Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
2, Februari 2023
HUBUNGAN ANTARA
FAKTOR DEMOGRAFI DAN PENYAKIT KOMORBID TERHADAP GANGGUAN PENCIUMAN DAN
PENGECAPAN PADA PENDERITA COVID-19 YANG BEROBAT JALAN DI
POLI COVID RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN
Coryza
Gabrie Tan, Andrina Y. M. Rambe, Siti Hajar Haryuna
Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
Pandemi Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19) masih terus berlangsung hingga saat ini. Pandemi
ini disebabkan oleh infeksi Severe Acute Respiratory Syndrome � Coronavirus
-2 (SARS-CoV-2). Infeksi SARS-CoV-2 dapat menimbulkan gangguan penciuman
dan pengecapan. Kejadian gangguan penciuman ini diketahui lebih banyak dialami
oleh pasien rawat jalan dibandingkan rawat inap. Durasi pemulihan dari gangguan
pengecapan dan penciuman bervariasi antar penelitian. Untuk mengetahui hubungan usia, jenis kelamin dan
komorbid terhadap durasi dari gangguan penciuman pengecapan pada penderita
COVID-19 yang berobat jalan di Poli COVID-19 RSUP Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan
desain potong lintang (cross-sectional). Penelitian ini menggunakan data
dari bulan Agustus-Desember 2021. Besar sampel pada penelitian sebanyak 40
subjek yang diambil dengan pendekatan consecutive sampling. Untuk data
karakteristik demografi, gangguan penciuman dan pengecapan menggunakan rekam
medis sedangkan untuk durasi penyembuhan dilakukan dengan wawancara melalui
telepon. Mayoritas subjek
pada penelitian ini adalah perempuan (57,5%), usia terbanyak dibawah 40 tahun
(55%), lulusan SMA (57,5%), pekerjaan lainnya (32,5%), da nkomorbid terbanyak
ialah hipertensi (12,5%). Gangguan penciuman dijumpai pada 65% subjek dengan
durasi dibawah 15 hari pada 88,5% subjek sedangkan gangguan pengecapan dijumpai
pada 55% subjek dengan durasi diatas 10 hari pada 54,5% subjek. Tidak
didapatkan hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, usia dan komorbid
terhadap terjadinya gangguan penciuman, pengecapan serta durasi baik gangguan
penciuman maupun pengecapan. Tidak ada hubungan antara usia, jenis kelamin dan komorbid terhadap durasi
penyembuhan gangguan penciuman serta pengecapan.
Kata kunci: COVID-19, demografi gangguan penciuman, gangguan pengecapan.
Abstract
The 2019 Coronavirus Disease (COVID-19) pandemic is
still ongoing. This pandemic is caused by infection with Severe
Acute Respiratory Syndrome � Coronavirus -2 (SARS-CoV-2). SARS-CoV-2
infection can cause smell and taste disorders. The incidence of olfactory
disorders is known to be experienced more by outpatients than inpatients. The
duration of recovery from impaired taste and smell varied between studies. To determine the
relationship between age, sex and comorbidities on the duration of olfactory
and taste disturbances in patients with COVID-19 who were outpatients at the
COVID-19 Poli Hospital Haji Adam Malik Medan.This
study used a cross-sectional design. This study uses data from August-December
2021. The sample size in this study was 40 subjects taken with a consecutive
sampling approach. For demographic characteristics data, smell and taste
disorders used medical records while for the duration of healing was done by
telephone interview. The majority of the subjects in this study were women
(57.5%), most of whom were under 40 years of age (55%), high school graduates
(57.5%), other types of work (32.5%), and the most comorbid was hypertension
(12, 5%). Olfactory disturbances were found in 65% of subjects
with a duration of less than 15 days in 88.5% of subjects, while taste
disturbances were found in 55% of subjects with a duration of more than 10 days
in 54.5% of subjects. There was no significant relationship between gender, age
and comorbidities on the occurrence of olfactory, gustatory and duration disturbances
of both olfactory and gustatory disorders. The conclusion, there is no
relationship between demographic characteristics on the duration of healing of
smell and taste disorders.
Keywords: COVID-19, olfactory disorders demographics, taste
disorders.
Pendahuluan
Coronavirus Disease - 2019 (COVID-19) merupakan kondisi global yang dihadapi setiap negara sampai saat ini.
Kasus COVID-19 pertama kali
dikabarkan terjadi di
Wuhan, Cina (Ren, et al, 2020). Pada tanggal 30 Januari 2020, virus ini sudah menyebar
hingga ke berbagai negara termasuk Taiwan,
Thailand, Vietnam, Malaysia, Nepal, Sri Lanka, Kamboja,
Jepang, Singapura, Korea, Amerika Serikat,
Arab, Filipina, Australia, Kanada, Finlandia, Prancis, dan Jerman dengan Case Fatality Rate 2,2% (Basseti, et al, 2020). Kasus COVID-19 ditemukan pertama kali di
Indonesia pada 2 Maret 2020 (Satuan Tugas
Penanganan COVID-19 Indonesia, 2021). COVID-19 dinyatakan sebagai pandemik oleh WHO pada tanggal 11 Maret 2020 (WHO, 2020).
Persentasi gejala klinis COVID-19 sangat bervariasi
dari asimtomatik, flu, sampai penyakit pernafasan mulai dari yang ringan sampai yang berat. Gejala umumnya adalah demam, batuk,
dispnea, sakit tenggorokan, artralgia, malaise, muntah, sakit perut,
dan sakit kepala. COVID-19 dapat dikategorikan dari gejala ringan,
sedang, berat, bahkan kritis. COVID-19 pada pasien dengan kategori
gejala ringan dapat berupa gangguan
penciuman (olfactory dysfuction)
dan gangguan pengecapan
(gustatory dysfunction). Pada kategori berat, pasien dapat
jatuh kedalam Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dengan desaturasi berat, sianosis, dan sering menyebabkan kematian, (Ren et al., 2020;
Whitcroft & Hummel, 2020).
Organisasi kesehatan dunia telah melaporkan meningkatnya gejala pasien dengan gangguan
penciuman, Mao et al melaporkan
awalnya gangguan penciuman pada penderita COVID-19
terjadi pada Februari 2020.
Sejak itu, banyak laporan gangguan penciuman atau pengecapan dengan onset baru yang berkaitan dengan gejala lain dari infeksi COVID-19, serta pada pasien yang diketahui positif COVID-19 dengan pengujian laboratorium. Hal tersebut meningkatkan kesadaran akan gangguan penciuman atau pengecapan sebagai potensi gejala awal infeksi
COVID-19, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menambahkan
''hilangnya penciuman dan pengecapan'' ke daftar gejala yang muncul 2 hingga 14 hari setelah terpapar COVID-19 (Tong, 2020).
Beberapa penelitian telah menyebutkan prevalensi gangguan penciuman dan pengecapan pada
COVID-19. Prevalensi gangguan
penciuman dan pengecapan dari 556 pasien, terdapat 51,1% pasien melaporkan gangguan pengecapan. Selain itu, 17,9 pasien melaporkan gabungan antara gangguan penciuman dan gangguan pengecapan, dimana gangguan pengecapan dilaporkan lebih parah daripada penciuman (Vaira et al., 2020a). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (D�Ascanaio et al.,
2021) pada kasus dengan COVID-19 dan tidak
COVID-19 secara prospektif menunjukkan bahwa gangguan penciuman dilaporkan lebih sering pada pasien COVID-19 daripada pada kontrol (p=0.001),
dan pasien rawat jalan melaporkan kehilangan penciuman lebih banyak daripada
pasien rawat inap (p=0.02) (D�Ascanaio et al.,
2021).
Durasi gangguan penciuman dan pengecapan ini berbeda-beda pada tiap pasien, hal
ini dibuktikan dari laporan-laporan penelitian lain. Gangguan pengecapan cenderung mengalami pemulihan total dalam waktu 10 hari, sedangkan pemulihan gangguan penciuman membutuhkan waktu yang lebih lama (Vaira et al., 2020a). Anosmia atau hiposmia cendrung bertahan lebih dari 5 hari tetapi
lebih banyak pasien pulih dalam
30 hari (D�Ascanaio et al.,
2021). Penelitian Kosugi et al., 2020 mendapatkan, perbandingan tingkat pemulihan gangguan penciuman pada pasien COVID-19 lebih rendah (52,6% vs 70,3%; p=0,05)
dan dijumpai waktu pemulihan total yang lebih lama
(15 hari vs 10 hari;
p=0,0006) dibandingkan pasien
yang tidak COVID-19 tetapi mengalami gangguan penciuman. Pada pasien positif COVID-19, individu dengan hiposmia pulih lebih cepat
daripada pasien dengan anosmia (68,4% vs 50,0%; p=0,04) (Kosugi et al., 2020).
Hao et al., 2020 melakukan
penelitian untuk mengidentifikasi gangguan penciuman dan pengecapan pada pasien dengan penyakit
COVID-19 di Wuhan. Hasil penelitian di temukan, 19,9% pasien melaporkan gangguan penciuman dan/atau gangguan pengecapan. Sebanyak 87,2% dari kasus ini, gangguan
penciuman dan gangguan pengecapan muncul setelah gejala umum. Waktu pemulihan dari gangguan penciuman
dan/atau gangguan pengecapan lebih dari 4 minggu pada 51,4% pasien (Hao, 2021).
Menurut penelitian (Kusnik et al., 2020) di Jerman menemukan faktor komorbid pada pasien yang paling umum adalah penyakit
paru-paru (10,8%), diikuti
oleh penyakit lain yang sudah
ada sebelumnya seperti penyakit alergi (4,78%), hipertensi
(5,34%), gangguan endokrin
(4,21%) dan penyakit jantung
kronis (3,37%) (Kusnik et
al., 2021). Menurut (Chary et al., 2020) melaporkan hasil studinya bahwa usia dan jenis kelamin berhubungan
dengan terjadinya gangguan penciuman dan pengecapan pada penderita
COVID-19.
Dari uraian yang telah dijelaskan, terjadi waktu pemulihan
yang berbeda-beda maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang analisa faktor resiko durasi pemulihan
gangguan penciuman dan pengecapan pada penderita
COVID-19 yang berobat jalan
di Poli COVID-19 RSUP Haji Adam Malik Medan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan
masalah penelitian ini adalah bagaimana
hubungan antara faktor demografi dan penyakit komorbid terhadap gangguan penciuman dan/atau pengecapan pada penderita
COVID-19 yang berobat jalan
di Poli COVID-19 RSUP Haji Adam Malik Medan?. Mengetahui bagaimana hubungan antara faktor demografi dan penyakit komorbid terhadap gangguan penciuman dan/atau pengecapan pada penderita
COVID-19 yang berobat jalan
di Poli COVID-19 RSUP Haji Adam Malik Medan.Beberapa manfaat dari penelitian
ini: 1) Dapat menambah pengetahuan tentang analisa faktor resiko durasi
pemulihan gangguan penciuman dan/atau pengecapan pada penderita
COVID-19 yang berobat jalan
di Poli Covid RSUP Haji Adam Malik Medan. 2) Sebagai rujukan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan gangguan penciuman dan pengecapan pada penderita COVID-19.
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini
adalah penelitian analitik dengan desain penelitian potong lintang (cross sectional study). Penelitian dilakukan
di Poli COVID-19 rawat jalan
RSUP Haji Adam Malik Medan dengan menggunakan
data penderita COVID-19 Agustus
sampai Desember tahun 2021. Populasi target pada penelitian ini adalah penderita COVID-19. Populasi terjangkau adalah pasien terkonfirmasi COVID-19 dengan pemeriksan RT-PCR yang
berobat jalan di Poli COVID-19
RSUP Haji Adam Malik Medan pada Agustus sampai Desember tahun 2021.
Sampel yang digunakan yaitu penderita COVID-19 yang berobat jalan di Poli COVID-19
RSUP Haji Adam Malik pada Agustus sampai
Desember tahun 2021 yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Besar sampel dihitung
dengan menggunakan rumus besar sampel
untuk menghitung proporsi tunggal (Lemeshow, 1990). Dalam penelitian ini, variabel independennya adalah usia, jenis
kelamin, penyakit komorbid. Dalam penelitian ini,
variabel dependennya adalah gangguan penciuman, gangguan pengecapan, durasi penciuman dan pengecapan. Analisis data dilakukan menggunakan aplikasi program SPSS (Statistical Product and Service
Solution) dan disajikan dalam
bentuk tabel. Variabel kategorik disajikan dalam bentuk jumlah total dan persentase. Variabel numerik disajikan dalam bentuk rerata,
standar deviasi, nilai minimum dan maksimum. Kemudian data yang diperoleh dianalisis secara
statistik menggunakan Uji Chi
square dengan derajat kemaknaan 5%. Apabila data tidak memenuhi kriteria Chi
square (lebih dari 20% sel memiliki nilai expected �kurang dari 5), maka akan digunakan uji
Fisher (Dahlan, 2014).
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Karakteristik Subjek Penelitian
����������� Penelitian
ini melibatkan 40 subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi. Karakteristik demografi subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1
�Karakteristik demografi
pada penderita
COVID-19
Karakteristik Demografi |
N = 40 |
Jenis kelamin, n (%) |
|
� Laki-laki |
17 (42,5) |
� Perempuan |
23 (57,5) |
Usia, n (%) |
|
� Rerata (SD) |
38,95 (14,03) |
� Median (Min � Maks) |
35 (18 � 68) |
� ≥ 40tahun |
18 (45) |
� <40 tahun |
22 (55) |
Pendidikan, n (%) |
|
� SD |
2 (5) |
� SMA |
23 (57,5) |
� Perguruan Tinggi |
15 (37,5) |
Pekerjaan n (%) |
|
� PNS |
6 (15) |
� Pegawai swasta |
5 (12,5) |
� Wiraswasta |
7 (17,5) |
� Petani |
1 (2,5) |
� Lainnya |
13(32,5) |
� Tidak bekerja /IRT |
8 (20) |
Subjek penelitian terbanyak berjenis kelamin perempuan berjumlah 23 orang (57,5%). Rerata
usia subjek adalah 38,95 tahun dengan usia termuda
18 tahun dan tertua berusia 68 tahun. Kelompok usia terbanyak
adalah < 40 tahun berjumlah 22 orang (55%).
Derajat pendidikan dengan sukyek terbanyak
adalah SMA berjumlah 23
orang (57,5%), diikuti oleh pendidikan
tinggi berjumlah 15 orang
(37,5%). Pekerjaan terbanyak
adalah lainnya berjumlah 13 orang (32,5%) dan wiraswasta
berjumlah 7 orang (17,5%).
Penyakit Komorbid
����������� Distribusi
komorbid pada subjek penelitian ditampilkan pada tabel 2.
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Penyakit Komorbid pada Penderita COVID-19
Variabel |
N = 40 |
Penyakit Komorbid n (%) |
|
� Ada |
9 (22,5) |
� Tidak ada |
31 (77,5) |
Hipertensi dan Penyakit Jantung, n (%) |
|
� Ada |
5 (12,5) |
� Tidak Ada |
35 (87,5) |
Penyakit Jantung, n (%) |
|
� Ada |
1 (2,5) |
� Tidak ada |
39 (97,5) |
Diabetes melitus, n (%) |
|
� Ada |
3 (7,5) |
� Tidak Ada |
37 (92,5) |
Obesitas, n (%) |
|
� Ada |
2 (5) |
� Tidak Ada |
38 (95) |
Hipertiroid, n (%) |
|
� Ada |
1 (2,5) |
� Tidak Ada |
39 (97,5) |
Penyakit komorbid dijumpai pada 9 orang pasien
(22,5%). Jenis penyakit komorbid terbanyak adalah hipertensi berjumlah 5 orang (12,5%) diikuti
diabetes melitus berjumlah
3 orang (7,5%).
Gangguan Penciuman dan Gangguan Pengecapan
����������� Pada tabel
3 menampilkan distribusi frekuensi dan durasi gangguan penciuman dan pengecapan pada penderita
COVID-19 yang berobat Jalan di Poli COVID-19 RSUP
Haji Adam Malik Medan.
Tabel 3
Distribusi Frekuensi dan Durasi Gangguan Penciuman dan Pengecapan pada Penderita COVID-19
Variabel |
n = 40 |
Gangguan Penciuman, n (%) |
|
� Ada |
26 (65) |
� Tidak Ada |
14 (35) |
Durasi Gangguan Penciuman n (%) |
|
� <15 hari |
23 (88,5) |
� ≥ 15 hari |
3 (11,5) |
� Rerata (SD), hari |
9 (6,88) |
� Median (Min � Mak), hari |
7,5 (2 � 35) |
Gangguan Pengecapan, n (%) |
|
� Ada |
22 (55) |
� Tidak Ada |
18 (45) |
Durasi Gangguan Pengecapan n (%) |
|
� <10 hari |
10 (45,5) |
� ≥ 10 hari |
12 (54,5) |
� Rerata (SD), hari |
9,82 (5,45) |
� Median (Min � Mak), hari |
10 (3 � 28) |
Gangguan penciuman terjadi pada 26 orang pasien
(65%). Ada yang sebanyak 3 orang pasien
(11,5%) dengan durasi gangguan penciuman ≥ 15 hari. Rerata gangguan
penciuman pada penderita
COVID-19 yang diikutsertakan dalam
penelitian ini adalah 9 hari dengan
waktu tersingkat adalah 2 hari dan terlama 35 hari.
Gangguan pengecapan terjadi pada 22 orang pasien
(55%). Ada sebanyak 12 orang pasien
(54,5%) dengan durasi gangguan pengecapan ≥ 10 hari. Rerata gangguan
pengecapan pada penderita
COVID-19 yang diikutsertakan dalam
penelitian ini adalah 9,82 hari dengan lama tersingkat adalah 3 hari dan terlama 28 hari.
Hubungan Jenis Kelamin, Usia dan Penyakit Komorbid dengan Gangguan Penciuman
����������� Pada tabel
4 menampilkan hasil analisis hubungan jenis kelamin, usia dan�
penyakit komorbid
dengan gangguan penciuman.
Tabel 4
Hubungan Jenis Kelamin, Usia dan Penyakit Komorbid dengan Gangguan Penciuman pada Penderita COVID-19
Gangguan Penciuman |
p |
||
Ya |
Tidak |
||
Jenis kelamin, n (%) |
|
|
|
� Laki-laki |
11 (64,7) |
6 (35,3) |
1,000a |
� Perempuan |
15 (65,2) |
8 (34,8) |
|
Usia, n (%) |
|
|
|
� ≥ 40tahun |
9 (50) |
9 (50) |
0,072b |
� <40 tahun |
17 (77,3) |
5 (22,7) |
|
Komorbid |
|
|
|
� Ada |
5 (55,6) |
4 (44,4) |
0,694a |
� Tidak ada |
21 (67,7) |
10 (32,3) |
|
Hipertensi, n (%) |
|
|
|
� Ada |
3 (60) |
2 (40) |
1,000a |
� Tidak Ada |
23 (65,7) |
12 (34,3) |
|
|
|
|
|
� Ada |
0 |
1 (100) |
0,350a |
� Tidak Ada |
26 (66,7) |
13 (33,3) |
|
Diabetes melitus, n (%) |
|
|
|
� Ada |
2 (66,7) |
1 (33,3) |
1,000a |
� Tidak Ada |
24 (64,9) |
13 (35,1) |
|
Obesitas, n (%) |
|
|
|
� Ada |
0 |
2 (100) |
0,117a |
� Tidak Ada |
26 (68,4) |
12 (31,6) |
|
Hipertiroid, n (%) |
|
|
|
� Ada |
1 (100) |
0 |
1,000a |
� Tidak Ada |
25 (64,1) |
14 (35,9) |
|
aFischer�s Exact, bChi Square
Berdasarkan jenis kelamin, dari 17 orang pasien berjenis kelamin laki-laki terdapat 11 orang (64,7%) yang mengalami
gangguan penciuman. Sementara itu, dari 23 orang pasien berjenis kelamin perempuan, terdapat 15 orang
(65,2%) yang mengalami gangguan
penciuman. Hasil analisis menggunakan uji Fischer�s Exact menunjukkan
bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan
gangguan penciuman
(p=1,000).
Berdasarkan usia, dari 18 orang pasien berusia ≥ 40 tahun terdapat 9 orang (50%) yang mengalami
gangguan penciuman. Sementara itu, dari 22 orang pasien berusia < 40 tahun, terdapat 17 orang (77,3 %) yang mengalami
gangguan penciuman. Hasil analisis menggunakan uji Chi
Square menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara usia dengan
gangguan penciuman
(p=0,072).
Berdasarkan ada tidaknya penyakit hipertensi, dari 5 orang pasien yang hipertensi terdapat 3 orang (60%) yang mengalami
gangguan penciuman. Sementara itu, dari 35 orang pasien yang tidak hipertensi, terdapat 23 orang (65,7 %) yang mengalami
gangguan penciuman. Hasil analisis menggunakan uji
Fischer�s Exact menunjukkan bahwa
tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara hipertensi dengan gangguan penciuman (p=1,000).
Berdasarkan ada tidaknya penyakit jantung, dari 1 orang pasien dengan penyakit
jantung, tidak mengalami gangguan penciuman. Sementara itu, dari 39 orang pasien yang tidak mengalami penyakit jantung, terdapat 26 orang (66,7
%) yang mengalami gangguan penciuman. Hasil analisis menggunakan uji Fischer�s Exact menunjukkan
bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara penyakit jantung dengan gangguan penciuman (p=0,350).
Berdasarkan ada tidaknya penyakit diabetes melitus, dari 3 orang pasien dengan diabetes melitus terdapat 2 orang (66,7%)
yang mengalami gangguan penciuman. Sementara itu, dari 37 orang pasien yang tidak diabetes melitus, terdapat 24 orang (64,9
%) yang mengalami gangguan penciuman. Hasil analisis menggunakan uji Fischer�s Exact menunjukkan
bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara diabetes melitus dengan gangguan penciuman (p=1,000).
Berdasarkan ada tidaknya obesitas, dari 2 orang pasien dengan obesitas tidak ada yang mengalami gangguan penciuman. Sementara itu, dari 38 orang pasien yang tidak obesitas, terdapat 26 orang (68,4
%) yang mengalami gangguan penciuman. Hasil analisis menggunakan uji Fischer�s Exact menunjukkan
bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara obesitas dengan gangguan penciuman (p=1,000).
Berdasarkan ada tidaknya hipertiroid, dari 1 orang pasien dengan hipertiroid menunjukkan adanya gangguan penciuman. Sementara itu, dari 39 orang pasien yang tidak mengalami hipertiroid, terdapat 25 orang
(64,1 %) yang mengalami gangguan
penciuman. Hasil analisis menggunakan uji Fischer�s Exact menunjukkan
bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara hipertiroid dengan gangguan penciuman (p=1,000).
Hubungan Jenis Kelamin, Usia dan Penyakit Komorbid dengan Gangguan Pengecapan
����������� Pada tabel
5 menampilkan hasil analisis hubungan jenis kelamin, usia dan penyakit komorbid dengan gangguan pengecapan.
Tabel 5
Hubungan Jenis Kelamin, Usia dan Penyakit Komorbid dengan Gangguan Pengecapan pada Penderita
COVID-19
Gangguan Pengecapan |
p |
||
Ya |
Tidak |
||
Jenis kelamin, n (%) |
|
|
|
� Laki-laki |
10 (58,8) |
7 (41,2) |
0,676a |
� Perempuan |
12 (52,2) |
11 (47,8) |
|
Usia, n (%) |
|
|
|
� ≥ 40tahun |
9 (50) |
9 (50) |
0,565a |
� <40 tahun |
13 (59,1) |
9 (40,9) |
|
Komorbid |
|
|
|
� Ada |
3 (33,3) |
6 (66,7) |
0,253a |
� Tidak ada |
19 (61,3) |
12 (38,7) |
|
Hipertensi, n (%) |
|
|
|
� Ada |
1 (20) |
4 (80) |
0,155b |
� Tidak Ada |
21 (60) |
14 (40) |
|
Penyakit Jantung, n (%) |
|
|
|
� Ada |
0 |
1 (100) |
0,450b |
� Tidak Ada |
22 (56,4) |
17 (43,6) |
|
Diabetes melitus, n (%) |
|
|
|
� Ada |
2 (66,7) |
1 (33,3) |
1,000b |
� Tidak Ada |
20 (54,1) |
17 (45,9) |
|
Obesitas, n (%) |
|
|
|
� Ada |
1 (50) |
1 (50) |
1,000b |
� Tidak Ada |
21 (55,3) |
17 (44,7) |
|
Hipertiroid, n (%) |
|
|
|
� Ada |
0 |
1 (100) |
0,450b |
� Tidak Ada |
22 (56,4) |
17 (43,6) |
|
aChi Square, bFischer�s
Exact
Berdasarkan jenis kelamin, dari 17 orang pasien berjenis kelamin laki-laki terdapat 10 orang (58,8%) yang mengalami
gangguan pengecapan. Sementara itu, dari 23 orang pasien berjenis kelamin perempuan, terdapat 12 orang
(52,2%) yang mengalami gangguan
pengecapan. Hasil analisis menggunakan uji Chi Square menunjukkan
bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan
gangguan pengecapan
(p=0,676).
Berdasarkan usia, dari 18 orang pasien berusia ≥ 40 tahun terdapat 5 orang (58,8%) yang mengalami
gangguan pengecapan. Sementara itu, dari 22 orang pasien berusia < 40 tahun, terdapat 13 orang (59,1 %) yang mengalami
gangguan pengecapan. Hasil analisis menggunakan uji Chi
Square menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara usia dengan
gangguan pengecapan
(p=0,565).
Berdasarkan ada tidaknya penyakit hipertensi, dari 5 orang pasien yang hipertensi terdapat 1 orang (20%) yang mengalami
gangguan pengecapan. Sementara itu, dari 35 orang pasien yang tidak hipertensi, terdapat 21 orang (56,4 %) yang mengalami
gangguan pengecapan. Hasil analisis menggunakan uji
Fischer�s Exact menunjukkan bahwa
tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara hipertensi dengan gangguan pengecapan (p=0,155).
Berdasarkan ada tidaknya penyakit jantung, dari 1 orang pasien dengan penyakit
jantung, tidak mengalami gangguan pengecapan. Sementara itu, dari 39 orang pasien yang tidak mengalami penyakit jantung, terdapat 22 orang
(56,4%) yang mengalami gangguan
pengecapan. Hasil analisis menggunakan uji Fischer�s Exact menunjukkan
bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara penyakit jantung dengan gangguan pengecapan (p=0,450).
Berdasarkan ada tidaknya penyakit diabetes melitus, dari 3 orang pasien dengan diabetes melitus terdapat 2 orang (66,7%)
yang mengalami gangguan pengecapan. Sementara itu, dari 37 orang pasien yang tidak diabetes melitus, terdapat 20 orang (54,1
%) yang mengalami gangguan pengecapan. Hasil analisis menggunakan uji Fischer�s Exact menunjukkan
bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara diabetes melitus dengan gangguan pengecapan (p=1,000).
Berdasarkan ada tidaknya obesitas, dari 2 orang pasien dengan obesitas terdapat 1 orang (50%) yang mengalami
gangguan pengecapan. Sementara itu, dari 38 orang pasien yang tidak obesitas, terdapat 21 orang (55,3 %) yang mengalami
gangguan pengecapan. Hasil analisis menggunakan uji
Fischer�s Exact menunjukkan bahwa
tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara obesitas dengan gangguan pengecapan (p=1,000).
Berdasarkan ada tidaknya hipertiroid, dari 1 orang pasien dengan hipertiroid menunjukkan adanya gangguan pengecapan. Sementara itu, dari 39 orang pasien yang tidak mengalami hipertiroid, terdapat 22 orang
(56,4 %) yang mengalami gangguan
pengecapan. Hasil analisis menggunakan uji Fischer�s Exact menunjukkan
bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara hipertiroid dengan gangguan pengecapan (p=0,450).
Hubungan Jenis Kelamin, Usia dan Penyakit Komorbid, dengan Durasi Gangguan
Penciuman pada Penderita
COVID-19
Pada tabel
6 menampilkan hasil analisis hubungan jenis kelamin, usia dan penyakit komorbid dengan durasi gangguan penciuman. Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, usia dan penyakit komorbid dengan durasi gangguan penciuman (p>0,05).
Tabel 6
Hubungan Jenis Kelamin, Usia dan Penyakit Komorbid dengan Durasi Gangguan
Penciuman pada Penderita
COVID-19
Durasi
Ggg. Penciuman |
p |
||
≥15 hari |
<15 hari |
||
Jenis kelamin, n (%) |
|
|
|
� Laki-laki |
1 (9,1) |
10 (90,9) |
1,000a |
� Perempuan |
2 (13,3) |
13 (86,7) |
|
Usia, n (%) |
|
|
|
� ≥ 40tahun |
2 (22,2) |
7 (77,8) |
0,268a |
� <40 tahun |
1 (5,9) |
16 (94,1) |
|
Komorbid |
|
|
|
� Ada |
1 (20) |
4 (80) |
0,488a |
� Tidak ada |
2 (9,5) |
19 (90,5) |
|
Hipertensi, n (%) |
|
|
|
� Ada |
0 |
3 (100) |
1,000a |
� Tidak Ada |
3 (13) |
20 (87) |
|
Penyakit Jantung, n (%) |
|
|
|
� Tidak Ada |
3 (11,5) |
23 (88,5) |
- |
Diabetes melitus, n (%) |
|
|
|
� Ada |
1 (50) |
1 (50) |
0,222a |
� Tidak Ada |
2 (8,3) |
22 (91,7) |
|
Obesitas, n (%) |
|
||
� Tidak Ada |
3 (11,5) |
23 (88,5) |
- |
Hipertiroid, n (%) |
|||
� Ada |
0 |
1 (100) |
1,000a |
� Tidak Ada |
3 (12) |
22 (88) |
|
|
|
|
|
����������� aFischer�s Exact
Hubungan Jenis Kelamin, Usia dan Penyakit Komorbid dengan Durasi Gangguan
Pengecapan pada Penderita
COVID-19
Tidak ditemukan hubungan yang signifikan
(p>0,05) antara jenis kelamin, usia, dan penyakit komorbid dengan durasi gangguan
pengecapan.
Tabel 7
Hubungan Jenis Kelamin, Usia dan Penyakit Komorbid dengan Durasi Gangguan
Pengecapan
Variabel |
Durasi Ggg. Pengecapan |
p |
|
≥10 hari |
<10 hari |
||
Jenis kelamin, n (%) |
|
|
|
� Laki-laki |
6 (60) |
4 (40) |
0,691a |
� Perempuan |
6 (50) |
6 (50) |
|
Usia, n (%) |
|
|
|
� ≥ 40tahun |
5 (55,6) |
4 (44,4) |
1,000a |
� <40 tahun |
7 (53,8) |
6 (46,2) |
|
Komorbid |
|
|
|
� Ada |
3 (100) |
0 |
0,221a |
� Tidak ada |
9 (47,4) |
10 (52,6) |
|
Hipertensi, n (%) |
|
|
|
� Ada |
1 (100) |
0 |
1,000a |
� Tidak Ada |
11 (52,4) |
10 (47,6) |
|
Penyakit Jantung, n (%) |
|
|
|
� Tidak Ada |
12 (54,5) |
10 (45,5) |
- |
Diabetes melitus, n (%) |
|
|
|
� Ada |
2 (100) |
0 |
0,481a |
� Tidak Ada |
10 (50) |
10 (50) |
|
Obesitas, n (%) |
|
|
|
�� Ada |
11 (52,4) |
10 (47,6) |
|
� Tidak Ada |
1 (100) |
0 |
1,000a |
Hipertiroid, n (%) |
|
|
|
� Tidak Ada |
12 (54,5) |
10 (45,5) |
- |
|
|
|
|
aFischer�s Exact
Pembahasan
Demografi Penderita COVID-19
����������� Dari penelitian
ini didapatkan bahwa mayoritas subjek berjenis kelamin perempuan (57,5%) dengan median usia 35 tahun. Temuan penelitian
ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang mendapatkan mayoritas pasien dengan COVID-19 adalah perempuan (53-57%) dengan median usia 42-43 tahun (Tenforde et al.,
2020; Nouchi et al., 2021). Penelitian Duhri et al (2020) di Kabupaten Wajo menunjukkan bahwa pasien dengan
COVID-19 kebanyakan perempuan
(57,7%) dengan usia terbanyak� dibawah 40 tahun. Namun pada penelitian lainnya mendapatkan hasil yang berbeda yakni lebih banyak
laki-laki (54,3-68%) terdiagnosis
COVID-19 dengan median usia
yakni 56 tahun (Wang et al., 2020;
Chen et al., 2020).
����������� Perbedaan demografi dari segi jenis kelamin
ini masih belum diketahui pasti. Disatu sisi
laki-laki memiliki ekspresi ACE2 yang lebih banyak daripada perempuan sehingga memudahkan laki-laki untuk terinfeksi (Griffith et al.,
2020), disisi lain perempuan menganggap pandemi COVID-19 sebagai suatu masalah kesehatan
yang serius (Galasso et al., 2020), sehingga memungkinkan perempuan untuk lebih sering
melakukan pemeriksaan
COVID-19 dibandingkan laki-laki.
Pada penelitian ini mayoritas subjek berada diusia dibawah
40 tahun. Hal ini dimungkinkan karena kebanyakan orang yang berusia
20-40 tahun bekerja di fasilitas pelayanan publik, lebih sering
terpapar daerah padat seperti sekolah,
restoran, kantor, pusat perbelanjaan (Maragakis, 2020).
����������� Berdasarkan
tingkat pendidikan pada penelitian ini mayoritas merupakan tamatan SMA. Dari segi pekerjaan yang terbanyak yakni lainnya (32,5%) yang meliputi mahasiswa, perawat honor dan pegawai BUMN. Penelitian ini selaras dengan penelitian sebelumnya yang mendapatkan bahwa mayoritas pasien dengan COVID-19 didominasi lulusan SMA kebawah (Tenforde et al.,
2020). Tingkat pendidikan
yang rendah terkait dengan lebih mudah
untuk mempercayai misinformasi tentang COVID-19, pengetahuan yang rendah serta tidak patuh
protokol kesehatan (Li et al., 2021). Risiko penularan juga semakin meningkat ditempat pekerjaan, hal ini dikarenakan adanya paparan dari rekan kerja
dengan jarak yang berdekatan (Mutambudzi et al.,
2022).
Komorbid Penderita COVID-19
����������� Pada penelitian
ini sebagian subjek memiliki komorbid (22,5%) dengan komorbid terbanyak yakni hipertensi, diikuti diabetes melitus, obesitas, penyakit jantung dan hipertiroid. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh CDC COVID-19 Response Team (2020) yang mendapatkan 27% pasien dengan COVID-19 memiliki satu atau
lebih komorbid. Hal ini juga didukung oleh penelitian Yang et al (2020) yang mendapatkan
21,1% pasien dengan
COVID-19 mengalami hipertensi.
����������� SARS-CoV-2 dapat
menginfeksi semua orang
pada berbagai usia.
Orang-orang dengan komorbid
dan usia tua berisiko tinggi untuk terinfeksi dan mengalami perburukan COVID-19. Pasien dengan hipertensi
umumnya akan mengalami upregulate ekspresi
ACE2 dan hal ini akan berefek peningkatan
tekanan darah dengan pneumonia. Pada diabetes melitus
mengakibatkan gangguan fungsi sel T dan peningkatan sekresi IL-6 yang memperberat gejala pneumonia serta obesitas dapat terjadi abnormalitas
sekresi sitokin, adipokin dan interferon yang memicu
inflamasi pada bronkus dan parenkim paru (Ejaz et al., 2020).
Distribusi Durasi Gangguan Penciuman dan Pengecapan
����������� Pada penelitian
ini gangguan penciuman ditemukan sebanyak 65% subjek dengan durasi gangguan
penciuman kurang dari 15 hari pada 88,5% subjek dengan gangguan
penciuman dan rerata durasi 9 hari. Pada penelitian sebelumnya ditemukan gangguan penciuman terjadi pada 52%-65%
pada pasien dengan COVID-19
yang rawat jalan (Tenforde et al.,
2020; Nouchi et al., 2021). Durasi gangguan penciuman yang ditemukan pada penelitian lain umumnya membaik dalam waktu kurang
dari 3 minggu pada 56,3% kasus (Algahtani et al.,
2022). Hal yang sejalan
juga ditemukan pada penelitian
Lee et al (2020) bahwa median waktu dari durasi
anosmia sekitar 7 hari.
����������� Gangguan penciuman tidak hanya ditemukan pada pasien dengan COVID-19, melainkan juga bisa ditemukan pada pasien dengan penyakit lainnya. Diperkirakan risiko untuk terjadi
anosmia pada pasien dengan
COVID-19 sebesar 10,2 kali lebih
besar dibandingkan pasien non-COVID-19. Umumnya keluhan anosmia akan membaik dalam waktu
1-2 minggu. Terdapat lima mekanisme yang diduga mendasari terjadinya anosmia yakni obstruksi saluran napas, kerusakan saraf sensorik olfaktorius, pusat olfaktorius diotak mengalami gangguan, disfungsi sel pendukung
olfaktorius, dan disfungsi sel epitel olfaktorius
akibat inflamasi (Mutiawati et al.,
2021).
����������� Dari penelitian
ini didapatkan 55% subjek mengalami gangguan pengecapan dengan durasi gangguan
pengecapan lebih dari 10 hari ditemukan
pada 54,5% subjek dan rerata
durasi 9,82 hari. Gangguan pengecapan umumnya dapat ditemukan
pada 52%-60% pasien dengan
COVID-19 yang rawat jalan (Tenforde et al.,
2020; Nouchi et al., 2021).� Durasi gangguan pengecapan umumnya membaik dalam waktu
kurang dari 3 minggu pada 56,3% kasus (Algahtani et al.,
2022). Penelitian lain juga
menunjukkan�
median durasi dari gangguan pengecapan sekitar 7 hari (Lee et al., 2020).
����������� Umumnya
(34,28-52%) pasien dengan
COVID-19 yang mengeluhkan gangguan
penciuman, juga� mengeluhkan adanya gangguan pengecapan . Terjadinya kedua gangguan tersebut diakibatkan oleh karena adanya reseptor
SARS-CoV-2 dalam jumlah
yang banyak pada dorsum lingua dan sel epitel nasal khusunya sel goblet dan sel silia. Hal inilah yang menyebabkan virus dapat menyerang indra pengecapan dan penciuman seseorang (Singer-Cornelius et
al., 2021). Seseorang yang mengalami COVID-19 akan berisiko 8,6 kali lebih besar untuk mengalami
gangguan pengecapan dibandingkan seseorang yang sakit selain COVID-19. Terdapat empat mekanisme yang diduga memicu gangguan pengecapan yakni disfungsi saraf kranialis, defisiensi zinc,
SARS-CoV-2 berikatan dengan
sialic acid dan virus menyerang langsung
lidah (Mutiawati et al.,
2021). Umumnya keluhan gangguan pengecapan akan membaik dalam
waktu 3 minggu (Lee et al., 2020).
Hubungan Jenis Kelamin, Usia dan Komorbid Terhadap Gangguan Penciuman
����������� Secara proporsi, gangguan penciuman lebih banyak dialami oleh perempuan (65,2%), usia dibawah 40 tahun (77,3%) dan tanpa komorbid (67,7%). Tidak ada hubungan
signifikan antara jenis kelamin, usia dan komorbiditas terhadap gangguan penciuman. Hasil yang serupa juga
didapatkan bahwa pasien perempuan lebih banyak mengalami
gangguan penciuman dibandingkan laki-laki (Bayrak� et al., 2021; Klopfenstein et al., 2020;
Al-Rawi et al., 2022). Namun pada penelitian lain mendapatkan hasil yang sebaliknya (Al-Ani dan Acharya.,
2020). Berdasarkan signifikansi, dari segi jenis kelamin
tidak didapatkan hubungan yang signifikan pada beberapa penelitian sebelumnya (Bayrak et al., 2021;
Klopfenstein et al., 2020; Al-Rawi et al., 2022) serta didapatkan hubungan signifikan pada penelitian Al-Ani
dan Acharya (2020).
����������� Dari segi usia, hasil penelitian
ini sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu yang mendapatkan bahwa gangguan penciuman banyak terjadi pada usia dibawah 40 tahun (Al-Rawi et al.,
2022; Al-Ani dan Acharya, 2020, Vaira et al., 2020c). Dari signifikansinya didapatkan hasil yang berbeda-beda antar penelitian, yakni didapatkan hubungan yang signifikan pada penelitian Bayrak et al (2021), Klopfenstein et al (2020) dan Al-Rawi et al (2022) serta hasil yang tidak signifikan pada penelitian (Vaira et al, 2020c) dan Al-Ani dan Acharya (2020).�
Berdasarkan komorbiditas, pada penelitian sebelumnya didapatkan bahwa pasien anosmia didominasi oleh individu tanpa komorbid yakni sebesar 56,7% (Klopfenstein et al.,
2020). Hal ini didukung pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh (Abbas et al., 2021) dan Sanli et al (2021). Dari signifikansi didapatkan hasil yang berbeda-beda antar penelitian yakni didapatkan hubungan yang signifikan pada penelitian
Klopfenstein et al (2020), serta hubungan tidak signifikan pada penelitian (Abbas et al., 2021) dan Sanli et al (2021).
Perbedaan hasil ini ada kemungkinan
disebabkan oleh perbedaan sosial, perilaku dan lokasi geografis antar penelitian (Al-Ani &
Acharya, 2020). Serta besar serta karakteristik sampel dan metode penelitian yang berbeda-beda dapat memberikan hasil yang berbeda juga.
Hubungan Jenis Kelamin, Usia dan Komorbid Terhadap Gangguan Pengecapan
����������� Pada penelitian
ini gangguan pengecapan banyak dialami oleh perempuan� (52,2%), dibawah usia 40 tahun (59,1%) dan tanpa komorbid (61,3%) . Tidak ada hubungan signifikan
antara jenis kelamin, usia dan komorbiditas terhadap gangguan pengecapan. Hasil ini sejalan pada penelitian Al-Rawi et al (2022) yang mendapatkan hasil sebaliknya yakni lebih banyak
perempuan mengalami gangguan pengecapan dibandingkan laki-laki. Hasil ini tidak sejalan
pada penelitian Bayrak et
al (2021), Al-Ani dan Acharya (2020) dan (Abbas et al., 2021) yang mendapatkan bahwa gangguan pengecapan banyak dialami oleh laki-laki daripada perempuan. Berdasarkan signifikansi, hasil antara usia
dengan gangguan pengecapan pada berbagai penelitian berbeda-beda yakni tidak ada
hubungan signifikan pada penelitian Al-Rawi et al (2022), (Abbas et al., 2021) dan Bayrak et al (2021), serta signifikan pada penelitian Al-Ani
dan Acharya (2020).
Adapun dari
segi usia, hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan
Al-Rawi et al (2022) dan (Abbas et al., 2021). Hasil penelitian ini tidak selaras
dengan penelitian Al-Ani
dan Acharya (2020) yang mendapatkan pasien berusia lebih dari 30 tahun
lebih banyak mengalami anosmia dibandingkan
yang berusia dibawah 30 tahun. Dari segi signifikansi, hasil penelitian ini sejalan pada penelitian Al-Ani
dan Acharya (2020) dan (Abbas et al., 2021) yang tidak mendapatkan hubungan yang signifikan antara usia dengan gangguan
pengecapan. Namun pada penelitian yang dilakukan Al-Rawi et al (2022) mendapatkan hal sebaliknya yakni adanya hubungan
signifikan antara usia dan gangguan pengecapan.
Dari segi komorbiditas, hasil ini sejalan dengan
(Abbas et al., 2021) yang mendapatkan bahwa gangguan pengecapan umumnya terjadi pada kelompok tanpa komorbid. Berdasarkan signifikansi, hasil ini selaras
dengan� penelitian (Abbas et al., 2021) yang tidak mendapatkan hubungan signifikan komorbid dengan gangguan pengecapan. Hasil yang berbeda didapatkan oleh Bayrak et al (2021) yang mendapat hubungan signifikan pada penyakit hipertensi, jantung dan diabetes terhadap kejadian gangguan pengecapan.
Hubungan antara hipertensi dengan gangguan penciuman dan pengecapan masih belum diketahui. Dugaan bahwa gangguan
penciuman dan pengecapan justru yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Fungsi dari
indra penciuman dan pengecapan dapat mempengaruhi asupan atau perilaku konsumsi
makanan seseorang sehingga apabila terjadi penurunan dari fungsi indra
tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya persepsi rasa atau bau pada suatu makanan dan hal ini dapat mengakibatkan
seseorang menambah bumbu ataupun garam pada makanannya yang dapat memicu terjadi peningkatan tekanan darah. Hal ini juga diduga terjadi pada kondisi penyakit jantung dan stroke (Liu et al., 2018). Selain itu penggunaan obat-obatan seperti antagonis kalsium, diuretik, antiaritmia dan ACE-I
juga dilaporkan terjadi
pada kasus pasien dengan gangguan penciuman dan pengecapan, walaupun hal ini
sangat jarang terjadi (Che et al., 2018).
Hubungan Jenis Kelamin, Usia dan Komorbid Terhadap Durasi Gangguan Penciuman
Pada penelitian
ini mayoritas durasi gangguan penciuman berlangsung kurang dari 15 hari dan banyak dialami oleh laki-laki (90,9%), dibawah usia 40 tahun (94,1%) dan tanpa komorbid (90,5%). Tidak ada hubungan signifikan
antara jenis kelamin, usia dan komorbiditas terhadap durasi dari gangguan
penciuman. Pada penelitian Algahtani et al (2022), kondisi anosmia yang
persisten (lebih dari 4 minggu) banyak dijumpai serta signifikan pada perempuan, usia dibawah 40 tahun serta terdapat komorbid berupa penyakit hati, saluran cerna, kanker dan penggunaan obat-obatan. Pada penelitian lainnya tidak ada
ditemukan hubungan yang signifikan antara usia dan jenis kelamin terhadap durasi penyembuhan anosmia (Chary et al, 2020).
Hubungan Jenis Kelamin, Usia dan Komorbid Terhadap Durasi Gangguan Pengecapan
Pada penelitian
ini mayoritas durasi gangguan pengecapan lebih dari 10 hari dan hal ini banyak
dialami oleh laki-laki
(60%), diatas usia 40 tahun (55,6%) dan dengan komorbid (100%). Tidak ada hubungan signifikan
antara jenis kelamin, usia dan komorbiditas terhadap durasi gangguan pengecapan. Pada penelitian Algahtani et al (2022) mendapatkan bahwa faktor yang berhubungan signifikan terhadap kejadian gangguan pengecapan persisten adalah jenis kelamin, durasi penyakit COVID-19 dan pengobatan. Pada penelitian lain tidak dijumpai hubungan signifikan antara jenis kelamin
dan usia terhadap durasi dari gangguan
pengecapan (Chary et al., 2020).
Faktor yang mempengaruhi durasi pemulihan gangguan penciuman dan pengecapan yang ditemukan berbeda-beda pada berbagai penelitian bisa disebabkan oleh banyak faktor. Faktor seperti derajat keparahan gangguan peciuman dan hidung tersumbat (Paderno et al., 2020), rawat inap serta gejala
lain seperti demam dan sesak (Bayrak et al., 2021), derajat keparahan gangguan pengecapan (Vaira et al., 2020c), riwayat merokok (Amer et al., 2020;
Mahmoud et al., 2022), terapi seperti irigasi nasal, pengobatan steroid dan sebagainya
(Hura et al., 2020)) juga dapat mempengaruhi durasi dari gangguan penciuman
dan pengecapan. Faktor lain
yakni besar sampel serta kondisi
metode penelitian (mencakup pengelompokkan durasi yang berbeda antar penelitian) dapat menjadi penyebab
hasil yang beragam pada berbagai penelitian.
Adapun keterbatasan terhadap penelitian ini yakni:
1. Tidak ada pemeriksaan terhadap gangguan penciuman dan pengecapan
sehingga tidak dapat menganalisis�
derajat keparahan gangguan penciuman maupun pengecapan.
2. Tidak semua penyakit komorbid tercatat pada setiap sampel
penelitian
3. Pada penelitian ini tidak bisa mencakup faktor risiko secara
keseluruhan karena tidak dilakukan pemeriksaan
Kesimpulan
Kesimpulan
pada penelitian ini didapatkan: 1) Subjek pada penelitian ini didominasi oleh
perempuan (57,5%), rerata usia 38,95 tahun, usia terbanyak dibawah 40 tahun
(55%), pendidikan terbanyak merupakan lulusan SMA (57,5%) dan kelompok
pekerjaan yang terbanyak adalah kelompok lainnya yang meliputi mahasiswa,
perawat honor dan pegawai BUMN sebanyak 32,5%. 2) Sebanyak (22,5%)
memiliki komorbid dengan komorbid terbanyak yakni hipertensi (12,5%), diabetes
melitus (7,5%), obesitas (5%), penyakit jantung dan hipertiroid masing-masing
2,5%. 3)
Dari 40 subjek yang diteliti sebanyak 65% subjek mengalami gangguan penciuman
dan 55% mengalami gangguan pengecapan. Mayoritas subjek memiliki durasi
gangguan penciuman dibawah 15 hari (88,5%) dan gangguan pengecapan lebih dari
10 hari (54,5%). 4)
Tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, usia dan
komorbid terhadap kejadian gangguan pengecapan (p>0,05). 5) Tidak didapatkan
hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, usia dan komorbid terhadap
durasi gangguan penciuman (p>0,05). 6) Tidak didapatkan hubungan yang signifikan
antara jenis kelamin, usia dan komorbid terhadap durasi gangguan pengecapan
(p>0,05).
BIBLIOGRAFI
Abbas, T.G., Siddiqui, A.H., Zaidi,
S.H.A., et al (2021). Anosmia and ageusia in patients with COVID-19. Pakistan
Armed Forces Medical Journal, 71:S512-516. Doi:10.51253/pafmj.v1i1.7934
Al-Ani, R. M., & Acharya, D. (2020). Prevalence of
Anosmia and Ageusia in Patients with COVID-19 at a Primary Health Center, Doha,
Qatar. Indian journal of otolaryngology and head and neck surgery :
official publication of the Association of Otolaryngologists of India, 1�7.
Advance online publication. https://doi.org/10.1007/s12070-020-02064-9
Al-Rawi, N. H., Sammouda, A. R., AlRahin, E. A., et al. (2022).
Prevalence of Anosmia or Ageusia in Patients With COVID-19 Among United Arab
Emirates Population. International dental journal, 72(2),
249�256. https://doi.org/10.1016/j.identj.2021.05.006
Algahtani, S. N., Alzarroug, A. F., Alghamdi, H. K.,
Algahtani, H. K., Alsywina, N. B., & Bin Abdulrahman, K. A. (2022).
Investigation on the Factors Associated with the Persistence of Anosmia and
Ageusia in Saudi COVID-19 Patients. International journal of
environmental research and public health, 19(3), 1047. https://doi.org/10.3390/ijerph19031047
Bayrak, A. F., Karaca, B., & �zkul, Y. (2021). Could smell and taste dysfunction in COVID-19 patients be a sign of the clinical course of the disease?. The Egyptian Journal of Otolaryngology, 37(1), 106. https://doi.org/10.1186/s43163-021-00169-8
Biadsee, A., Dagan, O., Ormianer, Z., Kassem, F.,
Masarwa, S., & Biadsee, A. (2021). Eight-month follow-up of olfactory and
gustatory dysfunctions in recovered COVID-19 patients. American journal of
otolaryngology, 42(4), 103065. https://doi.org/10.1016/j.amjoto.2021.103065
Chary, E.,
Carsuzaa, F., Trijolet, J., Capitaine, A., Roncato-Saberan, M., & Fouet, K.
et al. (2020). Prevalence and Recovery From Olfactory and Gustatory
Dysfunctions in Covid-19 Infection: A Prospective Multicenter Study. American
Journal Of Rhinology & Allergy, 34(5), 686-693. doi:
10.1177/1945892420930954
Chen, N., Zhou, M., Dong, X., et al. (2020).
Epidemiological and clinical characteristics of 99 cases of 2019 novel
coronavirus pneumonia in Wuhan, China: a descriptive study. Lancet
(London,England), 395(10223), 507�513. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30211-7
Dahlan,
S. (2014). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan Seri 1 : Deskriptif,
Bivariat dan Multivariat Dilengkapi Aplikasi Menggunakan SPSS. 6th edition.
Jakarta: Epidemiologi Indonesia
Duhri, A.P., Jabbar, R.,
Yunus, N. (2020). Karakteristik Pasien Konfirmasi COVID-19 di RSUD
Lamaddukkelleng Kabupaten Wajo (Tinjauan Pasien Periode Maret-September 2020). Media
Kesehatan Politeknik Kesehatan Makassar, 15(2), 319-326. https://doi.org/10.32382/medkes.v15i2.1789
Ejaz, H., Alsrhani, A., Zafar, A., et al. (2020).
COVID-19 and comorbidities: Deleterious impact on infected patients. Journal
of infection and public health, 13(12), 1833�1839. https://doi.org/10.1016/j.jiph.2020.07.014
Fischer, M. E., Cruickshanks, K. J., Schubert, C. R.,
Pinto, A., Klein, R., Pankratz, N., Pankow, J. S., & Huang, G. H. (2013).
Factors related to fungiform papillae density: the beaver dam offspring study. Chemical
senses, 38(8), 669�677. https://doi.org/10.1093/chemse/bjt033
Galasso, V., Pons, V., Profeta, P., Becher, M.,
Brouard, S., & Foucault, M. (2020). Gender differences in COVID-19
attitudes and behavior: Panel evidence from eight countries. Proceedings
of the National Academy of Sciences of the United States of America, 117(44),
27285�27291. https://doi.org/10.1073/pnas.2012520117
Griffith, D. M., Sharma, G., Holliday, C. S., et al. (2020). Men
and COVID-19: A Biopsychosocial Approach to Understanding Sex Differences in
Mortality and Recommendations for Practice and Policy Interventions. Preventing
chronic disease, 17, E63. https://doi.org/10.5888/pcd17.200247
Klopfenstein, T., Zahra, H.,
Kadiane-Oussou, N. J., Lepiller, Q., Royer, P. Y., Toko, L., Gendrin, V., &
Zayet, S. (2020). New loss of smell and taste: Uncommon symptoms in COVID-19
patients on Nord Franche-Comte cluster, France. International journal
of infectious diseases : IJID : official publication of the International
Society for Infectious Diseases, 100, 117�122. https://doi.org/10.1016/j.ijid.2020.08.012
Kosugi, E. M., Lavinsky, J.,
Romano, F. R., et al. (2020). Incomplete and late recovery of sudden
olfactory dysfunction in COVID-19. Brazilian journal of
otorhinolaryngology, 86(4), 490�496. https://doi.org/10.1016/j.bjorl.2020.05.001��
Kusnik, A., Weiss, C.,
Neubauer, M., Huber, B., Gerigk, M., & Miethke, T. et al. (2021). Presence
of gustatory and olfactory dysfunction in the time of the COVID-19 pandemic. BMC
Infectious Diseases, 21(1). doi: 10.1186/s12879-021-06294-2�
Lemeshow, S., Hosmer, D. W.,
Klar, J., & Lwanga, S. K. (1990). Adequacy of Sample Size in Health
Studies. In John Wiley and Sons. John Wiley and Sons. https://doi.org/10.2307/2532527
Mutambudzi,
M., Niedwiedz, C., Macdonald, E. B., et al. (2020). Occupation and risk of severe
COVID-19: prospective cohort study of 120 075 UK Biobank participants. Occupational
and environmental medicine, 78(5), 307�314. Advance online
publication. https://doi.org/10.1136/oemed-2020-106731
Mutiawati,
E., Fahriani, M., Mamada, S. S., et al. (2021). Anosmia and dysgeusia in SARS-CoV-2
infection: incidence and effects on COVID-19 severity and mortality, and the
possible pathobiology mechanisms - a systematic review and meta-analysis. F1000Research, 10,
40. https://doi.org/10.12688/f1000research.28393.1
Nouchi, A., Chastang, J., Miyara, M., et al. (2021). Prevalence of hyposmia and hypogeusia in 390 COVID-19 hospitalized patients and outpatients: a cross-sectional study. European journal of clinical microbiology & infectious diseases : official publication of the European Society of Clinical Microbiology, 40(4), 691�697. https://doi.org/10.1007/s10096-020-04056-7
Paderno, A., Mattavelli, D., Rampinelli, V., et al. (2020).
Olfactory and Gustatory Outcomes in COVID-19: A Prospective Evaluation in
Nonhospitalized Subjects. Otolaryngology--head and neck surgery:
official journal of American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery, 163(6),
1144�1149. https://doi.org/10.1177/0194599820939538
Ren, L. L., Wang, Y. M., Wu, Z. Q., Xiang, Z. C., Guo,
L., Xu, T., Jiang, Y. Z., Xiong, Y., Li, Y. J., Li, X. W., Li, H., Fan, G. H.,
Gu, X. Y., Xiao, Y., Gao, H., Xu, J. Y., Yang, F., Wang, X. M., Wu, C., Chen,
L., � Wang, J. W. (2020). Identification of a novel coronavirus causing severe
pneumonia in human: a descriptive study. Chinese medical journal, 133(9),
1015�1024. https://doi.org/10.1097/CM9.0000000000000722
Sanli, D., Altundag, A., Kandemirli, S. G., et al. (2021).
Relationship between disease severity and serum IL-6 levels in COVID-19 anosmia. American
journal of otolaryngology, 42(1), 102796. https://doi.org/10.1016/j.amjoto.2020.102796
Satuan Tugas Penanganan
COVID-19 Indonesia. (2021).
Singer-Cornelius, T.,
Cornelius, J., Oberle, M., Metternich, F. U., & Brockmeier, S. J. (2021). Objective
gustatory and olfactory dysfunction in COVID-19 patients: a prospective
cross-sectional study. European archives of oto-rhino-laryngology :
official journal of the European Federation of Oto-Rhino-Laryngological
Societies (EUFOS) : affiliated with the German Society for
Oto-Rhino-Laryngology - Head and Neck Surgery, 278(9), 3325�3332. https://doi.org/10.1007/s00405-020-06590-8
Tan, B., Han, R.,
Zhao, J., Tan, N., Quah, E., Tan, C., Chan, Y., Teo, N., Charn, T., See, A.,
Xu, S., Chapurin, N., Chandra, R., Chowdhury, N., Butowt, R., von Bartheld, C.,
Kumar, B., Hopkins, C. and Toh, S., (2022). Prognosis and persistence of smell
and taste dysfunction in patients with covid-19: meta-analysis with parametric
cure modelling of recovery curves. BMJ, p.e069503.
Tenforde, M. W., Billig Rose, E., Lindsell, C. J., et al. CDC COVID-19 Response Team (2020). Characteristics of Adult Outpatients and Inpatients with COVID-19 - 11 Academic Medical Centers, United States, March-May (2020). MMWR. Morbidity and mortality weekly report, 69(26), 841�846. https://doi.org/10.15585/mmwr.mm6926e3
Tong, J. Y., Wong, A., Zhu, D., Fastenberg, J. H.,
& Tham, T. (2020). The Prevalence of Olfactory and Gustatory Dysfunction in
COVID-19 Patients: A Systematic Review and Meta-analysis. Otolaryngology--head
and neck surgery : official journal of American Academy of Otolaryngology-Head
and Neck Surgery, 163(1), 3�11.
https://doi.org/10.1177/0194599820926473
aVaira, L. A., Lechien, J. R., Salzano, G., Salzano, F. A., Maglitto,
F., Saussez, S., & De Riu, G. (2020). Gustatory Dysfunction: A Highly Specific
and Smell-Independent Symptom of COVID-19. Indian journal of otolaryngology
and head and neck surgery : official publication of the Association of
Otolaryngologists of India, 1�3. Advance online publication. https://doi.org/10.1007/s12070-020-02182-4
bVaira, L.A.,
Salzano, G., Fois, A.F., Piombino, P., Riu De G (2020) Potential pathogenesis
of ageusia and anosmia in COVID-19 patients. Int Forum Allergy Rhinol
10:1103�1104
cVaira, L. A., Hopkins, C., Salzano, G., et al. (2020). Olfactory
and gustatory function impairment in COVID-19 patients: Italian objective
multicenter-study. Head & neck, 42(7), 1560�1569. https://doi.org/10.1002/hed.26269
Wang, D., Hu, B., Hu, C., et al.
(2020). Clinical Characteristics of 138 Hospitalized Patients With 2019 Novel
Coronavirus-Infected Pneumonia in Wuhan China. JAMA, 323(11),
1061�1069. https://doi.org/10.1001/jama.2020.1585
Whitcroft, K. L., &
Hummel, T. (2020). Olfactory Dysfunction in COVID-19:
Yan, C. H., Faraji, F., Prajapati, D. P., Boone, C.
E., & DeConde, A. S. (2020). Association of chemosensory dysfunction and
COVID-19 in patients presenting with influenza-like symptoms. International
forum of allergy & rhinology, 10(7), 806�813. https://doi.org/10.1002/alr.22579
Copyright holder: Coryza Gabrie Tan, Andrina Y. M. Rambe, Siti Hajar Haryuna (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |