Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 5, Mei 2023

 

SUBJECTIVE WELL-BEING PADA REMAJA YANG MEMILIKI KELUARGA BROKEN HOME

 

Triga Ayu Amanda, Sawi Sujarwo�

Fakultas Psikologi, Universitas Bina Darma Palembang, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana kondisi subjektif well-being pada remaja yang memiliki keluarga broken home dan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being remaja yang memiliki keluarga broken home. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Desain penelitian kualitatif yang dipakai adalah jenis penelitian studi kasus dan fenomenologi. Penelitian ini dilakukan di kota Palembang, yang diketahui terdapat fenomena mengenai keluarga broken home. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 8 orang narasumber yang terbagi menjadi 2 sebagai subjek utama penelitian. Validasi terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki obyek penelitian, baik secara akademik maupun logistiknya. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan atau gabungan dari teknik observasi, wawancara, serta dokumentasi. Hasil penelitian ini yaitu masing-masing individu telah mencapai subjective well-being dalam kehidupannya hal tersebut dapat dilihat dari gambaran aspek dan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being kedua subjek. Kedua subjek mampu mendapatkan subjective well-being dengan permasalahan yang terjadi pada kehidupan mereka.

 

Kata kunci: well-being, remaja, keluarga broken home.

 

Abstract

The purpose of this study was to determine how the subjective condition of well-being in adolescents who have broken home families and the factors that affect the subjective well-being of adolescents who have broken home families. This study used qualitative research methods. The qualitative research design used is a type of case study research and phenomenology. This research was conducted in the city of Palembang, where there is a known phenomenon of broken home families. In this study, researchers used 8 resource persons divided into 2 as the main subjects of the study. Validation of researchers as instruments includes validation of understanding qualitative research methods, mastery of insight into the field under study, readiness of researchers to enter the object of research, both academically and logistically. Data collection techniques in this study use or a combination of observation, interview, and documentation techniques. The result of this study is that each individual has achieved subjective well-being in his life, it can be seen from the description of aspects and factors that affect the subjective well-being of both subjects. Both subjects were able to obtain subjective well-being with problems that occurred in their lives.

 

Keywords: well-being, teenagers, broken home families.

 

Pendahuluan

Keluarga merupakan kelompok sosial yang bersifat abadi, dikukuhkan dalam sebuah pernikahan yang memberikan pengaruh keturunan dan lingkungan sebagai dimensi penting bagi individu, serta keluarga adalah tempat yang penting dimana individu terutama adalah anak untuk memperoleh dasar dalam membentuk kemampuannya agar menjadi orang berhasil di masyarakat, keluarga terdiri dari pribadi-pribadi yakni ayah, ibu dan anak-anak sebagai keluarga inti (Gunarsa, 2008).

Keluarga merupakan salah satu hal yang paling berharga yang dimiliki setiap individu. Setiap individu selalu berharap memiliki keluarga yang harmonis dan juga lengkap. Peran sebuah keluarga merupakan sebagai syarat utama bagi kelancaran terlaksanakannya suasana keluarga yang baik, dengan suasana keluarga yang bahagia anak (remaja) bisa mengembangkan dirinya dengan bantuan orang tua dan saudara-saudaranya (Gunarsa, 2008).

Menurut Amato dan Sobolewski (2011) mengatakan remaja yang mengalami perceraian orang tua cenderung mengalami ketidakbahagiaan, rendahnya kontrol diri, dan tidak memiliki kepuasan dalam hidup. Selain itu, remaja dengan kondisi keluarga broken home sering mengalami tekanan mental seperti depresi, hal ini yang menyebabkan biasanya anak memiliki perilaku sosial yang buruk (Aziz, 2015). Merupakan suatu kenyataan yang tidak menyenangkan bagi remaja ketika berada pada masa pencarian jati diri dan memiliki masalah pribadi sebagai remaja, justru harus dihadapkan pada kenyataan bahwa orang tuanya bercerai (Novi, 2015).

Perceraian seringkali dianggap penyelesaian yang tepat untuk mengakhiri hubungan rumah tangga yang tidak kondusif, dan tidak sedikit suami-istri yang mengakhiri jalinan mereka dengan perceraian. Menurut Dariyo (2008) perceraian (divorce) merupakan peristiwa yang sebenarnya tidak direncanakan dan dikehendaki kedua individu yang sama-sama terikat dalam perkawinan. Perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan, sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami-istri. Masalah perceraian memang tidak hanya dirasakan oleh orang tua yang mengalaminya, hal ini tentunya juga memiliki dampak terhadap anak terutama pada remaja.

Wulandari dan Fauziah (2019) menemukan bahwa perubahan pada remaja broken home disebabkan hilangnya perhatian atau kasih sayang orang tua akibat adanya perceraian akan mempengaruhi kesuksesan transisi tugas pada saat remaja.�

Transisi tahapan perkembangan yang seharusnya dilalui remaja dengan pendampingan orang tua seringkali tidak berjalan sebagaimana mestinya pada remaja berlatar belakang broken home. Steinmayr et al (2019) menjelaskan apabila orang tua dengan anak memiliki kualitas komunikasi yang buruk setelah perceraian, maka akan mempengaruhi tingkat subjective well-being terutama pada saat masa remaja.

Setiap individu pasti mengharapkan kebahagiaan dalam hidupnya, bahkan hampir setiap individu mendambakan kehidupan yang bahagia. Menurut Seligman (2006) mengatakan istilah kebahagiaan juga banyak dikenal dalam psikologi positif. Teori psikologi menggunakan istilah yang lebih tepat yang dapat didefinisikan secara operasional, yakni subjective well-being. Dalam arti psikologi, tidak penting orang menggunakan kebahagiaan atau subejctive well-being, tetapi kuncinya adalah bagaimana mereka secara emosional menginterpretasikan dan secara kognitif memproses apa yang terjadi pada diri mereka.

Diener (2009) menyatakan bahwa definisi subjective well-being dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori. Pertama, kesejahteraan dipandang sebagai sesuatu yang tidak memiliki standar karena bersifat relative serta dinilai berdasarkan kualitas yang diinginkan setiap orang. Kedua, definisi subjective well-being disebut sebagai kepuasan hidup dan berdasarkan pada standar responden untuk menentukan kehidupan yang baik. Definisi ketiga, subjective well-being merupakan pengalaman emosional yang menyenangkan, yaitu dalam kehidupan seseorang lebih dominan merasakan perasaan yang positif dari pada negative.

Adapun penelitian relevan berjudul Subjective Well-Being pada siswa SMP yang Mengalami Broken Home dilakukan oleh Adinigsih (2017) terdapat hasil hasil subjek cenderung merasa tidak nyaman saat berada dirumah karena orang tau yang sibuk dengan urusan masing-masing dan tidak peduli dengan kondisi sang anak. Akibatnya anak merasa tidak memiliki kedekatan emosianal dan memunculkan perasaan sedih, kecewa jenuh dan kesepian. Untuk mendapatkan kenyamanan dan kebahagiaan subjek merokok, minum keras, balap liar kendaraan bermotor serta menunjukkan sikap berontak dengan cara selalu membantah perintah orang tua.

Penelitian ini berhubungan juga dengan subjective well-being dalam skripsi yang di lakukan oleh Nani (2016) yang berjudul Pemafaan dan subjective well-being pada remaja yang memiliki keluarga bercerai. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemaafan memiliki pengaruh terhadap subjective well-being pada remaja yang memiliki keluarga bercerai (R = 0.571 dan p = 0.000).

Penelitian ini juga hampir serupa dengan penelitian yang dilakukan Adiningsih (2017) mengenai Subjective Well-Being pada siswa SMP yang Mengalami Broken Home. Dalam penelitian ini didapatkan hasil subjek cenderung merasa tidak nyaman saat berada dirumah karena orang tau yang sibuk dengan urusan masing-masing dan tidak peduli dengan kondisi sang anak. Akibatnya anak merasa tidak memiliki kedekatan emosianal dan memunculkan perasaan sedih, kecewa jenuh dan kesepian. Untuk mendapatkan kenyamanan dan kebahagiaan subjek merokok, minum keras, balap liar kendaraan bermotor serta menunjukkan sikap berontak dengan cara selalu membantah perintah orang tua.

Penelitian ini juga hampir serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Yi dan Lin (2019) mengenai Subjective Well-Being and Family Structure During Early Adolescence: A Prospective Study. Hasil penelitian menumukan menemukan bahwa menemukan bahwa Subjective Well-Being menurun selama masa remaja awal. Selain itu juga ditemukan bahwa memiliki keluarga yang utuh dengan pernikahan yang tidak harmonis merugikan Subjective Well-Being pada setiap titik waktu. rekan-rekan yang tinggal dalam keluarga utuh tanpa kakek-nenek yang tinggal bersama. menurun selama masa remaja awal.

Berdasarkan hal demikian peneliti tertarik untuk meneliti Subjective well-being pada remaja yang memiliki orang tua broken home dengan subjek penelitian subjek M dan subjek D untuk mengetahui lebih dalam mengenai Subjective well-being pada remaja yang memiliki orang tua broken home. Adapun kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana kondisi subjective well-being pada remaja yang memiliki keluarga broken home dan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being remaja yang memiliki keluarga broken home.

Ada pun manfaat penelitian ini adalah : (1) Bagi remaja, diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dipelajari cara atau strategi untuk dapat tetap eksis atau tidak terpuruk dan dapat menangani atau menghadapi permasalahan yang sedang dihadapinya.� (2) Bagi para orang tua, terutama yang sering terjadi konflik dalam keluarganya, lebih mementingkan kesibukan kariernya masing-masing, serta lebih banyak menghabiskan waktunya untuk urusan karier dan pribadi, semoga saja hasil penelitian ini dapat memberi gambaran bahwa para orang tua hendaknya juga mau untuk memahami psikologis anak-anaknya yang pada dasarnya menderita karena keadaan keluarganya yang tidak harmonis. (3) Bagi masyarakat, diharapkan dapat menjadi masukan untuk lebih memahami dampak-dampak negatif yang dirasakan dan dialami oleh remaja yang berasal dari keluarga broken home.

 

Metode Penelitian

����������������������� Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif (Sugiyono, 2016). Desain penelitian kualitatif yang dipakai adalah jenis penelitian studi kasus dan fenomenologi (Sugiarto, 2015). Tipe penelitiannya yang dipakai yaitu tipe pendekatan fenomenologi deskriptif dan fokus penelitiannya adalah untuk mendeskripsikan subjective well-being pada individu dengan latar belakang broken home. Penelitian ini dilakukan di kota Palembang, yang diketahui terdapat fenomena mengenai keluarga broken home. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 8 orang narasumber yang terbagi menjadi, 2 sebagai subjek utama penelitian, 4 orang sebagai informan tahu dan 2 orang informan pelaku untuk masing-masing subjek. Dalam penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling (Sugiyono, 2016).

Sugiyono (2016) mengatakan dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Oleh karna itu peneliti sebagai instrumen harus juga divalidasi seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan. Validasi terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki obyek penelitian, baik secara akademik maupun logistiknya. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan atau gabungan dari teknik observasi, wawancara, serta dokumentasi. Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatiif meliputi uji credibility (validitas interbal), transferability (validitas eksternal), dependability (realibilitas), dan conformability (obyektivitas) (Sugiyono, 2016). Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah di lapangan.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Hasil Penelitian Subjek 1 (D)

Berdasarkan hasil wawancara dengan subjek penelitian pertama yakni subjek D serta dibantu dengan informan tahu 1 yakni E sebagai ayah kandung dari subjek D, dan informan tahu 2 sebagai sepupu dari subjek D. Hal ini dilakukan untuk melihat kesamaan dengan subjek penelitian. Setelah melakukan pengambilan data diperoleh beberapa tema yang mengarah pada jawaban atas pertanyaan penelitian yang akan diuraikan secara sistematis. Tema-tema tersebut mengisi jawaban petanyaan mengenai aspek yang mempengaruhi subjective well-being pada remaja yang memiliki keluarga broken home. Keseluruhan merupakan pandangan dari subjek sebagai remaja yang memiliki keluarga broken home.

Tema 1 : Dasar Permasalahan Yang Terjadi Di Keluarga (D)

Konflik awal terjadi permasalahan pada keluarga subjek D ialah subjek D menyadari bahwa ada perubahan sikap pada ibunya yang sebelumnya sangat peduli dan harmonis tetapi tiba-tiba tidak peduli dan sibuk dengan urusannya sendiri.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan subjek D permasalahan yang muncul di dalam keluarga subjek D berawal dari masalah ekonomi pada kedua orang tua subjek D kemudian salahnya penggunaan teknologi oleh ibu subjek D sehingga mengakibatkan perubahan perilaku dan perubahan pola asuh. Sejak subjek duduk di bangku sekolah dasar subjek sudah mengetahui bahwa ada sesuatu yang terjadi dengan orang tuanya. Sumber masalah yang terjadi di keluarga subjek D berasal dari ibu subjek D.

Tema 2 : Penyebab dan Efek Perceraian pada Keluarga Subjek (D)

Penyebab perceraian orang tua subjek D ialah yang pertama ialah masalah ekonomi dan semakin panjang hingga ibu subjek D melakukan perselingkuhan yang membuat subjek D menjadi anak Broken Home. Efek yang dialami setelah menjadi anak broken home adalah sebagai anak subjek D merasa bahwa bertanya-tanya kemudian mencari tahu dan kerjasama untuk memeriksa telepon genggam ibu subjek D, dan benar adanya bahwa ibu subjek D melakukan perselingkuhan dengan laki-laki lain.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan subjek penelitian, penyebab dan efek yang terjadi pada keluarga subjek D bermula dari perselingkuhan yang dilakukan oleh ibu subjek D dengan laki-laki lain. Kemudian efek yang di alami subjek D setelah permasalahan tersebut membuat subjek D merasakan kekecewaan yang mendalam dan putus asa yang hampir mengakibatkan subjek D berniat untuk bunuh diri. Subjek D mengatakan bahwa subjek D memang masih mempunyai ayah namun subjek D merasakan sepi dan cemburu pada orang lain yang memiliki keluarga utuh.

Tema 3 : Adapatasi Dengan Permasalahan Subjek (D)

Awalnya subjek D yang pertama kali mengetahui bahwa ibu subjek D berselingkuh dengan laki-laki lain subjek D memendam terlebih dahulu agar subjek D dapat mencari tahu bukti. Subjek D begitu lama memendam hal tersebut, walaupun orang tua subjek D pisah kamar tetapi masih merespon dengan baik jadi ayah subjek D tidak menyadari bahwa sudah ada perubahan dan tidak terjadi apa-apa.�

Awalnya subjek D yang pertama kali mengetahui bahwa ibu subjek D berselingkuh dengan laki-laki lain subjek D memendam terlebih dahulu agar subjek D dapat mencari tahu bukti. Subjek D begitu lama memendam hal tersebut, walaupun orang tua subjek D pisah kamar tetapi masih merespon dengan baik jadi ayah subjek D tidak menyadari bahwa sudah ada perubahan dan tidak terjadi apa-apa.� Ayah subjek D begitu kecewa dengan perlakuan dan masalah yang dilakukan oleh ibu subjek D, ketika subjek D memberitahu ayahnya bahwa ibu subjek D berselingkuh respon ayah subjek D tenangm namun didalam dirinya begitu sedih, kecewa dan emosi. Dan ketika ayah subjek D meminta untuk bertemu tetapi ibu subjek D menola dan enggan untu menjelaskan.

Tema 4 : Perubahan Diri Subjek Setelah Konflik Terjadi (D)

Subjek D mengatakan bahwa subjek merasakan bahwa dirinya menjadi lebih cengeng dan merasa dirinya sangat berubah setelah konflik itu terjadi. Subjek D mengatakan bahwa subjek merasa mendapatkan hikmah setelah masalah itu terjadi, subjek D merasa bahwa dia lebih merasa dewasa di banding teman-temannya walaupun umurnya lebih muda dari teman-temannya.

Berdasarkan hasil wawancara bahwa subjek D merasakan bahwa dirinya lebih mudah menangis dan merasakan lebih dewasa dibanding teman-temannya walaupun umur subjek D lebih muda dari teman-temannya, subjek D merasakan bahwa subjek D bisa merasakan hikmah. Pernyataan subjek D di dukung juga oleh Informan Tahu II bahwa subjek D sebelum konflik itu terjadi subjek D begitu pendiam dan setelah kejadian subjek D begitu mudah menangis. Subjek D juga mengatakan dalam wawancara bahwa perubahan-perubahan yang subjek alami ialah emosi yang membuat subjek D temparemantal dan tidak sabar. Subjek D juga mengatakan bahwa subjek D merasakan bahwa dirinya begitu pengertian kepada sesama anak yang menjadi korban broken home.

Tema 5 : Subjective Well-Being pada subjek D

Subjek D mengatakan dalam wawancaranya bahwa subjek D mendapatkan kebahagiaan dari eksternal dibanding internal. Subjek D mengatakan bahwa kebahagiaan yang di dapat itu dari teman-teman dan kekasihnya, walaupun subjek D mempunyai ayah tetapi jika di dalam rumah begitu sepi karena memang ayah subjek D tidak menikah lagi.

Berdasarkan hasil wawancara dengan subjek D dan Informan pelaku menyatakan bahwa subjek D mengatakan dalam wawancara bahwa subjek mendapatkan rasa kebahagiaan dari lingkungan eksternal dan subjek merasakan bahwa subjek sangat malas untuk pulang kerumah setelah dari luar karena keadaan di dalam rumahnya begitu sepi. Di dukung juga oleh informan pelaku bahwa memang benar adanya subjek D pernah berkata bahwa subjek malas untuk pulang kerumah karena keadaan dirumahnya yang begitu sepi.

B.     Dinamika Psikologis Subjek Penelitian Subjective well-being� pada remaja yang memiliki keluarga Broken Home

Berdasarkan penelitian dilapangan didapatkan bahwa subjek merupakan anak yang memiliki keluarga broken home. Karena keluarganya yang broken home membuat terdapat konflik yang dialami oleh subjek dalam penelitian ini sampai akhirnya subjek berusaha untuk melakukan kepuasan hidup dan untuk menentukan kehidupan yang baik.

Subjek D merasa bahwa ada perubahan pada ibu kandungnya mulai dari perubahan perilaku dan pola asuh. Subjek D merasa seharusnya ibu kandungnya bisa menjadi tempat pulang tetapi dalam hal ini semua berubah tidak seperti itu. Konflik-konflik yang terjadi di dalam kelurga subjek membuat subjek merasa bahwa keluarganya berbeda dengan keluarga yang lain. Konflik yang terjadi sudah mulai sejak subjek D kecil, permasalahan yang dilakukan oleh ibu kandung subjek D terus terjadi konflik. Karena konflik yang terus menerus terjadi membuat subjek merasa bahwa tidak ada kehangatan di dalam keluarga subjek.

Subjective well-being subjek D terlihat dari cara mendapatkan perasaan kebahagiaan yang dilakukan oleh subjek D. Subjek D bisa bertahan dengan keadaan dan permasalahan yang ada berkat sahabat-sahabatnya dan kekasih subjek D. Karena sudah terbiasa dengan keadaan dan permasalahan yang terjadi membuat subjek D menjadi lebih kuat menghadapi permasalahan yang terjadi. Subjek D mengatakan kalo memang sudah begitu keadaannya mau tidak mau harus dilewati, subjek D berusaha untuk bertahan subjek D merasa suatu saat pasti akan ada hikmahnya juga.

Salah satu aspek subjective well-being adalah aspek afek positif. Aspek afek psoitif terlihat dari penerimaan diri subjek terhadap permasalahan yang subjek alami, awalnya subjek merasa sulit untuk menerima dan mengikhlaskan keadaan yang terjadi tetapi subjek merasa kenapa tidak mengikhlaskan saja dan ketika subjek D mengikhlaskan dan memaafkan subjek D menjadi lebih tenang dalam menghadapai permasalahan yang terjadi. Subjective well-being subjek D dapat dilihat dari pengalaman subjek D sendiri yang dilakukan oleh subjek D dalam menghadapi permasalahan yang subjek alami subjek memiliki pemikiran yang begitu dewasa.

Faktor subjective well-being �adalah perangai/watak, sifat, hubungan sosial, pendapatan, pengangguran, pengaruh sosial/budaya, hal ini dapat dilihat dari kondisi psikologis berpengaruh pada penyelesaian masalah dan penyesuian diri bagi subjek. Subjek D mengatakan bahwa kondisi psikologis sangat berpengaruh dalam penyelesaian masalah yang sedang dihadapi jika kondisi psikologis subjek sedang tidak baik-baik membuat subjek menjadi tidak mood untuk menanggapi permasalahan yang ada dan terkadang membuat subjek menjadi menangis dan sesnitif.

Lingkungan memberikan dampak bagi subjective well-being subjek D, lingkungan pertemanan memberikan dampak masing-masing bagi subjective well-being subjek. lingkungan pertemanan pun berpengaruh bagi subjek. Subjek D sangat-sangat berterima kasih kepada teman-teman subjek karena disaat subjek merasa sedih teman-teman subjek tetap dekat dan mengajak subjek untk menjadi sosok yang lebih baik lagi. Lingkungan pertemanan dan lingkungan luar sama-sama memberikan semangat kepada subjek.

Adapun gambaran penyesuaian diri pada anak yang memiliki keluarga disharmonis dapat dilihat pada outline dibawah ini:

 

Gambaran 2

Subjective well-being Pada Remaja Yang Memiliki Keluarga Broken Home

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


C.    Deskripsi Hasil Penelitian Subjek Kedua (M)

1.      Profil Subjek Penelitian M

Subjek pertama dalam penelitian ini adalah M seorang perempuan yang berusia 19 tahun berpostur tubuh badan yang kurus dan memiliki tinggi badan sekitar 158 cm. M memiliki kulit sawo matang dan M sekarang sudah berhijab sudah lama. D merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara. M memiliki 1 orang kakak laki-laki dan 1 orang adik. M sekarang sedang bekerja di salah satu toko minuman di salah satu mall yang ada di Palembang.

M sekarang tinggal bersama ibunya didaerah plaju. Kegiatan M sekarang ini kebanyakan diluar karena M bekerja Di salah satu toko minuman di salah satu mall yang ada di Palembang. M banyak menghabiskan waktu diluar rumah. M menghabiskan waktunya di tempat ia bekerja, jika sudah pulang bekerja M memlih untuk bermain bersama temannya. Dalam kesehariannya M merupakan seorang anak yang pendiam dan tidak terlalu suka bergaul dengan teman-temannya. Keadaan yang terjadi dengan keluarganya membuat M menjadi anak yang malu dan ada rasa ketakutan dalam dirinya. M merasa tidak semua teman-temannya bisa menerima keadaan keluarga M dengan latar belakang keluarga yang seperti itu, sehingga membuat M terkadang menarik diri dari lingkungan sosialnya. M merasa takut jika ada yang mengetahui latar belakang keluarganya seperti apa sehingga itulah yang membuat M tidak terlalu mengakrabkan diri dengan teman-temannya, tapi semakin bertambah dewasa M mulai menerima dan berusaha untuk tidak terpaku lagi dengan apa yang orang pikirkan, M juga merasa ada juga temannya satu atau dua orang yang bisa menerima keadaan keluarga M dan tetap ingin berteman baik dengan M.

M merasakan ada sesuatu yang aneh dengan keluarganya ketika M pulang sekolah dan mengetahui bahwa orang tuanya akan bercerai. M mengetahui bahwa ayahnya berselingkuh dengan perempuan lain. Setelah sekian banyak hal yang telah di hadapi M berusaha sabar dan tetap bertahan dengan keadaan yang ada. Semakin besar M juga semakin berubah dan mulai bisa menyikapi dengan positif atas apa yang terjadi dengan kehidupannya. M merasa mendapatkan banyak pelajaran atas permasalahan yang di hadapinya dan� juga merasa mungkin sudah jalannya, M belajar menyesuaiakan diri dengan keadaan yang ada. Ketika permasalahan itu terjadi M berusaha mengalihkanya dengan hal yang lain, misal dengan pergi kerumah sahabatnya M� atau pergi bekerja. M beranggapan hal itu membuatnya merasa lebih baik dan tidak terlalu membutnya teringat membuat sedikit perasaannya menjadi lega dan menjadi lebih baik seteleh bercerita dan mengeluarkan apa yang M rasakan.akan masalah yang ada, M juga sering bercerita dengan sepupunya tentang apa yang M rasakan. M beranggapan dengan menceritkan permasalahan yang ada.

2.      Profil Informan Tahu Subjek Penelitian Pertama

Informan tahu untuk subjek M adalah ibunya , P merupakan kakak sepupu dari subjek M. P merupakan seorang perempuan berusia 25 tahun. P memiliki ciri fisik kulit putih� dan tinggi badan sekitar 167 cm. M merupakan perempuan yang sudah mengenakan hijab. Keseharian P sekarang ini P berkuliah di salah satu universitas negeri di Palembang P merupakan kakak sepupu yang terbilang dekat dengan subjek M. M sering menginap di rumah P . P bercerita jika M sering tidur di rumahnya, ketika terjadi masalah M menjadikan rumah P sebagai tempat M berlindung.� P juga mengetahui apa yang terjadi pada keluarga meyra, karna sudah dari kecil P dan M tinggal berdekatan rumah dan di lingkungan yang sama. P mengatakan bahwa M� sering bercerita tentang apa yang M alami pertengkaran seperti apa yang terjadi� selalu bercerita kepada P. P juga mengetahui bagaimana M berusaha bertahan dan menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya, memang tidak selalu berjalan lancar. P juga sering memberi semangat dan selalu mengatakan bahwa P ada jika M membutuhkannya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan subjek penelitian pertama yakni subjek M serta dibantu dengan informan tahu 1 yakni sebagai ibu kandung dari subjek M, dan informan tahu 2 P sebagai sepupu dari subjek M. Hal ini dilakukan untuk melihat kesamaan dengan subjek penelitian. Setelah melakukan pengambilan data diperoleh beberapa tema yang mengarah pada jawaban atas pertanyaan penelitian yang akan diuraikan secara sistematis. Tema-tema tersebut mengisi jawaban petanyaan mengenai aspek yang mempengaruhi subjective well-being pada remaja yang memiliki keluarga broken home. Keseluruhan merupakan pandangan dari subjek sebagai anak yang memiliki keluarga broken home.

Tema 1 : Dasar Permasalahan Yang Terjadi Di Keluarga (M)

Konflik awal terjadi permasalahan pada keluarga subjek M ialah ketika ibu kandung dan adik kandung dari subjek memergoki ayah kandung subjek M sedang berselingkuh dengan wanita lain dirumah mereka yang lain.

Berdasarkan wawancara dengan subjek M dan Informan tahu 1 mengatakan bahwa konflik awal perceraian orang tua subjek M ialah ayah kandung dari subjek M berselingkuh dengan perempuan lain. Dan pernyataan subjek M di dukung juga oleh� informan tahu 1 bahwa informan tahu 1 mendapat telepon dari tetangganya di salah satu rumah mereka, sebelum mendapat telepon informan tahu 1 pernah melihat pesan masuk dari perempuan lain dari media sosial facebook. Dan setelah mengetahui hal tersebut informan tahu 1 langsung memergoki ayah kandung subjek M bersama adik kandung subjek M.

Tema 2 : Penyebab dan Efek Perceraian pada Keluarga Subjek (M)

Subjek M mengatakan dalam wawancara bahwa penyebab perceraian kedua orang tuanya ialah yang pertama masalah ekonomi yang menurun ayah kandung subjek M mengatakan bahwa ibu kandung subjek M begitu boros. Kemudian kedua orang tua subjek M yang selalu perang dingin tetapi tidak pernah main tangan. Dan pada akhirnya ayah kandung subjek mulai berulah yaitu berkenalan dengan perempuan lain melalui sosial media tetapi perempuan tersebut orang luar kota dan di anggap ibu subjek M sepele karena orang luar kota tetapi setelah berkenalan dengan orang palembang dan ibu subjek M mengetahui dan langsung memergoki ayah kandung subjek M.

Berdasarkan wawancara subjek M dan informan tahu 1 bahwa penyebab perceraian orang tua subjek M ialah masalah ekonomi kemudian, perang dingin dan memanjang sampai ayah kandung subjek M berselingkuh dengan perempuan lain. Subjek M mengatakan dalam wawancara bahwa subjek M kehilangan rumah tempat saling berbagi cerita, nasihat dan saling menjaga satu sama lain tetapi, sekarang subjek M merasa bahwa subjek M dan saudaranya sudah seperti orang asing.

Tema 3 : Adapatasi Dengan Permasalahan Subjek (M)

Dalam wawancara subjek M mengatakan bahwa ketika subjek M mengetahui bahwa ada permasalahan dalam keluarganya subjek M sesak dan tidak bisa berkata apapun untuk mencari tempat bercerita. Ketika mengetahui hal tersebut subjek M mengatakan pada dirinya bahwa subjek M kehilangan arah dan sudah malas untuk pulang kerumah karena rumah yang dianggap sekarang sudah seperti tempat asing bahkan kasih sayang pun sudah tidak terlihat lagi.

Berdasarkan hasil wawancara subjek M mengatakan bahwa subjek merasa bahwa dia begitu kecewa dan tidak bisa berkata-kata. Subjek juga mengatakan bahwa setelah mengetahui kejadian tersebut subjek tidak tahu arah untuk kehidupannya subjek kehilangan rumah tempat subjek bertukar cerita dan nasihat. Pernyataan subjek M juga di dukung oleh informan tahu 2 dan informan pelaku bahwa subjek M sering menangis, melamun dan lebih menjadi pendiam.

Tema 4 : Perubahan Diri Subjek Setelah Konflik Terjadi (M)

Awalnya subjek merasa kebingungan pada diri subjek M sendiri. Subjek M merasakan bahwa kesehatan badannya menurun dan ada gangguan di otak kemudian subjek M juga mempunyai gejala asma dan sering marah tidak jelas. Subjek M merasakan perubahan drastis pada dirinya sendiri, subjek M juga amarahnya lebih drastis dan sering melempar barang. Subjek M juga mengatakan dalam wawancaranya bahwa subjek pernah ingin pergi ke psikolog dan subjek juga sering check up ke dokter karena subjek M mempunyai sinus yang sampai ke saraf yang membuat makin parah karena sering menangis.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan bahwa subjek M mengalami perubahan kesehatan dan mental, subjek M merasakan bahwa dirinya merngalami perubahan emosi yang berbeda dari sebelumnya dan kesehatan subjek M yang menurun karena sering menangis. Subjek M juga jika marah sering melempar barang dan berteriak.

Tema 5 : Subjective Well-Being pada subjek (M)

Subjek M merasakan bahwa dia mendapat sesuatu kebahagiaan dari teman-temannya dan kekasihnya. Subjek M mengatakan dalam wawancaranya bahwa subjek M setiap harinya menghabiskan waktu diluar rumah bahkan jika subjek M libur kerja, Subjek M merasakan bahwa jika subjek M berada diluar dan bermain bersama teman dan kekasihnya seketika masalah di dalam dirinya hilang. Subjek M juga mengatakan dalam wawancara bahwa jika dirumah subjek M merasa bosan dan merasa kesepian jadi subjek M menghabiskan waktunya di luar rumah.

Berdasarkan wawancara subjek M mengatakan bahwa dirinya mendapatkan rasa kebahagiaan dari teman-teman dan kekasihnya, Subjek M menghabiskan kesehariannya bermain bersama sahabat dan kekasihnya subjek M begitu merasa lepas seperti tidak ada masalah apapun ketika bersama sahabat dan kekasihnya. Subjek M juga mengatakan bahwa sering bertukar cerita melalui telepon dengan sahabatnya.

D.    Dinamika Psikologis Penyesuaian Diri Pada Anak Yang Memiliki Keluarga Disharmonis Subjek Kedua (M)

Berdasarkan penelitian dilapangan didapatkan bahwa subjek merupakan anak yang memiliki keluarga broken home. Karena keluarganya yang broken home membuat terdapat konflik yang dialami oleh subjek dalam penelitian ini sampai akhirnya subjek berusaha untuk melakukan kepuasan hidup dan untuk menentukan kehidupan yang baik.

Pembahasan

Subjective well-being dianggap lebih luas dan didefinisikan sebagai sisi afektif seseorang (suasana hati dan emosi) dan evaluasi kognitif kehidupan mereka. Subjective well-being menunjukkan kepuasan hidup dam evaluasi terhadap domain-domain kehidupan yang penting seperti pekerjaan, kesehatan dan hubungan juga termasuk emosi mereka seperti keceriaan dan kegembiraan� dan pengalaman emosi yang negative, seperti kemarahan, kesedihan dan ketakutan yang sedikit. Dengan kata lain, kebahagiaan adalah nama yang diberikan untuk pikiran dan perasaan yang positif terhadap hidup seseorang (Diener, 2008).

Subjective well-being ditunjukkan dengan adanya kesesuaian antara aspek dan faktor-faktor pembentukkan subjective well-being. Aspek subjective well-being yang dimaksud adalah Aspek afek positif, aspek afek negative, aspek afek kognitif. Sedangkan faktor � faktor pembentukan subjective well-being adalah Perangai/watak, sifat, hubungan sosial, pendapatan, pengangguran, pengaruh sosial/budaya. Pertama yaitu subjective well-being yang terdapat pada kedua subjek penelitian D dan M, dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada kedua subjek penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa subjek merasa bahwa perasaan bahagianya didapatkan dari lingkungan eksternal atau pertemanan yang membuat subjek begitu lepas dan merasa lebih bahagia di bandingkan berada pada lingkungan internal.

Kedua yaitu aspek afek positif, aspek afek positif adalah merupakan perasaan bahagia, senang dan gembira yang dirasakan oleh seseorang. Afek positif seseorang dapat diperoleh dari pengalaman dirinya sendiri. Begitupun yang terjadi dengan kedua subjek, awalanya subjek D merasa sulit untuk mengikhlaskan keadaan yang terjadi permasalahan yang ada tetapi semakin lama subjek D semakin mengikhlaskan dan memaafkan keadaan. Sedangkan subjek M belum bisa menerima keadaan dan masih mengatasi dan meredakan emosinya melalui hal-hal yang negative (Diener, Oishi, & Lucas, 2015).

Ketiga, aspek afek negative Afek negatif merupakan kebalikan dari afek positif. Perasaan emosional yang timbul ketika seseorang lebih banyak mengalami afek negative adalah sedih, kecewa, dan marah. Hal ini dapat terlihat dari subjek D yang berusaha untuk memendam dan hanya berdiam diri di tempat ternyaman bagi subjek D sedangkan Subjek kedua M berbanding terbalik dengan subjek D, Subjek M mengekspresikan dirinya melalui amarah yang bergejolak dan sulit untuk mengontrol emosinya. Menurut Dienner (2000) dalam jurnalnya yang berjudul �Subjective Well-Being : The Science of Happiness and A proposal for a National Index� : Emosi atau Tempramen dan kepribadian terlihat menjadi salah satu faktor kuat yang mempengaruhi subjective well-being.

Keempat faktor subjective well-being perangai/watak, Perangai biasanya diinterprestasikan sebagai sifat dasar dan universal dari kepribadian, dianggap menjadi yang paling dapat diturunkan, dan ditunjukkan sebagai faktor yang stabil di dalam kepribadian seseorang. Dari hasil wawancara yang dilakukan bersama subjek dapat disimpulkan bahwa subjek D lebih cenderung malas dan tidak ingin ada masalah serta bisa menahan emosinya sedangkan jika subjek M jika mengatasi masalah dengan cara menangis, melempar barang dan meminum obat tidur (Prismati dan Wrastari, 2013). Salah satu dampak negatif dari perceraian bagi remaja adalah dirinya merasakan kesedihan dengan keadaan keluarganya, perasaan tidak nyaman, tidak aman (insecure), masalah emosional, tidak mampu mengendalikan emosi, dan kesejahteraan subjektif yang rendah. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan kedua subjek penelitian D dan M. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua subjek memiliki perkembangan emosi. Subjek D dulu lebih emosi pada saat menghadapi permaslaahan tetapi semakin hari semakin tumbuh berkembang subjek menjadi lebih bisa menahan emosi dan menyikapi masalah tidak selalu dengan emosi yang meluap-luap. Sedangkan subjek M yang dulunya ketika emosi hanya bisa diam sekarang subjek M jika mengekspresikan emosinya dengan melempar barang. Berdasarkan pernyataan subjek D dan M dan dipertegas dengan teori yang ada dapat dikatakan bahwa adanya perkembangan dan kematangan terutama kematangan emosi pada kedua subjek.� Albin (Yuniarti, 2009) mengemukakan bahwa kematangan emosi merupakan kemampuan untuk memikiran emosi yang membantu meningkatkan kemampuan untuk menguasai atau mengendalikannya. Hal ini memberikan manfaat bahwa semakin matang emosi seseorang maka akan mampu menguasai pikiran dan dapat memecahjan berbagai masalahan yang dihadapi. Pastey dan aminbhvari (2006) emosi adalah kekuatan motivasi yang besar sepanjang rentang kehidupan manusia yang mempengaruhi aspirasi, tindakan, pikiran, individu.

Sintesa

1. Persamaan Kedua Subjek

Subjective well-being pada remaja yang memiliki keluarga broken home menunjukkan adanya kesesuaian antara proses pencapaian yang ditemukan dilapangan serta aspek dan faktor-faktor yang membuat subjective well-being tersebut bisa terjadi. Dari proses wawancara yang dilakukan oleh peneliti didapatkan tema- tema yang mengarah kepada subjective well-being yang dimiliki oleh kedua subjek penelitian ialah: Pertama yaitu cara mendapatkan kebahagiaan yang dimiliki oleh kedua subjek yaitu D dan M. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan kedua subjek dan informan tahu dapat disimpulkan bahwa subjek D dan M mendapatkan kebahagiaan dari lingkungan eksternal. Diener dkk, (2005) menyatakan bahwa subjective well-being yaitu evaluasi yang dilakukan seseorang terhadap kehidupannya. Evaluasi yang bersifat kognitif meliputi bagaimana seseorang merasakan kepuasan dalam hidupnya. Evaluasi yang bersifat afektif meliputi seberapa sering seseorang merasakan emosi positif dan negative. Seseorang dikatakan mempunyai tingkat subjective well-being yang tinggi jika orang tersebut merasakan kepuasaan dalam hidup, sering merasakan emosi positif seperti kegembiraan dan kasih sayang serta jarang merasakan emosi negative seperti kesedihan dan amarah.

�Persamaan kedua adalah penyebab terjadinya perceraian keluarga subjek D dan subjek M adalah adanya pihak ketiga yang membuat keluarga subjek D dan subjek M menjadi hancur. Dari hasil wawancara bahwa ibu dari subjek D berselingkuh dan memilih untuk bercerai dengan ayah dari subjek D sedangkan subjek M ayah subjek M yang berselingkuh dan memilih untuk bercerai. Menurut kardawati (2001) beberapa penyebab dari timbulnya keluarga yang Broken home yang pertama orang tua yang berpisah atau bercerai Kasus seperti percerian menunjukkan bahwa suatu kenyataan dari kehidupan suami dan istri yang tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang atas dasar-dasar perkawinan yang telah terbina bersama dari awal dan kini telah goyah dan tidak mampu menompang dan mempertahankan keutuhan kehidupan keluarga yang harmonis. Yang kedua, pihak ketiga yang di maksud orang yang dengan sengaja atau tidak di sengaja menjadi penyebab adanya krisis krisis dalam rumah tangga. Krisis ini bisa saja dalam bentuk kepercayaan baik dari sisi ekonomi, hubungan personal maupun lainnya.

2. Perbedaan Kedua Subjek

Berdasarkan proses wawancara yang dilakukan dilapangan didapatkan temuan-temuan diluar penelitian; Pertama adalah Subjek pertama sumber permasalahan yang terjadi bukan dari ibu subjek D, sedangkan subjek kedua yaitu M permasalahan yang terjadi timbul dari ayah subjek M. Subjek D lebih memendam dari pada menyampaikan apa yang subjek rasakan kepada ibu subjek tentang permasalahan yang terjadi karena subjek merasa sia-sia tidak ada gunannya untuk disampaikan karena tidak akan merubah, sedangkan subjek M lebih menyampaikan apa yang subjek M rasakan kepada bapak subjek walaupun bapak subjek tetap tidak berubah.

3. Kesulitan Yang Ditemukan Dalam Penelitian

a.       Mengatur waktu untuk melakukan wawancara.

b.      Peneliti harus menyampaikan pertanyaan dengan hati-hati supaya subjek merasa nyaman.

c.       Dalam proses wawancara bahasa yang masih kurang baku.

d.      Menentukan tema dalam penemuan penelitian dari hasil wawancara dengan subjek dan informan tahu.

 

Kesimpulan

�Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua subjek di dalam penelitian ini masing-masing individu telah mencapai subjective well-being dalam kehidupannya hal tersebut dapat dilihat dari gambaran aspek dan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being kedua subjek. Kedua subjek mampu mendapatkan subjective well-being dengan permasalahan yang terjadi pada kehidupan mereka. Hasil ini dapat dilihat dari gambaran aspek subjective well-being subjek D dan M serta faktor-faktor yang memperngaruhi pembentukkan subjective well-being yang dapat dilihat dari tema-tema yang muncul. Bagaimana gambaran subjective well-being subjek ditunjukkan dari aspek-aspek subjective well-being dengan berbagai bentuk masing-masing pada kedua subjek penelitian. Pada subjek D dan M gambaran aspek subjective well-being ditunjukkan dari cara mendapatkan kebahagiaan dari lingkungan eksternal dibandingkan internal. Gambaran aspek subjective well-being terlihat dari penerimaan diri denagn ikhlas terhadap permasalahan yang terjadi. Subjek D� berusaha memaafkan dan mengikhlaskan sikap dan perbuatan yang ibu subjek lakukan. Selian itu gambaran subjective well-being subjek terlihat dari langlah-langkah kedepan yang akan dilakukan oleh subjek D. Selain itu ada faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being subjek D dan M. Faktor-faktor tersebut terlihat dari faktor perkembangan emosi dalam menyikapi permasalahan yang ada, faktor penyebab subjective well-being subjek D dan M terlihat dari terbiasa dengan konflik yang ada serta faktor lingkungan.

 


BIBLIOGRAFI

 

�Amato, P. R. & Sobolewski, J. M. (2001). The effects of divorce and marital discord on adult children�s psychological well-being. American Sociological Review, 66(6), 900- 921.

 

Amita, D "Psikologi remaja dan permasalahannya." ISTIGHNA: Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam 1.1 (2019): 116-133.

 

Aminah, & Karyanta. (2014). Proses Penerimaan Anak (Remaja Akhir) Ter-hadap Perceraian Orangtua Dan Konsekuensi Psikososial Yang Menyertai-nya. Jurnal Psikologi. Fakultas Kedokteran Program Studi Psikologi Universitas Sebelas Maret

 

Astuti, Y., Rachmah, N., & Anganthi, N. (2016). Subjective well-being pada remaja keluarga broken home. Jurnal Penelitian Humaniora, 17(2), 161-175.

 

Aziz, M. (2015). Perilaku sosial anak remaja korban broken home dalam berbagai perspektif. Jurnal Al-ijtimaiyyah, 1(1), 30-50.

 

Baskoro, A. (2008). Hubungan antara Persepsi terhadap Perceraian Orang Tua dengan Optimisme Masa Depan Pada Remaja Korban Perceraian. Skripsi. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

 

Bugin, B. 2007. Penellitian Kualitatif. Prenda Media Group: Jakarta

 

Chaplin, C. P. (2000). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Prasada

 

Chaplin J.P, Kamus Lengkap Psikologi, terjemahan Kartini Kartono, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 71

 

Compton, W. C. (2005). Introduction to positive psychology. Belmont, CA, US: Thomson Wadsworth.

 

Dagun, S. M. (2002). Psikologi keluarga. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

 

Darmawanti, F. N. (2013). Perbedaan kematangan emosi remaja ditinjau dari struktur keluarga. Jurnal Psikologi, 3, 93-102.

 

Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

 

Darajat Z., Ilmu Jiwa Agama,� (Cet XIII; Jakarta : Bulan Bintang,1991),h. 50.

 

Dewi, P. S., & Utami, M. S. (2015). Subjective well‐ being anak dari orang tua yang bercerai. Jurnal Psikologi, 35(2), 194-212

 

Diener, E. (2000). Subjective well-being : The science of happiness and a proposal for a national index. American Psychologist, 55, 34-43.

 

Diener, E. (2009). The Science of Subjective Well Being. The collected works of Ed Deiner. Social Indicators Research Series. Vol. 37, New York, NY: Springer

 

Diener, E., Sandvik, E., Pavot, W. (2009). Happines is the Frequency, Not the Intensity of Positive Versus Negative Affect. Social Indicators Research, 39, 213-231.

 

Diener, E. & Chan, M. Y. (2011). Happy people live longer: Subjective well‐being contributes to health and longevity. Applied Psychology, Health and Well‐Being, 3(1), 1-43. DOI: 10.1111/j.1758-0854.2010.01045.x.

 

Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R.E. (2015). National accounts of subjective well-being. American Psychologist, 70, 234-242. DOI: 10.1037/a0038899.

 

Diener, E. & Tay, L. (2015). Subjective well‐being and human welfare around the world as reflected in the gallup world poll. International Journal of Psychology, 50(2), 135-149. DOI: 10.1002/ijop.12136.

 

Eddington, N. & Shuman, R. (2005). Continuing psychology education: Subjective well-being happiness. Diambil pada tanggal 22 Juni 2022, dari https:// www.texcpe.com

 

Eid, M. & Larsen R.J. 2008. The Science of Subjective Well-being. London : The Guildford Perss.

 

Elfida, D., Lestari, Y. I., Diamera, A., Angraeni, R., & Islami, S. (2014). Hubungan baik dengan orang yang signifikan dan kontribusinya terhadap kebahagiaan remaja Indonesia. Jurnal Psikologi. 10(2), 66-73

 

Eryilmaz, A. (2012). A model for subjective well-being in adolescence: Need satisfaction and reasons for living. Social Indicators Research, 107(3), 561-574. DOI: 10.1007/s11205 011-9863-0.

 

Giyati & Wardani, I. R. K. (2016). Ciri-ciri kepribadian dan kepatutan sosial sebagai prediktor subjective wellbeing (kesejahteraan subyektif) pada remaja akhir. Analitika, 8(1), 10-24.

 

Goswami, H. (2012). Social relationships and children�s subjective well-being. Social Indicators Research,107(3), 575�588. https://doi.org/10.1007/s11205- 011-9864-z

 

Gunarsa, .S.D (2002). Asas-Asas Psikologi Keluarga Idaman. Jakarta; Gunung Mulia

 

Gunarsa, S D. (2008). Psikologi praktis, remaja, anak dan keluarga. Jakarta:

BPK Gunung Mulya.

 

Hurlock, E.B. (2002). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi ke 5. Jakarta: Erlangga.

 

Hurlock, E. B. (2009). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga

 

Hassan, A., Yusooff, F., & Alavi, K. (2012). The Relationship between parental skill and family functioning to the psychological well-being of parents and children. International Conference on Humanity, History and Society, 34, 1-10.

 

Kamil, A. (2017). Konseling Induvidu pada Santri Broken home di Pondok Pesantren Bangun Jiwo Bantul. Studi Kasus pada Dua Orang Santri Broken home, Skripsi, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga

 

Kamrani B, Pendidikan Keluarga Dalam Islam, (Yogyakarta: Bina Usaha, 1990), h. 77-78.

 

Kadarwati. (2011)� Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Jakarta Pustaka Pelajar

 

Kartono, K. (2010). Psikologi wanita jilid 2: Mengenal wanita sebagai ibu dan nenek. Bandung: Mandar Maju

 

Katkovsky & Gorlov. (1976). The Psychology Of Adjustment Current Concepts and Application. Mc.Graw-Hill Book Company, New York.

 

Koentjoro. (2010) Metode Penelitian Kualitatif. Unpublished Manuscript. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Univeristas Gadjah Mada.

 

Khairani, M. (2013). Psikologi Umum. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

 

Maryati, H.A & Rohmatuni. (2007). Hubungan Antara Kematangan Emosi dengan Kesiapan Memahami Perkawinan Pada Wanita Dewasa Awal Di Kecamatan Sematang Barat. Jurnal Psikologi Proyeksi: 02. 02. 25-35.

 

Mukhlis & Hirmaningsih, (2010), Teori Psikologi Perkembangan, Pekanbaru. Penerbit: Psikologi Press

 

Nayana, F. N. (2013). Kefungsian Keluarga dan Subjective Well-Being pada Remaja. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 01, (2), 230-244.

Copyright holder:

Triga Ayu Amanda, Sawi Sujarwo (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: