Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia �p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 3, Maret 2023
MEANINGFUL
PARTICIPATION
DALAM PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN OPEN GOVERNANCE
Bambang Karsono, Amalia Syauket
Universitas Bhayangkara, Jakarta, Indonesia
[email protected]/[email protected]
Abstrak
Meaningful participation kembali hangat dibicarakan
akhir-akhir ini terkait dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Meaningful
participation ditandai dengan melekatnya kewajiban bagi pembentuk
undang-undang untuk mempertimbangkan dan menanggapi masukan atau saran
masyarakat,. Karena peraturan perundang-undangan yang berlaku dewasa ini
dianggap tidak memenuhi kebutuhan masyarakat. tidak memberikan ruang
partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. Hal tersebut ditandai dengan
ketidakpuasan beberapa pihak yang berupaya menangguhkan keberlakuannya
melalui Judicial Review. Permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini yakni mengapa meaningful participation begitu signifikan
pengaruhnya dalam pembentukan perundang-undangan ? penelitian ini masuk dalam
ranah ilmu pemerintahan sebagai upaya membangun Open Governance. Dengan
mengutamakan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, buku dan jurnal
ilmiah, serta data faktual yang sesuai dengan topik yang diangkat.Hasil penelitian
ini menerangkan bahwa meaningful participation begitu signifikan pengaruhnya
dalam pembentukan perundang-undangan karena dengan dilakukannya partisipasi
secara maksimal bermakna bahwa produk peraturan perundang-undangan memenuhi
kualitas secara formil maupun materil serta diawasi oleh public dalam tata
kelola pemerintahannya transparansi dalam proses pembentukan
perundang-undangan dan mendapatkan legitimasi
masyarakat serta manifestasi penegakkan kedaulatan rakyat.
Kata
Kunci : hyper regulasi, meaningful
pertisipation dan open governance.
Abstract
Meaningful
participation has been hotly discussed again recently related to the formation
of legislation. Meaningful participation is characterized by an inherent
obligation for lawmakers to consider and respond to community input or
suggestions,. Because the laws and regulations in force today are considered
not to meet the needs of the community. does not provide space for
participation to the community to the maximum. This was marked by the
dissatisfaction of some parties who sought to suspend its applicability through
Judicial Review. The
problem raised in this study is why is meaningful participation so significant
in the formation of legislation ? This research is included in the realm of
government science as an effort to build Open Governance. By prioritizing
secondary data in the form of laws and regulations, scientific books and
journals, as well as factual data in accordance with the topics raised. The
results of this study explain that meaningful participation has a significant
influence in the formation of legislation because maximum participation means
that the product of legislation meets the quality formally and materially and
is supervised by the public in its governance transparency in the process of
forming legislation and gaining public legitimacy and manifestations of
enforcing people's sovereignty.
Keyword : hyper regulation, meaningful pertisipation
and open governance.
Pendahuluan
:
Sebelum amandemen UUD 1945, kewenangan
pembentukan undang-undang melekat pada presiden, sedangkan pasca amandemen UUD
NRI Tahun 1945 kewenangan tersebut melekat pada DPR (Ashiddiqie, 2017). Oleh karena itu,
dapat dipastikan bahwa sebagai konsekuensi pergeseran fungsi legislasi, saat
ini pembentukan undang-undang melibatkan dua pihak sekaligus dari cabang
kekuasaan legislatif dan eksekutif yakni DPR dan Presiden (Hakiki, 2022). Keduanya secara
bersama-sama melakukan pembahasan dan memberikan persetujuan terhadap sebuah rancangan
undang-undang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.�
Namun, tidak serta merta hanya kedua pihak tersebut yang diperkenankan
untuk turut serta dalam perumusan suatu undang-undang, melainkan terdapat pihak
lainnya yakni masyarakat (Pitoy, 2014).
Secara historis partisipasi masyarakat
dalam pembentukan undang-undang telah diatur sejak pemberlakuan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dimana
secara singkat dinyatakan bahwa masyarakat memiliki hak untuk memberikan
masukan secara lisan maupun tertulis dalam agenda penyiapan atau pembahasan
rancangan undang-undang. Kemudian, pada tahun 2011 diundangkan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang-Undangan (UU P3) yang
mencabut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Undang-Undang tersebut memperluas
pengaturan partisipasi masyarakat, yaitu bahwa masukan yang diberikan
masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai forum seperti Rapat Dengar Pendapat
Umum (RDPU), Kunjungan Kerja, Sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya,
dan/atau diskusi (Yuan & Suprobowati, 2022).
Di samping itu, secara eksplisit
dijelaskan pula masyarakat yang dikehendaki untuk memberikan partisipasi adalah
individu maupun kelompok yang memiliki kepentingan atas materi rancangan
undang-undang yang dibahas. Merujuk pada penjelasan tersebut dapat disepakati
bahwa partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang merupakan
salah satu upaya dalam mengakomodir aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Sehingga
melalui partisipasi masyarakat diharapkan segala hal yang berpotensi merugikan
masyarakat dapat diantisipasi (Sapii et al., 2022).
Namun tidak dapat dimungkiri dalam
praktiknya proses pembentukan undang-undang acap kali tidak memberikan ruang
yang cukup bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Hal tersebut ditandai dengan
terdapatnya pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang kepada Mahkamah
Konstitusi sebagai respon terhadap terjadinya kecacatan dalam proses pembentukan
undang-undang.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
dengan pendekatan kualitatif �mengutamakan data sekunder berupa peraturan
perundang-undangan, buku dan jurnal ilmiah akan dimaksimalisasikan, serta data faktual yang relevan dengan topik yang
diangkat, untuk menjawab rumusan masalah mengapa meaningful participation
begitu signifikan pengaruhnya dalam pembentukan perundang-undangan (Sugiyono, 2016). Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan
cara studi kepustakaan (library research). Setelah semua bahan terhimpun,
selanjutnya penulis akan menyajikan dan menganalisa atau mengkaji bahan
tersebut, sehingga dapat dipastikan bahwa teknik analisa yang digunakan dalam
penelitian ini yakni deskriptif kualitatif. Penelitian
ini berada pada ranah� ilmu pemerintahan
dengan fungsi pemerintah berupa pengaturan dalam rangka membangun open
governance salah satu pilar Negara demokrasi.
Dengan dilakukannya ruang
partisipasi public secara maksimal,� maka
suatu peraturan perundangan memenuhi ketentuan syarat formil dan materiil� tetapi juga bermakna bahwa perundangan
tersebut mendapat legitimasi masyarakat. Dengan demikian kegiatan pemerintah
dan pengelolaan Negara terbuka pada semua tingkatan dan dapat diawasi oleh
publik, makna dari open governance yang sesungguhnya,
transparansi dalam proses pembentukan perundang-undangan.
Hasil dan Pembahasan
1. Fenomena
Hyper Regulasi Peraturan Perundang-Undangan
Fenomena hyper regulasi atau sering disebut juga dengan obesitas
regulasi, menunjukan banyaknya regulasi yang diterbitkan oleh Eksekutif.
2. Konsep Meaningful Participation dalam pembentukan produk peraturan
perundang-undangan yang berkarakter responsif.
Menurut
Aji (2020) menyatakan
Sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi, keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan merupakan suatu hal yang bersifat penting dan krusial. Sebab
rakyat memiliki hak untuk melakukan kontrol terhadap penguasa serta menghendaki
terciptanya hukum dan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena
itu, pada hakikatnya dalam perumusan suatu hukum dan kebijakan harus melibatkan
masyarakat sebagai pihak yang akan menerima dampak keberlakuan hukum dan
kebijakan. Namun, pada kenyataannya sebagai salah satu aktor pembentuk
undang-undang sekaligus representasi masyarakat, DPR dan Presiden acap kali
mengambil kebijakan dan membentuk undang-undang yang tidak sesuai dengan
kepentingan konstituen.
Seta
(2020) berpendapat pada
negara yang menerapkan demokrasi, dalam penyelenggaraan negara seyogyanya
didasari dengan prinsip partisipatif. Melalui partisipasi masyarakat diharapkan
dapat menjadi sarana penyaluran aspirasi, pelibatan masyarakat dalam
pembentukan kebijakan publik, antisipasi abuse
of power yang dilakukan oleh pejabat, serta manifestasi penegakkan
kedaulatan rakyat (Parlindungan & Toni, 2019; Roza, 2019).
Pada
dasarnya UUD NRI 1945 tidak mengatur maupun menjelaskan secara eksplisit
mengenai partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan dan peraturan
perundang-undangan. Namun, melalui kehendak Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C
ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menghendaki pemberian hak bagi tiap orang untuk
turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan dan memajukan dirinya untuk
memperjuangkan hak kolektif dengan intensi membangun bangsa dan negara.
Kemudian melalui UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 partisipasi masyarakat dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan mulai diatur. Selanjutnya, UU P3 Tahun
2004 diganti oleh UU P3 Tahun 2011 yang memberikan perhatian peran partisipasi
masyarakat diperluas dan menjadi lebih komperhensif (Sapii et al., 2022).
Sebagai
das sollen pengaturan tersebut diharapkan
mampu mewujudkan segala ketentuan yang telah diatur dalam tataran praktik.
Sayangnya, secara das sein kehendak
dan cita-cita yang terkandung dalam ketentuan tersebut tidak dapat terlaksana
secara sempurna. Hal tersebut tidak terlepas dari konsepsi Undang-undang
(hukum) yang terbentuk sebagai manifestasi kristalisasi dan formulasi kompromi
politik merupakan sebuah produk politik (Mahfud MD, 2018). Dalam rangkaian
pembentukan undang-undang demi mencapai kesepakatan dalam kompromi politik,
sangat dimungkinkan pembentuk undang-undang tidak melaksanakan aturan mengenai
partisipasi masyarakat dengan sebagaimana mestinya. Akibatnya, terdapat
beberapa pihak mendelegitimasi undang-undang yang terbentuk, sebab
undang-undang yang terbentuk dianggap memiliki kecacatan proses. Alhasil
berbagai pihak melakukan upaya hukum yakni judicial review yang diajukan kepada
Mahkamah Konstitusi. Langkah tersebut dilakukan karena Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk menjaga dan menegakkan konstitusi, seperti menguji undang-undang
terhadap undang-undang dasar.
Petimbangan
Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, memastikan
terselenggaranya partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful
participation) setidaknya terdapat tiga kriteria yang wajib terpenuhi diantaranya:
pertama, hak untuk didengarkannya
pendapatnya (right to be heard), kedua,
hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan ketiga, hak untuk mendapatkan tanggapan
atau penjelasan terhadap pendapat yang telah diberikan (right to be explained).
Lebih lanjut, partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation)
harus dapat dilakukan setidaknya pada tiga tahapan diantaranya yakni pertama,
pengajuan RUU. Kedua, pembahasan bersama oleh Presiden dan DPR, pembahasan
bersama undang-undang oleh Presiden, DPR, dan DPD. Ketiga, persetujuan bersama
undang-undang antara Presiden dan DPR.
Oleh
karena itu, melalui tiga kriteria dan tahapan tersebut akan memberikan
parameter penilaian yang lebih terukur dalam memastikan kecacatan proses
pembentukan peraturan perundang-undangan melalui segi partisipasi masyarakat
yang bermakna (meaningful participation). Pertimbangan hukum (ratio decidendi)
dalam putusan tersebut dianggap menjawab kebutuhan dalam memastikan partisipasi
masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam menyikapi
problematika tersebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menghendaki aktualisasi konsep partisipasi
masyarakat yang bermakna (meaningful participation) sebagai bentuk pemenuhan
asas keterbukaan dalam pembentukan perundang-undangan, serta realisasi kehendak
pasal 22A UUD NRI Tahun 1945. Hal tersebut tidak terlepas dengan peran Mahkamah
konstituisi sebagai negative legislator
yang memiliki sifat putusan erga omnes
yang berarti bahwa para pihak secara perorangan maupun lembaga negara terikat
terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi (Sulistyowati et al., 2020).
Aktuliasasi
konsep tersebut dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu: pengaturan dalam
taraf undang-undang dengan merevisi UU P3 dan melaksanakannya sebagai praktik
konvensi ketatanegaraan. Pengaturan partisipasi masyarakat dalam UU P3 masih
belum memenuhi tiga kriteria, yakni right to be heard, right to be considered,
dan right to be explained. Untuk menerapkan konsep meaningful participation
tersebut perlu ditindaklanjuti dengan memasukkannya dalam rencana perubahan RUU
P3. Hal ini dilakukan untuk melengkapi pengaturan partisipasi masyarakat dan
juga memberikan parameter yang jelas terhadap konsep meaningful participation.
Selanjutnya,
ketika pembentuk peraturan enggan memasukkan konsep meaningful participation
dalam revisi UU P3, maka ada satu cara lain agar konsep tersebut dapat
diterapkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Cara tersebut adalah
dengan cara memasukkan konsep meaningful participation sebagai bagian dari
konvensi ketatanegaraan. Artinya, meskipun tidak dimasukkan ke dalam norma
peraturan perundang-undangan, telah terjadi persetujuan yang dinyatakan
(express agreement) antara DPR dan Presiden untuk mempraktikkan konsep
meaningful participation. Dengan demikian, DPR dan Presiden dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan harus menerapkan 3 (tiga) kriteria partisipasi
masyarakat yang bermakna (meaningful participation).
Sebab
dari ketiga kriteria yang diberikan hanya satu kriteria yang telah dilaksanakan
dan terpenuhi yakni didengarkan pendapatnya (right to be heard). Sedangkan,
kedua kriteria lainnya, yaitu dipertimbangkan pendapatnya (right to be
considered) dan mendapatkan tanggapan atau penjelasan terhadap pendapat yang
telah diberikan (right to be explained) belum dapat dilaksanakan secara
optimal. Oleh karena itu, sebagai upaya aktualisasi konsep partisipasi
masyarakat yang bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan hendaknya dilakukan pengaturan secara eksplisit mengenai hal
tersebut dalam UU P3 atau melalui praktik konvensi ketatanegaraan. Kedua cara
tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan aktualisasi konsep partisipasi
masyarakat yang bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan peraturan
peraturan perundang-undangan melalui adanya jaminan pertimbangan dan timbal
balik masukan atau saran yang telah diajukan oleh masyarakat terhadap pembentuk
undang-undang (Sapii et al., 2022).
Implikasi Meaningful participation
Dalam
mewujudkan negara hukum yang demokratis hal yang perlu dipastikan yakni
keterbukaan ruang yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini dapat dipastikan
bahwa participatory dianggap lebih dominan apabila dibandingkan dengan
representative democracy. Hal tersebut ditandai dengan terjadinya pelibatan
masyarakat dalam berbagai perumusan kebijakan publik, dengan tidak hanya
mengandalkan tindakan perwakilannya yang duduk di parlemen (Haliim, 2016). �Melalui pemberlakuan UU P3 hak masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembentukan perundang-undangan melekat pada setiap
individu maupun kelompok masyarakat.
Melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 lebih khususnya sebagaimana
yang tertuang dalam pertimbangan hukumnya secara eksplisit telah menghendaki
perluasan hak partisipasi masyarakat dalam pembentukan perundangundangan. Di
samping itu, pada bagian amar putusan juga dijelaskan secara implisit bahwa
mahkamah mewajibkan pembentuk undang-undang untuk merealisasikan perluasan hak
partisipasi masyarakat melalui perubahan UU P3. Perluasan yang dimaksud yakni
melalui penerapan konsep partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful
participation). Dibandingkan dengan partisipasi masyarakat yang diatur dalam UU
P3 yang menghendaki hubungan satu arah, konsep partisipasi masyarakat yang
bermakna (meaningful participation) lebih menekankan hubungan timbal balik atau
dua arah antara masyarakat sebagai pemberi masukan atau saran terhadap
pembentuk undangundang sebagai pengambil keputusan.
Pada
hakikatnya, partisipasi masyarakat dapat dimaknai sebagi pemberian masukan atau
saran dalam pembentukan perundang-undangan. Namun, konsep meaningful
participation menuntut pembentuk undang-undang untuk mempertimbangkan dan
memberikan tanggapan atas masukan atau saran yang diberikan oleh masyarakat.
Dengan kata lain, konsep tersebut memperluas partisipasi masyarakat dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Penerapan konsep tersebut
dianggap akan mendorong pembentukan produk peraturan perundang-undangan yang
berkarakter responsif. Sebab, besarnya ruang bagi masyarakat dalam
berpartisipasi pada proses pembentukan perundang-undangan akan berimplikasi
terhadap hukum yang terbentuk benar-benar bersifat responsif (Puri, 2017). Di samping itu,
secara tidak langsung konsep tersebut mendorong transparansi dalam proses
pembentukan perundang-undangan.
Aktualisasi
konsep partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) saat ini
menjadi menjadi agenda yang sangat penting untuk direalisasikan. Sebagai negara
yang menganut demokrasi, pelaksanaan segala prosedur dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan akan berimplikasi terhadap respon publik. Dalam
hal ini apabila proses pembentukan peraturan perundang-undangan diselenggarakan
sesuai dengan ketentuan atau prosedur yang berlaku, maka keberlakuan peraturan
perundang-undangan tersebut akan memperoleh legitimasi publik. Sebaliknya,
apabila proses pembentukan peraturan perundang-undangan tidak diselenggarakan
sesuai dengan ketentuan atau prosedur yang berlaku, maka peraturan
perundang-undangan yang terbentuk berpotensi tidak memperoleh legitimasi
masyarakat (Basyir, 2014). Produk peraturan
perundang-undangan yang baik tidak hanya tentang mempunyai legitimasi hukum,
tetapi juga harus mendapatkan dan mempunyai legitimasi secara sosial.
Melalui
aktualisasi konsep partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful
participation) yang diatur secara normatif dalam UU P3 dianggap akan
memperbaiki kualitas peraturan perundang-undangan. Di mana melalui konsep
tersebut masyarakat diberikan ruang yang sangat terbuka dalam turut serta
merumuskan kebijakan dan pengambilan keputusan. Sehingga potensi maraknya
pengajuan uji formil maupun materil undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi
secara tidak langsung akan berkurang. Hal tersebut sebagai tanda bahwa dari
segi prosedur maupun subtansi undang-undang tersebut telah mencerminkan
kehendak masyarakat.
3. Praktik
Open Governance Melalui Meaningful Participation
Teori
kedaulatan rakyat (people sovereignty) pada dasarnya mengakui bahwa rakyat
merupakan sumber kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Kemunculan teori ini
merupakan wujud perlawanan terhadap banyaknya penyalahgunaan kekuasaan dari
kedaulatan raja, sehingga menjadi sebab terciptanya tirani dan penderitaan bagi
rakyat. Teori kedaulatan rakyat ini pula yang akhirnya menjadi prinsip dasar
hingga kemudian melahirkan konsep demokrasi (Muliati, 2016).
Indonesia
menjadi salah satu negara yang menggunakan prinsip demokrasi. Prinsip tersebut
terlihat secara konstitusional dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,
alenia IV yang antara lain menegaskan salah satu dasar negara yang
berbunyi:�kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan�. Kemudian dalam Pasal 1 ayat (2) Batang Tubuh UUD
1945 menegaskan bahwa: �kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UndangUndang Dasar�.�
Pelaksanaan
prinsip dasar demokrasi menjadi amanat reformasi di Indonesia. Salah satu
bentuk implementasi prinsip tersebut dengan adanya partisipasi masyarakat dalam
setiap penyelenggaraan pemerintahan, mulai dari pengambilan kebijakan sampai
pembentukan peraturan perundang-undangan. Adanya partisipasi dari masyarakat
menjadi syarat utama dari terwujudnya pemerintahan yang demokratis tersebut (Handoyo, 2018).� Senada dengan itu Stephanus Pelor (2018) juga memaknai
partisipasi sebagai terbukanya kesempatan yang luas untuk menyampaikan saran,
kritik serta dilibatkan dalam pembentukan kebijakan-kebijakan pemerintah bagi
setiap kelompok masyarakat berdasarkan kebijakan yang ditetapkan dari pihak
yang memiliki kepentingan (stakeholders).
Sementara
itu Haryono (2021) menjelaskan
alasan mendasar tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan
sebuah kebijakan, diantaranya yaitu: memberikan informasi kepada pemerintah
(informing the administration), meningkatkan kesediaan masyarakat untuk
menerima keputusan (increasing the readiness of the public to accept
decisions), membantu perlindungan hukum (supplementing judicial protection),
mendemokrasikan pengambilan keputusan (democratizing decision-making).
Meijer
(2012) mendefinisikan
keterbukaan pemerintah sebagai ��. sejauh mana warga dapat memantau dan
mempengaruhi proses pemerintah melalui akses ke informasi pemerintah dan akses
ke arena pengambilan keputusan� Ini menunjukkan dua dimensi pemerintahan
terbuka: visi atau transparansi melalui akses informasi, dan suara atau
partisipasi melalui akses ke arena pengambilan keputusan. Partisipasi yang
efektif tanpa akses ke informasi sulit dilakukan. Meskipun partisipasi itu
sendiri merupakan prasyarat untuk mendapatkan lebih banyak akses informasi,
akses informasi tidak serta merta berkontribusi pada tingkat partisipasi yang
lebih tinggi.
Open
government menurut Laurenti (2017) mencakup tiga hal
yakni transparansi informasi, keterlibatan publik dan akuntabilitas. Melalui
transparansi, masyarakat memahami cara kerja pemerintah. Dengan keterlibatan
publik, maka publik dapat mempengaruhi cara kerja pemerintah dalam proses
kebijakan pemerintah dan pelayanan publik. Akuntabilitas bermakna bahwa
masyarakat dapat meminta pemerintah mempertanggungjawabkan kinerja kebijakan
dan pelayanannya.
Open
government dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan transparansi,
partisipasi, dan akuntabilitas pemerintah untuk memulihkan kepercayaan
masyarakat (Andhika, 2017). Dengan demikian,
open government merupakan sebuah konsep untuk menjembatani interaksi antara
birokrat dan masyarakat. Peningkatan keterlibatan masyarakat mengarah pada
aspirasi masyarakat yang lebih besar dalam pengambilan keputusan serta
peningkatan akuntabilitas (Nurdin, 2018). Dengan demikian,
partisipasi publik sangat berkaitan dengan transparansi dan akuntabilitas. Open
government tidak menjadi bermakna apabila transparansi tidak terlaksana dengan
baik (Maulana, 2018).
Asas
Keterbukaan atau transparansi merupakan prasyarat lahirnya pemerintahan yang
demokratis, prinsip keterbukaan ini seharusnya mampu diterjemahkan secara nyata
dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan termasuk pembentukan
perundangan sampai dengan peraturan daerah. Penerapan asas keterbukaan secara
konsisten dan konsekuen dalam proses pembentukan perundangan dan peraturan
daerah akan menjadikan perundangan dan peraturan daerah yang dihasilkan dapat
terlaksana secara efektif dan efisien. Jelas bahwa asas keterbukaan dalam
proses pembentukan perundangan dan�
peraturan daerah memiliki peran dan fungsi yang penting bagi
dihasilkannya suatu produk Peraturan Perundang-undangan yang berwatak responsif
(Huzaeni & Anwar, 2021).
Dalam
Penjelasan Pasal 5 Huruf G tentang Asas Keterbukaan �Bahwa dalam pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.� Dari penjelasan di atas dapat digaris bawahi tentang
transparansi dan partisipasi yang menjadi pokok dari penjabaran asas
keterbukaan.
Sebagai
pemilik kedaulatan, setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk
mengambil bagian dalam proses bernegara, berpemerintahan serta bermasyarakat.
Partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) yang diatur
secara normatif dalam UU P3, menuntut pembentuk undang-undang untuk mempertimbangkan
dan memberikan tanggapan atas masukan atau saran yang diberikan oleh
masyarakat. Dengan kata lain, konsep tersebut memperluas partisipasi masyarakat
dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Kesimpulan
Proses pembentukan peraturan
perundang-undangan tidak hanya menjadi tanggungjawab Presiden dan DPR, tetapi
juga melibatkan partisipasi masyarakat. Dalam perkembangannya, melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang di dalam dasar pertimbangannya
menghendaki pembentukan peraturan perundangundangan menerapkan partisipasi
masyarakat yang bermakna (meaningful participation). Mahkamah konstitusi
memberikan 3 (tiga) kriteria meaningful participation yaitu: didengarkan
pendapatnya (right to be heard), dipertimbangkan pendapatnya (right to be
considered), dan mendapatkan tanggapan atau penjelasan terhadap pendapat yang
telah diberikan (right to be explained). konsep tersebut memperluas makna partisipasi
masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Penerapan
konsep tersebut dianggap akan mendorong pembentukan produk peraturan
perundang-undangan yang berkarakter responsif. Sebab, besarnya ruang bagi
masyarakat dalam berpartisipasi pada proses pembentukan perundang-undangan akan
berimplikasi terhadap hukum yang terbentuk benar-benar bersifat responsif. Di
samping itu, secara tidak langsung konsep tersebut mendorong transparansi dalam
proses pembentukan perundang-undangan.
Dalam Penjelasan Pasal 5 Huruf G tentang
Asas Keterbukaan �Bahwa dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai
dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluasluasnya untuk memberikan masukan
dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan.�14 Dari penjelasan di atas
dapat digaris bawahi tentang transparansi dan partisipasi yang menjadi pokok
dari penjabaran asas keterbukaan.
BIBLIOGRAFI
Aji,
A. B., & Randikaparsa, I. (2020). Analisis Yuridis Partisipasi Masyarakat
Dalam Penyusunan Program Pembentukan Peraturan Daearah. J-LEE-Journal of
Law, English, and Economics, 2(01), 57�72.
https://doi.org/10.35960/j-lee.v2i01.590
Andhika, L. R. (2017). Evolusi konsep tata kelola pemerintah:
Sound governance, dynamic governance dan open government. Jurnal Ekonomi
& Kebijakan Publik, 8(2), 87�102.
https://doi.org/10.22212/jekp.v8i2.867
Ashiddiqie, J. (2017). Keadilan, Kepastian Hukum dan
Keteraturan.
Basyir, A. (2014). The importance of academic script in the
statutes formatting to realize aspirasional and responsive law. Jurnal IUS
Kajian Hukum Dan Keadilan, 2(2).
https://doi.org/10.12345/ius.v2i5.171
Hakiki, Y. R. (2022). Kontekstualisasi Prinsip Kekuasaan
sebagai Amanah dalam Pertanggungjawaban Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia. As-Siyasi: Journal of Constitutional Law, 2(1), 1�20.
https://doi.org/10.24042/as-siyasi.v2i1.11813
Haliim, W. (2016). Demokrasi Deliberatif Indonesia: Konsep
Partisipasi Masyarakat Dalam Membentuk Demokrasi Dan Hukum Yang Responsif. Masyarakat
Indonesia, 42(1), 19�30. https://doi.org/10.14203/jmi.v42i1.556
Handoyo, B. H. C. (2018). Konstruksi Pandangan Critical Legal
Theory Tentang the Rule of Law, the Meaning of Law, Dan the Law and Society. Arena
Hukum, 11(3), 434�453.
Haryono, D. (2021). Metode Tafsir Putusan Mahkamah Konstitusi
Dalam Pengujian Konstitusional Undang-Undang Cipta Kerja. Jurnal Konstitusi,
18(4), 774�802. https://doi.org/10.31078/jk1843
Huzaeni, M. R., & Anwar, W. R. (2021). Pelaksanaan Asas
Keterbukaan Dalam Pembentukan Peraturan Daerah. Jurnal Dialektika Hukum,
3(2), 213�230. https://doi.org/10.36859/jdh.v3i2.754
Laurenti, M., Porro, S., Pirri, C. F., Ricciardi, C., &
Chiolerio, A. (2017). Zinc oxide thin films for memristive devices: a review. Critical
Reviews in Solid State and Materials Sciences, 42(2), 153�172.
https://doi.org/10408436.2016.1192988
Maulana, R. Y. (2018). Desain Kolaborasi Penyediaan Layanan
Pemerintahan Berbasis Open Government. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Jambi, 2(2), 71�82.
Meijer, A. J., Curtin, D., & Hillebrandt, M. (2012). Open
government: connecting vision and voice. International Review of
Administrative Sciences, 78(1), 10�29. https://doi.org/10.1177/0020852311429533
Muliati, I. (2016). Pandangan M. Natsir tentang demokrasi:
Kajian pemikiran politik Islam. Tingkap, 11(2), 129�139.
Nurdin, A. H. M. (2018). Menuju Pemerintahan Terbuka (Open
Government) Melalui Penerapan E Government. Jurnal MP (Manajemen
Pemerintahan), 5, 1�17.
Parlindungan, S., & Toni, G. (2019). Partisipasi
Masyarakat dalam Pengelolaan Keuangan Nagari di Kabupaten Pasaman Barat. Ensiklopedia
of Journal, 1(2), 271829.
Pitoy, H. F. (2014). Mekanisme Checks and Balances Antara
Presiden dan DPR Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia. Lex et
Societatis, 2(5). https://doi.org/10.35796/les.v2i5.4889
Puri, W. H. (2017). Progresif di Bidang Agraria di Indonesia.
Bhumi Jurnal Agraria Dan Pertanahan, 3(1 April).
Roza, D. (2019). Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan
Perundang-Undangan Untuk Mewujudkan Indonesia Sejahtera Dalam Pandangan Teori
Negara Kesejahteraan. JCH (Jurnal Cendekia Hukum), 5(1), 131�144.
https://doi.org/10.33760/jch.v5i1.185
Sapii, R. B. S., Pratama, Y. D., Darosyifa, T., &
Nasution, A. I. (2022). The Existence of Regional Representative Council in The
Position of The Leaders of The People�s Consultative Assembly. JCH (Jurnal
Cendekia Hukum), 8(1), 1�17.
Seta, S. T. (2020). Hak Masyarakat Dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Legislasi Indonesia, 17(2),
154�166.
Stephanus Pelor, S. H. (2018). Peranan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Terhadap Pembangunan Politik Dan Demokrasi di Indonesia. Jurnal
Ilmiah Hukum DE�JURE: Kajian Ilmiah Hukum, 3(1), 131�146.
Sugiyono, P. D. (2016). Statistika Untuk Penelitian (ke-27). Bandung:
Alfabeta Bandung.
Sulistyowati, T., Nasef, M. I., & Rido, A. (2020).
Constitutional Compliance Atas Putusan Pengujian Undang-Undang Di Mahkamah
Konstitusi Oleh Adressat Putusan. Jurnal Konstitusi, 17(4),
699�728. https://doi.org/10.31078/jk1741
Yuan, L. A. P., & Suprobowati, G. D. (2022). Analisis
Penyusunan UU Cipta Kerja Dalam Kaitannya Dengan UU No. 12 Tahun 2011 dan
Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Souvereignty, 1(3), 530�538.
Copyright
holder: Bambang
Karsono, Amalia Syauket (2023) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |