Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
2, Februari 2023
EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA TANPA MELALUI
PUTUSAN PENGADILAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 2/PUU-XIX/2021
Katarina Zein Angelica Janwarin, Etty Mulyati, Aam Suryamah
Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran
Email: [email protected]
Abstrak
Eksekusi
Jaminan Fidusia dengan menggunakan title eksekutorial atau parate eksekusi
masih menjadi permasalahan di kalangan masyarakat. Pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 terdapat perubahan makna terhadap pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia.
Dalam praktiknya masih banyak kreditur yang tidak berpedoman pada putusan
tersebut sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum eksekusi jaminan fidusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
menganalisis kepastian hukum eksekusi jaminan fidusia yang dilakukan secara paksa serta
perlindungan hukum bagi debitur. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa eksekusi jaminan fidusia
yang dilakukan secara paksa tidak memiliki kepastian hukum sehingga dapat dinyatakan batal demi
hukum dan salah satu cara dalam melindungi debitur yang mengalami kerugian
akibat eksekusi secara paksa adalah dengan mengajukan gugatan atas dasar Perbuatan Melawan Hukum ke Pengadilan Negeri setempat.�
Kata kunci: Kepastian Hukum, Eksekusi Jaminan Fidusia, Putusan Mahkamah Konstitusi,
Perlindungan Hukum.
Abstract
Execution of Fiduciary
Guarantee using executorial titles or parate executions is still a problem
among the public. After the issuance of the Constitutional Court Decision
Number 2/PUU-XIX/2021 there was a change in the meaning of the execution of
fiduciary guarantees. In practice, there are still many creditors who are not
guided by this decision, which creates legal uncertainty for the execution of
fiduciary guarantees. This study aims to determine and analyze the legal
certainty of forced execution of fiduciary guarantees and legal protection for
debtors. The method used in this study is a normative juridical approach with
analytical descriptive specifications. The results shows
that the forced execution of fiduciary
guarantees does not have legal certainty so that it can be declared null and
void then the way to protect debtors who
suffer losses due to forced execution is to file a lawsuit on the basis of
Unlawful Acts to the local district
court.
Keywords:
Legal Certainty, Fiduciary Guarantee Execution,
Constitutional Court Decision, Legal Protection.
Pendahuluan
Pembangunan ekonomi dalam suatu negara merupakan salah satu bagian penting untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Demi mendukung tercapainya pembangunan ekonomi yang sejahtera baik pemerintah maupun masyarakat menyelenggarakan berbagai upaya dalam menggerakkan perekonomian nasional. Lembaga keuangan hadir sebagai salah satu solusi dalam menunjang tercapainya tujuan tersebut.
Lembaga Keuangan merupakan lembaga perantara dari pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak yang kekurangan dana (lack of funds), memiliki fungsi sebagai perantara keuangan masyarakat (financial intermediary) (Neni, 2010). Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga keuangan dalam menyediakan dana bagi masyarakat adalah dengan melakukan fasilitas pembiayaan (Ilyas, 2018). Dalam pemberian fasilitas pembiayaan, lembaga keuangan harus mempertimbangkan mengenai pengelolaan mitigasi risiko untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya kerugian dari fasilitas tersebut. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan cara melakukan pembebanan jaminan seperti pembebanan jaminan fidusia.
Keberadaan mengenai Jaminan Fidusia telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut Undang-Undang Jaminan Fidusia) (Hayati, 2016). Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Jaminan Fidusia, Jaminan Fidusia merupakan hak jaminan atas
benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak ftanggungan dan tetap berada
dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan tertentu yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur
lainnya (Mulyani, 2012). Dalam pembebanan
jaminan fidusia benda yang
dijadikan sebagai objek jaminan tidak perlu berpindah kekuasaannya sehingga hanya hak kepemilikan dari benda yang dijaminkan
saja yang berpindah.
Perjanjian pemberian jaminan fidusia
merupakan perjanjian yang bersifat accessoir, yaitu perjanjian tambahan dari
suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab para pihak
untuk memenuhi suatu prestasi sebagai akibat dari suatu perikatan (Usman, 2021). Pembebanan benda dengan jaminan fidusia
telah ditegaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Jaminan Fidusia, yakni dibuat
dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia, benda
yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan dan berdasarkan Pasal 12
ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia pendaftarannya dilakukan pada kantor
pendaftaran fidusia. Hasil dari pendaftaran jaminan fidusia tersebut adalah
dengan diterbitkannya sertifikat jaminan fidusia.
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa sertifikat jaminan fidusia tercantum irah-irah �DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA�. Hal ini bermakna bahwa sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap seperti yang tercantum dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia (Ahmad, 2018). Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan "kekuatan eksekutorial" adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Lebih lanjut, ketentuan mengenai eksekusi jaminan fidusia diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu dengan pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia, penjualan dengan melalui pelelangan dan penjualan di bawah tangan berdasarkan kesepakatan (Rufaida, 2019).
Dalam praktiknya, eksekusi jaminan fidusia
tanpa melalui pengadilan selalu berakhir menjadi suatu permasalahan. Seringkali
eksekusi jaminan dilakukan dengan tindakan yang sewenang-wenang sehingga
merugikan salah satu pihak. Dampaknya adalah terjadinya keresahan dan
ketidaktentraman dalam masyarakat. Keresahan masyarakat mengenai tindakan
sewenang-wenang dalam proses eksekusi jaminan fidusia berujung diajukannya uji
materil mengenai Eksekusi Jaminan Fidusia dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 memberikan penafsiran baru dalam
hal eksekusi jaminan fidusia khususnya mengenai parate eksekusi yang diharapkan
dapat memberikan keseimbangan posisi hukum antara debitur dan kreditur serta
menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi (Margaratna, 2022). Meskipun telah dikeluarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 namun kasus eksekusi jaminan fidusia
masih menjadi permasalahan di kalangan masyarakat terlebih lagi di saat Pandemi
Covid-19.
Masih banyak kasus eksekusi jaminan fidusia yang kontroversial seperti kasus penarikan paksa objek jaminan fidusia oleh salah satu perusahaan pembiayaan. Eksekusi secara paksa ini dilakukan oleh pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan kreditur. Kemudian debitur dibawa ke Kantor Kreditur untuk menandatangani selembar surat yang merupakan surat penyerahan Objek Jaminan Fidusia secara sukarela namun debitur tidak menandatangani surat tersebut sehingga penyerahan objek jaminan tidak berdasarkan kesukarelaan debitur namun atas daya paksa kreditur beserta pihak ketiga. Dalam hal ini terdapat permasalahan hukum mengenai kepastian eksekusi jaminan fidusia tanpa melalui putusan pengadilan yang diserahkan secara tidak sukarela oleh debitur kepada pihak kreditur.
Adapun beberapa permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: (1) Bagaimana kepastian hukum eksekusi jaminan
fidusia yang dilakukan tanpa melalui putusan pengadilan jika tidak ada
penyerahan secara sukarela pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 ? (2) Bagaimana perlindungan hukum terhadap debitur yang mengalami kerugian
akibat eksekusi secara paksa
tanpa melalui putusan pengadilan ?
Metode Penelitian
����������� Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder berupa hukum positif atau peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menjawab isu hukum yang dihadapi (Soekanto, 2007). Penelitian dilakukan dengan cara mengkaji peraturan-peraturan yang berhubungan dengan eksekusi jaminan fidusia tanpa melalui putusan pengadilan.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan memberikan gambaran dan menganalisis permasalahan berdasarkan kaidah yang relevan seperti peraturan perundang-undangan yang berlaku, teori dan asas hukum yang sesuai dengan objek permasalahan yang akan diteliti (Surachman, 1999). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan studi lapangan yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu data yang telah diperoleh ditinjau dan dianalisis berdasarkan peraturan perundang-undangan, norma, dan pendapat para ahli sebagai perbandingan antara teori dan keadaan dalam praktik di lapangan (Benuf & Azhar, 2020). Setelah dilakukan analisis maka akan digambarkan secara deskriptif yaitu analisis data tanpa mempergunakan rumus dan angka sehingga dapat ditarik kesimpulan (Sholikhah, 2016).
Hasil dan Pembahasan
Kepastian Hukum
Eksekusi Jaminan Fidusia Tanpa melalui Putusan Pengadilan terhadap Objek Jaminan yang tidak
diserahkan secara sukarela Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021
Jaminan fidusia merupakan bentuk lembaga
jaminan yang digunakan secara luas dan sering ditemui dimasyarakat karena
proses pembebanan objek jaminan fidusia yang sederhana, mudah dan cepat. Selain
itu, terdapat salah satu ciri jaminan fidusia yaitu kemudahan dalam pelaksanaan
eksekusinya apabila pihak pemberi fidusia cidera janji. Eksekusi Jaminan
Fidusia dapat dilakukan melalui tiga cara sebagaimana telah diatur dalam Pasal
29 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia yang menyebutkan bahwa
�Apabila debitur
atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek
Jaminan Fidusia�(Bouzen & Ashibly, 2021) dapat dilakukan dengan cara:
a. Pelaksanaan
titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima
Fidusia.
b. Penjualan
benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia kekuasaan Penerima Fidusia sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan;
c. penjualan
di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima
Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan para pihak.�
Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan
Fidusia bermakna bahwa title eksekutorial dapat
dilaksanakan apabila dalam sertifikat
jaminan fidusia yang diterbitkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia telah
tercantum kata-kata �Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa�
sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (Rufaida, 2019). Kekuatan eksekutorial bermakna bahwa
eksekusi langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat
final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-Undang
Fidusia menjadi justifikasi dalam melakukan eksekusi jaminan fidusia dengan
berdasarkan sertifikat jaminan fidusia apabila debitur telah wanprestasi (Ulinnuha, 2017). Oleh karena itu, eksekusi objek jaminan fidusia langsung dapat
dilaksanakan dengan berdasarkan sertifikat jaminan fidusia tanpa memerlukan
putusan pengadilan jika syarat debitur telah melakukan wanprestasi telah
terpenuhi.
Eksekusi menggunakan sertifikat jaminan
fidusia atau parate eksekusi sering digunakan oleh kreditur dalam mengeksekusi
objek jaminan fidusia karena prosesnya cepat dan mudah. Setelah adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 terdapat perubahan makna dalam
pelaksanaan parate eksekusi. Jika dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia,
sertifikat jaminan fidusia menjadi dasar dalam melakukan eksekusi karena
kedudukannya dapat dipersamakan dengan putusan pengadilan sehingga kreditur
dapat langsung melaksanakan eksekusi apabila debitur melakukan wanprestasi.
Namun, setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021
terdapat syarat tertentu yang harus dipenuhi jika kreditur ingin melaksanakan
parate eksekusi (Naini et al., 2022). Hal ini menimbulkan ketidakpastian dalam
pelaksanaan eksekusi menggunakan sertifikat jaminan fidusia (Karelina et al., 2022).
Kepastian hukum dapat diartikan bila kepastian dalam law
in the books tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan
prinsip-prinsip dan norma-norma hukum dalam menegakkan keadilan hukum.
Kepastian hukum harus diperhatikan demi keamanan dan ketertiban suatu negara
serta untuk memberikan perlindungan hukum kepada pihak yang bersengketa
sehingga dapat terhindar dari kesewenangan-wenangan penghakiman. Dengan
demikian, kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap
dan konsisten dimana pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh
keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.
Eksekusi diartikan sebagai Pelaksanaan
Putusan Pengadilan. Lebih lanjut, Eksekusi merupakan upaya dari pihak yang
dimenangkan dalam putusan guna mendapatkan sesuatu yang menjadi haknya dengan
bantuan kekuatan umum untuk memaksa pihak yang dikalahkan dalam melaksanakan
bunyi putusan. Tindakan hukum tersebut dilakukan oleh pengadilan kepada pihak
yang kalah dalam suatu perkara. Dengan demikian, eksekusi dapat diartikan
sebagai pelaksanaan sebuah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap yang dijalankan secara paksa karena pihak yang kalah dalam perkara tidak
melaksanakan isi putusan pengadilan tersebut.
Proses pelaksanaan eksekusi yang dilakukan
oleh pengadilan berpedoman pada ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 195 sampai
dengan Pasal 224 HIR/Pasal 206 sampai dengan Pasal 258 Rbg
(Maharani, 2014). Proses eksekusi dilakukan berdasarkan
permohonan dari pihak yang dinyatakan menang oleh Putusan Hakim. Prinsip
eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR merupakan bagian wewenang eksekusi di bawah
kekuasaan Ketua Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri berwenang untuk melakukan
eksekusi terhadap grosse akta yang dilekati kekuatan eksekutorial salah satunya
seperti Sertifikat Jaminan Fidusia. Oleh karena itu, eksekusi jaminan fidusia
melalui title eksekutorial dengan berdasarkan Sertifikat Jaminan Fidusia dapat
dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 224 HIR. Pasal ini mengatur mengenai
eksekusi grosse akta. Dengan adanya grosse akta kreditur dapat langsung
menggunakan hak eksekusinya melalui permohonan eksekusi ke pengadilan tanpa
melalui proses gugatan biasa.
Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 2/PUU-XIX/2021 telah terjadi pergeseran makna dan perubahan dalam
memaknai eksekusi jaminan fidusia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
2/PUU-XIX/2021 menjelaskan pemaknaan dari Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Jaminan Fidusia harus dimaknai berbeda meskipun Pasal 15 ayat (2)
dan ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia masih tetap berlaku dan mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat. Mahkamah konstitusi dalam putusannya memberikan
syarat tertentu dalam memaknai Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang
Jaminan Fidusia.
Berdasarkan kewenangannya untuk menguji
konstitusionalitas, Mahkamah Konstitusi melalui putusan yang dikeluarkannya
dapat menyatakan bahwa suatu materi dari suatu Undang-Undang tidak mempunyai
kekuatan hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu,
Mahkamah Konstitusi juga dapat membatalkan keberlakuan Undang-Undang karena
tidak sesuai dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 24C ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi
bersifat final dan mengikat sejak saat dibacakan dalam persidangan.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengikat semua
komponen dalam suatu negara baik penyelenggara negara maupun warga negara. Hal
ini dikarenakan Mahkamah Konstitusi menguji Undang-Undang yang mengikat secara
umum. Setiap pihak yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
harus melaksanakan isi putusannya. Dengan demikian bahwa jelaslah kedudukan
Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Jaminan Fidusia. Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 membuat penafsiran makna Pasal 15 ayat
(2) dan (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia menjadi berbeda dengan sebelum dikeluarkannya
putusan tersebut. Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia masih
memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai sesuai dengan apa yang
sudah dijelaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
2/PUU-XIX/2021 dinyatakan bahwa Pasal 15 ayat (2) dan (3) mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang dimaknai bahwa adanya cidera janji tidak ditentukan
secara sepihak melainkan atas dasar kesepakatan dengan debitur atau dasar upaya
hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji dan terdapat penyerahan
secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia. Apabila kedua syarat
tersebut tidak terpenuhi maka eksekusi objek jaminan fidusia harus dilakukan
dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian, pelaksanaan ekskekusi objek jaminan
fidusia harus dilakukan dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada
Pengadilan Negeri setempat dan jika Pengadilan Negeri setempat telah mengeluarkan
penetapan untuk melakukan eksekusi maka eksekusi dapat dilaksanakan.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi
menjelaskan bahwa tujuan dicantumkannya unsur adanya
kesepakatan mengenai wanprestasi adalah untuk memberikan keseimbangan hak
antara kreditur dan debitur sehingga wanprestasi tidak ditentukan hanya sepihak
oleh kreditur saja melainkan debitur juga harus mengakui adanya wanprestasi.
Oleh karena itu, jika perusahaan pembiayaan ingin melakukan eksekusi maka
terdapat dokumen yang harus ditandatangani oleh debitur yaitu surat penyerahan
objek jaminan fidusia yang membuktikan adanya pengakuan wanprestasi oleh
debitur dan penyerahan secara sukarela sehingga eksekusi jaminan fidusia dapat
dilaksanakan secara langsung.
Hal tersebut juga diatur dalam PMK Nomor
213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang yang menyebutkan bahwa
salah satu dokumen yang harus dipenuhi jika ingin melakukan lelang eksekusi
jaminan fidusia adalah surat pernyataan dari Penjual bahwa barang yang akan
dilelang dalam penguasaan Penjual karena telah diserahkan secara sukarela dan
debitur telah sepakat terjadinya wanprestasi serta tidak ada keberatan dari
debitur. Dengan demikian, eksekusi jaminan fidusia dapat langsung dilaksanakan.
Dalam memenuhi
syarat adanya penyerahan secara sukarela, pada saat melakukan eksekusi objek
jaminan fidusia perusahaan pembiayaan menyiapkan surat yang berisi
bahwa penyerahan objek jaminan tersebut telah diserahkan secara sukarela
seperti yang telah dijelaskan di atas. Surat penyerahan objek jaminan harus
ditandatangani oleh debitur sebagai bukti bahwa penyerahan objek jaminan
tersebut tidak dilakukan secara paksa sehingga memudahkan untuk melakukan
eksekusi. Jika debitur tidak mendandatangani surat tersebut maka proses
eksekusi jaminan fidusia harus dilakukan melalui permohonan kepada Pengadilan
Negeri.
Dengan demikian, jika eksekusi objek
jaminan fidusia pasca putusan mahkamah konstitusi tidak dijalankan sesuai
dengan apa yang telah
ditafsirkan dalam putusan tersebut maka pelaksanaan eksekusi tersebut
bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku. Selain itu,
jika mengacu kepada Pasal
32 Undang-Undang Jaminan fidusia, apabila eksekusi jaminan
fidusia dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka dapat
dinyatakan batal demi hukum sehingga dianggap tidak ada dan tidak pernah
terjadi. Oleh karena itu, objek jaminan fidusia harus dikembalikan kepada
debitur karena pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang
tidak mengikuti penafsiran dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
2/PUU-XIX/2021 tidak memiliki kepastian hukum.���
Perlindungan
Hukum terhadap Debitur yang mengalami kerugian dengan adanya Eksekusi secara
Paksa Tanpa melalui Putusan Pengadilan
Perlindungan Hukum terhadap setiap warga
Negara Republik Indonesia telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia. Perlindungan hukum selalu berkaitan dengan peran dan fungsi
hukum sebagai pengatur dan pelindung kepentingan
masyarakat. Selain itu, perlindungan hukum juga erat kaitannya dengan
terpenuhinya hak seseorang untuk mendapatkan perlindungan secara hukum dan
memiliki hak atas rasa aman. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 28 huruf G
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen kedua yang
mempunyai makna bahwa setiap warga negara mempunyai hak atas perlindungan dari
Negara baik bagi dirinya sendiri, keluarga, kehormatan maupun martabat dan
harta benda yang dia miliki dibawah kekuasaannya dan setiap orang juga berhak
untuk memiliki hak atas rasa aman dan perlindungan dari adanya ancaman untuk
berbuat atau bertindak yang tidak sesuai dengan hak asasi manusia.
Dalam melaksanakan eksekusi objek jaminan
fidusia, kreditur dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan pengamanan dari
pihak kepolisian agar eksekusi dapat berjalan dengan tertib jika diperlukan.
Pengamanan dari pihak kepolisian telah diatur dalam Pasal 2 Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pengamanan
Eksekusi Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa pelaksanaan eksekusi jaminan
fidusia haruslah dilaksanakan secara aman, tertib, lancar, dan dapat
dipertanggungjawabkan dan terlindunginya keselamatan dan keamanan penerima
jaminan fidusia, pemberi jaminan fidusia, dan/atau masyarakat dari perbuatan
yang dapat menimbulkan kerugian harta benda dan/atau keselamatan jiwa.
Pada kenyataan seringkali pihak kreditur tidak meminta bantuan pengamanan dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia melainkan langsung memerintahkan debt collector untuk
melakukan eksekusi jaminan fidusia. Debt collector yang bekerja untuk
mengeksekusi objek jaminan fidusia seringkali melakukan tindakan yang
sewenang-wenang sehingga proses pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia tidak
terlaksana secara lancar. Kemudian terdapat unsur pemaksaan dalam proses
penyerahan objek jaminan fidusia yang membuat debitur sangat dirugikan baik
secara moril maupun materiil. Perlindungan hukum bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada subjek hukum dengan melalui peraturan perundang-undangan
yang berlaku disertai adanya suatu sanksi yang nyata. Perlindungan hukum dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Perlindungan
Hukum Preventif yaitu perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah dalam hal
mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Perlindungan hukum preventif
direfleksikan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang memberikan
batasan-batasan atau rambu-rambu dalam melakukan suatu perbuatan.
b. Perlindungan
Hukum Represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda,
penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa
atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia secara
tersirat telah mengakomodir perlindungan hukum secara preventif yang sifatnya
berupa pencegahan sebelum terjadinya pelanggaran. Peraturan dalam Pasal 11
sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Jaminan Fidusia dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan hukum kepada pihak penerima dan pemberi fidusia.
Pendaftaran objek jaminan fidusia oleh kreditur pada Kantor Pendaftaran Fidusia
sehingga terbit Sertifikat Jaminan Fidusia merupakan sebuah langkah dalam
memberikan perlindungan terhadap kreditur dan juga terhadap debitur. Jika objek
jaminan fidusia tidak didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia sehingga
tidak memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia maka eksekusi terhadap objek jaminan
fidusia tidak dapat dilaksanakan melalui proses eksekutorial atau parate eksekusi. Dengan demikian, pada saat terjadi
sengketa yang mengharuskan kreditur untuk mengeksekusi objek jaminan fidusia
maka proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke
Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga adanya putusan
pengadilan.
Selain perlindungan hukum secara preventif
terdapat juga perlindungan hukum represif yang merupakan perlindungan akhir
berupa adanya sanksi tertentu seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan
lainnya. Eksekusi jaminan fidusia berdasarkan Undang-Undang Jaminan Fidusia
dapat dilaksanakan melalui kekuatan eksekutorial/parate eksekusi dengan syarat
bahwa debitur telah melakukan wanprestasi. Jika debitur telah melakukan
wanprestasi maka kreditur berhak untuk melakukan eksekusi terhadap objek
jaminan fidusia.
Dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia
juga harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang berlaku dan jika tidak maka
perbuatan eksekusi tersebut dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum.
Perlindungan hukum terhadap debitur yang merasa dirugikan dengan adanya daya paksa adalah dengan cara mengajukan
gugatan Perbuatan Melawan Hukum kepada Pengadilan Negeri.
Mahkamah
Konstitusi dalam putusannya yang menyatakan bahwa eksekusi terhadap benda yang
dibebani Jaminan Fidusia dapat dilakukan hanya jika dalam perjanjian
disyaratkan adanya kesepakatan cidera janji dan kesediaan debitur menyerahkan
barang jaminan secara sukarela ketika terjadi wanprestasi.
Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 Tentang Penyelenggaraan Usaha
Perusahaan Pembiayaan dijelaskan bahwa perusahaan pembiayaan dapat melakukan
kerjasama dengan pihak lain untuk melakukan fungsi penagihan kepada debitur.
Selanjutnya dipertegas kembali dalam Pasal 48 ayat (4) yang menyatakan bahwa
perusahaan pembiayaan wajib bertanggung jawab penuh atas segala dampak yang
ditimbulkan dari kerja sama dengan pihak lain termasuk dalam melakukan
penagihan terhadap debitur. Dengan demikian, kreditur dapat dimintakan
pertanggungjawaban atas segala tindakan yang dilakukan oleh pihak yang melakukan
eksekusi atau tindakan penarikan objek jaminan fidusia secara paksa.
Perbuatan melawan hukum (onrectmatige
daad) merupakan suatu kaidah yang diatur dalam bidang hukum perdata. Pasal
1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan Perbuatan
melawan hukum adalah setiap perbuatan yang melawan hukum dan menimbulkan
kerugian kepada orang lain karena kesalahannya sehingga orang yang menimbulkan
kerugian diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut. Dalam mengajukan gugatan
dengan dasar adanya perbuatan melawan hukum maka terdapat 4 unsur yang harus
dibuktikan, sebagai berikut:
1. Perbuatan
Melawan Hukum
2. Ada
kesalahan
3. Adanya
Kerugian
4. Kausalitas
antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian
Perbuatan melawan hukum yang terjadi yaitu
adanya penarikan objek jaminan fidusia secara paksa tanpa menunjukkan identitas
maupun sertifikat jaminan fidusia. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi telah
terdapat perubahan makna dalam melaksanakan eksekusi jamian fidusia berdasarkan
title eksekutorial atau parate eksekusi yaitu eksekusi jaminan fidusia yang
menggunakan title eksekutorial/parate eksekusi harus didasari atas kesepakatan
adanya wanprestasi dan penyerahan secara sukarela. Kreditur melalui pihak ketiga
yang mewakilinya tidak memenuhi syarat dalam melakukan eksekusi melalui title
eksekutorial/parate eksekusi.
Adanya unsur kesalahan sehingga dapat
dimintakan tanggung jawabnya secara hukum. Debt collector yang menarik
paksa objek jaminan fidusia tidak menunjukkan surat tugas, surat tagihan maupun
sertifikat jaminan fidusia. Kemudian akibat dari perbuatan tersebut menimbulkan
kerugian baik inmateriil maupun materiil bagi debitur. Kerugian materiil yang
ditimbulkan adalah biaya pengurusan berupa panjar, transportasi maupun
konsumsi. Selain itu terdapat kerugian inmateril yaitu indimidasi dari pihak
yang melakukan eksekusi.
Terdapat kausalitas antara perbuatan yang
dilakukan dengan kerugian, dengan adanya perbuatan eksekusi objek jaminan
fidusia yang dilakukan secara paksa dan tidak sesuai dengan peraturan pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal ini debitur merasa dirugikan baik secara
materiil maupun imateril seperti yang sudah dijelaskan di atas. Dalam Pasal 1365 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada orang
lain mewajibkan orang yang melakukan
kesalahan tersebut yang menyebabkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut. Terdapat beberapa kemungkinan jenis penuntutan ganti kerugian di antaranya:
1. Ganti
kerugian dalam bentuk uang
2. Ganti
kerugian dalam bentuk
natura atau pemulihan keadaan seperti
semula
3. Pernyataan
bahwa perbuatan tersebut bersifat melawan hukum
4. Larangan
untuk melakukan suatu perbuatan
5. Meniadakan
sesuatu yang diadakan secara melawan hukum
6. Pengumuman
daripada keputusan atau dari sesuatu yang telah diperbaiki
Berdasarkan uraian di atas maka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang dilakukan secara paksa tanpa didasari adanya kesukarelaan penyerahan objek jaminan fidusia termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum karena memenuhi unsur yang telah diuraikan. Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia tidak dilaksanakan sesuai dengan yang dimaknai seperti dalam Putusan Mahkamah Kontitusi dan telah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum maka pelaksanaan eksekusi tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia tersebut tidak sah menurut hukum dan dikarenakan perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian maka sesuai dengan Pasal 1365 KUHPerdata kreditur diharuskan untuk mengganti kerugian yang diderita debitur akibat dari perbuatannya. Penggantian kerugian atas perbuatan melawan hukum tersebut berupa:
1. Ganti
kerugian dalam bentuk uang dengan cara kreditur
membayar biaya perkara sebagai ganti rugi secara materil
2. Ganti
kerugian dalam bentuk natura atau pemulihan keadaan seperti semula yaitu dengan
mengembalikan objek jaminan fidusia kepada debitur sehingga objek jaminan
fidusia berada dalam penguasaan debitur kembali seperti sebelum dilakukannya
eksekusi objek jaminan fidusia
3. Pernyataan
bahwa perbuatan tersebut bersifat melawan hukum sehingga eksekusi jaminan fidusia tidak sah
menurut hukum
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan dan saran sebagai
berikut: (1) Kepastian hukum eksekusi jaminan fidusia yang dilakukan tanpa
melalui putusan pengadilan jika tidak ada penyerahan secara sukarela pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 yaitu tidak memiliki kepastian
hukum. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, eksekusi objek jaminan fidusia dapat
dilaksanakan secara langsung dengan syarat debitur secara sukarela menyerahkan
objek jaminan fidusia dan telah ada kesepakatan mengenai wanprestasi yang
diakui oleh debitur. Oleh karena itu, jika pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia
tidak dilaksanakan sesuai dengan yang dimaknai oleh putusan tersebut maka
eksekusi tersebut tidak memiliki kepastian hukum sehingga harus dinyatakan batal
demi hukum. (2) Perlindungan hukum terhadap debitur yang mengalami kerugian
akibat eksekusi secara paksa tanpa melalui putusan pengadilan dapat dilakukan
dengan penyelesaian permasalahan melalui pengadilan yaitu dengan mengajukan
gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Hal tersebut termasuk ke dalam kategori
perlindungan hukum represif karena diberikan setelah terjadi
sengketa/pelanggaran. Dalam hal ini, kreditur telah melanggar ketentuan
eksekusi jaminan fidusia serta memenuhi unsur dalam perbuatan melawan hukum.
Akibatnya kreditur diwajibkan untuk mengganti rugi yang dapat berupa materil
maupun inmateril seperti membayar biaya perkara dan mengembalikan objek jaminan
fidusia kepada debitur.
BIBLIOGRAFI
Ahmad, F. (2018). Keabsahan Kuasa
Untuk Menandatangani Akta Oleh Lembaga Pembiayaan Jaminan Fidusia Suatu Kajian
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015. Jurnal Ius Constituendum, 3(2),
147�165. https://doi.org/10.26623/jic.v3i2.1037
Benuf, K., & Azhar, M. (2020).
Metodologi penelitian hukum sebagai instrumen mengurai permasalahan hukum
kontemporer. Gema Keadilan, 7(1), 20�33.
https://doi.org/10.14710/gk.2020.7504
Bouzen, R., & Ashibly, A. (2021).
Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Terhadap Debitur Yang Wanprestasi Setelah
Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Jurnal Gagasan
Hukum, 3(02), 137�148.
Hayati, N. (2016). Aspek Hukum Pendaftaran
Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fidusia. Lex Jurnalica, 13(2), 147577.
Ilyas, R. (2018). Analisis sistem
pembiayaan pada perbankan syariah. Adzkiya: Jurnal Hukum Dan Ekonomi Syariah,
6(1). https://doi.org/10.32332/adzkiya.v6i1.1167
Karelina, N., Abubakar, L., &
Handayani, T. (2022). Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
18/Puu/Xvii/2019 Dan Penegasannya Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
2/Puu-Xix/2021 Terhadap Eksekusi Jaminan Fidusia Dan Perumusan Klausula
Perjanjian. ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan, 5(2),
187�201. https://doi.org/10.23920/acta.v5i2.738
Maharani, R. S. (2014). Pelaksanaan
Eksekusi di Atas Hak Pengelolaan (Hpl) No. 3 Milik PT. Kawasan Industri Medan
(Persero)(Studi Kasus Putusan Pk No. 94 Pk/pdt/2004). Premise Law Journal,
2, 13985.
Margaratna, P. D. (2022). Studi
Komparasi Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 18/PUU-XVII/2019 dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021.
Mulyani, S. (2012). Pengembangan Hak
Kekayaan Intelektual Sebagai Collateral (Agunan) Untuk Mendapatkan Kredit
Perbankan Di Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum, 12(3), 568�578.
https://doi.org/10.20884/1.jdh.2012.12.3.128
Naini, R., Suri, F. A., Rachmawati, P. P.,
& Setiawan, A. I. (2022). Model Alternatif Pelaksanaan Eksekusi Objek
Jaminan Fidusia Pasca Putusan mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021. Gorontalo
Law Review, 5(1), 288�299. https://doi.org/10.32662/golrev.v5i1.2110
Neni, I. S. (2010). Pengantar Hukum
Perbankan Indonesia. Bandung: PT. Rafika Aditama.
Rufaida, K. K. (2019). Tinjauan Hukum
Terhadap Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Tanpa Titel Eksekutorial Yang Sah. Refleksi
Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, 4(1), 21�40. https://doi.org/10.24246/jrh.2019.v4.i1.p21-40
Sholikhah, A. (2016). Statistik deskriptif
dalam penelitian kualitatif. KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 10(2),
342�362. https://doi.org/10.24090/komunika.v10i2.953
Soekanto, S. (2007). Penelitian hukum
normatif: Suatu tinjauan singkat.
Surachman, W. (1999). Pengantar Ilmu Dasar
dan Teknik. Tarsito, Bandung.
Ulinnuha, L. (2017). Penggunaan Hak Cipta
Sebagai Objek Jaminan Fidusia. J. Priv. & Com. L., 1, 85.
Usman, R. (2021). Hukum pencatatan sipil.
Sinar Grafika.
Copyright holder: Katarina Zein Angelica Janwarin, Etty Mulyati, Aam
Suryamah (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |