbuka maupun yang tertutup, yang diutarakan secara lahir maupun diam-diam, yang oleh pelakunya diarahkan pada tujuannya. Sehingga tindakan sosial itu bukanlah perilaku yang kebetulan tetapi memiliki pola dan struktur tertentu dan makna tertentu (Wirawan, 2012).

Dengan demikian, disimpulkan oleh Weber, bahwa idelah (rasionalitas) yang menentukan tindakan individu, meskipun ide itu merupakan sesuatu empiris simbolis, namun menjadi wujud nyata saat dihubungkan kedalam tindakan (Wirawan, 2012).

Masih menurut Weber, apa yang dianggap sebagai fakta sosial (kenyataan sosial) adalah sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan sosial (Wirawan, 2012). Max Weber tegas dan konsisten dalam teori tindakan sosialnya menjelaskan individu manusia dalam masyarakat merupakan aktor yang kreatif dan realitas sosial bukan merupakan alat yang statis dari pada paksaan sistem norma. Artinya, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma, kebiasaan, nilai, dan sebagainya yang tercakup di dalam konsep fakta sosial seperti pandangan Duerkheim (Wirawan, 2012).

Apa yang dianggap Weber sebagai tindakan sosial (fakta sosial) hubungannya dengan motivasi tindikan individu barangkali dapat diambil contoh seperti fakta terorisme. Terorisme adalah yang difahami secara umum sebagai tindakan ideologi atas dasar agama dengan tema-tema jihad nya. Akan tetapi tindakan serupa itu bisa saja dilakukan dalam subyektifitas atau motivasi lain dari pelaku katakanlah untuk balas dendam atau kepentingan politik agar semua orang mengalami islamopobia (kebencian terhadap islam). Dari contoh itu, tema-tema agama seperti �jihad�, menjadi rasional dipakai sebagai instrumen oleh pelaku dalam menjalankan aksi terorisme.

Guna mengukur tindakan dari individu atau masyarakat yang penuh dengan makna subyektifitas (rasionalitas) itu, Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen sebagai cara untuk memahaminya. Bahwa seseorang dalam bertindak tidak haya sekedar melaksanakannya tetapi juga menempatkan diri dalam lingkungan berfikir dan perilaku orang lain. Konsep pendekatan ini lebih mengarah pada suatu tindakan bermotif pada tujuan yang hendak dicapai atau in order to motive (Wirawan, 2012).

Menurut Weber terdapat dua tipe tindakan sosial rasional yang memiliki arti-arti subjektif . Semakin rasional tindakan sosial itu maka semakin mudah dipahami. Diantara tipe tindakan rasional tersebut antara lain,� (Ritzer & Goodman, 2010) :

1.     Tindakan Rasionalitas Instrumental (Zwerk Rational)

Tindakan ini merupakan suatu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu serta tersedianya alat atau instrumen yang dapat dipergunakan untuk mencapainya. Contohnya : Seorang pecandu alkohol yang tidak dapat lepas dari kebiasaan itu merasa tidak nyaman mengkonsumsi alkohol di sembarang tempat karena ia sadar hal itu terlarang dalam norma sosial. Akhirnya yang bersangkutan memilih untuk mengganti kemasan minuman beralkohol tersebut kedalam kemasan minuman mineral sehingga orang lain akan menganggapnya sebagai minuman biasa atau halal. Tindakan ini oleh pecandu alkohol tadi telah dipertimbangkan dengan matang agar ia mencapai tujuan menghindari penilaian negatif dari orang lain.

2.     Tindakan Rasional Nilai (Werk Rational).

Sedangkan tindakan rasional nilai memiliki sifat bahwa alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. Contoh : perilaku beribadah atau seseorang mendahulukan orang yang lebih tua ketika antri sembako. Artinya, tindakan sosial ini telah dipertimbangkan terlebih dahulu karena mendahulukan nilai-nilai sosial maupun nilai agama yang ia miliki.

Rasionalitas tindakan penyimpangan juga dikembangkan oleh Sykes & Matza, melalui Techniques of Neutralization (teori pembenaran). Melalui teorinya� tentang penyimpangan, bahwa penyimpangan tidak hanya dilakukan oleh mereka yang menolak nilai dan norma masyarakat, melainkan juga terhadap mereka yang menerima� dan menganut nilai dan norma masyarakat (Ward et al., 1994).

Pada teknik netralisasi yang dikemukakan oleh (Sykes & Matza, 2017) bahwa orang akan melakukan pembenaran terhadap tindakan yang dilakukan, dengan merasionalkan tindakannya sehingga aturan norma yang �berlaku menjadi longgar. Tindakan merasionalkan penyimpangan ini merupakan wujud pembelaan diri agar terhindar dari sanksi moral yang ada.

Dalam pandangan yang lain, tindakan merasionalkan penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang dapat juga terjadi disebabkan adanya fleksibilitas nilai-nilai norma dalam masyarakat. Artinya adalah tidak terdapatnya aturan yang mengikat ditengah kehidupan sosial masyarakat dalam semua situasi (Hill, 1961).

Esensi dari proses� netralisasi menurut Sykes dan Matza terjadi saat seseorang menjustifikasi penyimpangannya sebelum mereka melakukan penyimpangan itu sendiri (Ward et al., 1994). Artinya, proses justifikasi penyimpangan sudah terjadi sebelum tindakan penyimpangan itu dilakukan. Sykes dan Matza juga mengemukakan bahwa baik anak-anak maupun orang dewasa sama-sama melakukan rasionalisasi norma-norma dan nilai-nilai yang berfungsi sebagai pembelaan diri sendiri pada saat mereka melakukan tindakan perilaku menyimpang dan rasionalisasi ini berdasarkan persepsi dan kepentingan mereka sendiri (Ismawati & Lolita, 2021).

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif� satu metode yang berupaya mengungkap gejala secara menyeluruh (wholistic) sesuai dengan situasi lapangan apa adanya (contextual) melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan peneliti sebagai instrumen (human instrument) kunci (Usman, 2009). Dalam hal itu, peneliti adalah sebagai penentu dari kegiatan penggalian informasi terhadap gejala atau fenomena yang akan dijelaskan dalam penelitian. Dalam pengertian lain, hubungan antara peneliti dengan sumber informasi (informen) bersifat melekat atau tidak berjarak. Peneliti harus masuk dalam sudut pandang subjek (informen), sehingga informasi yang didapat sesuai dengan isi bathin atau pemahaman murni subjek dilapangan. Hal itulah yang nantinya menjadi poin peneliti menjelaskan makna (verstehen) dari data� wawancara lapangan secara mendalam, yang disajikan pada bab pembahasan.�

Jenis penelitian yang dipakai masuk dalam kategori studi fenomenologi. Dalam pandangan fenomenologi bahwa apa yang tampak dipermukaan, termasuk pola perilaku manusia sehari-hari hanyalah suatu gejala atau fenomena dari apa yang tersembunyi di �kepala� sang pelaku (Bungin, 2011) . Oleh karena itu tanpa memahami stok pengetahuan dan pemahaman diri para pelaku, maka mustahil dapat menjelaskan berbagai gejala yang muncul ditingkat permukaan. Karenanya proses penhayatan (verstehen) menjadi kata kunci sebagai dasar menjelaskan fenomena sosial sehari-hari (Bungin, 2011).

 

 

Hasil dan Pembahasan

Aktifitas rutin sabung ayam di lokasi dimana penelitian ini dilakukan, menunjukkan� sebuah motif ganda dan bias dilihat dari sudut pandang penggemar sabung ayam. Sesungguhnya sabung ayam bukan semata-mata dilakukan dalam rangka melanggengkan tradisi ataupun wujud dari sebuah hobi dalam merawat ayam jago yang dapat dinikmati ketangkasannya saat berlaga. Hal yang mendominasi pemikiran mereka adalah kaitan dengan perjudiannya. Melakukan aktifitas perjudian melalui kemasan sabung ayam, menjadi satu pilihan yang paling logis untuk dilakukan dibanding berjudi dalam bentuk lain, katakanlah seperti judi kartu maupun judi online. Pilihan logis itu mengacu kepada sebuah pertimbangan resiko, baik resiko sosial muapun hukum dari dilakukannya tindakan tersebut.

Reaksi Sosial Terhadap Perilaku Menyimpang

Pada prinsipnya reaksi sosial maupun reaksi masyarakat atas kejahatan dan penyimpangan, merupakan usaha dalam rangka pencegahan atau penanggulangan (Aulina, 2017). Dengan demikian, segala upaya penanggulangan kejahatan atau penyimpangan dapat pula diartikan sebagai bentuk-bentuk pengendalian sosial. Secara umum sikap masyarakat di lokasi dimana penelitian ini dilakukan� cukup memberikan perhatian serius terhadap bentuk-bentuk perilaku menyimpang sebagai upaya pengendalian sosial. Katankalah seperti; pencurian, penggunaan narkoba, alkoholik, perjudian kartu atau togel dan seterusnya.

�...mudah-mudahan dilingkungan kita ini lumayan adalah kepedulian masyarakat untuk saling menjaga. kalau ndak sekarang susah memang, anak-anak muda ya yang tua juga narkoba, minum-minum seperti diluar sana kan was-was kita. disini ndak bisa, ndak bisa bebas...orang kumpul-kumpul main judi macem apatu, agen togel diwarung biasanya itu disini ndak boleh, ndak ada, kumuh rasanya kalau udah ada yang gitu-gitu. Dia pantang itu dibiarkan sekali nanti keterusan ya...�

Sumber : Hasil wawancara dengan ketu RW.04 Dusun 2 Desabaru

Hadirnya proteksi masyarakat atas beberapa contoh perilaku terlarang di atas� setidaknya membuat jenis-jesnis perilaku dimaksud tidak mudah terlihat di tengah-tengah lingkungan masyarakat. Bukan berarti tidak ada sama sekali, akan tetapi para pelaku lebih memilih sembunyi-sembunyi dalam melakukannya. Reaksi negatif dari masyarakat setempat terhadap pelaku yang ketahuan melakukannya dapat berujung pada situasi yang sangat tidak mengenakkan bagi pelakunya, bisa dalam bentuk lebel buruk, pengucilan, bahkan dapat pula berakhir dalam proses hukum, bergantung situasi kasusnya.

�...pernah kami grebek sama-sama ada yang laporan di blok mana itu saya lupa rumahnya jarang ditunggui sama yang punya, ee anaknya yang lajang datang lagi makek pulak katanya orang-orang ni, sama ada bawak kawan perempuannya. langsung aja orang-orang, gimana pak ni, ya udah saya bilang, laporan aja, langsung warga kasi tau polisi tu...�

Sumber: Hasil wawancara dengan ketua RT.03/RW.04 Dusun 2 Desabaru

Namun menjadi ironi, ketika reaksi yang sama seakan tidak berlaku terhadap aktifitas perjudian yang dikemas dalam sabung ayam. Hal inilah membuat aktifitas judi sabung ayam terus berlangsung di wilayah itu. Pandangan masyarakat terhadap sabung ayam lebih merupakan bagian dari aktifitas hobi maupun tradisi yang mendatangkan nuansa hiburan bagi penggemarnya, sehingga tidak diperlukan intervensi atau larangan. Justeru pihak masyarakat memposisikan sama antara sabung ayam dengan hobi memelihara burung, yang dalam waktu tertentu tidak jarang di adu ketangkasan dan kemerduan suaranya ntah dalam sebuah kontes resmi atau sesama penggemar burung.

�...kalau laga ayam disini banyak nampaknya yang sukak, namaya jugak apa ya tradisi lah. Kebiasaan dari kampungnya dulu mungkin...�

Sumber: Hasil wawancara dengan ketu RW.04 Dusun 2 Desabaru

�...kalau judi ayam, rasanya ndak begitulah, palingan orang-orang itu ya untuk untuk apalah sekedar untuk biaya rawatan ayam nya lah. ya kalau sebatas itu kan kita ndak mungkin jugak terlalu apa ya, ya samalah orang sukak burung, itukan jugak ada adu suaranya jugak itu besar biaya perawatannya itu...�

Sumber: Hasil wawancara dengan ketu RW.04 Dusun 2 Desabaru

Penghormatan masyarakat terhadap hobi sabung ayam dan burung sebagai simbol dari tradisi maupun budaya, mungkin masih dapat difahami selama terbatas bagi mereka yang hanya gemar merawat serta memelihara tanpa ada konseskuensi perjudian didalamnya. Kenyataan penggemar sabung ayam di lokasi tersebut, sebagian besar mereka berkerumun hanya terlibat dalam konteks perjudiannya saja saatsabung ayam dilakukan. Pada dasarnya mereka tidak memiliki hobi dan kemampuan memelihara ayam aduan. Mengingat pemeliharaan ayam jago atau ayam aduan, membutuhkan skil khusus, ketelatenan serta bakat, yang hanya mungkin dapat dilakukan oleh orang yang memang hobi dalam merawat ayam aduan saja.

�...kalo disini yang hobi merawat ayam bangkok aduan cuma satu dua, banyak yang sukak ikut maen aja. soalnya susah si jadikan ayam ni, lama, kalo nggak pande merawatnya gak sabar-sabar ya gak jadi... �

Sumber: Hasil wawancara dengan PN, pemilik ayam aduan.

Penilaian terhadap sabung ayam sebagai simbol tradisi maupun hobi tanpa mau memandang realitas lain atau menafikan eksistensi perjudiannya, menjadi penyebab langgengnya fenomena ini di kalangan penggemar. Dapat dibilang untuk kasus judi sabung ayam tidak pernah ada muncul pengaduan masyarakat kepada aparat hukum setempat agar dilakukannya penindakkan atas kasus tersebut.

�...laga ayam ni kan hobi ya bang, ya kebiasaan dimana-mana sama juga ada, ya sulitkan gimana mau dilarang. nanti kita pulak yang disalahkan orang, ajab kitakan. yang pentingkan tidak judi-judi macem apatu main kartu itukan nampak kali kasarnya. Bedakan sama laga ayam ini, apalah sebatas hobi, liat berantemya itu jadi hiburan jugak kan...�

Sumber: Hasil wawancara dengan tokoh pemuda setempat

Motif Berjudi Melalui Sabung Ayam.

����������� Seluruh tindakan yang dilakukan oleh setiap orang pada dasarnya telah melalui proses rasionalisasi dan internalisasi nilai sebelum dilakukannya tindakan tersebut. Terlepas bahwa satu tindakan itu dianggap baik atau buruk (menyimpang). Label atau cap menyangkut baik dan buruk nya satu tindakan merupakan konsekuensi dari mekanisme norma sosial maupun hukum positif yang telah ditetapkan sebelumnya. Terhadap orang-orang yang memiliki kecenderungan gemar melakukan penyimpangan, tentu menyadari sepenuhnya resiko yang akan diterima sekiranya perilaku menyimpangnya diketahui oleh masyarakat lain. Kesadaran akan hal itu pada gilirannya melahirkan satu upaya agar bagaimana tindakan menyimpang tetap berjalan namun terhindar dari resiko sosial baik berupa stigma negatif maupun sanksi hukum.

�...nampaknya disini aman kalo cuma maen ayam bg. gak dianggap macem-macem sama orang-orang, jadi aman kali kita maennya...�

Sumber: Hasil wawancara dengan TN, penggemar judi sabung ayam

����������� Pemakluman terhadap aktifitas sabung ayam menjadi celah bagi pelaku judi dalam merasionalisasikan tindakannya. Persis yang dikatakan Willams (1951 : 28) menjelaskan bahwa jika tindakan merasionalkan penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku dapat terjadi disebabkan adanya fleksibilitas nilai-nilai norma dalam masyarakat. Dengan menjadikan sabung ayam sebagai instrument, secara otomatis mereka dapat terhindar dari jeratan sanksi sosial sekaligus bebas melakukan aktifitas perjudian.�

Dikalangan penggemar, sabung ayam merupakan satu bentuk permainan judi yang tepat dan nyaman dibanding permainan-permainan judi lainnya seperti judi kartu, togel dan lain-lain dimana intervensi sosial turut di dalamnya. Pilihan itu cukup rasional bagi mereka tidakhanya dapat bebas melakukan aktifitas judinya, namun lebih jauh lagi mengandung motif melepaskan diri dari status atau lebel sebagai penyimpang dimata masyarakat.

��...kalo maen ayam ni kan kalopun ada duitnya palingan cuma dianggap iseng ibaratnya sekedar ntuk rawatan ayam. gak samalah ma judi-judi yang lain itu, kan malu jugak kita kalo dibilang tukang judi, mau ditaro mana ni mukak, hehe...�

Sumber : Hasil wawancara dengan RD, penggemar judi sabung ayam.

Dalam situasi dimana lebel atau cap buruk tidak dilekatkan terhadap penjudi sabung ayam sebagai penyimpang seperti tindakan menyimpang lainnya, logika mereka (pelaku) menjadi tambah mantab menempatkan perjudian melalui sabung ayam bukan lagi sebagai� tindakan yang memalukan. Sehingga motivasi pertimbangannya sudah tidak hanya sebatas bebas melakukan perjudian karena tidak ada larangan, lebih dalam lagi karena mereka tidak merasa tercela secara sosial yang dibuktikan dengan tidak munculnya predikat atau cap sebagai �tukang judi� atau �suka berjudi� dari masyarakat. Situasi inilah seperti dikatakan (Frey et al., 2008), dapat menjadi dasar justifikasi (pembenar) untuk lepas dari rasa penyesalan diri dan hukuman dari orang lain dari tindakan yang dilakukan.

Pada dasarnya setiap orang tanpa terkecuali tidak pernah ingin ter lebel sebagai penyimpang atau pelaku kejahatan. Artinya semua orang butuh untuk dianggap sebagai orang baik-baik sekalipun dia penyimpang. Oleh sebab itu dapat dipastikan bahwa dalam suatu kehidupan masyarakat yang kondusif sekalipun, tidak berarti tanpa ada perilaku menyimpang di dalamnya. Hanya saja perbuatan itu tidak tampak karena pelakunya mampu menutupi diri dari amatan orang lain saat melakukan tindakan menyimpang tersebut. Dalam kasus judi sabung ayam di tempat penelitian ini dilakukan, sudut pandang pelaku jelas terlihat bahwa mereka merasa ada kesan penilaian yang berbeda dari lingkungan masyarakat, tentang perjudian sabung ayam sebagai yang biasa (bukan judi) dibanding dengan permainan judi lainnya (judi kartu, togel dll) sebagai yang benar-benar permainan judi sehingga pelakunya dimaknai sebagai �penyimpang� atau �tukang judi�. Hal-hal seperti ini akhirnya menjadi situasi kondusif bagi para pelaku melakukan perjudiannya tanpa merasa salah apalagi penyesalan.

Seperti dikatakan Weber bahwa seseorang dalam bertindak tidak haya sekedar melaksanakannya tetapi juga menempatkan diri dalam lingkungan berfikir dan perilaku orang lain. Dan konsep berfikir para penjudi sabung ayam dalam kasus ini dapat dikatakan mengacu pada pendekatan yang oleh Weber dinyatakan sebagai �in order to motive� (suatu tindakan bermotif pada tujuan yang hendak dicapai) (Wirawan, 2012)

Sejatinya aktifitas judi sabung ayam yang lazim mereka lakukan bukanlah sesuatu yang dapat dianggap sebagai yang biasa-biasa saja alias iseng-iseng. Dalam satu kali pertarungan ayam saja, mereka dapat mengakumulasi nominal rupiah sejumlah 2,5 � 3,5 jt untuk diberikan kepada grup pemenang. Sementara dalam tiap pertarungan ayam, bisa terdapat beberapa pasang grup dengan nominal beragam pula sesuai kesepakatan masing-masing pasangan grup.

�...untuk taruhan tergantung sepakatan sama-sama lawan maen. biasa minimal dua stengah sampe tiga stengahan juta lah dapetnya yang menang, nanti tinggal bagi berapa orang yang ikut menang...�

Sumber: Hasil wawancara dengan RD, penggemar judi sabung ayam.

 

Kesimpulan

Tindakan sabung ayam merupakan fenomena sosial yang sejak dahulu telah mewarnai kehidupan sosial masyarakat dimanapun di indonesia ini, dikarenakan ada unsur budaya di dalamnya (simbol ekspresi dari status, otoritas sera ritus keagamaan). Dari temuan di lokasi penelitian, menunjukkan bahwa di kalangan para penggemar, sabung ayam dipakai sebagai instrument yang paling aman untuk melakukan aktifitas judi. Pilihan berjudi melalui sabung ayam sangat logis bagi mereka, berangkat dari pertimbangan karena tidak munculnya reaksi sosial masyarakat, baik dalam bentuk larangan, pelaporan kepada aparat, maupun pelabelan sebagai perilaku penyimpang terhadap mereka. Aktifitas judi sabung ayam oleh masyarakat lingkungan dianggap sebatas tradisi atau hobi untuk mendapatkan hiburan semata, tanpa ingin memahami konteks perjudian sebagai turunannya. Situasi inilah yang menjadi kondusif bagi pelaku judi sabung ayam, dimana mereka merasa nyaman melangsungkan aktifitas judinya tanpa merasa bersalah dan dipersalahkan.

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Aulina, A. (2017). Kejahatan Di Wilayah Perkotaan Dan Model Integratif Pencegahan Kejahatan. Jurnal Ilmu Kepolisian, 11(3), 10.

 

Bungin, B. (2011). Metodologi Penelitian Kuantitatif (Komunikasi, Ekonomi, Dan Kebijakan Publik Serta Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya.

 

Firmansyah, H. (2021). Teori Rasionalitas Dalam Pandangan Ilmu Ekonomi Islam. El-Ecosy: Jurnal Ekonomi Dan Keuangan Islam, 1(1), 34�50.

 

Frey, W. H., Anspach, A. B., & Dewitt, J. P. (2008). The Allyn & Bacon Social Atlas Of The United States. Allyn & Bacon.

 

Geertz, C. (1992). Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta. Kanisius Press.

 

Hill, C. P. (1961). American Education-Lawrence A. Cremin, The Transformation Of The School: Progressivism In American Education, 1876�1957 (New York: Knopf, 1961; $5. 50). Pp. Xi, 387, Xxiv.-Bernard Bailyn, Education In The Forming Of American Society (Chapel Hill: Universi. Bulletin Of The British Association For American Studies, 3, 70�73.

 

Hisyam, C. J., & Hamid, A. R. (2015). Sosiologi Perilaku Menyimpang. Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan Unj.

 

Ismawati, S., & Lolita, L. (2021). Kebijakan Kriminal Terhadap Kekerasan Oleh Remaja (Juvenile Deliquency) Dilihat Dari Perspektif Sosio Kriminologis. Tanjungpura Law Journal, 5(2), 174�194.

 

Lorens, B. (2005). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

 

Mustofa, M. (2013). Metodologi Penelitian Kriminologi.(Edisi Ketiga). Jakarta, Indonesia: Prenada Media Group.

 

Reid, A. (2011). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

 

Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2010). Teori Sosiologi: Dari Teori Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta, Kreasi Wacana.

 

Sumarwan, U., & Tjiptonon, F. (2019). Strategi Pemasaran Dalam Perspektif Perilaku Konsumen. Pt Penerbit Ipb Press.

 

Sykes, G. M., & Matza, D. (2017). Techniques Of Neutralization: A Theory Of Delinquency. In Delinquency And Drift Revisited (Pp. 33�41). Routledge.

 

Usman, H. (2009). Metodologi Penelitian Sosial.

 

Ward, D. A., Carter, T. J., & Perrin, R. D. (1994). Social Deviance: Being, Behaving, And Branding. Allyn & Bacon.

 

Wirawan, D. I. (2012). Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial, Dan Perilaku Sosial. Kencana.

 

Copyright holder:

Abdul Munir, Sobri (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: