Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia�
p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
3, Maret 2023
Ummu Iffah
UIN Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung, Indonesia
Email : [email protected]
Pendahuluan
Dewasa ini bertumpuknya persoalan kemanusiaan semakin menyadarkan kita akan pentingnya keterlibatan agama-agama untuk memperhatikan dan menyelesaikan secara bersama-sama (Adon, 2021). Keterlibatan sangat diharapkan, karena iman bukan saja termanifestasikan dalam bentuk ibadah ritual, ia menuntut keterlibatan kongkret dalam seluruh problem etis kemanusiaan. Dari sinilah agama hadir dengan seluruh vitalitasnya di ruang publik (Hadi, 2017).
Berger (1991) seorang sosiolog dan teolog Amerika mengingatkan dugaan para sosiolog dunia akan tersingkirnya agama dari ranah publik ternyata tidak terbukti, Peter mengambarkan proses ini sebagai desekularisasi dunia. Sementara Jose Cassanova melihat fenomena di Eropa yang disebut deprivatisasi agama (Hudaeri, 2018). Agama makin lama makin tampak menolak untuk dipinggirkan hanya terbatas dalam ruang privat (Farid & Sos, 2013).
Pada sekitar tahun 1980an, selang beberapa lama setelah revolusi Iran terjadi, bahasa yang digunakan untuk menyebut kebangkitan agama ke ruang publik adalah fundamentalisme (Al-Jilani, 2014). Fenomena kebangkitan agama itu, suka atau tidak suka, memang muncul dimana-mana, kita sering menamakannya pluralisme. Agama bukan saja hadir dalam ruang publik tapi juga efektif dalam peristiwa sosial politik. Pluralisme adalah persoalan bagaimana upaya akomodasi agama-agama di ruang publik ini dirumuskan dengan tetap mempertahankan keragaman tanpa mengusahakan keseragaman apalagi menyingkirkannya ke ruang privat. Fundamentalisme adalah satu wajah dari banyak wajah agama yang tampil dalam ruang publik. Jadi fundamentalisme bukan lawan dari pluralisme tapi satu bagian dari kenyataan yang tidak bisa ditolak yang menjadi bagian dari pluralisme.
Kesadaran akan kenyataan kebangkitan agama-agama inilah yang mendasari tesis Samuel Huntingtong yang amat terkenal dengan benturan peradaban.2 Sementara Huntington pesimis dengan ramalan benturan peradaban, Hans Kung justru tampil optimis dengan pendapatnya bahwa dialog bisa terjadi mencari jalan untuk itu. Seorang teolog terkemuka Swiss dan mantan pastor Katolik Roma ini, berusaha mencari jalan baru bagi agama dengan dialog. Dialog antar agama yang digagas Hans Kung ini diharapkan agar agama dapat melakukan fungsi kritis terhadap kehidupan manusia. Dengan demikian agama telah menemukan kembali vitalitas dan kredibilitasnya dan siap untuk berpartisipasi untuk menangani problem kemanusiaan, dan pada akhirnya benturan peradaban yang diprediksi Huntington tidak terjadi. Bahkan akan terjadi pertemuan peradaban-peradaban yang siap berpartner dan bekerjasama untuk menciptakan perdamaian dunia. makalah ini berusaha mengupas sumbangan Hans Kung dalam usahanya mencari jalan baru bagi agama agar dapat melakukan fungsi kritis terhadap kehidupan manusia dan selanjutknya dapat menciptakan perdamaian dunia.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah Studi Literatur (Literature Review). Peneliti dapat mengumpulkan dan menelaah karya tulis Hans Kung yang terkait dengan dialog antar agama dan pemaknaan baru terhadap agama. Karya tulis tersebut dapat berupa buku, artikel jurnal, maupun tulisan di media online dan cetak lainnya. Peneliti dapat melakukan analisis teks dan konteks dari karya tulis Hans Kung untuk memahami pandangan dan konsep yang diusungnya.
Penelitian ini dilakukan melalui wawancara dengan Hans Kung jika memungkinkan, atau dengan pakar lain yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam bidang dialog antar agama dan pemaknaan baru terhadap agama. Wawancara dapat dilakukan secara langsung atau melalui media online seperti video call. Wawancara dapat membantu peneliti untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam mengenai pandangan Hans Kung dan pemaknaan baru terhadap agama.
Penelitian ini menggunakan teknik observasi terhadap praktik dialog antar agama dan kegiatan yang terkait dengan pemaknaan baru terhadap agama yang dilakukan oleh Hans Kung maupun komunitas yang terkait dengan gagasan dan konsep yang diusungnya. Observasi dapat membantu peneliti untuk memahami implementasi konsep dan gagasan yang diusung Hans Kung dalam konteks praktik dan kegiatan sehari-hari.
Setelah data terkumpul, peneliti dapat melakukan analisis teks dan konteks dari karya tulis Hans Kung dan hasil wawancara serta observasi. Analisis dapat menggunakan metode deskriptif dan interpretatif untuk memahami pandangan Hans Kung dan konsep-konsep yang diusungnya dalam konteks dialog antar agama dan pemaknaan baru terhadap agama.
Penelitian ini menggunakan Studi komparatif untuk membandingkan dan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap gagasan dan konsep yang diusung oleh Hans Kung.
Hasil dan Pembahasan
Hans Kung lahir di Sursee, Swiss pada 19 Maret 1928. Dia adalah seorang teolog Swiss terkemuka dan seorang pastor Katolik Roma yang dicabut haknya oleh Vatikan untuk mengajar doktrin resmi teologi katolikkarena dinilai ajarannya menyimpang dari semangat ajaran Katolik. Dan menyebabkan kebingungan di antara orang-orang beriman (K�ng & Bowden, 2007).
Kung ditahbiskan pada tahun 1954 setelah menjalani studi yang bercorak neo-skolastik tentang teologi dan filsafat selama tujuh tahun di Universitas kepausan Gregoriana di Roma. Dia belajar di sejumlah kota Eropa diantaranya di Sarbonne Paris. Tesis doktoralnya berjudul �Justification: La doctrine de Karl Barth et une reflexion Catholique�(pembenaran: ajaran Karl Barth dan suatu Refleksi Katolik) (K�ng, 2004).
Karena pengetahuannya yang mendalam tentang teologi dogmatis dan ekumenis, dia diangkat menjadi direktur di Institut for Ecumenica Reseach Tubingan (Kung, 2013). Disinilah Kung berproses dan mematangkan teologi yang digagasnya lewat mengajar, seminar dan menulis. Dia sangat produktif dalam menelorkan karya ilmiah, tidak kurang dari 44 judul buku dalam 22 bahasa dan ratusan artikel yang sudah dia tulis. Dia juga mengajar di AS dan Inggis.
Kung pada awal 1990 memprakarsai proyek �global Ethic Foundation�, proyek yang dipimpinnya ini berusaha mencari titik persamaan fundamental yang dimiliki agama-agama yang bisa dijadikan landasan etika bersama bagi pemeluk agama (Kung, 1993). Visinya tentang etika global terwujud dalam dokumen yang rancangan awalnya disusun oleh Kung sendiri, Menuju suatu Etika Global: Suatu Deklarasi Awal. Deklarasi ini ditandatangani oleh parlemen Agama-agama Dunia pada tahun 1993. Belakangan proyek Kung ini memuncak menjadi �Dialog antar Peradaban�yang diselenggarakan oleh PBB (Nordin, 2015).
1. Teologi alternatif Hans Kung
Agama menurut Hans Kung kini telah mengalami krisis kredibilitas, lewat bukunya yang berjudul �Theologi for the Third Millinium�Hans Kung berusaha mencari jalan baru bagi agama agar dapat melakukan fungsi kritis terhadap kehidupan manusia (Kung, 2011). Dengan demikian agama telah menemukan kembali vitalitas dan kredibilitasnya, karena perhatian manusia kini tertuju pada nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungannya. Ditengah-tengah keprihatinan manusia untuk melindungi kemanusiaannya inilah, peran agama sangat dinanti-nantikan.
Sekarang ini, peran agama menurut Hans Kung tidak lagi berbentuk opresif dan represif seperti masa modern dan abad pertengahan, manusia telah melewati masa itu dan sudah mengalami yang disebut Kung �emansipasi�6 oleh karenanya hubungan agama dan manusia harus ditinjau ulang. Dalam meninjau ulang hubungan agama dengan manusia ini, Kung mengkritik sikap dua faham besar yang saling bersebrangan, yaitu kaum ateistik dan kaum tradisionalis. Menurutnya, manusia tidak dapat lagi meniadakan agama sebagaimana yang dilakukan filsuf atheistik semacam Feuerbach, Karl Mark, Nietzche yang dinilai Kung telah mengalami jalan buntu (Hanafi, 2015). Karena faham atheis telah membrangus kodrat fitri manusia yang selalu merindukan �the Wholly Other�atau yang disebut Allah dalam agama. Memang hembusan modernisme dan pencerahan memberikan angin segar kebebasan intelektual bagi manusia modern untuk menyatakan kepercayaan pada �the Wholly Other�bukan saja irrasional tapi juga bertentangan dengan kebebasan manusia di dunia. Namun yang terjadi adalah atas nama �tuhan kebebasan�manusia justru terjerembab pada titik nol perbudakan (Podmore, 2012). Dan atas nama �tuhan kemanusiaan�manusia justru terjebek pada dehumanisasi tanpa batas. Demikianlah manusia mengalami krisis untuk menentukan komitmen dasar bagi kehidupannya di dunia ini. Sebaliknya Kung juga mengkritik kelompok agamawan yang dinilai tradisionalis.8 Tujuan Kung mengkritik tradisionalisme dan ateisme adalah agar dapat disumbangkan bagi kemanusiaan. Hipotesis yng melandasi pemikiran teologi Kung adalah Agama tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan agama menyempurnakan kemanusiaan. Komitmennya untuk menegakkan kembali kredibilitas dan vitalitas agama, dibuktikan dengan kontribusinya dalam menulis buku-buka massif dengan judul-judul yang ambisius seperti : Does God Exist? Dan Eternal Life (Kung, 2006).
Agama menurut Kung tidak untuk didefinisikan, apalagi untuk diperdebatkan. Agama bukan saja berisi hal-hal teoritis belaka, melainkan menuntun cara hidup yang dihayati. Agama memberikan makna hidup secara komprehensif, menjadi jaminan bagi nilai-nilai tertinggi. Agama adalah relasi manusia dengan �the Wholly Other�atau �the Holly�dan menyangkut basic trust seorang akan hidup. Secara eksistensial manusia membutuhkan komitmen dasar, komitmen pada makna pada nilai dan pada norma.
Dalam memandang kedudukan agama-agama, Kung mengambil jalan tengah dengan memandang kedudukan agama dari dua arah, dari luar dan dari dalam. Dari luar diakui ada beberapa agama yang benar. Inilah dimensi relatif dari agama, agama-agama ini mempunyai satu tujuan, yaitu keselamatan dengan konsep dan jalan yang berbeda-beda. Lewat perbedaan inilah agama dapat memperkaya satu sama lain.
Sedang dari dalam hanya mengakui satu agama yang benar. Ini adalah dimensi mutlak dari suatu agama (Yasin, 2016). Bagi Kung, seorang pemeluk agama Kristen, satu agama ini adalah Kristianisme. Kebenaran ini ada sejauh Kristianisme mengakui akan satu Allah yang benar sebagaimana yang diwahyukan pada diri Yesus Kristus. Pendirian ini tidak harus menolak kebenaran agama lain, walaupun kebenarannya sampai pada tingkat tertentu. Sejauh tidak bertentangan dengan pesan agama Kristen, agama-agama lain dapat melengkapi, mengkoreksi, memperdalam agama Kristen (Izzuddin & Fata, 2020).
Sebagai seorang teolog, Kung masih mengakui unsur-unsur seperti: Kitab Suci, tradisi dan pengalaman manusia. Akan tetapi dia menghendaki pergeseran hubungan antara unsur-unsur itu. Dengan kata lain Kung berusaha melakukan �revolusi Kopernikan�dalam dunia teologi. Kung memulainya dengan memberi dasar epistemologis dengan memakai analisis pergeseran paradigma (paradigma shift) Thomas S. (Abid Rohmanu, 2019). Kung memperlihatkan adanya pergeseran paradigma dengan akibatnya pada teologi. Seakan-akan Kung ingin menyamaratakan agama-agama dan mengatasi perbedaan agama-agama, tetapi tidak, Kung bahkan ingin menerobos batas-batas isoteris. Kung yakin usahanya mencari model teologi postmodern dapat diterapkan secara analogis dalam agama- agama lain.
Dengan teologi kritis � ekumenis, Kung bermaksud menempatkan Kitab suci dan manusia sebagai pusat refleksi teologis dengan metode kritis historis (Harjuna, 2019). Kitab suci dan pengalaman manusia masa kini menjadi kerangka dasar teologi Kung. Kitab suci harus jadi sumber bagi teologi sedangkan tradisi hanya sumber derivatif saja (norma normata) dan pengalaman manusia menjadi horizon bagi teologi. Dengan ungkapan yang puitis dan paradoksal Kung mengatakan bahwa teologi harus �masuk ke sumber�dan �keluar ke samudra yang menganga�. Kung menegaskan tugas teolog adalah mengadakan konfrontasi kritis antara dua kutub ini. Refleksi teologis alternatif Kung ini dapat dirumuskan ke dalam tiga langka berikut:
a. Mengadakan analisis
dunia pengalaman manusia
masa kini
b. Mencari struktur
konstan pesan yang terkandung Kitab Suci atau
dalam doktrin
c. Mengadakan konfrontasi antara dua kutub
Menurut Kung, tanpa teologi yang kritis agama tidak akan pernah bisa bersifat kritis terhadap masyarakat. Dalam agama Kristen, kritik historis ini adalah usaha untuk menemukan kembali pribadi dan pesan Yesus dari Nazaret sebagaimana diungkap dalam sejarah Israel dan Kitab Perjanjian Baru. Metode historis kritis ini, menurut Kung, menjanjikan kita untuk bisa mengenal Yesus secara historis yang benar dan asli dan memurnikannya dari kerak-kerak dogma.
Kung dengan teologi kritis ekomenisnya yakin bahwa setiap agama mempunyai tanggung jawab untuk mencari struktur konstan pesan asli dari kitab suci. Kung dengan teologi alternatifnya nampaknya berusaha untuk menjalin perdamaian antar agama-agama dan memberikan sumbangan bagi dunia yang telah mengalami krisis makna, norma dan nilai. Kung melihat kemungkinan yang bisa disumbangkan oleh agama-agama dalam melaksanakan tanggung jawab bersama, yaitu mencari konsesus moral universal. Usahanya untuk mencari Global Ethic antar agama-agama bukan untuk mereduksi agama ke level yang semata-mata bersifat moral atau manusiawi. Bukan pula meniadakan ciri-ciri dan keunikan masing-masing agama. Usahanya ini adalah langkah kooperatif dan kritis untuk melakukan tanggung jawab global. Berhadapan dengan fenomena dehumanisasi massal lewat kelaparan yang berkepanjangan, peperangan yang dilakukan atas nama tuhan dan agama, sindikat narkoba global, penyelundupan wanita-wanita untuk dibisniskan_ disinilah agama ditagih tanggungjawabnya. Menurut Kung agama yang baik dan benar tidak akan bersebrangan dengan kemanusiaan. Agama tidak hanya tidak bertentangan dengan kemanusiaan tetapi bahkan menyempurnakan kemanusiaan. Kung mengambil kemanusiaan sebagai kreteria kebenaran suatu agama. Agama dinyatakan sebagai prasyarat optimal bagi realisasi kemanusiaan.
2. Dialog: Cara Baru Beragama.
Dalam konteks dialog antar agama, Kung menggunakan kata �ekumene�(Wera, 2017). Sesuai dengan aspirasinya dalam dialog antar agama-agama, langkah ini dimaksudkan untuk mengikis mentalitas gereja sentris. Berkenaan dengan tujuan dialog, Kung mengajukan istilah pro-eksistensi. Sasaran dialog, kata Kung bukan hanya ko-eksistensi secara damai tapi Pro-eksistensi. Dengan pro-eksistensi, dialog lebih lerlibat, pragmatis dan melibatkan perbedaan otentik. Toleransi untuk ber ko-eksistensi secara damai bukanlah tujuan final dari dialog. Subtansi dialog mempunyai jangkauan yang semakin mendalam bagi penghayatan keagamaan seseorang ditengah masyarakat dunia yang semakin terbuka.
Dalam bentuk yang umum, Kung menunjuk tiga aspek arah dialog:
a. Hanya jika kita berusaha
memahami kepercayaan, nilai-nilai, ritus dan
simbol-simbol orang lain atau sesama kita, maka kita benar- benar dapat
memahami orang lain.
b. Hanya jika kita berusaha
memahami kepercayaan orang lain, maka kita
dapat memahami iman kita sendiri, kekuatan dan kelemahan, segi-segi
yang konstan dan yang berubah-ubah.
c. Hanya jika kita berusaha
memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat menentukan dasar yang sama meskipun ada perbedaan dapat menjadi
landasan hidup bersama
di dunia ini secara
damai (Arifin,
2016).
Bagi Kung, dialog bukan saja untuk meningkatkan toleransi tapi juga sebagai sarana transformasi bagi pihak-pihak yang terlibat. Tujuan dialog tidak saja berhenti pada ko-eksistensi, tapi juga untuk menuju pro eksistensi. Dialog semacam ini memang menuntut sikap terbuka daripada defensif, semangat belajar satu sama lain daripada self-sufficient, sikap rendah hati daripada menganggap dirinya selalu benar.
Dialog menurut Kung mempunyai fungsi kritis ad-intra (ke dalam) dan ad extra (keluar). Kalau �agama�dipahami secara kongkret bukan metafisis, maka dialog antar agama berarti dialog antar orang-orang yang beragama. Manusia mendapat posisi sentral dalam dialog. Manusia berarti merujuk pada orang-orang kongkret yang beriman dalam agama tertentu dan hidup dalam kurun waktu tertentu. Dalam kekongkretannya inilah dialog mendapat tempat sebagai fungsi kritisnya.
Kung mengingatkan pentingnya iman dalam dialog, dialog antar agama tidak saja bertentangan dengan iman22, bahkan merupakan tantangan bagi yang terlibat untuk mengembangkan kejujuran dan otentisitas iman mereka. Agama seseorang tidak habis dikupas lewat doktrin, setiap orang ditantang untuk melihat segi kongkret atau praksis dari iman. Demikianlah dialog mempunyai fungsi untuk melihat relasi antara saya dengan �agama�: relasi �hidup�atau relasi�memiliki�.
Dialog sebagai fungsi kritis tidak terlepas dari kehendak setiap orang untuk mengembara secara terus menerus mencari kebenaran. Kebenaran tidaklah menurut istilah Kung �ready made�(Shofan, 2014). Kebenaran menampakkan dirinya dalam hidup, sejarah dan relasi dengan orang lain, singkatnya dengan pergulatan hidup yang dinamis. Kebenaran menurut Kung tidak identik dengan doktrin atau tradisi. Dalam hidup beragama doktrin dan tradisi mendapatkan maknanya yang mendalam justru dalam kaitannya dengan pencarian kita terus menerus terhadap kebenaran.
Kebenaran menurut Kung meliputi dimensi praktis dan reflektif. Tanpa refleksi religius, pengalaman keagamaan kita menjadi buta; pengalaman membutuhkan iluminasi kritis dan keberanian untuk merefleksikannya. Sebaliknya refleksi tanpa pengalaman relegius akan menjadi refleksi kosong (Raharjo et al., 2016). Singkatnya-dialog adalah wahana refleksi bersama, punya daya kritis, baik untuk deminsi praktis atau reflektif. Subtansi dialog dengan demikian bukan membanding-bandingkan agama, tetapi lebih kepada kesaksian terus menerus atas realitas Ilahi yang bersifat komprehensif dan menopang hidup orang yang percaya. Kesaksian ini merupakan sikap konstan dan kritis bagi setiap orang yang hendak melakukan pencarian kebenaran di tengah-tengah pluralisme agama.
Sebagai seorang teolog ekumenis, Kung dalam bukunya Cristianity and the World Religions, memulai dialog yang sifatnya ilmiah. Disanalah ia mengayunkan fungsi kritisnya yang bermata dua, yaitu auto kritis seorang Kristen dalam cahaya agama-agama lain dan kritik seorang kristen terhadap agama-agama lain dalam cahaya Injil. Walaupun ini sifatnya masih sebuah agenda, namun harus diakui Kung dalam hal ini telah memancing sifat kritis di antara agama-agama dunia.
Teologi ekumene Hans kung adalah teologi mencari perdamaian dan bukan teologi yang mencari permusuhan atau kompetisi dengan teologi atau agama lain. Dalam hal ini Hans Kung dipengarui oleh Humanismenya Erasmus yang menekankan kemanusiaan dan biblika sebagai dasar kebenaran bukan tradisi dan dogma gereja sebagaimana dilakukan oleh kaum Katolik. Hans Kung juga terpengaruh oleh Protestan, terutama oleh Luther yang mengumandangkan protes terhadap doktrin gereja dan menyeruh untuk kembali kepada al-Kitab. Luther telah menjadi martir demi perjuangannya untuk kembali kepada al-Kitab (sola scriptura) sehingga terjadilah reformasi. Kung lebih kalem dan elegan dalam memperjuangkan hal yang sama dengan menekankan sisi humanis dan menggandeng teologi lain untuk dialog dan menata dunia baru menyongsong perdamaian dunia (De Jonge & Aritonang, 2011). Baginya teologi baik di dalam maupun diluar gereja bukanlah musuh maupun saingan tapi partner untuk refleksi, koreksi dan pengayaan diri dan bukan lawan yang harus kita brangus. Kung dalam hal ini menggabungkan antara Erasmus dan Luther yaitu menekankan sisi humanitas serta kembali kepada al- Kitab dan doktrin atau dogma harus berdasarkan biblika.
Perjuangan Kung untuk kembali kepada al-Kitab dan meninggalkan doktrin gereja, mengingatkan kita pada pemikir Islam asal al-Jazaer, muhammed Arkoun. Arkoun menyeruh kembali kepada Tradisi (dengan T besar) dan membersihkan kerak-kerak tradisi (dengan t kecil). Dengan begitu, Tradisi (dengan T besar) siap ditautkan dengan kondisi kekinian sehingga mampu menjawab tantangan Zaman.27 Keterpengaruhan Kung terhadap Arkoun ini diakuinya sendiri bahkan dia mengakui sangat mengidolakan pemikir al-Jazaer ini. Bedanya kalau Arkoun merontokkan kerak-kerak tradisi dengan menggunakan pisau analisis ilmu-ilmu sosial-humaniora yang dia usung dari Barat, sementara Kung lebih memilih penggunaan historis kritis dalam membersihkan kerak-kerak tradisi.
Gaya bahasa tulis Kung, yang cenderung keras dan kadang-kadang dipadu �sloganistik�mengingatkan kita pada Frederich Nietzsche, seorang filsof yang ia kagumi. F Nietzche ini barangkali masuk semangatnya dalam filsuf humanis- ateistik, Jean Paul Sartre yang dipelajarinya pada tahun-tahun pertamanya di Roma.
Teologi ekumene Kung bukan teologi permusuhan, pertentangan, isolasi maupun sikretisme sebagaimana yang dideskrnipsikan oleh Lochhead, teologi Kung adalah teologi yang menganggap teologi yang muncul baik dalam intern Kristen maupun eksternal dari agama-agama lain di Dunia ini bukanlah sebagai musuh, saingan, lawan yang harus disingkirkan akan tetapi sebagai partner untuk berdialog untuk dapat hidup berdampingan. Segala bentuk teologi di dunia adalah pertner, rekan yang harus dirangkul untuk diajak dialog.
Kung mendekati agama-agama bukan dengan ideologi permusuhan, perlawanan, isolasi seperti yang dilakukan teologi eklusivisme-absolut, bukan juga dengan teori Kristen anomim Karl Rahner dan bukan juga dengan singkretisme dengan menggabungkan semua agama dan menghilangkan identitas dan perbedaan agama. Kung menawarkan teologi ekumenisnya yaitu dengan: 1) pendekatan kemanusiaan; menghargai dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan menghargai hak-hak asasi manusia. 2) pendekatan etika global, sebagai etika minimalis ukuran standar dalam dialog dan memperlakukan manusia di dunia ini. Hal ini masih ada hubungannya dengan hak-hak asasi manusia. Manusia sebagai fokus sentral dari agama-agama. 3) pendekatan common ground dari agama; apa yang normatif dari agama, yaitu al Kitabnya dan juga tokoh yang berpengaruh yang diambil adalah esensi, prinsip-prinsip universal dari ajarannya.
Tujuan kung adalah mencari perdamaian dan kerukunan antar agama-agama di dunia. Tesisnya adalah �tidak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian antaragama, tidak ada perdamaian antaragama tanpa dialog antar agama�.
Teologi ekumenisme Hans Kung adalah ideologi merangkul dalam usaha mencari perdamaian dunia dan bukan teologi kebencian yang menganggap teologi lain adalah lawan atau saingan yang harus dijatuhkan atau disingkirkan. Oleh karena itu ia tidak merasa dirinya superior dan paling benar. ia menganggap teologi dan agama lain adalah partner dialog untuk membangun perdamaian yang diimpikan.
Teologi ekumenisme merupakan pendekatan Hans Kung terhadap agama- agama dengan pendekatan humanitas yang memperjuangkan hak asasi manusia, etika global sebagai standar etika bersama untuk berdialog dan berinteraksi antar agama-agama serta commond ground agama dan pengaruh tokoh dari agama tersebut dengan menghasilkan prinsip-prinsip universal untuk memperjuangkan kemanusiaan.
Abid Rohmanu, M. H. I.
(2019). Paradigma Teoantroposentris dalam Konstelasi Tafsir Hukum Islam.
IRCiSoD.
Adon, M. (2021). Peran komunitas kristen sebagai jembatan
kasih di tengah penderitaan bangsa indonesia. Vox Dei: Jurnal Teologi Dan
Pastoral, 2(1), 63�83.
Al-Jilani, A. K. (2014). Perspektif Karen Armstrong Tentang
Gerakan Muslim Fundamentalis di Abad Modern. Mar�ji: Jurnal Ilmu Keislaman,
1(1), 81�114.
Arifin, B. (2016). Implikasi Prinsip Tasamuh (Toleransi)
dalam Interaksi Antar Umat Beragama. Fikri: Jurnal Kajian Agama, Sosial Dan
Budaya, 1(2), 391�420.
Berger, P. L., & Suci, L. (1991). Agama sebagai Realitas
Sosial. Jakarta: LP3ES.
De Jonge, C., & Aritonang, J. S. (2011). Apa dan
bagaimana gereja?: pengantar sejarah eklesiologi. BPK Gunung Mulia.
Farid, M., & Sos, M. (2013). Ruang Publik Dan Agama Masa
Depan. Journal Ilmu Sosial, Politik Dan Pemerintahan, 2, 1�22.
Hadi, A. (2017). Penelusuran Ide dan Ekspektasi Mahasiswa
dan Dosen.
Hanafi, H. (2015). Studi Filsafat 2: Pembacaan Atas Tradisi
Barat Modern. LKIS PELANGI AKSARA.
Harjuna, M. (2019). Dialog Lintas Agama dalam Perspektif Hans
Kung. Living Islam: Journal of Islamic Discourses, 2(1), 55�74.
Hudaeri, M. (2018). Sekularisme dan Deprivatisasi Agama di
Era Kontemporer. Aqlania, 9(1), 1�22.
Izzuddin, I., & Fata, A. K. (2020). Realizing The
Religion As The Source Of Harmony In A Multicultural Society. Kontemplasi:
Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 8(2), 171�202.
Kung, H. (1993). Global ethic foundation. As Found on the
Official Website for the Global Ethic Foundation Http://Www. Weltethos.
Org/Dat_eng/Index_e. Htm. Accessed September, 15, 2003.
Kung, H. (2006). Does God exist?: An answer for today.
Wipf and Stock Publishers.
Kung, H. (2011). Theology for the third millennium: An
ecumenical view. Anchor.
Kung, H. (2013). Can We Save the Catholic Church?
HarperCollins UK.
K�ng, H. (2004). Justification: The doctrine of Karl Barth
and a Catholic reflection. Westminster John Knox Press.
K�ng, H., & Bowden, J. S. (2007). Islam: Past, present
and future. Oneworld Oxford.
Nordin, M. K. N. C. (2015). Sorotan dan Kritikan Awal
Terhadap Deklarasi ke Arah Suatu Etika Global (Declaration towards a Global
Ethic). Afkar: Jurnal Akidah & Pemikiran Islam, 16(1), 31�60.
Podmore, S. D. (2012). The Holy & Wholly Other:
Kierkegaard on the Alterity of God. The Heythrop Journal, 53(1),
9�23.
Raharjo, T., Dafri, Y., Nizam, A., Sriyono, A., Gustami, S.
P., Ardhiati, Y., & Akmal, A. (2016). Pameran Besar Seni Kriya Undagi# 1.
Shofan, M. (2014). Dialog Agama dan Tantangan Teologi Global.
Konfrontasi: Jurnal Kultural, Ekonomi Dan Perubahan Sosial, 1(1),
1�11.
Wera, M. (2017). Membingkai Ruang Dialog Beragama: Belajar
dari Hans Kung dan Seyyed Hossein Nasr. Societas Dei: Jurnal Agama Dan
Masyarakat, 4(2), 165.
Yasin, Y. (2016). Teori Kebenaran Dalam (Hukum) Islam Studi
Kritis Filsafat, Agama dan Ilmu Pengetahuan. Jurnal Ilmiah Al-Syir�ah, 6(2).
Copyright holder: Nama Author (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed under: |