Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 3, Maret 2023

 

INTENSITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL ORANG TUA DENGAN ANAK PEREMPUAN TEMPERAMENTAL

 

Juwandy Firmansyah, Frida Kusumastuti

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang, Indonesia

Email: [email protected]

 

 

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan intensitas komunikasi interpersonal orang tua pada anak perempuan temperamental. Fokus dalam penelitian ini adalah menguraikan upaya � upaya komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh orang tua pada anak perempuan yang memilik perilaku temperamen dalam menciptakan hubungan yang harmonis guna saling memahami satu sama lain serta menekan munculnya perilaku temperamen pada anak. Metode penelitian ini adalah menggunakan metode kualitatif. Wawancara secara mendalam (In-Depth Interview) digunakan sebagai sebagai teknik pengumpulan data. Hasil penelitian mendapatkan bahwa: intensitas komunikasi yang dilakukan oleh orang pada anak perempuan temperamental termasuk kedalam kategori cukup sering. Dibuktikan dari frekuensi dalam berkomunikasi yang dilakukan cukup sering, cukup fokus ketika berkomunikasi, konsistensi komunikasi yang cukup teratur, isi atau pesan dalam komunikasinya yang sangat beragam dan luas, dan kemampuan dalam berkomunikasi yang terbilang mampu. Waktu yang banyak dimanfaatkan orang tua untuk berkomunikasi adalah waktu sore hingg malam. Ditemui juga bahwa komunikasi yang dilakukan orang tua lebih dominan pada ibu. Kemudian komunikasi interpersonal serta pemahaman orang tua akan komunikasi dan perilaku temperamen berbeda beradasar tingkat pendidikan dan usia. Hambatan yang ditemui dalam berkomunikasi adalah: kesibukan orang tua, perilaku pendiam pada anak, mood swing, dam perilaku temperamen dari anak itu sendiri.

 

Kata Kunci: orang tua; komunikasi interpersonal; anak perempuan temperamental

 

Abstract

The purpose of this study was to describe the intensity of parental interpersonal communication in temperamental girls. The focus in this study is to describe the interpersonal communication efforts made by parents of girls who have temperamental behavior in creating harmonious relationships in order to understand each other and suppress the emergence of temperamental behavior in children. This research method is using qualitative methods. In-depth interview (In-Depth Interview) was used as a data collection technique. The results of the study found that: the intensity of communication carried out by people in temperamental girls was included in the category of quite often. It is proven by the frequency in communicating which is done quite often, quite focused when communicating, the consistency of communication is quite regular, the content or messages in the communication are very diverse and broad, and the ability to communicate is quite capable. The time that many parents use to communicate is from the afternoon to the evening. It was also found that communication by parents was more dominant with mothers. Then interpersonal communication and parental understanding of communication and behavior of different temperaments based on education level and age. Barriers encountered in communicating are: busy parents, quiet behavior in children, mood swings, and temperament behavior of the children themselves.

 

Keywords: parents; interpersonal communication; temperamental girls

 

Pendahuluan

Perkembangan dan pertumbuhan seorang anak dipengaruhi oleh banyak faktor mulai dari faktor internal anak (genetik) maupun faktor eksternal (biopsikososial) (Amansari, 2013). Peran orang tua dalam hal perkembangan dan pertumbuhan seorang anak sangatlah penting karena anak berada di bawah koordinasi mereka. Tugas penting orang tua adalah mendidik anak baik secara verbal maupun non verbal serta turut membantu anak dalam beradaptasi dengan lingkungan dan pola pergaulan di sekitarnya (Sriyanti, 2014).

Anak usia 13 � 15 tahun merupakan anak yang sedang berada dalam fase remaja awal. Anak di usia tersebut diharapkan telah mencapai masa perkembangan secara optimal dalam berbagai aspek mulai dari aspek sosial, emosi, intelektual, dan juga moralitas yang nantinya dapat menciptakan remaja yang siap dalam beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Perkembangan kepribadian atau emosional yang baik pada anak dapat mendorong meningkatnya potensi dari berbagai aspek yang terdapat pada diri seorang anak dan juga dapat menciptakan pribadi dengan personality yang baik dan positif. Kemampuan yang dimiliki oleh seorang anak dalam melakukan aktivitas sehari - hari seperti berkomunikasi, melaksanakan sebuah pekerjaan, atau berinteraksi dengan orang lain serta mengendalikan emosi pada diri menunjukkan adanya kompetensi sosial emosi (Kusramadhanty et al., 2019).

Masa remaja awal merupakan masa dimana mulai berkembangnya masalah � masalah psikologis yang terbilang memiliki resiko yang cukup tinggi (Kapetanovic et al., 2020). Pada masa ini remaja banyak mengalami perubahan dalam diri dan juga pada lingkungan di tengah proses pematangan biologis, pengetahuan, seksualitas, serta transisi pendidikan (Denham et al., 2009; Totuka & Khan, 2020). Masa remaja juga menyebabkan terjadinya perubahan baik pada diri maupun pada perilaku (Steinberg, 2002). Perubahan yang terjadi pada anak meliputi perubahan psikis, sosial, dan yang sangat dirasakan adalah perubahan fisik. Hal tersebut membuat remaja sering mengalami masalah emosional sehingga masa remaja sering disebut sebagai masa storm dan stress (Fhadila, 2017; Jannah, 2017). Masalah � masalah yang berkaitan dengan emosional, perilaku, kecemasan, bahkan gejala depresi merupakan beberapa masalah kesehatan psikologis yang sangat sering muncul pada anak di masa remaja awal (Merikangas et al., 2010). Umumnya remaja laki -laki lebih banyak menunjukkan masalah eksternalisasi sedangkan peremp�uan lebih banyak menunjukkan masalah internalisasi yang membuat remaja perempuan cenderung menunjukkan perkembangan masalah psikologis yang lebih besar dibandingkan remaja laki � laki (Reitz et al., 2005). Selain itu, anak atau remaja perempuan cenderung menunjukkan kontrol yang lebih keras daripada anak laki � laki (Carrasco et al., 2020).

Permasalahan emosional yang sering kali dialami anak atau remaja dapat menyebabkan dampak negatif terhadap perkembangan dan pertumbuhan kepribadian seorang anak atau remaja. Masalah seperti kesulitan dalam perkembangan kognitif, kesulitan dalam berkonsentrasi, serta kesulitan dalam berpikir seringkali mengganggu proses belajar dan berkembang serta dapat juga mempengaruhi daya ingat dari seorang anak. Perubahan tingkah laku yang kurang pantas dalam kesehariannya baik dalam lingkup keluarga atau pergaulan di lingkungan sekitar sering kali memunculkan perilaku menyimpang ketika anak atau remaja sudah mulai dewasa (Beesdo et al., 2007; Donovan & Spence, 2000; Ediati, 2015). Penelitian (Hanifah, L., & Ningrum, 2017) dalam (Kusramadhanty et al., 2019) menemukan terdapat 34,5% anak memiliki permasalahan kaitannya tentang pemahaman emosi yang masih terbilang rendah. Anak atau remaja akan kesulitan dalam mengendalikan emosi dan juga menyebabkan anak akan kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang lain. Achenbach dan Rescorla menyampaikan beberapa permasalahan emosional yang dihadapi anak dalam fase remaja awal meliputi kecemasan atau depresi (anxious/depressed), keluhan fisik namun bukan sakit atau penyakit (somatic complaints), menarik diri (withdrawn), masalah sosial pergaulan (social problem), kesulitan berpikir (thought problem), kesulitan berkonsentrasi (attention problems), perilaku melanggar norma atau aturan (rule breaking behavior) dan perilaku agresif (aggressive behavior) (Ediati, 2015).

Permasalahan emosi pada anak atau remaja juga sangat berkaitan dengan temperamen seorang anak. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh C.P Chaplin (1995) yang mengatakan bahwa temperamen atau temper tantrum merupakan suatu ledakan emosi disertai rasa marah, serangan agresif, menangis, menjerit � jerit, serta menghentakkan kaki (Amin, 2014; Sulistyorini, 2016; Syamsuddin, 2013). Sedangkan menurut Allport temperamen merupakan sebuah gejala karakteristik dari watak atau sifat emosi dari seorang individu (Amin, 2014). Rothbart & Bates (1998) mengatakan bahwa temperamen dikonseptualisasikan sebagai perbedaan yang terdapat pada individu dan berkaitan dengan fisiologis dalam hal reaktivitas serta pengendalian diri ( Klein et al., 2018). Hingga saat ini fenomena pelanggaran yang melibatkan anak � anak maupun remaja masih sering terjadi. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2021) dalam kurun waktu dari 2016 hingga 2020 masih terdapat berbagai permasalahan yang berkaitan dengan temperamen atau emosional anak seperti, bullying di sekolah, kekerasan fisik, tawuran, serta kekerasan psikis. Fenomena pelanggaran yang berkaitan dengan temperamen atau emosional anak juga sering terjadi dalam keluarga. Ledakan emosi bahkan hingga perilaku perlawanan juga sering ditunjukkan oleh anak atau remaja. Hal ini menunjukkan bahwa masih rendahnya kemampuan pengendalian emosi atau temperamen serta tingginya tingkat agresivitas dari anak � anak atau remaja. Perlu adanya usaha dalam meningkatkan kemampuan dan kecerdasan emosional terutama pada anak perempuan. Perkembangan temperamen atau emosional menjadi dasar yang mempengaruhi perkembangan � perkembangan yang lainnya (Munna et al., 2022).

Faktor keluarga dan lingkungan merupakan hal penting yang harus dipertimbangkan dalam upaya meningkatkan kecerdasan emosional atau temperamen anak (Sari et al., 2020). Cara orang tua dalam berkomunikasi dan memperlakukan seorang anak atau remaja biasanya dipengaruhi oleh sikap mereka, dan sikap serta perilaku anak dipengaruhi oleh sikap dan perlakuan dari orang tua mereka sendiri, karena pada dasarnya hubungan orang tua dan anak tergantung pada sikap orang tua (Baharuddin, 2019). Sebagai orang tua harus bisa mengukur kemampuan diri dalam menentukan komunikasi yang benar serta pola asuh yang tepat, agar terciptanya keharmonisan dalam keluarga serta meningkatkan kecerdasan dan kemampuan anak dalam mengendalikan emosi (Islamiyati, 2019).

Sejumlah penelitian telah meneliti bagaimana tindakan orang tua dalam menangani dan mencegah munculnya permasalahan emosional atau temperamen. Penelitian (Rach dan McMahon, 2011) mengemukakan bahwa komunikasi merupakan sebuah usaha yang harus diupayakan oleh orang tua guna untuk melindungi fungsi dari remaja itu sendiri. Ketika komunikasi yang terjalin antara orang tua dan remaja sudah dilakukan dengan baik akan menciptakan sebuah hubungan yang erat antar keduanya. Komunikasi yang jelas, membangun harapan serta membuat sebuah aturan yang jelas dan konsisten memungkinkan anak � anak atau remaja untuk dapat menginternalisasi harapan dari perilaku mereka dan selanjutnya dapat membantu mereka dalam mengatur emosi dan perilaku (Klein et al., 2018). Komunikasi serta sikap disiplin yang ditunjukkan oleh orang tua dapat membantu anak atau remaja dalam mengupayakan tingkat emosional yang optimal dan mengajari anak dalam mengatur keadaan emosional mereka sendiri (Carrasco et al., 2020). Orang tua sejatinya harus dapat menjalin komunikasi interpersonal yang baik dengan anak atau remaja karena komunikasi interpersonal memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap perkembangan anak di masa depan (Utami & Widodo, 2015). Orang tua yang rajin berkomunikasi dengan anaknya seperti menanyakan informasi tentang apa yang sedang dilakukan dan dimana dia (anak) berada akan menciptakan perkembangan yang positif pada anak atau remaja (Fletcher et al., 2004). Menyadari akan hal tersebut, komunikasi interpersonal harusnya dapat dijadikan sebagai sebuah alternatif dalam menjembatani hubungan atau interaksi dengan remaja. Komunikasi interpersonal yang baik sangat menunjang pembentukan karakter dan dapat juga membantu remaja mengontrol emosi serta perilaku diri melalui komunikasi yang diterapkan oleh orang tua. Dengan demikian diharapkan orang tua dapat mengembangkan cara mereka ketika berinteraksi, agar terwujudnya anak atau remaja dengan pengedalian diri (Self Regulation) yang optimal. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mendeskripsikan intensitas komunikasi interpersonal orang tua pada anak perempuan temperamental.

 

 

Metode Penelitian

Peneliti mengkaji �Intensitas Komunikasi Interpersonal Orang Tua dengan Anak Perempuan Temperamental�. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana intensitas komunikasi interpersonal orang tua dengan anak perempuan yang memiliki perilaku temperamental. Subjek dalam penelitian ini adalah pasangan orang tua dan anak perempuan di Desa Lamusung Kabupaten Sumbawa Barat. Menggunakan tipe penelitian kualitatif peneliti sengaja mengambil sampling dengan metode purposive sampling. Kriteria yang diambil orang tua kandung usia 35 � 60 tahun minimal yang telah menyelesaikan minimal pendidikan sekolah dasar, anak perempuan usia 13 � 15 tahun, serta tinggal dalam satu rumah. Sedangkan kriteria eksklusi yaitu orang tua atau anak perempuan tidak hadir atau tidak berada di rumah saat penelitian. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data menggunakan teknik (In-depth Interview) atau wawancara secara mendalam. Wawancara secara mendalam (In-depth Interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawncarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Sutopo 2006: 72). Kemudian analisis data menggunakan teknik Miles & Huberman..

 

Hasil dan Pembahasan

Peneliti menemukan data � data dari hasil wawancara yang kemudian dideskripsikan untuk menggambarkan intensitas komunikasi interpersonal orang tua dengan remaja atau anak perempuan temperamental. Dalam masing � masing keluarga atau orang tua memiliki satu anak perempuan yang memiliki perilaku temperamen dengan karakteristik yang berbeda � beda setiap anaknya. Dalam melakukan interaksi dengan anak � anaknya, setiap orang tua memiliki cara yang berbeda � beda pula, yang disesuaikan dengan karakteristik dari masing � masing anak. Hal tersebut tentunya mempengaruhi bagaimana setiap orang tua dalam bersikap, dan juga berkomunikasi dengan anak perempuannya.

Faktor � faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal

Pada umumnya komunikasi interpersonal yang diterapkan oleh orang tua tentunya berbeda � beda. Perbedaan tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi intensitas komunikasi antara orang tua dan anak. Pada tingkat pendidikan yang rendah orang tua orang tua sering mengalami kendala karena kurangnya pengetahuan orang tua akan pentingnya komunikasi interpersonal dan juga pengetahuan dalam menghadapi temperamen atau perilaku emosional yang ditunjukkan oleh anak mereka. Namun kebanyakan dari mereka memiliki pendapat bahwa komunikasi interpersonal antara orang tua dan anak itu merupakan sesuatu hal sangat penting dalam proses perkembangan dan pertumbuhan anak. Kebanyakan orang tua yang berada dalam tingkat pendidikan rendah menganggap perilaku termperamen yang ditunjukkan oleh anak mereka merupakan sesuatu hal biasa yang sering mereka jumpai dan tidak terlalu penting untuk dipahami lebih dalam, padahal tanpa mereka sadari dengan memahami karakter atau perilaku dari anak dapat membantu mereka dalam menentukan cara mereka bersikap dan berkomunikasi serta berkaitan juga dalam hal mendidik anak.

Pada tingkat pendidikan menengah komunikasi yang dilakukan oleh orang tua pada anak menjadi lebih terbuka mengenai perilaku temperamen yang ditunjukkan anak. Meskipun orang tua tidak menjelaskannya secara detail namun dengan penjelasan yang lebih singkat hanya dapat memberikan larangan pada anak. Penjelasan yang tidak terperinci tersebut mengakibatkan munculnya pertanyaan � pertanyaan seperti mengapa tidak boleh? Hal itu juga mengharuskan orang tua untuk dapat menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan oleh anak. Tidak sedikit dari orang tua yang menganggap perilaku temperamen bukanlah suatu hal yang mengancam saat anak diusia tersebut.

Kemudian dalam tingkatan pendidikan yang tinggi orang tua sangat sering melakukan komunikasi interpersonal dengan anak perempuan dan orang tua dalam tingkat pendidikan ini mampu memberikan pemahaman yang dapat mengarahkan anak perempuan mereka kepada hal � hal yang positif. Pada tingkatan ini orang tua dan anak terlihat sangat dekat dan saling memahami satu sama lain. Hal ini tentunya membawa dampak positif tidak hanya pada anak tetapi juga pada orang tua. Orang tua dapat mengamati anak dengan lebih dalam, yang membuat orang tua memperoleh informasi � informasi penting tentang perkembangan anak khususnya dalam hal temperamen atau emosional. Orang tua dengan tingkatan pendidikan yang lebih tinggi cukup kreatif dalam menciptakan sebuah komunikasi serta interaksi yang menarik sehingga anak merasa nyaman dan kemunculan perilaku temperamen dapat ditekan dengan baik.

Bahasa juga menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi sebuah komunikasi. Pemilihan kata � kata yang tepat dan sesuai menyebabkan informasi yang akan disampaikan dapat diterima dengan baik begitu juga sebaliknya. Orang tua harus hati � hati dalam memilih kata � kata walaupun menggunakan bahasa daerah agar anak tidak menanggapinya dengan salah. Pada umumnya anak akan mempraktekkan instruksi dari orang tua, namun beberapa anak malu dan sungkan bahkan tidak terlalu peduli dengan perilaku temperamen yang sering mereka tunjukkan. Menjadi tugas bagi orang tua untuk terus bersabar dan lebih mendekatkan diri mereka dengan anak � anak agar mereka menjadi sangat terbuka. �

Perbedaan usia dari orang tua juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi intensitas komunikasi interpersonal pada anak. Berdasarkan temuan data orang tua yang usianya lebih tua memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi dibandingkan orang tua yang terbilang masih muda. Orang tua yang sensitif akan menafsirkan kebutuhan anak dengan baik serta memberikan respon yang tepat, dapat mengetahui apakah anak tersebut sedang dalam masalah, mengharapkan perhatian dari orang tua, atau hanya melakukan sebuah komunikasi atau interaksi saat bermain. Anak � anak dari orang tua yang lebih sensitif memiliki kualitas hubungan yang lebih tinggi dan regulasi emosi yang lebih baik (Braungart-Rieker et al., 2001; De Wolff & Van Ijzendoorn, 1997; Gunning et al., 2013; E. Planalp et al., 2020).

Sebaliknya orang tua yang terbilang muda jika berhadapan dengan perilaku temperamen dari anak yang sedang meledak, gampang tersulut emosinya yang menyebabkan komunikasi antar keduanya menjadi tidak karuan dan akhirnya menciptakan sebuah konflik. Sedangkan orang tua yang memiliki usia yang lebih tua cenderung lebih tenang dalam menghadapi anak dengan perilaku temperamen. Sejalan dengan penelitian (Kim & Kochanska, 2021) mengatakan temperamen anak yang sulit diatur kemudian dikaitkan dengan kontrol asertif dari orang tua, hadir dalam keluarga yang memiliki sumber daya sosiodemografi yang lebih sedikit (usia orang tua yang masih muda, kurang berpendidikan, tingkat ekonomi rendah). Dalam penelitian juga mengatakan bahwa sejauh mana orang tua mampu merespon kebutuhan dari anak yang sedang tertekan atau sedang berada dalam masalah dapat mengajarkan anak bagaimana mengatasi reaksi negatif mereka sendiri secara lebih efektif dan mampu meningkatkan kemampuan juga keterampilan dalam mengatur diri sendiri (Davidov & Grusec, 2006).

Pemahaman anak mengenai perilaku tempetamental

Anak � anak yang berusia 13 � 15 tahun atau anak yang sedang berada dalam fase remaja awal umumnya sama sekali tidak mengerti dan tidak mengetahui perilaku temperamen. Sangat jarang dijumpai ada anak yang paham dan sudah mengenal kata temperamental. Anak � anak yang sudah mengetahui akan hal tersebut sering kali mendapatkan informasi dari lingkungan luar ataupun teman � teman bahkan anak � anak di zaman teknologi sekarang banyak mendapat informasi dari sosial media atau media daring. Masa dimana kita sudah dihadapkan dengan segala kemudahan yang disajikan oleh teknologi saat ini tentunya membuat anak atau remaja mudah untuk mendapatkan informasi yang diinginkan.

Komunikasi interpersonal orang dan anak perempuan temperamental

Kebanyakan orang tua mengaku sering melakukan komunikasi dengan anak. Komunikasi yang mereka lakukan adalah komunikasi yang bertujuan untuk menjaga hubungan baik antar keduanya. Orang tua memanfaatkan waktu luang atau quality time yang mereka miliki untuk bertukar pikiran ataupun bercerita dengan anak perempuan mereka. Dalam hal ini, biasanya orang tua memulai membuka pembicaraan terlebih dahulu, orang tua cenderung memulai dengan topik � topik yang lebih santai, seperti menanyakan kegiatan atau kejadian yang dialamai oleh anak � anak mereka. Pernyataan berikut disampaikan oleh informan 1 sebagai salah satu orang tua yang diwawancarai peneliti mengatakan bahwa:

 

�saya dan anak perempuan saya sering melakukan komunikasi di saat � saat santai seperti saat menonton televisi atau saat sedang berbaring�.

��������

Orang tua dalam kesehariannya, berusaha mendidik anak mereka untuk selalu berusaha dan bersyukur. Membahas hal tersebut, cara orang tua dalam berkomunikasi pun berbeda, mereka cenderung lebih menunjukkan rasa kasih sayang dan perhatian dalam setiap ucapannya. Hal ini dilakukan oleh orang tua guna untuk memberikan serta menumbuhkan rasa percaya penuh pada diri seorang anak. Disampaikan oleh salah satu orang tua ketika berkomunikasi atau berinteraksi dengan anak perempuannya mereka selalu menatap mereka, dan tidak enggan untuk merangkul serta berkali � kali menepuk pundak anaknya. Sebagai orang tua baik ayah atau ibu harus terbuka dengan anak, informan 2 sebagai salah satu orang tua mengaku bahwa ia membebaskan anak perempuannya dalam mengeluarkan pendapat serta mengambil sebuah keputusan. Informan 2 mengupayakan dalam setiap pesan yang ia sampaikan tidak menggunakan kata � kata atau kalimat yang menyuruh melainkan lebih ke arahkan menyarankan.

Dalam proses komunikasi interpersonal, orang tua yang ingin mengarahkan anaknya pada suatu hal yang diinginkan menggunakan bahasa atau kalimat yang santai agar dapat mudah untuk dipahami. Dalam kesehariannya, orang tua dan anak berkomunikasi menggunakan perpaduan antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Prakteknya, dalam berkomunikasi orang tua lebih sering menggunakan bahasa daerah.

Kebanyakan orang tua sangat mendukung prestasi akademik anak. Mereka berpendapat bahwa pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi anak di masa depan kelak. Dalam prakteknya, orang tua selalu menanyakan dan mengajak anak perempuan mereka untuk membicarakan apa saja keluhan, pengalaman, hingga keperluan selama bersekolah.

Selain itu, peneliti juga menemukan komunikasi interpersonal antara orang tua dan anak perempuan yang menjadi subjek dalam penelitian ini memiliki durasi yang berbeda � beda. Setiap orang tua dapat menghabiskan waktu mulai dari sepuluh menit hingga satu jam lebih dalam berkomunikasi dengan anak perempuan mereka. Perbedaan waktu dalam berkomunikasi ini disebabkan karena perbedaan kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh para subjek atau orang tua. Dilihat dari profesi para subjek atau orang tua yang mayoritas dari mereka adalah sebagai petani. Hal ini membuat orang tua lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Berkaitan dengan hal ini, komunikasi yang dilakukan oleh orang tua sangat dipengaruhi oleh waktu atau durasi. Memiliki waktu atau durasi yang lebih lama tentunya juga akan membuat komunikasi interpersonal antara orang tua dan anak perempuan juga akan berlangsung lebih lama. Apa yang dapat disampaikan atau dibicarakan dalam komunikasi tersebut tentunya menjadi lebih beragam. Senada dengan pernyataan langsung yang disampaikan informan 3 selaku orang tua mengatakan bahwa :

 

�ketika berkomunikasi dengan anak kami dapat menghabiskan waktu hingga berjam � jam dan apa yang dibicarakan pun menjadi lebih banyak mulai dari persoalan tentang keluarga, sekolah anak dan topik lainnya�

 

Aktivitas komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh orang tua tidak dilakukan sepanjang hari dikarenakan kesibukan atau kegiatan yang dilakukan keduanya berbeda. Waktu sore hingga malam menjadi waktu yang banyak dimaanfaatkan oleh orang tua untuk berkomunikasi dengan anak perempuannya. Semua responden atau informan dalam penelitian ini memanfaatkan waktu sore hingga malam hari untuk melakukan komunikasi. Komunikasi pada waktu siang biasanya dimanfaatkan hanya ketika anak � anak sedang libur sekolah dan disaat orang tua tidak bekerja. �

 

Hambatan dalam Berkomunikasi

Komunikasi yang dilakukan oleh subjek penelitian atau para orang tua juga tidak selalu dapat dilakukan dengan maksimal. Salah satu yang menjadi penyebabnya adalah karena orang tua memiliki banyak pekerjaan atau kesibukan lain yang harus mereka kerjakan dan terkadang dapat menimbulkan orang tua tidak dapat melakukan komunikasi interpersonal secara maksimal bahkan dalam sehari mereka tidak sama sekali berkomunikasi dengan anak perempuan mereka. Dari data ini menunjukkan adanya hambatan yang membuat subjek atau orang tua dan anak perempuan mereka menjadi jarang bahkan tidak melakukan komunikasi.

Seperti yang telah dituturkan oleh informan 4 salah satu orang tua ketika diwawancarai oleh peneliti,

 

�saya melakukan komunikasi dengan anak perempuan saya hanya ketika saat makan malam, karena saya harus pergi kerja dari pagi sampai malam itupun saya lakukan kalau saya tidak langsung tidur�.

 

Berbeda halnya ketika perilaku temperamental mulai tampak pada anak perempuan. Mereka menjadi anak yang suka marah � marah bahkan sering menangis. Berdasarkan data yang diperoleh dari para subjek, perilaku temperamen yang muncul pada anak perempuan biasanya disebabkan oleh beberapa hal diantaranya. Pertama, terdapat sesuatu hal yang sangat diinginkan oleh anak namun karena alasan tertentu orang tua tidak dapat memenuhi keinginan dari anaknya. Kedua, munculnya perilaku temperamen pada anak perempuan juga disebabkan karena mereka sedang terlibat masalah atau pertengkaran dengan teman ataupun saudara. Dan yang ketiga adalah ketidakselarasan antara mood dengan apa yang mereka kerjakan atau sering disebut sebagai perubahan mood (mood swing). Dari ketiga hal tersebut mengakibatkan perilaku anak � anak akan menjadi lebih sensitif, mudah tersulut emosinya, bahkan tidak mau menghiraukan apa yang dikatakan orang lain.

Dalam menyikapi hal ini komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh para subjek atau orang tua pun mengalami beberapa perubahan baik dalam cara mereka berkomunikasi, durasi yang mereka gunakan ataupun pesan yang mereka sampaikan dalam komunikasinya. Berdasarkan hasil wawancara, yang sering dilakukan oleh para subjek atau orang tua dalam merespon hal tersebut adalah dengan menunggu hingga perilaku temperamen yang terjadi pada anak perempuannya mereda dan kemudian setelah itu para subjek atau orang tua akan mulai menasehati atau mengingatkan anak perempuannya untuk dapat mengendalikan emosi yang mereka miliki. Selain itu orang tua juga menyampaikan kepada anaknya untuk selalu bersikap baik dalam berbagai hal dan tetap menjaga cara dalam berkomunikasi. Hal ini menyebabkan pesan yang disampaikan oleh para subjek atau orang tua menjadi lebih beragam dan kompleks. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa komunikasi yang dilakukan oleh para orang tua atau subjek menjadi lebih intens dan juga menunjukkan bahwa peran orang tua dalam membangun sebuah komunikasi sangat dibutuhkan guna membuat suasana menjadi kembali normal.

Respon yang berbeda juga diperlihatkan oleh subjek atau orang tua ketika perilaku temperamen pada anak perempuannya tidak mempunyai titik temu. Sebagian dari para subjek atau sekitar 32% sering merasa jengkel dengan perilaku yang ditunjukkan oleh anak perempuannya yang membuat mereka merespon perilaku tersebut dengan memarahi kembali anaknya bahkan meninggalkan mereka meskipun perilaku temperamen pada anak perempuannya belum mereda. Namun, tidak jarang ketika munculnya perilaku temperamen pada anak yang terjadi dalam waktu yang lama menimbulkan terjadinya sebuah konflik antara orang tua dan anak perempuan. Hal tersebut disebabkan karena ketidakmampuan orang tua dalam mengendalikan emosi mereka yang berujung pada sebuah pertengkaran antar keduanya. Seperti pernyataan berikut yang disampaikan secara langsung oleh informan 5 selaku salah satu orang tua yang mengatakan bahwa:

 

�ketika anak saya sedang marah dan tidak mau berhenti, saya akan balik memarahinya�.

 

Selain itu, hal lain yang menjadi kendala dalam komunikasi interpersonal antara orang tua dan anak perempuan temperamental adalah perilaku diam dan menyendiri yang juga sering ditunjukkan oleh beberapa anak perempuan. Beberapa subjek atau sekitar 27% memiliki anak perempuan yang juga mempunyai karakter pendiam dan membuat mereka tidak terlalu suka berbicara atau berkomunikasi. Seperti yang diungkapkan oleh informan 6 sebagai salah satu orang tua yang mengatakan bahwa :

 

�bahwa anak perempuannya memiliki karakter pendiam dan lebih suka menghabiskan banyak waktu di dalam kamar.�

 

Menyikapi apa yang dilakukan oleh anak perempuannya tidak lantas membuat orang tua berusaha mencoba menemukan cara untuk mengajak anak perempuan mereka untuk berkomunikasi. Namun, orang tua atau subjek dalam penelitian ini hanya mengabaikan hal tersebut. Dari data ini menunjukkan bahwa tidak adanya usaha atau inisiatif dari orang tua untuk memulai sebuah komunikasi dan bahkan apa yang mereka lakukan menggambarkan kurangnya kepedulian akan hal tersebut. Dalam hal ini juga menunjukkan tidak adanya problem solving yang dilakukan oleh orang tua ketika mereka berhadapan dengan perilaku temperamental yang muncul pada anak perempuannya.

Analisis dan Interpretasi

Dalam penelitian ini, pembahasan akan terfokus pada intensitas komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh orang pada anaknya. Pembahasan akan mengungkap beberapa hal yang ditemukan oleh peneliti selama melakukan wawanca antara orang tua dengan anak perempuan kaitannya dengan komunikasi interpersonal.

 

 

Durasi dan Frekuensi Saat berkomunikasi

Durasi dan frekuensi dalam melakukan komunikasi ini berkaitan dengan tingkat keseringan orang tua dan anak dalam berkomunikasi, lamanya waktu yang digunakan ketika berkomunikasi. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, durasi yang dilakukan orang tua dalam melakukan komunikasi interpersonal dengan anak perempuan termasuk kedalam kategori cukup sering. Hal ini dapat dilihat dari 15 responden terdapat 11 responden atau 73,33% orang tua dan anak termasuk kedalam kategori cukup sering. Hal ini disebabkan karena orang tua anak memiliki hubungan yang erat dan saling terbuka satu sama lain. Kemudian 4 responden lainnnya atau sekitar 26,66% termasuk kedalam kategori jarang. Hal tersebut terjadi karena antara orang tua dan anak perempuan hanya melakukan komunikasi interpersonal ketika terdapat keperluan yang penting dan perlu untuk dibicarakan.

Hal yang perlu untuk diperhatikan oleh orang tua agar memiliki durasi serta frekuensi dalam berkomunikasi menjadi lebih proporsional dengan anak adalah dengan tidak segan untuk memulai sebuah percakapan baik di rumah ataupun di luar rumah. Selain itu mencoba untuk menjaga kepercayaan dari anak dengan menjadi orang tua yang terbuka. �

Perhatian Saat Berkomunikasi

Perhatian dalam berkomunikasi berhubungan dengan bagaimana memusatkan perhatian pada orang lain saat berkomunikasi dan menyimak dengan baik apa yang disampaikan oleh orang lain. Berdasarkan data yang peneliti peroleh pada tingkat perhatian ini termasuk kedalam kategori cukup fokus. Hal ini telihat dari 5 responden termasuk kedalam kategori fokus. Dimana setiap orang tua dan anak memberikan konsentrasi penuh terhadap pesan yang disampaikan. Mereka juga dapat mengontrol fokus mereka pada topik pembicaraan dengan baik. Sehingga komunikasi interpersonal dapat berlangsung secara efektif. Sementara 8 responden atau 53,33% termasuk kedalam kategori cukup fokus. Dalam hal ini komunikasi interpersonal yang terjadi dilakukan dengan cukup fokus meskipun perhatian mereka teralihkan dengan hal � hal lain. Kemudian terdapat 2 responden atau 13,33% yang tidak fokus dalam berkomunikasi. Hal tersebut dikarenakan baik orang tua maupun anak sedang memikirkan atau melakukan pekerjaan lain.

Pesan atau Isi dalam Komunikasi

�Dalam hal ini merujuk pada keterbukaan subjek atau responden dalam melakukan komunikasi berkaitan dengan isi atau pesan yang disampaikan. Berdasarkan data yang diperoleh pesan atau isi komunikasi yang disampaikan termasuk kedalam kategori yang luas dan beragam. Hal ini dapat dilihat dari 6 responden atau 40% termasuk kedalam kategori luas. Dikarekan antara orang tua dan anak sangat terbuka satu sama lain dan menyenangkan, topik atau hal � hal yang sering dibahas lebih beragam. Sementara itu terdapat 6 responden atau 40% lainnya termasuk kedalam kategori cukup luas. Kemudian 3 responden atau 20% termasuk kedalam kategori kurang luas. Hal ini dikarenakan ketika berkomunikasi baik orang tua ataupun anak hanya membahas hal � hal yang memang sangat perlu untuk dibicarakan. Kaitannya dengan hal tersebut perlu adanya perasaan nyaman dan percaya antara satu sama lain guna menciptakan pesan atau isi komunikasi yang lebih beragam.

Konsistensi dalam Berkomunikasi

Konsistensi dalam berkomunikasi ini berkaitan dengan kebiasaan untuk terus melakukan komunikasi. Berdasarkan hasil pengolahan data penelitian konsistensi dalam berkomunikasi termasuk ke dalam kategori cukup teratur. Hal ini dapat dilihat dari 15 responden atau 100% orang tua dan anak termasuk kedalam kategori cukup teratur. Hal tersebut menunjukkan setiap subjek menyempat diri untuk berkomunikasi meskipun disela � sela pekerjaan masing � masing. Harus selalu diperhatikan oleh setiap orang tua untuk selalu menyempatkan waktu untuk berkomunikasi meskipun hanya membahas tentang hal � hal kecil.

Kemampuan Komunikasi Dua Arah

Fokus utama dalam indikator ini adalah kemampuan individu dalam menanggapi atau merespon pesan atau informasi yang disampaikan. Berdasarkan data yang diperoleh kemampuan komunikasi dua arah termasuk kedalam kategori mampu. Hal ini dapat dilihat dari 8 responden atau 53,33% termasuk kedalam kategori mampu. Dikarekan antara orang tua dan anak sudah terbiasa dalam berdiskusi dan mengutarakan pendapat masing - masing. Sementara itu terdapat 4 responden atau 26,66% lainnya termasuk kedalam kategori cukup mampu dalam komunikasi dua arah. Hal ini dapat disebabkan karena responden mampu dalam menanggapi dan juga menyampaikan pesan. Kemudian 3 responden atau 20% termasuk kedalam kategori kurang mampu. Hal ini dikarenakan ketika berkomunikasi baik orang tua ataupun anak hanya mendengarkan dan menyimak apa yang disampaikan namun tidak memberikan respon apapun.

Komunikasi Ayah versus Ibu

Menyoroti bahwa hubungan ibu-anak dan ayah-anak berkembang dan berdampak pada hasil anak secara berbeda (Braungart-Rieker et al., 2001; Grossmann et al., 2002; Tamis-LeMonda et al., 2004). Orang tua terlibat dengan anak � anak secara berbeda seiring bertambahnya usia dari anak (Mehall et al., 2009; E. M. Planalp et al., 2017; Pleck & Hofferth, 2008). Temperamen anak juga berubah seiring perkembangan fisik dan juga keterampilan kognitif anak (Eisenberg et al., 2006). Setelah membandingkan antara komunikasi interpersonal ayah versus ibu peneliti menemukan bahwa komunikasi yang dilakukan oleh orang tua lebih dominan ibu daripada ayah. Ibu memiliki tingkat sensitivitas dan responsivitas yang lebih tinggi dibandingkan ayah, hal ini disebabkan karena ibu lebih banyak berada di rumah yang secara otomatis lebih banyak dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak, sedangkan ayah lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah karena alasan pekerjaan. Komunikasi yang dilakukan ibu pada anak memiliki pesan yang lebih beragam mulai dari hal � hal atau topik yang ringan hingga ke obrolan yang lebih serius. Dalam hal ini pesan komunikasi yang dilakukan ayah cenderung lebih kaku dan biasanya hanya berfokus pada hal � hal yang lebih serius. Sejalan dengan penelitian terdahulu yang mengatakan bahwa komunikasi ibu memiliki pengaruh yang lebih besar pada temperamen anak yang lebih tua (Carrasco et al., 2020). Komunikasi dan disiplin ibu juga dapat memfasilitasi emosi positif anak, mencegah pengaruh negatif, dan mengembangkan regulasi emosi anak menjadi lebih efektif (Bridges, L.J. et al., 1995).

 

Kesimpulan

Berdasarkan analisis data, pembahasan dari hasil penelitian mengenai intensitas komunikasi interpersonal orang tua pada anak perempuan temperamental maka peneliti menyimpulkan bahwa intensitas komunikasi yang dilakukan termasuk dalam kategori cukup sering. Dilihat dari frekuensi dalam berkomunikasi yang dilakukan cukup sering, cukup fokus ketika berkomunikasi, konsistensi komunikasi yang cukup teratur, isi atau pesan dalam komunikasinya yang sangat beragam dan luas, dan kemampuan dalam berkomunikasi yang terbilang mampu. Latar belakang pendidikan dan usia orang tua menjadi faktor yang dapat mempengaruhi intensitas komunikasi orang tua dan anak. Pada tingkat pendidikan rendah mereka tetap berkomunikasi namun tidak terlalu memahami apa yang mereka lakukan, pada tingkat menengah mereka mengerti akan komunikasi pada anak namun tidak memahaminya secara lengkap, sedangkan pada tingkat pendidikan tinggi mampu memberikan pemahaman yang dapat mengarahkan anak perempuan mereka kepada hal � hal yang positif. Pada tingkatan ini orang tua dan anak terlihat sangat dekat dan saling memahami satu sama lain. Orang tua yang lebih tua memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi dan cenderung lebih tenang dalam berkomunikasi dibandingkan orang tua yang terbilang masih muda. Komunikasi yang dilakukan orang tua lebih dominan pada ibu dikarenakan ibu lebih banyak berada di rumah dan lebih sering berinteraksi dengan anak. Sedangkan waktu yang sering dimaanfaatkan untuk berkomunikasi oleh orang tua adalah waktu sore hingga malam. Ketika perilaku temperamen ditunjukkan oleh anak dapat mengubah cara orang tua dalam berinteraksi. Dari hal tersebut peneliti juga menarik kesimpulan bahwa perilaku temperamen anak atau remaja dapat memprediksi pola komunikasi serta kontrol orang tua.Berdasarkan analisis data, pembahasan dari hasil penelitian mengenai intensitas komunikasi interpersonal orang tua pada anak perempuan temperamental maka peneliti menyimpulkan bahwa intensitas komunikasi yang dilakukan termasuk dalam kategori cukup sering. Dilihat dari frekuensi dalam berkomunikasi yang dilakukan cukup sering, cukup fokus ketika berkomunikasi, konsistensi komunikasi yang cukup teratur, isi atau pesan dalam komunikasinya yang sangat beragam dan luas, dan kemampuan dalam berkomunikasi yang terbilang mampu. Latar belakang pendidikan dan usia orang tua menjadi faktor yang dapat mempengaruhi intensitas komunikasi orang tua dan anak. Pada tingkat pendidikan rendah mereka tetap berkomunikasi namun tidak terlalu memahami apa yang mereka lakukan, pada tingkat menengah mereka mengerti akan komunikasi pada anak namun tidak memahaminya secara lengkap, sedangkan pada tingkat pendidikan tinggi mampu memberikan pemahaman yang dapat mengarahkan anak perempuan mereka kepada hal � hal yang positif. Pada tingkatan ini orang tua dan anak terlihat sangat dekat dan saling memahami satu sama lain. Orang tua yang lebih tua memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi dan cenderung lebih tenang dalam berkomunikasi dibandingkan orang tua yang terbilang masih muda. Komunikasi yang dilakukan orang tua lebih dominan pada ibu dikarenakan ibu lebih banyak berada di rumah dan lebih sering berinteraksi dengan anak. Sedangkan waktu yang sering dimaanfaatkan untuk berkomunikasi oleh orang tua adalah waktu sore hingga malam. Ketika perilaku temperamen ditunjukkan oleh anak dapat mengubah cara orang tua dalam berinteraksi. Dari hal tersebut peneliti juga menarik kesimpulan bahwa perilaku temperamen anak atau remaja dapat memprediksi pola komunikasi serta kontrol orang tua.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Achenbach, T. M., & Rescorla, L. A.(2001). Manual for the ASEBA School-age forms and profiles. Burlington, VT: University of Vermont, Research Center for Children, Youth, and Families.

 

Amansari, D. (2013). Temperamen Pada Anak Prasekolah. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan �Aisyiyah Yogyakarta.

 

Amin, A. (2014). Implementasi Asesmen dan Intervensi Bagi Anak Berperilaku Temper Tantrum (suatu kajian teori dan studi kasus). Jurnal Kreatif Tadulako, 17(1), 123712.

 

Baharuddin, B. (2019). Pengaruh Komunikasi Orang Tua Terhadap Perilaku Anak Pada Min I Lamno Desa Pante Keutapang Aceh Jaya. Jurnal Al-Ijtimaiyyah, 5(1), 105. https://doi.org/10.22373/al-ijtimaiyyah.v5i1.4207

 

Beesdo, K., Bittner, A., Pine, D. S., Stein, M. B., H�fler, M., Lieb, R., & Wittchen, H. U. (2007). Incidence of social anxiety disorder and the consistent risk for secondary depression in the first three decades of life. Archives of General Psychiatry, 64(8), 903�912. https://doi.org/10.1001/archpsyc.64.8.903

 

Braungart-Rieker, J. M., Garwood, M. M., Powers, B. P., & Wang, X. (2001). Parental sensitivity, infant affect, and affect regulation: Predictors of later attachment. Child Development, 72(1), 252�270. https://doi.org/10.1111/1467-8624.00277

 

Bridges, L.J.; Grolnick, W.S. (1995). The development of emotional self-regulation in infancy and early childhood. Soc. Sci. Dev. J. 15, 185�211.

 

Capatides, J.B.; Bloom, L. (1993). Underlying process in the socialization of emotion. In Advances in Infancy Research; Rovee-Collier, C., Lipsitt, L., Eds.; Erlbaum: Hillsdale, NJ, USA, pp. 99�135.

 

Carrasco, M. A., Delgado, B., & Holgado-Tello, F. P. (2020). Children�s temperament: A bridge between mothers� parenting and aggression. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(17), 1�17. https://doi.org/10.3390/ijerph17176382

 

Davidov M, Grusec JE. (2006). Untangling the links of parental responsiveness to distress and warmth to child outcomes. Child Dev. vol 77(1):44-58. doi: 10.1111/j.1467-8624.2006.00855.x. PMID: 16460524.

 

De Wolff, M., & Van Ijzendoorn, M. (1997). Sensitivity and Attachment: A Meta-Analysis on Parental Antecedent of Infant Attachment. Child Development, 68(4), 571�591.

 

Denham, S. A., Wyatt, T. M., Bassett, H. H., Echeverria, D., & Knox, S. S. (2009). Assessing social-emotional development in children from a longitudinal perspective. Journal of Epidemiology and Community Health, 63(SUPPL. 1). https://doi.org/10.1136/jech.2007.070797

 

Donovan, C. L., & Spence, S. H. (2000). Prevention of childhood anxiety disorders. Clinical Psychology Review, 20(4), 509�531. https://doi.org/10.1016/S0272-7358(99)00040-9

 

Ediati, A. (2015). Profil Problem Emosi/ Perilaku Pada Remaja Pelajar SMP-SMA Di Kota Semarang. Jurnal Psikologi Undip, 14(2), 190�198. https://doi.org/10.14710/jpu.14.2.190-198

 

Eisenberg, N., Damon, W., & Lerner, R. M. (2006). HANDBOOK OF CHILD PSYCHOLOGY. John Wiley & Sons, Inc.

 

Fhadila, K. D. (2017). Menyikapi Perubahan Perilaku Remaja. Jurnal Penelitian Guru Indonesia, 2(2), 17�23. https://jurnal.iicet.org/index.php/jpgi/article/view/220

 

Fletcher AC, Steinberg L, Williams-Wheeler M. (2004). Parental influences on adolescent problem behavior: revisiting Stattin and Kerr. Child Dev. May-Jun;75(3):781-96. doi: 10.1111/j.1467-8624.2004.00706.x. PMID: 15144486.

 

Grossmann, K., Grossmann, K. E., Fremmer-Bombik, E., Kindler, H., Scheuerer-Englisch, H., & Zimmermann, P. (2002). The uniqueness of the child-father attachment relationship: Fathers� sensitive and challenging play as a pivotal variable in a 16-year longitudinal study. Social Development, 11(3), 301�337. https://doi.org/10.1111/1467-9507.00202

 

Gunning, M., Halligan, S. L., & Murray, L. (2013). Contributions of maternal and infant factors to infant responding to the Still Face paradigm: A longitudinal study. In Infant Behavior and Development (Vol. 36, Issue 3). https://doi.org/10.1016/j.infbeh.2013.02.003

 

Hanifah, L., & Ningrum, M. P. (2017). Deteksi dini masalah mental emosional, anak prasekolah usia 36 sampai 72 bulan. Jurnal Kebidanan Indonesia, 4(2), 1�19. https://stikesmus.ac.id/jurnal/index.php/JKebIn/article/view/77 tanggal 20 Juli 2019

 

Islamiyati, T. (2019). Komunikasi Antarpribadi Ibu Dalam Mendidik Anak Berprestasi Akademik ( Studi Kasus Pada Ibu Yang Berprofesi Sebagai Guru Bimbingan Konseling Yang Tergabung di Musyawarah Guru Bimbingan Konseling di Kabupaten Kuningan-Jawa Barat dalam Mendidik Anak Berpres. IDEA : Jurnal Humaniora, 2(2), 142�152.

 

Jannah, M. (2017). Remaja Dan Tugas-Tugas Perkembangannya Dalam Islam. Psikoislamedia : Jurnal Psikologi, 1(1), 243�256. https://doi.org/10.22373/psikoislamedia.v1i1.1493

 

Kapetanovic, S., Rothenberg, W. A., Lansford, J. E., Bornstein, M. H., Chang, L., Deater-Deckard, K., Di Giunta, L., Dodge, K. A., Gurdal, S., Malone, P. S., Oburu, P., Pastorelli, C., Skinner, A. T., Sorbring, E., Steinberg, L., Tapanya, S., Uribe Tirado, L. M., Yotanyamaneewong, S., Pe�a Alampay, L., � Bacchini, D. (2020). Cross-Cultural Examination of Links between Parent�Adolescent Communication and Adolescent Psychological Problems in 12 Cultural Groups. Journal of Youth and Adolescence, 49(6), 1225�1244. https://doi.org/10.1007/s10964-020-01212-2

 

Kim, S., & Kochanska, G. (2021). Family sociodemographic resources moderate the path from toddlers� hard-to-manage temperament to parental control to disruptive behavior in middle childhood. Dev Psychopathol., 33(1), 160�172. https://doi.org/10.1017/S0954579419001664.Family

 

Klein, M. R., Lengua, L. J., Thompson, S. F., Moran, L., Ruberry, E. J., Kiff, C., & Zalewski, M. (2018). Bidirectional Relations Between Temperament and Parenting Predicting Preschool-age Children�s Adjustment Melanie. Physiology & Behavior, 176(3), 139�148. https://doi.org/10.1080/15374416.2016.1169537.Bidirectional

 

KPAI. (2021). No Data Kasus Pengaduan Anak 2016 � 2020. KPAI.GO.ID. https://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-pengaduan-anak-2016-2020

 

Kusramadhanty, M., Hastuti, D., & Herawati, T. (2019). Temperamen dan praktik pengasuhan orang tua menentukan perkembangan sosial emosi anak usia prasekolah. Persona:Jurnal Psikologi Indonesia, 8(2), 258�277. https://doi.org/10.30996/persona.v8i2.2794

 

Mehall, K. G., Spinrad, T. L., Eisenberg, N., & Gaertner, B. M. (2009). Examining the Relations of Infant Temperament and Couples� Marital Satisfaction to Mother and Father Involvement: A Longitudinal Study. Fathering, 7(1), 23�48. https://doi.org/10.4135/9781452229300.n1121

 

Merikangas, K. R., Ms. Jian-ping He, M. S., Dr. Marcy Burstein, P. ., Swanson, M. S. A., Avenevoli, D. S., Ms. Lihong Cui, M. S., Dr. Corina Benjet, P. ., Dr. Katholiki Georgiades, P. ., & Dr. Joel Swendsen, P. D. (2010). Lifetime Prevalence of Mental Disorders in US Adolescents: Results from the National Comorbidity Study-Adolescent Supplement (NCS-A). J Am Acad Child Adolesc Psychiatry, 49(10), 980�989. https://doi.org/10.1016/j.jaac.2010.05.017.Lifetime

 

Munna, Z. N., Wijayanti, A., & Tanto, O. D. (2022). Peran Pola Komunikasi Orang Tua terhadap Perkembangan Emosi Anak Usia 4-5 di Masa New Normal. Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 6(1), 401�409. https://doi.org/10.31004/obsesi.v6i1.1334

 

Planalp, E., Hulle, C. A. Van, & Goldsmith, H. H. (2020). Parenting in Context: Martial Adjustment, Parent Affect, and Child Temperament in Complex Families. J Fam Psychol, 33(5), 532�541. https://doi.org/10.1037/fam0000511.Parenting

 

Planalp, E. M., Du, H., Braungart-Rieker, J. M., & Wang, L. (2017). Growth Curve Modeling to Studying Change: A Comparison of Approaches Using Longitudinal Dyadic Data With Distinguishable Dyads. Struct Equ Modeling, 24(1), 129�147. https://doi.org/10.1080/10705511.2016.1224088.Growth

 

Pleck, J., & Hofferth, S. L. (2008). Mother Involvement as an Influence on Father Involvement with Early Adolescents. Molecular and Cellular Biochemistry, 6(3), 267�286. https://doi.org/10.3149/fth.0603.267.Mother

 

Reitz, E., Deković, M., & Meijer, A. M. (2005). The structure and stability of externalizing and internalizing problem behavior during early adolescence. Journal of Youth and Adolescence, 34(6), 577�588. https://doi.org/10.1007/s10964-005-8947-z

 

Sari, P. P., Sumardi, S., & Mulyadi, S. (2020). Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perkembangan Emosional Anak Usia Dini. Jurnal Paud Agapedia, 4(1), 157�170. https://doi.org/10.17509/jpa.v4i1.27206

 

Sriyanti, L. (2014). Psikologi Anak: Mengenal Autis hingga Hiperaktif. (U. Hayati (ed.); 1st ed.). STAIN Salatiga Press.

 

Sulistyorini, L. (2016). Pengaruh Permainan Kooperatif Terhadap Reaksi Temper Tantrum Pada Anak Usia Pra Sekolah (3-6 Tahun) (the Effect of Cooperative Play on Temper Tantrums Reaction Among Preschool Children (3-6 Years Old)). NurseLine Journal, 1(2).

 

Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS hal 56-57.

 

Syamsuddin. (2013). Mengenal Perilaku Tantrum Dan Bagaimana Mengatasinya; Understanding Tantrum Behavior And How To Solve It. Jurnal Informasi, 18(02), 73�82.

 

Tamis-LeMonda, C. S., Shannon, J. D., Cabrera, N. J., & Lamb, M. E. (2004). Fathers and mothers at play with their 2- and 3-year-olds: Contributions to language and cognitive development. Child Development, 75(6), 1806�1820. https://doi.org/10.1111/j.1467-8624.2004.00818.x

 

Totuka, N., & Khan, S. (2020). Socio-Demographic Variables and Temperament among High School Students. International Journal of Science and Research (IJSR), 9(5), 2018�2021. https://doi.org/10.21275/SR20504141448

 

Utami, R., & Widodo, P. (2015). Efektivitas Komunikasi Interpersonal Remaja-Orangtua Dan Kematangan Karir Pada Siswa Kelas Xii Smk Negeri 7 Semarang. Jurnal Empati, 4(4), 267�271.

 

Copyright holder:

Juwandy Firmansyah, Frida Kusumastuti (20223

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: