Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesiap�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 12, Desember 2022

 

REINTERPERTASI MAKNA KESEJAHTERAAN DALAM PERSPEKTIF MAQ�SHID SYARΒAH (STUDI KRITIS-ANALITIK TERHADAP PEMIKIRAN JASSER AUDA)

 

Muhsin Hariyanto, Popi Siti Ropiah

Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia

E-mail: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemikiran Jasser Auda mengenai konsep Maq�shid Syar�ah, dalam kaitannya dengan kesejahteraan, dicantumkan pula biografi, dan karya-karyanya. Jenis penelitian ini adalah kajian pustaka, sifat penelitian ini adalah deskriptif analisisdan teknik analisis yang digunakan yaitu metode analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan sejauh mana perkembangan pemahaman mengenai makna kesejahteraan. Secara fundamental tidak ada perbedaan mendasar mengenai pemahaman konsep kesejahteraan, beragam konsep yang dikembangkan oleh para pemikir telah bertemu pada satu titik bahwa kesejahteraan tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan aspek moral dan etika. Namun, beragam penafsiran yang muncul setelahnya membuat makna kesejahteraan mengalami perluasan bahkan penyempitan makna. Jasser Auda yang merupakan pakar Maq�shid kontemporer ini pun mencoba mengembangkan konsep Maq�shidnya sebagai upaya merespon permasalahan saat ini salah satunya yaitu mengenai konsep kesejahteraan. Dalam mengembangkan konsepnya, ia bertolak dari para pendahulunya seperti Al-Syathibi, Al-Juwayni, Yusuf al-Qardhawi, dan lain-lain. Menafsirkan kembali makna kesejahteraan dengan menggunakan perspektif Maq�shid ini merupakan salah satu upaya agar makna kesejahteraan dapat dipahami secara lebih komprehensif. Upaya ini selaras dengan gagasan Jasser Auda mengenai konsep Maq�shidnya, Jasser Auda dalam gagasannya memiliki tujuan yang sama dengan para pemikir sebelumnya yaitu merespon permasalahan yang dihadapi umat manusia, hanya saja perbedaan mendasarnya terletak pada aspek implementasi, dalam hal ini Jasser Auda mengemukakan lima fitur di antaranya: pertama, watak kognitif system; kedua, kemenyeluruhan; ketiga, keterbukaan dan pembaruan diri; keempat, multidimensional; kelima, kebermaksudan. Kelima fitur tersebut ia kembangkan dengan menggunakan pendekatan sistem.

 

Kata kunci: maq�shid syar�ah, reinterpretasi, kesejahteraan, fitur, sistem.

 

Abstract

This research aims to describe Jasser Auda's thoughts on the concept of Maq�shid Syar�ah, in relation to well-being, including his biography and works. This is a literature review research, with a descriptive analytical nature and qualitative analysis method. The research findings indicate the extent of the development of understanding about the meaning of well-being. Fundamentally, there is no fundamental difference in the understanding of the concept of well-being, as various concepts developed by thinkers have met at one point that well-being cannot be separated from moral and ethical aspects. However, various interpretations that emerged afterward have made the meaning of well-being expand and even narrow. Jasser Auda, a contemporary Maq�shid expert, also tries to develop his concept of Maq�shid as an effort to respond to current issues, one of which is the concept of well-being. In developing his concept, he starts from his predecessors such as Al-Syathibi, Al-Juwayni, Yusuf al-Qardhawi, and others. Reinterpreting the meaning of well-being using Maq�shid's perspective is one effort to understand the meaning of well-being more comprehensively. This effort is in line with Jasser Auda's idea of his Maq�shid concept, Jasser Auda in his idea has the same goal as previous thinkers, namely responding to the problems faced by mankind, it's just that the fundamental difference lies in the implementation aspect, in this case Jasser Auda suggests five features including: first, the cognitive nature of the system; secondly, comprehensiveness; third, openness and self-renewal; fourth, multidimensional; Fifth, intent. He developed these five features using a systems approach.��

 

Keywords : maq�shid syar�'ah, reinterpretation, welfare, features, system.

 

Pendahuluan

Kesejahteraan merupakan wacana yang senantiasa aktual dan selalu menjadi pembahasan menarik karena aspek multidimensionalnya, yaitu meliputi aspek politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya. Para pakar kesejahteraan dari berbagai negara telah merumuskan beragam definisi mengenai kesejahteraan, salah satunya merujuk pada Spicker (1995), Midgley, Tracy dan Livermore (2000), Thompson (2005), Suharto (2006), pengertian kesejahteraan sedikitnya mengandung empat makna yaitu sebagai kondisi sejahtera (well-being); sebagai pelayanan sosial; sebagai tunjangan sosial; dan sebagai proses dan usaha terencana yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui pemberian pelayanan sosial dan tunjangan sosial. (Suharto, 2006)

Kesejahteraan merupakan diskursus yang banyak dikaji dan menjadi perhatian utama bagi seluruh negara di dunia, negara dan lembaga internasional pun berlombalomba menetapkan suatu ukuran tertentu untuk mengukur tingkat kesejahteraan, salah satunya PBB dengan UNDPnya merumuskan ukuran kesejahteraan masyarakat, yang disebut Human Development Index. Indikator-indikator kesejahteraan yang terdapat dalam indeks ini diantaranya yaitu pendapatan perkapita, panjangnya masa hidup dan tingkat pendidikan yang diraih. (Goordin, 2015: 2)) Namun dari sekian banyak alat ukur kesejahteraan yang dirumuskan tersebut dengan berbagai indikator di dalamnya, masih belum mampu merepresentasikan mengenai pemahaman kesejahteraan secara utuh, karena alat ukur tersebut hanya menyentuh dimensi material saja. Dalam alat ukur tersebut tidak ada dimensi spiritual yang dicantumkan, hal ini merupakan salah satu kelemahan dari alat ukur yang digunakan saat ini.

Negara-negara Skandinavia terkenal sebagai negara-negara dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi, salah satunya yaitu Norwegia yang menempati urutan pertama dalam Prosperity Index dan Human Development Index (http://www. http://hdr.undp.org/en/data) sebagai negara paling sejahtera di dunia. Namun berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) (http://www.who.int/about/en/), presentase bunuh diri di Norwegia cukup tinggi yaitu sebesar 12,9% dari 100.000 jiwa, jika dibandingkan dengan Indonesia yang tingkat kesejahteraannya menempati posisi ke 113 dalam Human Development Index dan diurutan ke 59 dalam prosperity index justru presentase bunuh dirinya cukup rendah dari Norwegia yaitu sebesar 4,5% dari 100.000 jiwa. (http://www. http://hdr.undp.org/en/data)

Hal di atas menunjukkan bahwa pemahaman mengenai kesejahteraan masih cenderung parsial. Pemahaman ini tidak terlepas dari suatu sistem yang selama ini melingkupi hampir seluruh aspek kehidupan manusia yaitu globalisasi dan kapitalisme yang membuat manusia cenderung hedonis dan materialistik.

Untuk itu diperlukan alternatif lain sebagai solusi dalam mengatasi permasalahan kesejahteraan tersebut. Dalam Islam konsep kesejahteraan merupakan suatu yang integral karena Islam bukan hanya sekadar agama, namun mencakup pandangan dan cara hidup secara total. Islam menjadikan mashlahah sebagai tolak ukur kesejahteraan. Istilah mashlahah seringkali digunakan dalam literatur-literatur Syar�ah. Dalam istilah Syar�ah, mashlahah dimaknai sebagai kemanfaatan yang dikehendaki Allah SWT kepada hamba-hambanya untuk menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan hartanya sesuai dengan tingkatan hierarkis yang diterangkan oleh-Nya. Kesejahteraan tersebut termanifestasikan dari kemanfaatan yang didapatkan serta kerusakan yang dihilangkan. (Azizy, 2015: 17) Pembahasan mashlahah erat kaitannya dengan Maq�shid Syar�ah. Maq�shid Syar�ah dimaknai sebagai tujuan Syar�ah untuk menjaga keberlangsungan hidup umat secara teratur dengan memerhatikan mashlahah (kesejahteraan) duniawi yang berdasarkan kepada mashlahah agama. Maq�shid ini merupakan dasar dari adanya Syar�ah. (Ibid.: 24)

Jasser Auda merupakan salah satu pakar terkemuka saat ini di bidang Maq�shid Syar�ah yang berupaya untuk melakukan reformasi terhadap pemahaman ajaran Islam guna mengatasi berbagai permasalahan dan dinamika kontemporer yang dihadapi umat Islam saat ini. (http://www.who.int/about/en/) Pentingnya penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka mendeskripsikan, menganalisis, menghubungkan dan mendudukkan kembali makna kesejahteraan dalam perspektif Maq�shid Syar�ah. Untuk melengkapi pembahasan penelitian ini penulis juga memasukkan biografi dan pemikiran Jasser Auda dan karyakaryanya. Dari uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang akan diberi judul Reinterpretasi Makna Kesejahteraan dalam Perspektif Maq�shid Syar�ah (Studi Kritis-Analitik terhadap Pemikiran Jasser Auda).�

 

Metode Penelitian

1.    Jenis Penelitian

Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research), data yang dikumpulkan dapat berupa data primer maupun sekunder yang diambil dari berbagai literatur yang berkaitan dengan tema penelitian. Data primer bersumber dari buku-buku atau karya-karya Jasser Auda, sedangkan data sekunder berupa data yang berbasis kepustakaan seperti buku, jurnal, media online, fiksi, majalah dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. (Saikuddin, 2014: 11)

2.    Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, mendeskripsikan pemikiran Jasser Auda mengenai Maq�shid Syar�ah dalam upaya mendudukkan kembali makna kesejahteraan secara utuh. Adapun data-data yang diperoleh diolah dan dianalisa secara sistematis dan cermat guna menemukan fakta dari berbagai fenomena kesejahteraan sosial yang ada.

3.    Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini ada dua yaitu melalui data primer maupun sekunder. Adapun data primer diperoleh dari karya-karya Jasser Auda berupa buku, arikel, dan lain-lain. Kemudian data yang lainnya diperoleh melalui data sekunder berupa literatur-literatur yang memiliki keterkaitan dengan tema penelitian.

4.    Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode analisis kualitatif. Dengan data kualitatif yang berbentuk deskriptifberupa kata-kata, tingkah laku manusia yang dapat diamati di lapangan, dokumen dan kasus sejarah. Metode ini juga berupaya melakukan proses pencarian, menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari lapangan sehingga dari data tersebut dapat diperoleh temuan baru lalu membuat kesimpulan yang mudah dipahami (Wardana, 2016:34).

 

Hasil dan Pembahasan

Wacana mengenai kesejahteraan merupakan salah satu pembahasan dalam ilmu ekonomi dan telah menjadi perhatian utama bagi seluruh negara di dunia. (Azizy, 2015: 1) Hal ini terlihat dari beragam definisi mengenai konsep kesejahteraan yang dirumuskan oleh para ekonom kenamaan serta berbagai macam alat ukur kesejahteraan yang terdiri dari berbagai indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara. Para pemikir ekonomi klasik abad ke-17 dan ke-18, salah satunya yaitu John Stuart Mill menyatakan bahwa di satu sisi ilmu ekonomi harus dapat menjelaskan bagaimana manusia dan masyarakat mengorganisasikan kegiatannya untuk menciptakan keuntungan, dan di sisi lain menciptakan kesejahteraan untuk banyak orang. (Dua, 2008: 18) Francois Quesnay (1694-1774) adalah seorang dokter bedah yang pernah menjadi penasihat medis Louis XV di Versailles, Prancis. Ia merupakan seorang tokoh terkenal dalam aliran fisiokratisme. Quesnay bersama kaum fisiokratis melihat pragmatisme perdagangan tidaklah cukup, yang harus dibangun adalah menumbuhkan kegiatan produksi dan distribusi untuk kemakmuran masyarakat. (Ibid.: 20-21)

Ekonom klasik selanjutnya yaitu Adam Smith (1723-1790), menurutnya ekonomi berakar pada kodrat alamiah manusia untuk menciptakan suatu masyarakat bersahabat, yang makmur berdasarkan hubungan simpati antara manusia yang satu dan manusia yang lainnya. Setiap manusia yang bebas, memiliki perasaan simpati satu sama lain dan secara bersama termotivasi untuk membentuk suatu masyarakat. Konsep Smith mengenai perdagangan bebas beranjak dari gagasannya yaitu kebebasan kreatif manusia yang merupakan kodrat manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, hal ini juga dapat dilihat sebagai hukum yang mengatur masyarakat pasar bebas. (Ibid.: 34-35)

Nama besar Karl Marx (1818-1883) tidak dapat dipisahkan dari para pemikir kapitalis liberal di atas, ia telah melahirkan gagasan yang merupakan antitesa dari konsep kesejahteraan kapitalis. Marx mengkritik sistem kapitalis dalam karyanya yang berjudul Das Kapital yang merupakan sebuah refleksi filosofis terhadap realitas sosial yang kompleks. Dalam karyanya Marx menggambarkan mengenai kesulitan ekonomi yang berlandaskan pada prinsip produksi kapitalis. Dalam analisisnya ia menyatakan bahwa ilmu ekonomi merupakan ilmu abstrak yang bertujuan untuk melacak logika yang mendasari realitas ekonomi yang mengontrol tindakan manusia. Marx memberikan contoh bahwa letak perbedaan antara ekonomi feodalisme dan kapitalisme tidak hanya pada aspek fisiknya saja seperti siapa pelaku bisnis, bisnis seperti apa yang dijalankan, namun perbedaan yang paling mendasar terletak pada logika produksi dan distribusi yang mengontrol tindakan manusia. (Ibid.: 79-80)

Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa konsep kesejahteraan telah mengalami pergeseran dalam pemahaman dan penggunaannya. Para ekonom klasik mulai dari Quesnay � Mill dan Marx telah meletakkan dasar konsep kesejahteraan yang berkembang hingga saat ini, namun seiring dengan perubahan yang begitu cepat pasca revolusi industri, pemahaman mengenai konsep kesejahteraan pun mengalami pergeseran makna, para ekonom klasik tidak berbicara mengenai kesejahteraan hanya pada aspek pemenuhan kebutuhan individu semata, meskipun mereka menjunjung tinggi kebebasan individu dalam kegiatan ekonomi, namun mereka juga menekankan aspek moral yang membatasi individu dari mengeruk keuntungan yang tidak manusiawi artinya yang dapat merugikan kepentingan atau kesejahteraan bersama. Namun, pasca revolusi industri aspek moral tersebut mengalami reduksionis yang cukup parah bahkan hilang dari konsep ekonomi yang digagas oleh mayoritas ekonom setelahnya. Hal inilah yang kemudian mengukuhkan sistem kapitalisme dalam makna yang kita pahami saat ini. Di sisi lain pengaruh dari konsep kesejahteraan Marx membuat konsep ini identik dengan kaum proletariat, hal tersebut terlihat dari sebagian kebijakan dalam negara kesejahteraan misalnya tunjangan sosial. Hal inilah yang kemudian dikritik oleh kaum liberal yang tidak sepakat dengan konsep negara kesejahteraan dengan alasan hal tersebut akan menciptakan budaya ketergantungan.

Pada masa awal perkembangan konsep kesejahteraan sampai dengan lahirnya gagasan pasar bebas yang dikemukakan oleh Adam Smith yang pengaruhnya sangat signifikan terhadap sistem perekonomian yang berjalan saat ini tidak terlepas dari aspek moral, Smith mendasarkan gagasannya pada perkembangan masyarakat Skotlandia saat itu khususnya pada aktivitas perekonomian yang lingkupnya masih kecil dan sederhana. Rasa simpati yang kemudian melahirkan masyarakat bersahabat merupakan aspek moral yang ditekankan oleh Smith dalam aktivitas ekonomi, berkaitan dengan hal itu juga Smith melakukan kritik keras terhadap praktik monopoli bahkan ia juga tidak sepenuhnya menghapus peran negara dalam aktivitas perekonomian. Di sisi lain Karl Marx dengan gagasannya yang merupakan antitesa dari pemikiran Smith memiliki pengaruh yang signifikan pula terhadap sistem perekonomian, ia mengusung kesejahteraan pekerja dan perlakuan manusiawi terhadap pekerja yang merupakan aspek penting dalam proses produksi, ia menjelaskan lebih komprehensif mengenai hal ini dalam teorinya tentang surplus nilai. Kritik yang dilayangkan oleh Marx terhadap pemikiran pasar bebas Smith tidak terlepas dari perubahan sosial yang terjadi saat itu. Salah satu aspek negatif yang muncul dikalangan para kapitalis yakni diabaikannya aspek moral yang digagas oleh Smith maupun para ekonom klasik lainnya, hal inilah yang kemudian berkembang menjadi kapitalisme yang dipahami saat ini.

Etika merupakan bangunan dasar ketiga dalam Islam setelah iman dan hukum. Dapat dikatakan bahwa Islam itu iman, hukum, dan etika, ketiga aspek ini inheren dengan Islam. Salah satu Maq�shid umum dalam Syar�ah yaitu membangun sebuah prinsip etika yang melingkupi setiap aspek kehidupan manusia tak terkecuali dalam aktivitas ekonomi maupun bisnis sebagai salah satu instrumennya, prinsip-prinsip yang ditekankan oleh Syar�ah ini mewakili Maq�shid Syar�ah. Menghapuskan etika yang buruk dan perilaku yang salah dalam masyarakat serta menerapkan perilaku-perilaku yang baik atau kita mengenalnya dengan istilah mendatangkan kebaikan dan mencegah keburukan merupakan tujuan utama dari Syar�ah. Jika tidak ada etika yang mengatur perilaku manusia maka nilai-nilai buruk akan berkembang dalam masyarakat salah satunya yaitu egoisme dan keserakahan yang dapat memengaruhi nilai persaudaraan. Di sisi lain penerapan etika yang tepat akan berimplikasi pada pengelolaan bisnis yang baik, pencapaian tujuan perusahaan yang benar, dan pengambilan keputusan yang adil serta tidak merugikan orang lain.(Lahsasna, 2013: 301)

Prinsip etika di atas juga akan berimplikasi pada tiga aspek penting dalam aktivitas ekonomi yaitu produksi yang merupakan upaya memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, dalam Maq�shid produksi kebutuhan dasar ini termasuk dalam kategori dhar�riyy�t dan pemenuhannya harus meliputi lima atau enam aspek lainnya yang termasuk dalam kategori ini yaitu penjagaan terhadap agama (Hifzh al-D�n), penjagaan terhadap jiwa (Hifzh al-nafs), penjagaan terhadap akal (Hifzh al-�Aql), penjagaan terhadap keturunan (Hifzh al-Nasl), penjagaan terhadap harta benda (Hifzh al-M�l), dan penjagaan terhadap kehormatan (Hifzh al-�Irdh). Memroduksi sektor dhar�riyy�t harus diprioritaskan daripada sektor hajiyyat dan tahsiniyyat, hal ini selaras dengan Maq�shid Syar�ah dalam sektor produksi yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan manusia. (Fauzia,2015: 114-115) Selain sektor produksi, distribusi juga merupakan sektor penting dalam perekonomian, pembahasan tentang distribusi menjelaskan bagaimana pembagian kekayaan ataupun pendapatan yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi (Ibid.: 139).

Ekonomi Islam dalam perkembangannya menjadi alternatif sistem ekonomi yang saat ini didominasi oleh kapitalisme, selain itu ekonomi Islam mencoba menghadirkan solusi atas berbagai permasalahan yang timbul sebagai dampak negatif dari kapitalisme, aspek moral kembali dihadirkan melalui ekonomi Islam dan tujuan utama dari dibentuknya sistem ini tentu saja untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan yang daya cakupnya menyeluruh(Rahardjo, 2015: 49-50).

Pada umumnya gagasan ekonomi Islam dalam perdebatan yang mencuat yaitu terletak pada aspek metodologi sebab ekonomi Islam bertolak dari dua bidang ilmu yang berbeda. Bidang pertama adalah ilmu-ilmu keagamaan tradisional, terutama fiqih, dan yang kedua yaitu ilmu pengetahuan positif. Terdapat dilema dalam hal ini, di satu sisi para ahli agama dianggap kurang mengetahui ilmu pengetahuan positif begitu juga sebaliknya para ahli ekonomi positif dianggap kurang kompeten dalam pengetahuan agama. (Ibid.: 52) Kekurangan ekonomi Islam juga terletak pada ranah pembahasan yang hanya memfokuskan diri pada aspek keuangan saja termasuk perbankan dan cenderung mengabaikan aspek social-kemanusiaan. Penilaian tersebut juga sejalan dengan pendapat dari beberapa kalangan non-muslim salah satunya yaitu Ninhaus yang menilai bahwa kalangan Barat tertarik pada ekonomi Islam karena melihat realitas perkembangan usaha pengelolaan keuangan yang maju pesat, sehingga investor-investor Barat salah satunya yaitu Citibank dari Amerika tertarik untuk berinvestasi di sektor Syar�ah (Ibid.: 209).

Ekonomi Islam merupakan salah satu sarana untuk mencapai kesejahteraan, kesejahteraan dalam ekonomi Islam tidak hanya meliputi dimensi material saja tetapi juga dimensi spiritual, dimensi spiritual dalam hal ini erat kaitannya dengan etika. Kita dapat meninjau kembali makna kesejahteraan melalui konsep Maq�shid Syar�ah yang digagas oleh Jasser Auda dengan pendekatan sistemnya agar ekonomi Islam sebagai sarana dalam upaya mewujudkan kesejahteraan dapat terealisasi. Jasser mengajukan beberapa fitur yang dapat digunakan untuk pengembangan ekonomi Islam di antaranya:

1.    Watak Kognitif Sistem

Watak kognitif sistem digunakan dalam ijtihad yang meliputi: fiqih, �urf, dan qanun atau komponen lainnya yang berkaitan dengan ekonomi Islam, hubungan antara aspek-aspek tersebut mencerminkan watak kognitif sistem manusiawi, dalam hal ini fiqih digeser dari bidang �pengetahuan ilahiah� menuju bidang �kognisi manusia terhadap pengetahuan ilahiah�. Perlu digaris bawahi pembedaan yang jelas antara Syar�ah dan fiqih berimplikasi pada tidak adanya pendapat fiqih praktis yang dikualifikasikan sebagai keyakinandengan mengesampingkan pertimbangan autentitas, implikasi linguistik, ijmak maupun kias. (Ibid.: 209) Watak kognitif sistem akan memandu pada konklusi bahwa hukum-hukum adalah apa yang dinilai oleh para faqih sebagai kebenaran yang paling mungkin, dan pendapat-pendapat hukum yang berbeda, seluruhnya merupakan ekspresi-ekspresi yang sah terhadap kebenaran dan seluruh pendapat tersebut adalah benar. (Ibid)

Selain itu, terdapat pembedaan tipe-tipe perbuatan Nabi saw yang disesuaikan dengan maq�shid-nya, yaitu: satu bagian sunnah digeser ke luar lingkaran �pengetahuan ilahiah� dan bagian lainnya berada pada perbatasan lingkaran� atau batas antara pengetahuan ilahiah dan pembuatan keputusan manusiawi. (Ibid) Adapun persinggungan antara �urf dengan fiqih harus dipahami pada tingkatan yang lebih dalam dibandingkan sekadar pertimbangan dalam aplikasi. Mengelaborasi hubungan antara �urf dan fiqih dari sudut pandang maq�shid universalitas hukum Islam, dalam hal ini fiqih secara praktis mengakomodasi �urf yang memenuhi persyaratan maq�shid, bahkan jika �urf ini berbeda dari �implikasi� (dal�lah). Watak kognitif sistem juga mengusulkan perluasan ide �urf dari sudut pandang ide �pandangan dunia� (world view). Baik �urf maupun fiqih harus sama-sama memberi kontribusi terhadap kanun, di samping memberikan kebebasan kepada para pembuat undang-undang untuk mengonversi �urf dan hukum-hukum fiqih menjadi statuta-statuta yang paling relevan dengan masyarakat dan kebutuhannya. (Ibid.: 256)

2.    Menuju Holisme

Metodologi hukum Islam termasuk di dalamnya muamalah atau ekonomi Islam dalam semua mazhab hingga saat ini didominasi oleh cara berpikir yang berbasis sebab akibat atau kausalitas, metode ini memiliki kelemahan karena bersifat parsial dan atomistik. Hal ini memiliki kecenderungan pandangan yang sempit atau hanya mencakup aspek individual, kekurangan ini coba diperbaiki oleh para cendekiawan kontemporer dengan memprioritaskan maq�shid ijtim�iyyah (sosial) di atas maq�shid fardiyyah (individual). (Ibid.: 259) Dalam ekonomi Islam misalnya kesejahteraan bersama menjadi prioritas di atas kepentingan individu atau kelompok tertentu, hal ini terlihat dari tiga aspek penting dalam aktivitas ekonomi yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi yang dalam ekonomi Islam ditujukan untuk mencapai kemaslahatan baik individu maupun masyarakat. Sistem filsafat kontemporer menegaskan bahwa kecenderungan sintetik dan holistik secara alami bersifat fundamental. Para filsuf menegaskan bahwa jika kita memperluas pemahaman sebab akibat untuk meliputi semua jaringan sebab akibat yang ada di sekitar kita, maka akan terlahir sebuah rangkaian yang kompleks, di mana sesuatu dapat terjadi tidak hanya karena suatu sebab tunggal, melainkan karena sebuah komplesksitas yang memiliki tujuan bersama.(Ibid.: 260)

3.    Menuju Keterbukaan dan Pembaruan Diri

Pembaruan diri dapat diwujudkan melalui keterbukaan terhadap komponen lain dari pandangan dunia yang kompeten, hal ini berguna untuk memelihara kadar keterbukaan terhadap investigasi filosofis, yang secara umum berkembang seiring evolusi pengetahuan manusia. ekonomi Islam dalam kategori ini berupaya untuk tetap terbuka terhadap perkembangan pandangan dunia terutama yang memiliki implikasi langsung terhadap ekonomi, upaya ini terus dilakukan untuk perkembangan ekonomi Islam dan relevansinya terhadap perubahan zaman.(Ibid)

4.    Menuju Multidimensional

Aspek multi-dimensionalitas yang dikombinasikan dengan pendekatan maq�shid dapat menawarkan solusi atas dilema dalil-dalil yang bertentangan. Misalnya, sebuah atribut jika dipandang secara monodimensi seperti kaya dan miskin, perintah dan larangan, berdiri dan duduk, kelaki-lakian dan kewanitaan, dan seterusnya akan menimbulkan kemungkinan kontradiksi lahiri antar dalil. Padahal, jika kita memperluas jangkauan pandangan kita, dan memasukkan satu dimensi lagi yaitu maq�shid, bisa jadi dalil-dalil yang dianggap bertentangan tersebut saling mendukung dalam mencapai maksud tertentu, tetapi dalam konteks yang berbeda-beda. Walaupun demikian, kedua dalil tersebut dapat dikonsiliasi pada suatu konteks baru yaitu konteks maq�shid. (Ibid.: 290) Pendekatan kritis dan multidimensional pada ekonomi Islam berupaya dalam rangka menghindari pandangan-pandangan reduksionis dan pemikiran opisisi biner.

5.    Menuju Kebermaksudan

Mayoritas para faqih mengkhawatirkan bahwa memberikan legitimasi independen terhadap kemaslahatan bisa jadi bertentangan dengan nas. Kekhawatiran yang sama juga diekspresikan dalam filsafat hukum terkait hubungan antara klaim maq�shid dan teks undang-undang. Jasser menegaskan bahwa persyaratan ini dapat mengurai kontroversi terkait legitimasi independen kemaslahatan dalam hukum Islam atau dalam hal ini yang berkaitan dengan ekonomi Islam. Mengingat maq�shid diinduksi dari nash (teks), maka kemaslahatan dapat memiliki legitimasi hukum jika sama dengan maq�shid. Oleh sebab itu, baik kemaslahatan yang diungkap nash (teks) maupun kemaslahatan yang tidak diungkap langsung oleh nass (teks) akan bergabung menjadi satu kategori kemaslahatan yang disebutkan dalam nash (teks), baik secara implisit maupun eksplisit. (Ibid.: 307-308)

Dapat kita pahami bahwa pemahaman mengenai konsep kesejahteraan tidak terlepas dari aspek ekonomi, hal ini terlihat dari tujuan ekonomi sendiri pada masa awal perkembangannya hingga saat ini yaitu untuk menciptakan kesejahteraan, namun pemahaman mengenai konsep kesejahteraan yang berkembangan masih bersifat parsial dan reduksionis, hal ini diperkuat dengan bukti empiris yaitu semakin lebarnya kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin. Oleh sebab itu, ekonomi Islam hadir menjadi alternatif solusi dalam mengatasi hal tersebut, ekonomi Islam memiliki pemahaman mengenai kesejahteraan yang lebih komprehensif dan meliputi seluruh dimensi kehidupan. Ekonomi Islam juga mencoba menegaskan kembali aspek moral dan etika dalam aktivitas ekonomi yang selama ini diabaikan oleh para penganut sistem kapitalisme. Namun, dalam perkembangannya, ekonomi Islam mengalami banyak kekurangan terutama pada aspek metodologi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam kaitannya dengan hal ini, Jasser Auda mengusulkan sebuah pendekatan yang terbilang masih baru yaitu ia mengusulkan sekaligus berupaya untuk melakukan reformasi terhadap hukum Islam tak terkecuali ekonomi Islam melalui pendekatan sistem sebagai metodologinya, hal ini dilakukan agar ekonomi Islam dapat menjadi sebuah sistem yang dapat diimplementasikan secara menyeluruh.

 

Kesimpulan

Upaya untuk menginterpretasikan kembali makna kesejahteraan ini tidak terlepas dari poin nomor dua yang diuraikan sebelumnya, yaitu: pemahaman konsep kesejahteraan yang berkembang, mengalami reduksionis yang cukup parah. Berbagai macam konsep ekonomi yang lahir diupayakan untuk mewujudkan kesejahteraan, tak terkecuali dua aliran besar yang sangat dominan dalam konsep ekonomi yang berkembang saat ini, yaitu: kapitalisme dan sosialisme. Namun, jika kita telusuri pada masa awal perkembangannya hingga saat ini, konsep kesejahteraan yang diusung kedua aliran tersebut masih cenderung partikular, karena di satu sisi kapitalisme sangat menjungjung tinggi kesejahteraan individu atau dalam hal ini para kapitalis, dan di sisi lain sosialisme memperjuangkan kesejahteraan para pekerja atau masyarakat kelas bawah. Dalam perkembangannya, bukan kesejahteraan yang tercipta, namun justru sebaliknya, yaitu kesenjangan yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Alternatif solusi yang coba untuk dihadirkan guna mengatasi permasalahan tersebut, yaitu: ekonomi Islam yang dalam konsepnya mengusung kesejahteraan yang lebih komprehensif tidak hanya pada tataran individu, tetapi juga sosial, tidak hanya aspek material, tetapi juga spiritual, serta aspek yang paling ditekankan, yaitu moral dan etika. Konsep kesejahteraan yang utuh ini, seiring perkembangannya,juga telah tereduksi, karena ekonomi Islam atau identik dengan ekonomi Syar�ah saat ini masih didominasi sektor keuangan, termasuk perbankan, sehingga menjadi cenderung kapitalistik.

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Azizy, H. Satria. 2015. Mendudukkan kembali Makna Kesejahteraan dalam Islam. Cet. I, Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS).

 

Audah, Jasser. 2013. Al-Maqasid untuk Pemula. Cet. I, alih bahasa �Ali �Abdelmon�im. Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga.

 

--------.2015. Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syar�ah. Cet. I, alih bahasa Rosidin dan �Ali �Abd el-Mun�im. Bandung: PT Mizan Pustaka.

 

Dua, Mikhael. 2008. Filsafat Ekonomi: Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama. Yogyakarta: Kanisius.

 

Fauzia, Yunia Ika, dan Riyadi K. Abdul. 2014. Prinsip Dasar Ekonomi Islam: Perspektif Maq�shid al-Syari�ah. Jakarta: Prenadamedia Group.

 

Goodin, E. Robert. (1999). The Real Worlds of Welfare Capitalism. Cambridge: Cambridge University Press, tercantum dalam Azizy H Satria. (2015). Mendudukkan Kembali Makna Kesejahteraan Dalam Islam. Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS).

 

Lahsasna, Ahcene. 2013. Maqasid Al-Shari�ah in Islamic Finance. Kuala Lumpur: IBFIM.

 

Rahardjo, M. Dawam. 2015. Arsitektur Ekonomi Islam: Menuju Kesejahteraan Sosial. Bandung: Mizan dan Universitas Islam As-Syafi�iyah.

 

Saikuddin, Akhmad. Konsep Keadilan Dalam Al-Quran : Telaah Kata al-Adl dan alQist dalam Tafsir al-Qurtubi. Skripsi. Jurusan Al-Quran dan Tafsir. Yogyakarta : Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2014.

 

Wardana, Ali. Pemikiran Ekonomi Islam Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Skripsi. Jurusan Muamalat. Yogyakarta: Institut Agama Islam Negri Sunan Kalijaga, 2001.

 

Suharto, Edi. Peta dan Dinamika Welfare State di Beberapa Negara, Makalah Seminar, �Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan Terobosan melalui DesentralisasiOtonomi di Indonesia�, IRE Yogyakarta dan Perhimpunan Prakarsa Jakarta, Yogyakarta, 25 Juli 2006.

 

Copyright holder:

Azni Srimaydila Aziz, Rita Rahayu (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: