Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 3, Maret 2023

 

URGENSI KEWAJIBAN SPIN OFF PADA UNIT USAHA SYARIAH DI ERA OMNIBUS LAW SEKTOR PERBANKAN

 

Anastasia Pritahayu Ratih Daniyati, Naufan Mufti Sudarmono, Zahra

Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Leiden University

Email: [email protected]

 

Abstrak

Fokus utama UU No.4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan pasal 68 ayat (2) atau Omnibus Law Sektor Perbankan menyatakan OJK dapat meminta UUS dipisahkan menjadi BUS dalam rangka konsolidasi Perbankan Syariah. Dengan adanya kriteria dan syarat kewajiban spin-off UUS yang pengaturannya dengan mempertimbangkan strategi konsolidasi perbankan, sehingga proses spin off UUS dapat melahirkan BUS yang kokoh dan memajukan perekonomian secara optimal sesuai dengan prinsip syariah. Metode yang dipergunakan oleh penulis dalam menyusun penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Sehingga penelitian ini akan menganalisis data yang sifatnya non-matematis. Data yang diperoleh dan dilakukan dengan seperti telaah dokumen, atau arsip. Maka dengan demikian penelitian ini disusun berdasarkan hasil mengumpulkan data terkait spin off atau terkait perbankan syariah melalui dokumen hukum yang tersedia. Penulis menyajikan data penelitian dengan deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukan Pemerintah telah mempermudah syarat untuk melakukan pemisahan UUS menjadi BUS di UU No. 4 Tahun 2023 yang mana hal ini terlihat dari pengaturan Pasal 68 pada� Omnibus Law Sektor Perbankan� tersebut diubah menjadi tidak lagi membakukan syarat paling sedikit 50% (lima puluh persen). Sehingga kedepannya kebijakan spin off ini dapat ditinjau kembali dengan menyesuaikan kemampuan UUS di Indonesia untuk menjadi BUS. OJK sebagai lembaga yang diberikan kewenangan oleh UU terbaru tersebut melalui perubahan Pasal 68 yang terdapat didalamnya untuk segera melakukan penyusunan mekanisme pemisahan UUS menjadi BUS.

 

Kata kunci: Omnibus Law Sektor Perbankan, Spin Off, Perbankan Syariah

 

 

 

 

Abstract

Focus on Article 68 paragraph (2) of the Banking Sector Omnibus Law states that OJK may request UUS to be separated into BUS in the context of consolidating Sharia Banking. With the criteria and conditions for UUS spin-off obligations to be regulated by taking into account the banking consolidation strategy, the UUS spin-off process can produce BUS that are strong and can contribute optimally to the economy by adhering to Sharia principles. The method used by the authors in compiling this research is a qualitative research method. So this research will analyze data that are non-mathematical. The data obtained is also carried out by means of document review, or archives. So thus this research was prepared based on the results of collecting data related to spin off or related to Islamic banking through available legal documents. The author presents descriptive research data. The results of this study show that the Government has simplified the requirements for separating UUS into BUS in Law no. 4 of 2023, which can be seen from the regulation of Article 68 of the UUP2SK , which was changed to no longer standardize the requirements of at least 50% (fifty percent). So that in the future this spin off policy can be reviewed again by adjusting the ability of UUS in Indonesia to become BUS.OJK as an institution that is given authority by Law no. 4 of 2023 concerning the Development and Strengthening of the Banking Sector (Banking Sector Omnibus Law) through amendments to Article 68 UUP2SK� to immediately prepare the mechanism for separating UUS into BUS.

 

Keywords: Banking Sector Omnibus Law, Spin Off, and Islamic Banking

 

Pendahuluan

Perbankan syariah didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 UU No.4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UUP2SK) atau Omnibus Law Sektor Perbankan) seperti segala hal yang berkaitan dengan perbankan syariah dan badan usaha syariah, termasuk operasional bisnis kelembagaan dan cara serta proses berbisnis (Sinaga & Siburian, 2018). Indonesia menganut dua jenis sistem operasi perbankan (Dual Banking System), yaitu bank konvensional dan bank syariah. Dual Banking System ini mulai diimplementasikan di Indonesia sejak berlakunya UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dalam kandungan isinya menyebutkan bahwa bank diperbolehkan menjalankan operasionalnya secara syariah (Ramadani, 2016). Undang-undang perbankan pada prinsipnya juga memberikan izin kepada Bank konvensional yang melakukan operasi dan menerapkan prinsip syariah dengan persamaan dengan Islamic Word atau Unit Usaha Syariah (UUS). Undang-Undang Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008 merupakan dasar hukum bagi perbankan syariah di tanah air. 

Prinsip syariah yang diperlakukan pada bank tertuang dalam Pasal 1 angka 12 UUP2SK, yang menyebutkan bahwa prinsip tersebut yang dimaksud adalah mengacu pada prinsip syariah Islam yang dikeluarkan melalui fatwa oleh lembaga yang berwenang di bidang fatwa. Pemerintah terus melakukan upaya untuk meningkatkan minat serta menarik masyarakat akan perbankan syariah, dengan cara mengeluarkan regulasi maupun kebijakan-kebijakan lainnya. Dapat dipastikan hingga detik ini UUS menjadi alternatif utama oleh bank konvensional dari pada harus menggantinya dengan Badan Usaha Syariah (BUS) (Ramadani, 2016). Sisanya tetap sebagai UUS atau menjadi bus melalui pemisahan, akuisisi atau konversi (Faozan, 2013).

Transaksi syariah dapat dibedakan menjadi tiga cara: Pertama (Soleman, n.d.), bank umum yang telah memiliki UUS mengakuisisi bank yang relatif kecil, mengubahnya menjadi bank syariah, dan melepaskan UUS dan menggabungkannya dengan bank yang baru dikonversi. Kedua, bank umum tradisional yang tidak mempunyai UUS mengambil langkah untuk mengakuisisi bank yang relatif kecil dan kemudian mengubahnya menjadi hukum syariah. Ketiga, menyelesaikan spin-off untuk berubah menjadi bank umum syariah. Untuk yang pertama dan kedua lebih popular dengan akuisisi, selain itu yang ketiga dikenal dengan spin-off yang bercirikan dengan penambahan, produk uang berdekatan yang diperoleh dari perusahaan sebelumnya yang termasuk pada induk perusahaan atau organisasi dalam melahirkan kegiatan ekonomi baru (Nasuha, 2012). Di Indonesia, istilah spin-off hanya diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perusahaan Terbuka, yang dapat ditemukan �dalam UUP2SK. Spin-off adalah sebagai organisasi, objek, atau entitas yang lahir baru dihasilkan dari proses memisahkan atau pembubaran bentuk yang lebih besar. Dalam UUPS2K Bagian 1 Bab 10, sektor perbankan memiliki satu fungsi, yaitu kantor pusat kantor cabang badan yang melakukan bisnis dengan prinsip syariah, atau unit kerja di cabang bank di luar negeri, yang secara tradisional berfungsi sebagai kantor pusat untuk mengurus cabang dan/atau unit syariah. 

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) atau Omnibus Law Sektor Perbankan menyebut Otoritas Jasa Keuangan telah mengisyaratkan tentang permintaan pemisahan UUS menjadi Bank Umum Syariah. Secara khusus dalam pasal 68 ayat (2) pada UU tersebut menyebut bahwa OJK dapat meminta UUS dipisahkan menjadi BUS dalam rangka konsolidasi Perbankan Syariah. Jika kriteria dan persyaratan yang mewajibkan pemisahan UUS disusun dengan mempertimbangkan strategi konsolidasi bank, maka proses pemisahan UUS dapat melahirkan BUS yang kokoh dan dapat memajukan perekonomian secara maksimal dengan tetap berpedoman kepada prinsip syariah. �Kegiatan pemisahan atau spin-off dari perusahaan induk penting untuk upaya pengembangan bisnis apa pun, termasuk perbankan syariah (Umam & Antoni, 2018).

Berdasarkan pemaparan sebagaimana tersebut diatas maka terdapat beberapa permasalahan yang diteliti sehingga dapat disampaikan oleh� penulis sebagai berikut:

1.   Bagaimana pengaturan Spin Off pada Omnibus Law Sektor Perbankan terhadap UUS di Indonesia?

2.   Bagaimana prospek yang ditimbulkan terhadap kebijakan Spin Off di Omnibus Law Sektor Perbankan di bidang perbankan syariah di Indonesia?

Perbankan Syariah mencakup semua aspek yang memiliki keterkaitan dengan Bank Umum Syariah, Bank Perekonomian Rakyat Syariah dan Unit Usaha Syariah.

Dimulai dari pelaksanaan, tata cara, dan prinsip bisnisnya, ketiga lembaga ini berpedoman pada prinsip syariah dan tunduk pada fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional dan Majelis Ulama Indonesia.  Atas adanya prinsip tersebut tidak terlepas dari konsep keyakinan filosofis Islam, dimana bekerja dengan adanya sistem bunga dianggap riba, yang haram hukumnya. Konsep filosofis ini kemudian dibakukan dalam Fatwa MUI No.1 Tahun 2004 tentang Bunga dimana bunga dalam sistem keuangan konvensional non syariah termasuk Riba Nasi�ah (Yusuf, 2012). Hal ini kemudian menghadirkan tantangan bagi dunia Islam untuk dapat menghadirkan suatu lembaga keuangan bank yang bebas riba sebagaimana diperintahkan dalam syariah Islam, inilah yang kemudian membuat sebagian besar bank Islam menghindari membebankan bunga (Nasution, 2019). Pasal 1 Omnibus Law Sektor Perbankan menjelaskan mengenai BUS, Bank Perekonomian Rakyat Syariah, dan UUS dengan pembagian berikut:

1.     Bank Umum Syariah

Didefinisikan sebagai suatu bank syariah menawarkan layanan transaksi pembayaran. Bank Umum Syariah (BUS) didefinisikan juga sebagai lembaga keuangan yang berdasarkan syariah yang bergerak di bidang penghimpunan dana, penyaluran uang, dan kegiatan jasa lainnya sesuai dengan prinsip syariah (Nasution, 2019). 

2.     Bank Perekonomian Rakyat Syariah

Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) adalah jenis bank syariah yang tidak dapat memberikan pelayanan dalam lalu lintas giral secara langsung (Sinayang, 2023). 

3.     Unit-Unit Syariah

Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit kerja yang berinduk dari bank umum tradisional yang memiliki fungsi sebagai kantor pusat atau cabang dari cabang atau unit yang menjalankan usaha yang berlandaskan prinsip syariah atau cabang bank asing yang bergerak di bidang usaha konvensional dan �memiliki tugas sebagai kantor pusat cabang pembantu syariah dan/atau entitas syariah (Danupranata, 2013).

Perlu diketahui, berdasarkan pada hasil laporan statistik perbankan syariah yang diluncurkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah UUS pada posisi Juni 2022 sebanyak 21 bank. Badan usaha syariah berlokasi di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.  Adapun 21 UUS dimaksud diantaranya dapat terlihat sebagaimana dalam daftar tabel berikut:

 

Tabel 1

Daftar Statistik Eksisting Unit Usaha Syariah

No.

Unit Usaha Syariah

1

PT Bank Danamon Indonesia, Tbk 

2

PT Bank Permata, Tbk

3

PT Bank Maybank Indonesia, Tbk

4

PT Bank CIMB Niaga, Tbk 

5

PT Bank OCBC NISP, Tbk 

6

PT Bank Sinarmas

7

PT Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk 

8

PT BPD DKI

9

PT BPD Daerah Istimewa Yogyakarta

10

PT BPD Jawa Tengah

11

PT BPD Jawa Timur, Tbk 

12

PT BPD Sumatera Utara

13

PT BPD Jambi

14

PT BPD Sumatera Barat

15

PT BPD Riau dan Kepulauan Riau

16

PT BPD Sumatera Selatan dan Bangka Belitung

17

PT BPD Kalimantan Selatan

18

PT BPD Kalimantan Barat

19

PT BPD Kalimantan Timur

20

PT BPD Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat

21

21 PT Bank Jago, Tbk

 

Pemisahan (spin-off) dapat diklasifikasikan sebagai lembaga hukum baru di Indonesia yang pengelolaannya dijelaskan pada UU No. 40 Tahun 2007. Spin off yaitu perbuatan hukum yang pengelolaanya dilakukan oleh Perseroan Terbatas yang memisahkan usahanya menjadi dua perseroan atau lebih. Secara hukum, semua aset dan kewajiban Perusahaan dipisahkan dan dialihkan yang berasal dari dua atau lebih usaha yang baru tersebut. Beberapa aset dan kewajiban Perusahaan dapat dialihkan ke satu perusahaan baru. Pemisahan antara Perseroan dengan aset dan liabilitasnya dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, Perseroan dapat memisahkan aset dan liabilitasnya demi hukum. Ini disebut sebagai pemisahan yang tidak murni. Sebagai alternatif, perusahaan dapat memisahkan demi hukum tanpa memisahkan aset dan liabilitasnya. Ini disebut pemisahan tidak murni. Kedua metode tersebut menghasilkan semua pemisahan hukum antara perusahaan dan aset dan liabilitasnya, atau pemisahan tidak murni antara perseroan dengan aset dan liabilitasnya dapat terjadi dengan satu perseroan yang lainnya atau dapat melebihi dengan adanya penerimaan� pengalihan atas terpisahnya secara hukum antara perseroan, aset, dan liabilitasnya. Dalam hal ini perseroan yang dipisahkan tetap eksis karena hukum.

Mengacu pada Pasal 1 angka 33 Omnibus Law Sektor Perbankan, maka Pemisahan diartikan sebagai suatu yang terpisah dalam usaha yang semula dari 1 (satu) bank berubah menjadi 2 (dua) badan usaha atau lebih yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Black�s Law Dictionary menjelaskan spin off sebagai berikut:

�Spin-off is a corporate divestiture in which a division of a corporation becomes an independent company and stock of the new company is distributed to the corporation�s shareholders� (Danupranata, 2013).

Dengan pendekatan cara berfikir, pemisahan dapat dimaknai sebagai melepaskan usaha antara anak perusahaan dan induk perusahaan karena adanya faktor antara lain pengalihan aset dan kewajiban dari induk perusahaan. Bank yang melaksanakan spin off tetap melakukan usaha dengan cara memilih yang terbaik yaitu dengan dapat mengikuti kondisi dari masing-masing UUS yang menjalankan spin off tersebut. Karena output didasarkan dari total modal masing-masing UUS. Adapun yang menjadi strategi yang perlu diperhatikan dalam rencana implementasi kebijakan spin-off UUS di Indonesia adalah (Syakir, 2008) :

1.   Proses spin-off harus memberdayagunakan laju konsolidasi perbankan saat ini. Dalam keadaan ini, aturan modal akan terus berlaku secara relatif, fleksibel, dan jika mengakuisisi bank lain digunakan sebagai metode produk sampingan, maka harga beli untuk "membeli" dari bank tersebut cukup tinggi.

2.   Pangsa pasar dan jangkauan kegiatan BUS umumnya jauh baik. Hal ini dikarenakan implementasi strategi yang dilakukan oleh BUS lebih mudah dibandingkan dengan UUS karena keterbatasan jumlah stakeholder. Selain itu, BUS akan mempunyai kemandirian yang lebih besar dalam menetapkan tujuan dan mengembangkan kemampuan secara operasional.

3.   BUS dapat menerapkan efisiensi biaya, prosedur transfer sumber daya dan pengukuran kinerja yang mudah bagi bank dan karyawan.

4.   Melalui OJK, pemerintah juga mendukung BUS untuk membantu tercapainya target pangsa pasar dan menyokong penerapan� arsitektur perbankan syariah nasional.  

5.   Spin off juga berguna untuk menghindari terjadinya percampuran harta antara Bank Umum Konvensional Induk yang terdapat riba karena tidak menggunakan prinsip syariah dan UUS, hal ini adalah konsekuensi logis bahwa ada syubhat harta (harta yang tercampur) (Nomor, 21 C.E.).

6.   Spin off adalah bentuk dorongan pemerintah kepada Bank Syariah dapat mampu berdiri secara independen dan mampu bersaing dengan bank umum konvensional dalam dunia perbankan nasional (Nomor, 21 C.E.).

Black Law Dictionary mendefinisikan omnibus law sebagai jenis undang-undang dengan menyatukan beberapa undang-undang ke dalam satu kodifikasi sebagai berikut (Sjawie & SH, 2018):

�Omnibus bill is a single bill containing various distinct matters. Drafted in this way to force the executive either to accept all the unrelated minor provisions or to veto the major Provisions. Omnibus bill is a bill that deals with all proposals relating to A particular subject, such as on omnibus judgeship bill Covering all proposals for new judgeships or an omnibus Crime bill dealing with different subjects such as new crime and grams to state for crime control�

Dalam menerapkan konsep omnibus law yang pertama mengarah kepada situasi adalah ketika undang-undang perubahannya memiliki keterkaitan, kedua dengan adanya undang-undang yang diubah terkait secara tidak langsung, dan ketiga dengan tidak ada hubungan antara aspek praktis dan hukum yang tumpang tindih. 

Konsep omnibus law lazim dipergunakan di negara-negara yang memberlakukan sistem hukum Anglo-Saxon. Akses common law diterapkan di Indonesia dimulai melalui Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan sebagaimana diatur dalam UU No. 9 Tahun 2017 sebagai pengganti undang-undang. Undang-Undang Pengadaan Ketenagakerjaan 11/2020 (UU Pengadaan Ketenagakerjaan) adalah undang-undang kolektif yang pengaturan berubahnya dalam peraturan di berbagai industri yang memiliki maksud untuk meningkatkan iklim berinvestasi dan menciptakan asa kepastian hukum. Perintis omnibus law melakukan revisi terhadap 80 undang-undang dan kurang lebih 1.200 pasal UU Cipta Kerja yang bersinggungan dengan banyak sektor .

Konsep yang sama kemudian diterapkan pada UUP2K, UU ini terdiri dari 341 pasal. UU ini akan mendasari seluruh aktivitas di sektor keuangan, mulai dari konglomerasi keuangan sampai dengan penyelesaian sengketa keuangan. Tujuan dibentuknya Omnibus Law Sektor Perbankan ini yaitu sebagai cara dalam pengaturan atas kelembagaan dan stabilitas sistem keuangan serta melakukan perluasan agar lebih kuat industri . Hal ini kemudian oleh pemerintah membentuk UUPSK untuk mengatasi masalah simpanan dalam perbankan, dan disrupsi teknologi dalam sektor keuangan di era digital.

 

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam pembuatan dan penyusunan penelitian ini yaitu metode penelitian kualitatif. Sehingga penelitian ini akan menganalisis data yang sifatnya non-matematis (Nugrahani & Hum, 2014). Data yang diperoleh pun dilakukan dengan seperti telaah dokumen, atau arsip. Maka dengan demikian penelitian ini disusun berdasarkan hasil mengumpulkan data terkait spin off atau terkait perbankan syariah melalui dokumen hukum yang tersedia. Penulisan juga menyajikan data hasil penelitian penulis secara deskriptif menggunakan kata-kata. Hal ini sebagaimana ciri dari penelitian kualitatif.

Tipe penelitian yang dipergunakan adalah pendekatan penelitian secara yuridis normatif, dimana pada waktu melakukan penelitian tipe ini maka akan meneliti produk legislasi dan literatur lainnya tentang perusahaan spin-off dan perbankan syariah di tanah air (Sunggono, 2006). Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini dengan cara pendekatan konseptual yang mengaitkan konsep spin-off dan perbankan syariah di tanah air dan pendekatan hukum (normative approach) terhadap regulasi dan legitimasi spin-off. Oleh karena itu, penelitian ini memperkenalkan permasalahan yang berkaitan dengan konsep dan landasan hukum spin-off dan syariah dalam perbankan.

 

Hasil dan Pembahasan������

Pengaturan Spin Off Pada Omnibus Law Sektor Perbankan Terhadap UUS di Indonesia

Indonesia saat ini memiliki dua bentuk perbankan syariah, UUS dan BUS. Bank Umum Syariah (BUS) adalah bank umum syariah yang menawarkan layanan transaksi pembayaran. Selain melakukan usaha tradisional, bank umum dapat melakukan usaha syariah didahulukan dengan mendirikan UUS . Mengacu pada UUP2SK� maka UUS ini diwajibkan untuk memisahkan diri dari bank umum untuk membentuk BUS, tindakan ini adalah bentuk penerapan mekanisme spin off yang telah terlebih dahulu dianut dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Dasar hukum dalam melakukan spin off di tanah air dapat disajikan sebagaimana tabel berikut (Rahmayuni, 2020) :

Tabel 2

Peraturan Terkait Spin Off di Indonesia

No.

Ketentuan Peraturan

1.               

UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

2.               

SEBI 11/9/DPbS tentang Bank Umum Syariah

3.               

PBI Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah

4.               

SEBI Nomor 11/28/DPbS tentang Unit Usaha Syariah

5.               

POJK Nomor 64/POJK.03/2016 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Konvensional Menjadi Bank Syariah

6.               

SEOJK Nomor 2 /SEOJK.03/2017 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Syariah

7.               

PBI Nomor 19/13/PBI/2017 tentang Pelayanan Perizinan Terpadu Terkait Hubungan Operasional Bank Umum dengan Bank Indonesia

8.               

POJK Nomor 37/POJK.03/2019 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank

9.               

SEOJK Nomor 10/SEOJK.03/2020 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah

10.            

POJK Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

11.            

POJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum

12.            

PBI Nomor 22/8/PBI/2020 tentang Perizinan Terpadu Bank Indonesia Melalui Front Office Perizinan

13.            

POJK Nomor 59/POJK.03/2020 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemisahan Unit Usaha Syariah

 

Mengacu pada pengaturan di atas pemerintah berusaha untuk melakukan upaya pemberian sarana hukum untuk setiap BUK yang ingin melakukan spin off. Spin off adalah jenis restrukturisasi yang mengharuskan perusahaan agar dapat terus melakukan operasi secara efektif dan efisien. Namun menurut Angrum Pratiwi et.al, bahwa dari sekian banyak aturan tersebut tidak ada panduan perencanaan dan arahan fondasi teknis dari OJK dalam masa transisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 UUP2SK . Selain itu jika ditelaah dengan metode ARIMA, maka hingga 2023 belum ada UUS yang terpenuhi ketentuan sebesar 50% (lima puluh persen) dari keseluruhan total nilai aset yang ada pada bank induk (Pratiwi et al., 2021). Hal inilah yang kemudian oleh Pemerintah ditanggapi dengan dikeluarkannya dua aturan terbaru tentang spin off yaitu POJK No.16/POJK.03/2022 tentang Bank Umum Syariah dan UUPS2K.

Sebelum diberlakukannya kerangka hukum mengenai perbankan syariah termasuk sektor usaha yang dijalankan yang saat ini mengacu pada Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan telah terlebih dahulu terdapat ketentuan yang terdapat pada UUP2SK� tepatnya pada Pasal 68 dimana dinyatakan bahwa setelah 15 tahun semenjak adanya pembuatan undang-undang, UUS Bank Umum harus memisahkan diri untuk berubah menjadi BUS. Selain itu, nilai aset aset bank induknya harus minimal 50% atau hampir separuh dari total nilainya. Lima belas tahun sejak berlakunya UUP2SK , yaitu dilaksanakan pada tahun 2023. Ungkapan bahwa �UUS yang mencapai asetnya sedikitnya sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari nilai seluruh aset bank induk� berarti aset UUS merupakan 50% dari keseluruhan total aset bank induk. Jadi jika total aset bank induk adalah 100, maka 50 sebagai aset UUS. Ketika jumlahnya telah tercapai 50 atau lebih, UUS harus berpisah dari perusahaan induknya meskipun belum pindah pada tahun 2023. Kita juga harus tahu bahwa sebelum adanya UUPS2K menyampaikan kewajiban untuk memisahkan ketika salah satu atau keduanya tercatat atau kriteria terpenuhi. Sementara itu, bank yang tidak memenuhi kriteria Pasal 68 tetap dapat melakukan penjualan secara sukarela sepanjang memenuhi ketentuan yang berlaku.  

Pada tanggal 15 Desember 2022 lalu, pemerintah resmi memberlakukan Rancangan Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) melalui rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Disahkannya undang-undang ini merupakan salah satu tujuan pemerintah untuk mereformasi sektor Indonesia agar lebih dinamis, kokoh, mandiri, dan berkeadilan. Selain itu untuk sebagai peraturan yang melakukan perlindungan terhadap konsumen atau pelanggan dari berkembangnya secara cepat pada industri. Alasannya adalah kebutuhan untuk perluasan ketentuan �pada sektor keuangan. Selain itu, kebutuhan teknologi di sektor keuangan perkembangannya yang sangat maju. Oleh karena itu diharapkan regulasi juga dapat mengatasi permasalahan tersebut. Selain itu, undang-undang ini menjadi harapan dapat memperkuat sistem keuangan nasional dalam mengatasi berbagai tantangan dan keadaan global. UUPS2K mencakup konten yang luas termasuk:

1. Penguatan kelembagaan otoritas keuangan dengan tetap menjaga independensinya.
2. Penguatan administrasi dan peningkatan kepercayaan masyarakat.
3. Pembiayaan oleh sektor keuangan jangka panjang, yang diakumulasikan untuk

��� kesejahteraan dan dukungan keuangan untuk keberlanjutan.
4. Perlindungan Konsumen
5. Literasi keuangan, partisipasi dan inovasi  

 

Adapun bentuk ketentuan baru dalam UU PPSK yaitu merubah ketentuan Pasal 68 UU PPS dengan perbandingan perubahan sebagai berikut (Taga et al., 2019):

 

Tabel 3

Perubahan Pasal 68 tentang UUS

UU No. 21 Tahun 2008

UU No. 4 Tahun 2023

Dalam hal UUS memiliki nilai aset sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari total nilai yang dimiliki bank induk atau 15 (lima belas) tahun setelah Undang-Undang ini berlaku, bank umum tradisional yang bersangkutan harus memisahkan diri menjadi UUS dari BUS. 

Setelah memenuhi syarat tertentu dari OJK maka wajib memisahkan UUS menjadi BUS

Diatur lebih lanjut dalam PBI

OJK dapat meminta pemisahan UUS menjadi BUS dalam rangka konsolidasi perbankan syariah. Lebih lanjut diatur dalam POJK setelah konsultasi dengan DPR

 

Pengaturan sebelumnya dimana dalam UUP2SK� sebelum diubah mengatur adanya dua sifat spin off yaitu secara sukarela dimana aset lebih dari 50% dari aset BUK, dan secara mandatori yaitu 15 tahun pasca diundangkannya UUP2SK� yakni jatuh tempo pada 16 Juli 2023 mendatang. Pasca disahkan dan diberlakukannya UU baru dalam UU PPSK maka tidak ada lagi kewajiban spin-off UUS menjadi BUS. Dihilangkannya klausul �atau 15 tahun sejak berlakunya UU 21 tahun 2008� dapat bermakna pencabutan BUK yang telah mempunyai UUS agar terpenuhinya kewajiban pemisahan pada tahun 2023, 15 tahun setelah tanggal efektifnya  UU 21 Tahun 2008, namun saat ini tentunya dengan tetap memperhatikan ketentuan rumusan yang akan dikeluarkan oleh OJK.

Tata cara pemisahan UUS yang terbaru mengacu pada ketentuan Pasal 34 POJK Nomor 59/POJK.03/2020 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemisahan Unit Usaha Syariah menyatakan bahwa ketentuan Pasal 41, Pasal 42, Pasal 45 hingga Pasal 54 PBI Nomor 11/10/PBI/2009 tentang UUS dilakukan pencabutan dan tidak pemberlakuannya. Maka perlu diperbandingkan antara PBI Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah yang kemudian ketentuannya dicabut sebagian oleh POJK tersebut. Berikut Penulis sajikan dalam tabel untuk mempermudah pembaca:

 

 

Tabel 4

Perbandingan Persyaratan Pemisahan UUS

PBI Nomor 11/10/PBI/2009

POJK Nomor 59/POJK.03/2020

Hanya dapat dilakukan untuk BUS yang memiliki keterkaitan kepemilikan dengan BUK yang mempunyai UUS.

Dapat diberlakukan untuk BUS yang dapat memiliki atau tidak memiliki keterkaitan kepemilikan dengan BUK yang memiliki UUS.

Persyaratan modal minimum harus dipenuhi minimal 8 persen (delapan persen) dari rasio kewajiban pemenuhan modal minimum (KPMM)

DIHAPUS

Dalam hal rasio net non-performance finance (NPF) lebih dari 5% (lima persen) dan/atau melebihi batas maksimal penyaluran, saluran hasil selisih atau BUS penerima selisih harus diselesaikan dalam waktu 1 . (tahun

 

Rasion bruto tertinggi dari pembiayaan yang tidak diselenggarakan adalah 5% (lima persen) dan apabila pemisahan UUS mengakibatkan batas maksimal penyaluran dana terlampaui, BUS hasil pemisahan atau BUS pemisahan BUS yang diterima, yang akan diselesaikan dalam periode paling lama 18 (delapan belas) bulan.  

 

Hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari BI�

Wajib mendapatkan perizinan� dari OJK

 

����������� Mengacu pada Tabel 4 dan Tabel 3 di atas maka pemerintah telah mempermudah syarat untuk melakukan pemisahan UUS yang kemudian dipertegas dengan tidak lagi membakukan syarat sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah nilai kekayaan induk perusahaan untuk dilakukan pengeluaran menurut undang-undang   melainkan diatur dalam POJK yang artinya bahwa syarat ini dapat saja dirubah dikemudian hari dan bersifat sangat dinamis, ketimbang diatur dalam undang-undang yang mana akan membuat syarat itu menjadi susah untuk diubah dikemudian hari dan bersifat statis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian M. Nur Rianto Al Arif et al., dalam Angrum Partiwi et.al yang menyatakan bahwa pemerintah selain aset, modal atau permodalan, juga harus melihat kriteria lain yang memudahkan UUS. Dengan ini harapannya bahwa tujuan pemisahan yang diamanatkan dalam UUP2SK yang akan jatuh tempo pada 2023 dapat segera terpenuhi.

 

Prospek Kebijakan Spin Off di Omnibus Law Sektor Perbankan Pada Bidang Perbankan Syariah di Indonesia

Pemberlakuan spin off untuk UUS yang disebutkan pada Omnibus Law Sektor Perbankan Pasal 68 bertujuan mendorong perkembangan sektor jasa keuangan syariah yang dikaitkan dengan program konsolidasi lembaga jasa keuangan. Kebijakan konsolidasi perbankan menjadikan salah satu cara regulator dalam mendukung stabilitas sistem keuangan. Kebijakan konsolidasi bank ini sering diterapkan setelah krisis keuangan. Diunggah dalam POJK nomor 12/POJK.03/2020 tentang konsolidasi bank umum tentang kriteria perbankan di Indonesia. Ini termasuk pembaharuan pada efisiensi sistem, daya saing, efisiensi dan keberlanjutan. Secara umum, Bank Indonesia (BI) dan kemudian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberlakukan beberapa pedoman konsolidasi berupa perjanjian modal minimum, pembatasan kepemilikan asing dan pedoman kepemilikan tunggal (Ruky, 1999). Hasilnya, sektor perbankan terus mengalami konsolidasi dan konsentrasi, dari jumlah sebanyak 239 bank pada tahun 1996 merubah menjadi 151 bank pada tahun 2000, sebelum mengalami penyusutan lebih jauh menjadi 110 bank pada tahun 2020. Peraturan OJK menjadi bagian dari upaya memperkuat struktur dan fleksibilitas sehingga daya saing industri perbankan yang yang dapat mendorong sistem stabilitas dan mengalami pertumbuhan secara nasional.

Di sisi lain, jika mengacu pada UUP2SK �maka kewajiban spin off ini akan jatuh tempo pada 16 Juli 2023 tepat 15 tahun pasca UUP2SK� diundangkan (Putra, 2020). Namun berdasar pada Pasal 68 sebagaimana diperbandingkan dalam Tabel.3 diatas maka frasa �15 tahun� tersebut hanya diatur dalam PBI No. 11/10/PBI/2009 tentang UUS tepatnya pada Pasal 40 ayat (1) huruf b. Selain itu kebijakan terkait dengan pemisahan UUS telah secara tegas ditentukan menjadi ranah kewenangan OJK sebagaimana terlihat dalam Tabel.3 di atas dan hanya akan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia selama OJK tidak menyatakan lain.

Dalam menyikapi ketentuan tersebut, tentunya BUS akan melakukan pemisahan atau spin-off baik pelaksanaan dilakukan dalam waktu cepat atau lambat. Lambatnya proses pemisahan UUS menjadi BUS oleh Angrum Pratiwi et.al dinyatakan dalam penelitiannya bahwa pertumbuhan dengan rerata aset UUS sejak periode tahun 2015 hingga Juni 2020 mencapai 18,88% dengan rata rata aset BI pada rentang waktu yang sama yaitu 4,88% (Pratiwi et al., 2021). Dengan asumsi bahwa pertumbuhan aset ini konstan maka pada tahun 2034 UUS baru memiliki total aset yang cukup untuk menjadi BUS yaitu sekitar 1,818 triliun rupiah dengan aset BI sebesar 3,329 triliun rupiah (Pratiwi et al., 2021). Jika kembali melihat pada pengaturan pasal 68 yang telah diubah dalam Tabel.3 diatas maka sebenarnya sangat wajar pemerintah tidak lagi membakukan ketentuan �15 tahun� tersebut di dalam undang-undang melainkan dalam peraturan kelembagaan seperti OJK. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah telah sadar akan kemampuan UUS di Indonesia yang baru bisa mencapai total aset layak untuk menjadi BUS tidak bisa setelah 15 tahun pasca pengundangan UUP2SK . Hingga tulisan ini ditulis OJK belum melakukan pembuatan aturan turunan baru terhadap Pasal 68 tersebut. Sehingga kedepannya kebijakan spin off ini dapat ditinjau kembali dengan menyesuaikan kemampuan UUS di Indonesia untuk menjadi BUS, dimana OJK memiliki peran yang vital dalam mengeluarkan peraturan OJK yang baru yang merevisi ketentuan �15 tahun� tersebut. Hal inilah yang kemudian membuat Omnibus Law Sektor Perbankan menjadi suatu momentum dan instrumen hukum yang dapat dipergunakan oleh OJK dalam membuat suatu kebijakan yang lebih memberikan kelonggaran bagi UUS untuk menjadi BUS.

Hal tersebut dimaknai tidak sebatas dari permasalahan yang sering muncul dihadapi oleh UUS untuk menjadi BUS terutama dibidang permodalan yang diwajibkan sebanyak satu triliun rupiah yang jika berdasar pada penelitian Angrum Pratiwi et.al baru akan tercapai pada 2034. Oleh karena itu, mengenai cara untuk melakukan pemisahan tentunya akan diatur skema dan mekanismenya melalui ketentuan yang dirancang oleh OJK apakah nantinya kegiatan pemisahan terbagi menjadi 2 (dua) dengan adanya pembentukan BUS baru atau pengalihan kewajiban dan hak UUS kepada BUS.

 

Kesimpulan

Pemerintah telah mempermudah syarat untuk melakukan pemisahan UUS menjadi BUS di UUPS2K atau� Omnibus Law Sektor Perbankan) yang mana hal ini terlihat dari pengaturan Pasal 68 UUP2SK� diubah menjadi tidak lagi membakukan syarat sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah nilai kekayaan induk perusahaan untuk dilakukan pengeluaran menurut ketentuan pada undang-undang melainkan diatur dalam POJK yang artinya bahwa syarat ini dapat saja dirubah dikemudian hari dan bersifat sangat dinamis, ketimbang diatur dalam undang-undang yang mana akan membuat syarat itu menjadi susah untuk diubah dikemudian hari dan bersifat statis.

Pemerintah dengan merevisi Pasal 68 UUP2SK� telah sadar bahwasanya kemampuan UUS di Indonesia yang baru bisa mencapai total aset layak untuk menjadi BUS tidak bisa setelah 15 tahun pasca pengundangan UUP2SK . Disamping itu OJK juga belum melakukan pembuatan aturan turunan baru terhadap Pasal 68 tersebut. Sehingga kedepannya kebijakan spin off ini dapat ditinjau kembali dengan menyesuaikan kemampuan UUS di Indonesia untuk menjadi BUS, dimana OJK memiliki peran yang vital dalam mengeluarkan peraturan OJK yang baru yang merevisi ketentuan �15 tahun� tersebut. Hal inilah yang kemudian membuat Omnibus Law Sektor Perbankan menjadi suatu momentum dan instrumen hukum yang dapat dipergunakan oleh OJK dalam membuat suatu kebijakan yang lebih memberikan kelonggaran bagi UUS untuk menjadi BUS.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Danupranata, G. (2013). Buku Ajar Manajemen Perbankan Syariah. Jakarta: Salemba Empat.

 

Faozan, A. (2013). Implementasi Good Corporate Governance Dan Peran Dewan Pengawas Syariah Di Bank Syariah. La_Riba, 7(1), 1�14. Https://Doi.Org/10.20885/Iustum.Vol24.Iss1.Art6

 

Nasuha, A. (2012). Dampak Kebijakan Spin-Off Terhadap Kinerja Bank Syariah. Al-Iqtishad: Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah, 4(2).

 

Nasution, L. Z. (2019). Strategi Spin-Off Bagi Pengembangan Keuangan Syariah: Tinjauan Pada Kasus Asuransi Syariah. Jdep (Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan), 2(2), 80�93.

 

Nomor, U.-U. (21 C.E.). Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

 

Nugrahani, F., & Hum, M. (2014). Metode Penelitian Kualitatif. Solo: Cakra Books, 1(1), 3�4.

 

Pratiwi, A., Rizal, F., & Mainata, D. (2021). Spin-Off Sharia Banking In Indonesia: Calculation Projection And Critical Study Regulation. Kodifikasia, 15(2), 229�242.

 

Putra, A. (2020). Politik Hukum Kelembagaan Pengelolaan Zakat Dalam Uu No. 21 Tahun 2008 Dan Uu No. 23 Tahun 2011. Al-Mutharahah: Jurnal Penelitian Dan Kajian Sosial Keagamaan, 17(1), 1�28.

 

Rahmayuni, R. (2020). Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Sebagai Lembaga Pengawas Perbankan Terhadap Perkembangan Kinerja Keuangan Di Bprs Bandar Lampung (Studi Pada Ojk Provinsi Lampung Dan Bprs Bandar Lampung). Uin Raden Intan Lampung.

 

Ramadani, S. (2016). Respon Unit Usaha Asuransi Syariah Di Indonesia Terhadap Kebijakan Spin Off Yang Diatur Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 40 Tahun 2014 Dan Pojk No 67 Tahun 2016. Jakarta: Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Uin Syarif Hidayatullah.

 

Ruky, M. S. (1999). Menilai Penyertaan Dalam Perseroan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

 

Sinaga, B. N. P. D., & Siburian, K. (2018). Analisis Yuridis Spin Off Dalam Perusahaan Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Jurnal Hukum Patik, 7(3), 240�251.

 

Sinayang, B. I. D. (2023). Alternatif Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional Dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Prospek Perkembangan Ekonomi Syariah Di Indonesia. " Dharmasisya� Jurnal Program Magister Hukum Fhui, 2(3), 5.

 

Sjawie, H. F., & Sh, L. L. M. (2018). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tipikor. Prenada Media.

 

Soleman, D. R. (N.D.). Tinjauan Hukum Normatif Terhadap Penerapan Spin-Off Pada Unit Usaha Syariah. Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.

 

Sunggono, B. (2006). Metodologi Penelitian Hukum.

 

Syakir, A. (2008). Spin Off Unit Usaha Syariah. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Isalam Uin Sumatera Utara.

 

Taga, A. A., Nawawi, K. L., & Kosim, A. M. (2019). Perkembangan Perbankan Syariah Sebelum Dan Sesudah Spin-Off. Tafaqquh: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Dan Ahwal Syahsiyah, 4(1), 78�110.

 

Umam, K., & Antoni, V. (2018). Corporate Action Pembentukan Bank Syariah: Akuisisi, Konversi, Dan Spin-Off. Ugm Press.

 

Yusuf, M. Y. (2012). Dinamika Fatwa Bunga Bank Di Indonesia: Kajian Terhadap Fatwa Mui, Muhammaddiyah Dan Nahdhatul Ulama. Media Syari�ah: Wahana Kajian Hukum Islam Dan Pranata Sosial, 14(2), 151�160. Https://Doi.Org/10.22373/Jms.V14i2.1872

 

Copyright holder:

Anastasia Pritahayu Ratih Daniyati, Naufan Mufti Sudarmono, Zahra (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: