Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 4, Maret 2023

 

PERAN KOMUNIKASI MINDSET TUMBUH IBU UNTUK MENINGKATKAN SUBJECTIVE WELL-BEING ANAK USIA DINI DI TK BHAKTI PKK 2 SAYEGAN YOGYAKARTA

 

Alimatus Sahrah, Harpeni Siswatibudi

Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Indonesia

Poltekkes Permata Indonesia Yogyakarta, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Kekerasan terhadap anak selama pandemi Covid-19 terus naik secara signifikan, mencangkup kekerasan fisik maupun verbal. Kementerian Kesehatan RI, menyampaikan bahwa 62 persen anak Indonesia mengalami kekerasan verbal selama pandemi Covid-19, sedangkan 11 persennya mengalami kekerasan fisik. Penting untuk menekan terjadinya kasus tersebut supaya subjecktive well-being pada anak usia dini dapat ditingkatkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran komunikasi mindset tumbuh ibu untuk meningkatkan subjective well-being pada anak usia dini di TK Bhakti PKK 2 Sayegan Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan explanatory sequensial design. Jumlah responden adalah 54 orang untuk data kuantitatifnya dan 6 subjek untuk data kualitatifnya. Hasil penelitian ini menunjukkan ada peningkatan subjective well-being pada anak usia dini di TK Bhakti PKK 2 Sayegan yang ibunya menerapkan komunikasi mindset tumbuh. Sedangkan bersarkan analisis kualitatif dapat disimpulkan Anak yang tumbuh dengan afeksi yang positif memiliki kebahagiaan subjective (subjective well-being) yang diharapkan.

 

Kata kunci: komunikasi ibu; mindset tumbuh; subjective well-being

 

Abstract

The number of incidents of violence against children during the Covid-19 pandemic continues to increase significantly, including physical and verbal violence. The Indonesian Ministry of Health said that 62 percent of Indonesian children experienced verbal violence during the Covid-19 pandemic, while 11 percent experienced physical violence. This is contradictory to the goals of child development, especially in subjective well-being in early childhood. This study aims to provide an overview of the role of mother's growth mindset communication in increasing subjective well-being in early childhood at Bhakti PKK 2 Sayegan Kindergarten, Yogyakarta. This study uses an explanatory sequential design approach. The number of respondents for quantitative data was 54 in terms of qualitative data we interviewed six respondent. The results of this study indicate that most of them sometimes use a growth mindset and there. are differences in subjective well-being in respondent who used growth mindset communication in early childhood at Bhakti PKK 2 Sayegan Kindergarten, Yogyakarta. After deepening through interviews and observations it was concluded that respondents with a growth mindset generally believe that children need practice and effort to be able to develop their own potential and that children are free to be creative, have adequate problem solving abilities and tend to be more active.

 

Keywords: growth mindset; mothers' communication; subjective well being

 

Pendahuluan

Children�s World International Survey of Children�s Well-being (ISCIWEB) merupakan lembaga survei internasional yang fokus dalam penelitian tentang subjective well-being pada anak-anak di sejumlah negara. Dalam laman resminya (http://www.isciweb.org) lembaga ini beranggapan bahwa sangat penting untuk menyediakan lingkungan yang kondusif bagi anak-anak supaya dapat sepenuhnya tumbuh dan mencapai potensi terbaik mereka. Berdasarkan hasil survey 20.000 anak pada tahun 2021 di 18 negara (Jerman, Turki, Bangladesh, Italy, Albania, Romania, Chili, Wales, Taiwan, Belgia, Algeria, Israel, Rusia, Korea Selatan, Indonesia, Estonia, Finlandia dan Spanyol menunjukkan bahwa selama masa pandemik hubungan anak- anak dengan orang tuanya dan teman-temannya mengalami perbedaan yang sangat signifikan (Gross-Manos & Bradshaw, 2021). Kualitas hubungan secara kuantitatif dengan orang tua memang naik, namun secara kualitatif sebagai besar menyatakan bahwa keeratan justru menurun dikarenakan muncul konflik intern yang disebabkan pada perbedaan persepsi dalam komunikasi (Nahkur & Kutsar, 2022). Kementerian Kesehatan RI, menggambarkan bahwa 62 persen anak Indonesia mengalami kekerasan verbal selama pandemi Covid-19. Sedangkan 11 persennya mengalami kekerasan fisik. Berdasarkan data sensus penduduk terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah anak usia dini di Indonesia diperkirakan sebanyak 30,73 juta jiwa pada 2022. Jumlah tersebut setara dengan 11,21% dari total penduduk Indonesia pada tahun ini. Jika dibandingkan pada 2021, jumlah anak usia dini mencatatkan penurunan tipis sebesar 0,32% (www.bps.go.id). Sedangkan jumlah anak usia 0-6 tahun di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2021 adalah sejumlah 356.024 anak, khusus Kabupaten Sleman mencapai 39.301 anak.

Angka kekerasan terhadap anak selama pandemi Covid-19 terus naik secara signifikan. Kekerasan verbal dan fisik yang anak terima bisa berdampak pada tumbuh kembang anak. Di Kabupaten Sleman tercatat kekerasan pada anak dan perempuan mencapai sebanyak 145 kasus pada rentang bulan Januari 2022 sampai dengan Juni 2022. Walaupun secara mendetail data untuk masing-masing kasus tidak dipublikasikan secara terbuka, namun kewaspadaan terhadap kasus ini tetap perlu ditingkatkan. Apalagi kejadian kekerasan pada anak, khususnya kekerasan verbal justru dilakukan oleh orang terdekat. Contoh saat orang tua memarahi anaknya dalam posisi benar atau salah sebagai manifestasi untuk membuat anak menjadi seperti apa yang orang tua inginkan. Hal ini mengindikasikan komunikasi orang tua dengan anak menjadi salah satu akses orangtua mendominasi anaknya.

Pada sebagian besar kasus kekerasan verbal menjadi lebih buruk daripada kekerasan fisik karena merupakan bentuk kekerasan psikologis. Kekerasan jenis ini menyerang emosional serta mental anak. Dalam konsep yang lebih luas, kekerasan verbal bahkan bisa dikatakan juga sebagai penganiayaan terhadap anak-anak. Selanjutnya, penganiayaan ini merusak perkembangan diri dan kompetensi sosial anak, serta pola psikis. Dengan sanksi sosial yang lebih besar dan larangan hukum untuk memukul anak, orang tua mungkin lebih sering menggunakan kritik atau induksi rasa bersalah untuk mengontrol atau menghukum anak mereka. Situasi ini menunjukkan kesejahteraan anak belum terpenuhi dengan kata lain anak merasa belum mendapatkan kebahagiaan yang layak. Istilah yang sering digunakan adalah Subjective well-being (Diener, Inglehart, & Tay, 2013).

Dalam berbagai kasus, orang tua perempuan (sebagai istri dan ibu) akan sangat berharga karena memiliki peran pola asuh yang dominan kepada anak karena kondisi rasio jenis kelamin tinggi Bowen & Finegan dalam (A, 2014). Pandangan ini memberikan arti bahwa sosok perempuan yang menjalankan peran sebagai ibu memiliki pengaruh besar dalam ketercapaian kesejahteran pada anak. No�eman (2012) menyebutkan bahwa kunci utama kesuksesan dalam pengasuhan anak adalah komunikasi. Salah satu model komunikasi yang dapat dikembangkan menurut (Brock & Hundley, 2018) adalah model komunikasi dengan metode pemilihan kata-kata yang tepat dalam zona mindset tumbuh. Harapannya adalah anak-anak yang terpola mendapatkan komunikasi dari orang tuanya terutama ibu dengan menggunakan mindset tumbuh dapat merasakan subjective well-being dalam masa tumbuh kembangnya.

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Indeks Kebahagiaan (well-being) yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2017, termasuk dalam kategori tinggi yaitu 72,93%. Meskipun data tersebut diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin, namun dalam indeks kebahagiaan BPS tersebut tidak dicantumkan klasifikasi untuk anak-anak. Hal ini merupakan bukti bahwa penelitian tentang subjective well- being pada anak-anak sendiri dikatakan sangat terbatas. Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk mengetahui apakah komunikasi mindset tumbuh ibu dapat meningkatkan subjective well-being pada anak usia dini di TK Bhakti PKK 2 Sayegan Sleman Yogyakarta?.

 

Metode Penelitian

Pendekatan penelitian ini menggunakan metode explanatory sequensial.

Gambar 1

The Explanatory Sequential Design (Cresswell, 2013)

 

Subjek penelitian ini adalah 54 ibu dari anak yang bersekolah di TK Bhakti PKK 2 Sayegan Sleman, sebagai sampel dalam pengambilan data kuantitatifnya. Adapun data kualitatif diambil dari 6 ibu beserta putra/putrinya sebagai subyek untuk studi kasusnya, 3 responden yang mempunyai mindset tumbuh, 3 responden yang menggunakan mindset tetap.

Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni 2022 sampai dengan Desember 2022. Peneliti membagi pengambilan data ini dalam 2 fase berurutan / sekuensial yang interaktif. Tahap pertama, pengambilan data secara kuantitatif untuk menghitung jumlah responden yang menggunakan komunikasi mindset tumbuh dan mindset tetap. Peneliti meminta responden mengisi kuisioner yang menunjukkan seberapa sering yang bersangkutan menggunakan komunikasi dengan mindset tumbuh. Setelah data kuisioer terkumpul data dianalisis mempergunakan analisis univariat yaitu untuk mengetahui distribusi frekuensi responden yang berkomunnikasi dengan mindset tumbuh dan mindset tetap. Hal ini dijadikan dasar untuk melanjutkan tahap berikutnya.

Tahap selanjutnya adalah fase pengambilan data kualitatif. Subjek terdiri dari 3 responden untuk responden bermindset tumbuh dan 3 responden untuk repsonden bermindset tetap. Data primer diambil melalui wawancara mendalam kepada ibu dan observasi pada anak. Selanjutnya peneliti menginterpretasikan data kualitatif untuk membantu menjelaskan hasil yang diperoleh pada fase kuantitatif. Pengambilan data kuantitif menggunakan instrumen berupa kuisioner. Data kualitatif dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam kepada responden (ibu) serta observasi di kelas kepada 6 anak dari responden. Kusioner yang dipergunakan adalah kuisioner tertutup tentang assessment mindset tumbuh yang disusun oleh (Brock & Hundley, 2018). Keabsahan data dalam metode kualitatif mempergunakan triangulasi sumber yaitu wawancara kepada Guru Wali Kelas di TK Bhakti PKK 2 Sayegan Yogyakarta.

 

Hasil dan Pembahasan

Kebahagiaan yang sering dikenal dengan istilah well-being, merupakan bentuk penilaian individu terhadap keseluruhan kualitas hidupnya. (Schimmel, 2009) bahkan menyebutkan bahwa kebahagiaan adalah sama dengan kesejahteraan subyektif (subjective well-being). Pada penelitian ini berfokus pada subjective well-being pada anak, khususnya anak usia dini. Hasil penelitian ini menjelaskan mengenai peran pola komunikasi mindset tumbuh terhadap meningkatkan subjective well-being di TK Bhakti PKK 2 Sayegan Yogyakarta. Pertama, peneliti menganalisis secara kuantitatif dengan pendekatan univariat untuk mengindetifikasi distribusi frekuensi pola komunikasi mindset tumbuh dan mindset tetap, serta pendekatan bivariat untuk membuktikan dugaan bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam subjective well-being pada AUD pada ibu yang menggunakan komunikasi mindset tumbuh. Kedua, faktor-faktor apa saja yang diduga memberikan kontribusi pada� subjective well-being subjek.

Gambaran subjective well-being subjek dilihat dengan 3 (tiga) indikator, yaitu life satisfaction, afek positif dan afek negative (Diener et al., 2013). Wawancara dilakukan terhadap 6 subjek, dengan rentang usia 4 -6 tahun. Berikut gambaran data subjek penelitian :

 

 

 

 

 

Tabel 1

Gambaran Data Subjek Penelitian

Inisial

A

B

C

D

E

F

Usia

4 Tahun

6 Bulan

5 Tahun

2 Bulan

5 Tahun

8 Bulan

6 Tahun

1 Bulan

6 Tahun

5 bulan

6 Tahun

8 Bulan

Inisial Ibu

ST

BP

HS

FW

AT

RP

Pendidikan Ibu

Sekolah Menengah

Atas

Pendidikan Tinggi

Sekolah Dasar

Pendidikan Tinggi

Sekolah Menengah

Atas

Sekolah Menengah

Atas

Pekerjaan Ibu

IRT

Pegawai

Swasta

Buruh Tani

Guru

IRT

Pegawai

Swasta

Model Komunikasi

Mindset

Mindset

Mindset Tetap

Mindset

Mindset Tetap

Mindset Tetap

 

Inisial

A

B

C

D

E

F

 

Tumbuh

Tumbuh

 

Tumbuh

 

 

Gambaran

Afeksi Positif

Afeksi Positif

Afeksi Positif-

Afeksi Positif-

Dominan

Dominan

Subjective well-

 

 

Tapi butuh

namun masih

Afeksi

Afeksi

being

 

 

dorongan lebih

tantrum pada

Negatif-Tidak

Negatif-Pasif

 

 

 

dahulu

kondisi

Percaya Diri

 

 

 

 

 

tertentu

 

 

Hasil Observasi

Aktif, mampu

Aktif, mampu

Aktif, mampu

Aktif, mampu

Pasif, tidak

Pasif, hanya

 

menyelesaikan

menyelesaikan

menyelesaikan

menyelesaikan

mau

mengerjakan

 

tugas

tugas

tugas tantangan

tugas

mengerjakan

sebagian.

 

tantangan

tantangan

sampai tuntas.

tantangan

tugas

 

 

sampai tuntas.

sampai tuntas.

 

sampai tuntas.

tantangan

 

 

Subjek penelitian yang menunjukkan afeksi positif mempunyai ibu yang dominan menggunakan pola komunikasi mindset tumbuh. Hal ini menguatkan penelitian pernah dilakukan oleh (Irzalinda, Puspitawati, & Muflikhati, 2014) yang menyebutkan bahwa interaksi yang dibangun oleh orang tua dan anak dalam pengasuhan mempengaruhi kehidupan anak. Sebagian lain dari subjek penelitian ini memang masih menunjukkan bahwa walaupun komunikasi si ibu masih didominasi mindset tetap, namun bila diimbangi dengan dorongan lain secara eksternal antara lain dari guru atau keluarga inti lain, maka subjek masih menunjukkan afeksi positif.

Afeksi negative ditunjukkan oleh subjek yang ibunya memiliki pola komunikasi bermindset tetap. Afeksi negative atau lebih sering dikenal dengan emosi negative yang ditunjukkan adalah anak tidak percaya diri, takut, dan sering tantrum. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Diener et al., 2013) yang melihat emosi negative yang mempengaruhi kesejahteraan anak adalah emosi-emosi spesifik seperti rasa sedih, kecewa, bersalah, takut, bermusuhan, mudah marah, malu, gelisah, gugup dan khawatir. Pengakuan subjek mendeskripsikan hubungan mereka dengan ibu mereka dengan berbagai pengalaman yang kurang menyenangkan seperti sering dimarahi, dituduh dan sering disalahkan. Emosi negative itu memberikan dampak pada subjek menjadi tidak percaya diri dan cenderung pasif di sekolah. Pendapat ini diperkuat (Ferran Casas, 2011), bahwa salah satu domain subjective well-being adalah personal satisfaction, dimana anak mempersepsikan apakah dirinya diberikan kebebasan beraktivitas atau dengan kata lain diberikan kepercayaan, termasuk seberapa banyak anak-anak ini didengarkan dan memilih dalam berbagai hal.

Saat subjek diberikan simulasi untuk memecahkan masalah, 4 dari 6 subjek berhasil mengatasi tantangan tersebut. Subjek yang mampu memecahkan masalah adalah subjek yang secara eksplisit menunjukkan aktifitas fisik aktif dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Anak usia dini perlu memiliki kemampuan memecahkan masalah yang bertujuan untuk membantu mereka mengatasi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari seperti masalah berebut mainan dengan teman sebaya, kesulitan memahami aturan bermain dan lain-lain. Bilamana ini dikuasai dengan baik maka afeksi positif akan lebih dominan, afeksi positif merupakan salah satu ciri subjective well- being.

Penelusuran lebih lanjut melalui wawancara mendalam pada subjek ditemukan beberapa factor yang diduga mempengaruhi subjective well-being pada anak usia dini, yaitu Pertama, pola komunikasi orang tua. Para ahli psikologi memaparkan bahwa proses dialog antar individu dapat menghasilkan penguatan dan dukungan emosional. Dalam konteks interaksi antara orang tua dan anak dapat emnghadirkan rasa aman dan nyaman, memunculkan rasa kepercayaan terhadap anak/orang tua merasa dipahami dan lebih tepat saat memberikan respon, namun bila dialog atau komunikasi tidak dilakukan secara tepat maka dampak sebaliknya yang akan di rasakan. Akibatnya tentu berpengaruh terhadap subjective well-beingnya. Hal ini memperkuat hasil penelitian yang dilakukan (In, 2012), yaitu Pola komunikasi mempunyai peran penting dalam pembentukan karakter anak. Pengakuan lain dari responden menyebutkan bahwa orang tua dalam hal ini ibu, sering bersikap reaktif dalam menghadapi polah tingkah terutama sikap buruk anaknya. �Namanya emosi enggak bisa ditahan, langsung nyembur,� Ibu akan menunjukkan kesadarannya. setelah perkataan atau ucapan yang tidak terkontrol ini telah diterima si anak. Dalam bersikap kepada anak, ibu sering tergantung pada mood. Ketika sedang stress, banyak pikiran, sibuk pekerjaan, ibu cenderung gampang emosi dan anak menjadi sasarannya. Pola perilaku ibu seperti ini akan membuat ibu tidak cukup memahami bahasa tubuh anak alias mengabaikannya. Padahal ini adalah hal mudah untuk menilai apakah anak telah mencapai subjective well-beingnya.

Kedua, dukungan lain dari guru atau keluarga inti lain. Salah satu peran nyata dalam menguatkan subjective well-being adalah peran guru. Guru menjadi penyeimbang sekaligus role model bagi anak usia dini. Seperti yang disampaikan oleh (Septiarti, 2014) yang menemukan fakta bahwa Guru atau pendidik merupakan fasilitator sekaligus model dalam membentuk karakter anak Selain guru Support group lain dapat digunakan sebagai sarana untuk memfasilitasi anak dalam mencurahkan pikiran dan perasaannya, harapannya pengalaman atau afeksi positif pada anak terbangun melalui situasi di luar keluarga. Pengalaman positif ini mempunyai peran penting untuk mengatasi hambatan- hampatan personal sehingga subjective well-being terfasilitasi dengan baik.

Ketiga, kepercayaan kepada subjek. (Rahman, 2013) menguraikan bahwa salah satu cara membentuk karakter anak adalah dengan menumbuhkan rasa kepercayaan diri pada anak. Prawitasari (2007) menyebutkan bahwa salah satu fungsi penting dialog/komunikasi adalah membentuk rasa percaya antar individu yang berinteraksi. Ketika kepercayaan itu tumbuh maka akan menghadirkan afeksi yang positif. Individu dalam hal ini anak akan dapat mengekpresikan rasa senang, rasa suka, serta mudah untuk diberikan masukan. Hal ini merupakan cerminan adanya subjective well-being pada anak.

Keempat, kebersamaan bersama teman-teman sebaya. (Fridja, 1996) menjelaskan bahwa emosi dalam hal ini sering disebut dengan istilah afeksi terbentuk salah satunya karena adanya interaksi social. Interaksi tersebut didapatkan dari kelas social, pekerjaan, gender kelompok sebaya, keluarga, komunitas dan sebagainya. Dalam konteks anak usia dini tentunya teman sebaya memiliki peran penting dalam membentuk pengalaman emosional. Hal ini memberikan kesempatan anak untuk menempatkan ekspresi emosinya dengan tepat, mulai dari kapan, dimana dan saat seperti apa. Ketika penempatan afeksi secara tepat maka terwujudlah subjective well- being yang diharapkan.

Berdasarkan temuan tersebut, peneliti kemudian mencoba melanjutkan analisis berdasarkan data kuantitatif yang telah diambil sebelum dilakukan wawancara mendalam. Data kuantitatif ini menggambarkan distribusi frekuensi ibu yang menggunakan pola komunikasi dengan mindset tumbuh dan mindset tetap, sebagai berikut :

 

Tabel 2

Distribusi Frekuensi Pola Komunikasi Responden

 

N = 54 Responden

 

n

 

%

Mindset Tumbuh

30

44,4

Mindset tetap

24

55,6

Total

54

100,0

 

Tabel 2 menunjukkan bahwa responden menunjukkan sebagian besar mempunyai pola komunikasi dengan mindset tumbuh yaitu 55,6%, sedangkan 44,4 % mempunyai pola komunikasi dengan mindset tetap. Pada 2006, Dr. Carol Dweck, Profesor Psikologi Lewis and Virginia Eaton di Stanford University, berbekal penelitian 30an tahun merumuskan teori kuat tentang dua mindset dalam penelitiannya, yaitu mindset tetap dan mindset tumbuh. Perbedaan penggunaan mindset ini akan memberikan efek yang berbeda pada individu dalam menghadapi sesuatu, salah satunya adalah dampak komunikasi yang dihasilkan dalam pola asuh atau cara mendidik pada anak. Hal ini menjadi penting untuk memahami mindset tetap dan mindset tumbuh, mana yang lebih dominan.

Setiap individu memiliki dua mindset, baik mindset tumbuh maupun mindset tetap. Namun dalam memilih untuk melihat berbagai situasi dengan sudut pandang mindset tumbuh atau mindset tetap masing-masing individu berbeda. Artinya mana yang dominan digunakan dalam komunikasi maka itu yang akan memberikan dampak yang berbeda satu dengan lainnya. (Brock & Hundley, 2018), menyebutkan individu yang bermindset tetap cenderung meyakini bahwa manusia dilahirkan dengan tingkat kecerdasan, ketrampilan dan bakat yang tidak berubah. Hal ini menghasilkan pola komunikasi yang cenderung menyalahkan dan menganggap keadaaan tidak bisa diubah Sedangkan individu yang bermindset tumbuh pada umumnya percaya bahwa dengan latihan, kegigihan, dan ikhtiar akan memiliki kesempatan tidak terbatas untuk belajar dan berkembang di segala bidang. Berikut beberapa strategi yang dapat digunakan ibu untuk tetap dalam pola komunikasi mindset tumbuh, (1) mencoba tetap mendukung anak untuk mau ambil resiko dalam berbagai kesempatan kegiatan baru, baik di rumah maupun di sekolah, (2) puji anak bukan atas prestasinya namun lebih kepada puji anak atas usaha yang telah dilakukannya, (3) berkolabarasi dengan guru/pihak sekolah untuk memberikan tugas-tugas yang menantang sesuai kemampuannya, (4) memberikan berbagai stimulasi kegiatan yang bervariasi.

Setelah dilakukan analisis univariat selanjutnya secara kuantitatif peneliti melakukan analisis bivariat yang menguji perbedaan subjective well being pada anak yang terpapar komunikasi mindset tumbuh dengan komunikasi mindset tetap. sebagai berikut :

 

Tabel 3

Analisis Paired T-Test

Pola Komunikasi

Pre Test

Post Test

Selisih rerata (CI)

P

 

Mean

(SD)

Mean

(SD)

 

Mindset tetap

n = 30

43,93

45,93

1,98

0,000

(2,953)

(3,134)

 

 

Mindset tumbuh

n = 24

44,08

47,00

2,92

0,007

(3,894)

(4,743)

 

 

 

Tabel 3 membuktikan terdapat perbedaan subjective well-being antara pre test dan post test, pada kedua kelompok. Terdapat peningkatan subjective well-being pada kelompok ibu yang menggunakan pola komunikasi mindset tumbuh, menunjukkan ada perbedaan rerata pre test sebesar 44,08 dengan standar deviasi 3,894 dan post test sebesar 47,00 dengan standar deviasi 4,743. Nilai p_value 0,007, hal ini menunjukkan bahwa subjective well-being antara pre test dan post test terdapat perbedaan yang bermakna atau signifikan, dapat dilihat dari nilai p < 0,05 atau p = 0,007.

Pada kelompok ibu yang menggunakan mindset tetap terlihat juga perbedaan rerata pre test subjective well-being sebesar 43,93 dengan standar deviasi 2,953 dan post test sebesar 45,93 dengan standar deviasi 3,134, walaupun tidak setinggi bermindset tumbuh. Nilai p_value 0,000 menunjukkan bahwa kelompok ibu yang menggunakan pola komunikasi mindset tetap juga menunjukkan perbedaan yang bermakna atau signifikan untuk nilai pre test dan post test, dapat dilihat dari nilai p < 0,05 atau p = 0,000. Sehingga dapat ditarik hasil analisis bahwa peningkatan subjective well-being pada anak usia dini yang terpapar komunikasi mindset tumbuh lebih tinggi dari mindset tetap.

Pola komunikasi yang menggunakan mindset tumbuh cenderung menggunakan kalimat-kalimat yang menunjukkan pemberian kesempatan, empati dalam permasalahan dan focus pada jalan keluar, sehingga dampaknya akan membentuk karakter yang lebih berani, percaya bahwa kesalahan dan rintangan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses pertumbuhan. Hal ini ditunjukkan dari pengakuan responden melalui pola komunikasi berikut :

 

Tabel 4

Kalimat Ibu Bermindset Tetap Dan Bermindset Tumbuh

Kalimat Ibu Bermindset Tetap

Kalimat Ibu Bermindset Tumbuh

�FH sangat pinter kok, dia kan kayak bapaknya, jago pokoknya�

�Kebetulan anak saya sudah rutin mau belajar mengenal huruf. Usahanya tampak jelas dalam beberapa minggu ini sudah dapat membaca suku

kata.�

�Biarlah��� bu,�� gak�� usah�� ikut���������������� aja�� lombanya

mewarnainya, paling lima menit, dia bosan.�

�Saya����� ikutkan��� lomba�������������� mewarnai,������������� untuk

membantunya latihan, menang kalah urusan nanti.�

�AL memang nakal kok, suka jail sama temene,

saya sampe tobat�

�Mohon maaf jika anak saya tampak lebih aktif, dia

baru banyak belajar mengatur dirinya, bila ada

 

Kalimat Ibu Bermindset Tetap

Kalimat Ibu Bermindset Tumbuh

 

yang���� keterlalun� bisa�� langung����������� ditegur,����� atau

sampaikan ke kami mawon.�

�Saya tidak tahu kenapa anak saya susah dikasih tahu, sedangkan adiknya bisa mengerti dan mau

melakukan.�

�Ella memang punya gaya belajar beda bu, seringnya lebih suka mempraktikan langsung, tidak

telalu suka jika diminta mendengarkan lebih lama.�

�Anak saya kenapa tidak diikutkan di grup drumband? Anak saya tidak bisa ya?

�Yaaa, pelatih pasti sudah punya standard anak- anak yang memang lebih peka bermusiknya,

hehehheh�

�Belum pernah sih konsul ke gurunya, paling juga

gak ada solusinya,�

�Saya pilih diskusi dengan bu guru, semoga ada

jalan keluar atas permasalahan anak saya.�

�Anak saya tidak punya bakat olahraga sama sekali.�

�Saya rasa, AF lambat laun bisa, wlau memang harus butuh bimbingan ekstra dari pelatih atau

gurunya sih,�

�Jujur saya gak ngerti kenapa bu guru nyuruh

murid-murid mengoreksi kesalahannya sendiri.�

�ya gak papa, itu malah bagus jika anak-anak tahu

salahnya.�

�Tugas ini terlalu susah . Anak saya tidak perlu

tahu caranya.�

�Anak saya biar berjuang lebih keras, klau masih

gagal ya bisa nyoba lagi,�

�Anak saya tidak perlu belajar, sudah bisa dia,�

�Saya akan meminta bu guru supaya diberi tugas

lain yang lebih menantang.�

 

Pola komunikasi tersebut menggambarkan bahwa individu yang bermindset tetap tersirat ingin memiliki tujuan untuk terlihat pintar dan kompeten, serta menghindari kegalan atau berbagai keadaan yang memalukan. Sebaliknya yang bermindset tumbuh memberikan respon anak dipercaya dapat berkembang dan mampu mengatasi kesulitan yang dihadapinya.

Menilik dari pengakuan semua ibu subjek ketika digali tentang apa yang diinginkan untuk anak-anaknya, semuanya menjawab ingin yang terbaik untuk anak- anaknya, anak-anaknya kelak sukses dan membanggakan orang tuanya. Bagi ibu yang memiliki pola komunikasi dengan mindset tumbuh terfokus pada proses tumbuh kembang anaknya, yaitu salah satunya adalah proses pembelajaran bukan hasilnya. Berikut beberapa teknik untuk melatih komunikasi bermindset tumbuh, yaitu Pertama, Obrolan di meja makan saat makan malam. Membuat rutinitas tanya jawab saat makan malam. Hanya dengan menanyakan hal-hal yang dialami anak pada hari ini, misal �Tadi di sekolah bermain dengan siapa? Apa yang dimainkan? Apa yang disukai hari ini�. Kedua, tanya jawab setelah anak menunjukkan performancenya. Anak pasti sering membawa pulang hasil karya dari sekolah, ibu suka bertanya misalnya dengan kalimat �Bagaimana ini tadi membuatnya? Hebat, sudah dapat membuat ini (sambil menunjukan hasil karya anak) Apakah kamu senang nak?, Oke, selanjutnya kita buat lagi dirumah ya biar makin rapi,�. Ketiga, Obrolan saat mengantar/menjemput anak ke sekolah. Dapat berupa bernyanyi bersama, menghafal doa atau hanya sebatas obrolan apa yang diinginkan anak untuk makan siang hari tersebut. Keempat, membentuk kebiasaan positif menjelang tidur. Mendongeng, atau menanyakan hal-hal yang disukai anak hari ini dan apa yang direncanakan untuk hari selanjutnya. Kelima, membuat dan menawarkan beberapa tantangan ke anak. Tantangan ini tentunya disesuaikan dengan tahapan perkembangan untuk anak usia dini. Contohnya memakai sepatu sendiri, gosok gigi secara rutin minimal sehari dua kali, memakai pakaian sendiri dan sebagainya. Strategi-strategi tersebut diharapkan mampu untuk menunjang pembentukan pola komunikasi yang menggunakan mindset tumbuh, sehingga terhindar dari kalimat- kalimat yang negative yang cenderung dianggap sebagai kekerasan verbal yang sering dialami anak usia dini. Hal ini memperkuat pendapat Dweck dalam (Brock & Hundley, 2018) yang menyampaikan bahwa penting untuk menemukan cara agar pola komunikasi antara orang tua dan anak tidak terganggu, sehingga dapat memfasilitasi hubungan pengasuhan yang berorientasi pada tumbuh kembang anak yang optimal untuk mencapai subjective well-being.

 

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa ada peran komunikasi mindset tumbuh dalam meningkatkan subjective well-being pada anak usia dini di TK Bhakti PKK 2 Sayegan Yogyakarta. Responden yang menggunakan komunikasi dengan menggunakan pola mindset tumbuh memberikan peluang anak latihan dan usaha untuk dapat mengembangkan potensi dirinya sehingga anak bebas berkreasi, memiliki kemampuan problem solving yang cukup dan cenderung lebih aktif. Kondisi ini menumbuhkan afeksi yang positif pada anak usia dini. Anak yang tumbuh dengan afeksi yang positif memiliki kebahagiaan subjective (subjective well-being) yang diharapkan. Selanjutnya disarankan perlu dilakukan sosialisasi atau pelatihan pola komunikasi mindset tumbuh bagi orang tua dan para pendidik secara menyeluruh.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

A, Sahrah. (2014). Psikologi Perempuan Indonesia �Quo Vadis.� Empuesa. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Tadulakota.

 

Brock, Annie, & Hundley, Heather. (2018). In Other Words: Phrases for Growth Mindset: a Teacher�s Guide to Empowering Students Through Effective Praise and Feedback. Simon and Schuster.

 

Casas, Ferran. (2011). Subjective social indicators and child and adolescent well-being. Child Indicators Research, 4, 555�575.

 

Casas, FERRAN, Coenders, Germ�, Cummins, Robert A., Gonz�lez, M�nica, Figuer, Cristina, & Malo, Sara. (2008). Does subjective well-being show a relationship between parents and their children? Journal of Happiness Studies, 9, 197�205.

 

Creswell, John W. (2010). Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Diener, Ed, Inglehart, Ronald, & Tay, Louis. (2013). Theory and validity of life satisfaction scales. Social Indicators Research, 112, 497�527.

 

Fridja, N. (1996). Passions: Emotion and socially consequental behavior. Emotion: Interdisciplinary Perspectives. Lawrence Erlbaum Associates, 1�28.

 

Gross-Manos, Daphna, & Bradshaw, Jonathan. (2021). The association between the material well-being and the subjective well-being of children in 35 countries. Child Indicators Research, 1�33.

 

In, Mustadi A. (2012). Optimalisasi Peran Orang Tua dalam Character Building Anak dalam Setting Keluarga (p. 87). p. 87. Yogyakarta: IKAUNY PRESS.

 

Irzalinda, Vivi, Puspitawati, Herien, & Muflikhati, Istiqlaliyah. (2014). Aktivitas bersama orang tua-anak dan perlindungan anak meningkatkan kesejahteraan subjektif anak. Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen, 7(1), 40�47.

 

Nahkur, Oliver, & Kutsar, Dagmar. (2022). The change in children�s subjective relational social cohesion with family and friends during the COVID-19 pandemic: A multinational analysis. Frontiers in Sociology, 7.

 

Noeman, Amazing Parenting. (2012). Menjadi Orang Tua Asyik Membentuk Anak Hebat. Jakarta: Noura Books.

 

Rahman, Muzdalifah M. (2013). Peran Orang Tua Dalam Membangun Kepercayaan Diri Pada Anak Usia Dini. Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, 8(2).

 

 

 

Schimmel, J�rg. (2009). Development as happiness: The subjective perception of happiness and UNDP�s analysis of poverty, wealth and development. Journal of Happiness Studies, 10(1), 93�111.

 

Septiarti, S. Wisni. (2014). Peran Pendidik dan Sekolah dalam Pendidikan Karakter Anak. Diakses dari http://staff. uny. ac. id/sites/default/files/pengabdian.

 

Statistik, Badan Pusat. (2022). Badan Pusat Statistik. Retrieved from Badan Pusat Statistik website: https://www.bps.go.id/

 

Copyright holder:

Alimatus Sahrah, Harpeni Siswatibudi (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: