Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 4, Maret 2023

 

ANALISIS YURIDIS TERKAIT PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DIKATEGORIKAN SEBAGAI PERBUATAN MELAWAN HUKUM PERDATA SEHINGGA MENGAKIBATKAN PUTUSAN LEPAS

 

Fianka Bella Sari, Elis Rusmiati, Tri Handayani

Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia

Email:. [email protected], [email protected],

[email protected]

 

Abstrak

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu masalah utama bagi perekonomian Indonesia. Namun banyak perkara tindak pidana korupsi yang diputus lepas atas dasar perbuatan yang didakwakan bukan merupakan suatu tindak pidana, melainkan masuk ranah hukum perdata yang dalam hal ini Perbuatan Melawan Hukum. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses pembuktian serta klasifikasi Perbuatan Melawan Hukum dalam kasus korupsi sehingga mengakibatkan putusan lepas (ontslag van alle rechtsvervolging). Metode Penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris dengan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis. Serta didukung oleh penelitian lapangan berupa hasil wawancara kemudian� diolah secara kualitatif sehingga menghasilkan penelitian yang diuraikan secara deskriptif. Hasil dari penelitian ini menunjukan terdapat beberapa perbuatan yang dikategorikan bukan sebagai merupakan suatu tindak pidana dikarenakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan bukan terhadap peraturan perundang-undangan melainkan terhadap hak subjektif orang lain dan kewajiban hukum pelaku yang mengakibatkan perbuatan tersebut dikategorikan sebagai suatu Perbuatan Melawan Hukum dalam ranah hukum perdata sehingga pengadilan memutuskan untuk memutus lepas Terdakwa.

 

Kata kunci: Tindak Pidana Korupsi, Perbuatan Melawan Hukum,� Putusan Lepas.

 

Abstract

Corruption is one of the main problems for the Indonesian economy. However, many cases of corruption crime were categorized not as criminal acts, but in the realm of civil law, in this case, unlawful acts. This study aims to analyze the evidentiary process and the classification of unlawful acts in corruption cases resulting in acquittals (ontslag van alle rechtsvervolging). The research method was carried out using normative juridical and empirical juridical approaches with descriptive-analytical research specifications. It is also supported by field research in the form of interview results which are then processed qualitatively to produce research that is described descriptively. The results of this study show that, there are several acts that are not categorized as a crime because the unlawful act is not against statutory regulations but against the subjective rights of people. and the legal obligations of the perpetrator that resulted in the act being categorized as an unlawful act in the realm of civil law so the court decided to acquit the defendant.

 

Keywords: Corruption Crime, Unlawful Acts, Acquit Decision.

 

Pendahuluan

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu masalah utama bagi perekonomian Indonesia yang menyebabkan perbedaan kesejahteraan sosial dan ekonomi antara kelompok sosial dan individu baik dalam hal pendapatan, wibawa, kekuasaan, dan lain sebagainya (Mohamad, 1986).� Korupsi jika diartikan secara harfiah berarti segala perbuatan yang tidak baik, seperti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, penghinaan, hingga fitnah (Moeimam & Steinhauer, 2021).� Sejatinya korupsi sendiri merupakan suatu perilaku kejahatan atau kebusukan di mana yang melakukan itu mendapatkan suap atau mengambil hak yang bukan miliknya dengan cara tidak bermoral yang mana tindakan tersebut sangat berpengaruh pada politik, budaya, dan moral masyarakat (Hartanti, 2008). Umumnya, tindak pidana korupsi ini dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan atau kekuasaan, dilakukan secara sistematik, terstruktur, dan dengan kerja sama yang rapi guna menutupi perbuatannya dengan tujuan mendapatkan keuntungan baik secara materiil atau immateriil serta tentunya dengan cara yang tidak halal untuk kepentingan pribadi ataupun orang lain yang bersangkutan sehingga dapat disebut sebagai kejahatan yang luar biasa (Extraordinary Crimes) (Janabadra, 2019).

Dalam beberapa perkara tindak pidana korupsi, terkadang dijumpai bahwa berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim perbuatan yang dilakukan terdakwa masuk dalam ranah hukum perdata, yaitu Perbuatan Melawan Hukum (selanjutnya disebut �PMH�). Oleh karena itu maka dalam putusannya Majelis Hakim akan menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Onstlag van Alle Rechtsvervolging). PMH sendiri merupakan suatu perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang saja, melainkan juga bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat atau bertentangan dengan kesusilaan atau dengan kepatutan di dalam masyarakat baik terhadap diri sendiri maupun barang orang lain (Syahrani, 1989).

Contohnya saja dalam perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang dilakukan oleh Syafruddin Arsyad Temenggung yang dalam Putusan Nomor 1555K/Pid.Sus/2019 menyatakan Syafruddin Arsyad Temenggung terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan, tetapi perbuatannya tersebut bukan termasuk suatu tindak pidana. Hingga akhirnya, Syafruddin Arsyad Temenggung diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag van Alle Rechtsvervolging) dikarenakan adanya perbedaan pandangan antara masing-masing hakim (dissenting opinion) yang menyatakan perbuatan Syafruddin Arsyad Temenggung bukan merupakan suatu tindak pidana melainkan salah satunya masuk dalam ranah hukum perdata, yaitu PMH.

Terminologi �melawan hukum� memang dikenal baik dalam ranah hukum pidana maupun dalam ranah hukum perdata. Kedua terminologi itu sebetulnya tidak menyebabkan pergeseran makna baik dari segi perundang-undangan maupun secara sistematis karena keduanya merupakan suatu perbuatan yang melanggar dan bertentangan dengan hukum (Sapardjaja, 2002).� Akan tetapi, pada dasarnya melawan hukum dalam hukum pidana dan melawan hukum dalam hukum perdata memiliki konteks pemahaman yang berbeda sudut pandang. Dalam hukum pidana, melawan hukum lebih dikenal sebagai wederrechtelijk yang mana frasa �melawan hukum� di sini, seperti yang terdapat pula dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut �UU PTPK�), merupakan suatu unsur yang terdapat atau juga tidak terdapat dalam suatu rumusan pasal. Hal itu dikenal dengan melawan hukum formil dan melawan hukum materiil.

Melawan hukum formil tentunya merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang atau pasal tertentu dan diancam dengan sanksi pidana. Sementara melawan hukum materiil merupakan perbuatan yang tidak secara tegas diatur dalam rumusan pasal undang- undang akan tetapi perbuatan itu jelas bertentangan dengan kepentingan umum. Melawan hukum materiil di sini dibagi lagi menjadi melawan hukum materiil positif yang berarti suatu perbuatan yang mana tidak memenuhi unsur delik, namun apabila perbuatannya dianggap tercela karena tidak sesuai dengan norma dan keadilan masyarakat maka perbuatan tersebut dapatlah dipidana yang jelas telah memenuhi unsur delik akan tetapi tidak bertentangan. Kemudian yang kedua melawan hukum materiil secara negatif yang mana suatu perbuatan itu termasuk dalam unsur delik, akan tetapi perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan nilai masyarakat atau dapat disebut perbuatan tercela, sehingga tidaklah dapat perbuatan tersebut dipidana (Adhiyaksa, 2012).

Dalam UU PTPK sendiri, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pada Pasal 2 ayat (1) yang berisikan �Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi� (Indonesia, 2001). Juga disebutkan mengenai unsur melawan hukum. Unsur melawan hukum di sini dalam penjelasan yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 003/PUU-IV/2006 merupakan melawan hukum yang tidak hanya dalam artian delik formil, melainkan juga delik materiil. Hal itu dimaksudkan bahwa meskipun perbuatan tersebut tidak diatur secara tertulis dalam undang-undang, namun apabila dianggap tercela atas perbuatan tersebut karena dinilai tidak sesuai dengan norma kehidupan masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana (Indonesia, 2001).

Akan tetapi, dalam praktiknya masih sering kali menjadi perdebatan antara melawan hukum dalam UU PTPK ini harus menerapkan melawan hukum secara formil atau materiil yang dalam fungsi negatif. Sebagaimana disebutkan dalam Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 dan Putusan MK Nomor 025/PUU-XIV/2016, kata melawan hukum materiil dinilai menyimpang dan bertentangan dengan asas legalitas yang berarti tidak seorangpun dapat dipidana selain berdasarkan perbuatan yang dilarang dalam rumusan delik perundang-undangan yang jelas. Atas dasar kedua putusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam arti materiil yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK 2001 jo. 1999 ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Akan tetapi kenyataannya dan dalam praktik peradilan pidana di Indonesia, eksistensi dari melawan hukum materiil masih ada dan masih diakui, sehingga masih kerap diterapkan.

Kemudian dalam hukum perdata, melawan hukum dikenal dengan sebutan onrechtmatige daad. Melawan hukum dalam hukum perdata ini di atur dalam ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Hal mana dirumuskan bahwa melawan hukum dalam hukum perdata meliputi beberapa unsur, yaitu pertama adanya suatu perbuatan, kedua perbuatan itu melawan hukum, ketiga adanya kerugian, keempat adanya hubungan kausal antara kerugian dengan perbuatan tersebut, dan yang kelima adanya kesalahan (Fitrahady et al., 2021).

Berangkat dari penjelasan di atas, maka terdapat perbedaan yang cukup jelas antara melawan hukum dalam lingkup hukum pidana dan juga dalam lingkup hukum perdata. Dalam lingkup hukum perdata, atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) haruslah terpenuhi kelima unsur yang terdapat dalam KUHPerdata sebagaimana telah disebutkan. Tetapi dalam hukum pidana, melawan hukum (wederrechtelijk) merupakan salah satu unsur agar suatu perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana.

Sejatinya dalam hukum, terutama dalam hal mengadili suatu perkara, hakim dalam proses pengadilan harus sangat teliti dan adil. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa Peradilan itu dilakukan demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (Nomor, 48 C.E.).� Yang mana keadilan bagi hakim merupakan suatu hal yang mutlak dan harus diiringi dengan alat bukti yang cukup, hati nurani, serta keyakinan berdasarkan nilai-nilai ketuhanan yang ia yakini (INDONESIA & Indonesia, 1981).

Hakim diwajibkan untuk menghasilkan putusan yang seadil-adilnya tanpa ada sedikitpun keraguan. Zairin Harahap menyatakan bahwa dalam konsep negara hukum, segala tindakan atau perbuatan hakim, terlebih Hakim Mahkamah Agung haruslah mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulis seperti peraturan perundang-undangan hingga hukum yang tidak tertulis seperti norma-norma hukum agar dapat menghasilkan putusan yang sebenar-benarnya dan seadil- adilnya bagi Terdakwa (Putusan et al., 2020).

Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat 2 (dua) permasalahan hukum yang akan diangkat oleh penulis, yaitu bagaimana Analisis Yuridis Terhadap Proses Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Dalam kaitanya dengan Perbuatan Melawan Hukum dan Bagaimana Perbuatan Melawan Hukum Berdasarkan Hukum Pidana dan Hukum Perdata dalam Tindak Pidana Korupsi Sehingga Mengakibatkan Putusan Lepas (Onstlag van Alle Rechtsvervolging).

 

Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode pendekatan yaitu metode penelitian yuridis normatif. Yuridis normatif diartikan dengan didasari kepustakaan yang ada beserta dengan bahan-bahan hukum atau dapat disimpulkan menggunakan data sekunder, seperti peraturan perundang-undangan, putusan, buku, dan artikel yang telah ada, kemudian ditelaah kembali mulai dari asas hukum, konsep, hingga teori yang berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan. Penulisan yang digunakan dalam penelitian ini akan menggunakan metode deskripsitf analisis, yang berarti penelitian akan memberikan gambaran secara rinci, dan komprehensif yang disajikan secara menyeluruh dan sistematis mengenai segala unsur penelitian baik perundang-undangan maupun teori hukum.

Adapun pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan studi kepustakaan dan disokong dengan penelitian lapangan berbentuk wawancara dengan para praktisi hukum khususnya hukum pidana. Artinya pengumpulan data umumnya didapatkan dari buku, jurnal dan dokumen ilmiah lainnya yang berkaitan dengan hukumpidana dan hukum perdata. Serta, analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif kualitatif. Hal ini berarti penelitian didasarkan pada asas dan norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif.� Penelitian ini juga dilakukan dengan metode analisis kualitatif yang artinya dilakukan dengan memberikan uraian sistematis tentang objek penelitian

 

Hasil dan Pembahasan

Analisis Yuridis Terhadap Proses Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Dalam Kaitanya dengan Perbuatan Melawan Hukum

 

Mengenai proses pembuktian dalam suatu perkara tindak pidana korupsi seluruh pihak yang berkaitan dan mengadili persidangan tersebut tentunya memiliki argumen dan pandangan atas perkara tersebut. Analisis yuridis merupakan suatu pemikiran atau penjabaran atau pendeskripsian secara menyeluruh atas suatu objek peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya dengan mengacu pada segala peraturan hukum atau undang-undang mengenai tindakan yang dapat dihukum berdasarkan delik-delik atau unsur-unsur yang telah dilanggar sehingga didapatkan suatu pertanggungjawaban oleh si pembuat peristiwa tersebut.

Apabila mengacu pada ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK terdapat bestanddelen delict atau bagian inti delik pasal tersebut yakni (Syamsuddin, 2020):

1.� Secara melawan hukum;

2.� Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

3.� Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

Berkenaan dengan unsur secara melawan hukum, Van Hamel mengartikan secara melawan hukum sebagai tindakan-tindakan yang dilarang dan diancam denganhukuman, karena telah ditujukan untuk mengancam atau menyerang kepentingan-kepentingan hukum, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus.� Lebih lanjut, secara melawan hukum dibagi lagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni secara melawan hukum formil dan secara melawan hukum materiil (Kusumawati, 2022). Melawan hukum formil diartikan sebagai suatu perbuatan yang telah memenuhi semua unsur yang dirumuskan dalam undang-undang, sedangkan melawan hukum materiil diartikan sebagai perbuatan yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela baik yang bertentangan dengan hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan sebagainya.

Kemudian dalam Penjelasan Pasal 2 UU PTPK, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam Pasal 2 mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, Namun, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tanggal 24 Juli 2006 Nomor 003/PUU-IV/2006 ini telah mengubah unsur secara melawan hukum dalam Tindak Pidana Korupsi, yang semulanya bersifat melawan hukum materiil dan melawan hukum formil menjadi melawan hukum formil saja. Berkenaan dengan perbuatan melawan hukum formil, merupakan perbuatan yang dianggap selesai dengan terpenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dicantumkan secara limitatif dalam peraturan perundang-undangan.�

Selanjutnya, Indonesia sendiri juga mengatur mengenai apa yang dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan yaitu dalam pasal 7 ayat (1) Undang- Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang terdiri dari:

a.� Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.� Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c.� Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d.� Peraturan Pemerintah

e.� Peraturan Presiden;

f.� Peraturan Daerah Provinsi; dan

g.� Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selanjutnya, dalam Pasal 8 ayat (1) dijelaskan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup pula peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawarahan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang- Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat, yang mana peraturan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan

Selanjutnya berkaitan dengan unsur melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, UU PTPK tidak mendefinisikan lebih lanjut mengenai definisinya. Oleh sebab itu, untuk menelaah lebih lanjut penulis akan menggunakan sumber hukum yang juga berlaku di Indonesia. Dalam Article 2 Use Terms United Nations Convention Againts Corruption sebagaimana telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) yang mana Konvensi tersebut juga menjadi salah satu konsideran dalam pembentukan UU PTPK, dalam Konvensi itu dijelaskan bahwa kekayaan adalah sebagai setiap jenis aset, apakah berwujud atau tidak berwujud, bergerak atau tidak bergerak, dan dokumen-dokumen hukum atau instrumen-instrumen hukum yang membuktikan hak atas aset-aset tersebut. Andi Hamzah juga menafsirkan definisi �memperkaya� yaitu menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang yang sudah kaya menjadi bertambah kaya (Kusumawati, 2019).

Kemudian Adami Chazawi menyatakan bahwa memperkaya dalam konteks tindak pidana korupsi adalah perbuatan untuk memperoleh atau menambah kekayaan dari yang sudah ada dengan cara melawan hukum.� Lebih lanjut, Adam Chazawi menjabarkan bahwa setidaknya terdapat 5 (lima) ciri dalam perbuatan memperkaya, yaitu:

a.� Adanya perolehan kekayaan, baik yang berwujud nyata berupa uang ataupun wujud benda lainnya yang dapat dinilai� dengan uang;

b.� Adanya peroleh kekayaan yang didapatkan pelaku, secara langsung menimbulkan kerugian keuangan negara;

c.� Perbuatan pelaku dalam memperoleh kekayaan mengandung sifat melawan hukum, baik sifat melawan hukum formiil maupun sifat melawan hukum materiil;

d.� Perolehan kekayaan yang tidak seimbang dengan sumber pendapatan yang sah; dan,

e.� Apabila dihubungkan dengan jabatan, Pelaku melakukan perbuatan memperkaya dengan menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya.

Kemudian mengenai �sifat melawan hukum�, R. Wiyono menjelaskan bahwa unsur tersebut merupakan sarana bagi pelaku dalam memperkaya diri sendiri orang lain, atau suatu korporasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, perbuatan secara melawan hukum yang dilakukan Terdakwa merupakan sarana (modus operandi) dalam memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi�.

Lebih lanjut, Adami Chazawi mendefinisikan memperkaya diri sendiri� sebagai pembuat sendirilah yang memperoleh atau bertambah kekayaanya secara tidak sah, selanjutnya memperkaya orang lain adalah orang yang kekayaannya bertambah atau memperoleh kekayaannya adalah orang lain si pembuat. Sedangkan memperkaya suatu korporasi adalah badan yang kekayaannya bertambah atau memperoleh kekayaan adalah suatu korporasi. Kemudian terkait dengan unsur �keuangan negara dan perekonomian negara�, dalam Penjelasan Umum UU PTPK dijelaskan sebagai berikut:

�Keuangan negara adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

a.� berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat Negara, baik di tingkat pusat� maupun daerah;

b.� berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.�

Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama� berdasarkan dengan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada Seluruh kehidupan masyarakat. Dengan keberadaan frasa �atau� dalam unsur ini, maka sifat pasal ini menjadi alternatif. Maka dari itu dalam membuktikan unsur ini Penuntut Umum bebas memilih untuk membuktikan unsur yang menurut� Penuntut Umum lebih tepat untuk dibuktikan.

Lebih lanjut, berdasakan Penjelasan Umum UU PTPK, �merugikan�� diartikan sebagai menjadi rugi atau berkurang sehingga yang dimaksud� merugikan keuangan negara sehingga disamakan artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara. Selaras dengan hal tersebut, Adami Chazawi memberikan pandangannya kerugian keuangan Negara haruslah berupa kerugian yang disebabkan langsung oleh wujud perbuatan memperkaya diri yang bersifat melawan hukum. Sehingga, sebagai akibat dari perbuatan tersebut Negara harus mengeluarkan dan membayarkan sejumlah uang.

Selanjutnya terkait dengan pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam Kaitannya dengan PMH tentunya tidak akan terlepas dari dasar hukum PMH dalam Perdata, yaitu Pasal 1365 KUHPerdata yang mengatur bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada seorang yang lain, mewajibkan� orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya, mengganti� kerugian tersebut. Berikut adalah penjabaran unsur Pasal 1365 KUHPerdata, yakni:

a.� Perbuatan tersebut melawan hukum;

b.� Ada kesalahan;

c.� Ada kerugian; dan

d.� Terdapat hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.

Unsur-unsur tersebut merupakan tolak ukur pembuktian adanya� perbuatan melawan hukum. Prof. Rosa Agustina menyatakan bahwa terkait dengan unsur �perbuatan tersebut melawan hukum�, tidak terbatas hanya pada adanya pelanggaran perundang-undangan tetapi juga:

a. Hak Subyektif orang lain.

b.� Kewajiban hukum pelaku.

c.� Kaedah kesusilaan.

d.� Kepatutan dalam masyarakat.

Berangkat dari seluruh penjelasan di atas, menurut hemat Penulis bahwa salah satu yang menjadi tolak ukur bagi hakim dalam proses pembuktian perkara tindak pidana korupsi adalah untuk menilai apakah perbuatan terdakwa tersebut termasuk sebagai kategori tindak pidana atau termasuk dalam ranah perdata, yaitu dengan menitikberatkan sudut pandang pembuktian terhadap perbuatan pelaku apakah dilaksanakan dengan cara melawan hukum formil yang bertujuan untuk memperkaya diri sendii, orang lain, atau korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara yang termasuk sebagai perbuatan pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana oleh UU PTPK ataukah tidak melanggar peraturan perundang-undangan melainkan hak subjektif orang lain, kewajiban hukum pelaku, kesusilaan, dan kepatutan. Oleh karenanya unsur objektif dan subjektif pelaku haruslah dipertimbangkan dengan matang dan teliti oleh Majelis Hakim.

 

Aspek Hukum Pidana dan Hukum Perdata terkait Perbuatan Melawan Hukum dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi

Proses penegakkan hukum pidana diwujudkan secara konkrit melalui� pelaksanaan yang prosedur pengaturannya diatur dalam hukum acara pidana. Prosedur penegakan hukum diakhiri dengan adanya putusan hakim. Mengenai penjatuhan putusan akhir (vonis) oleh hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 191 KUHAP dapat digolongkan menjadi 3, yaitu putusan bebas dari segala dakwaan hukum (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) dan putusan pemidanaan (veroordeling).

Atas hal tersebut, Majelis Hakim harus jeli dan cermat dalam melihat� argumentasi Penuntut Umum baik mengenai kesalahan Terdakwa, perbuatan yang didakwakan terhadap Terdakwa, alat-alat bukti yang ada, maupun argumentasi penasehat hukum dalam membela Terdakwa. Sehingga sebelum putusan dijatuhkan, pertimbangan hakim betul-betul meyakinkan, karena jika tidak meyakinkan atau menimbulkan keragu-raguan, hakim wajib membebaskan Terdakwa hal ini dikenal juga dengan adagium in dubio pro reo, sehingga putusan bebas juga bisa didasarkan atas penilaian bahwa kesalahan yang terbukti itu tidak diikuti oleh keyakinan hakim, sehingga nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh dan Terdakwa harus diputus bebas.

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum ini termaktub dalam Pasal 191� ayat (2) KUHAP yang pada intinya menyatakan, �Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka�� Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum�. Dasar untuk seorang Terdakwa dinyatakan dilepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu:

1)��� Salah satu sebutan hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindakpidana. Misalnya seseorang melakukan perbuatan yang dituntut dengan tindak pidana penipuan atau penggelapan tetapi didapat fakta bahwa perbuatan tersebut tidak masuk dalam lingkum hukum pidana tetapi termasuk lingkup hukum perdata.

2)��� Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak dapat dihukum. Misalnya karena Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP.

Mengacu pada hal tersebut, jika perbuatan yang dimaksud dikategorikan sebagai PMH perdata maka putusan yang akan dijatuhkan terhadap terdakwa juga akan menjadi putusan lepas dari segala tuntutan hukum dikarenakan bukan merupakan peristiwa pidana. Lebih lanjut PMH dalam Hukum Perdata dikenal dengan 3 (tiga) kategori yaitu:

1)��� Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan;

2)��� Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian); dan

3)��� Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Berkenaan dengan unsur melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdata pada pokoknya pengadilan menafsirkan �melawan hukum� hanya sebagai pelanggaran dari pasal-pasal hukum tertulis semata-mata (pelanggaran perundang-undangan yang berlaku). Tetapi� sejak tahun 1919, di Belanda terdapat pergeseran mengenai perbuatan �melawan hukum� yang tidak lagi hanya berkaitan dengan pelanggaran terhadap� peraturan perundang-undangan tertulis atau hukum formil saja, melainkan juga telah melingkupi setiap pelanggaran terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan hidup bermasyarakat (Putusan Hoge Raad Negeri Belanda tanggal 31 Januari 1919 dalam kasus Lindenbaum versus Cohen).

Berangkat dari hal di atas, maka secara teoritis menurut hemat Penulis jika membahas mengenai unsur �perbuatan tersebut melawan hukum� tidak hanya mencakup adanya pelanggaran perundang-undangan tetapi juga Hak Subyektif orang lain, Kewajiban hukum pelaku, Kaedah kesusilaan, Kepatutan dalam masyarakat. Contohnya dalam kasus BLBI Terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung terjadi kesalahan administrasi atau prosedur yang dilakukan oleh BPPN sebagai Lembaga negara yang menangani kredit macet menimbulkan kerugian pada beberapa pihak dan menguntungkan pihak lain, maka dengan adanya perbuatan Terdakwa atas hal tersebut Terdakwa dianggap telah melanggar hak subyektif orang lain. Hal ini mengingat adanya policy atau kebijakan Pemerintah dan Negara pada saat itu untuk melepaskan diri dari kemelut keuangan dan kesulitan ekonomi yang dapat mengancam dan membahayakan masyarakat, bangsa, dan Negara.

Kemudian, mengenai kewajiban hukum pelaku, bahwa dengan adanya kebijakan Pemerintah pada saat itu dalam mengatasi krismon (krisis moneter) yang sedang mengancam berbagai negara di dunia termasuk Indonesia, maka Pemerintah R.I. pada waktu itu melalui Pemerintahan Presiden RI. B.J. Habibie mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebagai kebijakan darurat nasional Pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan BLBI dengan prosedur penyelesaian cepat, tepat, tanpa menimbulkan dampak moneter atau krisis moneter yaitu penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement), sehingga atas ketidak berhasilan Terdakwa melaksanakan kebijakan Pemerintah tersebut dapat dianggap melanggar kewajiban hukum pelaku, namun hal tersebut tidak serta merta membuat Terdakwa telah melakukan Tindak Pidana Korupsi.

Atas penjelasan tersebut, secara faktual Terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung pada Kasus BLBI telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Perdata, namun bukan atas dasar pelanggaran peraturan perundang-undangan melainkan melanggar hak subyektif orang lain dan megindahkan kewajiban hukumnya. Hal tersebut pula yang menimbulkan konsekuensi hukum bahwa Terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung dalam Putusan Nomor 1555 K/Pid.Sus/2019 dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) karena berdasarkan pembuktian Hukum Pidana tidak memenuhi unsur �secara melawan hukum� di ranah pidana melainkan PMH perdata

Berangkat dari seluruh penjelasan di atas, sejatinya dalam perkara tindak pidana korupsiseringkali ditemukan distorsi hukum antara apakah hal tersebut merupakan tindak pidana korupsi ataukah termasuk dalam PMH perdata padahal perlu diingat bahwa dalam tindak pidana korupsi juga terdapat unsur �melawan hukum�, namun demikian terdapat beberapa hal yang menjadi pembeda antara keduanya, salah satunya adalah apakah perbuatan �melawan hukum� tersebut adalah terhadap peraturan perundang-undangan atau terhadap kewajiban hukum atas hak subyektif orang lain.

 

Kesimpulan

Salah satu yang menjadi tolak ukur bagi hakim dalam proses pembuktian perkara tindak pidana korupsi adalah untuk menilai apakah perbuatan terdakwa tersebut termasuk sebagai kategori tindak pidana atau termasuk dalam ranah perdata yaitu dengan menitikberatlkan proses pembuktian yang terfokus terhadap dasar-dasar perbuatan pelaku dan dampak yang diberikan apakah termasuk dalam ranah perdata atau pidana.

Menurut hemat penulis yang menjadi pembeda dalam hal ini adalah dalam PMH Perdata biasanya tidak menitikberatkan pada ada atau tidaknya perbuatan terdakwa yang melanggar peraturan perundang-undangan, akan tetapi lebih difokuskan terhadap adakah terdapat hak subyektif orang lain yang dilanggar, adakah kewajiban hukum yang dilanggar, sementara dalam tindak pidana korupsi lebih terfokus terhadap adakah unsur kesengajaan dengan maksud dalam memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang menimbulkan kerugian keuangan negara dengan cara-cara yang melawan hukum. Apabila dalam kenyataannya hal yang dilakukan terdakwa lebih tepat dikategorikan sebagai PMH Perdata maka sudah jelas bahwa putusan yang akan diberikan oleh Majelis Hakim adalah Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adhiyaksa, U. (2012). Penerapan Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Putusan Hakim Di Pengadilan Tipikor Jakarta. Unnes Law Journal: Jurnal Hukum Universitas Negeri Semarang, 1(1), 65�70.

 

Fitrahady, K. F., Zuhairi, A., Rahmad, A., Budiawan, H., Hukum, F., Mataram, U., Tengah, L., & Usaha, P. (2021). Umkm Di Desa Sukarara Kabupaten Lombok Tengah. 4(1).

 

Hartanti, E. (2008). Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua. Jakarta, Sinar Grafika.

 

Indonesia, P. R. (2001). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Indonesia, P. R., & Indonesia, P. R. (1981). Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang: Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta.

 

Janabadra, U. (2019). No Title. 4(1), 157�174.

 

Kusumawati, E. (2019). Minat Beli Produk Ramah Lingkungan Sebagai Dampak Dari Implementasi Green Advertising. Jurnal Kajian Ilmiah, 19(1), 57. Https://Doi.Org/10.31599/Jki.V19i1.394

 

Kusumawati, E. (2022). School Committee Participation In Realizing The Quality Of Education. 10(5), 880�886.

 

Moeimam, S., & Steinhauer, H. (2021). Kamus Belanda-Indonesia. Brill.

 

Mohamad, M. (1986). The Challenge, Kuala Lumpur: Pelanduk Publica Tion Sdn. Bhd. Korupsidanakibatnya, 215.

 

Nomor, U.-U. (48 C.E.). Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

 

Putusan, P., Tata, P., & Negara, U. (2020). Pemberlakuan Sanksi Administratif... (Farida Azzahra). 9, 127�140.

 

Sapardjaja, K. E. (2002). Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus Tentang Penerapan Dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi. Alumni.

 

Syahrani, R. (1989). Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata.

 

Syamsuddin, A. R. (2020). Pembuktian Penyalahgunaan Wewenang Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa � Evidence Of Abusing Authority In Criminal Procurement Corruption Of Goods And Services .� 2(02), 161�181.

 

Copyright holder:

Fianka Bella Sari, Elis Rusmiati, Tri Handayani (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: