Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia �p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
FASILITASI PERDAGANGAN
DAN KINERJA EKSPOR INDUSTRI PENGOLAHAN MAKANAN INDONESIA KE KAWASAN REGIONAL
COMPREHENSIVE ECONOMIC PARTNERSHIP (RCEP)
Nurul Haniva
Dwihandini, Widyono Soetjipto
Fakultas Ekonomi
dan Bisnis, Universitas Indonesia, Indonesia
Email
: [email protected], [email protected]
Fasilitasi perdagangan merupakan faktor penting bagi
negara-negara di dunia dalam efisiensi perdagangan. Penelitian ini menganalisis
dampak fasilitasi perdagangan dan faktor-faktor yang memengaruhi kinerja ekspor
terhadap industri pengolahan makanan Indonesia ke kawasan RCEP. Sektor industri
pengolahan Indonesia merupakan sektor penyumbang terbesar ekspor Indonesia dan
kawasan RCEP merupakan negara tujuan utamanya. Namun, trend pertumbuhan ekspor
industri pengolahan makanan Indonesia ke kawasan RCEP dari tahun 2012 sampai
2019 cenderung menurun. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder periode 2012 � 2019 dengan pendekatan gravity model data panel.
Variabel fasilitasi perdagangan yang menjadi interest variable yaitu
kualitas infrastruktur transportasi, penyerapan teknologi informasi dan
komunikasi (ICT), hambatan prosedur bea cukai, (BOCP) dan kualitas lingkungan bisnis
negara RCEP. Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel fasilitasi perdagangan
yang sangat memengaruhi nilai ekspor industri pengolahan makanan Indonesia ke
kawasan RCEP adalah persentase penyerapan teknologi dan komunikasi (ICT) negara
RCEP dan kualitas lingkungan bisnis negara RCEP. Negara RCEP yang memiliki persentase
penyerapan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) terbesar yaitu Korea
Selatan dan Selandia baru memiliki lingkungan bisnis yang terbaik. Selain itu,
variabel ekonomi yang memengaruhi nilai ekspor industri pengolahan makanan
Indonesia ke kawasan RCEP adalah jarak ekonomi Indonesia dengan negara RCEP dan
jumlah populasi negara RCEP.
Kata kunci : Nilai Ekspor Industri Pengolahan Makanan Indonesia, Infrastruktur
Transportasi, Penyerapan ICT, Hambatan Prosedur Bea Cukai, Lingkungan Bisnis, Kawasan
RCEP.
Trade facilitation is an
important factor for countries in the world in trade efficiency. This study
aims to analyze the impact of trade facilitation to export performance on the
export value of Indonesia�s food industry to the RCEP countries. Indonesia's manufacturing
sector is the largest contributor to Indonesia's exports and the RCEP countries
is the main destination. However, the export growth trend of Indonesia's food industry
to the RCEP countries from 2012 to 2019 tends to decrease. The data used in this
study is secondary data for the period of 2012 � 2019 with a gravity model
panel data approach. Trade facilitation variables that become interest
variables are the quality of transportation infrastructure, the absorption of
information and communication technology
(ICT), the burden of customs procedure (BOCP) and the quality of business environment
of RCEP countries. The result of the model shows that the trade facilitation
variables significantly affecting the export value of Indonesia�s food industry
are the percentage of technology and communication absorption (ICT) of the RCEP
countries and the quality business environment of the RCEP countries. The RCEP
countries that has the largest percentage of information and communication
technology (ICT) absorption is South Korea, while New Zealand has the best
business environment. Besides that, the economic variables that affect the
export value of Indonesia's food industry to the RCEP countries are the
economic distance between Indonesia and RCEP countries and the total population
of the RCEP countries.
Keywords: The Export Value of
Indonesia's Food Industry, Transportation Infrastructure, ICT Absorption, Burden
of Customs Procedure, Business Environment, RCEP Countries.
����������������������������������������������������
Pendahuluan
Sebuah negara jika lebih produktif dalam menghasilkan
suatu barang (specialization),
maka barang yang diproduksi negara tersebut lebih banyak dibandingkan negara
lain dimana barang tersebut memiliki keunggulan komperatifnya. Hal ini terjadi
ketika negara tersebut melakukan perdagangan internasional baik berupa ekspor
maupun impor. Manfaat dari perdagangan internasional salah satunya adalah
menambah devisa suatu negara melalui kegiatan ekspor. Selama beberapa tahun
terakhir, ekspor terbesar Indonesia berasal dari sektor industri pengolahan.
Tabel 1 menunjukkan komposisi nilai ekspor Indonesia dari tahun 2012 � 2019.
Sektor industri pengolahan menyumbangkan nilai ekspor terbesar, lalu diikuti
oleh sektor pertambangan dan lainnya, sektor migas dan sektor pertanian.
Komoditi utama industri pengolahan yang diekspor adalah minyak kelapa sawit
yang termasuk ke dalam industri pengolahan makanan (Kementerian Perindustrian, 2017).
Tabel 1
Komposisi Nilai Ekspor
Indonesia
Tahun |
Migas |
Pertanian |
Industri
Pengolahan |
Pertambangan dan
Lainnya |
2012 |
19,46% |
2,93% |
61,11% |
16,50% |
2013 |
17,88% |
3,13% |
61,92% |
17,08% |
2014 |
17,21% |
3,27% |
66,55% |
12,97% |
2015 |
12,34% |
3,75% |
70,98% |
12,93% |
2016 |
9,07% |
2,38% |
75,99% |
12,56% |
2017 |
9,32% |
2,18% |
74,11% |
14,39% |
2018 |
9,66% |
1,91% |
72,18% |
16,25% |
2019 |
7,47% |
2,16% |
75,56% |
14,81% |
Sumber: Badan Pusat
Statistik (2012 � 2019)
Kebijakan
fasilitasi perdagangan seringkali digunakan pemerintah untuk meningkatkan
ekspor dan bertujuan untuk mendorong efisiensi perdagangan. Berdasarkan World
Economic Forum (2014),
manfaat fasilitasi
perdagangan adalah jarak antar suatu wilayah dapat berkurang dan adanya
integrasi pasar nasional serta menghasilkan economic cost yang lebih sedikit.
Sementara itu,
definisi fasilitasi perdagangan yaitu suatu instrumen penting pada liberalisasi
perdagangan yang berfungsi untuk mendorong integrasi ekonomi (Pellan
dan Wong, 2015, ADB dan UN 2013).
Menurut Wilson (2015)
bahwa sekumpulan kebijakan yang berfungsi sebagai pengurangan biaya dari proses
ekspor dan impor juga disebut dengan fasilitasi perdagangan. Keuntungan dari
fasilitasi perdagangan sangat besar. Temuan dari Portugal-Perez dan Wilson (2012),
Shepherd dan Wilson (2009)
bahwa dengan adanya perbaikan fasilitasi perdagangan dapat mendorong nilai
ekspor masing-masing negara yang melakukannya khususnya pada perbaikan infrastruktur
transportasi, teknologi dan peraturan untuk memperbaiki lingkungan bisnis. Di
samping itu, infrastruktur dapat berupa fisik (hard infrastructure) dan lunak
(soft infrastructure). Menurut Portugal-Perez dan Wilson (2012),
komponen-komponen infrastruktur fisik terdiri atas kualitas jalan, bandara,
pelabuhan, kereta api (infrastruktur transportasi) dan penyerapan teknologi
informasi dan komunikasi (ICT).
Infrastruktur
transportasi yang baik dapat memperlancar distribusi barang dan jasa dan
mengurangi biaya perdagangan. Penggunaan ICT dapat meningkatkan efisiensi dan
produktivitas serta menurunkan transaction cost. Sementara itu, infrastruktur
lunak berupa perbatasan dan transportasi yang efisien. Fungsinya untuk menghitung
hambatan prosedur bea cukai dan transportasi dalam negeri. Perhitungan ini
terdiri dari biaya, lamanya waktu dan seberapa banyak dokumen yang dibutuhkan di
dalam prosedur bea cukai, kemudahan dalam berbisnis dan regulasinya.
Contoh kebijakan
fasilitasi perdagangan di sektor industri pengolahan makanan di Indonesia yang
tertuang dalam Making Indonesia 4.0 yaitu menjadikan sektor industri
pengolahan makanan sebagai salah satu sektor prioritas pelaksanaan Teknologi
Industri 4.0 yang berfungsi untuk mendorong transformasi digital industri
pengolahan makanan sehingga dapat mendorong peningkatan ekspor industri
pengolahan makanan Indonesia. Dalam hal ini pemerintah menetapkan regulasi dan
memberikan insentif kepada penyedia teknologi di Indonesia dan juga kepada penyedia
teknologi di luar Indonesia. Pada infrastruktur transportasi, pemerintah menjamin
ketersediaan energi serta sarana dan prasarana, transportasi dan logistik yang layak
secara teknis dan ekonomis.
����������� Salah
satu kerja sama multilateral Indonesia yaitu
kerja sama multilateral di kawasan ASEAN (Association of Southeast Asian
Nations) dan enam negara mitra dagang ASEAN. Kerja sama ini disebut dengan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
RCEP dibentuk pada tahun 2011 yang digagas oleh Indonesia ketika menjadi Ketua
ASEAN.
Terbentuknya RCEP
ini didorong oleh adanya desakan dari beberapa anggota mitra wicara Free
Trade Agreement (FTA) yaitu Jepang dan China. Jepang dan China menginginkan
agar semua negara ASEAN membentuk suatu FTA yang melibatkan semua mitra
dagangnya diantaranya adalah China, Jepang, Korea, India, Australia, dan
Selandia Baru. Setelah RCEP terbentuk, pembahasan intensif pun dimulai pada tahun
2012 dan para anggota RCEP menyetujui Guiding Principles and Objectives for
Negotiating the Regional Comprehensive Economic Partnership untuk pedoman
dalam menjalankan perundingan RCEP.
Perundingan RCEP
telah dilakukan beberapa kali dan RCEP baru diresmikan pada tanggal 15 November
2020. RCEP memiliki 9 kelompok kerja dan 7 subkelompok kerja yang terdiri atas
perdagangan barang, ketentuan asal barang, fasilitasi perdagangan, standar
kesesuaian, sanitary dan phytosanitary (SPS), pengamanan perdagangan,
jasa, investasi, kekayaan intelektual, niaga elektronik, kerja sama ekonomi dan
teknis, pengadaan barang pemerintah, penyelesaian sengketa, finansial dan telekomunikasi.
RCEP ini dapat memberikan manfaat ekonomi bagi Indonesia jika Indonesia mampu melakukan
penyesuaian struktural dan kebijakan untuk meningkatkan daya saing ekonomi
nasional dan mampu menarik para investor dalam negeri maupun luar negeri
khususnya di sektor industri manufaktur yang berorientasi digital (Revolusi
Industri 4.0).
RCEP memiliki
potensi besar karena populasi atau jumlah
penduduk tiga negara anggota RCEP berada di urutan teratas. Urutan
pertama adalah negara China yang
memiliki jumlah penduduk sebesar 1,37 milyar
jiwa, kemudian urutan kedua adalah
negara India sebesar 1,32 milyar jiwa dan Indonesia
sebesar 261 juta jiwa. Menghilangkan hambatan tarif maupun
hambatan non tarif dalam rangka membangun
kawasan perdagangan bebas antara negara-negara anggota RCEP merupakan tujuan
RCEP. Manfaat yang dapat diperoleh oleh Indonesia dari
kerja sama ini adalah kondisi makro RCEP yang sangat potensial (Wardani, 2018). Berdasarkan data Kemendag (2018) pada tahun 2016, total GDP kawasan ini menyumbang sebesar 30% bagi GDP dunia dan menyumbang terhadap perdagangan dunia
dengan total perdagangan sebanyak
29%. RCEP mengekspor 5801,07
miliar dolar AS, dengan surplus 483,16 miliar dolar AS, menjadikannya salah
satu pasar potensial bagi produk ekspor Indonesia. Negara-negara
yang tergabung dalam RCEP terdiri dari sepuluh negara ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia,
Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam dan Kamboja dengan enam negara mitra
dagangnya yaitu Jepang, Korea Selatan,
China,
India, Australia, dan Selandia
Baru. Namun, ketika November 2019 India sudah tidak menjadi anggota RCEP.
Sektor utama yang diperdagangkan di kawasan RCEP adalah industri pengolahan (Mardiah
dan Widyastutik, 2020). Pada periode tahun 2012 � 2019 menurut data BPS,
sektor industri pengolahan makanan berupa minyak kelapa sawit memiliki nilai
ekspor terbesar Indonesia ke kawasan RCEP. Grafik 1 menunjukkan nilai ekspor industri pengolahan
makanan Indonesia ke kawasan RCEP yang cukup besar. Namun, pertumbuhan ekspor
industri pengolahan makanan Indonesia ke kawasan RCEP untuk keseluruhan komoditi
cenderung menurun (Grafik 1). Pertumbuhan ekspor industri pengolahan makanan
tertinggi ke RCEP yaitu pada tahun 2016 � 2017, sementara pertumbuhan ekspor
terendah pada tahun 2013 � 2014.
Grafik 1
Jumlah Ekspor
Industri Pengolahan Makanan Indonesia ke Kawasan RCEP
Tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah, (2021)
Grafik 2
Trend Pertumbuhan Ekspor Industri
Pengolahan Makanan Indonesia
ke Kawasan RCEP
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah, (2021)
Berdasarkan
pentingnya peran ekspor sektor pengolahan makanan ke kawasan RCEP tetapi dengan
kecenderungan pertumbuhan ekspor yang semakin menurun dan juga masih minimnya
studi mengenai dampak fasilitasi perdagangan di kawasan RCEP, maka penelitian
ini ingin menganalisis keterkaitan antara nilai ekspor industri pengolahan
makanan Indonesia ke kawasan RCEP dengan variabel fasilitasi perdagangan dan
kinerja ekspor yang direpresentasikan oleh variabel ekonomi.
Studi sebelumnya mengkaji
dampak nilai ekspor kayu, kayu dan produk tenun Indonesia (sektor manufaktur
utama) di kawasan RCEP dimana Mardiah dan Widyastutik (2020)
menunjukkan bahwa variabel terkait kebijakan fasilitasi perdagangan seperti, hambatan
prosedur bea cukai negara pengimpor dan penggunaan internet dalam berbisnis
berpengaruh positif terhadap nilai ekspor Indonesia. Tetapi, studi-studi
terdahulu menemukan hasil yang berbeda untuk variabel terkait kebijakan
fasilitasi perdagangan, Menurut Otsuki, et al. (2012)
hambatan prosedur bea cukai negara eksportir berpengaruh negatif dan tidak
signifikan terhadap nilai ekspor. Menurut Imadidin, dkk (2017),
transportation infrastructure negara eksportir berhubungan positif dan
signifikan. Sementara studi Asikin, dkk (2015)
bahwa infrastruktur negara pengekspor tidak berpengaruh signifikan kepada nilai
ekspor tetapi berpengaruh positif dan signifikan pada sektor industri
pengolahan.
Oleh karena adanya
perbedaan hasil penelitian sebelumnya dan masih
minimnya studi mengenai peranan RCEP dalam peningkatan ekspor Indonesia, maka penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis dampak kebijakan
fasilitasi perdagangan dan faktor-faktor apa saja yang akan mempengaruhi nilai
ekspor, khususnya dampak industri pengolahan makanan Indonesia terhadap kawasan
RCEP.
Dilihat dari latar
belakang yang telah diuraikan dan beberapa hasil studi empiris serta masih minimnya
studi mengenai RCEP, maka rumusan masalah penelitian ini adalah menganalisis bagaimana
dampak kebijakan fasilitasi perdagangan terhadap nilai ekspor industri
pengolahan makanan Indonesia ke kawasan RCEP dan faktor apa saja yang
memengaruhi kinerja ekspor industri pengolahan makanan Indonesia ke kawasan
RCEP.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan fasilitasi perdagangan terhadap nilai ekspor industri pengolahan makanan Indonesia ke kawasan RCEP dan faktor-faktor yang memengaruhi kinerja ekspor industri pengolahan makanan Indonesia ke kawasan RCEP.
����������� Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi sebagai berikut: (1) Sebagai
hasil studi kuantitatif di bidang kerja sama perdagangan internasional mengenai
kebijakan fasilitasi perdagangan dan kinerja ekspor industri pengolahan makanan
Indonesia ke kawasan RCEP. (2) Selain itu, secara empiris, penelitian ini
diharapkan dapat menjadi rekomendasi kepada otoritas terkait komponen-komponen fasilitasi
perdagangan negara RCEP yang berkontribusi besar dalam peningkatan nilai ekspor
industri pengolahan makanan Indonesia sehingga Indonesia lebih fokus mengekspor
ke negara RCEP yang memiliki indeks fasilitasi perdagangan terbaik.
Penelitian ini
mencakup periode observasi selama tahun 2012 � 2019 dengan dua belas negara
RCEP yaitu Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam dan Kamboja serta
enam negara mitra dagang ASEAN yaitu India, Jepang, Korea Selatan, China,
Australia, dan Selandia Baru. Negara ASEAN yang tidak dimasukkan adalah
Myanmar, Laos dan Brunei Darussalam dikarenakan adanya keterbatasan data.� Sementara sektor ekspor yang diteliti adalah
sektor industri pengolahan makanan Indonesia.
Sistematika dalam
penulisan ini terdiri dari lima bab, Bab (1) menampilkan latar belakang
permasalahan penelitian, tujuan penelitian, dan cakupan penelitian.� Kemudian Bab (2) membahas teori yang
berhubungan dengan topik penelitian dan studi empiris terdahulu. Bab (3)
menjelaskan metodologi penelitian, yaitu data, spesifikasi model, definisi
operasional, dan tahapan estimasi. Bab (4) menampilkan statistik deskriptif dan
analisis inferensia model yang digunakan. Terakhir, Bab (5) menyajikan
kesimpulan dan saran penelitian.
Metode Penelitian
����������� Gambar 1 menunjukkan
kerangka empiris penelitian berupa latar belakang, tujuan, hipotesis,
pembuktian hipotesis, hasil penelitian dan pembahasan serta kesimpulan dan
saran.
Tabel
1
Kerangka
Empiris Penelitian
Sumber:
Olahan Penulis (2021)
Sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan penelitian maka penyusunan kerangka empiris berfokus pada menganalisis kinerja ekspor dan dampak kebijakan fasilitasi perdagangan industri pengolahan makanan Indonesia ke kawasan RCEP. Dengan demikian digunakan pendekatan metode data panel dengan mengadopsi berbagai penelitian sebelumnya yaitu yang dilakukan oleh penelitian Wilson, dkk (2003), Portugal-Perez dan Wilson (2012), Luthfianto, dkk (2016) dan Madiah dan Widyastutik (2020).
Berdasarkan uraian
permasalahan, tujuan penelitian dan studi empiris, maka hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah:
H1a: Diduga terdapat hubungan antara fasilitasi
perdagangan negara RCEP terhadap nilai ekspor industri pengolahan makanan
Indonesia ke kawasan RCEP.
H1b: Diduga terdapat hubungan antara kinerja ekonomi
industri pengolahan makanan Indonesia terhadap nilai ekspor industri pengolahan
makanan Indonesia ke kawasan RCEP.
Penelitian ini
menggunakan data sekunder yang diperoleh dari beberapa sumber, yaitu Badan
Pusat Statistik, World Bank, Centre d'Etudes Prospectives et
d'Informations (CEPII) dan World Economic Forum. Data yang diteliti
dimulai tahun 2012 sampai dengan tahun 2019 (8 tahun pengamatan) dan jumlah
negara yang diteliti sebanyak 12 negara sehingga jumlah obervasi sebanyak 96
obervasi.
Data nilai ekspor
adalah variabel dependen, sedangkan variabel fasilitasi perdagangan sebagai
variabel interest terdiri dari kualitas infrastruktur transportasi,
persentase penyerapan teknologi informasi dan komunikasi (ICT), Burden of
Customs Procedure (BOCP) dan kualitas lingkungan bisnis. GDP per kapita,
jarak ekonomi, jumlah populasi dan nilai tukar riil merupakan variabel independen.
Tabel
1
Daftar
Variabel Data
Variabel |
Satuan |
Sumber |
Variabel Dependen |
||
Nilai
ekspor industri pengolahan makanan Indonesia |
USD |
Badan Pusat Statistik |
Variabel Interest |
||
Transportation infrastructure quality
negara RCEP |
Indeks 1 � 7 |
World Economic Forum |
Penyerapan
teknologi informasi dan komunikasi (ICT) negara RCEP |
Persentase (%) |
World Economic Forum |
Hambatan
prosedur bea cukai negara RCEP |
Indeks 1 � 7 |
World Economic Forum |
Kualitas lingkungan bisnis negara RCEP |
Indeks 1 � 7 |
World Economic Forum |
Variabel Independen |
||
GDP
per kapita Indonesia |
USD |
World Bank |
GDP
per kapita negara RCEP |
USD |
World Bank |
Economic distance Indonesia dengan
negara RCEP |
Km |
CEPII |
Jumlah
penduduk negara RCEP |
Jiwa |
World Bank |
Real
exchange rate
Rupiah terhadap mata uang negara RCEP |
Rp/LCU |
World Bank |
Sumber: Olahan Penulis
(2021)
Data nilai ekspor industri pengolahan
makanan Indonesia (ISIC 10) berdasarkan atas KBLI 2015 yang berpedoman pada ISIC
Revisi 4. Data variabel kualitas infrastruktur transportasi, Burden of
Customs Procedure (BOCP) dan kualitas lingkungan bisnis negara RCEP
merupakan data berbentuk indeks dengan rentang 1 -7. Untuk data variabel
kualitas infrastruktur transportasi, jika indeks semakin mendekati 1 maka
kualitas infrastruktur transportasi negara RCEP adalah buruk, sedangkan jika
indeks semakin mendekati 7 maka kualitas infrastruktur negara RCEP adalah baik.
Untuk data variabel kualitas Burden of Customs Procedure (BOCP), jika
indeks semakin mendekati 1 maka Burden of Customs Procedure (BOCP) atau
hambatan prosedur bea cukai di negara RCEP semakin tidak efisien, sedangkan
jika indeks semakin mendekati 7 maka Burden of Customs Procedure (BOCP)
atau hambatan prosedur bea cukai negara RCEP semakin efisien.
Sementara data persentase penyerapan
teknologi informasi dan komunikasi (RCEP) berasal dari persentase pengguna
internet, jika persentasenya semakin kecil maka tingkat penyerapan teknologi
informasi dan komunikasi di negara RCEP adalah rendah dan jika persentasenya
semakin besar maka tingkat penyerapan teknologi informasi dan komunikasi di
negara RCEP adalah tinggi. Untuk data variabel kualitas lingkungan bisnis, jika
indeks semakin mendekati 1 maka kualitas lingkungan bisnis atau kemudahan dalam
berbisnis di negara RCEP adalah buruk, sedangkan jika indeks semakin mendekati
7 maka kualitas lingkungan bisnis atau kemudahan dalam berbisnis negara RCEP
adalah baik. Data GDP per kapita Indonesia dan negara RCEP merupakan GDP constant
LCU, data jarak ekonomi adalah jarak geografis yang telah diboboti oleh GDP
riil Indonesia dan negara RCEP, data jumlah populasi adalah jumlah seluruh
penduduk di negara RCEP, data nilai tukar riil adalah nilai tukar riil Rupiah terhadap
mata uang masing-masing negara RCEP.
Pendekatan gravity model dengan
spesifikasi model data panel yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada Wilson,
dkk (2003),
Portugal-Perez dan Wilson (2012),
Luthfianto, dkk (2016)
dan Madiah dan Widyastutik (2020)
dengan adanya beberapa penyesuian variabel-variabel. Bentuk persamaan regresinya
sebagai berikut:
ijt 1jt2jt3jt4jt 5it6jt7ij8jt9ijit
dimana:
i���������������������� :���������� Negara Indonesia
j���������������������� :���������� Negara RCEP
0�������������������������� :�������������� Intersep
1 � 9� :�������������� :�������������� Parameter masing-masing variabel
t������������������������������ :�������������� (1,��,t) periode penelitian (2012 � 2019)
ijt��������������������� :�������������� Nilai
ekspor industri pengolahan makanan Indonesia ke negara
����������������������������������� RCEP
tahun t (USD)
jt������������� :���������� Transportation
infrastructure quality negara RCEP (indeks 1 � 7)
jt��������������������� :���������� Persentase penyerapan teknologi informasi dan komunikasi
����������������������������������� (ICT) negara RCEP (%)
jt ��������������� :���������� Hambatan prosedur bea cukai negara RCEP (indeks 1 � 7)
jt� ��������������� :���������� Kualitas lingkungan bisnis negara RCEP (indeks 1 � 7)
it������������ :�������������� GDP
per kapita Indonesia (USD)
jt������������ :���������� GDP
per kapita negara RCEP (USD)
ij���� :���������� Economic
distance Indonesia dengan negara RCEP
����������������������������������� (km)
jt�������������� :���������� Total
penduduk masing-masing negara RCEP pada tahun t (jiwa)
ij ����������� :���������� Real exchange rate Rupiah terhadap negara RCEP
����������������������������������� (Rupiah/LCU)
it�������������������������� :���������� Error term
����������� Metode penggunaan data
panel untuk mengestimasi model meliputi metode pooled least square, model efek tetap, dan model
efek acak (Firdaus, 2011). Asumsi kuadrat terkecil
gabungan (PLS) adalah bahwa nilai intersep setiap variabel adalah sama dan
koefisien kemiringan semua elemen penampang adalah sama. Sebuah model efek
tetap (FEM) adalah adanya efek individu dan variabel penjelas dengan pola
non-acak. Asumsi ini memungkinkan efek individu dan komponen kesalahan waktu
menjadi bagian dari persimpangan. Pada gilirannya, model efek acak (REM) muncul
ketika tidak ada korelasi antara efek individu dan regressor, atau disebut juga
model komponen kesalahan, di mana ada parameter yang berbeda antara individu
dan antara waktu, yang dimasukkan. dalam kesalahan. Selain itu, pemilihan model
penelitian dengan data panel memerlukan uji statistik yang bertujuan untuk
memilih model terbaik untuk mendapatkan estimasi yang valid. Uji statistik yang
digunakan adalah uji Chow dan uji Hausman.
Hasil
dan Pembahasan
Berdasarkan data yang
telah diperoleh dari berbagai sumber, maka dapat dianalisis gambaran dari
setiap indikator fasilitasi perdagangan dan kinerja ekspor yang terdiri atas
nilai ekspor industri pengolahan makanan, kualitas infrastruktur transportasi,
persentase penyerapan ICT, hambatan bea cukai, GDP per kapita, jarak ekonomi,
jumlah populasi dan nilai tukar riil.
Tabel 2
Statistik Deskriptif
Variabel Penelitian
Variabel Data |
Mean |
Max |
Min |
Std.Dev |
Skewness |
Kurtosis |
Obs. |
Variabel
Dependen |
|||||||
Nilai Ekspor Industri Pengolahan Makanan Indonesia (ln
USD) |
19,978 |
22,374 |
15,050 |
1,628 |
0,000 |
0,102 |
96 |
Variabel
Interest |
|||||||
Transportation
quality
negara RCEP (indeks 1 - 7) |
4,764 |
6,8 |
2,9 |
0,925 |
0,307 |
0,486 |
96 |
Persentase
penyerapan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) negara RCEP (%) |
59.865 |
96 |
3,1 |
26,758 |
0,093 |
0,000 |
96 |
Hambatan
prosedur bea cukai (BOCP) negara RCEP (indeks 1- 7) |
6,016 |
6,928 |
4,615 |
0,663 |
0,155 |
0,100 |
96 |
Kualitas
lingkungan bisnis negara RCEP (indeks 1 - 7) |
4,027 |
5,6 |
2,6 |
0,780 |
0,289 |
0,005 |
96 |
Variabel
Independen |
|||||||
GDP per kapita Indonesia (ln USD) |
8,213 |
8,327 |
8,111 |
0,064 |
0,367 |
0,048 |
96 |
GDP
per kapita negara RCEP (ln USD) |
9,560 |
12,096 |
6,858 |
1,522 |
0,320 |
0,000 |
96 |
Jarak
ekonomi Indonesia dengan negara RCEP (ln km) |
6,016 |
6,928 |
4,615 |
0,662 |
0,009 |
0,054 |
96 |
Jumlah
populasi negara RCEP (ln jiwa) |
17,914 |
21,058 |
15,299 |
1,735 |
0,074 |
0,293 |
96 |
Real
exchange rate
Rupiah terhadap mata uang masing-masing negara RCEP (ln Rupiah/LCU) |
5,564 |
9,159 |
0 |
3,027 |
0,040 |
0,000 |
96 |
Tabel
2 menunjukkan statistik deskriptif dari keseluruhan variabel regresi fasilitasi
perdagangan dan kinerja ekspor industri pengolahan makanan Indonesia ke kawasan
RCEP. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa jumlah observasi untuk
model regresi kinerja
ekspor dan fasilitasi perdagangan sebanyak 96 observasi yang meliputi negara
RCEP yang menjadi tujuan ekspor industri pengolahan makanan Indonesia selama 8
tahun. Nilai mean pada kualitas infrastruktur transportasi negara RCEP
sebesar 4,674%, kualitas penyerapan
teknologi informasi dan komunikasi (ICT) negara RCEP sebesar 59,865%, Burden of Customs
Procedure (BOCP) negara RCEP sebesar 6,016% dan kualitas lingkungan
bisnis negara RCEP sebesar 4,027%.
Indikator-indikator
fasilitasi perdagangan di negara RCEP terdiri dari kualitas infrastruktur transportasi, persentase penyerapan
teknologi informasi dan komunikasi (ICT), hambatan prosedur bea cukai (BOCP)
dan kualitas bisnis. Grafik 3 dan Grafik 4 menunjukkan
indeks rata-rata fasilitasi perdagangan di setiap negara RCEP dari tahun 2012 �
2019.
Grafik 3
Fasilitasi Perdagangan di Negara RCEP (Kualitas
Transportasi, Hambatan Bea Cukai dan Kualitas Bisnis)
Sumber:
World Economic Forum, diolah, 2021
Grafik
4
Fasilitasi
Perdagangan di Negara RCEP (Persentase Penyerapan ICT)
Sumber: World Economic
Forum, diolah, 2021
Negara RCEP yang
memiliki kualitas infrastruktur transportasi tertinggi yaitu Singapura dengan
indeks rata-rata sebesar 6,7. Indeks kualitas infrastruktur transportasi
Singapura ini menunjukkan bahwa Singapura mempunyai infrastruktur transportasi
yang baik dan berkembang pesat. Hal ini ditandai dengan dikenalnya Singapura
sebagai negara yang memiliki pelabuhan paling efisien di dunia (Madiah dan Widyastutik, 2020). Lalu, urutan indeks rata-rata kualitas transportasi
tertinggi selanjutnya adalah Australia sebesar 5,6, Jepang, Selandia Baru, Malaysia
dan Korea Selatan sebesar 5,4, China sebesar 4,5, Thailand, India 4,3, Kamboja
sebesar 3,8, Vietnam sebesar 3,7 dan negara RCEP yang memiliki kualitas
infrastruktur transportasi terendah adalah Filipina dengan indeks rata-rata
sebesar 3,3. Hal ini dapat disimpulkan bahwa di antara negara RCEP masih ada yang
kualitas infrastruktur transportasinya kurang baik dimana range
rata-rata indeks transportasi antara negara yang memiliki indeks tertinggi
dengan yang terendah cukup jauh.
Persentase penyerapan
teknologi informasi dan komunikasi (ICT) terbesar yaitu negara Korea Selatan
dengan rata-rata 89%. Hal ini menunjukkan bahwa hampir seluruh populasi di
Korea Selatan telah menggunakan internet. Pada era 4.0 saat sekarang ini, teknologi
informasi dan komunikasi (ICT) sangat berperan penting khususnya bagi pelaku
bisnis. Internet dapat mengurangi hambatan jarak bagi pelaku bisnis sehingga
tidak harus langsung berkunjung ke negara mitra bisnisnya (Suryanti, 2017).
Pemerintah Korea
Selatan sangat mendukung dalam percepatan transformasi digital menuju ekonomi
digital. Pertumbuhan ekonomi digital Korea Selatan disebabkan oleh tiga faktor utama
salah satunya yaitu visi pemerintah terkait ICT. Menurut Forbil Institute (2020) sekitar 5 % dari
GDP Korea Selatan digunakan untuk mempersiapkan Revolusi Industri 4.0 melalui teknologi
smart city dan jaringan 5G. Persentase penyerapan ICT tertinggi selanjutnya
adalah Jepang dan Selandia Baru sebesar 87%, Australia sebesar 85%, Singapura
sebesar 80%, Malaysia sebesar 71%, China dan Vietnam sebesar 48%, Filipina
sebesar 44%, Thailand sebesar 38%, India sebesar 22% dan negara RCEP yang
memiliki persentase penyerapan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) terendah
adalah Kamboja sebesar 18%.
Negara RCEP yang
memiliki Burden of Customs Procedure (BOCP) atau prosedur bea cukai yang
paling efisien adalah negara Singapura dengan indeks rata-rata sebesar 6,4. Singapura.
Oleh karena itu, Singapura juga dikenal sebagai negara yang paling ramah dalam
regulasi bisnis di dunia khususnya dalam prosedur bea cukai (Madiah dan Widyastutuik, 2020). Negara RCEP yang memiliki indeks BOCP tertinggi lainnya
yaitu Jepang sebesar 5,9, Korea Selatan sebesar 5,6, Malaysia sebesar 5,4, Selandia
Baru sebesar 4,9, Australia sebesar 4,8, China sebesar 4,6, India sebesar 4,4, Thailand
sebesar 4,1, Vietnam sebesar 3,5 dan negara RCEP yang memiliki prosedur bea
cukai tidak efisien adalah Filipina dan Kamboja dengan indeks rata-rata sebesar
3,3.
Negara Selandia Baru
memiliki kualitas lingkungan bisnis terbaik yang memiliki indeks rata-rata
sebesar 5,4. Hal ini ditandai oleh Selandia Baru yang dikenal sebagai negara
dengan tingkat kemudahan berbisnis terbaik di dunia dan negara paling ramah
untuk berbisnis menurut Laporan Bank Dunia (Katadata, 2019). Negara RCEP yang memiliki indeks kualitas lingkungan tertinggi
lainnya yaitu Singapura sebesar 4,9, Malaysia sebesar 4,8, Jepang sebesar 4,4, Australia
sebesar 4,3, India sebesar 4,1, China sebesar 3,9, Thailand dan Vietnam sebesar
3,5, Korea Selatan dan Filipina sebesar 3,3 dan Kamboja sebagai negara yang
lingkungan bisnisnya buruk dengan indeks rata-rata sebesar 3,1.
Untuk memenuhi kaidah
ekonometri pada pemilihan metode data panel, dilakukan tahapan pengujian
pemilihan model Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model
(FEM) atau Random Effect Model (REM) (lihat lampiran). REM terpilih
sebagai model yang terbaik untuk melakukan estimasi sehingga kinerja ekspor dan
fasilitasi perdagangan industri pengolahan makanan Indonesia dianalisis dengan
menggunakan gravity model dengan estimasi REM. Berikut adalah hasil
estimasi gravity model yang dampak kebijakan fasilitasi perdagangan dan
faktor yang dapat berpengaruh kepada nilai ekspor industri pengolahan makanan
Indonesia ke kawasan RCEP.
Tabel
2
Hasil
Regresi OLS REM
Dependent Variable: |
Hasil
OLS REM |
||
Nilai Ekspor Industri
Pengolahan Makanan Indonesia |
Model
1 |
Model
2 |
Model
3 |
TRANSjt |
0.212 |
|
-0.259 |
|
(0.386) |
|
(0.219) |
ICTjt |
-0.00372 |
|
0.0341*** |
|
(0.00975) |
|
(0.0104) |
BOCPjt |
-0.189 |
|
0.174 |
|
(0.574) |
|
(0.269) |
BUSSjt |
0.600 |
|
0.515*** |
|
(0.398) |
|
(0.212) |
t
= 2019 |
0.424 |
|
|
|
(0.683) |
|
|
Loggdpcit |
|
0.735 |
-0.385 |
|
|
(1.193) |
(1.211) |
Loggdpcjt |
|
0.621*** |
0.00736 |
|
|
(0.0822) |
(0.247) |
Logecodistijt |
|
-0.912*** |
-1.113*** |
|
|
(0.142) |
(0.161) |
Logpopjt |
|
0.951*** |
1.055*** |
|
|
(0.0572) |
(0.0533) |
Logexcij |
|
0.736*** |
0.0972 |
|
|
(0.0672) |
(0.218) |
t
= 2013 |
0.0292 |
-0.136 |
-0.0377 |
|
(0.640) |
(0.291) |
(0.252) |
t
= 2014 |
0.355 |
-0.0221 |
0.225 |
|
(0.653) |
(0.278) |
(0.248) |
t
= 2015 |
0.115 |
-0.146 |
-0.0825 |
|
(0.642) |
(0.272) |
(0.236) |
t
= 2016 |
0.183 |
-0.0730 |
-0.125 |
|
(0.647) |
(0.271) |
(0.237) |
t
= 2017 |
0.398 |
0.0305 |
-0.00986 |
|
(0.657) |
(0.278) |
(0.248) |
t
= 2018 |
0.377 |
0.00623 |
0.0774 |
|
(0.670) |
(0.292) |
(0.253) |
t
= 2019, omitted |
|
- |
- |
|
|
|
|
|
|
|
|
Constant |
17.38*** |
-16.40 |
10.16 |
|
(1.131) |
(20.72) |
(22.68) |
|
|
|
|
Observations Number
of ij_num |
96 12 |
96 12 |
96 12 |
R-squared
Prob
(F-Statistic) |
0.0181 0.0000 |
0.7748 0.0252 |
0.7948 0.0002 |
Standard errors in parentheses
*** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
Sumber: Olahan Penulis (2021)
Hasil estimasi OLS REM menunjukkan bahwa
variabel time trend tidak memengaruhi variabel nilai ekspor industri
pengolahan makanan Indonesia ke negara RCEP. Variabel fasilitasi perdagangan yang signifikan memengaruhi nilai
ekspor industri pengolahan makanan Indonesia ke RCEP adalah persentase
penyerapan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (ICT) negara RCEP
dan kualitas lingkungan bisnis negara RCEP.
Persentase penyerapan
infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (ICT) negara RCEP berpengaruh
positif dan signifikan terhadap nilai ekspor industri pengolahan Indonesia ke
negara RCEP. Jika persentase penyerapan teknologi informasi dan komunikasi
(ICT) negara RCEP naik 1% maka akan meningkatkan nilai ekspor industri
pengolahan Indonesia ke negara RCEP sebesar 0,034%. Hasil ini mirip dengan
studi Oktora dan Muhtasib (2019) dan Aryani (2020) yang menemukan bahwa ICT
berperan dalam meningkatkan komunikasi antar negara yang melakukan perdagangan.
Kualitas lingkungan bisnis negara RCEP berhubungan positif dan signifikan
terhadap nilai ekspor industri pengolahan Indonesia ke negara RCEP. Jika
kualitas lingkungan bisnis negara RCEP naik 1% maka akan meningkatkan nilai
ekspor industri pengolahan Indonesia ke negara RCEP sebesar 0,515%. Hal ini
mendukung hasil penelitian Portugal-Perez dan Wilson (2012) dan Imadidin, dkk (2017) bahwa jika lingkungan bisnis negara pengimpor semakin
baik maka akan meningkatkan nilai ekspor negara pengekspor.
Sementara itu,
variabel ekonomi yang signifikan memengaruhi nilai ekspor industri pengolahan
makanan Indonesia ke negara RCEP adalah cconomic distance Indonesia dengan
negara RCEP berhubungan negatif dan signifikan terhadap nilai ekspor industri
pengolahan makanan Indonesia ke negara RCEP. Jika jarak ekonomi Indonesia
bertambah 1% maka nilai ekspor industri pengolahan makanan Indonesia ke negara
RCEP akan menurun sebesar 1,113%. Hasil ini sama dengan studi Wardani (2018) dan Madiah dan Widyastutik (2020) bahwa semakin pendek economic distance antara negara eksportir
dan importir dapat menurunkan transaction cost dan meningkatkan perdagangan. Jumlah
populasi negara RCEP berhubungan positif dan signifikan terhadap nilai ekspor
industri pengolahan makanan Indonesia ke negara RCEP.
Jika jumlah populasi negara RCEP naik 1% maka nilai ekspor industri pengolahan makanan Indonesia ke negara RCEP akan meningkat sebesar 1,055%. Hasil ini sesuai dengan penelitian Fitzsimons, dkk (1999), Portugal-Perez dan Wilson (2012) dan Madiah dan Widyastutik (2020) bahwa populasi negara importir yang semakin tinggi dapat meningkatkan
Studi ini bertujuan untuk mengetahui dampak kebijakan fasilitasi
perdagangan dan faktor apa saja yang dapat berpengaruh kepada nilai ekspor
industri pengolahan makanan Indonesia ke kawasan RCEP. Periode penelitian
dimulai dari tahun 2012 sampai dengan 2019. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dengan menggunakan model gravitasi data panel, variabel fasilitasi perdagangan
sangat memengaruhi nilai ekspor industri pengolahan makanan Indonesia ke negara
RCEP secara signifikan yaitu persentase penyerapan teknologi dan komunikasi
(ICT) negara RCEP dan kualitas lingkungan bisnis negara RCEP. Sementara
variabel ekonomi yang memengaruhi nilai ekspor industri pengolahan makanan Indonesia
ke negara RCEP secara signifikan adalah jarak ekonomi negara Indonesia dengan
negara RCEP dan jumlah penduduk negara RCEP.
Hasil estimasi memprediksi bahwa variabel fasilitasi perdagangan yang sangat
memengaruhi peningkatan nilai ekspor industri pengolahan Indonesia adalah
perbaikan kualitas lingkungan bisnis negara RCEP dimana setiap kenaikan 1% kualitas
lingkungan bisnis maka akan meningkatkan nilai ekspor industri pengolahan
Indonesia ke negara RCEP sebesar 0,515%. Kemudian, setiap kenaikan 1% peningkatan
persentase penyerapan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) negara RCEP maka
meningkatkan nilai ekspor industri pengolahan Indonesia ke negara RCEP sebesar 0,034%.
Sementara setiap peningkatan jarak ekonomi Indonesia bertambah 1% maka nilai ekspor
industri pengolahan makanan Indonesia ke negara RCEP akan menurun sebesar 1,113%.
Jika jumlah populasi negara RCEP naik 1 % maka nilai ekspor industri pengolahan
makanan Indonesia ke negara RCEP akan meningkat sebesar 1,055%.
ADB and
UN (Asian Development Bank and United Nation). (2013). Designing and
Implenting Trade Facilitation in Asia and The Pacific Update 2013.
Philippines: Publication of Asian Development Bank and United Nation Economic
and Social Commission for Asia and the Pacific.
Aryani,
Yulya, Wina A, Suhindarto. (2020). Pengaruh Teknologi Informasi dan
E-Commerce terhadap Perdagangan Indonesia ke Negara ASEAN.
Asikin, Z,
Daryanto, A., Anggraeni, L. (2016). Pengaruh
Infrastuktur dan Kelembagaan terhadap Kinerja Ekspor Agregat dan Sektoral
Indonesia. Jurnal Manajemen dan Agribisnis. Volume 13 No. 2 p 145-156.
Badan Pusat Statistik. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri Ekspor Menurut
Kelompok Komoditi dan Negara 2012 � 2019.
Balassa, B.
(1965). Trade Liberalization and Revealed Comparative Advantage. The Manchester School, 33, 99-123.
Centre d�Etudes Prospectives et d�Informations Internationales. Geodesic
Distances.
Damanhuri
DS, Findi M. (2014). Masalah dan Kebijakan: Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Bogor: IPB Press.
Deloitte
Global. (2016). Global Manufacturing
Competitiveness Index 2016.
Fitzsimons,
E., Hogan, V., Neary, J.P. 1999. Explaining the Volume of North-South Trade
in Ireland: A Gravity Model Approach. Economic and Social Review. Volume 30
No. 4 p 381-401.
Forbil.id.
(2020). Lesson Learned: Transformasi Digital di Korea Selatan.
Grainger,
A. (2007). Customs
and Trade Facilitation: From Concepts to Implementation. World Custom Journal. Volume 2 No.
2 p 17-29.
Gultom, D.
(2020). Gultom, D. (2020). Perjanjian Regional Comprehensive Economic
Partnership (RCEP): Peluangnya bagi Indonesia dan Langkah Pemanfaatannya.
Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).
Imadidin, R., Priyarsono, D.S., Widyastutik. 2017. Fasilitasi
Perdagangan, Kinerja Ekspor, dan Ketimpangan Pendapatan di Negara-negara RCEP.
Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan. Volume 6 No. 2 p 32-46.
Katadata.co.id. (2019). Selandia Baru, Negara dengan Kemudahan Berbisnis
Terbaik. �
Kementerian Perdagangan. (2018).
Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional.
Kementerian Perindustrian. (2017). Siaran Pers.
Luthfianto,
A., Priyarsono, D.S., Barreto, R. (2016). Trade
Facilitation and the Indonesian of Performance
Manufacturing Export. Buletin
Ilmiah Litbang Perdagangan. Volume 10 No. 1 p
1-20.
Mardiah, S., Widyastutik. (2020). Fasilitasi
Perdagangan dan Ekspor Unggulan Manufaktur Indonesia ke RCEP. Jurnal BPPK
Volume 13 Nomor 1 Tahun 2020 Halaman 15-32.
Melitz, Marc J. (2003). The
Impact of Trade on Intra-Industry Reallocations and Aggregate Industry
Productivity. Econometrica, Vol.71, No. 6.
Oktora,
Siskarossa Ika, Nora M. (2019). Dampak Teknologi Informasi dan Komunikasi
terhadap Ekspor Pakaian Indonesia.
Portugal-Perez,
A., Wilson J.S. (2012). Export
Performance and Trade Facilitation Reform Hard and Soft Infrastructure.
Policy Research Working Paper. Volume 40 No. 7 p 1295- 1307.
Salvatore, D. (1997). Ekonomi
Internasional. Edisi kelima. (Alih bahasa, Haris Munandar). Jakarta:
Erlangga.
Suryanti, E.D.
(2017). Pengaruh Fasilitasi Perdagangan terhadap Ekspor Indonesia
ke Kawasan Aisa Pasifik.
Wilson,
J.S., Mann, C.L., Otsuki, T. (2003). Trade
Facilitation and Economoc Dvelopment: A New Approach to Quantifying the Impact.
The World Economic Review. Volume 17 No. 3 p 367-389.
World
Development Indicators. GDP per Capita, Population, Exchange Rate 2012 � 2019.
World
Economic Forum. The Global Competitiveness Index.
World Economic Forum. (2014). Global Competitiveness
Index.
Zahidi A. (2012). Dampak Trade Facilitation
terhadap Arus Perdagangan di Kawasan ASEAN.)
Copyright holder: Nurul
Haniva Dwihandini, Widyono Soetjipto (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |