Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 2, Februari 2023

 

HUBUNGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DENGAN KEJADIAN HIPERBILIRUBIN DI RUANG PERINATOLOGI RSUD dr. SLAMET GARUT

 

Sri Yekti Widadi, Tantri Puspita, Rudi Alfiansyah, Eldessa Vava Rilla, Wahyudin, Siti Nurazizah

STIKes Karsa Husada Garut, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Berat badan lahir rendah (BBLR) adalah berat badan lahir kurang dari 2500 gram. Sedangkan hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan peningkatan kadar bilirubin (≥ 10 mg/dl) didalam jaringan ekstravaskuler sehingga tampak kuning pada konjungtiva, kulit dan mukosa. Metode penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan pendekatan cass control, teknik penentuan sampel yang digunakan adalah purposive sampling yaitu sebanyak 42 sampel yang terbagi atas 21 sampel kasus dan kontrol dengan perbandingan (1:1). Berdasarkan analisis person chi-square merupakan uji yang dilakukan pada penelitian ini, uji ini bertujuan untuk mencari kolerasi antara variabel, dikatakan terdapat kolerasi yang signifikan jika p-value < 0,05. Pada penelitian ini didapatkan p-value = 0,005 yang berarti terdapat kolerasi yang signifikan anatara berat badan lahir rendah dengan kejadian hiperbilirubin. Didapatkan nilai OR = 6,400 yang artinya kejadian hiperbilirubin mempunyai resiko 6,4 kali lebih besar pada bayi BBLR dibandingkan yang tidak BBLR.

 

Kata kunci: BBLR, Hiperbilirubinemia, Perinatologi.

 

Abstract

Low brith weight (LBW) is brith weight less than 2500 grams. Whereas hyperbilirubinemia is a condition charcterized by elevated levels of bilirubin (≥ 10 mg/dl) in the system ekstravasculer so that it looks yellow on the conjunctiva, skin and mucosa. The research method used is analytical observation with a case control approach, the sampling technique used is purposive sampling that is as many as 24 samples which are divided onto 21 samples of cases and controls by comparison (1:1). Based on pearson chi-square analysis is a test conducted in this study, this test aims to find correlations between variables, it is said that there is a significant correlation if the p-value < 0,05. In this study obtained p-value = 0,005 which means there is a significant correlation between low brith weight and the incidence of hyperbilirubinemia. The OR value = 6,400, which means that the incidence of hyperbilirubinemia has a 6,4 times greater risk in LBW infants than those without LBW.

 

Keywords: BBLR, Hyperbilirubinemia, perinatology.

 

Pendahuluan

Kesehatan merupakan suatu kondisi yang sangat penting untuk mendukung perkembangan dan pembangunan suatu negara baik dari segi sosial, ekonomi maupun budaya. Kesehatan juga harus dipandang sebagai suatu investasi yang penting dalam peningkatan sumber daya manusia (SDM). Pencapaian keberhasilan dalam pembangunan kesehatan dapat dilihat dari Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) dalam suatu wilayah negara (Kemekes, 2020).

Ada sebanyak 7000 Bayi baru lahir di dunia yang meninggal setiap hari (WHO, 2019). Sedangkan di Indonesia ada sekitar 185 bayi baru lahir yang meninggal disetiap harinya dengan Angka Kematian Neonatus (AKN) 15/1000 Kelahiran hidup. Sebagian besar kasus kematian neonatal terjadi pada minggu pertama yaitu pada usia bayi 0-6 hari, dan sekitar 40 bayi meninggal dalam 24 jam pertama. Penyebab kematian yang terbanyak disebabkan oleh bayi berat badan lahir rendah, asfiksia, trauma lahir, hiperbilirubinemia, infeksi dan kongenital (Nyoman et al., 2021).

Indikator penting untuk mengetahui kondisi bayi saat lahir dapat dilihat dari berat badan pada bayi (Jumhati & Novianti, 2018). Berat badan bayi merupakan pengukuran yang dilakukan pada bayi baru lahir untuk mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang pada bayi saat dilahirkan, dimana bayi dapat lahir dengan berat badan normal ataupun rendah (Putri et al., 2019). Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan bayi dengan berat badan lahir kurang atau sama dengan 2500 gram pada kelahirannya (Sohibien & Yuhan, 2019).

Prevalensi BBLR didunia menurut World Health Organization (2020) yaitu sebesar (15%) dari seluruh kelahiran di dunia. Prevalensi BBLR di Indonesia pada tahun 2020 sebesar (35,3%), sedangkan prevalensi Jawa Barat pada tahun 2020 sebesar (10,8%) atau 18,997 ribu kejadian (Utami et al., 2020). Dengan banyaknya kejadian BBLR yang ada di Indonesia, sehingga BBLR menjadi salah satu penyebab terjadinya kematian bayi pada masa neonates (Purwanto & Wahyuni, 2016).

Masa neonatus adalah masa dimana bayi berusia 0-28 hari. Masalah yang sering terjadi pada masa neonatus yaitu bayi mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya (Nyoman et al., 2021). Data epidemiologi menunjukkan bahwa lebih dari 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya (Nofenna et al., 2023).

Prevalensi Ikterus neonatrum menurut World Health Organization (WHO) ada sebanyak 3,6 juta (3%) dalam setahun dari 120 juta bayi baru lahir yang mengalami ikterus neonatrum (WHO, 2019). Menurut United Nations Childrens Fund (UNICEF) terdapat 1,8% kematian yang disebabkan oleh hiperbilirubin dari seluruh kasus perinatal yang terjadi di dunia (Jolly, 2014). Sedangkan di Indonesia hiperbilirubinemia merupakan penyebab nomor lima morbiditas neonatal dengan prevalensi sebesar (5,6%) setelah gangguan nafas, preamturitas, spesis dan hipotermi. Data terbaru prevalensi hiperbilirubinemia berat (>20 mg/dl) adalah 7% dengan hiperbilirubinemia ensefalopati akut sebesar 2% (Lestari & Theresia, 2018).

Ikterus neonatorum merupakan penyakit kuning pada bayi. Penyakit ini disebabkan oleh adanya penimbunan bilirubin dalam jaringan tubuh sehingga kulit, mukosa, dan sklera pada bayi berubah warna menjadi kuning yang sering disebut hiperbilirubinemia pada bayi (Nyoman et al., 2021). Sebagian besar hiperbilirubinemia pada bayi adalah fisiologis dan tidak membutuhkan terapi kusus, tetapi dikarnakan potensi toksik dari bilirubin maka semua nenonatus harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia akut (Saputri, 2019).

Kondisi ini apabila tidak ditangani dengan baik maka akan mengakibatkan komplikasi yang membahayakan akibat bilirubin yang menumpuk diotak atau disebut dengan kern ikterus yang merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka morbilitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kulaitas hidup (Herawati & Indriati, 2017).

Ikterus pada bayi baru lahir dapat menjadi salah satu gejala fisiologis ataupun dapat patologis. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari kedua-ketiga atau setelah 48 jam pertama kehidupan bayi dan tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi kren ikterus. Sedangkan ikterus patologis ialah ikterus yang mempunyai dasar patologis (timbulnya dalam waktu 24 jam hingga 48 jam pertama kehidupannya) atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia yang dapat minimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian pada bayi, sehingga setiap bayi dengan ikterus harus mendapatkan perhatian (Lestari & Theresia, 2018). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya hiperbilirubin diantaranya yaitu adanya Inkompabilitas ABO dan Rhesus, Hemolisis (defisiensi enzim G6PD, sferositosis herediter, dan lain-lain), Asfiksia, Asidosis, Kecurigaan infeksi dan Hipoalbuminemia (Kemenkes RI, 2019). Sedangkan faktor penyebab lain yang berhubungan dengan kejadian hiperbilirubin yaitu usia gestasi, BBLR, jenis persalinan, dan gangguan pemberian ASI pada bayi (Rahmawati & Susilowati, 2017).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siti Rohani dan Rini Wahyuni (2017) yang menyatakan bahwa adanya hubungan BBLR (p-value = 0,001), masa gestasi (p-value = 0,001), infeksi (p-value = 0,005) dan asfiksia (p-value = 0,015) dengan kejadian hiperbilrubin pada neonatus. Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Maria Ulfah (2020) yang menyatakan bahwa tidak adanya hubungan antara BBLR dengan Ikterus Neonatrum (p-value = 0,447) dan tidak ada hubungan prematuritas terhadap neonatus yang mengalami ikterus (p- value = 0,380) karena ditemukan bahwa kejadian ikterus sebagian besar ditemukan pada neonatus yang tidak BBLR (>2500 gram) sebanyak 60 neonatus (60%) dan bayi normal dengan usia kehamilan 37-42 minggu sebanyak 64 neonatus (64%).

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Slamet Garut merupakan rumah sakit rujukan dari berbagai puskesmas yang memberikan pelayanan kesehatan seperti penyakit dalam, ibu dan anak, ibu hamil dan juga bayi baru lahir. Salah satu jenis pelayanan yang dilakukan untuk mengurangi angka kematian bayi (AKB) di RSUD dr. Slamet adalah perawatan pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada tanggal 28 Maret 2022 di RSUD dr. Slamet, telah dilakukan pengamatan awal dengan melihat data dari rekamedik jumlah neonatus yang mengalami hiperbilirubinemia di ruang Perinatologi ada 7 orang bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan 2 orang bayi dengan berat badan lahir normal. Berdasarakan uraian dan permasalahan diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai �Hubungan Bayi Berat Badan Lahir Rendah Dengan Kejadian Hiperbilirubin di Ruang Perinatologi RSUD Dr. Slamet Garut�.

Ada pun tujuan penelitian ini untuk mengetahui Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan Kejadian Hiperbilirubin. Ada pun implikasi dalam penelitian ini adalah diharapkan memberikan masukan bagi manajemen tentang peran perawat yang secara langsung dalam upaya penurunan angka kematian bayi yang disebabkan oleh hiperbilirubin dan dapat memberikan informasi dan data bagi penelitian selanjutnya untuk mengembangkan penelitian yang lebih dalam dan relevan.

 

Metode Penelitian

����������� Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan kuantitatif dengan racangan penelitian case control merupakan penelitian epidemologis analitik observasional yang menelaah hubungan berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian hiperbilirubinemia (Nursalam et al., 2020). Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2019). Variabel bebas pula yang mempengaruhi variabel terikat dalam penelitian ini adalah bayi dengan BBLR. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah hiperbilirubinemia.

Ada pun definisi operasional pada penelitian ini yaitu sebagai berikut (Soekidjo Notoatmodjo, 2012):

 

Tabel 1

Definisi Oprasional

No.

Variabel

Definisi Oprasional

Alat

Ukur

Cara

Ukur

Hasil Ukur

Skala

Ukur

1.

Berat badan bayi lahir rendah (BBLR)

Berat badan lahir pada bayi yang < 2500 gram

Lembar Check list

Data Skunder

0 = BBLR

(bila berat����������������������� <2500 gram)

1 = Tidak BBLR (≥ 2500 gram)

Nominal

2.

Hiperbili rubin

Keadaan��������������������������� ��������������������������� dimana menguningnya sklera, kulit atau jaringan akibat perlekatan��������������������������� bilirubin dalam tubuh atau akumulasi��������������������������� bilirubin dalam darah lebih dari 10

mg/dl dalam 24 jam

Lembar Check list

Data Skunder

0 = hiperbilirubin (kadar bilirubin 10 mg/dl)

1 = Tidak hiperbilirubin (bila kadar bilirubin ≤ 10 mg/dl)

Nominal

 

Populai penelitian ini adalah semua bayi di Ruang Perinatalogi RSUD Dr. Slamet Garut pada tahun 2021 Populasi penelitian ini adalah semua bayi di Ruang Perinatalogi RSUD Dr. Slamet Garut pada tahun 2021 sebanyak 2.742 bayi dengan jumlah bayi yang mengalami hiperbilirubinemia pada tahun 2021 sebanyak 307 bayi (Sugiyono, 2019). Berdasarkan permbangan keterbatasan sumber daya dan waktu yang dimiliki peneliti, maka peneliti tidak melakukan penelitian terhadap seluruh ibu yang mengalami hiperbilirubin, tetapi dengan mengambil sampel dengan menggunakan cara purposive sampling.

Data penelitian ini berdasarkan prosedur pengumpulan data yang teleh dilakukan adalah sebagai berikut :

1.      Membawa surat dari Stikes Karsa Husada Garut dan dari Bakes Bangpol, kemudian ditujukan kepada administrasi rumah sakit unruk mendapatkan surat izin penelitian, setelah mendapatkan surat izin penelitian kemudian di arahkan untuk datang ke ruang perinatalogi untuk menemui kepala ruangan untuk meminta izin penelitian di ruangan perinatologi.

2.      Peneliti bekerja sama dengan bidan yang ada di ruang perinatologi

3.      Peneliti meminta data sekunder mengenai bayi BBLR dan data hiperbilirubinemia yang ada di ruang perinatologi

4.      Peneliti memilih responden dalam data yang tersedia sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditetapkan.

����������� Pengolahan data merupakan suatu proses yang dilakukan untuk memperoleh data berdasarkan data yang masih mentah dengan menggunakan rumus sehingga dapat menghasilkan suatu informasi yang diperlukan. Setelah data dikumpulkan, data tersebut diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1.    Editing

Editing adalah memastikan bahwa data yang diperoleh adalah bersih, yaitu data tersebut telah direvisi, relevan dan dapat dibaca dengan baik. Hal ini dilakukan dengan meneliti tiap lembar kuesioner pada waktu penerimaan dan pengumpulan data. Apabila terdapat kejanggalan forrmulir kuesioner di kembalikan kepada responden untuk dilengkapi dan diperbaiki.

2.    Coding

Coding adalah merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk angka atau bilangan, hal ini untuk mempermudah analisa dan entry data.

3.    Entrying

Setelah data di beri kode, kemudian data diolah dengan dimasukkan ke komputer untuk diolah selanjutnya menggunakan software SPSS.

4.    Analyzing

Kegiatan memasukan data, yaitu memperoses data kedalam perangkat lunak agar data bisa dianalisis lebih lanjut.

5.    Cleaning

Cleaning adalah kegiatan pengecakan kembali data yang sudah di entry, apakah ada kesalahan atau tidak, diharapkan data yang masuk sudah benar-benar bersih dan sesuai.

Analisis Data merupakan kegiatan yang dilakukan setelah seluruh data terkumpul. Kegiatan dalam analisis data yaitu mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden mentabulasi data berdasarkan varaibel dari seluruh responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti dan melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah (Sugiyono, 2019).

Pada penelitian anlisis univariat ini dilakukan dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan analsis jenis tendensi sentral (mean, median, modus) terhadap masing-masing variabel yaitu hiperbilirubin, berat lahir bayi, usia kehamilan dan riwayat infeksi (Sugiyono & Susanto, 2015). Dalam penelitian ini analisa yang digunakan adalah Uji Chi-Square yaitu mencari hubungan atau pengaruh variabel bebas dengan variabel terikat dengan data yang berbentuk nominal. Penelitian ini dilakukan di RSUD dr. Slamet Garut, untuk waktu pengumpulan data penelitian direncanakan pada bulan Juli-Agustus 2022 (Sugiyono, 2019).

 

Hasil dan Pembahasan

Pada bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan mengenai Hubungan Antara Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan kejadian Hiperbilirubin di Ruangan Perinatologi RSUD dr. Slamet Garut Tahun 2022. Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel sebanyak 42 responden, dilaksanakan pada 07 Juli 2022 � 07 Agustus 2022. Adapun hasil penelitian adalah sebagai berikut :

A.  Analisis Univariat

1.   Karakteristik Responden

Distribusi frekuensi karakteristik responden di Ruang Perinatologi RSUD dr. Slamet Garut Tahun 2022 dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

 

Tabel 2

Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Ruang Perinatologi RSUD dr. Slamet Garut Tahun 2021

No.

Jenis Kelamin

Frekuensi

Presentase (%)

1

Laki-laki

23

54,8

2

Perempuan

19

45,2

 

Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa jumlah bayi bila dilihat dari jenis kelamin sebagian besar responden (54,8%) berjenis kelamin laki-laki.

Tabel 3

Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Ruang Perinatologi RSUD dr. Slamet Garut Tahun 2022

No.

Usia Gestasi

Frekuensi

Presentase (%)

1

< 37 minggu

18

42,9

2

37-42 minggu

24

57,1

 

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa jumlah bayi yang lahir bila dilihat dari usia gestasi ibu sebagian besar responden (57,1%) usia gestasinya 37-42 minggu.

 

Tabel 4

Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Ruang Perinatologi RSUD dr. Slamet Garut Tahun 2022

No.

Riwayat Infeksi

Frekuensi

Presentase (%)

1

Infeksi

4

9,5

2

Tidak Infeksi

38

90,5

 

Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa jumlah bayi bila dilihat dari riwayat infeksi sebagian besar responden (90,5%) tidak mengalami riwayat infeksi.

B.  Hasil Univariat BBLR

Distribusi frekuensi mengenai kejadian BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Slamet Garut Tahun 2022 dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

 

Tabel 5

Distribusi Frekuensi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) pada bayi di Ruang Perinatologi RSUD dr. Slamet Garut

No.

BBLR

Frekuensi

Presentase (%)

1

BBLR

23

54,8

2

Tidak BBLR

19

45,2

 

Jumlah

42

100

 

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa bayi yang lahir sebagian besar responden (54,8%) mengalami BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Slamet Garut Tahun 2022.

C.  Analisis Univariat Mengenai Kejadian Hiperbilirubin

Distribusi frekuensi mengenai kejadian bayi hiperbilirubin dapat dilihat pada tabel berikut ini :

 

Tabel 6

Distribusi Frekuensi Kejadian Hiperbilirubin di Ruang Perinatologi RSUD dr.

Slamet Garut

No.

Hiperbilirubin

Frekuensi

Presentase (%)

1

Hiperbilirubin

21

50,0

2

Tidak Hiperbilirubin

21

50,0

 

Jumlah

42

100

 

Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa setengah dari responden (50,0%) bayi mengalami hiperbilirubin di Ruang Perinatologi RSUD dr. Slamet Garut Tahun 2022.

D.  Analisis Bivariat

Analisis bivariat mengenai hubungan antara Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan kejadian Hiperbilirubin di Ruang Perinatologi RSUD dr. Slamet Garut Tahun 2022 adalah sebagai berikut :

 

Tabel 7

Distribusi Frekuensi Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan Kejadian Hiperbilirubin di Ruang Perinatologi RSUD dr. Slamet Garut

Kejadian Hiperbilirubin BBLR

Hiperbilirubin Tidak Hiperbilirubin Total % p-value OR

 

N

%

N

%

 

BBLR

16

69,6

7

30,4

23

100

0,005

6,400

Tidak BBLR

5

26,3

14

73,7

19

100

 

(1,654-24,770)

 

21

100

21

100

42

 

 

 

 

Berdasarkan tabel 7 diketahui bahwa proporsi responden yang mengalami BBLR sebagian bayi (69,6%) mengalami kejadian hiperbilirubin. Hasil analisis p- value = 0,005 p-value < α = 0,05, artinya Ho ditolak, Ha diterima, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara BBLR dengan Kejadian Hiperbilirubin di Ruang Perinatologi RSUD dr. Slamet Garut Tahun 2022.

E.  Univariat

1.     Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Dari pengolahan data diperoleh hasil bahwa bayi yang lahir dari setengah responden (54,8%) mengalami BBLR di Ruang Perinatologi RSUD dr. Slamet Garut Tahun 2022. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) merupakan bayi baru lahir yang saat dilahirkan memiliki berat badan lahir < 2.500 gram. Menurut World Healt (Organization, 2017) menyatakan bahwa semua bayi yang berat badannya kurang atau sama dengan 2.500 gram disebut low brith weigh infant (bayi berat badan rendah (BBLR). Berat badan lahir adalah berat badan yang ditimbang dalam waktu 1 jam pertama setelah lahir (Puspitaningrum, 2018). Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan pada bayi baru lahir (neonatus) untuk mengetahui kondisi bayi. BBLR merupakan predikator tertinggi angka kematian pada bayi, terutama dalam satu bulan pertama kehidupan.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa setengah dari responden bayi yang dilahirkan mengalami BBLR. Bayi yang memiliki berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan masalah yang sangat kompleks dan rumit karena memberikan kontribusi pada kesehatan yang buruk karena tidak hanya menyebabkan tingginya angka kematian, tetapi dapat juga menyebabkan kecacatan, gangguan, atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan kognitif, dan penyakit kronis dikemudian hari, hal ini disebabkan karena kondisi tubuh bayi yang belum stabil (Jayanti et al., 2017).

Adapun faktor penyebab terjadinya BBLR yaitu bersifat multifaktor diantaranya faktor ibu yang selama kehamilan menderita penyakit seperti malaria, anemia, sipilis, TORCH, hipertensi, preeklamsi berat, infeksi selama kehamilan, PMS, HIV/AIDS, usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun, gameli, jarak kehamilan kurang dari satu tahun, memiliki riwayat BBLR, keadaan ekonomi sosial rendah dan pengawasan ANC kurang. Adapun faktor Janin diantaranya infeksi janin kronik (inklusi stiogemeli, rubella bawaan), hidramion, kehamilan kembar/ganda, kelainan kromosom (T. B. Sembiring, 2019).

Salah satu dampak dari BBLR adalah hiperbilirubin. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Marmi (2016) dan Sembiring (2019) bahwa kejadian BBLR dapat menyebabkan komplikasi langsung terhadap bayi baru lahir yaitu antara lain : Hipotermia, hipoglikemia, gangguan cairan dan elektrolit, hiperbilirubinemia, Sindroma gawat nafas, paten duktus arteriosus, infeksi, Apne of prematurity, perdarahan intravaskuler dan anemia.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Riyanti Imron dan Diana Metti tahun 2021 di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa ada hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian hiperbilirubin.

Pendapat peneliti Bayi yang lahir dengan berat badan kurang dapat mengakibatkan hipebilirubinemia disebabkan karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memperoses eritrosit (sel darah merah). Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut bilirubin. Bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada bayi dan apabila jumlah bilirubin semakin menumpuk ditubunya maka bilirubin dapat menodai kulit dan jaringan tubuh yang lain. Sehingga pada bayi yang berat badan lahir rendah harus lebih diperhatikan untuk mencegah masalah pada bayi salah satunya kejadian hiperbilirubin.

2.     Kejadian Bayi Hiperbilirubin

Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa setengah dari responden (50,0%) bayi mengalami hiperbilirubin di Ruang Prinatologi RSUD dr. Slamet Garut Tahun 2022. Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana menguningnya sklera, kulit atau jaringan akibat perlekatan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan terjadinya gangguan fungsional dari liper sistem biliary atau sistem hematologi (Maramis et al., 2022).

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa setengah dari responden bayi yang dilahirkan mengalami kejadian Hiperbilirubin. Hiperbilirubin itu sendiri terjadi karena Bilirubin mengalami peningkatan pada beberapa keadaan. Kondisi yang sering ditemukan ialah meningkatnya beban berlebih pada sel hepar, yang mana sering ditemukan bahwa sel hepar tersebut belum berfungsi sempurna. Hal ini dapat ditemukan apabila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, pendeknya umur eritrosit pada janin atau bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, dan atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik (Maramis et al., 2022). Dampak pada bayi yang mengalami hiperbilirubin apabila tidak ditangani dengan baik maka akan mengakibatkan komplikasi yang membahayakan akibat bilirubin yang menumpuk diotak atau disebut dengan kern ikterus yang merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka morbilitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kulaitas hidup. Faktor yang mempengaruhi terjadinya hiperbilirubinemia yaitu Inkompabilitas ABO, Rhesus, Defisiensi enzim G6PD, Infeksi, BBLR dan Usia gestasi (Kemenkes RI, 2019).

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nyun Astangunilah Yaestin (2017) rata-rata bayi baru lahir memproduksi dua kali lebih banyak bilirubin dibandingkan orang dewasa karena lebih tingginya kadar eritrosit yang beredar dan lebih pendeknya lama hidup sel darah merah (SDM) (hanya 70 sampai 90 hari, dibandingkan 120 hari pada anak yang lebih tua dan orang dewasa). Selain itu, kemampuan hati untuk mengonjugasi bilirubin sangat rendah karena terbatasnya produksi glukuronil transferase. Bayi baru lahir juga memiliki kapasitas ikatan-plasma terhadap Bilirubin yang lebih rendah karena rendahnya konsentrasi albumin Dibandingkan anak yang lebih tua. Perubahan normal dalam sirkulasi hati setelah kelahiran mungkin berkontribusi terhadap tingginya kebutuhan fungsi hati.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Ika Nur Fitri Bahaar (2017). Penelitan tersebut menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara berat badan lahir rendah dengan kejadian hiperbilirubinemia. Peneliti mengatakan bahwa bayi yang berat badan lahir yang kurang dari normal dapat mengakibatkan berbagai kelainan yang timbul dari dirinya, seperti bayi rentan terhadap infeksi, kemudian bayi mengalami hiperbilirubin yang diakibatkan karena belum sempurnanya alat-alat dalam tubuhnya baik anatomi maupun fisiologi.

2.     Bivariat Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan Kejadian Hiperbilirubin

Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa proporsi responden yang mengalami BBLR sebagian bayi (69,6%) mengalami kejadian hiperbilirubin. Hasil analisis p- value = 0,005 p-value < α = 0,05, artinya Ho ditolak, Ha diterima, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara BBLR dengan Kejadian Hiperbilirubin di Ruang Perinatologi RSUD dr. Slamet Garut Tahun 2022 dan didapatkan hasil Odds Ratio (OR) = 6,400 artinya bayi BBLR memiliki peluang 6,4 kali lebih besar untuk bayi mengalami hiperbilirubin dibandingkan dengan bayi tidak BBLR.

Pada bayi lahir, bayi yang memiliki Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dapat menyebabkan tidak adanya atau berkurangnya jumlah enzim yang diambil atau menyebabkan pengurangan reduksi bilirubin oleh sel hepar, selain itu pada BBLR kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau sedikit lebih lambat dari pada kenaikan bilirubin pada bayi cukup bulan tetapi jangka waktunya lebih lama yang biasanya mengakibatkan kadar bilirubin yang lebih tinggi (Sulistyorini & Harmanto, 2018). BBLR sangat rentan mengalami komplikasi yaitu hipotermia, hipoglikemia, gangguan cairan dan elektrolit, hiperbilirubinemia, Sindroma gawat nafas, paten duktus arteriosus, infeksi, Apne of prematurity, perdarahan intravaskuler dan anemia (R. Sembiring et al., 2017).

Penelitian lain menyebutkan bahwa Hiperbilirubin pada kasus bayi baru lahir rendah biasanya lebih berkembang lebih awal dan bertahan lebih lama dan membutuhkan fototerapi yang berkepanjangan pada bayi berat lahir rendah bahkan hingga kebutuhan transfusi jika dibandingkan dengan kasus hiperbilirubin yang terjadi pada bayi dengan berat badan lahir normal (Khotimah & Subagio, 2021). Penelitian lainnya menyebutkan hal yang sama bahwa pada bayi dengan berat badan lahir rendah maka kadar bilirubin lebih tinggi hal tersebut dikarenakan fungsi organ yang belum cukup matang dan metabolism enzyme yang tidak bekerja secara maksimal sehingga meningkatkan kadar bilirubin (Nurani et al., 2017). Kematangan pada organ bayi yang BBLR belum maksimal dibandingkan dengan bayi yang memiliki berat badan lahir normal. Proses pengeluaran bilirubin melalui organ hepar yang belum matang menyebabkan terjadinya ikterus pada bayi. Sehingga terjadi penumpukan bilirubin dan menyebabkan warna kuning pada permukaan kulit (Madiastuti & Chalada, 2018).

Hasil penelitian ini pun didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh A. Muh. Akbar Jaya tahun 2021 di Rumah Sakit Wilayah Kota Makasar. Penelitian tersebut menyatakan bahwa ada hubungan antara berat badan lahir rendah dengan kejadian mengenai Hubungan Berat Badan Lahir Rendah dengan Kejadian Hiperbilirubin dengan p-value = 0,000 yang berarti terdapat kolerasi yang signifikan antara berat badan lahir dengan kejadian hiperbilirubin. Penilitian yang lainnya ialah penelitian yang dilakukan oleh Husnul Khotimah dan Sri Utami Subagio tahun 2021 di RSUD dr. Drajat Prawiranegara. Dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa ada hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian hiperbilirubin dengan p-value = 0,002 dan nilai OR= 6,500 yang berarti bayi dengan berat badan lahir rendah beresiko 6 kali lebih besar untuk bayi mengalami hiperbilirubin dibandingkan dengan bayi tidak BBLR.

Berdasarkan hasil penelitian dan teori diatas maka peneliti menyimpulkan bahwa bayi dengan berat badan lahir rendah lebih besar mempunyai peluang mengalami hiperbilirubinemia. Oleh karena itu bayi dengan berat badan lahir rendah perlu mendapatkan pengawasan untuk mencegah masalah terutama pemberian ASI yang adekuat untuk mencegah hipotermi, begitu juga perlu asupan yang cukup pada saat hamil untuk mencegah terjadinya berat badan lahir rendah dengan cara meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan dalam mendeteksi dini serta melakukan tindakan yang tepat seperti kenaikan berat badan ibu saat pemeriksaan kehamilan harus sesuai dengan standar, memberikan konseling dan diberikan informasi kepada pasien bahaya akan terjadi jika tidak melakukan kunjungan ulang secara rutin.

 

Kesimpulan

Dari hasil penelitian dengan judul �Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan Kejadian Hiperbilirubin di Ruang Perinatologi RSUD dr. Slamet Garut Tahun 2022� dapat disimpulkan yaitu : 1) Sebagian besar responden bayi baru lahir di Ruang Perinatologi RSUD dr. Slamet Garut Tahun 2022 menglami BBLR. 2) Lebih dari setengah responden bayi baru lahir mengalami hiperbilirubin di Perinatologi RSUD dr. Slamet Garut Tahun 2022. 3) Terdapat��������� hubungan������� antara� berat��� badan� lahir���� rendah dengan kejadian hiperbilirubin di Ruang Perinatologi RSUD dr. Slamet Garut Tahun 2022.

 

 


BIBLIOGRAFI

 

�Atikah, Vidia dan Pongki Jaya. 2016. Asuhan Kebidanan pada Neonatus, Bayi, Balita dan Anak Pra Sekolah. Jakarta : Trans Info Media.

 

Br Sembiring, J. (2017). Buku Ajar Neonatus, Bayi, Balita, Prasekolah (Pertama). Sleman : CV Budi Utami.

 

Cholifah, Djauharoh, & Machfudloh, H. (2017). Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Hiperbilirubinemia Di RS Muhammadiyah Gersik. Jurnal Fakultas Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Sidoarjo, 3, 14�25. http://umsida.ac.id

 

Dahlan, M. S. (2013). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif, Bivariat, dan Multivariat, Dilengkapi AAplikasi dengan Menggunakan SPSS.

 

Felicia, F. V., Suryawan, I. W. B., & Dewi, M. R. (2021). Hubungan penurunan berat badan dan tingkat keparahan hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan di RSUD Wangaya Kota Denpasar. Medicina, 52(1), 39. https://doi.org/10.15562/medicina.v52i1.1048

 

Herianti. (2019). Faktor Risiko Kejadian Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Di Wilayah Kerja Watampone. Universitas Hasanuddin Fakultas Kedokteran Gigi Makassar, 1�50.

 

H. Nabil, Ridha. (2017). Buku Ajaran Keperawatan Anak. Yogyakarta : Pustaka Belajar.

Imron, R., & Metti, D. (2018). Hubungan Berat Badan Lahir Rendah dengan Kejadian Hiperbilirubinemia pada Bayi Di Ruang Perinatologi. Jurnal Ilmiah Keperawatan Sai Betik, 11(1), 47�51.

 

Kandou, P. R. D., Manoppo, J. I. C., & Wilar, R. (n.d.). Gambaran Hiperbilirubinemia pada Bayi Aterm dan Prematur. 103�107.

 

Kemenkes RI. 2019. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Hiperbilirubinemia. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI

 

Khotimah, H., & Subagio, S. U. (2021). Analisis Hubungan antara Usia Kehamilan, Berat Lahir Bayi, Jenis Persalinan dan Pemberian Asi dengan Kejadian Hiperbilirubinemia. Faletehan Health Journal, 8(02), 115�121. https://doi.org/10.33746/fhj.v8i02.146

 

Jaya, A. A., Saharuddin, S., & Fauziah, H. (2021). Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan Hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Wilayah Kota Makassar Periode Januari-Desember Tahun 2018. UMI Medical Journal, 6(2), 137�143. https://doi.org/10.33096/umj.v6i2.168

 

Lestari, S. (2019). NEONATORUM DI RSUD SLEMAN TAHUN 2017 NEONATORUM DI RSUD SLEMAN.

 

Maryunan, A. 2014. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita & Anak Pra-Sekolah. Tajurhalang : IN MEDIA.

 

Sari, R. S., & Rizal, M. (2018). Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan Kejadian Hiperbilirubin di Ruang Perinatologi di RSUD Kabupaten Tangerang Tahun 2018. Jurnal Kesehatan, 7(1), 34�43. https://doi.org/10.37048/kesehatan.v7i1.162

 

Simanullang, P., Chairani, & Simanjuntak, T. (2021). Pengetahuan Dan Sikap Ibu Tentang Hiperbilirubin Pada Bayi Yang Menjalani Blue Light Therapy Di Ruangan Kamar Bayi Rumah Sakit Ibu Dan Anak Stella Maris Medan. Jurnal Darma Agung Husada,���� 8(April),31�38. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/137200-T Yanti Riyantini.pdf

 

Sugiyono. (2019). Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D. Alfabeta

 

Yasadipura, C. C., Suryawan, I. W. B., Agung, A., & Sucipta, M. (2020). Hubungan Bayi Berat Lahir Rendah ( BBLR ) dengan kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus di RSUD Wangaya , Bali , Indonesia. 11(3), 1277�1281. https://doi.org/10.15562/ism.v11i3.706

 

Copyright holder:

Sri Yekti Widadi, Tantri Puspita, Rudi Alfiansyah, Eldessa Vava Rilla, Wahyudin, Siti Nurazizah (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: