Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
12, Desember 2022
Urgensi Pilihan Hukum Dalam
Kontrak Bisnis Internasional
Moh. Ali
Fakultas Hukum Universitas Jember, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Kontrak dalam sekala internasional selalu dihadapkan pada dua sistem hukum antara
dua negara yang berbeda. Dalam
penerapannya harus ada pilihan hukum
secara tegas (choice of law) dari para pihak untuk menentukan hukum mana yang dipakai (applicable law) dalam rangka mengatur
cara-cara penyelesaian sengketa. Urgensi pilihan hukum ini
berguna bagi para pihak antara lain untuk menghindari dan mengantisipasi kesulitan di kemudian hari serta
menentukan hukum apa yang akan digunakan
serta menghindari ketidakpastian hukum yang berlaku terhadap kontrak selama pelaksanaan kewajiban-kewajiban kontraktual para pihak. Selain itu, pilihan
hukum berfungsi pula sebagai sumber hukum manakala kontrak tidak mengatur
sesuatu hal. Pilihan hukum sendiri
merupakan pancaran kehendak bebas dalam kontrak yang diakui secara universal. Namun demikian penggunaan kehendak bebas dalam penentuan
pilihan hukum itu dibatasi oleh faham ketertiban umum dan tidak boleh ditujukan
untuk penyelundupan hukum.
Kata Kunci: pilihan hukum; kontrak internasional; choice of
law
Abstract
Contracts on an international scale always deal with
two legal systems between two different countries. In its application, there
must be a clear choice of law (choice of law) from the parties to determine
which law is used (applicable law) in order to regulate methods of dispute
resolution. The urgency of choice of law is useful for the parties, among
others, to avoid and anticipate difficulties in the future as well as determine
what law will be used and avoid coercion of the law that applies to the
contract during the implementation of the contractual obligations of the
parties. In addition, choice of law also functions as a source of law when the
contract does not regulate something. The choice of law itself is an expression
of free will in a contract that is universally recognized. However, the use of
free will in limiting the choice of law is limited by the general permissive
understanding and cannot be referred to as smuggling law.
Keywords:
choice of
law; international contracts; choice of law
Pendahuluan
Dewasa ini dinamika
hubungan hukum dalam lapangan hukum perdata (privat) semakin pesat dan berkembang, terutama yang berkaitan dengan transaksi bisnis dan perdagangan. Hubungan hukum tersebut tidak semata-mata meliputi subjek hukum dalam teritorial
suatu negara, tetapi berkembang pesat meliputi hubungan hukum antar subjek
hukum yang melintasi batas antar negara (transnasional).
Begitu pula dalam hal
bentuk hubungan hukum, tidak lagi
mengandalkan tatap muka langsung (face to face),
tetapi sudah berkembang pesat pada hubungan hukum yang menggunakan media teknologi informasi (virtual), yaitu
perangkat media elektronik
yang berperan sebagai talian penghubung dalam berbagai transaksi bisnis internasional.
Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat
secara global. Perkembangan
teknologi informasi telah pula menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless)
dan menyebabkan perubahan sosial, budaya, ekonomi dan pola penegakan hukum yang secara signifikan berlangsung demikian cepat.
Menurut (Lipnack & Stamps, 1994) sebagaimana dikutip oleh Agus Rahardjo menyatakan bahwa :
�Perkembangan teknologi jaringan komputer global telah menciptakan dunia baru yang dinamakan cyberspace , sebuah dunia komunikasi berbasis komputer (computer
mediated communication) yang menawarkan realitas baru, yaitu realitas virtual (virtual
reality). Perkembangan ini
membawa perubahan yang besar dan mendasar pada tatanan sosial dan budaya pada skala global serta mengubah pengertian tentang masyarakat, komunitas, komunikasi, interaksi sosial, dan budaya. Internet juga
membawa kita pada dunia tanpa perbatasan dan menembus batas kedaulatan negara�
(Raharjo, 2008).
Penentuan yurisdiksi dalam mengadili perkara kontrak elektronik menjadi pelik. Pada taraf ini muncul permasalahan
tentang bagaimana hukum mengatur hubungan-hubungan itu, terutama apabila terjadi sengketa di kemudian hari. Selama ini perbincangan
tentang kontrak diarahkan pada pembuatan suatu kontrak yang ideal dan konstruktif, tetapi jarang dibicarakan dan diantisipasi kemungkinan (probabilitas) apabila kelak terjadi sengketa
di antara para pihak.
Setiap negara mempunyai kedaulatan hukum masing masing. Oleh karena suatu negara menganut kedaulatan hukum
yang berbeda antara satu negara dengan negara lain, maka akan menimbulkan
beberapa implikasi dan titik singgung tentang yurisdiksi atau penentuan kompetensi mengadili dari suatu negara. Yurisdiksi akan bersinggungan pula dengan banyak segi antara
lain tentang pilihan hukum (choice of law) dan pilihan
forum (choice of forum), sehingga akan bertalian erat dengan kompetensi
pengadilan atau forum mana
yang berhak mengadili apabila terjadi sengketa antara para pihak.
Transaksi elektronik yang notabene dibuat dalam bentuk scriptless
atau paperless contract kadang
tidak memungkinkan para pihak mencermati isi kontrak secara
detail dengan mencantumkan suatu pilihan hukum.
Penentuan pilihan hukum tidak sederhana
yang dibayangkan, sebab banyak aspek yang melatarbelakanginya, antara lain seperti domisili hukum antara para pihak yang berbeda, pembayaran transaksi yang melibatkan pihak di lain negara, prosedur pengiriman barang lintas negara, belum lagi menyangkut
domain website yang digunakan bertransaksi dan sebagainya.
Secara garis besar menurut Middleton & Jocelyn sebagimana
dikutip oleh Edmon Makarim (Makarim, 2005), menyatakan bahwa kompleksitas penerapan yurisdiksi internet adalah antara lain karena hal-hal sebagai berikut :
1. Material posted on the internet has worldwide audience;
2. There is an enormous and growing number of internet users
internationality;
3. It is easy to move a website from one jurisdiction to another;
4. A website can be hosted in one jurisdiction, but directed at users in
another jurisdiction;
5. Parts of website may be hosted in one jurisdiction, while other parts of
the website are hosted in another jurisdiction; and
6. It is not always possible to determine where a website a website or a� user located.
Berpijak pada latar belakang tersebut
diatas, maka dalam tulisan ini akan dibahas persoalan mendasar yaitu apa
urgensi pilihan hukum bagi para pihak dalam suatu kontrak internasional. Selain
itu penting juga dikemukakan mengenai batasan-batasan
dalam penggunaan pilihan hukum oleh para pihak.
Metode Penelitian
Sebagaimana lazimnya penulisan ilmiah, penelitian ini merupakan penelitian
hukum (normatif). Penelitian Hukum
merupakan Applied Research atau
penelitian terapan � applied research is
original work, which is undertaken to acquire new
knowledge with a specific practical application in view. Its aim is to
determine possible uses for findings of basic research or to determine new
methods or ways of achieving some specific and predetermined objective (Hutchinson, 2006). Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatam
perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konsep (conseptual approach). Pendekatan
undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang sedang ditangani dalam hal ini terutama
berkaitan dengan kebebasan memilih hukum antara lain diatur dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Marzuki, 2007), sedangkan pendekatan
konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandangan-pandangan
dan doktrin-doktrin yang berkembang
dalam ilmu hukum. Pada pendekatan ini penulis diharapkan
menemukan ide-ide yang melahirkan
pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. (Marzuki, 2007). Pada pendekatan ini
konsep-konsep hukum dan doktrin-doktrin para ahli hukum dalam konteks
yurisdiksi dan pandangan-pandangan
tentang asas-asas hukum perdata internasional
berpengaruh bagi peneliti sebagai sandaran dalam membangun argumentasi.
Hasil dan Pembahasan
1.
Urgensi
Pilihan Hukum Bagi Para Pihak
Sebelum
dibahas lebih lanjut persoalan pilihan hukum ini
terlebih dahulu difahami seluk beluk suatu kontrak
internasional. Secara umum, kontrak internasional
dapat digolongkan ke dalam dua bagian
prinsip pengaturan yaitu (Adolf, 2008):
1.
Prinsip
fundamental hukum kontrak internasional; dan
2.
Prinsip-prinsip
hukum kontrak internasional
Prinsip
fundamental hukum kontrak internasional terdiri atas :
a. Prinsip
dasar supremasi/kedaulatan hukum nasional;
Prinsip
ini mensyaratkan bahwa keberlakuan hukum nasional tidak dapat diganggu
gugat. Dengan kata lain, setiap benda, subjek
hukum, perbuatan atau peristiwa hukum termasuk dalam transaksi dagang yang dituangkan dalam kontrak dalam
suatu wilayah negara tunduk
secara mutlak pada hukum nasional negara tersebut.
b. Prinsip
dasar kebebasan berkontrak (freedom of contract /the party�s autonomy)
Prinsip
ini menekankan adanya kekebasan para pihak untuk menetapkan
bentuk dan isi kontrak berdasarkan kesepakatan.
Menurut Atiyah (Adolf, 2008) kebebasan berkontrak adalah �...It is
one of the most fundamental feature of the law contract�.�. Sementara itu, Clive M. Schmitthoff otonomi (kebebasan) para pihak adalah dasar bagi
terbentuknya hukum perdagangan internasional:
�The
autonomy of the party�s will in the law of contract is the foundation which an
autonomous law of international trade can be built. The national sovereign has,
as we have seen, no objection that in area an autonomous law of international
trade is developed by parties. (Adolf, 2008).
Azas
ini terdapat dalam Pasal 1338 (1) BW yang menyatakan bahwa, �semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya�. Makna willingness ini juga
tercermin pada Pasal 1320 (BW)
yaitu para pihak mempunyai kemauan (will) untuk saling mengikatkan
diri dalam membuat suatu perikatan
atau kontrak.
Sutan
Remi Sjahdeini (Sjahdeini, 1993),
(Agus, 2008)
menyatakan bahwa kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian
Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:
a. Kebebasan
untuk membuat atau tidak membuat
perjanjian,
b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian,
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang
akan dibuatnya,
d. Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian,
e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian,
f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang
yang bersifat opsional (aanvullend, optional).
Dalam
perkembangannya kebebasan tersebut meliputi aspek yang cukup (Zein, 2009)
yaitu kebebasan untuk� :
a. Memilih
penyelesaian terhadap sengketa yang terjadi,
b. Memilih forum (choice of forum) penyelesaian sengketa
dagangnya,
c. Memilih hukum (choice of law) yang akan berlaku terhadap
kontraknya.
Dalam
kaitan ini, ada 3 (tiga) alasan
mengapa prinsip kebebasan berkontrak dianggap signifikan yaitu :
1. Aturan
ini merupakan dasar yang hakiki bagi para pihak untuk membuat atau
menandatangani kontrak, memungkinkan para pihak membuat dan merancang muatan-muatan kontrak yang belum ada sebelumnya;
2. Prinsip ini penting untuk menciptakan suatu kebutuhan akan kepastian
di dalam hubungan dagang;
3. Prinsip party autonomy dibutuhkan dan relevan, karena berfungsi
pula melindungi keinginan atau harapan-harapan para pihak dalam melangsungkan
usaha dagangnya.
Meskipun
kebebasan para pihak sangat
essensial, namun kebebasan tersebut tetap ada batasnya.
Pembatasan tersebut melingkupi (Adolf, 2008)
antara lain :
Pertama,
kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, dan dalam taraf tertentu
dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan kesopanan.
Kedua,
status kontrak itu sendiri. Kontrak dagang internasional tidak lain adalah kontrak nasional yang ada unsur asingnya
(Gautama, 1977),
artinya, kontrak tersebut meskipun di bidang perdagangan internasional, paling tidak tunduk dan dibatasi oleh hukum nasional negara tertentu (Sanson, 1993).
Ketiga,
kesepakatan-kesepakatan atau
kebiasan-kebiasaan dagang
yang sebelumnya dilakukan
oleh pihak yang bersangkutan,
meskipun ternyata tidak mengikat.
Kaitannya
dengan kebiasaan ini Sanson menggambarkan :
�In addition to the contractual term agreed by the
parties, the cours of past dealing between traders
may result in term becoming part of an egreement
between them. These past dealing or trade �usage� between the parties, may
apply to the contractual relationship despite their not being incorporated into
it in written term.�
Prinsip
tersebut ternyata telah dianut oleh kebanyakan negara di dunia termasuk
Indonesia. Prinsip ini termaktub dalam KUHPerdata (BW) Buku III tentang Perikatan, bagian ketiga tentang
akibat perjanjian. Pasal 1339 menyatakan bahwa:
�Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu
yang menurut sifat persetujuannya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang�. (Subekti & Tjitrosudibio, 1999).
Prinsip-prinsip hukum kontrak internasional terdiri atas (Adolf, 2008): �
a. Prinsip
Pacta Sunt Servanda;
Berdasarkan prinsip ini para pihak harus melaksanakan kesepakatan yang telah dibuatnya dalam kontrak. Prinsip ini telah diakui
oleh hampir seluruh negara
di dunia dalam peraturan perundangan nasionalnya.
Indonesia menganut prinsip ini sebagimana tertuang dalam ayat (1) Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa �semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai
Undang-undang bagi mereka yang membuatnya�.
b. Prinsip
itikad baik (good faith)
Prinsip ini harus dianggap ada pada waktu negosiasi, pelaksanaan hingga penyelesaian kontrak. Tanpa adanya itikad baik
sangat sulit tercapai kesempurnaan suatu kontrak.
c. Prinsip
resiprositas (resiprokal)
Prinsip ini mensyaratkan bahwa para pihak dalam kontrak
harus melaksanakan hak dan kewajibannya
masing-masing secara timbal balik.
Lord
Devlin menyatakan :
�it is of the essence of every contract that there
should be mutually. A contract is an exchange of promise another�.a contract
can consist of an exchange or promise on one subject, e.g,
payment againt delivery; then if the seller does not
deliver on the due date, the buyer may release himself from his obligation to
pay� (Adolf, 2008).
Prinsip
ini juga merupakan prinsip fundamental yang dianut
oleh GATT dan berlaku dalam
perundingan-perundingan tarif
yang didasarkan atas timbal
balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak (Adolf, 2008).
Memperbincangkan pilihan hukum merupakan bagian dari bidang
hukum perdata internasional yang paling penting
dan sulit. Dalam banyak kasus, penerapan
yurisdiksi suatu negara dalam kasus tertentu
tidak selalu dapat diseragamkan. Terutama bertalian dengan kontrak-kontrak yang secara spesifik dan tegas tidak mencantumkan
klausul pilihan hukum (choice of law) maupun
pilihan forum (choice of forum).
Klausula pilihan hukum cukup berpengaruh terhadap status kontrak
di masa depan. Adapun fungsi pilihan hukum tersebut antara lain (Adolf, 2008) :
1. Untuk
menentukan hukum apa yang akan digunakan,
menentukan atau menerangkan syarat-syarat kontrak, atau hukum
yang menentukan dan mengatur
kontrak;
2. Untuk
menghindari ketidakpastian hukum yang berlaku terhadap kontrak selama pelaksanaan kewajiban-kewajiban kontraktual
para pihak;
3. Pilihan
hukum berfungsi pula sebagai �sumber hukum� manakala kontrak tidak mengatur
sesuatu hal.
Seputar
pentingnya pilihan hukum dalam suatu
kontrak ini didukung oleh beberapa ilmuwan antara lain Kollewjin, Blackstone dan Schreurs.
Pendukung prinsip ini juga terbelah menjadi 2 (dua) pandangan, yaitu pertama; pihak yang mendukung pilihan hukum dengan
suatu pembatasan-pembatasan,
dan yang kedua;� pihak
yang mendukung prinsip pilihan hukum tanpa
pembatasan atau pilihan hukum yang seluas-luasnya.
Pendapat
penganut prinsip pilihan hukum terbatas
ini dikembangkan oleh Kollewjin dan Blackstone yang dapat
disimpulkan bahwa :
1.
Para pihak
harus benar-benar menghendaki pilihan hukum, dan kehendak itu harus dinyatakan
secara tegas maupun secara diam-diam;
2.
Tidak akan
dapat diterima pilihan hukum yang hanya didasarkan pada suatu dugaan belaka dan
tidak pula diterima suatu pilihan hukum secara hypotetis;
3.
Hukum yang
dipilih harus mempunyai hubungan yang erat dengan transaksi bersangkutan;
4.
Pilihan hukum
hanya berlaku dalam hukum kontrak.
Sementara
itu Schreurs menyatakan bahwa para pihak sebaiknya dapat diberikan alternatif sebanyak-banyaknya untuk memilih hukum
yang disukainya. Dalam tingkat urutan tertentu titik-titik pertalian, dan pilihan hukum adalah yang paling tinggi kedudukannya. Dalam setiap perkara,
hakim akan selalu bertanya hukum mana yang dikehendaki para pihak. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa prinsip kebebasan memilih oleh para pihak merupakan asas yang sentral dan primair (cetak miring dari penulis). Kebebasan memilih hanya dibatasi
dua hal yaitu yang berkaitan dengan status personal
(status atau kewarganegaraan
seseorang) dan ketertiban umum. (Gautama, 2004).
Pendukung
prinsip pilihan hukum ini mengemukakan
pendiriannya dengan didasari alasan-alasan sebagai berikut:
1.
Alasan bersifat falsafah
Dogma
bahwa kehendak manusia dipandang sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan di bidang hukum. Pembuat
undang-undang sendiri telah memberi kebebasan
dengan tidak memaksakan aturan-aturannya sehingga tidak ada �lois imperatives� melainkan hanya �lois facultatif� atau dispositip seperti dalam bidang
hukum kontrak, sehingga para pihak bebas untuk menentukan
sendiri kemauan mereka. (Gautama, 2004).
2.
Alasan bersifat praktis
Para
pihak dipandang sebagai pihak yang paling mengetahui hukum manakah yang paling berguna dan bermanfaat bagi dirinya sendiri. Dengan diberikan kesempatan untuk memilih hukum, para pihak dapat mengatur
sendiri hubungannya dengan sebaik-baiknya (Gautama, 2004).
3.
Alasan kepastian hukum
Hubungan
perdata dengan unsur-unsur asing selalu memperlihatkan tingkat kesulitan tertentu mengenai hukum yang dipakai, sehingga apabila para pihak telah menentukan
pilihan hukum dengan pasti, maka
akan terwujud suatu kepastian hukum (Rechtzekerheid) (Gautama, 2004).
4.
Alasan kebutuhan hubungan lalu lintas
internasional�
Hubungan
para pihak adalah kebutuhan riil yang dikehendaki dalam lalu lintas internasional.
Sangat penting untuk mengetahui sejak awal hukum manakah
yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing, sah atau tidaknya perjanjian
yang dibuat, syarat-syarat
yang dibuat, sanksi hukum dan akibat hukum dari perjanjian
yang dibuat. Semua itu dianggap sangat penting dalam hubungan
lalu lintas internasional.(Gautama, 2004).
Dalam
kontrak elektronik, rumusan tentang pilihan hukum dapat
dipedomani ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada Pasal 18 ayat (2) menyatakan bahwa �Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum
yang berlaku bagi transaksi elektronik yang dibuatnya. Ayat (3) �Jika para pihak
tidak melakukan pilihan hukum dalam
transaksi eletronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas hukum perdata
internasional�.
Penyelesaian
sengketa antara para pihak dilakukan dengan menggunakan hukum yang dipilih (governed
law) oleh para pihak sendiri
sebagaimana dalam kontrak yang dibuatnya. Penjelasan Pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa :
�Pilihan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak internasional,
termasuk yang dilakukan secara elektronik dikenal dengan choice of law.
Hukum ini mengikat sebagai hukum yang berlaku bagi kontrak
tersebut. Pilihan hukum dalam transaksi
elektronik hanya dapat dilakukan, jika dalam kontraknya
tersebut terdapat unsur asing dan penerapannya harus sejalan dengan prinsip hukum perdata
internasional�.
Dengan
demikian disadari atau tidak, hubungan
kontraktual dalam suatu kontrak elektronik
tidak dapat mengesampingkan hubungan keperdataan yang berdimensi internasional. Hal ini berarti hubungan hukum yang terjalin tidak hanya tunduk
pada hukum suatu negara saja, tetapi telah
memasuki ranah atau ruang lingkup
hukum perdata internasional.
Sebagaimana
dijelaskan pada bagian awal tulisan ini, hukum perdata internasional
adalah hukum yang berlaku saat hubungan
hukum terjalin antar pihak yang salah satu pihaknya terdapat
unsur asing. Ciri yang khas dalam setiap kontrak
adalah adanya kebebasan berkontrak bagi para pihak. Ciri yang khas ini juga diakui sebagai prinsip fundamental sebagaimana telah dipaparkan tadi.
Kekhasan
lain dari kontrak jika dikaitkan dengan masuknya unsur-unsur asing di dalam kontrak (transnasional) adalah munculnya elemen pokok lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu unsur kebebasan
para pihak dalam melakukan pilihan hukum (freedom to choose the applicable law). Kebebasan para pihak dalam suatu kontrak
internasional untuk menundukkan kontrak pada suatu sistem hukum
nasional tertentu, merupakan prinsip yang diakui secara universal dan bahkan suatu kontrak
yang tidak memuat sebuah choice of law clause (dan juga pilihan
forum) dianggap sebagai kontrak yang kurang lengkap.
Schmithoff
mengingatkan bahwa suatu kontrak internasional
yang tidak ada pilihan hukumnya adalah kontrak yang cacat (defective) ��in the present state of affairs, I
would consider a normal international commercial contract as defectively
drafted if it did not contain a choice of law clause and also a jurisdiction or
arbitration clause�. (Adolf, 2008).
2.
Batas-Batas Pilihan Hukum Oleh Para Pihak
Penyebutan
istilah pilihan hukum sebagai kebebasan
berkontrak sangat beragam seperti (Gautama, 2004);
Partij autonomie
atau De autonomie van partijen (belanda), Contratto di collagamento
(Itali), autonomie
de la volonte (Perancis)
atau intention of the parties (Inggris). Disamping terdapat istilah lain seperti rechtskeuze, Rechtwahl, choice of law dan connecting agreement.
Istilah
party autonomy sering dipahami
secara salah (misleadend)
dalam hukum bisnis internasional, sehingga menimbulkan pemikiran ke arah
yang sebenarnya tidak tercakup dalam istilah tersebut. Istilah ini mengandung
pengertian menentukan sendiri hukum yang berlaku bagi para pihak. Secara hukum,
para pihak tidak mempunyai kemampuan untuk membuat sendiri
undang-undang bagi diri mereka sendiri.
Tidak ada kewenangan untuk menciptakan hukum bagi pihak yang berkontrak. Para pihak hanya diberi kebebasan
untuk memilih hukum mana yang dikehendaki dalam kontrak yang dibuat.� Kolleewijn menyatakan� Het is slechts kiesvrijheid ...niet het recht tot self regeling� (itu adalah kebebasan untuk memilih, bukan hak untuk
mengatur sendiri) (Abdullah, 2005).
Pada
Abad 19, ajaran kebebasan memilih oleh para pihak ini semakin berkembang
oleh para hakim, antara lain Von Savigny. Menurutnya hubungan hukum ditampilkan dalam bentuk penundukan
sukarela pada suatu stelsel hukum tertentu
yang terjadi karena dipilih (lex loci executions). Pilihan
seperti ini terutama terjadi secara diam-diam.
Teori
otonomi para pihak ini juga dikembangkan oleh
Mancini yang menyatakan bahwa
otonomi para pihak merupakan salah satu dari hak asasi
keseluruhan bangunan hukum perdata internasional,
disamping nasionalitas dan kepentingan umum. Mancini menjadikan kebebasan individu untuk menentukan hukum bagi hubungan kontrak
mereka, namun kebebasan tersebut dibatasi oleh faham ketertiban umum (Abdullah, 2005).
Para
ahli di bidang hukum bisnis internasional
mengakui bahwa secara empiris, prinsip pilihan hukum di bidang kontrak dipergunakan di dunia tanpa mempersoalkan pandangan secara dogmatis yang dikemukakan para ahli. Pelaksanaannya lebih didasarkan pada pertimbangan dari segi prinsip-prinsip ekonomi dan hukum berkaitan dengan batas-batas kewenangan choice of law. Batas-batas tersebut dapat dilakukan secara tidak terbatas atau dibatasi dalam
hal-hal tertentu, yaitu tentang hukum
manakah yang berlaku bagi kontrak yang telah disepakati para pihak, dan sejauh manakah para pihak dapat menentukan sendiri hukum yang dipergunakan bagi hubungan hukum mereka, dan apabila para pihak tidak menggunakan
haknya untuk memilih hukum, maka hukum manakah
yang menjadi dasar pelaksanaan kontrak mereka.
Faham
ketertiban umum memiliki beberapa fungsi jika dihubungkan
dengan choice of law antara
lain: (Abdullah, 2005).
1.
Sebagai
rem atau penghambat yang membatasi diberlakukannya hukum asing dalam
hal-hal tertentu;
2.
Untuk menghalangi
kebebasan hak otonomi para pihak dalam menentukan berlakunya hukum dalam kontrak
mereka;
3.
Sebagai
elemen yang membatasi berlakunya stelsel hukum asing yang tidak sesuai dengan
stelsel hukum dari hakim yang mengadili sengketa para pihak;
4.
Sebagai
perlindungan terhadap pemakaian otonomi hak para pihak dalam choice of law yang
terlampau luas.
Caleb
menyebut ketertiban umum atau openbare
orde (Belanda) atau orde public (Perancis)
sebagai pembatasan utama kebebasan untuk melaksanakan kemauan seseorang dalam bidang kontrak
untuk menghindari terjadinya penyelundupan hukum. Penyelundupan hukum dapat terjadi
melalui perubahan titik taut yang menentukan dalam proses hukum yang dipakai dasar dalam
penyelesaian suatu peristiwa hukum, dengan jalan memindahkan
atau mengubah titik taut penentu ke arah stelsel
hukum yang dikehendaki. Misalnya dengan melakukan perubahan domicili, atau menutup kontrak di luar negara forum, atau memilih tempat pelaksanaan di luar negeri (lex
loci executionis), sehingga
menguntungkan dirinya sendiri dan merugikan kepentingan yang lain.
Untuk
menghindari terjadinya penyelundupan hukum, maka diterapkan persyaratan secara tegas antara lain: (Abdullah, 2005).
1.
Jika dilakukan
perbuatan bersangkutan di tempat tertentu, maka pilihan tempat
ini tidak sengaja dipilih dengan maksud untuk
melakukan penyelundupan hukum;
2.
Pilihan hukum
hanya dapat dilakukan terhadap hukum yang benar-benar mempunyai hubungan nyata
(real connection) dengan peristiwa hukum dalam kontrak yang
bersangkutan.
Masih
dalam kaitannya dengan pilihan hukum ini, Niboyet
merumuskan
�.........on entend couramment
par de la volonte le pouvoir
des parties de choiser la loi
competente en matiere de contrars, droit qui partout airleur est pourtant refuse.......�. Niboyet yang dikenal sebagai penentang prinsip pilihan hukum ini, memandang
autonomie de la volonte
sejalan dengan kebebasan yang diberikan kepada manusia-manusia pribadi untuk melaksanakan
kemauan mereka dalam memilih dan menentukan hukum yang akan diperlakukan bagi hubungan-hubungan hukum antar mereka.
Hubungan-hubungan
hukum ini harus terletak di bidang internasional, dan harus ada unsur-unsur
asing pada hubungan yang bersangkutan. Unsur asing merupakan salah satu syarat mutlak
untuk pilihan hukum di bidang hukum perdata internasional.
Jika tidak ada unsur asing, tidak
ada pilihan hukum (Gautama, 2004).
Kesimpulan
a) Dalam kontrak internasional terutama kontrak yang bersifat elektronik, pilihan hukum merupakan
bagian terpenting (urgen) untuk mengantisipasi terjadinya kesulitan di kemudian hari dalam
hal menentukan hukum dan pengadilan mana yang berhak mengadili sengketa para pihak. Pentingnya pilihan hukum antara lain untuk menentukan hukum apa yang akan digunakan, mengindari ketidakpastian hukum yang berlaku terhadap kontrak selama pelaksanaan kewajiban-kewajiban kontraktual
para pihak, dan pilihan hukum berfungsi pula sebagai �sumber hukum� manakala kontrak tidak mengatur
sesuatu hal.
b) Penggunaan pilihan hukum dalam
kontrak merupakan kebebasan para pihak, namun kebebasan tersebut ada batas-batasnya antara lain bahwa pilihan hukum
tersebut tidak boleh bertentangan dengan faham ketertiban umum dan sengaja digunakan sebagai sarana penyelundupan hukum.
BIBLIOGRAFI
Abdullah, Abdul Gani. (2005). Pandangan
Yuridis Conflict of Law dan Choice of Law dalam Kontrak Bisnis Internasional. Bulletin
Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan, 2(3), 1.
Adolf, Huala. (2008). Dasar-dasar Hukum
Kontrak Internasional. -.
Agus, Yudha Hernoko. (2008). Hukum
Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial. Yogyakarta:
LaksBang Mediatama.
Branscomb, Anne W. (1983). Global
Governance of Global Networks: A Survey of Transborder Data Flow in Transition.
Vand. L. Rev., 36, 985.
Gautama, Sudargo. (1977). Pengantar
Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bina Cipta.
Gautama, Sudargo. (2004). Hukum perdata
internasional Indonesia.
Hutchinson, Terry. (2006). Researching
and writing in law. Thomas Lawbook Co.
Kolonial, Peraturan, & Nomor,
Staatsblad. (23AD). Tahun 1847 tentang Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW). Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Lipnack, Jessica, & Stamps, Jeffrey.
(1994). The age of the network: Organizing principles for the 21st century.
Jeffrey Stamps.
Long, Olivier, & Yi, Li Qun. (1987). Law
and its limitations in the GATT multilateral trade system. Springer.
Makarim, Edmon. (2005). dkk, Pengantar
Hukum Telematika-Suatu Kompilasi Kajian. Badan Penerbit FH UI, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud. (2007). Penelitian
Hukum, Edisi Pertama, Cetakan ke-3. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Nomor, Undang Undang. (11AD). tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Raharjo, Agus. (2008). Model Hirrida
Hukum Cyberspace (Studi Tentang Model Pengaturan Aktivitas Manusia Di
Cyberspace dan Pilihan Terhadap Model Pengaturan Di Indonesia). Fakultas
Hukum.
Sjahdeini, Sutan Remy. (1993). Kebebasan
berkontrak dan perlindungan yang seimbang bagi para pihak dalam perjanjian
kredit bank di Indonesia.
Subekti, Raden, & Tjitrosudibio, Raden.
(1999). Kitab undang-undang hukum perdata.
Sudargo, Gautama. (1976). Kontrak Dagang
Internasional. Bandung, Alumni.
Zein, Yahya Ahmad. (2009). Kontrak
elektronik & penyelesaian sengketa bisnis e-commerce dalam transaksi
nasional & internasional. Mandar Maju.
Copyright holder: Moh. Ali (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |