Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 12, Desember
2022
HITUNG
SEL EOSINOFIL DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENANDA BIOLOGIS PENYAKIT PARU
OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)
Fardiah Tilawati Sitanggang, Siti Sakdiah,
James Perdinan Simanjuntak, Raden Mustopa, Neta Yuliandari
Program Studi Teknologi Laboratorium Medis, Jurusan Teknologi Laboratorium Medis, Poltekkes Kemenkes Jambi, Jambi, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak
Peningkatan jumlah penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) sudah menjadi permasalahan kesehatan yang semakin mengkhawatirkan terutama dalam masyarakat di dunia saat ini. Peningkatan terutama terjadi di negara berkembang yang memiliki proporsi risiko utama, perokok, yang masih tinggi. Studi ini mengamati potensi parameter pemeriksaan laboratorium hitung sel eosinofil yang sederhana untuk menilai potensinya sebagai penanda kondisi perkembangan PPOK. Dengan desain case control hasil uji tersebut dianalisis dengan membandingkan antar subjek yang belum pernah didiagnosis menderita PPOK namun memiliki kebiasaan merokok yang merupakan faktor risiko utamanya dengan subjek bukan perokok. Pengujian hitung sel eosinofil terhadap spesimen darah dan saliva adalah parameter yang dapat diterapkan dalam analisis laboratorium klinik untuk diagnosis berbagai kondisi alergi. Namun dalam analisis rutin pengujian tersebut tidak dilakukan terhadap spesimen saliva (air liur. Pengujian dilakukan terhadap parameter hitung sel eosinofil dan keberadaan Imunoglobulin E (IgE), baik pada spesimen darah maupun saliva sebagai bahan yang akan dianalisis. Hasil penelitian mendapatkan jumlah eosinofil dan IgE pada saliva dan darah lebih tinggi pada pasien PPOK dibandingkan dengan kontrol (Non PPOK perokok dan Non PPOK non perokok), sedangkan eosinofil dan IgE pada saliva dan darah juga lebih tinggi pada kelompok kontrol perokok dibandingkan dengan non perokok dengan perbedaan yang signifikan. Selain itu parameter jumlah eosinofil pada saliva serta IgE pada saliva dapat menggambarkan deteksi dini dari perjalanan penyakit PPOK dengan ditunjukkan dengan korelasi yang kuat antar parameter.
Kata kunci: Eosinofil; Imunoglobulin E; Darah; Saliva.
Abstract
The increasing number of people with Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD) has become an increasingly worrying health
problem, especially in today's society. The increase mainly occurred in
developing countries where the proportion of the main risk, smokers, was still
high. This study examines the potential of a simple eosinophil cell count
laboratory parameter to assess its potential as a marker of COPD developmental
conditions. With a case-control design, the test results were analyzed by
comparing between subjects who had never been diagnosed with COPD but had a
smoking habit which was the main risk factor with non-smokers. Eosinophil cell
count testing on blood and saliva specimens is a parameter that can be applied
in clinical laboratory analysis for the diagnosis of various allergic
conditions. However, in routine analysis, the test was not carried out on
saliva specimens (saliva. The test was carried out on the parameters of the
eosinophil cell count and the presence of Immunoglobulin E (IgE), both in blood
and saliva specimens as the material to be analyzed. The results obtained the
number of eosinophils and IgE in saliva and blood levels were higher in COPD
patients compared to controls (non-COPD smokers and non-smokers with COPD),
while eosinophils and IgE in saliva and blood were also higher in the control
group of smokers compared to non-smokers with significant differences. Salivary
eosinophils and salivary IgE can describe early detection of COPD disease by
showing a strong correlation between parameters.
Keywords: Eosinophil; Immunoglobulin E; Blood; Saliva.
Pendahuluan
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) merupakan penyakit paru yang dapat semakin parah dari waktu ke waktu dengan risiko kematian. WHO (World Health Oragnization) melaporkan 251 juta kasus PPOK pada tahun 2016 secara global dengan 3,17 juta kematian, terutama di negara berkembang (lebih dari 90%)(WHO, 2008), (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2020). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 3,7%. Riskesdas 2018 tidak melaporkan prevalensi PPOK, namun data proporsi individu perokok sebagai faktor risiko utama PPOK masih tinggi (28,9%) (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013), (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2018). Selain itu, faktor polusi udara, perkembangan paru dan infeksi pernafasan juga dapat mengembangkan PPOK (Prasad, 2008) (Tvarijonaviciute et al., 2020). Pasien PPOK dengan komorbid juga memperbesar kejadian aksaserbasi akut yang berisiko kematian. (Hogea et al., 2020). Hal ini sesuai dengan prediksi bahwa di tahun 2030 PPOK berada di peringkat keempat penyebab utama kematian secara global(Mathers & Loncar, 2006).
Berbagai usaha perbaikan mulai dilakukan untuk menekan jumlah individu yang menderita PPOK.
Penemuan dini kasus diperlukan sebagai upaya pencegahan PPOK lebih lanjut. Deteksi klinis dilakukan melalui pengujian penanda biologis (biomarker) untuk membedakan individu sehat terhadap individu yang tampak sehat namun sebenarnya sakit, khususnya individu dengan risiko utama PPOK (Bafadhel et al., 2011). Deteksi dini penyakit telah banyak dilakukan melalui pemeriksaan penanda pada cairan tubuh seperti darah, serum, sputum, bahkan hingga saliva (Dong et al., 2020; Moon et al., 2018). Analisis tersebut mulai digunakan untuk menganalsis sistem biologis dan menghubungkannya dengan penilaian risiko pada individu atau kelompok populasi dibandingkan dengan populasi umum (World Health Organisation (WHO) International Programme on Chemical Safety (IPCS), 1993).
Hasil pemeriksaan hitung sel dan rasio antar jenis leukosit telah dimanfaatkan sebagai penanda pada berbagai penyakit. Sel leukosit di dalam tubuh tidak hanya dalam cairan darah saja, namun juga pada urin, cairan otak, cairan pleura, sperma, sputum, saliva dan lainnya dengan jumlah bervariasi. . Pemantauan terhadap perubahan konsentrasi dan komposisi sel sangat penting untuk menentukan variasi kondisi biologis tubuh yang mengindikasikan perubahan sistem biologis. Fungsi imunitas terhadap peradangan, infeksi dan alergi merupakan penyebab utama sel ini diproduksi dan memasuki berbagai cairan tubuh (Prasad, 2008).
Seperti penyakit pernafasan lainnya, PPOK juga menyebabkan peningkatan produksi sel leukosit. Pada penyakit ini terjadi peningkatan produksi cairan tubuh, yaitu sputum. PPOK lebih dikaitkan dengan kondisi alergi yang berhubungan dengan peningkatan sel eosinofil pada darah, saliva dan sputum penderita PPOK (Dong et al., 2020). Penelitian lainnya berhasil membuktikan keterkaitan fenomena peningkatan sel eosinofil dengan Imunoglobulin E (IgE) yang berhubungan dengan sistem imun saat terjadinya alergi (Moon et al., 2018).
.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Hematologi Poltekkes
Kemenkes Jambi. Studi ini disetujui oleh Badan Etik Kelembagaan. Persetujuan
subjek penelitian diperoleh dari setiap subjek melalui formulir persetujuan.
Riwayat medis dan pribadi lengkap dicatat untuk semua peserta dan didapat
melalui kerjasama dengan Rumah Sakit Abdul Manaf Kota Jambi. Pemeriksaan
termasuk 20 subjek dengan penyakit PPOK, dan 40 relawan dewasa berusia 20-50
tahun, terdiri dari 20 orang perokok aktif dan 20 orang bukan perokok. Subjek
wanita, pasien dengan penyakit sistemik, perokok, dan pasien yang menjalani
terapi PPOK sebelumnya dikeluarkan. Sampel darah diambil dengan menggunakan
�metode vakutainer� dari subjek menggunakan dua jenis tabung, yaitu tabung
tutup merah berisi EDTA (untuk pengujian hitung sel eosinofil) dan tabung tutup
kuning dengan gel pemisiah (untuk pengujian IgE). Darah pada tabung berisi gel
disentrifugasi pada 3.000 rpm selama 10 menit untuk memperoleh serum yang akan
dilakukan pengujian.
Sampel saliva campuran yang tidak distimulasi (5 ml)
diambil dengan menggunakan �metode pengeringan� sebelum pengobatan, langsung
dari mulut pasien dan dikumpulkan dalam wadah steril dan sampel saliva
disentrifugasi pada 10.000 rpm selama 10 menit. Endapan yang dihasilkan dari
prosedur tersebut dijadikan bahan untuk pengujian hitung sel eosinofil dalam
saliva, sedangkan uji IgE dilakukan terhadap supernatan.
Pengujian hitung sel eosinofil dilakukan menggunakan metode
manual, yaitu dengan menggunakan metode kamar hitung (eosin) dan apusan
(Giemsa). Pengujian total IgE dilakukan menggunakan metode Elisa. Pada analisis
statistic untuk membandingkan aktivitas enzimatik antara subjek kontrol bukan perokok,
subjek perokok dan subjek dengan penyakit PPOK, digunakan Analisis Varians satu
arah. Untuk menentukan signifikansi perbedaan antar kelompok, metode bonferroni
untuk beberapa perbandingan digunakan. Korelasi antara aktivitas enzim saliva
yang ditunjukkan dan nilai indeks klinis ditentukan oleh korelasi Pearson.
Untuk menilai bahwa hitung eosinofil pada saliva dapat dijadikan salah satu
penanda biologis pada PPOK dengan cara membandingkan hasil hitung sel eosinofil
dalam darah dan ditemukan perbedaan antara hasil hitung eosinofil dari darah
dan saliva serta membandingkannya dengan pemeriksaan IgE.
Hasil dan Pembahasan
Karakteristik Responden
:
Penelitian ini dilakukan
pada kelompok pasien PPOK, kelompok non PPOK perokok, dan kelompok non PPOK non
perokok yang berjumlah masing-masing 20 orang. Sehingga jumlah responden keseluruhan
adalah 60 orang . Penelitian dilakukan dari mulai bulan Juni sampai Agustus
2022 dengan pengambilan sampel di Rumah Sakit Abdul Manaf Kota Jambi.
Pengelompokkan responden bersumber dari wawancara dan kuesioner. Gambaran
karakteristik responden dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Karakteristik responden penelitian
Tabel 1
Karakteristik responden penelitian
Karakteristik |
PPOK (n=20) |
Non PPOK perokok (n=20) |
Non PPOK non perokok ((n=20) |
Umur (tahun) |
24-88 |
36-50 |
19-24 |
Jenis kelamin -Laki-laki -Perempuan |
15 (32,6%) 5 (35,71%) |
20 (43,4%) 0 |
11(23,9%) 9 (64,28%) |
Pendidikan |
|
|
|
SD |
10% |
- |
|
SMP |
15% |
20% |
|
SMA |
60% |
55% |
|
PT |
15% |
25% |
|
Pekerjaan -PNS -Pensiunan PNS -Karyawan swasta -Pedagang -Penjahit -Mahasiswa |
|
|
|
20% |
55% |
45% |
|
5% |
|
|
|
30% |
25% |
25% |
|
35% |
15% |
|
|
|
5% |
|
|
10% |
- |
30% |
|
Lama menderita -Rata-rata (tahun) -Range (tahun) |
|
|
|
8 |
|
|
|
2-20 |
|
|
|
Status merokok -Perokok -Mantan perokok |
|
|
|
10% |
100% |
|
|
35% |
|
|
|
-Tidak merokok |
|
|
|
Lama merokok (tahun) -Rata-rata -Range |
5 3-20 |
5 1-10 |
|
Jumlah rokok/batang/hari -Rata-rata |
5 3-10 |
6 2-10 |
|
Berdasarkan umur, rata-rata
umur pasien PPOK 24-88 tahun sedangkan berdasarkan jenis kelamin jenis kelamin
laki-laki paling banyak pada kelompok non PPOK perokok (20 orang). Jenjang
pendidikan mayoritas pada pasien PPOK adalah SMA dan memiliki pekerjaan
pedagang. Lama menderita pasien PPOK berkisar 8 tahun dengan dan 35%
diantaranya adalah mantan perokok. Mayoritas pasien PPOK merokok dalam jangka
waktu 5 tahun dengan jumlah rokok 5 batang perhari
Karakteristik hasil pemeriksaan laboratorium
Dari hasil peneltian ,
secara deskriptif didapatkan hasil pemeriksaan laboratorium jumlah eosinofil
pada saliva dan darah serta kadar IgE pada saliva dan serum yang terlihat pada
tabel dibawah ini
Tabel 2
Karakteristik hasil pemeriksaan
laboratorium jumlah osinophil dan kadar IgE
|
N |
Mean |
Min |
Max |
Std Deviasi |
Jumlah sel eosinofil
saliva |
60 |
46,47 |
6 |
123 |
33,93 |
Jumlah sel eosinofil
darah |
60 |
167.21 |
0 |
692 |
165.27461 |
Kadar IgE Saliva |
60 |
50,83 |
3 |
269 |
52,27 |
Kadar IgE saliva |
60 |
130,51 |
12 |
345 |
106,76 |
Berdasarkan tabel 2 terlihat
bahwa dari 60 responden didapatkan rata-rata jumlah sel eosinofil pada sampel
saliva adalah 46,47 dimana jumlah eosinofil terendah adalah 6 dan tertinggi
adalah 123. Sedangkan pada sampel darah terlihat rata-rata jumlah sel eosinofil
adalah 46, 27 dimana jumlah eosinofil terendah adalah 6 dan tertinggi adalah
46,47. Sedangkan pada kadar IgE terlihat bahwa rata �rata kadar IgE pada sampel
saliva adalah 50,83 dengan kadar IgE terendah 3 dan kadar IgE tertinggi 269
Iu/ml sedangkan rata-rata kadar IgE pada sampel serum adalah 130,51 dengan
kadar IgE terendah 12 dan tertinggi 345.
Data hasil penelitian
dianalisis menggunakan uji ANOVA untuk melihat gambaran sel eosinofil dan kadar
IgE berdasarkan kelompok PPOK, Non PPOK perokok, dan Non PPOK non perokok yang
dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 3
Gambaran jumlah sel eosinofil
didalam sampel darah dan saliva berdasarkan kelompok PPOK, non PPOK perokok dan
non PPOK non perokok.
|
Kelompok |
Mean�SD |
P-value |
Jumlah eosinofil Saliva |
PPOK |
89,4�67,34 |
0,000 |
Non PPOK perokok |
51,7�26,67 |
||
Non PPOK non perokok |
11,4�6,02 |
||
Jumlah eosinofil Darah |
PPOK |
357,3�150,4 |
0,000 |
Non PPOK perokok |
107,75�42,11 |
||
Non PPOK non perokok |
36,60�26,63 |
||
Kadar IgE Saliva |
PPOK |
89,4�67,34 |
0,000 |
|
Non PPOK perokok |
51,7�26,67 |
|
|
Non PPOK non perokok |
11,4�6,02 |
|
Kadar IgE Serum |
PPOK |
263,4�49,64 |
0,000 |
|
Non PPOK perokok |
98,95�48,18 |
|
|
Non PPOK non perokok |
29,15�11,91 |
Analisis statistik
dengan menggunakan one way Annova , dan
dilakukan analisa Post Hoc Test dengan
menggunakan uji Bonferroni . Hasil uji Annova pada jumlah eosinofil saliva
didapatkan perbedaan yang bermakna pada seluruh kelompok dengan nilai p value
=0,000 begitu juga dengan jumlah eosinofil pada darah juga menunjukkan
perbedaan yang bermakna secara statistik dengan nilai p value=0,000. Sedangkan
pada kadar IgE saliva didapatkan perbedaan yang bermakna pada seluruh kelompok
dengan nilai p value =0,000 sejalan dengan kadar IgE serum juga memperlihatkan
perbedaan yang bermakna secara statistik dengan nilai p value =0,000. Uji Post Hoc test dengan uji Bonferroni pada
jumlah eosinofil dan IgE pada saliva dan darah /serum untuk melihat perbedaan
yang bermakna pada setiap kelompok dapat dilihat pada grafik dibawah ini
A�������������������������������������������������������������������������������� B
�����������������������������������������������������������
�����������������������������������������������������������
Gambar 1. Jumlah sel eosinophil pada tiap kelompok pada spesimen saliva
dan darah (A: Eosinofil pada Saliva. B; Eosinofil pada Darah)
Pada gambar 1 terlihat
bahwa hasil pemeriksaan jumlah eosinofil pada pasien PPOK lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok kontrol (89,4 sel/ml darah) . Sedangkan jumlah sel
eosinofil pada kelompok kontrol non PPOK perokok lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol non PPOK non perokok (51,7 sel/ml darah) . Uji Post Hoc Bonferroni menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara semua kelompok baik PPOK dengan non PPOK
perokok, PPOK dengan non PPOK non perokok, non PPOK perokok dengan non PPOK non
perokok dengan perbedaan yang signifikan dengan p value p=0,000. Hal ini memberikan
fakta bahwa hitung jumlah sel eosinofil dengan menggunakan saliva memiliki
potensi sebagai penanda untuk membedakan status pasien PPOK dan non PPOK.
Hasil pemeriksaan jumlah
eosinofil pada pasien PPOK lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol
(357,3 sel/ml darah) . Sedangkan jumlah sel eosinofil pada kelompok kontrol non
PPOK perokok lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol non PPOK non perokok
(107,75 sel/ml darah) . Uji Post Hoc Bonferroni menunjukkan Perbedaan
signifikan pada kelompok baik PPOK dengan non PPOK perokok , PPOK dengan non
PPOK non perokok (P=0,000). Sedangkan pada kelompok non PPOK perokok dengan non
PPOK tidak merokok tidak terdapat perbedaan signifikan jumlah eosinofil dalam
spesimen darah dengan p=0,051.
C��������������������������������������������������������������������������������
D.
C
Gambar 2. Kadar IgE pada tiap kelompok pada spesimen saliva dan serum
(C: IgE pada Saliva. D; IgE pada serum)
Kadar IgE pada pasien
PPOK lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (89,4 Iu/ml) . Sedangkan
kadar IgE pada kelompok kontrol non PPOK perokok lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol non PPOK non perokok (51,7 Iu/ml) . Perbedaan signifikan didapatkan
dengan Uji Post Hoc Bonferroni pada semua
kelompok baik PPOK dengan non PPOK perokok (p=0,019) PPOK dengan non PPOK non
perokok (P=0,000), non PPOK perokok dengan non PPOK non perokok (p=0,011). Hal
ini memberikan fakta bahwa hitung kadar IgE dengan menggunakan saliva memiliki
potensi sebagai penanda untuk membedakan status pasien PPOK dan non PPOK.
Pada gambar 2 terlihat
bahwa kadar IgE pada pasien PPOK lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
kontrol (263,4 Iu/ml) . Sedangkan kadar IgE pada kelompok kontrol non PPOK
perokok lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol non PPOK non perokok (98,95 Iu/ml)
. Perbedaan signifikan didapatkan pada Uji Post Hoc Bonferroni pada semua kelompok baik PPOK dengan non PPOK perokok ,
kelompok PPOK dengan non PPOK non perokok, kelompok non PPOK perokok dengan non
PPOK non perokok (p value: 0,000).
Eosinofil saliva dan E9osinofil darah������������������������ Eosinofil saliva dan
IgE saliva
�������������������������������������������������������������������������������� P=0,000
Ga
Eosinofil
saliva dan IgE serum���������������������������������� IgE
saliva dan IgE serum
�����������������������
�����������������������������������������������
Gambar 3 Gambaran Korelasi
antara jumlah eosinofil dan IgE pada saliva dan darah
Dari gambar 3 terlihat bahwa semua parameter menunjukkan adanya korelasi ,
jumlah eosinofil dengan spesimen saliva berkorelasi kuat dengan jumlah
eosinofil dengan spesimen darah, korelasi kuat ditemukan pada kadar IgE dengan
spesimen saliva, dan kadar IgE dengan spesimen serum. Korelasi paling kuat
terlihat pada jumlah eosinofil saliva dengan kadar IgE saliva. Selain itu, juga
didapatkan kadar IgE saliva berkorelasi kuat dengan kadar IgE serum. Hal ini
menegaskan bahwa parameter pemeriksaan jumlah eosinofil dengan spesimen saliva
dapat dijadikan parameter yang digunakan dalam pemeriksaan pasien PPOK. Selain
itu parameter kadar IgE pada spesimen saliva juga berpotensi sebagai parameter
dalam pemeriksaan dan perjalanan penyakit PPOK.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah
eosinofil baik pada spesimen darah maupun saliva masih dalam batas normal .
Namun terlihat bahwa jumlah eosinofil lebih tinggi pada pasien PPOK
dibandingkan dengan kontrol (Non PPOK perokok dan non perokok). Pada pemeriksaan
dengan spesimen saliva juga didapatkam Perbedaan yang signifikan antar kelompok
PPOK dan kontrol dengan P=0,000. Bahkan pada kelompok kontrol non PPOK perokok
nilai rata-rata jumlah eosinofil lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok non
PPOK non perokok. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh (Juwariyah
et al., 2017) yang mendapatkan bahwa
jumlah eosinofil lebih tinggi pada pasien PPOK dibandingkan dengan kontrol dan
terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah eosinophil pasien PPOK dengan
kontrol namun masih dalam batasan normal. Sejalan dengan hasil peneliti lainnya
oleh (Sirih
et al., 2017) mengungkapkan fakta
bahwa jumlah eosinofil pada pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi akut lebih
tinggi dibandingkan dengan perokok sehat. Hasil penelitian ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh (Martantya
et al., 2014) dimana pada
penelitiannya memperlihatkan bahwa rata-rata eosinofil pada pasien PPOK yang
dirawat dirumah sakit lebih rendah dibandingkan dengan kontrol.
Perbedaan ini terjadi
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor diantaranya eksaserbasi atau kekambuhan
dari pasien PPOK , pada penelitian ini pasien PPOK yang dijadikan responden
merupakan pasien PPOK yang datang berobat atau rawat jalan dan mayoritas
merupakan pasien PPOK yang masih bisa beraktivitas dan tidak mengalami
eksaserbasi parah sehingga tidak mengkonsumsi obat kortikosteroid. Sehingga
kadar eosinofil yang didapat masih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol. Hal
ini diperkuat oleh penelitian dari (Prasad,
2008) yang mendapatkan jumlah
absolut eosinofil lebih tinggi pada pasien non terapi Long acting B2 agonist dan kortikosteroid (LABCS) dibandingkan
dengan pasien dengan terapi LABCS. Lebih tingginya jumlah eosinofil pada
kelompok non PPOK perokok dibandingkan dengan non perokok menggambarkan proses
inflamasi yang terjadi akibat akumulasi pajanan rokok yang menyebabkan kerusakan pada kantung udara (alveoli) di
paru-paru (emfisema) dan memicu terjadinya proses inflamasi dan stres
oksidatif. Paparan rokok memicu pengaktifan makrofag alveolar yang akan
memproduksi sitokin pro-inflamasi yang mengaktifkan sel lain, dan kemokin yang
menarik neutrofil, eosinofil dan sel T limfosit yang merupakan faktor paling
menonjol dalam inflamasi pada PPOK termasuk produksi IgE sebagai respon dari
pajanan alergen (Bafadhel et al., 2011)
Terjadinya peningkatan
eosinofil pada PPOK dikaitkan dengan inflamasi. Penelitian akhir-akhir ini
menunjukkan peranan dari sel Th17 yang akan mengekpresikan IL-17 sebagai
sitokin proinflamasi . IL-17 bersama dengan interleukin pro inflamasi lainnya
akan menarik sel netrofil dan eosinofil ke tempat inflamasi (Dong
et al., 2020) . Penelitian lainnya(Bafadhel
et al., 2011) mengungkapkan adanya
subtipe dari Th yang mengekpresikan IL-9 memicu terjadinya bronchus yang
hiperresponsif. Subset ini akan memicu infiltrasi eosinofil pada mukosa saluran
nafas. Infiltrasi eosinofil pada mukosa saluran nafas inilah yang membuat
eosinofil terdeteksi di saliva. Eosinofil akan mengekspresikan eksosom yang
banyak pada saluran nafas yang berisi Lysobisphosphatidic acid (LBPA). Dari
analisis statistik didapatkan korelasi yang kuat antara jumlah eosinofil saliva
dengan jumlah eosinofil darah dengan nilai R:0,765. Hasil ini menunjukkan
jumlah eosinofil saliva mempunyai potensi sebagai material biologis untuk
deteksi dini PPOK ataupun perkembangan pada penyakit PPOK.
Hasil penelitian
terhadap kadar IgE dengan spesimen saliva dan spesimen serum menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan rata-rata kadar IgE dimana kadar IgE lebih tinggi pada
pasien PPOK dibandingkan dengan kontrol. (non ppok perokok dan non perokok).
Perbedaan signifikan juga ditemukan pada tiap- tiap kelompok dengan nilai p
< 0,05 . Selain itu, pada spesimen serum Peningkatan kadar IgE terjadi
secara signfikan dengan rata-rata 263 Iu/ml dan pada saliva dengan rata-rata ditemukan
pada kelompok PPOK dibanding dengan kontrol, pada kelompok kontrol kadar IgE
lebih tinggi pada perokok . Hal ini sejalan dengan penelitian (Lommatzsch
et al., 2022) yang mendapatkan hasil
kadar IgE mengalami peningkatan (>100Iu/ml) pada pasien PPOK dengan
eksaserbasi akut tanpa pengobatan dibandingkan dengan pasien PPOK dengan
eksaserbasi akut yang sudah menjalani pengobatan. Penelitian lainnya oleh (J K
et al., 2020) mendapatkan hasil yang
sama dimana kadar IgE signifikan tinggi pada pasien PPOK dibandingkan dengan
kontrol. Dalam peranannya IgE paling banyak berperan dalam penyakit alergi
seperti asma, namun peran IgE pada PPOK dikaitkan dengan kejadian inflamasi
yang memanjang yang memicu kejadian eksaserbasi pada pasien , kadar IgE yang
tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko eksaserbasi parah dan juga menjadi
penyebab penurunan subset fungsi paru-paru dan kematian pada pasien (�olak
et al., 2022). Pada penelitian ini
walaupun pasien PPOK yang diambil sebagai responden sebagian besar tidak
mengalami eksaserbasi ,namun rata-rata lama menderita PPOK sudah 8 tahun yang
menjadi faktor perjalanan inflamasi yang memanjang pada pasien sehingga kadar
IgE dalam tubuh tinggi.
Dari analisis statistik
didapatkan korelasi yang kuat antara jumlah eosinofil saliva dengan kadar IgE
dengan spesimen serum dan juga dengan spesimen saliva, dengan nilai R : 0,821
dan R: 0,823. Hal ini memberikan fakta bahwa eosinofil saliva dengan IgE saliva
berpotensi untuk menjadi salah satu alternatif parameter biologis dalam
diagnosis PPOK. Pada penelitian-penelitian sebelumnya kehadiran Imunoglobulin
A, Imunoglobulin M, dan Imunoglobulin G pada saliva telah didiagnosis pada
beberapa penyakit infeksi seperti HIV, kanker , dan infeksi helicobacter Pylori
(Nunes
et al., 2019). Antibodi yang terkait
dengan alergi seperti IgE yang ditemukan dalam serum juga terdapat pada saliva
yang berasal dari respon inflamasi , IgE akan diikat sel mast, eosinofil dengan
perantara reseptor FCɛR yang menyebabkan degranulasi sel mast. Subset
perkembangan IgE dilepas oleh sel plasma dalam selaput lendir saluran
pernapasan sehingga keberadaan IgE pada saliva menjadi salah satu parameter
biologis dalam diagnosis PPOK dan perkembangan penyakit PPOK (�olak
et al., 2022).
Kesimpulan
Jumlah
eosinofil dan IgE pada saliva dan darah lebih tinggi pada pasien PPOK
dibandingkan dengan kontrol (Non PPOK perokok dan Non PPOK non perokok),
sedangkan eosinofil dan IgE pada saliva dan darah juga lebih tinggi pada
kelompok kontrol perokok dibandingkan dengan non perokok dengan perbedaan yang
signifikan. Selain itu parameter jumlah eosinofil pada saliva serta IgE pada
saliva dapat menggambarkan deteksi dini dari perjalanan penyakit PPOK dengan
ditunjukkan dengan korelasi yang kuat antar parameter sehingga jumlah eosinofil
pada saliva dan IgE pada saliva memiliki potensi biologis dalam deteksi dan
perjalanan penyakit PPOK.
BIBLIOGRAFI
Bafadhel, M., McKenna, S., Terry, S., Mistry, V.,
Reid, C., Haldar, P., McCormick, M., Haldar, K., Kebadze, T., Duvoix, A.,
Lindblad, K., Patel, H., Rugman, P., Dodson, P., Jenkins, M., Saunders, M.,
Newbold, P., Green, R. H., Venge, P., � Brightling, C. E. (2011). Acute
exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease: Identification of
biologic clusters and their biomarkers. American Journal of Respiratory and
Critical Care Medicine, 184(6), 662�671. https://doi.org/10.1164/rccm.201104-0597OC
�olak, Y., Ingebrigtsen, T. S., Nordestgaard, B. G.,
Marott, J. L., Lange, P., Vestbo, J., & Afzal, S. (2022). Plasma
immunoglobulin E and risk of exacerbation and mortality in chronic obstructive
pulmonary disease: A contemporary population-based cohort. Annals of
Allergy, Asthma and Immunology, 129(4), 490�496.
https://doi.org/10.1016/j.anai.2022.06.028
Dong, T., Santos, S., Yang, Z., Yang, S., &
Kirkhus, N. E. (2020). Sputum and salivary protein biomarkers and point-of-care
biosensors for the management of COPD. Analyst, 145(5),
1583�1604. https://doi.org/10.1039/c9an01704f
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease. (2020). GOLD Report 2020. Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease, 141.
https://goldcopd.org/wp-content/uploads/2019/12/GOLD-2020-FINAL-ver1.2-03Dec19_WMV.pdf
Hogea, S. P., Tudorache, E., Fildan, A. P.,
Fira-Mladinescu, O., Marc, M., & Oancea, C. (2020). Risk factors of chronic
obstructive pulmonary disease exacerbations. Clinical Respiratory Journal,
14(3), 183�197. https://doi.org/10.1111/crj.13129
J K, M., Thiru, A., G N, S., Gupta, P., & Rajak,
B. K. (2020). Total serum IgE level in COPD exacerbations. The Journal of
Community Health Management, 7(3), 95�99. https://doi.org/10.18231/j.jchm.2020.022
Juwariyah, J., Zhulhi Arjana, A., Tri Rahayu, E.,
Rosita, L., & Muhammad Irfan, R. (2017). Trend Aktivitas Leukosit Pro
Inflamasi pada Kasus PPOK Eksaserbasi Akut. Mutiara Medika: Jurnal
Kedokteran Dan Kesehatan, 17(2), 67�71.
https://doi.org/10.18196/mm.170202
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013).
Laporan nasional 2013. Science, 127(3309), 1275�1279.
https://doi.org/10.1126/science.127.3309.1275
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2018).
Laporan_Nasional_RKD2018_FINAL.pdf. In Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan (p. 674).
http://labdata.litbang.kemkes.go.id/images/download/laporan/RKD/2018/Laporan_Nasional_RKD2018_FINAL.pdf
Lommatzsch, M., Speer, T., Herr, C., J�rres, R. A.,
Watz, H., M�ller, A., Welte, T., Vogelmeier, C. F., & Bals, R. (2022). IgE
is associated with exacerbations and lung function decline in COPD. Respiratory
Research, 23(1), 1�9. https://doi.org/10.1186/s12931-021-01847-0
Martantya, R. S., Nasrul, E., & Basyar, M. (2014).
Gambaran Hitung Jenis Leukosit pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang
Dirawat di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 3(2),
217�220. https://doi.org/10.25077/jka.v3i2.94
Mathers, C. D., & Loncar, D. (2006). Projections
of global mortality and burden of disease from 2002 to 2030. PLoS Medicine,
3(11), 2011�2030. https://doi.org/10.1371/journal.pmed.0030442
Moon, J. Y., Leitao Filho, F. S., Shahangian, K.,
Takiguchi, H., & Sin, D. D. (2018). Blood and sputum protein biomarkers for
chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Expert Review of Proteomics,
15(11), 923�935. https://doi.org/10.1080/14789450.2018.1539670
Nunes, M. P. O., van Tilburg, M. F., Florean, E. O. P.
T., & Guedes, M. I. F. (2019). Detection of serum and salivary IgE and IgG
1 immunoglobulins specific for diagnosis of food allergy. PLoS ONE, 14(4),
1�13. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0214745
Prasad, B. (2008). Chronic obstructive pulmonary
disease. Revue Des Maladies Respiratoires, 25(ERS), 18�26.
https://doi.org/10.1016/s0761-8425(08)74813-7
Sirih, G. E., Engka, J. N., & Marunduh, S. M.
(2017). Hubungan Merokok dan Kadar Leukosit pada Perokok Kronik. Jurnal
E-Biomedik, 5(2). https://doi.org/10.35790/ebm.5.2.2017.18481
Tvarijonaviciute, A., Martinez-Subiela, S.,
Lopez-Jornet, P., & Lamy, E. (2020). SALIVA IN HEALTH AND
DISEASE : the present and future of a unique.
WHO. (2008). Chronic obstructive pulmonary disease. Journal
of Complementary Medicine, 7(2), 14�20.
https://doi.org/10.1201/9781315382067-12
World Health Organisation (WHO) International
Programme on Chemical Safety (IPCS). (1993). Biomarkers and risk assessment:
concepts and principles. Environmental Health Criteria 155. Environmental
Health Criteria, 155, 82.
http://www.inchem.org/documents/ehc/ehc/ehc155.htm#SectionNumber:1.1
Copyright holder: Fardiah Tilawati Sitanggang,
Siti Sakdiah, James Perdinan Simanjuntak, Raden Mustopa, Neta Yuliandari (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |