Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesiap�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 3, Maret 2023

 

REKONSTRUKSI PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

 

Adhalia Septia Saputri

Fakultas Hukum, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Indonesia

Email : [email protected]

 

Abstrak

Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan maka dapat menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi orang khususnya generasi muda. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang akhirnya dapat melemahkan ketahanan nasional. Tindak pidana narkotika ini tidak lagi dilakukan secara perorangan, melainkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia, baik di tingkat nasional maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut guna meningkatkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana narkotika, perlu dilakukan tindakan preventif dan represif khususnya para pengguna/korban narkotika yang terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Bentuk perlindungan hukum terhadap korban penyalahgunaan narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah tindakan rehabilitasi dalam bentuk rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Oleh karena itu, pengobatan dan rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah, akan tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat pada umumnya, maka dipandang perlu adanya kepastian hukum mengenai pemberian rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial tersebut.

 

Kata Kunci : tindak pidana; narkotika; rehabilitasi; medis; sosial.

 

Abstract

Narcotics are substances or drugs that are very useful and necessary for the treatment of certain diseases. However, if misused, it can have a very detrimental impact on people, especially the younger generation. The misuse and illicit circulation of narcotics can result in greater harm to the life and cultural values of the nation which can ultimately weaken national resilience. This narcotics crime is no longer carried out individually, but is an organized syndicate with an extensive network that works neatly and in a very secretive manner, both at the national and international levels. Based on this, in order to improve the prevention and eradication of narcotics crimes, it is necessary to take preventive and repressive measures, especially for drug users/victims, especially among children, adolescents, and the younger generation in general. A form of legal protection for victims of narcotics abuse according to Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics is a rehabilitation measure in the form of medical rehabilitation and social rehabilitation. Therefore, the treatment and rehabilitation of victims of drug abuse is not only the duty and responsibility of the government, but also the responsibility of society in general, so it is considered necessary to have legal certainty regarding the provision of medical rehabilitation and social rehabilitation.

 

Keywords : criminal acts; narcotic; Rehabilitation; Medical; social.

 

Pendahuluan

����������� Pertama kali narkotika ditemukan semula diperuntukkan bagi kepentingan pengobatan dan menolong orang sakit (Bangun, 2015). Sejak zaman prasejarah, manusia sudah mengenal zat psikoaktif (termasuk di dalamnya narkotika, psikotropika, alkohol, dan zat-zat lainnya yang memabukkan) (Pramasto & Meyrynaldy, 2020). Berbagai dedaunan, buah-buahan, akar-akaran, dan bunga dari berbagai jenis tanaman yang sudah lama diketahui manusia purba akan efek farmakologinya (Risky, 2020). Sejarah mencatat, ganja sudah digunakan orang sejak tahun 2700 SM. Opium misalnya, telah digunakan bangsa Mesir kuno untuk menenangkan bagi yang sedang menangis. Meskipun demikian, di samping zat-zat tersebut digunakan untuk pengobatan, namun tidak jarang pula digunakan untuk kepentingan kenikmatan (Irfan, 2014). Dalam kehidupan Arab Jahiliyah, tradisi meminum minuman keras (khamr) sangat kental dan sudah mendarah daging, sehingga tidak dipisahkan lagi dari kehidupan masyarakat pada masa itu (Irfan, 2014).

����������� Seiring dengan perubahan zaman yang ditandai dengan kemajuan peradaban manusia dalam bidang teknologi, maka manusia pun dapat mengolah zat-zat psikoaktif tersebut dengan cara yang begitu canggih pula (Syarifuddin, 2012). Pada tahun 800-an, manusia telah dapat menemukan proses penyulingan. Sebelumnya minuman keras hanya memiliki kadar alkohol kurang dari 15%, oleh proses pembuatannya hanya merupakan fermentasi alamiah saja (Salsabila, 2016). Opium yang digunakan sejak tahun 5000 SM diolah secara alamiah dengan kadar narkotika yang relatif rendah. Selanjutnya, tahun 1805 ilmu pengetahuan menemukan morphine yang merupakan kadar murni dalam opium itu. Lebih lanjut, tahun 1834 jarum suntik ditemukan, dan hal ini menyebabkan timbulnya cara baru untuk memakai morphine. Untuk menyembuhkan morphine saat itu menggunakan Cocaine, akan tetapi Cocaine justru menjadi jenis narkoba baru dengan para penggunanya ketagihan Cocaine (Sofi, 2021).

����������� Dalam perkembangan terkini, penyalahgunaan narkotika menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan banyak kalangan, karena para korban penyalahgunaan narkotika ini mayoritas generasi muda di berbagai wilayah, tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga di daerah-daerah terpencil sekalipun, dan tanpa memandang status maupun strata sosial (Pang, 2021). Dalam hal ini, para korban penyalahgunaan narkotika tersebut menurut Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menegaskan bahwa para pengguna/korban penyalahgunaan narkotika akan mendapatkan rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Namun, dalam Pasal 127 ayat (1) menegaskan bahwa para pengguna/korban penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri diberi hukuman pidana penjara. Dengan demikian, terjadi tumpang tindih (overlapping) peraturan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Terjadinya tumpang tindih (overlapping) tersebut memunculkan adanya ketidakpastian (ambigu) dari peraturan tersebut (Yonesta et al., 2012). Justru para pengguna/korban seringkali tidak diberikan fasilitas rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial tersebut, melainkan para pengguna/korban tersebut dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini yang membuat ketidakpastian akan perlindungan hukum yang didapatkan bagi para pengguna/korban penyalahgunaan narkotika. Dengan alasan inilah, pentingnya dilakukan penelitian mengenai Rekonstruksi Pengaturan Perlindungan Hukum Korban Penyalahgunaan Narkotika.

Ada pun tujuan penelitian ini adahal untuk mengetahui : 1) hakikat perlindungan hukum dalam bentuk rehabilitas bagi korban penyalahgunaan narkotika, 2) Apa implikasi yuridis atas terjadinya tumpang tindih (overlapping) peraturan bagi korban penyalahgunaan narkotika, 3) Bagaimana bentuk peraturan bagi korban penyalahgunaan narkotika di masa yang akan datang (ius constituendum).

 

Metode Penelitian

����������� Penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah penelitian yuridis normative (Huda, 2022). Penelitian yuridis normatif tersebut dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan, yaitu : pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konsep (concept approach), dan studi kasus (case study). Teori-teori hukum yang digunakan sebagai pisau analisis terhadap ketiga rumusan masalah adalah Teori Kepastian Hukum (The Theory of of Legal Certainty) dan Teori Perlindungan Hukum (The Theory of Legal Protection).

 

Hasil dan Pembahasan

����������� Negara Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat), sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Keberadaan Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat) membawa konsekuensi untuk menjunjung tinggi the rule of law. Ini berarti setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan haruslah berdasarkan hukum (wetmatigheid van bestuur). Dalam penegakkan hukum tidak bersifat diskriminasi (equality before the law), adil, dan beretika, serta berdasarkan martabat kemanusiaan (Syam et al., 2023). Hukum tidak dipandang sebagai pasal yang bersifat imperatif atau keharusan (das sollen), tetapi juga harus dipandang sebagai subsistem yang nyata (das sein) (Jannah, 2017).

����������� Masyarakat selama ini salah kaprah dalam memandang korban penyalahgunaan narkotika (Arfiani & Utami, 2022). Masyarakat menganggap bahwa korban penyalahgunaan narkotika pantas untuk disidik, dituntut, diadili, serta dijatuhi hukuman penjara (Pancasilawati & Noor, 2018). Kesalahpahaman masyarakat terhadap korban penyalahgunaan narkotika menjadi tanggung jawab penegakkan hukum dan pengembang fungsi rehabilitasi narkotika untuk mengambil langkah-langkah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing kementerian dan non-kementerian. Penegak hukum memiliki peran dalam membangun sistem peradilan yang searah tujuan dibuatnya UU Narkotika (Kristiani, 2022). Lebih lanjut, berdasarkan UU Narkotika bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia, perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan. Hal ini menyatakan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan guna peningkatan kesehatan dan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain sering disalahgunakan oleh para pecandu dan pengguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan narkotika (Afriani & Merita, 2021).

Sejatinya para pengguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan narkotika tidak dimasukkan ke penjara, melainkan direhabilitasi sesuai amanat Pasal 54 UU Narkotika. Rehabilitasi sebenarnya merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk membantu memulihkan kondisi pengguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan narkotika. Pemulihan ini mulai dari segi fisik, mental, spiritual, dan sosial yang mungkin telah mengalami kerusakan karena efek dari zat narkotika tersebut. Rehabilitasi ini dilakukan untuk memulihkan pengguna narkotika agar terbebas dari narkotika. Memang waktu rehabilitasi ini memerlukan waktu yang tidak sebentar. Terlebih jika pengguna narkotika tersebut telah kecanduan narkotika dalam waktu lama.

����������� Pengguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan narkotika tentu saja tidak bisa sembuh tanpa melakukan rehabilitasi, baik itu rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Hal ini dikarenakan pengguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan narkotika harus melewati proses detoksifikasi yang biasanya dilakukan oleh tenaga medis yang sudah profesional dibidangnya. Bentuk rehabilitasi yang dapat dilakukan sesuai dengan UU Narkotika adalah rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Tujuan dari adanya pelayanan rehabilitasi medis ini di rumah sakit adalah untuk dapat mengatasi keadaan/kondisi sakit melalui intervensi medis, terapi fisik, keteknisian medis, dan tenaga lain yang terkait. Hal ini juga untuk mencegah terjadinya penyakit yang mungkin dapat menimbulkan kecacatan. Selanjutnya, rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Untuk mengurangi kerusakan saraf atau hambatan secara psikologis oleh penyakit atau oleh peristiwa yang menghantam jiwa.

Namun, di sisi lain UU Narkotika tersebut memuat peraturan yang mengenai pengguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan narkotika dimasukkan penjara. Dengan adanya isi peraturan yang berbeda dalam 1 (satu) peraturan, hal ini memuat adanya tumpang tindih (overlapping), serta menjadi ambigu mengenai perlindungan hukum bagi korban penyalahgunaan narkotika. Padahal sejak beberapa tahun lalu sudah ada kesepakatan dari 7 (tujuh) kementerian/lembaga bahwa pengguna narkotika sebagai korban penyalahgunaan narkotika dapat direhabilitasi dalam setiapproses peradilan, mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga keputusan (vonnis). Dengan demikian, mengenai payung hukum rehabilitasi pengguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan narkotika, peneliti merasa perlu dimasukkan dalam materi revisi UU Narkotika.

Ketentuan mengenai pengobatan dan rehabilitasi pecandu narkotika sebagai korban penyalahgunaan narkotika diatur dalam Pasal 54 UU Narkotika. Adapun pengobatan dan perawatan korban penyalahgunaan narkotika (Kawatak, 2014):

1.      Pengobatan dan perawatan korban narkotika, serta rehabilitasi dilakukan pada lembaga rehabilitasi;

2.      Pembentukan, susunan tugas dan wewenang lembaga rehabilitasi tersebut termasuk pendirian cabang-cabangnya ditempat-tempat yang diperlukan, ditetapkan dengan keputusan Presiden;

3.      Dalam menyelenggarakan rehabilitasi tersebut diikutsertakan sebanyak mungkin lembaga-lembaga dalam masyarakat yang berhubungan dengan masalah itu, baik milik pemerintah maupun swasta.

Selanjutnya, oleh karena pengobatan dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat pada umumnya, maka dipandang perlu adanya lembaga rehabilitasi tersebut. Pasal 54 dimaksudkan untuk lebih menjamin koordinasi di dalam usaha pengawasan dan penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika, mengingat bahwa masalah ini menyangkut berbagai instansi pemerintah dan swasta secara fungsional.

Korban penyalahgunaan narkotika dapat dilindungi oleh negara dengan memberikan penempatan tersebut ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial sesuai dengan SEMA Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. SEMA ini memperkuat Pasal 21 ayat (4) KUHAP, Pasal 54 sampai dengan Pasal 59 UU Narkotika, dan Pasal 13-14 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 agar Korban Penyalahgunaan Narkotika yang berhadapan dengan hukum ditempatkan dalam tempat rehabilitasi medis dan rehabilitas sosial dalam masa proses peradilan. Penempatan rehabilitasi ini setelah mendapat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).

Dalam penempatan rehabilitasi tersebut, dapat diberikan bagi para pecandu dan pengguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. Adapun tempat-tempat rehabilitasi yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1.      Lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang dikelola dan/atau dibina dan diawasi oleh BNN;

2.      Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur Jakarta;

3.      Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia (Depkes RI);

4.      Panti Rehabilitasi Departemen Sosial RI dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD); dan

5.      Tempat-tempat rujukan lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang mendapat akreditasi dari Departemen Kesehatan dan Departemen Sosial.

Menyadari dampak yang demikian besar dan meluas sebagai akibat dari tidak adanya jaminan kepastian hukum mengenai perlindungan hukum bagi pecandu dan pengguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan narkotika, sudah tentu diperlukan adanya satu payung hukum yang akan memberikan ketegasan dan kepastian hukum mengenai perlindungan hukum bagi pecandu dan pengguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan narkotika dengan merevisi UU Narkotika.

 

Kesimpulan

Hakikat perlindungan hukum dalam bentuk rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan narkotika adalah upaya untuk membantu memulihkan kondisi korban penyalahgunaan narkotika. Proses pemulihan tersebut mulai dari segi fisik, mental, spiritual, dan sosial yang mungkin telah mengalami kerusakan karena efek dari narkotika.

Implikasi yuridis atas terjadinya tumpang tindih (overlapping) peraturan bagi korban penyalahgunaan narkotika adalah tidak adanya kepastian hukum dalam pengaturan perlindungan hukum bagi korban penyalahgunaan narkotika. Bentuk peraturan bagi korban penyalahgunaan narkotika di masa yang akan datang (ius constituendum) adalah rekonstruksi pengaturan perlindungan hukum bagi korban penyalahgunaan narkotika dengan menjadikan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sebagai satu-satunya bentuk perlindungan hukum bagi korban penyalahgunaan narkotika dengan merevisi Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Afriani, K., & Merita, E. (2021). Upaya dan Sanksi Hukum Terhadap Keluarga Yang Menyembunyikan Anggota Keluarganya Pecandu Narkoba. Jurnal Hukum Tri Pantang, 7(2), 129�137.

 

Arfiani, N., & Utami, I. W. (2022). Penggunaan Ganja Medis Dalam Pengobatan Rasional dan Pengaturannya di Indonesia. Jurnal Hukum Dan Etika Kesehatan, 56�68.

 

Bangun, Y. R. (2015). Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Dan Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika. Jurnal Ilmu Hukum, 1�22.

 

Huda, M. C. (2022). Metode Penelitian Hukum (Pendekatan Yuridis Sosiologis). IAIN SALATIGA.

 

Irfan, M. N. (2014). Vonis Mati Bandar Dan Pengedar Narkoba Antara Putusan Mk Dan Sema (Perspektif Hukum Pidana Islam). Al-�Adalah, 12(2), 281�300.

 

Jannah, T. N. (2017). Keberpihakan Negara Terhadap Upaya Pengentasan Kemiskinan Di Pedesaan. Islamic Review: Jurnal Riset Dan Kajian Keislaman, 6(2), 211�232.

 

Kawatak, S. (2014). Proses Rehabilitasi Pelaku Tindak Pidana Narkotika. Lex Privatum, 2(3).

 

Kristiani, D. (2022). Konsep Pidana Rehabilitasi Berbasis Teori Keadilan Bermartabat bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 7(2), 395�404.

 

Pancasilawati, A., & Noor, M. (2018). Penerapan Sanksi dalam Meminimalisir Kejahatan Anak Ditinjau dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. FENOMENA, 10(2).

 

Pang, N. R. (2021). Sanksi Pidana Bagi Oelaku Penyalahgunaan Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. LEX CRIMEN, 10(7).

 

Pramasto, A., & Meyrynaldy, B. (2020). Pengaruh Penetrasi Barat Dalam Peredaran Komoditas Candu Di Indonesia Abad Ke-17 Hingga Ke-20. Jurnal Artefak, 7(2), 55. https://doi.org/10.25157/ja.v7i2.3805

 

Risky, P. A. (2020). Upaya Penanggulangan Oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi Aceh Terhadap Modus Peredaran Narkotika Ditinjau Menurut Hukum Islam. Uin Ar-Raniry.

 

Salsabila, N. (2016). Sanksi pengulangan (residivie) tindak pidana peredaran narkotika golongan I dalam perspektif hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia (analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 145. PK/PID. SUS/2016). Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

 

Sofi, A. (2021). Penggunaan Narkotika Untuk Pengobatan (Studi Komparatif antara Hukum Islam dan Hukum Positif). UIN Prof. KH Saifuddin Zuhri Purwokerto.

 

Syam, A. P., Mahrus, M. M. P., & Tarigan, T. M. (2023). Peran Etika Profesi Hukum sebagai Upaya Penegakan Hukum. As-Syar�i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga, 5(2), 462�470.

 

Syarifuddin, S. (2012). Napza Dalam Perspektif Hukum Islam. IQTISHADUNA: Jurnal Ilmiah Ekonomi Kita, 1(2), 260�298.

 

Yonesta, F., Isnur, M., Hidayat, N., Febrian, H., Sihite, I. L., & Biky, A. (2012). Agama, Negara, dan Hak Asasi Manusia: Proses Pengujian UU 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, Dan/atau Pengodaan Agama di Mahkamah Konstitusi. Jakarta Legal Aid Institute.

 

Copyright holder:

Adhalia Septia Saputri (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: