Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 3, Maret 2023

 

PELAKSANAAN BETEKENING PADA PRAKTIK CESSIE DI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN X KEPADA BANK Y

 

Stevan Shaan, Budi Santoso

Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Email : [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini menganalisis keabsahan dari perjanjian pembiayaan konsumen antara Perusahaan Pembiayaan X dengan nasabah yang merupakan perjanjian pokok yang mendasari adanya cessie. Sebagai perjanjian pokok, keabsahan perjanjian pembiayaan konsumen ini menjadi penting dalam terjadinya praktik cessie karena cessie merupakan perjanjian accesoir dari perjanjian pembiayaan konsumen. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian yuridis sosiologis yang dilakukan dengan cara melakukan suatu penelitian terhadap keadaan nyata di masyarakat agar dapat menemukan fakta untuk kemudian dilakukan identifikasi dan akhirnya menuju pada penyelesaian masalah. Praktik cessie yang dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan X kepada Bank Y dengan menjaminkan piutang-piutang nasabah Perusahaan Pembiayaan X kepada Bank Y dengan tujuan untuk memperoleh dana kembali dalam waktu yang cepat untuk disalurkan lagi sebagai pembiayaan kepada nasabah lain dan untuk biaya operasional dari perusahaan pembiayaan sendiri. Oleh karena Perusahaan Pembiayaan X membutuhkan dana dalam waktu yang cepat dan karena banyaknya nasabah, maka praktik cessie tersebut dilakukan tanpa betekening kepada nasabah, karena jika dilakukan betekening satu per satu kepada nasabah akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Hal itu tentunya tidak sesuai dengan Pasal 613 KUHPerdata. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini disarankan pembuatan pengaturan lebih lanjut mengenai cessie agar lebih sesuai dan aplikatif bagi perusahaan pembiayaan, sementara sebelum adanya pengaturan itu, Perusahaan Pembiayaan X tetap harus melakukan betekening satu per satu kepada nasabah agar memberikan kepastian bagi nasabah untuk membayar kepada kreditur yang tepat.

Kata kunci : Perjanjian Pembiayaan Konsumen, Cessie, Betekening

 

 

 

Abstract

This study analyzes the validity of the consumer financing agreement between Finance Company X and the customer which is the underlying underlying agreement of cessie. As a principal agreement, the validity of this consumer financing agreement is important in the occurrence of cessie practices because cessie is an accesoir agreement of the consumer financing agreement. The research method used in this writing is a sociological juridical research method which is carried out by conducting a study of real circumstances in society in order to find facts to then be identified and finally lead to solving problems. Cessie practice carried out by Finance Company X to Bank Y by pledging customer receivables of Finance Company X to Bank Y with the aim of obtaining funds back in a fast time to be distributed again as financing to other customers and for operational costs from the finance company itself. Because Finance Company X needs funds in a fast time and because of the large number of customers, the cessie practice is carried out without betekening to customers, because if they are done one by one to customers, it will take longer. This is certainly not in accordance with Article 613 of the Civil Code. Therefore, in this study, it is recommended to make further arrangements regarding cessie to be more suitable and applicable to finance companies, while before the arrangement, Finance Company X still has to do betekening one by one to customers in order to provide certainty for customers to pay to the right creditors.

 

Keywords :�Consumer Financing Agreement, Cessie, Betekening

 

Pendahuluan

Lembaga pembiayaan merupakan suatu badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan melalui penyediaan dana atau barang modal. Lembaga pembiayaan ini menjadi salah satu bentuk usaha yang mempunyai peran sangat penting dalam pembiayaan yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat baik dalam bentuk giro, deposito, tabungan, ataupun surat sanggup bayar. Dari situ dapat terlihat bahwa lembaga pembiayaan ini memiliki peran sebagai salah satu lembaga sumber pembiayaan alternatif yang potensial untuk menunjang perekonomian nasional (Abdulkadir & Rilda, 2000).

Dalam Pasal 2 Peraturan Presiden RI No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan dikatakan bahwa �Lembaga Pembiayaan meliputi: Perusahaan Pembiayaan; Perusahaan Modal Ventura; dan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur�. Dari ketiga jenis perusahaan tersebut, masing-masing melakukan kegiatan usaha yang berbeda. Lembaga pembiayaan yang seringkali menjadi pilihan masyarakat adalah perusahaan pembiayaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan bahwa �Perusahaan pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegaitan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan.�

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Presiden RI No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan itu meliputi: 1) Sewa Guna Usaha, Kegiatan sewa guna usaha ini dapat dilakukan dalam bentuk penyediaan barang bagi lessee baik dengan ataupun tanpa hak opsi untuk membeli barang tersebut, di samping itu penyediaan barang modal juga dapat dilakukan dengan membeli barang milik lessee untuk kemudian disewagunausahakan lagi. Dalam kegiatan sewa guna usaha ini hak milik atas barang modal objek transaksi berada pada Perusahaan Pembiayaan selama perjanjian Leasing masih berlaku. 2) Anjak Piutan, Dalam Peraturan Presiden RI No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan yang dimaksud dengan Anjak Piutang atau lebih dikenal dengan Factoring adalah anjak kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu Perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut. Menurut Kamsir, Factoring adalah perusahaan yang kegiatannya melakukan penagihan atau pembelian atau pengambilalihan atau pengelolaan hutang piutang suatu perusahaan dengan imbalan atau pembayaran tertentu dari perusahaan klien (Neni, 2010). 3)Usaha Kartu Kredit, Dalam Peraturan Presiden RI No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan dijelaskan bahwa usaha kartu kredit adalah kegiatan pembiayaan untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu kredit. Kegiatan usaha kartu kredit ini dilakukan dalam bentuk penerbitan kartu kredit yang dapat digunakan oleh pemegangnya untuk membeli barang dan/atau jasa. 4) Pembiayaan Konsumen, pembiayaan konsumen menurut Peraturan Presiden RI No. 9 Tahun 2009 adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk penyediaan dana untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran yang diangsur.

Dari keempat jenis kegiatan usaha tersebut, dalam penulisan ini hanya akan difokuskan pada kegiatan pembiayaan konsumen. Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor. 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan (selanjutnya disebut POJK) pada Pasal 1 ayat 1-nya dijelaskan bahwa �Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa.� Dalam Bab II POJK ini juga dijelaskan mengenai kegiatan usaha dari Perusahaan Pembiayaan yang meliputi: 1) Pembiayaan Investasi, investasi ini ditujukan untuk debitur yang berbentuk badan usaha atau orang perseorangan yang memiliki usaha produktif dan/atau yang memiliki ide-ide untuk pengembangan usaha produktif. 2) Pembiayaan Modal Kerja, investasi ini juga ditujukan untuk debitur yang berbentuk badan usaha atau orang perseorangan yang memiliki usaha produktif dan/atau yang memiliki ide-ide untuk pengembangan usaha produktif. 3) Pembiayaan Multiguna, Kegiatan ini wajib dilakukan dengan cara sewa pembiayaan (Finance Lease), pembelian dengan pembayaran secara angsuran, dan/atau pembiayaan lain setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK. 4) Kegiatan usaha pembiayaan lain berdasarkan persetujuan OJK, Kegiatan usaha pembiayaan lain ini jika ingin dilaksanakan oleh Perusahaan Pembiayaan maka perusahaan tersebut harus memiliki Tingkat Kesehatan Keuangan dengan kondisi minimum sehat dan tidak sedang dikenakan sanksi oleh OJK.

Dalam kegiatan pembiayaan konsumen, terdapat hubungan hukum antara pihak perusahaan pembiayaan (kreditur) dengan nasabah (debitur). Hubungan hukum tersebut bersifat kontraktual, sehingga didasarkan pada perjanjian yang dalam hal ini adalah perjanjian pembiayaan konsumen. Pada kegiatan pembiayaan konsumen ini perusahaan pembiayaan sebagai kreditur berkewajiban untuk memberi sejumlah uang kepada debitur untuk membeli suatu barang konsumsi, sedangkan pihak nasabah sebagai debitur berkewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut secara cicilan/angsuran kepada pihak kreditur. Hubungan kontraktual antara perusahaan pembiayaan dengan nasabah ini serupa dengan perjanjian kredit yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUHPerdata).

Sebelum memberikan pinjaman kepada nasabah, nasabah harus membuktikan terlebih dahulu kepada perusahaan pembiayaan agar ia percaya dan memperoleh kepastian bahwa nasabah sanggup membayar hutang-hutangnya yang berasal dari pinjaman. Pembuktian yang dilakukan oleh nasabah biasanya berkaitan dengan terpenuhinya prinsip 5 C yaitu Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition of Economy. Setelah perusahaan pembiayaan percaya bahwa nasabah memiliki kemampuan untuk melunasi hutangnya, maka dibuatlah suatu perjanjian. Pada umumnya setelah seluruh perjanjian pembiayaan konsumen ditandatangani, perusahaan pembiayaan akan mencairkan dana atau menyerahkan barang kepada nasabah yang diajukan olehnya dalam permohonan pinjaman. Barang-barang yang sudah diserahkan kepada nasabah akan menjadi milik nasabah, meskipun barang tersebut dijadikan sebagai jaminan hutang. Jaminan dalam pembiayaan konsumen ini berupa barang yang dibeli dengan dana pinjaman tersebut dan biasanya jaminan ini dibuat dalam bentuk fidusia, sehingga seluruh dokumen yang berkaitan dengan pemilikan barang akan dipegang oleh pihak perusahaan pembiayaan hingga kredit dilunasi (Fuadi, 2001).

Jaminan tersebut diperlukan dalam mengajukan pinjaman dana kepada perusahaan pembiayaan karena jaminan merupakan hal yang perlu mendapat perhatian dalam mempertimbangkan suatu permohonan pinjaman dana dengan tujuan untuk menambah kepastian agar pinjaman yang diberikan benar-benar terjamin pengembaliannya dengan adanya barang-barang yang dijadikan jaminan oleh peminjam atau debitur apabila dikemudian hari ternyata tidak dapat melunasi hutangnya.

Barang-barang yang dijadikan jaminan, baik barang bergerak ataupun tidak bergerak ini harus dilaksanakan pengikatannya, pengikatan ini harus dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis atau dengan kata lain pengikatan barang-barang tersebut harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Pengikatan ini harus dibuat di hadapan Pejabat Umum yang berwenang yang dalam hal ini adalah Notaris atau PPAT, Camat atau pejabat lain yang ditunjuk oleh pemerintah. Jaminan kebendaan untuk benda bergerak dapat berupa gadai dan fidusia sedangkan untuk benda tidak bergerak jaminan kebendaan berupa hipotek dan creditverband.

Seiring dengan semakin berkembangnya zaman dan meningkatnya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi oleh masyarakat, hal ini mendorong masyarakat untuk mengajukan pinjaman. Untuk memperoleh pinjaman tersebut, masyarakat bisa mengajukan pinjaman baik kepada bank atau lembaga keuangan bukan bank seperti perusahaan pembiayaan. Sekarang ini banyak masyarakat yang mulai menggunakan fasilitas pinjaman yang disediakan oleh lembaga keuangan bukan bank. Hal itu disebabkan karena dalam pinjaman melalui pembiayaan konsumen sebagai salah satu kegiatan usaha perusahaan pembiayaan memiliki keunggulan dibandingkan dengan pinjaman atau kredit bank, keunggulan tersebut ialah, Prosedur lebih sederhana, Proses persetujuan yang biasanya lebih cepat, Perusahaan pembiayaan biasanya tidak mensyaratkan penyerahan jaminan tambahan sepanjang konsumen atau debitur cukup layak untuk dipercaya kemampuan dan kemauannya memenuhi kewajibannya.

Dengan kemudahan yang diberikan tersebut, semakin banyak masyarakat yang melakukan pinjaman kepada perusahaan pembiayaan. Hal ini menyebabkan perusahaan pembiayaan membutuhkan dana lebih banyak yang akan disalurkan sebagai pinjaman kepada masyarakat sebagai nasabah dalam jangka waktu yang cepat. Cara yang umumnya digunakan untuk memperoleh dana kembali dalam waktu yang cepat atas piutang yang belum jatuh tempo yang harus dibayarkan oleh nasabah sebagai debitur adalah dengan meminjam dana dari bank. Setelah memperoleh dana tersebut, mekanisme yang penulis ketahui dari hasil wawancara dengan responden yaitu perusahaan pembiayaan akan menyalurkannya sebagai pembiayaan kepada nasabah, dan pembiayaan yang dilakukan itu menjadi piutang milik perusahaan pembiayaan. Kemudian setelah piutang-piutang dari nasabah tersebut terkumpul, selanjutnya piutang tersebut dialihkan atau dikenal dengan praktik cessie oleh perusahaan pembiayaan sebagai cedent, kepada bank yang memberikan pinjaman dana sebelumnya sebagai pihak yang berpiutang baru atau cessionaris. Oleh karena itulah melalui pengalihan piutang atau cessie tersebut, perusahaan pembiayaan akan memperoleh dana dari pihak perbankan untuk melakukan pembiayaan kepada masyarakat sebagai nasabah.

Akan tetapi sebelum melakukan praktik cessie tersebut, hal penting yang perlu diperhatikan adalah mengenai keabsahan dari perjanjian pembiayaan konsumen antara Perusahaan Pembiayaan X dengan nasabah. Keabsahan perjanjian pembiayaan konsumen penting karena dengan sahnya perjanjian pembiayaan konsumen tersebut, maka para pihak harus patuh pada klausul yang ada di dalamnya. Salah satu klausul dalam perjanjian pembiayaan konsumen itu adalah pengaturan mengenai pengalihan piutang. Oleh karena itu, apabila perusahaan pembiayaan hendak mengalihkan piutang yang dimiliknya atas nasabah untuk memperoleh dana dari pihak perbankan, perusahaan pembiayaan menjadi berhak untuk mengalihkan piutang tersebut kepada bank.

Praktik cessie sendiri merupakan pengalihan hak atas kebendaan bergerak tak berwujud (intangible goods) yang biasanya berupa piutang atas nama kepada pihak ketiga, dimana seseorang menjual hak tagihnya kepada orang lain (Kusumasari, 2011). Praktik cessie diatur dalam Pasal 613 KUHPerdata yang menyatakan :

"(1) ������ Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tidak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.

(2) �������� Penyerahan yang demikian bagi si berhutang tidak ada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui atau diakuinya.

(3)��������� Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu; penyerahan tiap-tiap piutang karena surat ditunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.�

Adanya praktik cessie tanpa betekening seperti yang dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan X karena jumlah nasabah yang mengajukan pinjaman sangat banyak. Contohnya dapat dilihat dari tingginya jumlah kredit kendaraan bermotor setiap tahunnya karena skema kredit pembelian kendaraan bermotor sangat ringan. Berdasarkan data dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) penjualan sepeda motor sepanjang semester pertama ini naik 7,4 persen menjadi 3,22 juta unit dari periode yang sama tahun lalu, belum lagi ditambah dengan penjualan mobil yang juga meningkat. Hal itu menyebabkan apabila dilakukan betekening atau pemberitahuan satu per satu kepada nasabah akan sangat sulit untuk dilakukan dan membutuhkan waktu yang lebih lama karena jumlahnya yang sangat banyak, sementara perusahaan pembiayaan terus membutuhkan dana untuk memberikan pinjaman kepada nasabah lainnya dan juga biaya operasional dari perusahaan. Akan tetapi hal ini justru bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yaitu KUHPerdata tepatnya pada Pasal 613 ayat (2) yang berbunyi :

"(2) ���� Penyerahan yang demikian bagi si berhutang tidak ada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui atau diakuinya.��

Di samping itu peraturan yang mengatur mengenai cessie hanya terdapat pada Pasal 613 KUHPerdata.

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk menuangkan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul �PELAKSANAAN BETEKENING PADA PRAKTIK CESSIE DI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN X KEPADA BANK Y.�

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum (Sugiyono, 2013). Dengan kata lain bahwa melalui metode penelitian ini, terhadap masalah yang diteliti harus diperoleh gambaran dan penjelasan yang sebenarnya dengan melakukan penelitian di lapangan, yang kemudian dapat diambil kesimpulan dengan mengetahui kenyataan dalam pelaksanaannya apakah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Melalui metode ini diharapkan dapat memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai pelaksanaan betekening pada praktik cessie dari Perusahaan Pembiayaan X ke Bank Y.

Penelitian ini akan disusun menggunakan metode penelitian yuridis sosiologis yaitu suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta, yang kemudian menuju pada identifikasi dan pada akhirnya menuju pada penyelesaian masalah (Soekanto, 2007). Metode penelitian yuridis sosiologis ini merupakan suatu pendekatan yang memandang hukum sebagai sesuatu yang hidup atau yang dipakai dalam masyarakat, dalam artian� konsep ini tidak memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata. Dengan penelitian hukum yang menggunakan metode yuridis sosiologis akan dilakukan penelitian mengenai pelaksanaan betekening pada praktik cessie dari Perusahaan Pembiayaan X ke Bank Y untuk mengetahui apakah dalam pelaksanaannya telah efektif dan sesuai dengan pengaturan cessie dalam KUHPerdata. Tipologi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian inventarisasi hukum positif untuk menemukan hukum positif yang diperlukan dalam penelitian ini. Inventarisasi ini merupakan salah satu tahap dari rangkaian proses suatu penelitian yang menyeluruh, yang walaupun merupakan pendahuluan tetapi bersifat mendasar (Daeni, 2018). Data yang telah diperoleh melalui kegiatan pengumpulan data baik data primer maupun data sekunder kemudian diolah melalui prosedur pengolahan data yakni editing, sistematisasi, dan analisi data.

Hasil dan Pembahasan

Keabsahan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Antara Perusahaan Pembiayaan X Dengan Nasabah

Perusahaan Pembiayaan X merupakan salah satu entitas lembaga yang bergerak dalam bidang keuangan dan properti di Indonesia. Perusahaan Pembiayaan X ini berbentuk Perseroan Terbatas sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 6 Peraturan Presiden RI No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Perusahaan Pembiayaan X adalah perusahaan pembiayaan pertama di Indonesia yang berfokus dalam penyediaan fasilitas pembiayaan usaha kecil dan menengah. Di samping itu, Perusahaan Pembiayaan X juga menyediakan fasilitas untuk kebutuhan pribadi. Untuk menunjang hal tersebut, Perusahaan Pembiayaan X menyediakan berbagai macam fasilitas pembiayaan/kredit yaitu : 1) Kredit Modal Kerja. 2) Kredit Pemilikan Rumah/Kredit Pemilikan Apartemen. 3) Pembiayaan Multiguna. 4) Pembiayaan Mobil Premium. 5) Pembiayaan Alat Kesehatan. 6) Pembiayaan Syariah.

Dari beberapa fasilitas pembiayaan Perusahaan Pembiayaan X di atas, saat ini yang cukup banyak menjadi pilihan dari nasabah adalah pembiayaan multiguna. Pembiayaan multiguna ini dalam Bab II POJK Nomor. 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan tepatnya pada Pasal 4 ayat (3) huruf (b) dinyatakan sebagai kegiatan pembiayaan yang dilakukan dengan cara salah satunya adalah pembelian dengan pembayaran secara angsuran. Pembiayaan multiguna menjadi fasilitas pembiayaan yang bertujuan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan nasabah di tengah kebutuhan masyarakat yang terus meningkat dari tahun ke tahunnya. Salah satu dari kebutuhan masyarakat yang terus meningkat tersebut adalah kebutuhan atas kendaraan bermotor. Pembiayaan multiguna ini menjadi pilihan masyarakat karena memberikan kemudahan bagi masyarakat sebagai nasabah untuk memenuhi kebutuhannya, dimana untuk memperoleh fasilitas pembiayaan ini, jaminan yang diperlukan cukup mudah yaitu Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (selanjutnya disebut BPKB) yang dimiliki nasabah. Di samping itu, juga terdapat pelunasan kredit yang cukup mudah dengan pilihan skema pembayaran beragam yang tentunya dilakukan secara angsuran dengan bunga yang cukup rendah.

Pembiayaan multiguna sebagai kegiatan usaha perusahaan pembiayaan tidak terdapat dalam Peraturan Presiden RI No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Namun jika dilihat dari pemaparannya dalam Pasal 1 ayat (4) POJK� tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan yang menyatakan :

�Pembiayaan Multiguna adalah pembiayaan barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh debitur untuk pemakaian/konsumsi dan bukan untuk keperluan usaha atau aktivitas produktif dalam jangka waktu yang diperjanjikan.�

dan mekanismenya dalam praktik, padanan dari pembiayaan/kredit multiguna ini dalam Pasal 3 Peraturan Presiden RI No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan adalah pembiayaan konsumen. Isi dari Pasal 3 tersebut adalah Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Usaha Kartu Kredit, Pembiayaan Konsumen. Dalam Pasal 1 ayat (7) Peraturan Presiden RI No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, pembiayaan konsumen dirumuskan sebagai berikut :

�Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran.�

Dari kedua isi pasal di atas dapat terlihat bahwa tujuan dari pembiayaan multiguna dengan pembiayaan konsumen sama yaitu untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan dari masyarakat sebagai nasabah (kebutuhan konsumtif) dan dengan pembayaran yang dilakukan secara angsuran dalam jangka waktu tertentu. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa pembiayaan multiguna sama saja dengan pembiayaan konsumen sehingga pembiayaan multiguna yang merupakan fasilitas pembiayaan dari Perusahaan Pembiayaan X juga merupakan pembiayaan konsumen.

FAP sebagai perjanjian standar menyimpangi asas kebebasan berkontrak sebagaimana terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Hal tersebut karena dalam perjanjian standar, asas kebebasan berkontrak ini tidak dapat diwujudkan, yang mana dari kelima unsur asas kebebasan berkontrak hanya ada 2 unsur yang masih dapat diwujudkan yaitu kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian dan kebebasan untuk memilih dengan siapa ia akan membuat perjanjian (Sinaga, 2020). Oleh karena itu, asas kebebasan berkontrak yang terdapat pada nasabah di sini hanya untuk membuat atau tidak membuat perjanjian dengan Perusahaan Pembiayaan X.

Setelah pengisian FAP oleh nasabah, bagian marketing akan menyerahkannya kepada kredit analis untuk dilakukan analisis dengan tujuan menentukan besarnya pembiayaan yang akan diberikan kepada nasabah sesuai dengan jaminan yang diberikannya. Di samping itu, analisis tersebut juga bertujuan agar perusahaan pembiayaan percaya bahwa nasabah mampu untuk melunasi hutangnya. Analisis yang dilakukan oleh kredit analis dari Perusahaan Pembiayaan X merupakan penerapan dari prinsip kehati-hatian sebagai jaminan utama yang dapat dilakukan melalui prinsip 5C (Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition of Economy). Kemudian, kredit analis akan mengeluarkan SPK yang berisi besarnya jumlah pembiayaan yang disetujui untuk diberikan oleh perusahaan pembiayaan. SPK tersebut akan disampaikan kembali oleh marketing Perusahaan Pembiayaan X kepada nasabah untuk meminta persetujuan nasabah.

Setelah SPK tersebut disetujui oleh nasabah, barulah dibuat perjanjian pembiayaan konsumen dalam bentuk akta otentik. Akta otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata merupakan akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dan dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu (dalam hal ini adalah notaris �di tempat akta itu dibuat (Borman, 2019). Jadi, perjanjian pembiayaan konsumen tersebut dibuat dalam bentuk akta, yang pembuatannya dilakukan oleh notaris. Perjanjian pembiayaan konsumen ini harus dibuat dalam bentuk akta otentik karena akta otentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian (ARSYI et al., 2022), yaitu :

1.    Kekuatan pembuktian formil, membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.

2.    Kekuatan pembuktian materiil, membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.

3.    Kekuatan mengikat, membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal yang tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.

Dari situ terlihat bahwa perjanjian pembiayaan konsumen dalam bentuk akta otentik sangat penting sebab akta otentik merupakan bukti yang sempurna yang tidak bisa disangkal oleh para pihak yang membuatnya dan juga mempunyai kekuatan pembuktian kepada pihak ketiga. Setelah perjanjian pembiayaan konsumen tersebut terbentuk dan sah sehingga perjanjian pembiayaan konsumen akan mengikat dan berlaku kepada para pihak yang menandatanganinya sebagai undang-undang, barulah Perusahaan Pembiayaan X mencairkan dana sesuai dengan jumlah pembiayaan dan tujuan penggunaan dari pembiayaan yang telah disetujui oleh nasabah.

Dalam perjanjian pembiayaan konsumen ini diperlukan juga adanya jaminan sebagai salah satu ketentuan yang harus dipenuhi untuk memperoleh fasilitas pembiayaan konsumen dengan tujuan agar pembiayaan yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan benar-benar terjamin pengembaliannya dari nasabah. Dalam hal ini, objek yang dijadikan jaminan adalah kendaraan bermotor dari nasabah perusahaan pembiayaan. Terhadap objek jaminan tersebut, oleh Perusahaan Pembiayaan X didaftarkan pada Kantor Jaminan Fidusia. Dengan didaftarkannya jaminan tersebut ke Kantor Jaminan Fidusia, maka Perusahaan Pembiayaan X sebagai kreditur memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia sehingga Perusahaan Pembiayaan X memiliki hak preferen atau hak untuk didahulukan terhadap kreditur lainnya. Karena jaminan tersebut berupa fidusia, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa :

�Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.�

Maka kendaraan bermotor yang dijaminkan tersebut tetap berada pada penguasaan nasabah, dan yang beralih kepada kreditur adalah hak kepemilikan atas kendaraan bermotor tersebut. Oleh karena itu BPKB sebagai bukti hak kepemilikan atas kendaraan bermotor dikuasai oleh perusahaan pembiayaan.

Perjanjian pembiayaan konsumen sebagaimana disebut di atas merupakan perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam Buku III KUHPerdata meskipun perjanjian tersebut mempunyai nama, sehingga perjanjian pembiayaan konsumen termasuk perjanjian tidak bernama. Perjanjian tidak bernama dapat berasal dari perjanjian campuran, yaitu perjanjian yang di dalamnya terdapat campuran unsur-unsur dari beberapa perjanjian Bernama (Nugraha, 2022). Dalam perjanjian pembiayaan konsumen terdapat campuran unsur perjanjian bernama yaitu antara perjanjian jual beli dengan sewa menyewa, di mana dalam perjanjian ini selama nasabah belum membayar lunas harga dari barang yang dibiayai oleh perusahaan pembiayaan, maka hak milik atas barang tersebut tetap berada pada perusahaan pembiayaan, meskipun barang sudah berada pada nasabah. Hak milik atas barang tersebut baru beralih kepada nasabah setelah nasabah melunasi harga barang tersebut. Oleh karena perjanjian pembiayaan konsumen tidak diatur secara khusus dalam Buku III KUHPerdata dan di dalamnya terdapat campuran unsur dari perjanjian bernama (perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa), maka perjanjian pembiayaan konsumen dikategorikan perjanjian tidak bernama yang berasal dari perjanjian campuran.

Perjanjian pembiayaan konsumen dalam pembuatannya tidak boleh menyimpangi asas kebebasan berkontrak yang terdapat pada Pasal 1338 KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak tersebut mempunyai 5 unsur (Hendrawati, 2011) yaitu :

1.     Kebebasan setiap orang untuk memutuskan apakah ia membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian.

2.     Kebebasan para pihak untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian.

3.     Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian.

4.     Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian.

5.     Kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.

Dengan adanya kemauan nasabah untuk memperoleh fasilitas pembiayaan konsumen dari Perusahaan Pembiayaan X, dan setelah Perusahaan Pembiayaan X melakukan analisis melalui kredit analisnya menyetujui pembiayaan yang akan diberikan, maka Perusahaan Pembiayaan X dan nasabah berarti sudah menentukan bahwa mereka akan membuat perjanjian pembiayaan konsumen dan juga sudah memilih dengan siapa akan membuat perjanjian. Dalam hal ini untuk lebih menjamin kepastian hukum para pihak, para pihak juga bersepakat untuk membuat perjanjian dalam bentuk perjanjian tertulis yang dibuat oleh notaris. Isi dari perjanjian pembiayaan konsumen ini memuat mengenai hal-hal yang telah disepakati sebelumnya oleh para pihak seperti mengenai besarnya jumlah pembiayaan yang diberikan perusahaan pembiayaan, jaminan yang diberikan oleh nasabah, jangka waktu pelunasan hutang, dan besarnya cicilan yang harus dibayarkan oleh nasabah. Dengan menyetujui hal-hal yang terdapat pada proses pengajuan awal untuk memperoleh fasilitas pembiayaan konsumen, maka di sini para pihak juga telah sepakat mengenai cara membuat perjanjian yaitu dengan cara dibuat oleh notaris dalam bentuk akta notaril yang merupakan akta otentik.��

Agar perjanjian pembiayaan konsumen dianggap sah oleh hukum dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya sehingga dana untuk pembiayaan bisa dicairkan oleh perusahaan pembiayaan, maka perjanjian pembiayaan konsumen tersebut harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu, sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, perusahaan Pembiayaan X memberikan penawaran berupa fasilitas pembiayaan konsumen untuk pemenuhan kebutuhan konsumtif dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan bagi calon nasabah yang hendak menggunakan fasilitas pembiayaan konsumen tersebut. Nasabah yang ingin memperoleh fasilitas tersebut harus mengisi FAP dan memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh perusahaan pembiayaan, yang mana hal ini dianggap sebagai akseptasi dari penawaran Perusahaan Pembiayaan. Dengan adanya penawaran yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan dan adanya akseptasi dari nasabah, maka di sini telah tercapai kesepakatan antara Perusahaan Pembiayaan X dengan nasabah.

Lalu adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, orang yang tidak cakap menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah anak yang belum dewasa yaitu yang belum berumur 21 tahun dan orang di bawah pengampuan. Mengenai usia dewasa ini terdapat perbedaan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UU Jabatan Notaris) yang dalam Pasal 39 ayat (1)-nya menyatakan bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus berusia paling rendah 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum (Ruzaipah et al., 2021). Lalu suatu hal tertentu ini maksudnya adalah bahwa objek perjanjian harus tertentu, atau setidak-tidaknya dapat ditentukan. Perjanjian pembiayaan konsumen telah memenuhi unsur ini dengan adanya objek yang dapat ditentukan dalam perjanjian yaitu pembiayaan konsumen yang diberikan Perusahaan Pembiayaan X kepada nasabah dalam bentuk utang piutang.

Suatu sebab yang halal Pengertian suatu sebab yang halal ialah bukan hal yang menyebabkan perjanjian, melainkan isi perjanjian itu sendiri (Hartono, 2015). Berdasarkan konstruksi hukum dengan menggunakan logika berpikir secara Argumentum a Contrario terhadap Pasal 1337 KUHPerdata, maka suatu sebab yang halal berarti isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Perjanjian pembiayaan konsumen juga telah memenuhi unsur ini, dimana hal yang diperjanjikan dalam isi perjanjian ini yaitu mengenai pembiayaan konsumen dari Perusahaan Pembiayaan X kepada nasabah, tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, ataupun ketertiban umum.

Praktik Cessie Di Perusahaan Pembiayaan X Kepada Bank Y Dikaitkan Dengan Peraturan Perundang-Undangan

Perusahaan pembiayaan kerap menjadi pilihan masyarakat dalam mengajukan pinjaman karena prosedur lebih sederha, proses persetujuan lebih cepat, perusahaan pembiayaan biasanya tidak mensyaratkan penyerahan jaminan tambahan sepanjang konsumen atau debitur cukup layak untuk dipercaya kemampuan dan kemauannya memenuhi kewajibannya.

Dengan adanya kemudahan untuk mengajukan pinjaman di perusahaan pembiayaan sebagaimana telah disebutkan di atas, hal ini menyebabkan masyarakat banyak yang memilih menggunakan fasilitas pembiayaan konsumen yang terdapat di perusahaan pembiayaan. Salah satu perusahaan pembiayaan yang cukup sering menjadi pilihan masyarakat untuk mengajukan fasilitas pembiayaan konsumen adalah Perusahaan Pembiayaan X.

Banyaknya masyarakat yang menggunakan fasilitas pembiayaan konsumen di perusahaan pembiayaan, salah satunya di Perusahaan Pembiayaan X, menyebabkan perusahaan pembiayaan membutuhkan dana lagi untuk disalurkan sebagai pembiayaan kepada nasabah lain dalam jangka waktu yang cepat dan untuk biaya operasional dari perusahaan pembiayaan sendiri. Akan tetapi piutang kepada nasabah sebelumnya belum jatuh tempo. Umumnya, cara yang digunakan oleh perusahaan pembiayaan untuk memperoleh dana dalam waktu yang cepat tersebut adalah dengan meminjam dana dari bank untuk disalurkan lagi sebagai pembiayaan kepada nasabah lainnya. Melalui pembiayaan yang dilakukan tersebut, perusahaan pembiayaan akan memiliki piutang atas nasabah-nasabahnya. Piutang-piutang tersebut kemudian dijadikan sebagai jaminan atas utang perusahaan pembiayaan kepada bank. Terhadap piutang yang dijaminkan oleh perusahaan pembiayaan tersebut pasti terdapat pengalihan piutang dari perusahaan pembiayaan kepada cessionaris, di sinilah terjadi perbuatan hukum cessie. Cara di atas sejalan dengan yang dikemukakan oleh Herlien Budiono dalam bukunya bahwa cessie sebagai jaminan terjadi ketika suatu tagihan dijadikan sebagai jaminan atas suatu tagihan lainnya (Djangkarang, 2013).

Gambar 1

Mekanisme Dalam Praktik Cessie Dari Perusahaan Pembiayaan X ke Bank Y

Rectangle: Rounded Corners: Perusahaan Pembiayaan X�

Arrow: Right: Jaminan dalam bentuk fidusia
Rectangle: Rounded Corners: Piutang-piutang Perusahaan Pembiayaan X atas nasabahnya
 


Rectangle: Rounded Corners: Bank YPinjam dana

 

Rectangle: Rounded Corners: Dengan akta cessie
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Sumber :� Staf bagian hukum Perusahaan Pembiayaan X

Penjelasan dari gambar di atas yaitu praktik cessie yang dilakukan dari Perusahaan Pembiayaan X ke Bank Y adalah dengan menjaminkan piutang-piutang Perusahaan Pembiayaan X atas nasabahnya kepada Bank Y sebagai jaminan utang Perusahaan Pembiayaan X. Dalam praktik ini, sesuai dengan Pasal 45 ayat (2) POJK tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan yang menyatakan bahwa :

"Perusahaan Pembiayaan dilarang menjaminkan nilai piutang pembiayaan atas 1 (satu) Debitur kepada lebih dari 1 (satu) pihak yang memberikan pinjaman kepada Perusahaan Pembiayaan.�

maka Perusahaan Pembiayaan X hanya boleh untuk menjaminkan piutang pembiayaan atas satu nasabahnya kepada Bank Y saja sebagai pihak yang memberikan pinjaman kepada Perusahaan Pembiayaan X. Perusahaan Pembiayaan X melakukan pinjaman dana tersebut dari Bank Y dengan tujuan untuk memperoleh dana dalam waktu yang cepat agar bisa disalurkan lagi sebagai pembiayaan kepada nasabah lain dan untuk biaya operasional dari perusahaan pembiayaan sendiri. Piutang-piutang tersebut dijaminkan oleh

Perusahaan Pembiayaan X ke Bank Y dalam bentuk jaminan fidusia. Jadi, di sini jaminan fidusia dari Perusahaan Pembiayaan X ke Bank Y merupakan jaminan untuk piutang yang dimiliki Bank Y atas Perusahaan Pembiayaan X. Kemudian barulah penyerahan piutang yang dijadikan jaminan dibuatkan akta cessie sebagai bukti penyerahan piutang atas nama Perusahaan Pembiayaan X dengan nasabahnya. Sehingga kedudukan dari Perusahaan Pembiayaan X di sini adalah sebagai cedent, Bank Y sebagai cessionaris, dan nasabah adalah sebagai cessus. Dengan dibuatnya akta cessie tersebut, maka pengalihan piutang dari Perusahaan Pembiayaan X ke Bank Y telah sah dan mengakibatkan beralihnya hak tagih.

Praktik cessie yang dilakukan dari Perusahaan Pembiayaan X kepada Bank Y seperti di atas bukan merupakan wanprestasi terhadap perjanjian pembiayaan konsumen yang terjadi antara Perusahaan Pembiayaan X dengan nasabah. Hal itu karena dalam akta perjanjian pembiayaan konsumen terdapat klausul mengenai pengalihan perjanjian, yang mana dalam klausul tersebut, tepatnya pada Pasal 20 ayat (2) menyatakan �Kreditur berhak untuk mengalihkan perjanjian ini kepada pihak lain siapapun, dan Debitur dengan ini memberikan persetujuan dimuka atau pengalihan tersebut, tanpa diperlukan pemberitahuan lebih lanjut.� Sementara wanprestasi terjadi apabila para pihak dalam perjanjian (Prayogo, 2016) :�������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������� ���������������������������������������

1.     Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

2.     Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

3.     Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

4.     Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Dari situ terlihat bahwa mengenai cessie memang sudah diatur dalam klausul perjanjian pembiayaan konsumen yang telah disepakati oleh Perusahaan Pembiayaan X dengan nasabah. Oleh karena cessie bukan merupakan sesuatu yang dilarang menurut perjanjian pembiayaan konsumen, maka praktik cessie dari Perusahaan Pembiayaan X kepada Bank Y tidak termasuk dalam perbuatan yang dikategorikan sebagai wanprestasi.

Walaupun cessie telah diatur dalam klausul akta perjanjian pembiayaan konsumen sehingga cessie yang dilakukan perusahaan pembiayaan bukan merupakan wanprestasi, namun praktik cessie yang dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan X dengan Bank Y masih tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata yang berbunyi :

"Penyerahan yang demikian bagi si berhutang tidak ada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui atau diakuinya.�

karena dengan adanya klausul dalam akta perjanjian pembiayaan konsumen tepatnya Pasal 20 ayat (2), ayat (3), serta ayat (4) huruf b dan f seperti yang telah disebutkan di atas, justru mengakibatkan dalam praktik cessie tersebut betekening dilakukan kepada nasabah sebelum terjadinya cessie dengan melalui klausul dalam akta perjanjian pembiayaan konsumen. Sementara menurut pendapat Herlien Budiono mengenai Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata, betekening kepada cessus dapat terjadi pada saat yang sama dengan pembuatan akta cessie dimana nasabah hadir dan ikut menandatangani atau apabila nasabah tidak hadir pada waktu pembuatan akta cessie, maka diperlukan pemberitahuan atau penerimaan atau pengakuan tertulis dari nasabah (Haikal, 2018). Tidak dilakukannya betekening seperti itu kepada cessus dikarenakan banyaknya nasabah dari Perusahaan Pembiayaan X sehingga betekening kepada nasabah tidak bisa dilakukan satu per satu.

Dari hasil wawancara dengan staf bagian hukum Perusahaan Pembiayaan X, betekening satu per satu kepada nasabah yang sangat banyak tidak aplikatif bagi Perusahaan Pembiayaan X karena akan membutuhkan waktu yang lama, sementara perusahaan pembiayaan membutuhkan dana dalam waktu yang cepat. Pemberitahuan ini hanya akan dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan X kepada nasabahnya apabila terdapat indikasi terjadinya wanprestasi atau telah terjadi wanprestasi oleh Perusahaan Pembiayaan X kepada investor (yang dalam hal ini adalah Bank Y). Ketentuan pemberitahuan seperti itu dimuat oleh Perusahaan Pembiayaan X dalam klausul akta jaminan fidusianya dengan bank pada Poin 4.1. Dalam Poin 4.1 akta jaminan fidusia antara Perusahaan Pembiayaan X dengan Bank Y juga terdapat klausul mengenai pihak yang melakukan pemberitahuan kepada nasabah bahwa piutangnya telah dialihkan. Pihak yang harus melakukan pemberitahuan adalah Perusahaan Pembiayaan X, namun apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan Perusahaan Pembiayaan X belum juga melakukan pemberitahuan kepada nasabah maka Bank bisa langsung melakukan pemberitahuan. Apabila pemberitahuan dilakukan oleh Bank Y sebagai cessionaris, nasabah berhak meminta untuk ditunjukkan akta cessie dan titel penyerahannya sebagai bentuk perlindungan dirinya agar dapat membayar ke kreditur yang benar (Ardini, 2019).

Betekening di awal dalam praktik cessie di atas yang dilakukan kepada nasabah sebelum terjadinya cessie dengan melalui klausul dalam akta perjanjian pembiayaan konsumen tidak dibenarkan oleh hukum, karena cessie diatur dalam Buku II KUHPerdata sementara perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata. Buku II KUHPerdata mempunyai sifat tertutup (dwingend recht) yang artinya seseorang tidak dapat mengadakan hak-hak kebendaan yang lain, selain diatur dalam Buku II KUHPerdata sementara Buku III KUHPerdata mempunyai sifat terbuka (aanvullendrecht) (Mumek, 2017), yang artinya hukum perikatan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pihak yang bersangkutan, untuk mengadakan hubungan hukum tentang apa saja yang diwujudkan dalam perbuatan hukum atau perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (Putri, 2017). Sehingga meskipun betekening yang dilakukan di awal sebelum terjadinya cessie telah disepakati oleh para pihak dalam akta perjanjian pembiayaan konsumen, namun karena betekening seperti itu menyimpangi ketentuan mengenai cessie dalam Buku II KUHPerdata yang sifatnya tertutup mengakibatkan hal tersebut tetap tidak dibenarkan menurut hukum. Karena betekening yang dilakukan di awal sebelum terjadinya cessie tidak dibenarkan oleh hukum, maka terhadap betekening di awal tersebut juga tidak mempunyai akibat hukum bagi nasabah karena nasabah tetap tidak mengetahui bila telah dilakukan cessie antara perusahaan dengan pihak yang akan menjadi kreditur baru sehingga nasabah juga tidak mengetahui pihak yang menjadi kreditur barunya (cessionaris).

Cessie yang telah dilakukan tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap nasabah, artinya nasabah dibenarkan untuk terus membayarkan utangnya sampai lunas kepada perusahaan pembiayaan sebagai kreditur lama selama belum dilakukan betekening kepadanya. Dalam praktik cessie seperti ini harus ada asas itikad baik karena nasabah tidak mengetahui bahwa telah terjadi pengalihan piutang yang dimiliki perusahaan pembiayaan terhadapnya. Dengan adanya asas itikad baik itu, nasabah akan mendapatkan perlindungan hukum dengan pembayaran utang yang dilakukan oleh nasabah kepada perusahaan pembiayaan dianggap sah dengan akibat utangnya lunas (Rufaida, 2019). Pembayaran utang yang dilakukan oleh nasabah juga harus diteruskan oleh Perusahaan Pembiayaan X kepada Bank Y, selain untuk melunasi utang Perusahaan Pembiayaan X juga agar setelah dilakukan betekening yang berakibat nasabah harus membayar utangnya kepada Bank Y sebagai cessionaris, utang yang telah dibayarkan nasabah kepada perusahaan pembiayaan tidak ditagih lagi oleh bank.

Setelah terjadinya cessie antara Perusahaan Pembiayaan X dengan Bank Y, terhadap bukti kepemilikan jaminan atas piutang yang dimiliki oleh Perusahaan Pembiayaan X juga tetap harus disimpan oleh Perusahaan Pembiayaan X karena dalam Pasal 43 ayat (1) POJK tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan dinyatakan :

�Dalam hal Perusahaan Pembiayaan menyalurkan Pembiayaan yang sumber dananya berasal selain dari kerja sama pembiayaan penerusan (channeling) dan/atau pembiayaan bersama (joint financing), Perusahaan Pembiayaan wajib menyimpan dan memelihara dokumen bukti kepemilikan atas agunan pada kantor pusat dan/atau kantor cabang Perusahaan Pembiayaan sampai dengan perjanjian pembiayaan berakhir.�

Sehingga karena dana yang diperoleh Perusahaan Pembiayaan X dari pinjaman Bank Y yang digunakan untuk disalurkan lagi sebagai pembiayaan bukan berasal dari kerja sama channeling atau joint financing antara Perusahaan Pembiayaan X dengan Bank Y, maka BPKB dari kendaraan bermotor nasabah yang dijaminkan wajib disimpan oleh Perusahaan Pembiayaan X sendiri. Mengenai jaminan atas piutang yang dimiliki oleh Perusahaan Pembiayaan X yaitu kendaraan bermotor nasabah yang telah dipasang Sertifikat Jaminan Fidusia, jaminan tersebut baru beralih kepada Bank Y setelah setelah ada betekening kepada cessus. Hal ini karena sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) UU Jaminan Fidusia yang menyatakan :

�Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia kepada kreditor baru.�

Dan Penjelasan Pasal 19 UU Jaminan Fidusia yang menyatakan :

�Pengalihan hak atas piutang dalam ketentuan ini, dikenal dengan istilah �cessie� yakni pengalihan piutang yang dilakukan dengan akta otentik atau akta di bawah tangan. Dengan adanya cessie ini, maka segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia lama beralih kepada Penerima Fidusia baru dan pengalihan hak atas piutang tersebut diberitahukan kepada Pemberi Fidusia.�

Maka meskipun cessie sebagai cara penyerahan tagihan atas nama mempunyai droit de suite tanpa pemberitahuan, dalam arti hak milik atas tagihan yang diserahkan sudah beralih kepada cessionaris walaupun belum ada pemberitahuan kepada cessus (Daniel & Budhisulistyawati, n.d.), yang mana juga akan mengakibatkan beralihnya hak dan kewajiban dari kreditur lama kepada kreditur baru. Akan tetapi tanpa adanya betekening kepada cessus sebagai pemberi fidusia, cessie tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadapnya. Sehingga dalam praktik cessie antara Perusahaan Pembiayaan X dengan Bank Y, hak dan kewajiban atas jaminan tersebut belum beralih kepada Bank Y sebagai cessionaris. Hak dan kewajiban atas jaminan baru beralih ke Bank Y setelah ada betekening kepada cessus, dan setelah beralih baru dilakukan roya Sertifikat Jaminan Fidusia atas nama Perusahaan Pembiayaan X sebagai penerima fidusia lama. Setelah dilakukan roya, dibuatlah Akta Jaminan Fidusia antara Bank Y dengan cessus, yang kemudian didaftarkan ke Kantor Jaminan Fidusia untuk diterbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia sehingga Bank Y sebagai penerima fidusia baru mempunyai hak preferen terhadap jaminan tersebut. Oleh karena itu, dalam hal betekening kepada cessus mengenai telah terjadinya cessie dari Perusahaan Pembiayaan X ke Bank Y belum dilakukan, maka hak dan kewajiban atas jaminan tersebut tetap berada pada pihak Perusahaan Pembiayaan X.

Praktik cessie tanpa betekening satu per satu kepada nasabah yang dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan X seperti yang dijelaskan di atas disebabkan karena peraturan mengenai cessie yang ada sekarang dirasa sudah tidak aplikatif lagi di tengah banyaknya nasabah Perusahaan Pembiayaan X sehingga akan membutuhkan waktu yang lama, sementara Perusahaan Pembiayaan X membutuhkan dana dalam waktu yang cepat. Walaupun begitu, seharusnya Perusahaan Pembiayaan X tetap harus melakukan betekening satu per satu kepada nasabah sesuai dengan ketentuan yang masih berlaku yaitu Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata karena ketentuan dalam Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata itu dimaksudkan untuk melindungi nasabah agar nasabah tidak tertipu oleh pihak yang mengaku sebagai kreditur barunya dan bisa membayar kepada kreditur yang benar. Melalui kemajuan teknologi yang ada sekarang seharusnya betekening satu per satu kepada nasabah bisa dilakukan melalui e-mail ataupun pos tercatat. Cara itu sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rachmad Setiawan dan J. Satrio yaitu dalam peristiwa cessie yang penting adalah bahwa pemberitahuan terjadinya cessie sampai kepada cessus, sehingga sekarang ini bisa diterima bahwa pemberitahuan terjadinya cessie cukup dibuat dengan pemberitahuan secara tertulis saja (Hamler, 2022). Selain itu, cara seperti itu juga sudah dapat memenuhi ketentuan dalam Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata yang menyatakan :

� "Penyerahan yang demikian bagi si berhutang tidak ada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui atau diakuinya.�

karena dari isi pasal tersebut dituliskan �diberitahukan kepadanya atau disetujui atau diakuinya�, kata �atau� dalam isi pasal tersebut menunjukkan bahwa pemberitahuan bersifat alternatif sehingga pemberitahuan kepada nasabah boleh hanya diberitahukan saja kepadanya.

Dengan terpenuhinya satu unsur perbuatan melawan hukum pada praktik cessie tersebut, bukan tidak mungkin unsur-unsur lain dari perbuatan melawan hukum akan terpenuhi juga pada praktik cessie lainnya. Unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum di samping unsur adanya suatu perbuatan yang melawan hukum yaitu :

a.     Adanya kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan karena tidak melakukan betekening setelah tejadinya cessie;

b.     Kerugian bagi nasabah, kerugian yang mungkin dialami oleh nasabah adalah apabila nasabah mendapatkan tagihan lagi dari bank atas angsuran yang sebelumnya telah dibayarkan kepada perusahaan pembiayaan; dan

c.     Hubungan kausal antara kerugian nasabah dengan perbuatan yang dilakukan perusahaan pembiayaan yaitu kemungkinan penagihan yang dilakukan lagi oleh bank kepada nasabah atas angsuran yang telah dibayarkan nasabah kepada perusahaan pembiayaan akibat perusahaan pembiayaan tidak melakukan betekening kepada nasabah sesuai dengan Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata.

Apabila unsur-unsur tersebut telah terpenuhi dan bisa dibuktikan, maka nasabah dapat menuntut ganti kerugian kepada perusahaan pembiayaan karena praktik cessie yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan merupakan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, dengan melihat banyaknya perusahaan pembiayaan yang menyediakan fasilitas pembiayaan kepada masyarakat sekarang ini dan juga banyaknya masyarakat yang menggunakan fasilitas pembiayaan tersebut, sudah seharusnya dibuat pengaturan lebih lanjut mengenai cessie yang lebih sesuai dan aplikatif bagi perusahaan pembiayaan karena perusahaan pembiayaan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat, yang mana untuk memperoleh dana salah satunya dilakukan melalui praktik cessie.

 

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan yang telah penulis lakukan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan keabsahan perjanjian pembiayaan konsumen sangat penting dalam pemberian fasilitas pembiayaan konsumen karena menjadi dasar bagi perusahaan pembiayaan X untuk mencairkan dana kepada nasabah dan untuk melakukan cessie terhadap piutangnya atas nasabah. Keabsahan perjanjian pembiayaan konsumen ini dapat dianalisis berdasarkan Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUHPerdata.

Pasal 1338 KUHPerdata, bahwa perjanjian pembiayaan konsumen tidak menyimpangi asas kebebasan berkontrak, yang artinya dalam pembuatan perjanjian tersebut para pihak bebas untuk menentukan akan membuat perjanjian atau tidak, memilih dengan siapa perjanjian itu dibuat, menentukan bentuk perjanjian, menentukan isi perjanjian, dan menentukan cara perjanjian itu dibuat. Pasal 1320 KUHPerdata, Kesepakatan dalam perjanjian pembiayaan konsumen ini terpenuhi karena terhadap penawaran dari Perusahaan Pembiayaan X telah terdapat akseptasi dari nasabah, serta dalam mencapai kesepakatan tersebut para pihak bebas dari paksaan, penipuan, dan kekhilafan.

Suatu sebab yang halal terpenuhi karena isi perjanjian pembiayaan konsumen ini yaitu mengenai pembiayaan konsumen tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Cessie yang dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan X kepada Bank Y bertujuan untuk memperoleh dana dalam waktu yang cepat untuk disalurkan lagi sebagai pembiayaan kepada nasabah lain dan untuk biaya operasional dari perusahaan pembiayaan sendiri. Ketentuan mengenai betekening seperti itu akan menimbulkan potensi perbuatan melawan hukum dalam praktik cessie tersebut dengan terpenuhinya unsur suatu perbuatan yang melawan hukum. Terpenuhinya unsur tersebut dikarenakan betekening dalam praktik cessie yang tidak dilakukan kepada nasabah pada saat yang sama dengan pembuatan akta cessie atau apabila nasabah tidak hadir pada waktu pembuatan akta cessie harus dilakukan pemberitahuan, atau penerimaan, atau pengakuan tertulis dari nasabah, yang mana hal itu tidak sesuai dengan Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata. Terpenuhinya satu unsur perbuatan melawan hukum dalam praktik cessie ini menunjukkan bahwa tidak menutup kemungkinan unsur-unsur lain dari perbuatan melawan hukum akan terpenuhi dalam praktik cessie lainnya, dan apabila semua unsur perbuatan melawan hukum dapat dibuktikan maka nasabah dapat menuntut ganti rugi kepada perusahaan pembiayaan.

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abdulkadir, M., & Rilda, M. (2000). Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan. Bandung: Pt Citra Aditya Bakti.

 

Ardini, D. D. (2019). Perlindungan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Terhadap Tertundanya Lelang Eksekusi Akibat Gugatan Debitur. Fakultas Hukum Unpas.

 

Arsyi, A. Z. U. L., Handayani, S., & Ahmaturrahman, A. (2022). Kekuatan Hukum Pemeriksaan Setempat (Descente) Dalam Pembuktian Sidang Perkara Perdata (Studi Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 48/Pdt. G/2021/Pn Plg). Sriwijaya University.

 

Borman, M. S. (2019). Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Umum Dalam Perspektf Undang-Undang Jabatan Notaris. Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Umum Dalam Perspektf Undang-Undang Jabatan Notaris, 3(1).

 

Daeni, W. (2018). Perlindungan Hukum Bagi Penyidik Polri Dalam Melaksanakan Tugas Dan Fungsinya Guna Terwujud Tegaknya Hukum Dan Ketertiban Dalam Perspektif Hak Azasi Manusia. Jurnal Hukum Media Justitia Nusantara, 8(1), 33�40.

 

Daniel, C. E., & Budhisulistyawati, A. (N.D.). Studi Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Baru Dalam Hal Gadai Cessie Fiktif. Jurnal Privat Law, 9(2), 247�257.

 

Djangkarang, M. R. (2013). Aspek Hukum Pengalihan Hak Tagihan Melalui Cessie. Lex Privatum, 1(5).

 

Fuadi, M. (2001). Hukum Kontrak:(Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis).

 

Haikal, H. (2018). Perlindungan Hukum Bagi Debitur Akibat Cessie Jaminan Yang Diakukan Oleh Bpr Tanpa Ijin Debitur Sebelum Terjadinya Likuidasi. Dialogia Juridica, 10.

 

Hamler, H. (2022). Perlindungan Hukum Debitur Dalam Pengalihan Piutang (Cessie) Kepada Pihak Ketiga Tanpa Pemberitahuan Kepada Debitur Atas Kredit Kepemilikan Rumah (Kpr). Joel: Journal Of Educational And Language Research, 2(1), 29�36.

 

Hartono, B. (2015). Penyelesaian Perkara Melalui Diversi Sebagai Upaya Perlindungan Anak Pelaku Tindak Pidana. Pranata Hukum, 10(1).

 

Hendrawati, D. (2011). Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Pembuatan Perjanjian Baku (Studi Normatif Pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen). Masalah-Masalah Hukum, 40(4), 411�418.

 

Kusumasari, D. (2011). Permasalahan Cessie Dan Subrogasi. Retrieved June, 14, 2021.

 

Mumek, R. A. (2017). Hak-Hak Kebendaan Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata. Lex Administratum, 5(2).

 

Neni, I. S. (2010). Pengantar Hukum Perbankan Indonesia. Bandung: Pt. Rafika Aditama.

 

Nugraha, A. R. (2022). Tanggung Jawab Developer Pt. Kagumkaryahusadaatas Penyerahan Sertifikat Hak Milik Atas Satuanrumah Susun Kepada Konsumen Dalamperjanjianjualbeli Satuan Rumah Susun The Jarrdin Bandung. Fakultas Hukum Universitas Pasundan.

 

Prayogo, S. (2016). Penerapan Batas-Batas Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perjanjian. Jurnal Pembaharuan Hukum, 3(2), 280�287.

 

Putri, D. K. (2017). Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas Dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas. Jurnal Akta, 4(4), 623�634.

 

Rufaida, K. K. (2019). Tinjauan Hukum Terhadap Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Tanpa Titel Eksekutorial Yang Sah. Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, 4(1), 21�40. Https://Doi.Org/10.24246/Jrh.2019.V4.I1.P21-40

 

Ruzaipah, R., Manan, A., & A�yun, Q. A. (2021). Penetapan Usia Kedewasaan Dalam Sistem Hukum Di Indonesia. Mitsaqan Ghalizan, 1(1), 1�20.

 

Sinaga, N. A. (2020). Kode Etik Sebagai Pedoman Pelaksanaan Profesi Hukum Yang Baik. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 10(2).

 

Soekanto, S. (2007). Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat.

Sugiyono, D. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D.

 

Copyright holder:

Stevan Shaan, Budi Santoso (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: