Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 3, Maret 2023

 

TEOLOGI ADVEN MENURUT ALFONSUS DE LIGUORI: ANALISIS KOTBAH MINGGU ADVEN I SAMPAI MINGGU ADVEN IV

 

Emanuel Teodorus Bulu

Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Adven merupakan masa yang penuh kidmat dan sukacita bagi umat Kristiani. Masa ini menjadi masa persiapan untuk menyambut kedatangan Tuhan untuk yang pertama kalinya pada hari raya natal yakni hari kelahiran Yesus Sang Juru Selamat. Masa ini juga merupakan sebuah masa persiapan menyambut kedatangan Tuhan untuk yang kedua kalinya pada penghakiman akhir zaman. Senada dengan itu, melalui kotbahnya pada minggu adven 1 sampai minggu adven IV, Alfonsus de Liguori merefleksikan bahwa masa adven memiliki pengalaman spiritual yang mendalam. Bagi Alfonsus, masa adven menjadi masa yang tidak sekadar sebagai masa persiapan hari raya natal, melainkan juga menjadi masa persiapan untuk menyambut kedatangan Tuhan untuk kedua kalinya pada penghakiman akhir zaman. Secara keseluruhan, permenungan penghakiman akhir menjadi fokus utama Alfonsus dalam ke empat kotbahnya tentang adven. Permenungan tentang penghakiman akhir tersebut diperkaya dan dipertegas oleh Alfonsus dengan beberapa gagasan tambahan seperti permenungan tentang kesengsaraan, permenungan tentang keselamatan, dan permenungan tentang cinta. Alfonsus menyebut penghakiman akhir itu sebagai hari Tuhan. Pada hari itu, Tuhan akan datang dan menjadi hakim yang kekal, agung, dan penuh kuasa bagi orang berdosa dan tidak berdosa. Oleh karena itu, bagi Alfonsus, umat beriman perlu untuk mempersiapkan penghakiman akhir itu agar memperoleh keselamatan pada saat Tuhan datang sebagai hakim. Keselamatan itu adalah pengharapan akhir seluruh umat beriman kristiani. Pengharapan itu menjadi kekuatan bagi manusia dalam penderitaan dan mampu menghayatinya dalam relasi cinta dengan Allah dan sesama.

 

Kata kunci: adven; penghakiman akhir; analisis; kotbah; alfonsus

 

Abstract

Advent is a season that full of solemn and joy for the Christians. This season bocomes a season of preparation to welcome the coming of the Lord for the first time on Christmas Day, the birthday of Jesus the Savior. It is also a season of preparation for the coming of the Lord for the second time at the end time of judgment. Similarly, through his sermon on 1st Sunday of Adven to the 4th Sunday of Advent, Alphonsus de Liguori reflects that advent season has a profound of spiritual experience. For Alphonsus, advent is a season not just as a preparation for Christmas, but also a preparation for the coming of the Lord for a second time at the end time of judgment. Overall, the final judgment reflection became Alphonsus's primary focus in his four sermons on advent. The reflection of the final judgment is enriched and confirmed by Alphonsus with some additional notions, such as the reflection about suffering, the reflection about salvation, and the reflection about love. Alphonsus refers to the final judgment as the day of the lord. On that day, the Lord will come and be an eternal, glorious, and powerful judge for sinners and sinless. Therefore, for Alphonsus, the faithful needs to prepare the final judgment to obtain the salvation when the Lord comes as a judge. That salvation is the ultimate hope of all Christian faithful. That hope strengthen the faithful in suffering and able to live in the relationship of love with God and others.

 

Keywords: �advent; final judgement; analysis; sermon; Alphonsus

 

Pendahuluan

Istilah adven berasal dari bahasa Latin �Advenire� atau �Adventus� yang berarti datang/kedatangan. Bahasa Yunaninya adalah Parousia. Bagi agama asli Yunani, kata Parousia (adventus) mengandung makna yang signifikan. Kata ini dipakai untuk menyambut kedatangan dewa-dewi mereka yang mengunjungi kuil-kuil mereka dalam sebuah perayaan keagamaan. Selain itu, kata ini juga biasa dipakai dalam tata etika peraturan kekaisaran. Kata ini dipakai untuk menyambut kedatangan seorang calon raja baru yang akan dinobatkan menjadi raja dan kunjungan pertama dari raja yang baru itu ke dalam istana kerajaan. Misalkan Adventus Augusti (the coming of Augustus) adalah istilah yang dipakai untuk menyambut kedatangan raja Augustus dan Adventus Divi untuk menyonsong hari penobatan raja Konstantinus (Martimort, 1985).

Dalam tulisan Kristen abad awal dan khususnya dalam Vulgata, kata �Adventus� mulai dipakai untuk menyambut kedatangan Yesus Kristus yang membawa penebusan bagi manusia melalui� sengsara, wafat dan kebangkitanNya (Martimort, 1985). Kata adven mulai dipakai dalam Gereja Katolik Roma sekitar abad ke V-VII. (Martasudjita, 1999) Kata ini dipakai untuk menunjuk sebuah masa (masa adven) dalam tahun liturgy Gereja Katolik Roma. Namun, sebelum resmi dipakai Gereja Katolik Roma, kata adven sudah dipakai di Perancis dan Spanyol. (Martimort, 1985) Dalam bentuk awalnya, yang bermula dari Perancis pada akhir abab VI dan sepanjang abad V, masa Adven merupakan masa persiapan menyambut Hari Raya Epifani, hari yang mana para calon baptis dibaptis menjadi warga Gereja. Masa persiapan ini agak mirip dengan Prapaskah dengan penekanan pada doa dan puasa.

Senada dengan itu, pada tahun 380, Konsili lokal Saragossa, Spanyol, menetapkan tiga minggu masa puasa sebelum Epifani. Berdasar dari peraturan Prapaskah, Konsili lokal Macon, Perancis, pada tahun 581 menetapkan bahwa mulai tanggal 11 November (pesta St. Martinus dari Tours) hingga Natal, umat beriman berpuasa tiga kali dalam seminggu yakni pada hari Senin, Rabu dan Jumat. Praktek serupa pun akhirnya menyebar ke Inggris. Di Roma, masa Adven belum ada. Baru pada abad VI, Roma mulai memaandang masa adven sebagai masa persiapan menyambut natal dengan ikatan pantang puasa yang lebih ringan.

Lalu dalam perjalanan waktu, Gereja secara bertahap mulai lebih membakukan perayaan Adven. Buku Doa Misa Gelasian, yang menurut tradisi diterbitkan oleh Paus St. Gelasius I (wafat pada tahun 496), adalah Paus pertama menetapkan Liturgi Adven selama lima Hari Minggu (Martimort, Dalmais, & Jounel, 1986). Di kemudian hari, Paus St. Gregorius I (wafat tahun 604) memperkaya liturgi ini dengan menyusun doa-doa, antifon, bacaan-bacaan dan tanggapan. Sekitar abad XI, Gereja menetapkan Minggu Adven Pertama sebagai awal tahun penanggalan Gereja. Dan akhirnya, Paus St. Gregorius VII (wafat tahun 1095) mengurangi jumlah hari Minggu dalam Masa Adven menjadi empat minggu (Martimort et al., 1986).

Masa adven adalah masa penuh kidmat dan sukacita untuk umat kristiani dalam mempersiapkan natal. Bolehlah dikatakan bahwa masa adven adalah masa persiapan natal. Jhon Power membenarkan hal tersebut. Tetapi menurutnya, masa adven tidak hanya soal persiapan natal. Masa adven memiliki arti yang kaya akan pengalaman spiritual dan lebih dalam dari sekedar sebagai persiapan natal. Jhon Power mengatakan bahwa;

�From being merely a commemoration of the birth of Christ at Bethlehem it came to be a celebration of the whole mystery of Incarnation and Redemption, embracing Crib, Cross and empty Tomb. The mysteries of Christ's earthly life began to be regarded as the initial triumph of Christ, the universal Ruler. Thus Christmas became a triumphal feast, recalling the triumph of the Cross, but chiefly looking to the final triumph of Christ, the Judge to come. The season of Advent shared in this new emphasis. It became a season of preparation, not merely for the coming of Christ at Bethlehem, but also for His second coming in the Parousia. In other words, it came to be a time of liturgical expectation a liturgy of Christian waiting for Christ. Seen thus, our Advent liturgy takes on a new meaning, and our Advent season can become a richer spiritual experience. Because Advent is meant to be a liturgy of waiting, an annual invitation to hope for the return of Christ.

Senada dengan pendapat Jhon Power, Katekismus Gereja katolik pun juga menjelaskan tentang makna adven sebagai berikut;

�Dalam perayaan liturgi Adven, Gereja menghidupkan lagi penantian akan Mesias; dengan demikian umat beriman mengambil bagian dalam persiapan yang lama menjelang kedatangan pertama Penebus dan membaharui di dalamnya kerinduan akan kedatangan- Nya yang kedua. Dengan merayakan kelahiran sang perintis (Yohanes Pembabtis) dan kematianya, Gereja mempersatukan kehendaknya;�ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil�, (Yoh 3;30)�.

Berdasar katekismus Gereja katolik ini, sederhananya bahwa ada dua poin besar yakni pertama, masa adven merupakan masa persiapan hari raya natal, yaitu memperingati kedatangan Putera Allah di antara umat manusia; kedua, masa adven juga merupakan masa persiapan yang mengarahkan dengan penuh harapan kedatangan Tuhan yang kedua pada akhir zaman.

Berbicara mengenai masa adven, Alfonsus Maria de Liguori juga memiliki pandangan yang serupa. Alfonsus juga berpandangan bahwa masa adven rupa-rupanya tidak hanya sekedar moment untuk merenungkan dan mempersiapkan masa natal, melainkan juga moment untuk merenungkan dan memperbarui pengharapan akan kedatangan Yesus Kristus di akhir zaman. Masa adven juga merupakan masa khusus untuk merenungkan penghakiman akhir yang mana Yesus Kristus datang untuk kedua kalinya. Alfonsus menyebut kedatangan Tuhan untuk kedua kalinya dengan istilah �General Judgment�.� Pada kedatangan yang kedua itu, Yesus akan datang sebagai hakim dengan penuh kuasa dan kemuliaan. Alfonsus tidak berbicara secara explisit mengenai masa adven. Namun, melalui kotbahnya, khususnya kotbah pada minggu adven I sampai minggu adven IV yang diambil dari buku Alfonsus berjudul �Sermon for All Sunday in the Year� (Rey-Mermet & Marchesi, 1989). diterjemahkan dari bahasa Italia ke bahasa Inggris oleh Nicholas Callan, tahun 1882, penulis tertarik dan ingin mendalami pemikiran Alfonsus tentang adven dengan menganalisa ke empat kotbahnya tersebut. Oleh karena itu, penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut; Menurut Alfonsus, dalam ke empat kotbahnya pada minggu adven I sampai minggu adven IV, masa adven pertama-tama bukan sekedar persiapan akan kedatangan Bayi Yesus yang lahir, melainkan juga untuk kedatangan Yesus Kristus pada akhir zaman. Untuk membuktikan hipotesis ini, pertama-tama penulis akan memberikan ulasan dan analisis tentang ke empat kotbah Alfonsus tersebut. Maka dalam bagian ini penulis akan mengangkat tema tentang �Teologi Adven Menurut Alfonsus de Liguori; Analisis Kotbah Minggu Adven I sampai dengan Minggu Adven IV�. Penulis melihat dan menimbang bahwa tema ini juga masih sangat relevan dengan konteks zaman sekarang. Ada pemahaman yang masih keliru tentang makna masa adven. Dewasa ini, masa adven masih dipahami sebagai masa persiapan natal semata. Masa adven tidak hanya sekedar persiapan natal, melainkan juga sebuah masa untuk merenungkan dan membarui pengharapan akan kedatangan Sang Penyelamat Yesus Kristus pada akhir zaman. Diharapkan dengan analisa ke empat kotbah Alfonsus tentang adven ini dapat membawa penghayatan iman yang lebih sempurna dalam menyambut Yesus Kristus pada kedatanganNya yang pertama kali di kandang Betlehem dan kedatanganNya pada akhir zaman.

 

Metode Penelitian

Penulis akan menggunakan metode penelitian kepustakaan. (Ramdhani, Ramdhani, & Amin, 2014) Dengan pendekatan studi pustaka ini, penulis akan memberikan ulasan dan analisis serta terutama dapat membuktikan hipotesa penulis yakni menurut Alfonsus, dalam ke empat kotbahnya pada minggu adven I sampai minggu adven IV, masa adven pertama-tama bukan sekedar persiapan akan kedatangan Bayi Yesus yang lahir, melainkan juga untuk kedatangan Yesus Kristus pada akhir zaman. Kotbah Alfonsus pada minggu adven I sampai dengan minggu adven VI akan dilihat sebagai sebuah kesatuan sekaligus dilihat secara parsial. Ke empat kotbah Alfonsus tersebut lebih bermuatan permenungan injil yang dilihat dari segi moral bukan dijelaskan secara eksegese yang terperinci dan mendalam. Ke empat kotbah Alfonsus berdasar pada kutipan suci yang berbeda-beda juga sesuai dengan bacaan pada setiap minggu adven. Hal ini juga membuat inti pemikiran setiap kotbah berbeda, tetapi merujuk pada satu kesatuan tema. Kotbah minggu adven pertama berbicara tentang penghakiman akhir yang berdasar pada injil Matius 24;30. Kotbah minggu adven kedua mengulas tentang kesengsaraan. Matius 9;2 menjadi dasar kutipan kitab suci Alfonsus. Lalu, pada kotbah minggu adven ketiga, Alfonsus memberi permenungan tentang sarana keselamatan yang berdasar pada kutipan injil Yoh 1;23. Sedangkan pada minggu adven keempat, permenungan cinta Tuhan kepada manusia dan kewajiban manusia bagaimana membalas cinta Tuhan menjadi poin refleksi akhir Alfonsus tentang adven. Permenungan ini berdasar pada kutipan injil Luk 3;6.

 

Hasil dan Pembahasan

A. Rangkuman Kotbah Minggu Adven 1 Sampai Minggu Adven IV

1.   Kotbah Minggu Adven 1

Dalam kotbah minggu adven I, Alfonsus mengajak dan mengantar para pendengarnya untuk masuk dalam sebuah permenungan tentang hari Tuhan. Hari Tuhan yang dimaksud adalah hari yang mana Tuhan akan datang sebagai hakim kekal pada penghakiman akhir dengan penuh kuasa dan kemuliaan. Alfonsus memulai permenungan ini dengan mengatakan bahwa kehadiran Tuhan tidak dikenal dan dibenci oleh orang-orang jahat dan berdosa. Mereka menganggap Tuhan seolah-olah tidak dapat berbuat apa-apa untuk membalas apa yang mereka lakukan (Ayub 22;17). Dengan menguutip Mzmr 9;17, Alfonsus ingin menunjukkan bahwa Tuhan akan datang dan dikenal oleh orang-orang jahat dan berdosa pada saat hari penghakiman tiba.�

Ada tiga poin besar yang menjadi fokus Alfonsus dalam menjelaskan tentang penghakiman akhir. Pertama, Alfonsus mengawali kotbahnya dengan memberi gambaran atau situasi penghakiman akhir bagi orang berdosa dan tidak berdosa yang mana Yesus sebagai hakim Kekal akan muncul di awan, penuh dengan kuasa dan kemuliaan (Mat 24;30). Kedua, Alfonsus menjelaskan bahwa pada saat penghakiman, Tuhan akan membuka �catatan buku hati nurani� dan penghakiman akan dimulai. Tuhan akan membuka semua hal tersembunyi yang ada dalam kegelapan dengan terang ilahinya (1 Kor 4;5). Sedangkan poin ketiga, Alfonsus menjelaskan tentang ganjaran bagi orang-orang terpilih dan tidak terpilih.� Poin ini memberi penegasan bahwa di akhir penghakiman, Tuhan akan memilih orang-orang tidak berdosa dan mengajak mereka bergabung dengan kemuliaan kekalNya di surga (Mat 25;34). Lalu pada akhir kotbahnya, Alfonsus menjelaskan bahwa Yesus akan mengampuni orang yang mau bertobat selama ia masih berada di dunia ini. Yesus adalah Bapa yang Maharahim. Oleh karena itu, Alfonsus mengajak para pendengarnya untuk bertobat dan senantiasa berdoa kepada Yesus dan Bunda Maria untuk karunia ketekunan hidup kudus.

2.   Kotbah Minggu Adven II

Dalam kotbah minggu adven II, Alfonsus mengajak para pendengarnya untuk merenungkan tentang kesengsaraan. Pada pengantar kotbah ini, Alfonsus mengatakan bahwa kesengsaraan itu merupakan hadiah dari Tuhan. Tuhan menginginkan kemalangan kita namun Ia juga menginginkan kesejahteraan kita. Oleh karena itu, Alfonsus mengajak umat untuk berterimakasih dan tidak menghindar dari kesengsaraan. Ia juga meyakinkan bahwa harus bersukacita karena Allah akan memperlakukan manusia yang menderita seperti Yesus putraNya sendiri yang menderita.

Ada dua poin penting yang ingin ditekankan Alfonsus dalam kotbah ini. Pertama, keuntungan dari kesengsaraan. Pada awal poin pertama ini, Alfonsus menjelaskan enam keuntungan yang diperoleh dari kesengsaraan antara lain; (1). Kesengsaraan membuka mata yang tertutup akibat kemakmuran. (2). Kesengsaraan mengambil semua hal-hal duniawi yang memengaruhi hati. (3). Kesengsaraan membebaskan manusia dari kemuliaan yang sia-sia, godaan kebanggaan, keinginan akan kemakmuran, memperoleh kekayaan yang besar, penghormatan yang besar, dan kesenangan yang bersifat sementara. Kesengsaraan akan membuat kita rendah hati dan puas dalam keadaan yang mana Tuhan telah menempatkan kita. (4). Kesengsaraan menebus dosa-dosa yang telah dilakukan jauh lebih baik dibandingkan dengan tebusan dosa secara sukarela. (5). Meyakinkan manusia bahwa hanya Tuhan yang mampu dan mau meringankan beban kesengsaraan. Melalui kesengsaraan, manusia kembali mengingat Tuhan dan memohon belas kasihan kepadaNya. (6). Kesengsaraan memungkinkan kita memperoleh kebaikan yang besar di hadapan Tuhan dengan memberi manusia kesempatan untuk menjalankan kebajikan kerendahan hati, kesabaran, dan penyerahan diri kepada kehendak yang Ilahi.

Sedangkan pada poin kedua, Alfonsus menunjukkan cara bagaimana harus menanggung kesengsaraan. Doa menjadi penekanan utama Alfonsus dalam poin ini. Berpaling dan berdoa kepada Tuhan merupakan cara menanggung kesengsaraan yang membuat manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Jika kesengsaraan itu belum berlalu, Alfonsus menegaskan bahwa teruslah bertekun dalam doa dan percaya total kepada Yesus sampai Ia mengasihani dan menghibur kesengsaraan yang diderita (bdk Mat 11; 24).

3.   Kotbah Minggu Adven III

Dalam kotbah minggu adven III, Alfonsus mengajak para pendengarnya untuk merenungkan tentang sarana keselamatan. Sarana keselamtan perlu supaya bisa selamat masuk surga pada penghakiman akhir. Bagi Alfonsus, sarana keselamatan itu adalah jalan lurus yang mengarah pada kebahagiaan abadi. Jalan itu adalah mematuhi perintah ilahi. Agar bisa berjalan di jalan Tuhan itu, Alfonsus mengajak para pendengarnya untuk jangan mengandalkan diri sendiri. Pada poin ini, Alfonsus menjelaskan bahwa untuk menjamin kehidupan kekal, manusia harus mengandalkan kekuatan Tuhan. manusia harus takut dan gemetar dengan kekuatannya sendiri. Alfonsus menegaskan bahwa orang yang mengandalkan Tuhan akan mendapat anugerah ilahi Tuhan. Mengandalkan kekuatan diri sendiri akan membawa pada kesengsaraaan dan tidak menjamin keselamatan jiwa pada penghakiman akhir tiba. Alfonsus juga menjelaskan soal percaya kepada Tuhan. Tekanan poin ini adalah kepercayaan yang tinggi kepada Tuhan akan membawa pada keselamatan kekal. Orang berdosa pun akan diselamatkan dan mendapat kehidupan kekal, ketika ia berbalik percaya kepada Tuhan. Tuhan akan menaruh belas kasihan kepada mereka yang datang dan menaruh percaya kepadaNya (Mzm 31;10).

4.   Kotbah Minggu Adven IV

Dalam minggu adven IV, Alfonsus membawa para pendengarnya pada permenungan tentang cinta Tuhan kepada manusia dan kewajiban manusia untuk membalas Cinta Tuhan itu. Dua poin tersebut menjadi poin utama yang dibagikan Alfonsus dalam kotbah minggu adven IV. Poin pertama memberi penekanan soal Cinta Tuhan yang sangat nyata bagi manusia. Cinta itu nyata dalam diri Yesus Kristus yang hidup, sengsara, wafat, dan bangkit untuk keselamatan seluruh umat manusia. mengutip kata-kata Agustinus, Alfonsus memberi penegasan awal poin ini bahwa Yesus datang ke dunia supaya manusia sungguh tahu betapa Tuhan sangat mengasihi manusia.

Alfonsus menekankan bahwa Yesus memberi diri sepenuhnya kepada manusia. Bisa saja Yesus Kristus menyelamatkan manusia tanpa harus menderita dan mati di kayu salib. Satu tetes darahnya saja sudah cukup untuk menebus dosa manusia. Bahkan doanya yang ilahi kepada BapaNya sudah bisa menyelamatkan seluruh dunia. Tuhan ingin membebaskan manusia bukan dari sebagian darahnya, tetapi keseluruhannya. Poin kedua berbicara soal kewajiban manusia untuk mencintai Tuhan. Pada poin ini, Alfonsus mengatakan bahwa Tuhan tidak menginginkan dan menuntut apapun dari kita, selain mencintai Dia yang telah lebih dulu mencintai manusia. Mencintai Tuhan adalah balasan cinta manusia atas cinta Tuhan itu. Oleh Karen itu, Alfonsus menegaskan bahwa mencintai Tuhan adalah sebuah kewajiban manusia. Pada bagian ini juga, Alfonsus mengajak para pendengarnya untuk membalas cinta Tuhan itu melalui meditasi, menerima sakramen-sakramen, serta berdoa kepada Yesus dan Bunda Maria.

B.  Hasil Analisis Kotbah Alfonsus

1.   Makna Adven

Makna adven tidak dijelaskan secara explisit dalam ke empat kotbah Alfonsus pada minggu adven I sampai dengan minggu adven IV. Alfonsus tidak menyinggung sedikit pun tentang makna adven apalagi menggunakan kata adven dalam ke empat kotbahnya. Selain itu, lingkaran adven yang merupakan sebuah hiasan mengarungi masa adven menuju perayaan natal (Borgias & Ena, 2008) juga tidak diulas Alfonsus dalam ke empat kotbahnya.

Menurut penulis, penekanan Alfonsus tentang makna adven dalam ke empat kotbahnya adalah permenungan tentang penghakiman akhir. Dalam kotbah minggu adven I � IV, kata penghakiman itu muncul sebanyak 31 kali. Kata ini muncul secara berbeda dalam tiap kotbah, sebanyak 25 kali dalam kotbah minggu adven I, sebanyak 3 kali dalam kotbah minggu adven II, sebanyak 2 kali dalam kotbah minggu adven III dan cuman sekali dalam kotbah minggu adven IV.

Nampak jelas bahwa dari uraian tersebut, kata penghakiman menjadi topik utama dalam kotbah Alfonsus. Intensitas kata penghakiman yang beruntun muncul secara menurun dalam setiap kotbah seakan-akan menjelaskan bahwa puncak penjelasan Alfonsus tentang penghakiman akhir ada pada kotbah minggu adven I. Bolehlah dikatakan bahwa hal tersebut menjadi semacam subyek utama penjelasan tentang adven. Sedangkan kotbah-kotbah selanjutnya menjadi semacam penjelasan atau gagasan tambahan yang memperkaya dan menegaskan subyek utama Alfonsus tersebut. Dalam kotbah minggu adven I, Alfonsus membawa para pendengarnya masuk dalam permenungan tentang penghakiman akhir. Ia menyebut penghakiman akhir itu sebagai hari Tuhan (the day of the Lord). Dalam gambaran tentang hari Tuhan itu, Alfonsus menjelaskan bahwa Tuhan yang adalah hakim utama dan kekal yang akan datang menghakimi orang tidak berdosa dan orang berdosa. Surga menjadi tempat akhir orang tidak berdosa dan neraka menjadi tempat akhir orang terkutuk dan berdosa. Setelah itu, dalam kotbah minggu adven II, kesengsaraan menjadi poin selanjutnya yang ingin dibagikan Alfonsus. Melalui poin ini, Alfonsus membawa para pendengarnya untuk merenungkan kesengsaraan di dunia ini sebagai anugerah Allah. Orang yang menderita selama hidup di dunia ini akan memperoleh surga jika ia mampu bertahan, berserah diri, dan percaya total kepada Tuhan. Begitupun sebaliknya, orang yang selama di dunia ini, hidup dalam dosa akan memperoleh ganjarannya pada penghakiman akhir tiba yakni mereka akan mendapat kesengsaraan kekal di neraka.� Lalu, dalam kotbah minggu adven III, Alfonsus seakan-akan memberi penegasan lagi tentang penghakiman akhir dengan menjelaskan tentang keselamatan. Pada penghakiman akhir tiba, orang hanya akan dapat selamat jika ia berada di jalan Tuhan yakni mematuhi perintah-perintah Tuhan selama ia hidup dunia ini.

Sedangkan pada kotbah terakhirnya pada minggu adven IV, Alfonsus menegaskan poin-poin di atas dengan menambahkan permenungan tentang cinta. Bagi Alfonsus, cinta menjadi semacam dasar utama Allah mencintai dan menyelamatkan manusia. Cinta Allah itu nyata dalam dan melalui cinta Yesus PutraNya sendiri yang diutus datang ke dunia untuk menebus dosa-dosa manusia melalui sengsara, wafat, dan kebangkitanNya. Yesus telah menunjukkan bahwa jalan menuju keselamatan itu berat dan tidak mudah. Jalan menuju keselamatan itu harus dilalui Yesus dengan penderitaaan sampai kematiaanNya di kayu salib. Dengan ini, Alfonsus mau menegaskan poin permenungan kesengsaraaan dan keselamatan. Lalu pada bagian selanjutnya, Alfonsus memberi penegasan tentang penghakiman akhir bahwa Tuhan akan datang untuk kedua kalinya pada penghakiman akhir tiba untuk mengadili dan menjadi Tuhan atas orang hidup dan mati. Oleh karena itu, Alfonsus mengajak para pendengarnya agar membalas cinta Tuhan dengan mencintainya kembali yang harus menjadi sebuah kewajiban. Bagi Alfonsus, Allah telah lebih dulu berinisiatif mencintai manusia, maka adalah sebuah kewajiban juga bagi manusia untuk mencintaiNya kembali. Allah tidak menuntut apapun dari manusia selain mencintainya kembali. Singkatnya, bolehlah dikatakan bahwa Cinta dibalas cinta.

2.   Adven Adalah Permenungan Tentang Penghakiman Akhir

Permenungan penghakiman akhir menjadi fokus utama Alfonsus dalam ke empat kotbahnya tentang adven. Gambaran yang dipakai Alfonsus untuk mnejelaskan penghakiman hampir sama dengan gambaran tradisional pada umumnya yakni bahwa penghakiman adalah ruang pengadilan (Hentz, 2005). Yesus datang dan duduk di kursi kehormatan. Yesus dibantu oleh para orang kudus, Bunda Maria, dan seluruh penghuni surga. Mereka yang diadili berdiri di depan dengan takut dan gemetar. Bagi Alfonsus, mereka yang dimaksud di sini adalah orang berdosa dan tidak berdosa. Setelah itu, catatan perilaku mereka dibacakan. Alfonsus menyebutnya sebaagi pembacaaan catatan buku hati nurani. Lalu pada akhirnya, penghakiman diputuskan. Bagi Alfonsus hanya ada dua putusan hakim yakni surga atau neraka. Artinya bahwa surga menjadi putusan hakim umtuk mereka yang disebut Alfonsus sebagai orang terpilih atau orang tidak berdosa dan neraka untuk mereka yang bukan merupakan orang terpilih atau orang berdosa.

Orang tidak berdosa dan berdosa, orang terpilih dan tidak terpilih, surga dan neraka merupakan beberapa kata kunci yang dipakai Afonsus. Kata-kata itulah yang juga muncul dominan beriringan dengan kata penghakiman. Nampaknya Alfonsus mau memberi gambaran sederhana bahwa pada penghakiman akhir itu, orang berdosa akan masuk neraka dan orang tidak berdosa akan masuk surga. Yesus sebagai hakim kekal akan datang dengan kuasa dan kemuliaan untuk menghakimi orang tidak berdosa dan orang berdosa. Pada putusan penghakiman itu, Yesus akan memilih orang tidak berdosa sebagai orang pilihannya yang akan masuk dan bergabung bersamaNya dalam kemuliaan surgawi (termasuk mereka yang berada dalam api penyucian) (Margaret, 2021) dan akan mengutuk serta memasukkan orang berdosa yang bukan merupakan orang pilihannya ke dalam api neraka sebagai tempat yang terkutuk. Menurut Otto Hentz, gambaran dramatis tersebut memesona dan membangkitkan tanggapan serius (Hentz, 2005). Oleh karena itu, pada poin-poin selanjutnya Alfonsus seakan-akan ingin membawa para pendengarnya untuk menanggapi fokus utama yang telah dijelaskan dalam kotbah minggu adven I tentang penghakiman akhir.

3.   Permenungan tentang Kesengsaraan

Kesengsaraan menjadi poin berikutnya yang ingin dijelaskan Alfonsus. Pada umumnya, poin ini dijelaskan Alfonsus dalam kotbah minggu adven II. Bagi Alfonsus, kesengsaraan merupakan anugerah Tuhan untuk manusia. Dasar gagasan teologis Alfonsus ini adalah kehidupan dan penderitaaan Yesus Kristus sendiri. Sebagaimana Allah telah memerlakukan AnakNya Yesus Kristus, yang hidupnya di atas bumi ini penuh dengan kesengsaraan, Allah juga akan melakukan hal yang sama bagi mereka yang seperti Yesus taat dan berserah diri dalam penderitaan pada kehendak ilahi. Oleh karena sebuah anugerah Tuhan, manusia tidak boleh menghindar dari kesengsaraan itu, tetapi manusia harusnya bersukacita dan berterimakasih. Lebih tegas lagi, Alfonsus mengatakan bahwa jika mau selamat, manusia harus tunduk pada kesengsaraan. Hal ini berarti bahwa melalui kesengsaraan, manusia akan dapat masuk dalam kerajaan Allah (bdk. Kis 14;21). Oleh karena itu, bentuk terimakasih yang dinginkan Alfonsus adalah sikap siap menanggung dan mengambil keuntungan dari kesengsaraan itu. Salah satu keuntungan terbesarnya bagi mereka yang siap menanggung kesengsaraan itu adalah jaminan hidup kekal di surga pada putusan penghakiman akhir tiba. Sedangkan bagi mereka yang tidak menanggungnya, akan mendapat jaminan kesengsaraan abadi di neraka.

Secara lebih mendalam, Alfonsus menekankan bahwa jaminan hidup kekal di surga hanya akan menjadi milik orang-orang yang mampu menanggung kesengsaraan yang dialami selama hidup di dunia. Sederhananya, penderitaan di dunia berpahala besar di surga. Lalu pertanyaannya, bagaimana harus menanggung kesengsaraan itu, apalagi jika penderitaan datang bertubi-tubi?

Rupa-rupanya, Alfonsus telah mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan tersebut yang bisa saja menjadi pertanyaan para pendengarnya waktu itu. Menurut Alfonsus, cara paling ampuh untuk bisa menanggung penderitaan di dunia adalah berdoa. Melalui doa, manusia akan dihantar pada sikap taat dan berserah diri total kepada Allah. Orang yang menanggung kesengsaraan itu dengan taat dan berserah diri kepada kehendak Ilahi akan dapat pasti menanggung penderitaan itu dan mengambil keuntungan dari itu. Alfonsus meyakinkan pendengarnya bahwa jika penderitaan itu datang tanpa henti, saat itu pulalah Allah menginginkan manusia agar datang berpaling, berdoa dan berdoa tanpa henti kepadaNya. Tuhan tidak akan pernah mencobai manusia melebihi kemampuannya. Tuhan akan menganugerahkan sikap sabar untuk menanggung penderitaan itu. Dengan bersabar dalam segala penderitaan di dunia, sebagian besar dan mungkin bagian mahkota yang dipersiapkan di surga telah selesai. Artinya surga akan menjadi tempat kebahagiaan kekal. Untuk menegaskan hal itu, Alfonsus mengutip pernyataan Krisostomus bahwa Salib Kristus adalah kunci surga. Rupa-rupanya melalui kutipan ini, kesengsaraan yang dialami dunia ini mau dilihat Alfonsus sebagai salib Kristus yang juga harus ditanggung oleh manusia sebagai kunci untuk masuk dalam kemuliaan kekal bersamaNya di surga.

Sedangkan bagi mereka yang tidak mau menanggung �Salib Kristus� itu, yang juga hidupnya di dunia penuh dengan dosa dan kesenangan duniawi belaka, akan mendapat kesengsaraan abadi di nereka. Alfonsus menggambarkan dengan sangat menakutkan bahwa mereka akan dikumpulkan sebagai domba untuk pengorbanan, dan dipersiapkan untuk hari pembantaian. Pada hari pembantaian tiba, mereka akan dikumpulkan, dikorbankan sebagai korban kemurkaan dan dimasukkan dalam kematian yang kekal di neraka.� Mengenai hal ini, Du Hamel berkomentar bahwa hari pembantaian itu adalah hari kemurkaan Allah bagi mereka. Rupa-rupanya, hari kemurkaan Allah yang dimaksud di sini ialah hari Tuhan yang mana ia akan datang sebagai hakim kekal bagi mereka yang diadili pada hari penghakiman itu. Artinya bahwa hari pembantaian itu adalah penghakiman akhir.

4.   Adven adalah Permenungan tentang Keselamatan

Dalam kotbah minggu adven III, Alfonsus menjelaskan permenungan tentang keselamatan. Isi singkat permenungan ini adalah Alfonsus ingin menjelaskan kepada para pendengarnya bahwa keselamatan menjadi kerinduan semua orang. Semua orang ingin selamat dan menimkati kemuliaan firdaus. Namun untuk mendapatkan firdaus, harus perlulah berjalan lurus yang mengarah pada kebahagiaan abadi. Jalan lurus yang dimaksud di sini adalah mematuhi perintah Allah. Agar bisa berjalan di jalan Tuhan itu, Alfonsus mengajak para pendengarnya untuk percaya dan mengandalkan Tuhan serta mampu melawan godaan.

Melihat dan menimbang isi singkat tersebut, nampaknya bahwa permenungan keselamatan ini masih berhubungan dengan poin sebelumnya. Poin permenungan ini seakan-akan mau menegaskan permenungan tentang penghakiman akhir dan permenungan tentang kesengsaraan. Melalui poin ini, rupa-rupanya alfonsus ingin menjelaskan bahwa agar selamat dan menikmati kebahagiaan abadi di surga pada penghakiman akhir, manusia harus perlu berjalan di jalan Tuhan yakni mematuhi perintah-perintahnya. Selain itu, dengan permenungan tentang keselamatan, poin tentang kesengsaraan juga diberi penegasan ulang bahwa percaya, berserah diri kepada Allah, serta siap menanggung dan kuat dalam pendertiaan menjadi sarana keselamatan menuju kebahagiaan abadi di surga.

Bagi Alfonsus, poin percaya, mengandalkan Tuhan, serta kuat dalam melawan godaan adalah semacam harga mati yang tak bisa ditawar-menawar untuk sebuah keselamatan. Ketiga poin ini berkaitan erat satu sama lain. Sederhananya, percaya berarti mengandalkan Tuhan. Untuk mampu bertahan dalam godaan, manusia harus percaya dengan mengandalkan Tuhan.

Secara lebih mendalam. Alfonsus menguraikan ketiga poin tersebut. Melalui poin jangan mengandalkan diri sendiri atau dengan kata lain mengandalkan Tuhan, Alfonsus ingin menjelaskan kepada para pendengarnya bahwa mengandalkan kekuatan Tuhan berarti jaminan untuk kehidupan kekal. Manusia harus takut dan gemetar dengan kekuatannya sendiri. Takut pada kekuatan sendiri berarti manusia mengandalkan Tuhan yang akan membuatnya terhindar dari dosa, bahaya besar, dan selalu mengarahkannya kepada Tuhan. Sedangkan orang yang tidak takut dan mengandalkan diri sendiri akan jauh dari Tuhan dan mudah jatuh dalam dosa. Untuk lebih menguatkan poin ini, Alfonsus mengambil contoh kisah santo Petrus yang menyangkal Tuhan. Bagi Alfonsus, santo Petrus mengalami efek menyedihkan dari mengandalkan kekuatan diri sendiri. Yesus Kristus berkata kepadanya: �Di malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau akan menyangkal Aku tiga kali� (Matius 26;31). Dengan percaya pada kemauaannya sendiri, Rasul Petrus menjawab. �Ya, walaupun saya harus mati bersamaMu, saya sekali-kali tidak akan menyangkal Engkau� (ayat 35). Namun pada kenyataannya, pada malam Yesus Kritus telah diambil, Petrus dicela dan celaan itu membuat ia takut, menyesal, lalu menangis: ia tiga kali menolak Gurunya dan bersumpah bahwa dia tidak pernah mengenalNya.

Oleh karenn itu, Alfonsus meyakinkan para pendengarnya bahwa orang yang mengandalkan Tuhan akan mendapat anugerah ilahi dari Tuhan. Anugerah ilahi Tuhan yang dimaksudkan adalah keselamatan itu sendiri. Sedangkan orang yang mengandalkan kekuatan diri sendiri akan membawa dirinya sendiri pada kesengsaraaan dan tidak menjamin keselamatan jiwanya pada penghakiman akhir tiba.

Untuk lebih menegaskan poin pertama tersebut, poin selanjutnya Alfonsus menjelaskan soal percaya kepada Tuhan. Pada poin ini, Alfonsus lebih menuntut lagi agar level percaya kepada Tuhan ditingkatkan mencapai batas yang tak tehingga. Artinya bahwa manusia sunggguh-sungguh hanya mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Dengan itu, Alfonsus mau menekankan bahwa kepercayaan yang tinggi kepada Tuhan akan membawa pada keselamatan kekal. Orang berdosa pun yang berbalik dan percaya sungguh-sungguh kepada rahmat Tuhan, akan juga diselamatkan dan mendapat kehidupan kekal. Tuhan akan menaruh belas kasihan kepada mereka yang datang dan menaruh percaya kepadaNya (Mzm 31;10). Santo Petrus yang telah berdosa dengan menyangkal TuhanNya sendiri, menyesali perbuatan dan kelemahannya serta berbalik kepada Tuhan. Akhirnya, ia mendapat tugas yang sangat penting setelah ia meninggal yakni memegang kunci kerajaan surga.

Sedangkan pada poin terakhir, Alfonsus berbicara soal bagaimana menahan godaan. Poin ini merupakan poin yang memberi penegasan soal poin mengandalkan Tuhan dan percaya kepada Tuhan. Selain itu, poin ini juga mash berkaitan dengan poin permenungan kesengsaraan. Rupa-rupanya, pada poin ini, Alfonsus ingin juga meningkatkan level sikap menanggung kesengsaraan dari awalnya yang hanya sebagai sikap percaya semata menjadi jalan keselamatan menuju kebahagiaan kekal. Maka dari itu, pada poin ini, Alfonsus tidak memakai kata cara menanggung kesengsaraan, tetapi kata menahan godaan. Kalau dilihat secara sepintas, dua kata ini memiliki makna yang sama, tetapi sebenarnya berbeda. Menanggung kesengsaraan berarti sikap siap berpasrah pada kesengsaraan. Sedangkan menahan kesengsaraan berarti melawan kesengsaraan itu. Makna melawan kesengsaraan seakan berarti negative. Namun yang dimaksud Alfonsus tentang melawan godaan adalah manusia harus memiliki sikap yang keras terhadap diri sendiri. Sikap yang keras terhadap diri sendiri diperlukan untuk tekun berdoa kepada Tuhan. Artinya bahwa dalam godaan yang hebat dan berbahaya, yang membuat manusia bisa sangat menderita, manusia harus sungguh bersikap keras terhadap diri sendiri untuk tekun berdoa agar tidak berpaling dari Tuhan.� Sikap keras terhadap diri sendiri diperlukan karena jalan menuju surga itu tidak mudah. Bagi Alfonsus, jalan menuju keselamatan bagaikan gerbang dan selat yang sempit dan hanya sedikit yang mampu melewati jalan itu (bdk Matius 25;14). Jarang ada yang melewati jalan itu jika melalui jalan kesenangan. Artinya bahwa untuk melewati jalan itu harus butuh perjuangan dengan melewati jalan godaan. Nah, untuk melewati jalan godaan itu butuh kerja keras yakni sikap keras terhadap diri sendiri dengan tekun berdoa. Siapa yang tidak ingin melewati jalan itu tanpa ingin melewati jalan godaan, ia tidak akan mampu melewati jalan keselamatan, apalagi mencapai keselamatan itu sendiri.���

5.   Adven adalah Permenungan tentang Cinta

Dalam kotbah minggu adven IV, Alfonsus berbicara permenungan tentang cinta. Pada permenungan ini, kata cinta menjadi fokus utama Alfonsus. Kata cinta muncul sebanyak 68 kali. Ada dua pokok permenungan tentang cinta yakni cinta Allah kepada manusia dan cinta manusia kepada Allah. Rupa-rupanya, permenungan tentang cinta ini merupakan penegasan akhir Alfonsus terkait dengan permenungan tentang keselamatan, kesengsaraan dan penghakiman akhir. Melalui permenungan ini, Alfonsus ingin memberi tekanan tentang poin keselamatan bahwa keselamatan Allah telah datang dalam dan melalui diri Yesus Kristus. Dasar teologis keselamatan Allah bagi manusia menurut Alfonsus adalah Cinta Allah sendiri sendiri yang berinisiatif mencintai mansuia (de Liguori, 1927). Cinta Allah kepada mansia itu sungguh besar dan total. Allah telah menunjukkan cintaNya kepada manusia dengan rela mengutus PutraNya sendiri yang harus menderita dan wafat di salib demi keselamatan semua orang.

Bagi Alfonsus, motivasi besar Allah mencintai manusia adalah Allah ingin memenangkan cinta manusia. Artinya bahwa dengan inisiatif Allah mencitai manusia, Allah sebenarnya ingin mendapat balasan cinta manusia. Mengutip Krisostomus, Alfonsus mengatakan bahwa �jika anda ingin dicintai maka cintailah (de Liguori, 1927). Hal ini berarti bahwa tidak ada yang lebih afektif untuk menjamin bagi diri sendiri suatu afeksi dari yang lain dari pada mencintai dan membuat dia sadar bahwa dia dicintai. Oleh karena itu, melalui kotbah minggu adven IV dalam permenungan tentang cinta itu, Alfonsus menegaskan dan mengajak para pendengarnya untuk membalas cinta Allah itu. Bagi Alfonsus, balasan cinta manusia kepada Allah adalah sebuah kewajiban yang tak bisa ditawar-menawar sebagaimana Allah sendiri tidak tawar-menawar mencintai manusia melalui dan dalam diri PutraNya sendiri Yesus Kristus yang rela menderita dan mati di kayu salib untuk keselamatan semua orang. Allah tidak menginginkan dan menuntut apapun dari manusia selain membalas cintaNya dengan mencintainya kembali. Rupa-rupanya, hal inilah yang disebut Alfonsus sebagai relasi cinta timbal balik (Maders, 1998).

Keselamatan yang dibawa Yesus Kristus adalah keselamatan yang harus ditempuh dengan jalan kesengsaraan. Yesus harus menderita dan wafat di salib untuk membuka pintu keselamatan bagi mansuia. Menurut Alfonsus, Yesus bisa saja menyelamatkan manusia tanpa harus sengsara dan mati di kayu salib. Satu tetes darahNya saja akan cukup untuk keselamatan semua orang. Bahkan melalui keilahianNya, Yesus cukup berdoa kepada BapaNya, maka semua orang akan mendapat penebusan. Namun untuk menunjukkan betapa Tuhan sangat mencintai manusia, Ia tidak ingin hanya mencurahkan sebagian dari darahnya, melainkan keseluruhannya lewat penderitaan dan kematianNya. Hal ini berarti mau menegaskan poin tentang permenungan kesengsaraan bahwa untuk mencapai keselamatan itu tidak mudah. Keselamatan harus ditempuh dengan jalan kesegsaraan sebagaimana Yesus Kristus sendiri telah menunjukkan itu dengan kesebaran dan penyerahan diriNya kepada BapaNya dalam penderitaan dan kematiannya di salib. Nah bagi Alfonsus, wujud balasan cinta manusia terhadap cinta Allah yang nyata dalam cinta Yesus itu adalah ikut serta menangggung setiap penderitaan sebagai penderitaan salib Kristus itu sendiri.

Selain itu, dengan permenungan cinta ini, Alfonsus juga ingin menjelaskan kepada para pendengarnya bahwa Yesus akan datang untuk kedua kalinya pada penghakiman akhir tiba. Setelah kematiaan dan kebangkitanNya, Yesus akan menjadi Tuhan bagi orang mati dan hidup (bdk Rom 14;9). Yesus akan duduk di kursi singgasana pengadilan untuk memberi penghakiman bagi orang berdosa dan tidak berdosa, bagi orang yang mencintai dan tidak mencintai Dia. Alfonsus menekankan bahwa selama hidup di dunia ini, cinta kepada Yesus harus menjadi prioritas. Cinta kepada Yesus berarti hidup bersama cinta Yesus di dunia ini. Hidup bersama cinta Yesus berarti harus hidup dalam penderitaanNya. Jika kita sudah hidup dalam cinta Yesus di dunia, Alfonsus memastikan kepada para pendengarnya bahwa saat-saat terakhir hidup di dunia akan menjadi sebuah penghiburan besar. Artinya, orang akan sangat senang menantikan dan menutup hari akhir di dunia dalam pelukan Yesus dan menerima kematian dengan sorak-sorai, sebagai kegenapan untuk kasih Tuhan. Dengan kata lain berarti bahwa jika manusia sudah hidup dalam Yesus, ia pula akan mati dan bangkit bersamaNya serta hidup bersamaNya dalam kemuliaan kekal di surga.

6.   Anjuran Alfonsus dalam Menghayati Masa Adven

Anjuran untuk menghayati masa adven tidak dijelaskan Alfonsus secara explisit. Melalui ke empat kotbahnya, menurut penulis, rupa-rupanya ada penekanan tertentu yang diinginkan Alfonsus sebagai tindakan kongkrit bagi para pendengarnya.

7.   Berdoa

Dalam ke empat kotbahnya, intensitas kata berdoa muncul sebanyak 20 kali; sebanyak 2 kali dalam kotbah minggu adven I, sebanyak 11 kali dalam kotbah minggu adven II, sebanyak 3 kali dalam kotbah minggu adven III, dan sebanyak 4 kali dalam kotbah minggu adven IV. Selain itu, di setiap akhir kotbahnya, ia selalu mengajak dan menganjurkan agar para pendengarnya berdoa kepada Yesus dan Bunda Maria memohon karunia ketekunan hidup kudus. Secara keseluruhan, intensitas kemunculan kata berdoa selalu beriringan dengan beberapa kata kunci yang saling berhubungan satu sama lain yakni kata kesengsaraan, jalan keselamatan, hidup kudus, dan hidup kekal. Hubungan kata doa dengan beberapa kata kunci tersebut akan diulas lebih dalam pada bagian selanjutnya. Namun, menurut penulis gambaran sederhananya ialah bahwa bagi Alfonsus, doa menjadi sebuah kebutuhan mutlak manusia untuk memohonkan bantuan rahmat ilahi dari Allah agar bisa hidup kudus dengan sikap siap percaya dan berserah diri kepada Allah untuk menanggung penderitaan dan melawan cobaan-cobaan supaya memperoleh jalan keselamatan menuju hidup yang kekal (Liguori, 2011).

Tekanan Alfonsus tentang doa (Keller, 2020) ada dalam kotbahnya pada minggu adven II yang berbicara tentang permenungan kesengsaraan. Pada kotbah ini, kata doa dipakai Alfonsus sebanyak 11 kali. Dalam kotbah ini, doa menjadi penekanan Alfonsus dalam hal menanggung penderitaan dan melawaan cobaan. Bagi Alfonsus, berdoa itu maha daya � segala sesuatu dapat di peroleh dari Allah. Artinya bahwa orang yang berdoa kepada Allah akan memperoleh dari apa yang diinginkannya. Untuk menegaskan hal ini, Alfonsus mengutip injil Lukas 11; 9 yang berbunyi; �Mintalah maka akan diberikan kepadamu; carilah maka kamu akan mendapatkanya�. Namun selanjutnya bagi Alfonsus, agar permintaan itu didengarkan dan dikabulkan oleh Allah, perluhlah sikap percaya yang menyertai doa tersebut. Dengan mengutip Mrk 11; 24, Alfonsus mau menekankan bahwa doa yang diinginkan kepada Bapa harus disertai dengan sikap percaya dan berpasrah diri kepada bantuan rahmat ilahi Allah. Melalui doa, orang yang menderita akan dianugerahi karunia kesabaran dalam menanggung penderitaan yang diderita.

Namun bagaimana jika doa itu tidak dikabulkan, sedangkan penderitaan itu datang bertubi-tubi? Bagi Alfonsus, karena penderitaan dan cobaan-cobaan untuk jatuh ke dalam dosa tak akan henti-hentinya terjadi, maka manusia harus tak putus-putusnya berdoa. Mengutip santo Thomas, Alfonsus mengatakan bahwa doa yang tak putus-putusnya itu merupakan jalan menuju ke surga. Yesus Kristus sendiri pun mengajak untuk harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu (Luk 18;1). Rupa-rupanya inilah yang disebut Alfonsus sebagai ketekunan yang tak terbatas dalam berdoa ((ed), 2018). Dengan ketekunan itu, Allah akan mendengarkan dan mengabulkan doa-doa yang disampaikan kepadaNya. �Mintalah maka kamu akan mendapatkanya� (Yoh 16;24).

Dalam kotbah minggu adven III, Alfonsus mengatakan bahwa doa merupakan jalan keselamatan bagi manusia untuk memperoleh kehidupan kekal. Ia menegaskan bahwa doa itu mutlak diperlukan manusia untuk memohon bantuan rahmat Allah agar mampu bertahan melawan cobaan-cobaan. Hal ini berarti bahwa jika manusia ingin selamat dan tidak jatuh dalam dosa melalui cobaan-cobaan yang tak terputus, maka ia mutlak berdoa mohon rahmat kekuatan Allah untuk tidak jatuh dan mampu bertahan dalam cobaan-cobaan itu. �Berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan� (Luk 22;40).

Menurut Alfonsus, manusia tidak akan dapat menyelamatkan jiwanya sendiri tanpa bantuan rahmat ilahi dan Allah tidak akan memberikan rahmat ilahi itu kecuali jika manusia berdoa kepadaNya. Oleh karena itu, bagi Alfonsus, orang yang berdosa pun akan diselamatkan jika ia berdoa. Mengutip pernyataan santo Thomas, Alfonsus mengatakan bahwa kekuatan doa-doa manusia untuk mendapatkan pertolongan dari Allah bukan karena jasa-jasa manusia tetapi karena belas kasih Allah melalui diri PutraNya Yesus Kristus. Yesus Kristus mengatakan bahwa; �Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa, akan diberikanNya kepadamu dalam namaKu (Yoh 16;23). Rupa-rupanya, pada titik penjelasan Alfonsus tentang doa ini menjadi salah satu sarana baginya untuk memperkenalkan dan menegaskan soal doa terlebih khususnya tentang doa permohonan yang pada zamannya dianggap tidak penting oleh banyak guru dan pengkotbah (Lowery, 1984). Mereka menilai bahwa permohonan tidak cukup murni, tidak sesuai dengan taraf orang kudus. Alfonsus sendiri menolak dan menantang pandangan tersebut. Ia menegaskan bahwa kita mendengarkan apa yang diajarkan Yesus (bdk. Luk 11;9).

Selain itu, doa diperlukan juga untuk memohon karunia hidup kudus. Poin ini disinggung Alfonsus hampir seluruhnya di setiap akhir kotbahnya. Rupa-rupanya, poin ini hanya menegaskan ulang dan bisa menjadi kesimpulan Alfonsus. Bagi Alfonsus, hidup kudus berarti hidup bersama Allah. Hanya orang kudus yang bisa hidup dan tinggal bersama dengan Allah di surga. Menurut pandangan Alfonsus, orang kudus menjadi kudus karena mereka berdoa! �Semua rahmat kekudusan yang menjadikan mereka orang kudus merupakan buah dari pengabulan doa-doa mereka.� (Lowery, 1984) Oleh karena itu, dalam ke empat kotbahnya, Alfonsus juga menyinggung beberapa kali agar para pendengarnya mohon bantuan doa orang kudus yang telah bersatu denganNya. Tak luput juga, ia mengajak pada pendengarnya untuk memohon doa dari Bunda Maria sebagai pengantara rahmat keselamatan Allah.

8.   Meditasi

Berbeda dengan kata doa yang dipakai Alfonsus dalam ke empat kotbahnya, kata meditasi (Tanuwidjaja, 2021) dipakai Alfonsus hanya dalam kotbah minggu adven IV sebanyak 8 kali dan sekali dalam kotbah minggu adven III. Namun, hal yang sedikit serupa adalah bahwa kata meditasi ini muncul atau dipakai Alfonsus pada setiap akhir kotbahnya dalam kotbah minggu adven III dan kotbah minggu adven IV. Kemunculan kata meditasi pada akhir kotbah dan juga dalam kotbah dua minggu terakhir masa adven seakan-akan merupakan anjuran konkrit Alfonsus dalam menghayati masa adven dan mempersiapkan masa penghakiman akhir yang mana Yesus akan datang untuk ke dua kalinya. Bolehlah dikatakan bahwa inilah yang disebut sebagai implikasi konkret atau ajakan dari kotbah seorang pengkotbah yang biasanya diutarakan pada bagian akhir atau penutup kotbah (Sudibya, 1995).

Dalam kotbah minggu adven III, Alfonsus mengatakan bahwa meditasi merupakan salah satu sarana keselamatan yang harus juga diadopsi oleh manusia. Orang yang tidak mengabdopsi cara ini akan hidup terus bermusuhan dengan Tuhan, setidaknya hidup dalam keadaan tidak tenang, dan akhirnya akan membawa mereka kehilangan Tuhan. Rupa-rupanya pengertian meditasi sebagai sarana keselamatan mau menegaskan bahwa meditasi itu penting dan perlu dilakukan oleh manusia. Pada bagian ini, Alfonsus memang tidak menjelaskan secara detail tentang meditasi. Baru dalam kotbah minggu adven IV, Alfonsus menjelaskan dan menambahkan apa dan bagaimana bermeditasi.

Dalam kotbah minggu adven IV, Alfonsus semakin lebih dalam menjelaskan tentang perlunya bermeditasi. Dalam hubungannya dengan poin permenungan tentang cinta, Alfonsus mengatakan bahwa meditasi merupakan cara untuk merenungkan dan membalas cinta Yesus. Ia membandingkan meditasi dengan api. Dengan mengutip pernyataan Daud (Mzm 29:7-8), seakan-akan Alfonsus mau mengatakan bahwa meditasi itu seperti padang gurun yang penuh dengan kesunyian, keheningan yang mana suara Tuhan akan bergetar seperti api yang menyala. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa dalam meditasi, api akan menyala. Baginya, Meditasi merupakan tungku yang diberkati yang mana api suci cinta Ilahi akan dinyalakan. Artinya bahwa melalui meditasi jiwa manusia juga akan meradang dengan kasih Yesus Kristus. Rupa-rupanya tentang hal ini, ia juga pernah mengatakan dalam tulisan lainnya yakni bahwa meditasi itu memengaruhi jiwa seperti api terhadap besi. Jika besi dingin, sangatlah sukar dan tidak dapat ditempa. Namun, dengan dibakar terlebih dahulu, besi akan menjadi lunak dan sangatlah mudah untuk ditempa oleh tukang besi. Demikian juga dengan hati manusia yang sering keras dan kaku. Berkat pengaruh rahmat yang diterima dalam meditasi, hati manusia akan menjadi lunak dan mudah serta dapat dibentuk oleh Tuhan (Lowery, 1984).

Dengan demikian, Alfonsus mengatakan bahwa ia perlu dan sangat merekomendasikan agar para pendengarnya bermeditasi setiap hari. Ia menegaskan bahwa orang seharusnya mengkhususkan lima belas menit sehari untuk meditasi. Selanjutnya, dalam kotbahnya tersebut, ia mengatakan bahwa; �Let each at least procure a crucifix, let him keep it in his room, and from time to time give a glance at it, saying: �Ah! my Jesus, thou hast died for me, and I do not love thee� Melalui perkataan itu, rupa-rupanya, Alfonsus mau menekankan bahwa salib yang merupakan lambang penderitaan dan kemenangan Yesus Kristus harus direnungkan dengan cinta. Bagi Alfonsus, meditasi atau permenungan yang penuh dengan cinta akan membawa manusia pada sebuah penghiburan yang hebat yang akan diterima dari penderitaan dan kematian Yesus Kristus pada saat terakhir hidup di dunia. Alfonsus mengutip pernyataan santa Teresa; �Bila seseorang bertekun dalam meditasi, biarpun setan berulang kali mau membelokkan arah jalannya, saya pastikan bahwa Tuhan kita akhirnya akan menuntutnya masuk ke dalam pelabuhan keselamatan�. ((ed), 2018) Baginya, hati manusia akan lebih siap untuk menerima Allah dalam ketenangan, kedalaman, doa yang reflektif daripada dengan cara lain (Lowery, 1984).

9.   Ekaristi

Kata Ekaristi memang tidak dipakai Alfonsus dalam ke empat kotbahnya pada minggu adven I sampai dengan minggu adven IV. Namun ada satu kata yang dipakai Alfonsus yang merujuk pada sakramen Ekaristi tersebut yakni kata sakramen suci pada altar dalam kotbah minggu adven IV dan dalam kotbah minggu adven III. Ini berarti bahwa Alfonsus hanya menyinggung soal ekaristi dalam kotbah minggu adven III dan IV. Sedangkan, pada minggu adven I dan minggu adven II, Alfonsus tidak sedikit pun menyinggung soal sakramen ekaristi (Mangundap, 2022). Namun, bagi Alfonsus, sakramen ekaristi menjadi poin penting sebagai sarana keselamatan. Hal ini disampaikannya dalam kotbahnya pada minggu adven III. Ia menekankan bahwa semakin seringnya seseorang mengikuti perayaan ekaristi maka ia akan menerima keselamatan itu. Sedangkan dalam kotbah minggu adven IV, Alfonsus mengatakan bahwa sakramen altar suci (ekaristi) merupakan karunia dan cinta Allah yang sungguh luar biasa bagi manusia.

Pada bagian ini, Alfonsus sendiri memang tidak mengajarkan bagaimana cara yang terbaik untuk mengikuti perayaan ekaristi. Namun, rupa-rupanya dalam tulisan lainnya, Alfonsus mengajarkan bahwa cara terbaik untuk mengikuti perayaan ekaristi adalah dengan menjadikan tujuan dasar perayaan ekaristi sebagai tujuan kita pula (Lowery, 1984). Tujuan dasar perayaan Ekaristi yang dimaksud Alfonsus adalah bahwa perayaan ekaristi merupakan puncak ibadat dan sumber kehidupan di dalam Gereja (Lowery, 1984). Hal ini disampaikannya sebagaimana juga tercantum dalam KHK (kitab hokum kanonik) Kanon. 897 yang berbunyi; �Sakramen yang terluhur ,,,,, yang mana Kristus Tuhan sendiri dihadirkan, dikurbankan, dan disantap, dan dengan mana Gereja selalu hidup berkembang. Oleh karena itu, bagi Alfonsus, ada empat hal yang harus menjadi perhatian utama dalam mengikuti perayaan ekaristi yakni pertama, untuk menghormati dan meluhurkan Allah: kedua, untuk bersyukur kepadaNya atas semua rahmat dan kebaikkanNya; ketiga, untuk membersihkan dosa kita dan dosa orang lain; kempat, untuk memohonkan rahmat yang kita butuhkan (Lowery, 1984).

Dalam akhir kotbahnya pada minggu adven IV, Alfonsus mengajak para pendengarnya untuk berdevosi kepada Cinta Yesus itu yang telah memberikan diri sepenuhnya kepada manusia hingga akhir hayatnya. Bagi Alfonsus devosi ini sangat perlu untuk mendekatkan diri dan bersatu dengan Kristus supaya hidup dan mati bersamaNya. Rupa-rupanya, devosi yang dimaksud Alfonsus sendiri di sini ialah ajarannya mengenai �kunjungan kepada sakramen mahakudus�. Inilah juga yang menjadi ajaran khas Alfonsus tentang perayaan ekaristi (Lowery, 1984). Di dalam bukunya yang terkenal, Kunjungan kepada sakramen mahakudus, Alfonsus menuliskan banyak doa untuk berdevosi dengan penuh perasaan yang mendalam. Keyakinan yang mendasar dapat ditemukan dalam kalimat ini, �Marilah kita, kemudian, mendekatkan diri kepada Yesus dengan penuh keyakinan dan perasaan; marilah kita menyatukan diri denganNya, dan marilah kita memohonkan rahmat dariNYa� (Lowery, 1984).

 

Kesimpulan

Masa Adven merupakan sebuah masa persiapan khusus dan penuh sukacita untuk menyambut kedatangan Tuhan untuk yang pertama kalinya pada hari raya natal yakni hari kelahiran Yesus Sang Juru Selamat. Namun, selain menyambut kedatangan Yesus Kristus untuk pertama kalinya, masa ini juga merupakan sebuah masa persiapan menyambut kedatangan Tuhan untuk yang kedua kalinya pada penghakiman akhir zaman.

Pemaknaan yang kedua ini mendapat tempat yang istimewa dalam pandangan Alfonsus de Liguori. Melalui kotbahnya pada minggu adven 1 sampai minggu adven IV, Alfonsus de Liguori merefleksikan bahwa masa adven memiliki pengalaman spiritual yang mendalam. Bagi Alfonsus, masa adven menjadi masa yang tidak sekedar sebagai masa persiapan hari raya natal, melainkan juga menjadi masa persiapan untuk menyambut kedatangan Tuhan untuk kedua kalinya pada penghakiman akhir zaman. Permenungan penghakiman akhir menjadi fokus utama Alfonsus dalam ke empat kotbahnya tentang adven. Permenungan tentang penghakiman akhir tersebut diperkaya dan dipertegas oleh Alfonsus dengan beberapa gagasan tambahan yakni permenungan tentang kesengsaraan, permenungan tentang keselamatan, dan permenungan tentang cinta. Semuanya itu memiliki hubungan yang saling terkait satu sama lain. Menurut Alfonsus, balasan cinta manusia kepada Allah harus konkrit dalam penghayatan iman umat beriman kristiani terlebih khususnya dalam masa adven. Alfonsus sangat menganjurkan untuk menghayati masa adven dengan berdoa, meditasi, dan mengikuti perayaan ekaristi. Baginya, tiga anjuran ini perlu untuk hidup dekat dan bersatu dengan Allah dalam kehidupan setiap hari.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

(ed), Mikhael Heren. (2018). enampakkan Kasih Kristus dalam Hidup; Tuntunan Praktis Iman Kristiani Alfonsus de Liguori (p. 79). p. 79. Lintang Pustaka Utama, Yogyakarta. Google Scholar

 

Borgias, Fransiskus, & Ena, Alfred B. (2008). Menimba kekayaan liturgi. Yayasan Pustaka Nusatama. Google Scholar

 

de Liguori, Alphonsus. (1927). The Incarnation, Birth and Infacy of Jesus Christ, The Mistery of Faith. Diterjemahkan Oleh Eugene Grimm. Brooklyn: Redemptorist Fathers.

Hentz, Otto. (2005). Pengharapan Kristen. Yogyakarta: Kanisius. Google Scholar

 

Keller, Timothy. (2020). Prayer (Doa); Mengalami Kekaguman dan Keintiman Bersama Allah (pp. 61�79). pp. 61�79. Literatur Perkantas Jatim, Surabaya. Google Scholar

 

Liguori, Alphonsus. (2011). Talking with God Four Treatises on the Interior Life from St. Alphonsus Liguori; The Way to Converse with God, A Short Treatise on Prayer, Mental Prayer, The Presence of God. Scriptoria Books, USA, 2011. Google Scholar

 

Lowery, Daniel L. (1984). Growth Through Virtue, Mont by Mont with Saint Alphonsus Liguori (p. 98). p. 98. Missouri; Liguori Publication. Google Scholar

 

Maders, H. (1998). Love in The Spirituality of Saint Alphonsus, in: Reading in Redemptorist Spirituality (p. 25). p. 25. Google Scholar

 

Mangundap, Jelvi Monica. (2022). Sacrosanctum Concilium Penghayatan Misteri Ekaristi Bagi Umat Beriman. CV. AZKA PUSTAKA. Google Scholar

 

Margaret, Carmia. (2021). Sumbangsih Pemikiran Poskolonial Bagi Gagasan Misi Injili. TE DEUM (Jurnal Teologi Dan Pengembangan Pelayanan), 10(2), 139�160. Google Scholar

 

Martasudjita, Emanuel. (1999). Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi. Yogyakarta: Kanisius. Google Scholar

 

Martimort, Aim� Georges. (1985). The Church at Prayer: Principles of the liturgy (Vol. 1). Liturgical Press. Google Scholar

 

Martimort, Aim� Georges, Dalmais, Ir�n�e H., & Jounel, Pierre. (1986). The Church at Prayer IV: The Liturgy and Time. Translated by Matthew J. O�Connell. Collegeville: Liturgical Press. Google Scholar

 

Ramdhani, Abdullah, Ramdhani, Muhammad Ali, & Amin, Abdusy Syakur. (2014). Writing a Literature Review Research Paper: A step-by-step approach. International Journal of Basic and Applied Science, 3(1), 47�56. Google Scholar

 

 

Rey-Mermet, Th�odule, & Marchesi, Jehanne Marie. (1989). Alphonsus Liguori: tireless worker for the most abandoned. New City Press. Google Scholar

 

Sudibya, FX. Warsito Djoko. (1995). Pelayanan Lewat Kotbah (p. 18). p. 18. Kanisius, Yogyakarta. Google Scholar

 

Tanuwidjaja, Hendrick. (2021). Mindful is Mind-Less: Seni Beristirahat dalam Badai (p. 86). p. 86. Elex Media Komputindo, Jakarta. Google Scholar

 

Copyright Holder:

Emanuel Teodorus Bulu (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: