Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
3, Maret 2023
Stevan Shaan, Budi Santoso
Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Email : [email protected]
Abstrak
Penelitian ini menganalisis keabsahan dari perjanjian pembiayaan konsumen antara Perusahaan Pembiayaan X dengan nasabah yang merupakan perjanjian pokok yang mendasari adanya cessie. Sebagai perjanjian pokok, keabsahan perjanjian pembiayaan konsumen ini menjadi
penting dalam terjadinya praktik cessie karena cessie merupakan perjanjian accesoir dari perjanjian
pembiayaan konsumen.
Metode penelitian
yang digunakan dalam penulisan ini adalah
metode penelitian yuridis sosiologis yang dilakukan dengan cara melakukan suatu penelitian terhadap keadaan nyata di masyarakat agar dapat menemukan fakta untuk kemudian
dilakukan identifikasi dan akhirnya menuju pada penyelesaian masalah. Praktik cessie
yang dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan
X kepada Bank Y dengan menjaminkan piutang-piutang nasabah Perusahaan Pembiayaan X kepada Bank Y dengan tujuan untuk memperoleh
dana kembali dalam waktu yang cepat untuk disalurkan
lagi sebagai pembiayaan kepada nasabah lain dan untuk biaya operasional dari perusahaan pembiayaan sendiri. Oleh karena Perusahaan Pembiayaan
X membutuhkan dana dalam waktu yang cepat dan karena banyaknya nasabah, maka praktik
cessie tersebut dilakukan tanpa betekening kepada nasabah, karena jika dilakukan betekening satu per satu kepada
nasabah akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Hal itu tentunya tidak sesuai dengan Pasal
613 KUHPerdata. Oleh sebab itu, dalam penelitian
ini disarankan pembuatan pengaturan lebih lanjut mengenai
cessie agar
lebih sesuai dan aplikatif bagi perusahaan pembiayaan, sementara sebelum adanya pengaturan itu, Perusahaan Pembiayaan X tetap harus melakukan
betekening satu per satu kepada nasabah
agar memberikan kepastian bagi nasabah untuk
membayar kepada kreditur yang tepat.
Kata kunci : Perjanjian Pembiayaan Konsumen, Cessie, Betekening
Abstract
This study analyzes the
validity of the consumer financing agreement between Finance Company X and the
customer which is the underlying underlying agreement
of cessie. As a principal agreement, the validity of
this consumer financing agreement is important in the occurrence of cessie practices because cessie
is an accesoir agreement of the consumer financing
agreement. The research method used in this writing is a sociological juridical
research method which is carried out by conducting a study of real circumstances
in society in order to find facts to then be identified and finally lead to
solving problems. Cessie practice carried out by
Finance Company X to Bank Y by pledging customer receivables of Finance Company
X to Bank Y with the aim of obtaining funds back in a fast time to be
distributed again as financing to other customers and for operational costs
from the finance company itself. Because Finance Company X needs funds in a
fast time and because of the large number of customers, the cessie
practice is carried out without betekening to
customers, because if they are done one by one to customers, it will take
longer. This is certainly not in accordance with Article 613 of the Civil Code.
Therefore, in this study, it is recommended to make further arrangements
regarding cessie to be more suitable and applicable
to finance companies, while before the arrangement, Finance Company X still has
to do betekening one by one to customers in order to
provide certainty for customers to pay to the right creditors.
Keywords :�Consumer
Financing Agreement, Cessie, Betekening
Pendahuluan
Lembaga pembiayaan merupakan suatu badan usaha yang melakukan kegiatan
pembiayaan melalui penyediaan dana atau barang modal. Lembaga pembiayaan ini
menjadi salah satu bentuk usaha yang mempunyai peran sangat penting dalam
pembiayaan yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan
tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat baik dalam bentuk giro,
deposito, tabungan, ataupun surat sanggup bayar. Dari situ dapat terlihat bahwa
lembaga pembiayaan ini memiliki peran sebagai salah satu lembaga sumber
pembiayaan alternatif yang potensial untuk menunjang perekonomian nasional (Abdulkadir & Rilda, 2000).
Dalam Pasal 2 Peraturan Presiden RI No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan dikatakan bahwa �Lembaga Pembiayaan meliputi: Perusahaan Pembiayaan;
Perusahaan Modal Ventura; dan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur�. Dari ketiga
jenis perusahaan tersebut, masing-masing melakukan kegiatan usaha yang berbeda.
Lembaga pembiayaan yang seringkali menjadi pilihan masyarakat adalah perusahaan
pembiayaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 huruf b Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan bahwa �Perusahaan
pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang
khusus didirikan untuk melakukan kegaitan yang termasuk dalam bidang usaha
Lembaga Pembiayaan.�
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Presiden RI No. 9 Tahun 2009 tentang
Lembaga Pembiayaan, kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Perusahaan
Pembiayaan itu meliputi: 1) Sewa Guna Usaha, Kegiatan sewa guna usaha ini dapat dilakukan dalam bentuk penyediaan
barang bagi lessee baik dengan
ataupun tanpa hak opsi untuk membeli barang tersebut, di samping itu penyediaan
barang modal juga dapat dilakukan dengan membeli barang milik lessee untuk kemudian disewagunausahakan
lagi. Dalam kegiatan sewa guna usaha ini hak milik atas barang modal objek
transaksi berada pada Perusahaan Pembiayaan selama perjanjian Leasing masih berlaku. 2) Anjak Piutan, Dalam
Peraturan Presiden RI No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan yang dimaksud
dengan Anjak Piutang atau lebih dikenal dengan Factoring adalah anjak kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian
piutang dagang jangka pendek suatu Perusahaan berikut pengurusan atas piutang
tersebut. Menurut Kamsir, Factoring adalah perusahaan yang kegiatannya
melakukan penagihan atau pembelian atau pengambilalihan atau pengelolaan hutang
piutang suatu perusahaan dengan imbalan atau pembayaran tertentu dari
perusahaan klien (Neni, 2010). 3)Usaha Kartu Kredit, Dalam Peraturan
Presiden RI No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan dijelaskan bahwa usaha
kartu kredit adalah kegiatan pembiayaan untuk pembelian barang dan/atau jasa
dengan menggunakan kartu kredit. Kegiatan usaha kartu kredit ini dilakukan
dalam bentuk penerbitan kartu kredit yang dapat digunakan oleh pemegangnya
untuk membeli barang dan/atau jasa. 4) Pembiayaan Konsumen, pembiayaan konsumen
menurut Peraturan Presiden RI No. 9 Tahun 2009 adalah kegiatan pembiayaan untuk
pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara
angsuran. Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk penyediaan dana untuk pengadaan
barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran yang diangsur.
Dari keempat jenis kegiatan usaha tersebut, dalam penulisan ini hanya
akan difokuskan pada kegiatan pembiayaan konsumen. Dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor. 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan
Pembiayaan (selanjutnya disebut POJK) pada Pasal 1 ayat 1-nya dijelaskan bahwa
�Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan
untuk pengadaan barang dan/atau jasa.� Dalam Bab II POJK ini juga dijelaskan
mengenai kegiatan usaha dari Perusahaan Pembiayaan yang meliputi: 1) Pembiayaan Investasi, investasi ini
ditujukan untuk debitur yang berbentuk badan usaha atau orang perseorangan yang
memiliki usaha produktif dan/atau yang memiliki ide-ide untuk pengembangan
usaha produktif. 2) Pembiayaan Modal Kerja, investasi ini juga ditujukan untuk debitur
yang berbentuk badan usaha atau orang perseorangan yang memiliki usaha
produktif dan/atau yang memiliki ide-ide untuk pengembangan usaha produktif. 3) Pembiayaan Multiguna, Kegiatan ini wajib dilakukan dengan cara sewa
pembiayaan (Finance Lease), pembelian
dengan pembayaran secara angsuran, dan/atau pembiayaan lain setelah terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK. 4) Kegiatan usaha pembiayaan lain berdasarkan
persetujuan OJK, Kegiatan usaha pembiayaan lain ini jika ingin dilaksanakan oleh
Perusahaan Pembiayaan maka perusahaan tersebut harus memiliki Tingkat Kesehatan
Keuangan dengan kondisi minimum sehat dan tidak sedang dikenakan sanksi oleh
OJK.
Dalam kegiatan pembiayaan konsumen, terdapat hubungan hukum antara pihak
perusahaan pembiayaan (kreditur) dengan nasabah (debitur). Hubungan hukum
tersebut bersifat kontraktual, sehingga didasarkan pada perjanjian yang dalam
hal ini adalah perjanjian pembiayaan konsumen. Pada kegiatan pembiayaan
konsumen ini perusahaan pembiayaan sebagai kreditur berkewajiban untuk memberi
sejumlah uang kepada debitur untuk membeli suatu barang konsumsi, sedangkan
pihak nasabah sebagai debitur berkewajiban untuk membayar kembali pinjaman
tersebut secara cicilan/angsuran kepada pihak kreditur. Hubungan kontraktual
antara perusahaan pembiayaan dengan nasabah ini serupa dengan perjanjian kredit
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut
KUHPerdata).
Sebelum memberikan pinjaman kepada nasabah, nasabah harus membuktikan
terlebih dahulu kepada perusahaan pembiayaan agar ia percaya dan memperoleh
kepastian bahwa nasabah sanggup membayar hutang-hutangnya yang berasal dari
pinjaman. Pembuktian yang dilakukan oleh nasabah biasanya berkaitan dengan
terpenuhinya prinsip 5 C yaitu Character,
Capacity, Capital, Collateral, Condition of Economy. Setelah perusahaan
pembiayaan percaya bahwa nasabah memiliki kemampuan untuk melunasi hutangnya,
maka dibuatlah suatu perjanjian. Pada umumnya setelah seluruh perjanjian
pembiayaan konsumen ditandatangani, perusahaan pembiayaan akan mencairkan dana
atau menyerahkan barang kepada nasabah yang diajukan olehnya dalam permohonan
pinjaman. Barang-barang yang sudah diserahkan kepada nasabah akan menjadi milik
nasabah, meskipun barang tersebut dijadikan sebagai jaminan hutang. Jaminan
dalam pembiayaan konsumen ini berupa barang yang dibeli dengan dana pinjaman
tersebut dan biasanya jaminan ini dibuat dalam bentuk fidusia, sehingga seluruh
dokumen yang berkaitan dengan pemilikan barang akan dipegang oleh pihak
perusahaan pembiayaan hingga kredit dilunasi (Fuadi, 2001).
Jaminan tersebut diperlukan dalam mengajukan pinjaman dana kepada
perusahaan pembiayaan karena jaminan merupakan hal yang perlu mendapat
perhatian dalam mempertimbangkan suatu permohonan pinjaman dana dengan tujuan
untuk menambah kepastian agar pinjaman yang diberikan benar-benar terjamin
pengembaliannya dengan adanya barang-barang yang dijadikan jaminan oleh
peminjam atau debitur apabila dikemudian hari ternyata tidak dapat melunasi
hutangnya.
Barang-barang yang dijadikan
jaminan, baik barang bergerak ataupun tidak bergerak
ini harus dilaksanakan pengikatannya, pengikatan ini harus dapat dipertanggungjawabkan
secara yuridis atau dengan kata lain pengikatan barang-barang tersebut harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku. Pengikatan ini harus dibuat di hadapan Pejabat Umum yang berwenang yang dalam hal ini
adalah Notaris atau PPAT, Camat atau pejabat lain yang ditunjuk oleh pemerintah. Jaminan kebendaan untuk benda bergerak
dapat berupa gadai dan fidusia sedangkan untuk benda tidak bergerak
jaminan kebendaan berupa hipotek dan creditverband.
Seiring dengan
semakin berkembangnya zaman
dan meningkatnya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi oleh masyarakat, hal ini mendorong
masyarakat untuk mengajukan pinjaman. Untuk memperoleh pinjaman tersebut, masyarakat bisa mengajukan pinjaman baik kepada bank atau lembaga keuangan
bukan bank seperti perusahaan pembiayaan. Sekarang ini banyak
masyarakat yang mulai menggunakan fasilitas pinjaman yang disediakan oleh lembaga keuangan bukan bank. Hal itu disebabkan karena dalam pinjaman melalui pembiayaan konsumen sebagai salah satu kegiatan usaha
perusahaan pembiayaan memiliki keunggulan dibandingkan dengan pinjaman atau kredit
bank, keunggulan tersebut ialah, Prosedur lebih sederhana, Proses persetujuan yang biasanya lebih cepat, Perusahaan pembiayaan biasanya tidak mensyaratkan penyerahan jaminan tambahan sepanjang konsumen atau debitur
cukup layak untuk dipercaya kemampuan dan kemauannya memenuhi kewajibannya.
Dengan kemudahan
yang diberikan tersebut, semakin banyak masyarakat yang melakukan pinjaman kepada perusahaan pembiayaan. Hal ini menyebabkan perusahaan pembiayaan membutuhkan dana lebih banyak yang akan disalurkan sebagai pinjaman kepada masyarakat sebagai nasabah dalam jangka
waktu yang cepat. Cara yang
umumnya digunakan untuk memperoleh dana kembali dalam waktu
yang cepat atas piutang yang belum jatuh tempo yang harus dibayarkan oleh nasabah sebagai debitur adalah dengan meminjam
dana dari bank. Setelah memperoleh dana tersebut, mekanisme yang penulis ketahui dari hasil
wawancara dengan responden yaitu perusahaan pembiayaan akan menyalurkannya sebagai pembiayaan kepada nasabah, dan pembiayaan yang dilakukan itu menjadi piutang
milik perusahaan pembiayaan. Kemudian setelah piutang-piutang dari nasabah tersebut
terkumpul, selanjutnya piutang tersebut dialihkan atau dikenal dengan praktik cessie oleh perusahaan pembiayaan sebagai cedent, kepada
bank yang memberikan pinjaman
dana sebelumnya sebagai pihak yang berpiutang baru atau cessionaris. Oleh karena itulah melalui
pengalihan piutang atau cessie
tersebut, perusahaan pembiayaan akan memperoleh dana dari pihak perbankan untuk melakukan pembiayaan kepada masyarakat sebagai nasabah.
Akan tetapi sebelum melakukan praktik cessie tersebut, hal penting yang perlu diperhatikan adalah
mengenai keabsahan dari perjanjian pembiayaan konsumen antara Perusahaan
Pembiayaan X dengan nasabah. Keabsahan perjanjian pembiayaan konsumen penting
karena dengan sahnya perjanjian pembiayaan konsumen tersebut, maka para pihak
harus patuh pada klausul yang ada di dalamnya. Salah satu klausul dalam
perjanjian pembiayaan konsumen itu adalah pengaturan mengenai pengalihan
piutang. Oleh karena itu, apabila perusahaan pembiayaan hendak mengalihkan
piutang yang dimiliknya atas nasabah untuk memperoleh dana dari pihak
perbankan, perusahaan pembiayaan menjadi berhak untuk mengalihkan piutang
tersebut kepada bank.
Praktik cessie sendiri
merupakan pengalihan hak atas kebendaan bergerak tak berwujud (intangible goods) yang biasanya berupa
piutang atas nama kepada pihak ketiga, dimana seseorang menjual hak tagihnya
kepada orang lain (Kusumasari, 2011). Praktik cessie
diatur dalam Pasal 613 KUHPerdata yang menyatakan :
"(1)
������ Penyerahan
akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tidak bertubuh lainnya, dilakukan
dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana
hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.
(2) �������� Penyerahan
yang demikian bagi si berhutang tidak ada akibatnya, melainkan setelah
penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui atau
diakuinya.
(3)��������� Penyerahan tiap-tiap piutang
karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu; penyerahan tiap-tiap
piutang karena surat ditunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan
endosemen.�
Adanya praktik
cessie tanpa betekening seperti yang dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan
X karena jumlah nasabah yang mengajukan pinjaman sangat banyak. Contohnya dapat dilihat dari tingginya
jumlah kredit kendaraan bermotor setiap tahunnya karena skema kredit
pembelian kendaraan bermotor sangat ringan. Berdasarkan data dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) penjualan
sepeda motor sepanjang
semester pertama ini naik
7,4 persen menjadi 3,22 juta unit dari periode yang sama tahun lalu, belum
lagi ditambah dengan penjualan mobil yang juga meningkat. Hal itu menyebabkan apabila dilakukan betekening atau pemberitahuan satu per satu kepada
nasabah akan sangat sulit untuk dilakukan
dan membutuhkan waktu yang lebih lama karena jumlahnya yang sangat banyak, sementara perusahaan pembiayaan terus membutuhkan dana untuk memberikan pinjaman kepada nasabah lainnya dan juga biaya operasional dari perusahaan. Akan tetapi hal ini justru
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yaitu KUHPerdata tepatnya pada Pasal 613 ayat (2) yang berbunyi :
"(2)
���� Penyerahan
yang demikian bagi si berhutang tidak ada akibatnya, melainkan setelah
penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui atau
diakuinya.��
Di samping
itu peraturan yang mengatur mengenai cessie hanya terdapat pada Pasal 613 KUHPerdata.
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis
tertarik untuk menuangkan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul �PELAKSANAAN BETEKENING PADA PRAKTIK CESSIE
DI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN X KEPADA BANK Y.�
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analitis,
yaitu suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran
terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul
sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku
untuk umum (Sugiyono, 2013). Dengan kata lain bahwa melalui metode
penelitian ini, terhadap masalah yang diteliti harus diperoleh gambaran dan
penjelasan yang sebenarnya dengan melakukan penelitian di lapangan, yang
kemudian dapat diambil kesimpulan dengan mengetahui kenyataan dalam
pelaksanaannya apakah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Melalui metode ini diharapkan dapat memperoleh gambaran yang
menyeluruh mengenai pelaksanaan betekening
pada praktik cessie dari Perusahaan
Pembiayaan X ke Bank Y.
Penelitian ini akan disusun menggunakan metode penelitian yuridis
sosiologis yaitu suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata
masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan
fakta, yang kemudian menuju pada identifikasi dan pada akhirnya menuju pada
penyelesaian masalah (Soekanto,
2007). Metode penelitian yuridis sosiologis ini merupakan suatu pendekatan yang
memandang hukum sebagai sesuatu yang hidup atau yang dipakai dalam masyarakat,
dalam artian� konsep ini tidak memandang
hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat mandiri, tertutup dan
terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata. Dengan penelitian hukum yang
menggunakan metode yuridis sosiologis akan dilakukan penelitian mengenai
pelaksanaan betekening pada praktik cessie dari Perusahaan Pembiayaan X ke
Bank Y untuk mengetahui apakah dalam pelaksanaannya telah efektif dan sesuai
dengan pengaturan cessie dalam
KUHPerdata. Tipologi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
penelitian inventarisasi hukum positif untuk menemukan hukum positif yang
diperlukan dalam penelitian ini. Inventarisasi ini merupakan salah satu tahap
dari rangkaian proses suatu penelitian yang menyeluruh, yang walaupun merupakan
pendahuluan tetapi bersifat mendasar (Daeni, 2018). Data yang telah diperoleh melalui kegiatan pengumpulan data baik data
primer maupun data sekunder kemudian diolah melalui prosedur pengolahan data yakni editing, sistematisasi,
dan analisi data.
Hasil dan Pembahasan
Dari beberapa fasilitas pembiayaan Perusahaan Pembiayaan X di atas, saat ini yang cukup
banyak menjadi pilihan dari nasabah
adalah pembiayaan multiguna. Pembiayaan multiguna ini dalam
Bab II POJK Nomor. 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perusahaan Pembiayaan tepatnya
pada Pasal 4 ayat (3) huruf (b) dinyatakan sebagai kegiatan pembiayaan yang dilakukan dengan cara salah satunya adalah
pembelian dengan pembayaran secara angsuran. Pembiayaan multiguna menjadi fasilitas pembiayaan yang bertujuan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan nasabah di tengah kebutuhan masyarakat yang terus meningkat dari tahun ke
tahunnya. Salah satu dari kebutuhan masyarakat yang terus meningkat tersebut adalah kebutuhan atas kendaraan bermotor. Pembiayaan multiguna ini menjadi
pilihan masyarakat karena memberikan kemudahan bagi masyarakat sebagai nasabah untuk memenuhi
kebutuhannya, dimana untuk memperoleh fasilitas pembiayaan ini, jaminan yang diperlukan cukup mudah yaitu Buku
Pemilik Kendaraan Bermotor (selanjutnya disebut BPKB) yang dimiliki nasabah. Di samping itu, juga terdapat pelunasan kredit yang cukup mudah dengan
pilihan skema pembayaran beragam yang tentunya dilakukan secara angsuran dengan bunga yang cukup rendah.
Pembiayaan multiguna
sebagai kegiatan usaha perusahaan pembiayaan tidak terdapat dalam Peraturan Presiden RI No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Namun jika dilihat dari
pemaparannya dalam Pasal 1 ayat (4) POJK� tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan
yang menyatakan :
�Pembiayaan
Multiguna adalah pembiayaan barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh debitur
untuk pemakaian/konsumsi dan bukan untuk keperluan usaha atau aktivitas
produktif dalam jangka waktu yang diperjanjikan.�
dan mekanismenya
dalam praktik, padanan dari pembiayaan/kredit multiguna ini dalam Pasal
3 Peraturan Presiden RI No.
9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan adalah pembiayaan konsumen. Isi dari Pasal 3 tersebut
adalah Sewa Guna Usaha, Anjak
Piutang, Usaha Kartu Kredit, Pembiayaan Konsumen. Dalam Pasal 1 ayat (7) Peraturan Presiden RI No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, pembiayaan konsumen dirumuskan sebagai berikut :
�Pembiayaan Konsumen
(Consumer Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang
berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran.�
Dari kedua isi
pasal di atas dapat terlihat bahwa tujuan dari
pembiayaan multiguna dengan pembiayaan konsumen sama yaitu
untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan dari masyarakat sebagai nasabah (kebutuhan konsumtif) dan dengan pembayaran yang dilakukan secara angsuran dalam jangka waktu
tertentu. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan
bahwa pembiayaan multiguna sama saja dengan pembiayaan
konsumen sehingga pembiayaan multiguna yang merupakan fasilitas pembiayaan dari Perusahaan Pembiayaan X juga merupakan pembiayaan konsumen.
FAP sebagai perjanjian
standar menyimpangi asas kebebasan berkontrak sebagaimana terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Hal tersebut karena dalam perjanjian standar, asas kebebasan
berkontrak ini tidak dapat diwujudkan,
yang mana dari kelima unsur asas kebebasan
berkontrak hanya ada 2 unsur yang masih dapat diwujudkan
yaitu kebebasan untuk membuat atau
tidak membuat perjanjian dan kebebasan untuk memilih dengan
siapa ia akan membuat perjanjian
(Sinaga, 2020). Oleh karena itu, asas kebebasan
berkontrak yang terdapat
pada nasabah di sini hanya untuk membuat
atau tidak membuat perjanjian dengan Perusahaan Pembiayaan X.
Setelah pengisian
FAP oleh nasabah, bagian
marketing akan menyerahkannya
kepada kredit analis untuk dilakukan
analisis dengan tujuan menentukan besarnya pembiayaan yang akan diberikan kepada nasabah sesuai dengan jaminan
yang diberikannya. Di samping
itu, analisis tersebut juga bertujuan agar perusahaan pembiayaan percaya bahwa nasabah
mampu untuk melunasi hutangnya. Analisis yang dilakukan oleh kredit analis dari
Perusahaan Pembiayaan X merupakan
penerapan dari prinsip kehati-hatian sebagai jaminan utama yang dapat dilakukan melalui prinsip 5C (Character,
Capacity, Capital, Collateral, Condition of Economy). Kemudian,
kredit analis akan mengeluarkan SPK yang berisi besarnya jumlah pembiayaan yang disetujui untuk diberikan oleh perusahaan pembiayaan. SPK tersebut akan disampaikan kembali oleh marketing Perusahaan Pembiayaan
X kepada nasabah untuk meminta persetujuan
nasabah.
Setelah SPK tersebut
disetujui oleh nasabah, barulah dibuat perjanjian pembiayaan konsumen dalam bentuk akta otentik.
Akta otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata merupakan akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dan
dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu (dalam
hal ini adalah
notaris �di tempat akta itu dibuat
(Borman, 2019). Jadi, perjanjian pembiayaan konsumen tersebut dibuat dalam bentuk akta,
yang pembuatannya dilakukan
oleh notaris. Perjanjian pembiayaan konsumen ini harus dibuat
dalam bentuk akta otentik karena
akta otentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian (ARSYI et al., 2022), yaitu :
1.
Kekuatan pembuktian formil, membuktikan antara para pihak bahwa mereka
sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2.
Kekuatan pembuktian materiil, membuktikan antara para pihak, bahwa
benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
3.
Kekuatan mengikat, membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa
pada tanggal yang tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada
pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Dari situ terlihat bahwa perjanjian pembiayaan konsumen dalam bentuk akta
otentik sangat penting sebab akta otentik
merupakan bukti yang sempurna yang tidak bisa disangkal oleh para pihak yang membuatnya dan juga mempunyai kekuatan pembuktian kepada pihak ketiga. Setelah
perjanjian pembiayaan konsumen tersebut terbentuk dan sah sehingga perjanjian pembiayaan konsumen akan mengikat dan berlaku kepada para pihak yang menandatanganinya sebagai undang-undang, barulah Perusahaan Pembiayaan X mencairkan dana sesuai dengan jumlah pembiayaan
dan tujuan penggunaan dari pembiayaan yang telah disetujui oleh nasabah.
Dalam perjanjian pembiayaan konsumen ini diperlukan juga adanya jaminan sebagai salah satu ketentuan yang harus dipenuhi untuk memperoleh fasilitas pembiayaan konsumen dengan tujuan agar pembiayaan yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan benar-benar terjamin pengembaliannya dari nasabah. Dalam hal ini, objek
yang dijadikan jaminan adalah kendaraan bermotor dari nasabah
perusahaan pembiayaan. Terhadap objek jaminan tersebut, oleh Perusahaan
Pembiayaan X didaftarkan
pada Kantor Jaminan Fidusia.
Dengan didaftarkannya jaminan tersebut ke Kantor Jaminan Fidusia, maka Perusahaan Pembiayaan X sebagai kreditur memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia sehingga Perusahaan Pembiayaan X memiliki hak preferen atau
hak untuk didahulukan terhadap kreditur lainnya. Karena jaminan tersebut berupa fidusia, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa :
�Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan
tetap dalam penguasaan pemilik benda.�
Maka kendaraan bermotor yang dijaminkan tersebut tetap berada pada penguasaan nasabah, dan yang beralih kepada kreditur adalah hak kepemilikan
atas kendaraan bermotor tersebut. Oleh karena itu BPKB sebagai bukti hak
kepemilikan atas kendaraan bermotor dikuasai oleh perusahaan pembiayaan.
Perjanjian pembiayaan
konsumen sebagaimana disebut di atas merupakan perjanjian yang tidak diatur secara
khusus dalam Buku III KUHPerdata meskipun perjanjian tersebut mempunyai nama, sehingga perjanjian pembiayaan konsumen termasuk perjanjian tidak bernama. Perjanjian tidak bernama dapat
berasal dari perjanjian campuran, yaitu perjanjian yang di dalamnya terdapat campuran unsur-unsur dari beberapa perjanjian
Bernama (Nugraha, 2022). Dalam perjanjian
pembiayaan konsumen terdapat campuran unsur perjanjian bernama yaitu antara
perjanjian jual beli dengan sewa
menyewa, di mana dalam perjanjian ini selama nasabah belum membayar lunas harga dari
barang yang dibiayai oleh perusahaan pembiayaan, maka hak milik
atas barang tersebut tetap berada pada perusahaan pembiayaan, meskipun barang sudah berada
pada nasabah. Hak milik atas barang tersebut
baru beralih kepada nasabah setelah nasabah melunasi harga barang tersebut. Oleh karena perjanjian pembiayaan konsumen tidak diatur secara
khusus dalam Buku III KUHPerdata dan di dalamnya terdapat campuran unsur dari perjanjian bernama (perjanjian jual beli dan perjanjian
sewa menyewa), maka perjanjian pembiayaan konsumen dikategorikan perjanjian tidak bernama yang berasal dari perjanjian
campuran.
Perjanjian pembiayaan
konsumen dalam pembuatannya tidak boleh menyimpangi asas kebebasan berkontrak yang terdapat pada Pasal 1338 KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak tersebut mempunyai 5 unsur (Hendrawati, 2011) yaitu :
1.
Kebebasan setiap orang untuk memutuskan apakah ia membuat perjanjian
atau tidak membuat perjanjian.
2.
Kebebasan para pihak untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu
perjanjian.
3.
Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian.
4.
Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian.
5.
Kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.
Dengan adanya kemauan nasabah untuk memperoleh fasilitas pembiayaan konsumen dari Perusahaan Pembiayaan X, dan setelah
Perusahaan Pembiayaan X melakukan
analisis melalui kredit analisnya menyetujui pembiayaan yang akan diberikan, maka Perusahaan Pembiayaan X dan nasabah berarti sudah menentukan bahwa mereka akan
membuat perjanjian pembiayaan konsumen dan juga sudah memilih dengan
siapa akan membuat perjanjian. Dalam hal ini
untuk lebih menjamin kepastian hukum para pihak, para pihak juga bersepakat untuk membuat perjanjian
dalam bentuk perjanjian tertulis yang dibuat oleh notaris. Isi dari perjanjian pembiayaan konsumen ini memuat mengenai
hal-hal yang telah disepakati sebelumnya oleh para pihak seperti mengenai
besarnya jumlah pembiayaan yang diberikan perusahaan pembiayaan, jaminan yang diberikan oleh nasabah, jangka waktu pelunasan hutang, dan besarnya cicilan yang harus dibayarkan oleh nasabah. Dengan menyetujui hal-hal yang terdapat pada proses
pengajuan awal untuk memperoleh fasilitas pembiayaan konsumen, maka di sini para pihak juga telah sepakat mengenai
cara membuat perjanjian yaitu dengan cara dibuat
oleh notaris dalam bentuk akta notaril
yang merupakan akta otentik.��
Agar perjanjian pembiayaan konsumen dianggap sah oleh hukum dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya sehingga dana untuk pembiayaan bisa dicairkan oleh perusahaan pembiayaan, maka perjanjian pembiayaan konsumen tersebut harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu, sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, perusahaan Pembiayaan X memberikan penawaran berupa fasilitas pembiayaan konsumen untuk pemenuhan kebutuhan konsumtif dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan bagi calon nasabah
yang hendak menggunakan fasilitas pembiayaan konsumen tersebut. Nasabah yang ingin memperoleh fasilitas tersebut harus mengisi FAP dan memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh perusahaan pembiayaan, yang mana hal ini dianggap sebagai
akseptasi dari penawaran Perusahaan Pembiayaan. Dengan adanya penawaran
yang dilakukan oleh perusahaan
pembiayaan dan adanya akseptasi dari nasabah, maka di sini telah tercapai
kesepakatan antara
Perusahaan Pembiayaan X dengan
nasabah.
Lalu adanya kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian, orang yang tidak cakap menurut
Pasal 1330 KUHPerdata adalah anak yang belum dewasa yaitu
yang belum berumur 21 tahun dan orang di bawah pengampuan. Mengenai usia dewasa ini
terdapat perbedaan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UU Jabatan Notaris) yang dalam Pasal 39 ayat (1)-nya menyatakan
bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus berusia paling rendah 18 tahun atau telah menikah
dan cakap melakukan perbuatan hukum (Ruzaipah et al., 2021). Lalu suatu hal tertentu ini
maksudnya adalah bahwa objek perjanjian
harus tertentu, atau setidak-tidaknya dapat ditentukan. Perjanjian pembiayaan konsumen telah memenuhi unsur ini dengan adanya
objek yang dapat ditentukan dalam perjanjian yaitu pembiayaan konsumen yang diberikan Perusahaan Pembiayaan X
kepada nasabah dalam bentuk utang piutang.
Suatu sebab yang
halal Pengertian suatu sebab yang halal ialah bukan hal yang menyebabkan perjanjian, melainkan isi perjanjian
itu sendiri (Hartono, 2015). Berdasarkan konstruksi hukum dengan menggunakan logika berpikir secara Argumentum a Contrario terhadap Pasal 1337 KUHPerdata, maka suatu sebab
yang halal berarti isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Perjanjian pembiayaan konsumen juga telah memenuhi unsur ini, dimana
hal yang diperjanjikan dalam isi perjanjian
ini yaitu mengenai pembiayaan konsumen dari Perusahaan Pembiayaan X kepada nasabah, tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, ataupun ketertiban umum.
Perusahaan pembiayaan kerap menjadi pilihan
masyarakat dalam mengajukan pinjaman karena prosedur
lebih sederha, proses
persetujuan lebih cepat, perusahaan
pembiayaan biasanya tidak mensyaratkan penyerahan jaminan tambahan sepanjang konsumen atau
debitur cukup layak untuk dipercaya kemampuan dan kemauannya memenuhi
kewajibannya.
Dengan adanya
kemudahan untuk mengajukan pinjaman di perusahaan pembiayaan sebagaimana telah disebutkan di atas, hal ini menyebabkan
masyarakat banyak yang memilih menggunakan fasilitas pembiayaan konsumen yang terdapat di perusahaan pembiayaan. Salah satu perusahaan pembiayaan yang cukup sering menjadi pilihan masyarakat untuk mengajukan fasilitas pembiayaan konsumen adalah Perusahaan Pembiayaan X.
Banyaknya masyarakat
yang menggunakan fasilitas pembiayaan konsumen di perusahaan pembiayaan, salah satunya di Perusahaan Pembiayaan
X, menyebabkan perusahaan pembiayaan membutuhkan dana lagi untuk disalurkan
sebagai pembiayaan kepada nasabah lain dalam jangka waktu
yang cepat dan untuk biaya operasional dari perusahaan pembiayaan sendiri. Akan tetapi piutang kepada nasabah sebelumnya belum jatuh tempo. Umumnya, cara yang digunakan oleh perusahaan pembiayaan untuk memperoleh dana dalam waktu yang cepat tersebut adalah dengan meminjam
dana dari bank untuk disalurkan lagi sebagai pembiayaan kepada nasabah lainnya. Melalui pembiayaan yang dilakukan tersebut, perusahaan pembiayaan akan memiliki piutang atas nasabah-nasabahnya. Piutang-piutang tersebut kemudian dijadikan sebagai jaminan atas utang perusahaan pembiayaan kepada bank. Terhadap piutang yang dijaminkan oleh perusahaan pembiayaan tersebut pasti terdapat pengalihan piutang dari perusahaan pembiayaan kepada cessionaris, di sinilah terjadi perbuatan hukum cessie. Cara di atas sejalan dengan
yang dikemukakan oleh Herlien
Budiono dalam bukunya bahwa cessie sebagai
jaminan terjadi ketika suatu tagihan
dijadikan sebagai jaminan atas suatu
tagihan lainnya (Djangkarang,
2013).
Gambar 1
Mekanisme Dalam
Praktik Cessie Dari Perusahaan Pembiayaan
X ke Bank Y
�
Pinjam dana
Sumber :� Staf bagian hukum Perusahaan Pembiayaan X
Penjelasan dari
gambar di atas yaitu praktik cessie yang dilakukan
dari Perusahaan Pembiayaan
X ke Bank Y adalah dengan menjaminkan piutang-piutang Perusahaan Pembiayaan
X atas nasabahnya kepada Bank Y sebagai jaminan utang Perusahaan Pembiayaan
X. Dalam praktik ini, sesuai dengan
Pasal 45 ayat (2) POJK tentang Penyelenggaraan Usaha
Perusahaan Pembiayaan yang menyatakan
bahwa :
"Perusahaan Pembiayaan dilarang menjaminkan nilai piutang
pembiayaan atas 1 (satu) Debitur kepada lebih dari 1 (satu) pihak yang
memberikan pinjaman kepada Perusahaan Pembiayaan.�
maka Perusahaan Pembiayaan X hanya boleh untuk
menjaminkan piutang pembiayaan atas satu nasabahnya kepada Bank Y saja sebagai pihak yang memberikan pinjaman kepada Perusahaan Pembiayaan X.
Perusahaan Pembiayaan X melakukan
pinjaman dana tersebut dari Bank Y dengan tujuan untuk memperoleh
dana dalam waktu yang cepat agar bisa disalurkan lagi sebagai pembiayaan kepada nasabah lain dan untuk biaya operasional
dari perusahaan pembiayaan sendiri. Piutang-piutang tersebut dijaminkan oleh
Perusahaan Pembiayaan X ke Bank Y dalam bentuk jaminan
fidusia. Jadi, di sini jaminan fidusia dari Perusahaan Pembiayaan X ke Bank Y merupakan jaminan untuk piutang
yang dimiliki Bank Y atas
Perusahaan Pembiayaan X. Kemudian
barulah penyerahan piutang yang dijadikan jaminan dibuatkan akta cessie sebagai bukti penyerahan piutang atas nama
Perusahaan Pembiayaan X dengan
nasabahnya. Sehingga kedudukan dari Perusahaan Pembiayaan X di sini adalah sebagai cedent, Bank Y sebagai
cessionaris,
dan nasabah adalah sebagai cessus. Dengan dibuatnya
akta cessie tersebut, maka pengalihan piutang dari Perusahaan Pembiayaan X ke Bank Y telah sah dan mengakibatkan beralihnya hak tagih.
Praktik cessie yang dilakukan
dari Perusahaan Pembiayaan X kepada Bank Y seperti di atas bukan merupakan
wanprestasi terhadap perjanjian pembiayaan konsumen yang terjadi antara
Perusahaan Pembiayaan X dengan nasabah. Hal itu karena dalam akta perjanjian
pembiayaan konsumen terdapat klausul mengenai pengalihan perjanjian, yang mana
dalam klausul tersebut, tepatnya pada Pasal 20 ayat (2) menyatakan �Kreditur
berhak untuk mengalihkan perjanjian ini kepada pihak lain siapapun, dan Debitur
dengan ini memberikan persetujuan dimuka atau pengalihan tersebut, tanpa
diperlukan pemberitahuan lebih lanjut.� Sementara wanprestasi terjadi apabila
para pihak dalam perjanjian (Prayogo, 2016) :��������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
���������������������������������������
1.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2.
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan;
3.
Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru
tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi
prestasi sama sekali.
Dari situ terlihat bahwa mengenai cessie memang sudah
diatur dalam klausul perjanjian pembiayaan konsumen yang telah disepakati oleh Perusahaan Pembiayaan X dengan nasabah. Oleh karena cessie bukan merupakan sesuatu yang dilarang menurut perjanjian pembiayaan konsumen, maka praktik cessie dari
Perusahaan Pembiayaan X kepada
Bank Y tidak termasuk dalam perbuatan yang dikategorikan sebagai wanprestasi.
Walaupun cessie
telah diatur dalam klausul akta
perjanjian pembiayaan konsumen sehingga cessie yang dilakukan perusahaan pembiayaan bukan merupakan wanprestasi, namun praktik cessie yang dilakukan
oleh Perusahaan Pembiayaan X dengan
Bank Y masih tidak sesuai dengan ketentuan
Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata yang berbunyi :
"Penyerahan yang demikian
bagi si berhutang tidak ada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu
diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui atau diakuinya.�
karena dengan adanya
klausul dalam akta perjanjian pembiayaan konsumen tepatnya Pasal 20 ayat (2), ayat (3), serta ayat (4) huruf b dan f seperti yang telah disebutkan di atas, justru mengakibatkan
dalam praktik cessie tersebut betekening dilakukan kepada nasabah sebelum terjadinya cessie dengan melalui
klausul dalam akta perjanjian pembiayaan konsumen. Sementara menurut pendapat Herlien Budiono mengenai Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata, betekening kepada cessus dapat terjadi pada saat yang sama dengan pembuatan akta cessie dimana nasabah hadir dan ikut menandatangani atau apabila nasabah
tidak hadir pada waktu pembuatan akta cessie,
maka diperlukan pemberitahuan atau penerimaan atau pengakuan tertulis dari nasabah (Haikal,
2018). Tidak
dilakukannya betekening seperti itu kepada cessus dikarenakan
banyaknya nasabah dari Perusahaan Pembiayaan X sehingga betekening kepada nasabah tidak bisa
dilakukan satu per satu.
Dari hasil
wawancara dengan staf bagian hukum
Perusahaan Pembiayaan X, betekening satu
per satu kepada nasabah yang sangat banyak tidak aplikatif bagi Perusahaan Pembiayaan X karena akan membutuhkan
waktu yang lama, sementara perusahaan pembiayaan membutuhkan dana dalam waktu yang cepat. Pemberitahuan ini hanya akan dilakukan
oleh Perusahaan Pembiayaan X kepada
nasabahnya apabila terdapat indikasi terjadinya wanprestasi atau telah terjadi
wanprestasi oleh Perusahaan Pembiayaan
X kepada investor (yang dalam
hal ini adalah
Bank Y). Ketentuan pemberitahuan
seperti itu dimuat oleh Perusahaan Pembiayaan
X dalam klausul akta jaminan fidusianya
dengan bank pada Poin 4.1. Dalam Poin 4.1 akta jaminan fidusia
antara Perusahaan Pembiayaan
X dengan Bank Y juga terdapat
klausul mengenai pihak yang melakukan pemberitahuan kepada nasabah bahwa piutangnya
telah dialihkan. Pihak yang harus melakukan pemberitahuan adalah Perusahaan Pembiayaan X, namun apabila dalam
jangka waktu yang telah ditentukan Perusahaan Pembiayaan X belum juga melakukan pemberitahuan kepada nasabah maka Bank bisa langsung melakukan pemberitahuan. Apabila pemberitahuan dilakukan oleh Bank
Y sebagai cessionaris, nasabah berhak meminta untuk ditunjukkan akta cessie
dan titel penyerahannya sebagai bentuk perlindungan dirinya agar dapat membayar ke kreditur yang benar (Ardini,
2019).
Betekening di awal
dalam praktik cessie di atas yang dilakukan kepada nasabah sebelum terjadinya cessie dengan melalui klausul dalam akta
perjanjian pembiayaan konsumen tidak dibenarkan oleh hukum, karena cessie diatur dalam
Buku II KUHPerdata sementara perjanjian diatur dalam Buku
III KUHPerdata. Buku II KUHPerdata mempunyai sifat tertutup (dwingend recht) yang artinya seseorang tidak dapat mengadakan
hak-hak kebendaan yang
lain, selain diatur dalam Buku II KUHPerdata
sementara Buku III KUHPerdata mempunyai sifat terbuka (aanvullendrecht) (Mumek,
2017), yang artinya
hukum perikatan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pihak yang bersangkutan, untuk mengadakan hubungan hukum tentang apa saja
yang diwujudkan dalam perbuatan hukum atau perjanjian, asalkan tidak bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (Putri,
2017). Sehingga
meskipun betekening yang dilakukan di awal sebelum terjadinya
cessie telah disepakati oleh para pihak dalam akta
perjanjian pembiayaan konsumen, namun karena betekening seperti itu menyimpangi
ketentuan mengenai cessie dalam Buku II KUHPerdata yang sifatnya tertutup mengakibatkan hal tersebut tetap tidak dibenarkan menurut hukum. Karena betekening yang dilakukan di awal sebelum terjadinya cessie tidak dibenarkan oleh hukum, maka terhadap
betekening
di awal tersebut juga tidak mempunyai akibat hukum bagi
nasabah karena nasabah tetap tidak
mengetahui bila telah dilakukan cessie antara perusahaan dengan pihak yang akan menjadi kreditur baru sehingga nasabah
juga tidak mengetahui pihak yang menjadi kreditur barunya (cessionaris).
Cessie yang telah dilakukan
tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap nasabah, artinya nasabah dibenarkan untuk terus membayarkan
utangnya sampai lunas kepada perusahaan
pembiayaan sebagai kreditur lama selama belum dilakukan betekening kepadanya. Dalam praktik cessie seperti
ini harus ada asas itikad
baik karena nasabah tidak mengetahui
bahwa telah terjadi pengalihan piutang yang dimiliki perusahaan pembiayaan terhadapnya. Dengan adanya asas itikad
baik itu, nasabah akan mendapatkan
perlindungan hukum dengan pembayaran utang yang dilakukan oleh nasabah kepada perusahaan pembiayaan dianggap sah dengan akibat
utangnya lunas (Rufaida,
2019). Pembayaran
utang yang dilakukan oleh nasabah
juga harus diteruskan oleh
Perusahaan Pembiayaan X kepada
Bank Y, selain untuk melunasi utang Perusahaan Pembiayaan
X juga agar setelah dilakukan
betekening
yang berakibat nasabah harus membayar utangnya kepada Bank Y sebagai cessionaris, utang yang telah dibayarkan nasabah kepada perusahaan pembiayaan tidak ditagih lagi oleh bank.
Setelah terjadinya
cessie antara
Perusahaan Pembiayaan X dengan
Bank Y, terhadap bukti kepemilikan jaminan atas piutang yang dimiliki oleh Perusahaan Pembiayaan
X juga tetap harus disimpan oleh Perusahaan Pembiayaan
X karena dalam Pasal 43 ayat (1) POJK tentang Penyelenggaraan Usaha
Perusahaan Pembiayaan dinyatakan :
�Dalam hal Perusahaan Pembiayaan menyalurkan
Pembiayaan yang sumber dananya berasal selain dari kerja sama pembiayaan
penerusan (channeling) dan/atau pembiayaan bersama (joint financing),
Perusahaan Pembiayaan wajib menyimpan dan memelihara dokumen bukti kepemilikan
atas agunan pada kantor pusat dan/atau kantor cabang Perusahaan Pembiayaan sampai
dengan perjanjian pembiayaan berakhir.�
Sehingga karena
dana yang diperoleh Perusahaan Pembiayaan
X dari pinjaman Bank Y yang
digunakan untuk disalurkan lagi sebagai pembiayaan bukan berasal dari
kerja sama channeling atau
joint financing antara
Perusahaan Pembiayaan X dengan
Bank Y, maka BPKB dari kendaraan bermotor nasabah yang dijaminkan wajib disimpan oleh Perusahaan Pembiayaan X sendiri. Mengenai jaminan atas piutang yang dimiliki oleh Perusahaan Pembiayaan
X yaitu kendaraan bermotor nasabah yang telah dipasang Sertifikat Jaminan Fidusia, jaminan tersebut baru beralih
kepada Bank Y setelah setelah ada betekening kepada
cessus. Hal
ini karena sesuai dengan Pasal
19 ayat (1) UU Jaminan Fidusia yang menyatakan :
�Pengalihan hak atas piutang yang dijamin
dengan fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban
Penerima Fidusia kepada kreditor baru.�
Dan
Penjelasan Pasal 19 UU Jaminan Fidusia yang menyatakan :
�Pengalihan
hak atas piutang dalam ketentuan ini, dikenal dengan istilah �cessie� yakni
pengalihan piutang yang dilakukan dengan akta otentik atau akta di bawah
tangan. Dengan adanya cessie ini, maka segala hak dan kewajiban Penerima
Fidusia lama beralih kepada Penerima Fidusia baru dan pengalihan hak atas
piutang tersebut diberitahukan kepada Pemberi Fidusia.�
Maka meskipun
cessie sebagai cara penyerahan tagihan atas nama
mempunyai droit
de suite tanpa pemberitahuan,
dalam arti hak milik atas tagihan
yang diserahkan sudah beralih kepada cessionaris walaupun belum ada pemberitahuan kepada cessus (Daniel & Budhisulistyawati, n.d.), yang mana juga akan mengakibatkan beralihnya hak dan kewajiban dari kreditur lama kepada kreditur baru. Akan tetapi tanpa adanya
betekening kepada cessus sebagai pemberi
fidusia, cessie tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadapnya.
Sehingga dalam praktik cessie antara Perusahaan Pembiayaan X dengan Bank Y, hak dan kewajiban atas jaminan tersebut
belum beralih kepada Bank Y sebagai cessionaris. Hak
dan kewajiban atas jaminan baru beralih
ke Bank Y setelah ada betekening
kepada cessus, dan setelah beralih baru dilakukan
roya Sertifikat Jaminan Fidusia atas nama Perusahaan Pembiayaan X sebagai penerima fidusia lama. Setelah dilakukan roya, dibuatlah Akta Jaminan Fidusia
antara Bank Y dengan cessus, yang kemudian didaftarkan ke Kantor Jaminan Fidusia untuk diterbitkan
Sertifikat Jaminan Fidusia sehingga Bank Y sebagai penerima fidusia baru mempunyai
hak preferen terhadap jaminan tersebut. Oleh karena itu, dalam hal
betekening kepada cessus mengenai telah terjadinya cessie dari Perusahaan Pembiayaan X ke Bank Y belum dilakukan, maka hak dan kewajiban atas jaminan tersebut
tetap berada pada pihak Perusahaan Pembiayaan X.
Praktik cessie tanpa
betekening satu per satu kepada nasabah
yang dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan
X seperti yang dijelaskan
di atas disebabkan karena peraturan mengenai cessie yang ada sekarang dirasa sudah tidak aplikatif
lagi di tengah banyaknya nasabah Perusahaan Pembiayaan X sehingga akan membutuhkan waktu yang lama, sementara
Perusahaan Pembiayaan X membutuhkan
dana dalam waktu yang cepat. Walaupun begitu, seharusnya Perusahaan Pembiayaan X tetap harus melakukan betekening satu per satu kepada
nasabah sesuai dengan ketentuan yang masih berlaku yaitu
Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata karena ketentuan dalam Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata itu dimaksudkan untuk melindungi nasabah agar nasabah tidak tertipu
oleh pihak yang mengaku sebagai kreditur barunya dan bisa membayar kepada kreditur yang benar. Melalui kemajuan teknologi yang ada sekarang seharusnya betekening satu per satu kepada nasabah
bisa dilakukan melalui e-mail ataupun pos tercatat. Cara itu sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rachmad Setiawan
dan J. Satrio yaitu dalam peristiwa cessie yang penting adalah bahwa pemberitahuan terjadinya cessie sampai kepada
cessus, sehingga sekarang ini bisa diterima
bahwa pemberitahuan terjadinya cessie cukup dibuat dengan pemberitahuan
secara tertulis saja (Hamler,
2022). Selain
itu, cara seperti itu juga sudah dapat memenuhi
ketentuan dalam Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata yang menyatakan :
� "Penyerahan
yang demikian bagi si berhutang tidak ada akibatnya, melainkan setelah
penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui atau
diakuinya.�
karena dari isi
pasal tersebut dituliskan �diberitahukan kepadanya atau disetujui atau diakuinya�, kata �atau� dalam isi pasal
tersebut menunjukkan bahwa pemberitahuan bersifat alternatif sehingga pemberitahuan kepada nasabah boleh hanya diberitahukan
saja kepadanya.
Dengan terpenuhinya satu
unsur perbuatan melawan hukum pada praktik cessie
tersebut, bukan tidak mungkin unsur-unsur lain dari perbuatan melawan hukum
akan terpenuhi juga pada praktik cessie lainnya.
Unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum di samping unsur adanya suatu
perbuatan yang melawan hukum yaitu :
a. Adanya
kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan karena tidak melakukan betekening setelah tejadinya cessie;
b. Kerugian
bagi nasabah, kerugian yang mungkin dialami oleh nasabah adalah apabila nasabah
mendapatkan tagihan lagi dari bank atas angsuran yang sebelumnya telah
dibayarkan kepada perusahaan pembiayaan; dan
c. Hubungan kausal antara kerugian nasabah
dengan perbuatan yang dilakukan perusahaan pembiayaan yaitu kemungkinan
penagihan yang dilakukan lagi oleh bank kepada nasabah atas angsuran yang telah
dibayarkan nasabah kepada perusahaan pembiayaan akibat perusahaan pembiayaan
tidak melakukan betekening kepada
nasabah sesuai dengan Pasal 613 ayat
(2) KUHPerdata.
Apabila unsur-unsur
tersebut telah terpenuhi dan bisa dibuktikan, maka nasabah dapat menuntut
ganti kerugian kepada perusahaan pembiayaan karena praktik cessie yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan merupakan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, dengan melihat
banyaknya perusahaan pembiayaan yang menyediakan fasilitas pembiayaan kepada masyarakat sekarang ini dan juga banyaknya masyarakat yang menggunakan fasilitas pembiayaan tersebut, sudah seharusnya dibuat pengaturan lebih lanjut mengenai
cessie yang
lebih sesuai dan aplikatif bagi perusahaan pembiayaan karena perusahaan pembiayaan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat,
yang mana untuk memperoleh
dana salah satunya dilakukan
melalui praktik cessie.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang telah penulis lakukan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan keabsahan perjanjian pembiayaan konsumen sangat penting dalam pemberian fasilitas pembiayaan konsumen karena menjadi dasar bagi perusahaan pembiayaan X untuk mencairkan dana kepada nasabah dan untuk melakukan cessie terhadap piutangnya atas nasabah. Keabsahan perjanjian pembiayaan konsumen ini dapat dianalisis berdasarkan Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUHPerdata.
Pasal 1338 KUHPerdata, bahwa
perjanjian pembiayaan konsumen tidak menyimpangi asas kebebasan berkontrak,
yang artinya dalam pembuatan perjanjian tersebut para pihak bebas untuk
menentukan akan membuat perjanjian atau tidak, memilih dengan siapa perjanjian
itu dibuat, menentukan bentuk perjanjian, menentukan isi perjanjian, dan
menentukan cara perjanjian itu dibuat. Pasal 1320 KUHPerdata, Kesepakatan dalam
perjanjian pembiayaan konsumen ini terpenuhi karena terhadap penawaran dari
Perusahaan Pembiayaan X telah terdapat akseptasi dari nasabah, serta dalam
mencapai kesepakatan tersebut para pihak bebas dari paksaan, penipuan, dan
kekhilafan.
Suatu
sebab yang halal terpenuhi karena isi perjanjian pembiayaan konsumen ini yaitu mengenai pembiayaan konsumen
tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Cessie yang dilakukan oleh Perusahaan
Pembiayaan X kepada Bank Y bertujuan untuk memperoleh dana dalam waktu yang
cepat untuk disalurkan lagi sebagai pembiayaan kepada nasabah lain dan untuk
biaya operasional dari perusahaan pembiayaan sendiri. Ketentuan mengenai betekening seperti itu akan menimbulkan
potensi perbuatan melawan hukum dalam praktik cessie tersebut dengan terpenuhinya unsur suatu perbuatan yang
melawan hukum. Terpenuhinya unsur tersebut dikarenakan betekening dalam praktik cessie
yang tidak dilakukan kepada nasabah pada saat yang sama dengan pembuatan akta cessie atau apabila nasabah tidak hadir
pada waktu pembuatan akta cessie harus
dilakukan pemberitahuan, atau penerimaan, atau pengakuan tertulis dari nasabah,
yang mana hal itu tidak sesuai dengan Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata.
Terpenuhinya satu unsur perbuatan melawan hukum dalam praktik cessie ini menunjukkan bahwa tidak
menutup kemungkinan unsur-unsur lain dari perbuatan melawan hukum akan
terpenuhi dalam praktik cessie lainnya,
dan apabila semua unsur perbuatan melawan hukum dapat dibuktikan maka nasabah
dapat menuntut ganti rugi kepada perusahaan pembiayaan.
BIBLIOGRAFI
Abdulkadir, M., & Rilda, M.
(2000). Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan. Bandung: Pt Citra Aditya Bakti.
Ardini, D. D. (2019). Perlindungan Hukum
Pemegang Hak Tanggungan Terhadap Tertundanya Lelang Eksekusi Akibat Gugatan
Debitur. Fakultas Hukum Unpas.
Arsyi, A. Z. U. L., Handayani, S., &
Ahmaturrahman, A. (2022). Kekuatan Hukum Pemeriksaan Setempat (Descente)
Dalam Pembuktian Sidang Perkara Perdata (Studi Putusan Pengadilan Negeri
Palembang Nomor 48/Pdt. G/2021/Pn Plg). Sriwijaya University.
Borman, M. S. (2019). Kedudukan Notaris
Sebagai Pejabat Umum Dalam Perspektf Undang-Undang Jabatan Notaris. Kedudukan
Notaris Sebagai Pejabat Umum Dalam Perspektf Undang-Undang Jabatan Notaris,
3(1).
Daeni, W. (2018). Perlindungan Hukum Bagi
Penyidik Polri Dalam Melaksanakan Tugas Dan Fungsinya Guna Terwujud Tegaknya
Hukum Dan Ketertiban Dalam Perspektif Hak Azasi Manusia. Jurnal Hukum Media
Justitia Nusantara, 8(1), 33�40.
Daniel, C. E., & Budhisulistyawati, A.
(N.D.). Studi Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Baru Dalam Hal Gadai
Cessie Fiktif. Jurnal Privat Law, 9(2), 247�257.
Djangkarang, M. R. (2013). Aspek Hukum
Pengalihan Hak Tagihan Melalui Cessie. Lex Privatum, 1(5).
Fuadi, M. (2001). Hukum Kontrak:(Dari
Sudut Pandang Hukum Bisnis).
Haikal, H. (2018). Perlindungan Hukum Bagi
Debitur Akibat Cessie Jaminan Yang Diakukan Oleh Bpr Tanpa Ijin Debitur Sebelum
Terjadinya Likuidasi. Dialogia Juridica, 10.
Hamler, H. (2022). Perlindungan Hukum
Debitur Dalam Pengalihan Piutang (Cessie) Kepada Pihak Ketiga Tanpa
Pemberitahuan Kepada Debitur Atas Kredit Kepemilikan Rumah (Kpr). Joel:
Journal Of Educational And Language Research, 2(1), 29�36.
Hartono, B. (2015). Penyelesaian Perkara
Melalui Diversi Sebagai Upaya Perlindungan Anak Pelaku Tindak Pidana. Pranata
Hukum, 10(1).
Hendrawati, D. (2011). Penerapan Asas
Kebebasan Berkontrak Dalam Pembuatan Perjanjian Baku (Studi Normatif Pada
Perjanjian Pembiayaan Konsumen). Masalah-Masalah Hukum, 40(4),
411�418.
Kusumasari, D. (2011). Permasalahan Cessie
Dan Subrogasi. Retrieved June, 14, 2021.
Mumek, R. A. (2017). Hak-Hak Kebendaan
Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata. Lex Administratum, 5(2).
Neni, I. S. (2010). Pengantar Hukum
Perbankan Indonesia. Bandung: Pt. Rafika Aditama.
Nugraha, A. R. (2022). Tanggung Jawab
Developer Pt. Kagumkaryahusadaatas Penyerahan Sertifikat Hak Milik Atas
Satuanrumah Susun Kepada Konsumen Dalamperjanjianjualbeli Satuan Rumah Susun
The Jarrdin Bandung. Fakultas Hukum Universitas Pasundan.
Prayogo, S. (2016). Penerapan Batas-Batas
Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perjanjian. Jurnal Pembaharuan
Hukum, 3(2), 280�287.
Putri, D. K. (2017). Perbedaan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli Lunas Dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas. Jurnal
Akta, 4(4), 623�634.
Rufaida, K. K. (2019). Tinjauan Hukum
Terhadap Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Tanpa Titel Eksekutorial Yang Sah. Refleksi
Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, 4(1), 21�40.
Https://Doi.Org/10.24246/Jrh.2019.V4.I1.P21-40
Ruzaipah, R., Manan, A., & A�yun, Q. A.
(2021). Penetapan Usia Kedewasaan Dalam Sistem Hukum Di Indonesia. Mitsaqan
Ghalizan, 1(1), 1�20.
Sinaga, N. A. (2020). Kode Etik Sebagai
Pedoman Pelaksanaan Profesi Hukum Yang Baik. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara,
10(2).
Soekanto, S. (2007). Penelitian Hukum
Normatif: Suatu Tinjauan Singkat.
Sugiyono, D. (2013). Metode Penelitian
Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D.
Copyright holder: Stevan Shaan, Budi Santoso (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |