Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 9, September 2023

 

LITERATURE REVIEW: HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN, SELF–EFFICACY, DAN DUKUNGAN TEMAN PADA WANITA PEKERJA SEKSUAL (WPS) DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS)

 

Tamara Yushe1*, Sri Winarni2, Zahroh Shaluhiyah3

Universitas Diponegoro, Jawa Tengah, Indonesia1,2,3

Email: [email protected]*

 

Abstrak

Latar Belakang: Infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual atau lebih dikenal masyarakat dengan sebutan penyakit kelamin dinamakan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS). Wanita Pekerja Seksual (WPS) usia subur merupakan kelompok berisiko IMS karena perilaku seksualnya namun kurang diperhatikan secara khusus oleh Pemerintah. Tujuan: Menganalisis hubungan antara pengetahuan, self-efficacy, dan dukungan teman pada WPS dengan perilaku pencegahan IMS. Metode: Penelitian ini merupakan penelusuran pustaka, menggunakan aplikasi pencari Google Schoolar, pubmed dan jurnal elektronik lainnya dengan kata kunci Infeksi Menular Seksual dan Wanita Pekerja Seksual, full text, metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, serta artikel penelitian yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dan Inggris selama lima tahun terakhir (2017 hingga 2021) menjadi kriteria inklusi untuk pemilihan literatur review jurnal penelitian. Hasil: Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan IMS, self-efficacy dengan perilaku pencegahan IMS, dan dukungan sosial teman denganperilaku pencegahan IMS. Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan, self–efficacy, dan dukungan sosial pada wanita dengan perilaku pencegahan IMS, selanjutnya dilakukan penelitian kepada WPS dengan variabel–variabel yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di Kota Semarang. Diharapkan Pemerintah Kota Semarang membuat kebijakan yang dikhususkan bagi WPS mengenai IMS sebab pandangan masyarakat yang buruk juga menjadi salah satu pertimbangan WPS dalam melakukan Tes HIV/AIDS dan Tes IMS.

Kata kunci: Wanita Pekerja Seks, Infeksi Menular Seksual

 

Abstract

Background: Sexually transmitted or more commonly known to people as venereal disease is called the Sexually Transmitted Disease (STD). Female Sexual Workers (FSW) of childbearing age are a group at risk of STD because of their sexual behavior but lack special government attention. Purpose: Analyze the relationship between knowledge, self-transparency, and friend support of the FSW with STD prevention behavior. Methods: The study is a library search, using Google scholar search applications, published and other electronic journals with key words of sexually transmitted infection and sexual working women, full text, quantitative and woritative research methods, and research articles published in Indonesian and English over the last five years (2017 to 2021) are the inklational criteria for the review of the research journal election. Results: There is a significant link between knowledge and priesthood prevention behavior, self-defining acy with ims prevention behavior, and social support friends with STD prevention behaviors. Conclusion: There is a significant link between knowledge, self-temperance, and social support in women with STD prevention behaviors, followed by research on the FSW with variables - variables that fit the true state of Semarang. It is hoped that the Semarang city government will set out a policy specifically for the FSW regarding STD.

Keyword: female sex worker, sexually transmitted infection

 

Pendahuluan

Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual atau lebih dikenal masyarakat dengan sebutan penyakit kelamin(Tuntun, 2018), namun penularan juga dapat terjadi antara ibu kepada janin dalam kandungan atau saat melahirkan, melalui produk darah yang terinfeksi, dan dapat juga melalui alat kesehatan yang terinfeksi. Semua tehnik hubungan seksual yaitu melalui vagina, dubur atau mulut dapat berisiko terjadi penularan penyakit kelamin baik bagi laki–laki maupun perempuan. Infeksi menular seksual (IMS) merupakan salah satu penyebab permasalahan kesehatan, sosial dan ekonomi di banyak negara, hampir 500 juta kasus baru IMS terjadi setiap tahun di seluruh dunia(Kemenkes, 2013). Dalam pengendalian HIV, dapat dijelaskan bahwa IMS merupakan pintu masuk infeksi HIV/AIDS, Sifilis, dan berbagai penyakit seksual lainnya.

IMS disebabkan oleh infeksi dari bakteri, virus, dan jamur(Kemenkes, 2016). Penyakit yang digolongkan sebagai IMS meliputi Gonore, Klamidiosis, Limfogranuloma Venereum, Sifilis, Chancroid, Granuloma Inguinale, Herpes Genitalis, Kutil Kelamin, HIV/AIDS, Hepatitis Virus, Moluskum Kontagiosum, Trikomoniasis, Kandidiasis, Skabies, dan Pedikulosis Pubis(Kemenkes, 2016).

Faktor–faktor risiko IMS jika dilihat dari sudut pandang trias epidemiologi terdapat 3 faktor utama yaitu yang pertama adalah “host” atau penjamu yang diartikan sebagai individu yang terinfeksi IMS memiliki faktor risiko sosio–demografi (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, status perkawinan), perilaku seksual yang tidak sehat (berganti–ganti pasangan dan tidak memakai alat kontrasepsi kondom), hygiene personal, penggunaan narkoba, dan riwayat IMS sebelumnya. Kedua, faktor risiko “agent” yaitu dari mikroorganisme penyebab, tingkat risiko bergantung pada banyak atau sedikitnya mikroorganisme yang masuk dan keluar. Ketiga yaitu faktor “environment” atau faktor lingkungan sosial (dukungan sosial budaya, akses layanan kesehatan, akses tenaga kesehatan, dan media informasi)(Handayani Deasy, Victor Trimanjaya, Maisyarah, Rasmaniar, Widi Hidayat, Jasmen Manurung, Yoga Priastomo, Nataria Yanti, 2020).

Kelompok Wanita Pekerja Seksual (WPS) pada usia subur dinilai sangat berisiko terkena IMS karena memiliki lebih dari satu faktor–faktor IMS seperti perilaku seksual berganti–ganti pasangan seksual(Sanatha et al., 2018), wanita usia subur memiliki organ reproduksi yang sudah berfungsi dengan baik, menurut WHO yaitu pada usia 15 – 49 tahun. Penelitian sebelumnya yang dilakukan dengan responden sebanyak 179 pekerja seksual di lokalisasi, diperoleh hasil bahwa 76% memiliki gejala penyakit menular seksual dan tetap melakukan kegiatan prostitusi(Noorhidayah et al., 2013). Patogen IMS ditularkan oleh kelompok individu berisiko dengan angka infeksi yang tinggi dan kekerapannya berganti–ganti pasangan seksual, kemudian melalui pelanggan, patogen dapat menyebar dari kelompok inti kepada populasi pelanggan lalu menjadi perantara lintas seksual antara kelompok individu dengan pasangan seksual lainnya(Kemenkes, 2016). Jawa Tengah adalah provinsi dengan jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan terbesar sebanyak 307 kasus(Kementerian Kesehatan, 2021). Kota Semarang merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah yang termasuk dalam 5 kota metropolitan dan menjadi peringkat pertama tingkat Provinsi dengan kasus IMS tertinggi pada tahun 2018 yaitu sebanyak 1.233 kasus(Data Jumlah Kasus HIV/AIDS, IMS, DBD, Diare, TB, Dan Malaria Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2018, n.d.). Di Kota Semarang terdapat lokalisasi besar yang berdiri sejak 15 Agustus 1966 yang dikenal dengan sebutan Lokalisasi Sunan Kuning. Pada tanggal 18 Oktober 2019 lokalisasi Sunan Kuning resmi ditutup oleh pemerintah Kota Semarang, namun kebijakan penutupan lokalisasi tersebut tidak diikuti dengan penyelesaian akar penyebab prostitusi(Mufrohim & Setiyono, 2021) sehingga kegiatan prostitusi terus berlangsung menyebar ke seluruh wilayah Kota Semarang. Tetap menjadi PSK merupakan keputusan yang paling rasional bagi para penghuni lokalisasi yang dibubarkan, hal ini dapat menimbulkan fenomena lanjutan dalam bidang kesehatan seperti penyebaran penyakit menular seksual menjadi semakin sulit dikontrol sehingga berpotensi menimbulkan ledakan kasus bila tidak segera ditangani(Ginanjar, 2018).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa Dinas Sosial Kota Semarang tidak memiliki data terbaru terkait WPS, karena lokalisasi sudah secara resmi ditutup meski faktanya kegiatan prostitusi masih ada. Penjaringan WPS di Kota Semarang dilakukan secara mandiri oleh Dinas Satuan Polisi Pamong Praja Kota Semarang yang kemudian para WPS akan langsung dirujuk ke Panti Rehabilitasi Sosial di Kota Surakarta.

WPS merupakan kelompok berisiko IMS, maka para WPS perlu untuk melakukan perilaku pencegahan IMS sebagai salah satu upaya agar terhindar dari IMS. Dinas Kesehatan Kota Semarang telah memiliki fasilitas baik layanan kesehatan maupun tenaga kesehatan untuk pemeriksaan Tes IMS yang memadai. Pada masa kini majunya teknologi dan internet juga mempermudah bagi seseorang untuk memperoleh informasi mengenai IMS dan pencegahannya, namun Pemerintah Kota Semarang tidak memiliki program pencegahan IMS yang dikhususkan bagi WPS serta lokalisasi yang telah dibubarkan sehingga keberadaannya yang tidak terpusat menyulitkan untuk dikontrol, maka kesediaan seorang WPS untuk ikut serta melakukan perilaku pencegahan IMS diperoleh dari kemauan dirinya sendiri dengan segala pandangan buruk masyarakat umum mengenai pekerjaannya sebagai pekerja seksual, serta dukungan dari pihak lain di lingkungan terdekatnya yaitu teman.

Temuan kasus IMS termasuk HIV/AIDS sebenarnya tidak akan terjadi jika PSK dan pelanggannya mamiliki perilaku yang sehat. Perilaku yang sehat adalah menggunakan kondom dan melakukan pemeriksaan rutin ke pelayanan kesehatan dan tidak menggunakan jarum suntik bersama. Kasus AIDS merupakan fenomena gunung es, yg muncul kepermukaan sebagian kecil dari yang sebenarnya menurut WHO : 1 kasus HIV : tersembunyi 100 sampai dengan 200 orang. Laporan situasi perkembangan HIV/AIDS di Indonesia tahun 2013 melaporkan sampai dengan bulan September jumlah penyandang HIV mencapai 20.397 orang dan yang telah menjadi AIDS berjumlah 2.763 orang. Dari data tersebut, salah satu kelompok yang rentan tertular AIDS yaitu Wanita Pekerja Seks (WPS) sebanyak 4%. Adapun jumlah akumulatif WPS yang mengalami AIDS tahun 1987 – 2013 berjumlah 1.771 orang. Sedangkan perilaku yang paling beresiko menularkan HIV/AIDS adalah perilaku heteroseksual sebanyak 78,4%. Perilaku seksual meningkat tajam dikarenakan menjamurnya praktik prostitusi(Mayestika & Hasmira, 2021). Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Skinner (1938) adalah seorang ahli psikologi yang merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Selain itu, kecenderungan WPS berhubungan dengan banyak pasangan atau gonta-ganti pasangan dan mode hubungan seksual yang rentan yaitu melalui mulut dan anus karena merupakan bagian yang mudah lecet bahkan dapat terjadi kerobekan pada anus karena selaputnya mudah robek dan kurangnya kesadaran untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dewi Kurniati (2018) diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan upaya pencegahan IMS yang dilakukan oleh WPS(Kurniati & Sulastri, 2018). Pengetahuan merupakan hasil dari tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya yakni indra pendengaran, indra penciuman, indra penglihatan, indra penciuman, dan indera peraba(Soekidjo Notoadmodjo, 2018). Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor, menurut Notoadmodjo faktor–faktor yang mempengaruhi(Soekidjo Notoadmodjo, 2018) yaitu yang pertama adalah usia yang mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia maka akan semakin berkembang daya tangkap dan pola pikir sehingga pengetahuan yang dimiliki menjadi semakin membaik. WPS usia subur yaitu pada usia 15 – 49 tahun dengan kategori menurut Depkes RI (2019) yaitu remaja awal usia ku rang dari 17 tahun, remaja akhir usia 17 – 25 tahun, dewasa awal usia 26 – 35 tahun, dewasa akhir usia 36 – 45 tahun, dan lansia awal usia 46 – 55 tahun. Kedua yaitu tingkat Pendidikan, pendidikan menjadi salah satu bentuk upaya untuk meningkatkan mutu karakter seseorang agar memiliki kemampuan yang baik. Pendidikan ini mempengaruhi sikap dan tata laku seseorang untuk mendewasakan melalui pengajaran. Pendidikan yang dimaksud adalah jenjang pendidikan akademik yang pernah ditempuh WPS hingga penelitian dilakukan. Pembagiannya yaitu pendidikan dasar (SD/sederajat), pendidikan menengah (SMP/SMA/sederajat), pendidikan tinggi (diploma, sarjana, dan pasca sarjana). Ketiga yaitu status ekonomi yang dapat mempengaruhi pengetahuan, karena seseorang dengan status ekonomi yang baik mampu memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder dibandingkan keluarga dengan status ekonomi yang rendah. Status ekonomi adalah pendapatan setiap bulan seseorang. Pembagiannya adalah lebih besar dan kurang dari/sama dengan UMK Kota Semarang tahun 2023 yaitu Rp 3.060.000.

Self–efficacy merupakan salah satu potensi pada faktor kognitif manusia yang menjadi bagian dari penentu bagi seseorang dalam berperilaku termasuk dalam mengambil keputusan untuk melakukan perilaku pencegahan IMS. Penelitian yang dilakukan oleh Silvia (2016) diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara self–efficacy dengan perilaku pencegahan penyakit IMS. Perilaku individu dalam situasi tertentu pada umumnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan kognitif yang berhubungan dengan keyakinan pada dirinya sendiri bahwa mampu atau tidak mampu untuk melakukan suatu tindakan yang memuaskan. Keyakinan atau yang disebut self–efficacy merupakan persepsi diri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu(Bandura, 1997). Self–efficacy adalah suatu keadaan dimana seseorang yakin dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari usaha yang telah dilakukan. Self–efficacy akan mempengaruhi cara individu dalam  berinteraksi terhadap situasi yang menekan(Bandura, 1997). Seseorang yang memiliki self–efficacy yang tinggi cenderung melakukan sesuatu dengan usaha yang besar dan penuh tantangan, sebaliknya individu yang memiliki self–efficacy yang rendah akan cenderung menghindari tugas dan menyerah dengan mudah ketika masalah muncul(Bandura, 1993). Self–efficacy merupakan salah satu potensi pada faktor kognitif manusia yang menjadi bagian dari penentu bagi seseorang dalam berperilaku termasuk dalam mengambil keputusan untuk melakukan Tes IMS yaitu keyakinan individu untuk mencapai derajat kesehatan dengan negatif dari IMS melalui upaya deteksi dini.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Nina (2019) memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan teman sesama WPS kepada WPS dengan perilakunya untuk melakukan upaya pencegahan IMS(Mayestika & Hasmira, 2021). Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup tanpa orang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan), kebutuhan sosial (pergaulan, pengakuan, sekolah, pekerjaan) dan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, dan perasaan religiusitas. Dukungan sosial adalah kehadiran orang lain yang dapat diandalkan, seseorang yang membuat kita merasa diperdulikan, dihargai dan dicintai(Pierce et al., 1997). Teman dapat diartikan sebagai orang dengan tingkat usia dan pola pikir yang relatif sama(John W. Santrock, 2011). Dukungan sosial dari teman merupakan suatu bentuk dorongan atau bantuan yang diberikan oleh orang lain kepada individu sehingga dapat memberikan rasa kenyamanan secara fisik dan psikologis, sehingga individu tersebut merasa dicintai, disayangi dan dihargai dan menjadi bagian dari suatu kelompok yang mempunyai usia atau tingkatan kematangan yang tidak jauh berbeda, timbul rasa percaya diri dan kompeten(Oktariani, 2018). Dukungan sosial teman adalah dukungan yang berasal dari teman dekat yang berupa empati, kasih sayang, perhatian, dan dapat memberikan informasi terkait hal apa yang harus dilakukan dalam upaya bersosialisasi dengan baik pada lingkungannya(Saputro & Sugiarti, 2021).

Berdasarkan penelitian–penelitian sebelumnya serta keadaan yang sebenarnya saat ini, maka peneliti tertarik untuk menganalisis hubungan antara faktor–faktor Infeksi Menular Seksual pada WPS yang sesuai dengan kondisi di Kota Semarang yaitu pengetahuan, self–efficacy, dan dukungan teman pada WPS dengan perilaku pencegahan dari penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS).

 

Metode Penelitian

Aplikasi pencarian Google Schoolar, pubmed, dan jurnal elektronik lainnya dengan kata kunci “infeksi menular seksual” dan “pekerja seksual wanita” digunakan dalam metode penelitian ini. Full text, metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, serta artikel penelitian yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dan Inggris selama lima tahun terakhir (2017 - 2021) menjadi kriteria inklusi untuk pemilihan literatur jurnal penelitian. Hingga diperoleh artikel yang relevan sebanyak 2.335 artikel. Judul dan abstrak setiap artikel kemudian disaring, dan sebanyak 1.738 artikel dikeluarkan karena tidak sesuai dengan kriteria. Setelah menyaring 597 artikel, kemudian kriteria inklusi disesuaikan, sehingga diperoleh 10 artikel yang memenuhi kriteria inklusi.

 

Hasil dan Pembahasan

Variabel tingkat pendidikan, tingkat kesejahteraan, umur, wilayah tempat tinggal, akses surat kabar, akses radio, dan akses internet berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan IMS di Indonesia. Menurut penelitian Nina dan Catur (2018) sebelumnya, variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap pencegahan HIV/AIDS adalah sikap terhadap pencegahan HIV/AIDS (37,7%), dukungan sesama WPS (22,9%), dan motivasi (32,7%). Sikap dan dukungan dari sesama WPS memiliki pengaruh terbesar terhadap perilaku melalui motivasi, masing-masing sebesar 5,6% dan 5,3%. Perilaku pencegahan HIV/AIDS WPS dipengaruhi oleh 1% faktor lain yang tidak diteliti(Kurniati & Sulastri, 2018).

Menurut penelitian lain oleh Dewi dan Nerlih (2021), 84,8% responden memiliki pengetahuan yang baik. Sebagian besar responden (83,7%) berpendidikan tinggi, dan 70,7% menyatakan tinggal jauh dari fasilitas kesehatan. Pengetahuan (p=0,010) dan pendidikan (p=0,015) ditemukan sebagai variabel yang signifikan secara statistik dalam analisis bivariat. Sedangkan akses fasilitas kesehatan merupakan satu-satunya variabel yang tidak signifikan (p=0,760)(Mayestika & Hasmira, 2021).

Hasil dari penyaringan diperoleh sebanyak 10 artikel yang sesuai dengan kriteria inklusi, serta diperoleh bahwa faktor–faktor risiko IMS jika dilihat dari sudut pandang trias epidemiologi terdapat 3 faktor utama yaitu yang pertama adalah “host” atau penjamu yang diartikan sebagai individu yang terinfeksi IMS memiliki faktor risiko sosio–demografi (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, status perkawinan), perilaku seksual yang tidak sehat (berganti–ganti pasangan dan tidak memakai alat kontrasepsi kondom), hygiene personal, penggunaan narkoba, dan riwayat IMS sebelumnya. Kedua, faktor risiko “agent” yaitu dari mikroorganisme penyebab, tingkat risiko bergantung pada banyak atau sedikitnya mikroorganisme yang masuk dan keluar. Ketiga yaitu faktor “environment” atau faktor lingkungan sosial (dukungan sosial budaya, akses layanan kesehatan, akses tenaga kesehatan, dan media informasi)(Handayani Deasy, Victor Trimanjaya, Maisyarah, Rasmaniar, Widi Hidayat, Jasmen Manurung, Yoga Priastomo, Nataria Yanti, 2020).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mayestika dan Hasmira (2021) memperoleh hasil bahwa semua pekerja seks komersil (PSK) beranggapan bahwa dengan menggunakan alat kontrasepsi (kondom) akan terhindar dari penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS. Sikap setuju dalam memilih pelanggan dapat mencegah penularan HIV/AIDS memiliki tingkat signifikan paling tinggi artinya WPS menyadari bahwa pekerjaannya beresiko tinggi tertular. Sikap setuju dalam penggunaan pelayanan kesehatan membuktikan bahwa WPS ditempat penelitian telah menyadari keuntungan dalam menggunakan pelayanan kesehatan. Menurut teori, upaya petugas kesehatan untuk menanggulangi penyakit IMS termasuk HIV/AIDS, dapat dilakukan melalui tiga tingkat pencegahan, yaitu salah satunya dengan menggunakan upaya pencegahan primer, berupa kegiatan promotif dan preventif yaitu kampanye penggunaan kondom bagi subpopulasi seksual aktif, dan screening pada subpopulasi resiko tinggi. Oleh karena sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dengan demikian, sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku sehingga dapat mempengaruhi perilaku individu dan dalam menentukan sikap yang utuh, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting IMS sehingga menyetujui bahwa dengan membujuk atau bernegosiasi dengan pelanggan agar mau menggunakan kondom kemudian konsisten hanya melayani pelanggan tertentu atau yang tidak membahayakan bagi dirinya, dengan demikian, WPS dapat menentukan pilihan terbaik untuk dirinya sendiri dalam menentukan pelanggan yang akan dilayaninya untuk mengurangi risiko penularan IMS. Karena sehat merupakan hak semua orang termasuk WPS. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dewi Kurniati (2018) diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan upaya pencegahan IMS yang dilakukan oleh WPS(Kurniati & Sulastri, 2018), selain itu self–efficacy merupakan salah satu potensi pada faktor kognitif manusia yang menjadi bagian dari penentu bagi seseorang dalam berperilaku termasuk dalam mengambil keputusan untuk melakukan perilaku pencegahan IMS.

Penelitian yang dilakukan oleh Silvia (2016) diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara self–efficacy  dengan perilaku pencegahan penyakit IMS. Self–efficacy merupakan salah satu potensi pada faktor kognitif manusia yang menjadi bagian dari penentu bagi seseorang dalam berperilaku termasuk dalam mengambil keputusan untuk melakukan Tes IMS yaitu keyakinan individu untuk mencapai derajat kesehatan dengan negatif dari IMS melalui upaya deteksi dini

 Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Nina (2019) memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan teman sesama WPS kepada WPS dengan perilakunya untuk melakukan upaya pencegahan IMS(Mayestika & Hasmira, 2021). Dukungan dapat diperoleh dari berbagai sumber salah satunya adalah teman. Penelitian menekankan dukungan dari teman sesama WPS. Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan PLS diperoleh koefisien parameter 0,2461, t statistik 2,1856 > 1,96 pada CI 95% sehingga dapat disimpulkan bahwa dukungan dari teman sesama WPS berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS WPS dengan besarnya pengaruh 22,95%. Sedangkan indikator yang memiliki signifikan tinggi yaitu dukungan informasi kesehatan dan emosional(Mayestika & Hasmira, 2021). Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan PLS diperoleh koefisien jalur 0,477 x 0,345 t statistik 2,1856 > 1,96 dan 6,4052 >1,96 pada CI 95% sehingga dapat disimpulkan bahwa dukungan teman sesama WPS berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS WPS dengan besarnya pengaruh 5,37%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian kualitatif dari pernyataan empat informan yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang memotivasi mereka untuk melakukan pencegahan IMS maupun Voluntary Counselling and Testing (VCT) adalah dari teman - teman mereka sendiri(Mayestika & Hasmira, 2021).

 

Kesimpulan

Terdapat hubungan signifikan antara pengetahuan, self–efficacy, dan dukungan sosial pada wanita dengan perilaku pencegahan IMS, selanjutnya dilakukan penelitian kepada WPS dengan variabel–variabel yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di Kota Semarang.

Diharapkan Pemerintah Kota Semarang membuat kebijakan pencegahan IMS yang dikhususkan bagi WPS sebab pandangan masyarakat yang buruk juga menjadi salah satu pertimbangan WPS dalam melakukan Tes HIV/AIDS dan Tes IMS, sehingga mampu menekan angka kasus IMS di Kota Semarang.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Bandura, A. (1993). Perceived Self-Efficacy in Cognitive Development and Functioning. In Educational Psychologist.

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. American Psychological Association.

Data Jumlah Kasus HIV/AIDS, IMS, DBD, Diare, TB, dan Malaria Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2018. (n.d.).

Ginanjar, A. (2018). Dampak pasca penutupan lokalisasi prostitusi pada pekerja seks komersial dalam perspektif rational choice theory. Berita Kedokteran Masyarakat, 34(11), 14–1.

Handayani Deasy, Victor Trimanjaya, Maisyarah, Rasmaniar, Widi Hidayat, Jasmen Manurung, Yoga Priastomo, Nataria Yanti, D. D. (2020). Infeksi Menular Seksual dan HIV/AIDS. Yayasan Kita Menulis.

John W. Santrock. (2011). Life-Span Development. Mike Sugarman.

Kemenkes. (2013). Pedoman tata laksana sifilis untuk pengendalian sifilis di layanan kesehatan dasar. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, 1.

Kemenkes. (2016). Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual. In Kesmas: National Public Health Journal.

Kementerian Kesehatan. (2021). Laporan Perkembangan HIV AIDS Dan Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan I Tahun 2021. 6.

Kurniati, D., & Sulastri, N. (2018). Hubungan Pengetahuan, Pendidikan Dan Akses Ke Pelayanan Kesehatan Dengan Upaya Pencarian Pertolongan Infeksi Menular Seksual (IMS) Pada Wanita Pekerja Seksual (WPS) Di Desa Pasirsari Kabupaten Bekasi. Jurnal Ilmiah Kesehatan, XI(I), 321–330.

Mayestika, P., & Hasmira, M. H. (2021). Pengaruh Sikap, Dukungan Teman Sesama Wanita Pekerja Seks (WPS) dan Motivasi terhadap Perilaku Pencegahan HIV/AIDS WPS. Jurnal Perspektif, 4(4), 519. https://doi.org/10.24036/perspektif.v4i4.466

Mufrohim, O., & Setiyono, J. (2021). Kebijakan Hukum Penutupan Lokalisasi Sunan Kuning dalam Penanggulangan Tindak Pidana Prostitusi Online Di Kota Semarang. Ajudikasi : Jurnal Ilmu Hukum, 4(2), 113–124. https://doi.org/10.30656/ajudikasi.v4i2.2265

Noorhidayah, H., Imamah, I. N., & Fatimah, S. (2013). Gambaran Penyakit Menular Seksual Pada Psk di Lokalisasi Km. 10 Desa Purwajaya Loa Janan Kabupaten Kutai Kartanegara. Jurnal Husada Mahakam, III(6), 263–318.

Oktariani. (2018). Hubungan Self Efficacy dan Dukungan Sosial Teman Sebaya Dengan Self Regulated Learning Pada Mahasiswa Universitas Potensi Utama Medan. Tabularasa: Jurnal Ilmiah Magister Psikologi.

Pierce, G. R., Lakey, B., Sarason, I. G., & Sarason, B. R. (1997). Social Support and Personality. Plenum Press.

Sanatha, G. A. I. A., Septarini, N. W., & Kurniati, D. P. Y. (2018). Faktor Pendorong Dan Penghambat Wanita Pekerja Seks (Wps) Di Denpasar Untuk Melakukan Pap Smear/Iva Sebagai Upaya Pencegahan Kanker Serviks Tahun 2017. Archive of Community Health, 5(2), 1. https://doi.org/10.24843/ach.2018.v05.i02.p01

Saputro, Y. A., & Sugiarti, R. (2021). Pengaruh Dukungan sosial teman sebaya dan Konsep Diri terhadap Penyesuaian Diri pada Siswa SMA Kelas X. PHILANTHROPY: Journal of Psychology.

Soekidjo Notoadmodjo. (2018). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta.

Tuntun, M. (2018). Faktor Resiko Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS). Jurnal Kesehatan, 9(3), 419. https://doi.org/10.26630/jk.v9i3.1109

 

 

Copyright holder:

Tamara Yushe, Sri Winarni, Zahroh Shaluhiyah (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: