Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 12, Desember
2022
PENAMBAHAN �INSIGHT�
DAN �DIALOG� KE DALAM PEMIKIRAN EMPIRISME FRANCIS BACON
Milton Thorman
Pardosi
Universitas
Advent Indonesia, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Francis Bacon,
seorang filsuf dan ilmuwan Inggris abad ke-17, dikenal sebagai pendiri gerakan
empiris di Eropa. Pemikirannya yang berfokus pada pengamatan dan eksperimen
telah memberikan kontribusi besar pada perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Namun, dalam artikel ini, kita akan membahas penambahan "insight" dan
"dialog" ke dalam pemikirannya tentang empirisme. Pemikiran Bacon
tentang empirisme didasarkan pada pandangan bahwa pengetahuan harus berasal
dari pengamatan dan pengalaman. Namun, penambahan "insight" ke dalam
pemikirannya akan menekankan pentingnya intuisi dalam mengembangkan
pengetahuan. Dalam pengamatan, seringkali diperlukan intuisi atau pengertian
yang mendalam untuk melihat lebih jauh dari apa yang terlihat. Dengan demikian,
Bacon harus mengakui bahwa pengalaman bukan satu-satunya sumber pengetahuan dan
bahwa intuisi dapat memainkan peran penting dalam mengembangkan pengetahuan. Sementara
itu, penambahan "dialog" akan menekankan pentingnya diskusi dan
pertukaran ide dalam mengembangkan pengetahuan. Bacon percaya bahwa ilmu
pengetahuan harus dipandang sebagai upaya kolektif dan bahwa orang harus
bekerja sama untuk memperluas pemahaman manusia tentang dunia. Dalam konteks
ini, dialog dan pertukaran ide di antara ilmuwan dan peneliti adalah penting
dalam mengembangkan pengetahuan. Dalam kesimpulannya, penambahan
"insight" dan "dialog" ke dalam pemikiran Bacon tentang
empirisme akan memberikan dimensi baru pada pandangannya tentang bagaimana
pengetahuan berkembang. Sementara pandangan aslinya bahwa pengalaman adalah
satu-satunya sumber pengetahuan akan tetap berlaku, penambahan
"insight" akan menekankan pentingnya intuisi dalam mengembangkan
pengetahuan, sementara penambahan "dialog" akan menekankan pentingnya
diskusi dan pertukaran ide dalam mengembangkan pemahaman manusia tentang dunia.
Kata Kunci: Insight, Dialog, Pemikiran Empirisme Francis
Bacon.
Abstract
Francis Bacon, a 17th-century English philosopher and
scientist, is known as the founder of the empirical movement in Europe. His
thinking focused on observation and experimentation has contributed greatly to
the development of modern science. However, in this article, we will discuss
the addition of "insight" and "dialogue" to his thinking on
empiricism. Bacon's thinking on empiricism was based on the view that knowledge
must come from observation and experience. However, the addition of
"insight" to his thinking will emphasize the importance of intuition
in developing knowledge. In observation, it often takes deep intuition or
understanding to see beyond what is visible. Thus, Bacon had to recognize that
experience is not the only source of knowledge and that intuition can play an
important role in developing knowledge. Meanwhile, the addition of
"dialogue" will emphasize the importance of discussion and exchange
of ideas in developing knowledge. Meanwhile, the addition of
"dialogue" will emphasize the importance of discussion and exchange
of ideas in developing knowledge. Bacon believed that science should be viewed
as a collective effort and that people should work together to expand human
understanding of the world. In this context, dialogue and exchange of ideas
among scientists and researchers are important in developing knowledge. In conclusion,
the addition of "insight" and "dialogue" to Bacon's
thinking about empiricism would give a new dimension to his view of how
knowledge develops. While the original view that experience is the only source
of knowledge will remain valid, the addition of "insight" will
emphasize the importance of intuition in developing knowledge, while the
addition of "dialogue" will emphasize the importance of discussion
and exchange of ideas in developing human understanding of the world.
Keywords: Insight, Dialogue, Thought of Empiricism Francis
Bacon.
Pendahuluan
Pengetahuan
merupakan hal yang penting dalam hidup manusia. Siman (1988)
menyatakan bahwa pengetahuan merupakan �suatu hasil ciptaan sadar manusia,
dengan sumber-sumber historis yang didokumentasikan secara baik, dengan lingkup
dan kandungan yang dapat ditentukan secara pasti, dan dengan orang-orang
profesional terpercaya yang mempraktekkan serta menguraikannya.� Jalaluddin (2013)
menekankan bahwa pengetahuan diperoleh dari berbagai sumber melalui metode
ilmiah yang disusun secara sistematis dan telah diverifikasi untuk menguji
kebenaran empirisnya (pengetahuan yang diperoleh hasil observasi atau
percobaan).
Pengetahuan pada dasarnya diperoleh
manusia melalui beragam cara baik melalui pendidikan formal maupun non-formal. Pengetahuan
secara khusus bisa diperoleh
dan dikembangkan melalui observasi atau pengamatan langsung terhadap objek
tertentu atau pengalaman-pengalaman yang terjadi. Itu sebabnya manusia membutuhkan metode tertentu guna
memastikan apakah pengetahuan yang
diperolehnya benar-benar sudah dapat disebut sebagai pengetahuan
atau belum.
Manusia menghadapi berbagai tantangan
dalam memperoleh pengetahuan. Tantangan pertama muncul justru dari diri manusia
itu sendiri yang meragukan
kemampuannya dalam
memperoleh pengetahuan seutuhnya. Kaum Skeptisisme mengklaim bahwa manusia
tidak mempunyai suatu keyakinan yang secara objektif bisa dibenarkan sebagai
berkemungkinan lebih benar dari pada bantahannya karena pada dasarnya usaha
manusia untuk menemukan fakta atau membenarkan suatu kesimpulan adalah sia-sia
adanya (Kirkham,
2013).
Intinya, kaum Skeptisisme
�menyangsikan secara fundamental kemampuan pikiran manusia untuk mendapatkan
kepastian dan kebenaran� (Pranarka,
1987).
Di sinilah dibutuhkan epistemologi (teori
ilmu pengetahuan) yang merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan
hakikat pengetahuan. Epistemologi merupakan �disiplin filsafat yang secara
khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan� (Wahyudi,
2007). Tugas epistemologi secara umum ialah �menjelaskan
struktur dasar pengetahuan manusia, serta mempertanggungjawabkan mengenai
kebenaran dan kepastian pengetahuan itu� (Mintaredja,
2003).
Beberapa persoalan yang dibahas dalam
penelitian ini yaitu: pertama, apa epistemologi itu? Kedua, apa pemikiran empirisme Francis Bacon? Terakhir, apa
kelemahan pemikiran empirisme Francis Bacon?
Epistemologi
Secara etimologi, kata epistemologi
berasal dari dua kata
Yunani yaitu: episteme
(pengetahuan) dan logos (teori atau
ilmu atau pengetahuan sistematik). Dari dua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa epistemologi
berarti �pengetahuan sistematik tentang pengetahuan� (Wahyudi,
2007).
Lebih detailnya, epistemologi sebagai
cabang filsafat �mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya
(validitas) pengetahuan� karena pertanyaan pokoknya yaitu: �apa yang dapat saya
ketahui� (Tim
Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2010).
Beberapa persoalan penting yang menjadi
pokok bahasan dalam epistemologi yaitu: pertama, bagaimanakah manusia dapat
mengetahui sesuatu? Kedua, dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh? Selanjutnya,
bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai? Terakhir, apa perbedaan
antara pengetahuan a priori
(pengetahuan pra-pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman) (Tim
Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2010).
Keraf dan Dua (2001)
memberikan dua
fokus epistemologi yaitu:
pertama,
masalah metode ilmu pengetahuan yang titik beratnya ada pada logika dan
imajinasi yang merupakan dimensi penting dari seluruh cara kerja ilmu
pengetahuan itu sendiri. Sementara
fokus berikutnya membicarakan
hubungan antara ilmu pengetahuan dan masyarakat karena ilmu pengetahuan tidak
bisa lepas dari masyarakat.
Dalam
konteks ini, hal-hal yang dibicarakan ialah hubungan antara ilmu pengetahuan
dengan hidup dunia (life-world),
dengan politik, masalah moral dan bagaimana membangun ilmu pengetahuan dalam
masyarakat.
Oleh sebab itu, manusia akan mendapatkan
tiga jenjang pengetahuan sebagai hasil setiap kegiatan ilmiah yang terjadi:
pengetahuan filosofis-substansial,
pengetahuan ilmiah teoretis, dan
pengetahuan ilmiah-praktis-teknologis
(Suhartono,
2008).
Ilustrasi sederhana untuk memahami tiga jenjang pengetahuan ini melalui
ilustrasi makanan seperti yang disampaikan oleh Suhartono (2008)
yaitu: pertama, di dalam makanan terkandung nilai filosofis-substansial yaitu kesehatan. Kedua, pengetahuan ilmiah-teoretis-nya dari makanan ialah kelengkapan
gizi. Terakhir, pengetahuan ilmiah-praktis-teknologi
dari makanan menyangkut pluralitas dalam jenis, bentuk dan kualitas yang pada
akhirnya berhubungan dengan rasa nikmat.
Oleh sebab itu epistemologi diperlukan untuk mengantisipasi munculnya tiga
jenjang pengetahuan tersebut karena ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang
dengan sangat cepat dan terkadang berseberangan dengan nilai-nilai budaya dan moral
yang ada. Ini bertujuan agar di dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, manusia melakukannya secara interdisipliner
dan multidisipliner dan diamalkan
secara etis dan tidak bebas nilai (aksiologi). Tujuan akhir dari ilmu
pengetahuan ialah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan menjaga
kelestarian lingkungan hidup dengan sumber daya alamnya (Suhartono,
2008).
Milton K. Munitz dalam karyanya �Contemporary Analytic Philosophy� yang
dikutip oleh Khuza�i (2007)
membagi epistemologi menjadi dua periode yaitu: epistemologi modern yang
menekankan pada �teori ilmu pengetahuan� dan �sumber ilmu pengetahuan� yang
kemudian melahirkan dua aliran besar: rasionalisme dan empirisme. Tokohnya
ialah Descartes dan Francis Bacon. Sementara epistemologi kontemporer lebih
menekankan kepada proses dan prosedur untuk memperoleh ilmu pengetahuan
(metodologi). Tokohnya ialah Charles S. Peirce.
Beberapa
karakteristik epistemologi kontemporer menurut Khuza�i (2007)
yaitu: pertama, filsafat kontemporer dimulai setelah periode filsafat modern
(1600-1900) yang merupakan antitesa metafisika abad ke-19 dalam menghadapi
idealisme
Hegel (idealisme absolut) dan Rasionalisme. Wilayah perenungan dan pemikiran
filsuf tentang alam semesta dan manusia selama periode ini telah diambil oleh
para ilmuwan dengan cabang-cabang ilmu yang semakin mengkerucut sehingga
keberadaan filsafat dinilai sudah tidak bermanfaat lagi. Di masa ini muncul
perpecahan melawan akal dan idealisme
absolut. Antitesa filsafat ini dibuktikan dengan munculnya Pragmatisme (menekankan pertimbangan makna praktis), Vitalisme (menentang akal dan idealis
absolut, mendukung perubahan yang telah ditentukan secara intuitif), Personalisme
(hidup lebih mendalam dari pada logika), Neo-realisme
(melawan realitas metafisik idealis) dan Materialisme
dialektik (penghinaan Marx terhadap Hegel). Kedua, filsafat kontemporer
sering digambarkan sebagai abad analitik karena persoalan analitik begitu
dominan terutama yang berkenaan dengan isu-isu linguistik. Fokusnya bukan lagi
pada apakah mungkin memperoleh ilmu pengetahuan melainkan pada syarat-syarat
dan prosedur untuk memperoleh ilmu pengetahuan (Khuza�i,
2007).
Sementara karakteristik epistemologi
modern sebagaimana yang disimpulkan oleh Khuza�i (2007) yaitu:
pertama, munculnya Renaisans yaitu pemberontakan
terhadap alam pikir Abad Pertengahan. Dalam periode ini dimunculkan kembali
kebudayaan Yunani-Romawi sebagai alternatif kebudayaan Kristiani. Lima pokok penting
masa Renaisans dibandingkan dengan Abad
Pertengahan menurut Khuza�i (2007) yaitu:
(1) Otoritas gereja berkurang sementara otoritas ilmu bertambah; (2) Kekuasaan
raja mulai meningkat sementara kekuasaan gereja berkurang dalam dunia politik;
(3) Masa Renaisans dikenal sebagai
masa practical science (ilmu mengubah
dunia) sebagai perlawanan terhadap theoritical
science (ilmu memahami dunia) dalam Abad Pertengahan; (4) Di Abad
Pertengahan, kekeliruan dalam memahami dunia yang tidak sesuai dengan Kitab
Suci atau gereja akan dihukum, sementara di masa Renaisans perbedaan yang terjadi tidak akan menerima hukuman dari
gereja; (5) Pembebasan dari otoritas gereja menyebabkan tumbuhnya individualisme
bahkan cenderung anarkis. Munculnya modernisasi baik dalam kehidupan modern,
industrialisasi, revolusi Perancis dan pergolakan politik, perkembangan budaya menyebabkan
perubahan sosial.
Di era epistemologi modern inilah muncul
dua aliran besar pemikiran yang dikenal dengan Empirisme (Induktif) dan
Rasionalisme (Deduktif). Tokoh-tokoh epistemologi modern rasionalisme ialah Descartes,
Spinoza, Leibniz dan Wolf. Paham ini beranggapan bahwa �ada prinsip-prinsip
dasar dunia tertentu yang diakui benar oleh rasio manusia (Muslih,
2006).
Di sini yang menjadi objek penyelidikannya justru kekaguman filosofis itu
sendiri sebagaimana yang diusahakan oleh Descartes di mana �budi berusaha
mengatasi pengandaian yang mungkin menjadi bagian dari budi sendiri sehingga
sinar yang sangat terang bisa memancarkan diri (Khuza�i,
2007).
Prinsip ini bersumber dari budi manusia dan tidak dijabarkan dari pengalaman,
bahkan pengalaman empiris bergantung pada prinsip ini (Muslih,
2006).
Penekanan rasionalisme ialah �akal,� �idea,� �substansi,� �form,� �kausalitas,�
dan �kategori� dalam proses keilmuan (Muslih,
2006).
Dalam rasionalisme �suatu pikiran yang
telah mencapai tingkat refleksi tidak dapat dipuaskan dengan kembali pada
jaminan-jaminan anggapan umum (common
sense), tetapi justru menuju ke tingkat yang baru� (Khuza�i,
2007).
Pemikiran epistemologi rasionalisme menggunakan keraguan untuk mengatasi
keraguan itu sendiri. Mustansyir dan Munir (2003)
meringkaskan pemikiran epistemologi rasionalisme ini dalam dua hal: (1) Suatu
pendirian bahwa kebenaran-kebenaran yang hakiki itu secara langsung dapat
diperoleh dengan menggunakan akal sebagai sarananya; (2) Adanya suatu
penjabaran secara logis atau deduksi yang dimaksudkan untuk memberikan
pembuktian seketat mungkin mengenai lain-lain segi dari seluruh sisa bidang
pengetahuan berdasarkan atas apa yang dianggap sebagai kebenaran-kebenaran
hakiki. Rasionalisme pada dasarnya berpandangan bahwa semua pengetahuan
bersumber pada akal karena akal memperoleh data-data melalui indera lalu diolah
oleh akal sehingga menjadi pengetahuan (Tim
Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2010).
Sementara pemikiran epistemologi modern
empirisme berfokus pada pengalaman sebagai sumber utama pengenalan. Pengalaman terdiri
dari pengalaman lahiriah (sensation)
yang menyangkut dunia dan batiniah (reflection)
yang menyangkut pribadi manusia (Muslih,
2006: 52; Khuza�i, 2007). Adapun tokoh-tokohnya
yaitu: Francis Bacon, Thomas Hobbes, John Locke, Berkeley, David Hume. Dalam
pemikiran empirisme, ilmu pengetahun bukanlah bersifat a priori tetapi a posteriori
yaitu �metode yang berdasarkan peristiwa yang datangnya kemudian� (Khuza�i,
2007).
Empirisme menekankan �kemampuan manusia itu sendiri untuk mempersepsi, atau
pengamatan, atau apa yang diterima pancaindra dari lingkungan� (Wahyudi,
2007).
Adapun pengetahuan a posteriori yang dimaksud ialah �mengajukan proposisi sintetik
yakni yang tak dapat diuji kebenarannya dengan cara menganalisis pernyataan
tetapi harus diuji kebenarannya secara empiris� (Mustansyir
dan Munir, 2003).
Epistemologi modern empirisme menurut Khuza�1 (2007) menegaskan
bahwa: (1) Akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan
mengolah bahan-bahan atau data yang diperoleh melalui pengalaman; (2) Manusia
tidak mempunyai ide-ide bawaan atau innate
ideas. Manusia itu ibarat kertas putih yang belum terisi apa-apa dan baru
terisi melalui pengalaman-pengalaman. Kesimpulannya, dalam pemikiran empirisme
semua pengetahuan diperoleh lewat indera. Indera memperoleh kesan-kesan dari
alam nyata sehingga kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri manusia menjadi
pengalaman (Tim
Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2010).
Empirisme Francis Bacon
Salah satu tokoh epistemologi modern
empirisme ialah Francis Bacon (1561-1626). Bacon ialah seorang filsuf Inggris
yang menulis buku berjudul Novum Organum
(Organum Baru atau Alat atau Metode Baru) sebagai pengganti Organon-nya Aristoteles. Bacon menawarkan perangkat baru dalam penyelidikan yaitu
metode induktif-eksperimen (Muslih,
2006)
atau metode observasi, eksperimentasi dan komparasi (Tim
Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2010).
Bacon menyatakan: �founded upon empirical
observations, analysis of observed data, inference resulting in hyphotesis,
verification of hypothesis through continued observation and experiment� (Pranarka,
1987).
Poespowardojo dan Seran (2016)
meringkaskan sistematika induktif Bacon sebagai berikut: pertama, pengamatan
empiris; kedua percobaan-percobaan secara sistematis; ketiga, analisis
bukti-bukti secara eksperimental, dan penalaran induktif yaitu apa yang diamati
dalam pengalaman empiris dihubungkan dengan sebuah hukum sebab-akibat. Abidin (2011)
meringkaskan langkah induksi-empiris Bacon (ladder
of intellect) yaitu: (1) Ilmuwan memulai dari pengamatan-pengamatan
terhadap kasus tertentu lalu menyusun kesimpulan-kesimpulan umum; (2)
Kesimpulan-kesimpulan umum yang telah dibuat digunakan untuk menilai dan
menyeleksi kasus-kasus lain secara deduktif. Sementara metode yang benar dalam
melakukan penemuan menurut Bacon sebagaimana disampaikan oleh Hadiwijono (1980):
16) yaitu: (1) mengamat-amati alam semesta tanpa prasangka; (2) menetapkan
fakta-fakta berdasarkan percobaan-percobaan yang berkali-kali dilakukan dengan
cara yang bermacam-macam; (3) Jika fakta-fakta telah ditetapkan dengan langkah
seperti itu, fakta-fakta disimpulkan. Metode Bacon ini mulai dari fakta-fakta
empiris ke kesimpulan sementara dan dari situ bergerak ke kesimpulan sementara
lainnya, dan akhirnya tiba pada kesimpulan akhir atau teori ilmiah (Abidin,
2011).
Sebagai penulis yang ulung dan tugasnya sebagai
Lord Verulam, Bacon berhasil meyakinkan masyarakat ilmuwan untuk
menerima metode eksperimen sebagai kegiatan ilmiah (Suriasumantri,
1993). Bacon
mendasarkan klasifikasi ilmunya pada subyek yaitu daya manusia untuk mengetahui
sesuatu (Wiramihardja,
2006).
Adapun klasifikasinya seperti yang dirangkumkan oleh Wiramihardja (2006) yaitu:
pertama, ilmu pengetahuan ingatan (sejarah) yang membicarakan masalah atau
kejadian yang lampau, masih dimanfaatkan untuk masa sekarang. Kedua, ilmu pengetahuan khayal (Kesusasteraan) yang
membicarakan kejadian-kejadian dalam dunia khayal, berdasar dan untuk kebutuhan
dunia nyata. Ketiga, ilmu pengetauan akal (Filsafat) yang pembahasannya mengandalkan diri pada logika dan
kemampuan berpikir.
Pengetahuan bagi Bacon hanya akan berarti
jika tampak dalam kekuasaan manusia (human
knowledge is human power) (Meliono,
2009). Bacon menyatakan perlunya
metode dalam mempelajari pengalaman yang penekanannya pada eksperimen dan
observasi yang intensif yang akan menjadi landasan pengembangan ilmu
pengetahuan (Jalaluddin,
2013).
Bacon ingin membedakan metode induktif miliknya dengan metode logika dan
teologi yang tradisional (Shah,
1986).
Bacon sebenarnya mempelajari metode empiris ini dari para ilmuwan Muslim (Mursyi,
1982)
walaupun Bacon sendiri secara tidak jujur tidak pernah menyebut para
pendahulunya (Suriasumantri,
1993).
Manusia melalui pengalaman yang dialami,
menurut Bacon, dapat mengetahui benda-benda dan hukum-hukum relasi yang terjadi
antara benda-benda tersebut (Mustansyir
& Munir, 2003).
Pengalaman itu sendiri bisa muncul hasil dari percobaan pengalaman yang dicari
(experiential quaesita) yang
berfungsi sebagai gerbang dan pengalaman yang tampil begitu saja sifatnya (casus) (Peursen,
1985).
Namun di sisi yang lain, Bacon memberikan beberapa amaran agar manusia tidak
jatuh ke dalam apa yang disebut sebagai sesat pikir atau pemberhalaan atau idols (Mintaredja,
2003).
Mustansyir dan Munir (2003:
79; band. Subekti, 2003) meringkaskan keempat
sesat pikir tersebut yaitu: pertama, idola tribus
(the idols of the tribe) yaitu
menarik kesimpulan secara terburu-buru. Ini merupakan proyeksi dari pemahaman
dan perilaku yang coraknya justru perasaan dan maksud yang tidak pada tempatnya
terhadap berbagai proses alam maupun objek. Kedua, idola specus (the idols of the den/the
cave) yaitu menarik kesimpulan sesuai dengan seleranya. Ini mengacu pada
pengetahuan, keadaan dan opini yang telah dimiliki sebelumnya sehingga
mengeruhkan pertimbangan dan keputusan. Selanjutnya, idola fori (the idols of market)
yaitu menarik kesimpulan berdasarkan pendapat orang banyak. Ini merupakan keadaan
salah kaprah dalam komunikasi karena adat kebiasaan dan kesepakatan serta
pengggunaan bahasa yang menempatkan bentuk sebagai kenyataan bendanya. Sementara
yang terakhir, idola theatric (the idols of theatre) yaitu menarik
kesimpulan berdasarkan pendapat ilmuwan sebelumnya. Di sini kebenaran diterima
karena pengaruh berbagai konsep dari aliran filsafat tertentu.
Jika manusia salah dalam mengambil
keputusan karena terjebak di dalam empat amaran di atas, maka, manusia akan
masuk pada kesesatan berpikir yang berimbas pada perilaku yang sesat. Mengapa? Bacon
menegaskan bahwa �pengetahuan dan kebenaran yang sejatinya semu telah digunakan
begitu saja sebagai stand point
karena luput dari sikap kritis sang subjek itu sendiri� (Adib,
2011) atau,
�sesat pikir terjadi akibat ketergantungan prinsip berpikir pada induksi umum� (Mintaredja,
2003).
Namun kalau seorang ilmuwan sudah luput dari keempat amaran tersebut maka sang
ilmuwan telah mampu
menangani penafsiran atas alam melalui induksi secara tepat (Muslih,
2006).
Bacon menyatakan bahwa �Science is power� (ilmu pengetahuan
ialah kekuasaan). Artinya, �alam harus dikuasai untuk melayani manusia� (Poespowardojo
& Seran, 2016).
Latarbelakang dari penyataan ini yaitu kegagalan manusia untuk menguasai,
mengendalikan dan mengenal alam dengan baik. Oleh sebab itu Bacon menyatakan
bahwa dalam usaha manusia untuk menguasai, mengendalikan dan mengenal alam,
manusia harus lebih dekat kepada alam. Maka metode yang dapat digunakan untuk
tujuan tersebut yaitu metode induksi berdasarkan eksperimen dan obervasi dengan
menghimpun data-data faktual dalam jumlah besar (Muslih,
2006).
Dengan kata lain, ciri khas induksi dari Bacon ialah �menemukan dasar inti (formale) yang melampaui data-data
partikular, betapa pun besar jumlahnya� (Muslih, 2006).
Salah satu sumbangsih Bacon yaitu
pemikiran tentang sistematika ilmu sebagai konsekuensi dari apa yang dilihatnya
bahwa ada keterkaitan antara �potensi� manusia dengan objek-objek
penyelidikannya (Muslih,
2006).
Menurut Bacon, jiwa manusia mempunyai kemampuan triganda yaitu: ingatan (memoria) yang menyangkut hal-hal yang
sudah diperiksa dan diselidiki (historia);
khayal (imagination) yang berkaitan
dengan keindahan; an akal (ratio) yang akhirnya menghasilkan ilmu
dan filsafat (Muslih,
2006).
Namun pemikiran Bacon yang menyatakan
pentingnya eksperimen dalam ilmu pengetahuan ternyata justru membawa masalah
dalam Matematika Murni, Astronomi dan Geologi karena manusia hanya dapat
mengamati konsekuensi-konsekuensi kejadian dan situasi-situasi yang tidak dapat
dialami dan dikuasai (Ziman,
1988).
Di sini, eksperimen tidak sepenuhnya merupakan ciri metode ilmiah karena
empirisme tidak memberi �penghargaan yang seharusnya kepada tali pengikat
teoritis dan logis yang kuat yang dibutuhkan untuk menyatukan hasil eksperimen
dan pengamatan dan menguatkannya (Ziman,
1988).
Di dalam usahanya menentang metode logika
dan teologi yang tradisional,
Bacon menyampaikan beberapa pandangan (Shah,
1986) yaitu:
(1) Metode Teologi itu berdasarkan iman tentang adanya kuasa yang adikodrati
dan adimanusiawi yang berada di luar jangkauan manusia; (2) Logika yang
sekarang digunakan dalam ilmu pengetahuan justru merugikan. Mengenai logika,
Bacon menjelaskan bahwa silogisme berisi proposisi, karena proposisi itu sendiri
terdiri atas kata-kata dan akhirnya kata-kata mengungkapkan konsep; jika konsep
atau pengertian tidak jelas maka itu artinya proposisi mengandung sesat pikir (Mintaredja,
2003).
Satu-satunya harapan terletak dalam suatu induksi murni. Bacon memfokuskan
pemikirannya kepada pengamatan fakta-fakta secara empiris sebagai titik tolak
bagi semua ilmu dan menerima teori-teori sejauh itu berasal dari fakta-fakta. Idealnya, Bacon memandang bahwa semua ilmuwan
harus menghasilkan penyebutan yang seksama terhadap semua contoh fenomena
empiris yang sedang diselidiki sebagai pendahuluan untuk mengidentidikasi
�bentuk� alamiah objek yang dijelaskan (Ravertz,
2007).
Selanjutnya, menurut Bacon, sebagaimana
yang dirangkumkan oleh Mintaredja (2003)
ada dua jalan bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan atau kebenaran yaitu: melalui jalan sangat cepat melalui indera
dan partikular menuju aksioma yang sangat umum dan dari hal itulah sebagai
prinsip dan kebenarannya dianggap tak terbantahkan, diturunkan dan ditemukan
aksioma antara (middle axiom). Ini
merupakan metode yang lazim digunakan. Cara kedua ialah membangun aksiomanya
dari indera dan partikularia, melalui pendakian secara terus menerus namun
bertahap, hingga akhirnya sampai pada aksioma yang paling umum yang merupakan
jalan yang benar.
Namun
metode ini belum dicoba oleh manusia. Akhirnya, Bacon menawarkan cara ketiga
yaitu �orang harus mengarahkan perhatian kepada hal-hal yang partikulir itu
sendiri, dan rangkaian serta urutannya; orang-orang di sekitarnya sementara
waktu harus memaksa diri untuk mengesampingkan dulu anggapan-anggapan mereka
dan mulai mengenali fakta-fakta�Pembentukan gagasan dan aksioma melalui induksi
murni yang kebenarannya tidak disangsikan lagi merupaka cara yang tepat untuk
menolak dan membuang prasangka-prasangka� (Shah,
1986).
Dengan kata lain, Bacon menekankan bahwa penemuan-penemuan harus dilakukan
karena tugas dan secara metodis guna meningkatkan kemakmuran manusia bukan
sekedar kebetulan saja. Untuk mencapai misi itu maka diperlukan: (1) Alam
diwawancarai; (2) setiap orang harus bekerja dengan metode yang tepat; (3)
Orang harus bersikap pasif terhadap bahan-bahan yang disajikan alam; di mana,
orang harus menghindarkan diri dari mengemukakan prasang-prasangka terlebih
dahulu (Hadiwijono,
1980).
Adapun inti dari metode induktif Bacon
sebagaimana yang diringkaskan oleh Shah (1986) yaitu:
pertama, manusia harus mengesampingkan lebih dulu segala pengandaian yang
dibuat dan menahan dirinya dari godaan untuk melompat kepada
hipotesis-hipotesis; Kedua, pusat perhatian harus diarahkan kepada fakta-fakta
(mengamatinya, menggolong-golongkannya dan, selangkah demi selangkah, menarik
prinsip-prinsip yang mengaturnya); Terakhir, prinsip-prinsip yang paling umum
juga harus merupakan prinsip-prinsip yang paling akhir dicapai, sebab jika
tidak, hanya akan diperoleh suatu pengantisipasian alam dan bukan suatu
�penafsiran alam.�
Kelemahan Pemikiran Empirisme Francis
Bacon
Namun metode induktif Bacon ini memiliki
kekurangan yaitu masalah verifikasi sebelum ilmu itu memperoleh kedudukan
sebagai teori ilmiah yang diterima. Ini khususnya terkait kepada ilmu
pengetahuan yang menelaah masa lampau seperti geologi dan evolusi biologis. Verifikasi,
menurut Shah (1086),
dilakukan dengan menentukan implikasi-implikasi hipotesisnya melalui logika
deduktif dan memastikan apakah pengamatan-pengamatan baru, yang dalam
keadaan-keadaan lain tidak akan diduga, sesuatu dengan implikasi-implikasinya. Di
sini ada usaha untuk meramal (apa yang akan terjadi di masa mendatang) dan
paska ramalan (pernyataan-pernyataan tentang peristiwa-peristiwa yang sudah
terjadi namun tidak diketahui dengan cara lain). Faktanya, baik ramalan dan
pasca ramalan, menurut Shah (1986),
mengisyaratkan suatu pencarian fakta yang tidak akan diduga seandainya tak ada
hipotesis yang bersangkutan. Bacon intinya mengabaikan peran imajinasi buatan dalam
upaya menemukan kebenaran (Shah,
1986).
Kelemahan metode induktif Bacon menurut
Shah (1986) ada
tiga yaitu: pertama, fakta yang ada, meskipun sama, bila ditangkap oleh manusia
yang berbeda latarabelakangnya akan digunakan sebagai bahan mentah bagi jenis
penemuan yang berbeda pula karena masing-masing orang mempunyai kerangka
tersendiri dengan mana mereka menafsirkan fakta sesuai dengan ilmu yang
dimiliki lalu memilah-milahnya dan menggabungkannya kembali untuk membentuk
suatu pola khusus sesuai dengan cara memandangnya masing-masing. Kedua, tidak
adanya fakta yang �murni� pada dirinya sendiri karena tiap fakta, sebelum dapat
menjadi pokok bahasan, harus dirumuskan dalam bahasan dan dengan demikian
dimasukkan ke dalam suatu sistem konseptual tertentu. Terakhir, selama orang
hanya memikirkan teori-teori dari jenis abstraksi-artinya, teori-teori yang
semata-mata didasarkan pada karakteristik umum yang nampak dari berbagai
fakta-maka mengandalkan pengumpulan sejumlah besar fakta partikular saja tidak
akan mendatangkan hasil yang memuaskan.
Dalam usaha manusia mendapatkan
pengetahuan, manusia membutuhkan baik logika (deduktif) maupun pengalaman
(induktif). Keduanya saling terikat dan tidak bisa lepas satu dengan yang lain
karena manusia memperoleh pengetahuan justru melalui penerapan logika pada pengalaman.
Ketika keduanya dipertentangkan, justru menggambarkan kegagalan manusia dalam
memahami hakikat logika dan peranannya dalam kesadaran manusia (Rand,
2003).
Pemikiran Bacon sendiri banyak menghadapi
tantangan salah satunya dari David Hume di mana Hume menilai Bacon sudah
melanggar kaidah logika. Meliono (2009)
meringkaskan sanggahan Hume yaitu kesimpulan tidak boleh lebih luas dari pada
pemikiran partikular. Ada dua macam penalaran pada pengetahuan menurut Hume yaitu:
pengetahuan empiris yang dasarnya ialah pengamatan namun tidak melampaui data
pengamatan (penalaran induksi) dan penalaran deduktif sebagai pengetahuan
matematika dan logika namun didukung secara kuantitas atau matematis (Meliono,
2009).
�Insight� dan �Dialog�
Peneliti membawa ide pemikiran P. Hardono
Hadi (1952)
untuk melihat hal yang perlu ditambahkan ke dalam pemikiran empirisme Francis
Bacon. Hadi (1993)
memberikan beberapa langkah dalam melakukan penelitian filsafat. Salah satunya yaitu:
�mengadakan penelitian untuk mengamati baik pengalaman langsung maupun pendapat-pendapat yang telah ada.� Hadi (1993) menjelaskan
bahwa kegiatan meneliti untuk menemukan suatu kepastian, konsep dan essensi
atau kebenaran perlu konsisten dengan dua hal yaitu: pertama, jika terkait
kepada pemikiran-pemikiran filsafat atau pendapat-pendapat yang telah ada, maka
peneliti harus tetap konsisten dan jujur dengan pendapat atau pemikiran yang
ada tersebut tanpa berusaha untuk menginterpretasikannya sesuai dengan maksud diri
sendiri untuk mendukung pendapat pribadi atau meruntuhkan pendapat atau
pemikiran yang ada. Kedua, jika seseorang menganalisa pengalaman langsung,
peneliti harus jujur dan konsisten menggunakan konsep-konsep yang telah ada. Seorang
peneliti juga bisa menggabungkan konsep-konsep atau pendapat atau pemikiran
yang ada untuk menginterpretasikan pengalaman. Keterlibatan subjektivitas diri dan
patokan diri sendiri tidak terhindarkan untuk menseleksi bahan yang akan
dijadikan objek penelitian. Oleh sebab itu peneliti memerlukan �konsep yang
tepat untuk menangkap arti pengalaman dan maksud pendapat-pendapat yang ada� (Hadi, 1993).
�Penangkapan ini hanya bisa terjadi dengan adanya �insight�� (Hadi, 1993). Hadi (1993) menjelaskan
bahwa �insight� bukanlah proses
induksi tetapi �diandaikan oleh induksi.� �Insight� bisa terjadi bahkan hanya
dengan satu pengalaman atau satu pendapat saja. Hal ini yang menjadi penekanan Hadi (1994)
bahwa: ��Datum� merupakan undangan untuk menyelidiki lebih lanjut. Kenyataan
bahwa hal itu memungkinkan �insight� (pengertian
yang dalam) tidak berarti bahwa
sekali manusia mempelajarinya dari pengalaman, manusia dapat mengabaikan
pengalaman dan hanya memperhatikan struktur yang mengatasi waktu untuk
memahaminya lebih lanjut.� Artinya, �Datum� ialah pengalaman-pengalaman yang diberikan untuk diselidiki
lebih lanjut. Oleh sebab itu muncullah �insight�
yaitu kemampuan melihat sesuatu sebagai datum untuk diselidiki lebih lanjut
karena �insight� mengetahui ada
sesuatu yang penting di sana. ��Insight� ialah sikap kritis untuk
menilai pengalaman atau pendapat yang ada sebagai dasar menangkap pengalaman
dalam sebuah konsep� (Hadi,
1993).
Oleh karena itu, induksi menurut Hadi, tidaklah cukup untuk mengamati sebuah peristiwa, tetapi
pengalaman ditambah �insight.� Ini yang
menurut peneliti tidak ada pada
pemikiran Francis Bacon.
Tujuan
keberadaan �insight� ialah untuk
memunculkan gagasan atau teori untuk diajukan atau membatalkan sebuah teori
yang sudah ada. Para filsuf digerakkan oleh �insight.� Dengan kata lain, definisi konseptual justru tidak kontak
dengan pengalaman oleh sebab itu segala sesuatu harus kembali pada pengalaman
awal. Di sini, konsep tanpa pengalaman ialah konsep belaka, sementara
pengalaman tanpa konsep adalah buta. Oleh sebab itu, konsep memberi makna
kepada pengalaman. Bergantung kepada definisi tidaklah benar sepenuhnya karena
definisi terkadang lepas dari pengalaman dan itulah yang disebut deduksi.
Dengan banyak
jenis pengetahuan baik itu pengetahuan alam, agama, etika, estetik, dll., menurut
Hadi, siapakah yang memutuskan sebuah kebenaran pengetahuan? �Setiap jawaban
terhadap persoalan yang diperdebatkan harus diberikan oleh kesadaran yang
menjawab dan problemnya adalah untuk menentukan �siapa� menanggapi? Jelaslah
pengamat netral tidak dapat benar-benar menyelesaikan masalahnya, sebab data
yang perlu tidak tersedia baginya. Nilai-nilai moral dan estetik dinyatakan
hanya kepada orang yang mengalami urgensinya. Kalau kita menyingkirkan urgensi
tersebut, tidak akan ada cara untuk meneliti keaslian kenyataan� (Hadi, 1994). Dengan kata lain, dalam setiap pengetahuan ada
ilmuwannya masing-masing. Di sini, ada urgensi bagi masing-masing tokoh untuk
membahas sebuah persoalan. Urgensi ini menimbulkan nilai-nilai bersama dalam
bidang-bidang tertentu yang disebut aliran dan dipegang sebagai yang baik atau
benar.
Epistemologi
menghormati cara berpikir dari masing-masing bidang keilmuwan. Epistemologi
menolak perlakuan yang sama (pukul rata) dengan menggunakan penilaian satu
bidang saja. Contohnya lukisan seorang wanita yang setengah telanjang. Bagi
kaum estetik lukisan itu indah karena menampilkan keindahan goresan-goresan
warna dan detail tubuh manusia. Sementara menurut kaum moralis, gambar tersebut
justru tidak bermoral, dan bagi kaum agamawis lukisan itu adalah pornografi. Di
sini ada kompleksitas dari masing-masing ilmu yang masing-masing mempunyai
patokannya sendiri yang justru ada pada manusia sehingga perlu ditata untuk
tidak saling mendikte tapi mungkin bisa saling mempengaruhi. Masing-masing
bebas tapi saling terkait. Tidak ada pengetahuan yang bebas nilai. Intinya,
pengetahuan yang didapat dari suatu bidang ilmu jangan dipakai sebagai ukuran
dalam bidang ilmu lain. Di sini pengetahuan itu harus analogis di mana objek
persepsi, entitas saintifik, pribadi, nilai moral, dan dimensi transenden dari eksistensi tidak
dapat hadir dengan cara univok (Hadi, 1994). Hadi (1994) menyimpulkan bahwa �pengamalan di dunia ini bersifat
kognisional, tetapi kognisional sebagai himbauan. Mungkin saya dapat menegaskan
sesuatu mengenai eksistensiku dari dalam dunia moral dan estetik yang tidak
dapat saya tegaskan tanpa dunia itu. Namun penegasan ini tidak pernah �dipaksakan
secara otomatis� kepadaku. Penegasan ini, sebagaimana pengetahuan
eksistensialku, mempunyai sifat sebagai �kepastian bebas� dan memberi kita
alasan lebih lanjut untuk percaya bahwa kebebasan manusia tidak pernah absen
dari penegasan mengenai dimensi transenden dari adanya.�
Apa yang
disampaikan oleh Hadi hampir mirip dengan pemikiran Thomas Aquinas tentang hubungan pengetahuan alamiah dan
pengetahuan iman yang diringkaskan oleh Soeprapto (2013)
yaitu: (1) Akal manusia memiliki
kebebasan dalam bidang-bidangnya sendiri yang bersifat rasional, terutama di
bidang dialektika; (2) Pengetahuan manusia juga dapat diandalkan; (3) Akal dan
wahyu sama pentingnya bagi pengetahuan manusia; (4) Akal bebas sesuai dengan
bidangnya sendiri; wahyu juga berwibawa dalam bidangnya; (5) Wahyu memberi
kebenaran alamiah dan kebenaran yang adi kodrati, juga menjadi sarana untuk
mengungkapkan misteri atau hal-hal yang bersifat rahasia; (6) Iman mengatasi
akal namun tidak bertentangan dengan akal. Akal tidak dapat menemukan misteri
tetapi akal dapat meratakan jalan menuju kepada pengetahuan misteri; (7) Dua
macam pengetahuan yang tidak saling bertentangan, berdiri sendiri-sendiri
secara berdampingan, yaitu pengetahuan alamiah dan pengetahuan iman. Pengetahuan
alamiah berpangkal pada akal dan memiliki kebenaran tentang hal-hal yang
bersifat manusiawi umumnya sementara pengetahuan iman berpangkal dari wahyu dan
memiliki kebenaran ilahi, sebagaimana yang ada di dalam Kitab Suci.
Akhirnya,
menurut Hadi (1994), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
epistemologi: pertama, kesalahan dan kekacauan tetap ada di dalam setiap bidang
pengetahuan, tetapi hanya kesadaran moral dapat mengenali kesalahan moral,
hanya kesadaran estetik menyadari kesalahan estetik, dst. Kedua, merupakan
suatu kesalahan mengangap pengetahuan sebagai sesuatu
yang saya �miliki� selamanya padahal pengetahuan merupakan ekspresi reflektif
dari diri saya atau pengalaman saya di mana perlu pemurnian terus menerus yang
tidak melenyapkan nilai kognisinal mereka. Terakhir, dalam pemurnian tersebut,
elemen pokoknya adalah dialog antar
budi. Memang pengetahuan itu adalah tindakan yang bersifat sangat personal di
mana �kita�-lah yang berpikir dan �kita�-lah yang tahu. Namun, itu tetap
merupakan tindakan yang membuatku menyadari diri untuk berpartisipasi agar ada
arti universal. Universal yang ada, yang merupakan kebersamaan manusia yang
melahirkan pikiran, merupkan sarana yang memasukkan saya dalam universal kognisional,
kebenaran.
Pada akhirnya,
pengetahuan menyangkut pikiran dan pengalaman yang sama-sama berkembang
sehingga jangan tergesa-gesa tiba pada kesimpulan yang tuntas. Kalau pikiran
dan pengalaman belum tuntas, apakah hal tersebut bisa terjadi kepada ajaran
agama dan moralitas karena keduanya pun sebenarnya belum tuntas?
Kesimpulan
Dalam
pemikirannya, Francis Bacon sangat bergantung kepada metode pengetahuan empiris
yaitu berdasarkan kepada pengalaman-pengalaman lalu mengambil sebuah kesimpulan
yang disebut pengetahuan. Ini disebut model induksi. Hadi menolak usaha
memperoleh pengetahuan hanya berdasarkan pengalaman. Hadi menambahkan
pengalaman yang didukung juga oleh konsep (deduksi) dan �insight.� Keberadaan �insight�
dalam diri seseorang yang mendorong seseorang itu untuk kembali kepada
pengalaman awal, melihat pengalaman demi pengalaman, kembali kepada konsep, dan
akhirnya akan muncul pemikiran yang baru atau bahkan menyempurnakan atau
membatalkan pemikiran sebelumnya. �Insight�
mendorong seseorang melihat urgensi dalam satu keadaan atau peristiwa sementara
model induksi tidak melihat ada urgensi dan tidak memiliki �insight.�
Hadi juga
menekankan tentang �kepastian bebas� di dalam pengetahuan karena setiap
pengetahuan itu memiliki �kepastian bebas� di bidangnya masing-masing. Kebebasan
di sini berarti antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lain tidak
saling mendikte atau mengendalikan, tetapi mungkin bisa saling terkait atau
mempengaruhi. Hakikatnya, pengetahuan manusia itu belum tuntas
sehingga jangan tergesa-gesa
tiba pada kesimpulan akhir. Sementara Francis Bacon tidak menyentuh kondisi tersebut
karena pada intinya adalah apa yang diamati oleh akal di dalam pengalaman
itulah yang pasti sementara yang belum diamati atau tidak bisa diamati oleh
akal bukanlah sebuah kepastian. Bagi Bacon, yang sudah diamati dan sudah diuji
berulang kali adalah sebuah kepastian, tidak dapat diganggu gugat lagi.
Terakhir, Hadi
menawarkan apa yang disebut dialog
antara budi yang akan menghasilkan universal pengetahuan maupun kebenaran. Kebenaran
tidak bisa dipaksakan secara otomatis kepada seseorang. Tapi Bacon tidak
mengenal apa yang disebut dialog
antar budi. Pengetahuan atau kebenaran muncul karena pengamatan pribadi oleh
�akal�-ku.
BIBLIOGRAFI
Abidin, Zainal. 2011.
Pengantar Filsafat Barat. Jakarta:
Rajawali Press.
Adib,
H. Mohammad. 2011. Filsafat Ilmu:
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Hadiwijono,
Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat.
Jilid 2. Yogyakarta: Kanisius.
Hadi, P. Hardono. 1993. �Kebenaran dan Metodologi
Penelitian Filsafat: Sebuah Tinjauan Epistemologis.� Jurnal Filsafat, 14 Mei 1993. Hal. 20-33. https://doi.org/10.22146/jf.31480.
Jalaludin.
1994. Epistemologi:
Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.
Jalaluddin,
H. 2013. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Keraf,
A. Sonny dan Mikhael Dua. 2001. Ilmu
Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.
Khuza�i,
Rodliyah. 2007. Dialog Epistemologi
Mohammad Iqbal dan Charles S. Peirce. Bandung: Refika Aditama.
Kirkham,
Richard L. 2013. Teori-teori Kebenaran.
Penerjemah M. Khozim. Bandung: Nusa Media.
Meliono,
Irmayanti. 2009. Filsafat Ilmu
Pengetahuan: Refleksi Kritis Terhadap Realitas dan Objektivitas Ilmu
Pengetahuan. Jakarta: Yayasan Kota Kita.
Mintaredja,
Abbas Hamami. 2003. Teori-teori
Epistemologi Common Sense. Yogyakarta: Paradigma.
Mursyi,
Muhammad Munir. 1982. Al-Tarbiyah
al-Islamiyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi Bilan as-�Arabiyah. Kairo: �Alam
al-Kitab.
Muslih,
Mohammad. 2006. Filsafat Ilmu: Kajian
atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogayakarta:
Belukar.
Mustansyir,
Rizal dan Misnal Munir. 2003. Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Poespowardojo,
T. M. Sorjanto dan Alexander Seran. 2016. Filsafat
Ilmu Pengetahuan: Hakikat Ilmu Pengetahuan, Kritik Terhadap Visi Positivisme
Logis, Serta Implikasinya. Jakarta: Kompas.
Pranarka,
A. M. W. 1987. Epistemologi Dasar: Suatu
Pengantar. Jakarta: Yayasan Proklamasi Centre for Strategic and International
Studies.
Rand,
Ayn. 2003. Pengantar Epistemologi
Objektif. Penerjemah Cuk Ananta Wijaya. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Ravertz,
Jerome R. 2007. Filsafat Ilmu: Sejarah
& Ruang Lingkup Bahasan. Penerjemah Saut Pasaribu. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Shah,
A. B. 1986. Metodologi Ilmu Pengetahuan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Soeprapto, Sri. 2013. Konsep
Inventif Etika Pancasila Berdasarkan Filsafat Pancasila Notonagoro. Yogyakarta:
UNY Press.
Subekti,
Slamet. 2003. Sejarah Filsafat: Dari Yunani
Kuna Sampai Abad 17. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Suhartono,
Suparlan. 2008. Filsafat Ilmu
Pengetahuan: Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta:
A-Ruzz Media.
Suriasumantri,
Jujun S. 1993. Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tim
Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 2010. Filsafat Ilmu: Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta:
Liberty.
Van
Peursen, C. A. 1985. Susunan Ilmu
Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu. Penerjemah J. Drost. Jakarta:
Gramedia.
Wahyudi,
Imam. 2007. Pengantar Epistemologi. Yogyakarta:
Badan Penerbit Filsafat UGM dan LIMA.
Wiramihardja,
Sutardjo. 2006. Pengantar Filsafat:
Sistematika Filsafat, Sejarah Filsafat, Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi)
Metafisika dan Filsafat Manusia Aksiologi. Bandung: Refika Aditama.
Ziman,
John. 1988. �Hakikat Ilmu Pengetahuan� dalam Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Penyunting C. A. Qadir. Penerjemah Carvallo,
Bosco, A. Sonny Keraf dan Andre Ata Ujan. Jakarta: Yayasan Obor.
Copyright
holder: Milton
Thorman Pardosi (2022) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |