Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 12, Desember 2022
ANALISIS TANGGAPAN NABI MUHAMMAD SAW TERHADAP HADIS TENTANG AMALAN-AMALAN
YANG UTAMA DALAM PENDEKATAN PSIKOLOGI
Ni�matul Khoiroh, Zulfa Ma�rifatul Azizah, Yunita Indrawati
Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya, Indonesia
E-mail : [email protected]om, [email protected]om, yntaindrawati@gmail.com
Abstrak
Psikologi menjadi salah satu pilihan pendekatan
multidisiplin integratif yang terus dikembangkan oleh para peneliti. Dalam
beberapa kasus hadis, ketika Nabi Saw ditanya beberapa sahabat dengan
pertanyaan yang hampir sama dan Nabi Saw menjawabnya dengan tidak seragam,
karena salah satu aspek yang menjadi dasar jawaban Nabi adalah aspek psikologi.
Begitu pula dengan pendekatan psikologi menjadi opsi jalan pemahaman sebuah
hadis yang dirasa pas dalam upaya memahami sebuah hadis. Artikel ini merupakan
penelitian kepustakaan(library research) yaitu penelitian yang berasal
dari bahan pustaka dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Beberapa indikasi
menunjukkan bahwa Nabi mempertimbangkan aspek psikologi sahabat yang bertanya.
Diharapkan penelitian terhadap pemahaman hadis kedepannya lebih bervariasi
terhadap aspek pendekatan yang digunakan seperti aspek psikologi, agar nantinya
Hadis dan umumnya Islam dapat menjadi jawaban atas segala permasalahan yang
menjadi persoalan umat di dunia.
Kata Kunci: Hadis,
Pemahaman, Pendekatan, Psikologi.
Abstract
Psychology is one of the choices for an integrative multidisciplinary
approach that continues to be developed by researchers. In some cases of
hadith, when the Prophet was asked several companions with almost the same
question and the Prophet answered it not uniformly, because one of the aspects
on which the Prophet's answer was based was the psychological aspect.
Similarly, the psychological approach is an option for understanding a hadith
that is considered appropriate in an effort to understand a hadith. This article is library research, which is research
derived from library materials using a qualitative approach. Some indications
suggest that the Prophet considered the psychological aspects of the companion
who questioned. It is hoped that research on the understanding of hadith in the
future will be more varied on aspects of the approach used such as
psychological aspects, so that later Hadith and generally Islam can be the
answer to all problems that are problems of people in the world.
Keywords: hadith,
understanding, approach, psychology.
Pendahuluan
Alquran dan Hadis merupakan sumber hukum utama dalam
ajaran Islam yang dapat memberikan petunjuk dan bimbingan bagi umat manusia
dalam segala hal, termasuk didalamnya dalam hal menjaga fitrah manusia untuk
meraih kebahagiaan (A. Fitri, 2018). Seperti yang telah difirmankan Allah Swt dalam
kalam-Nya yang memperkenalkan istilah jiwa yang tenang (an-nafs
al-muthmainnah), salah satu indikasi kebahagiaan adalah ketika memiliki
jiwa yang tenang. Sebagaimana dijelaskan Allah dalam Alquran surah ar-Rum ayat
30 dalam penjelasan fiitrah itu sendiri:
فَاَقِمْ وَجْهَكَ
لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ
فِطْرَتَ اللّٰهِ
الَّتِيْ فَطَرَ
النَّاسَ عَلَيْهَاۗ
لَا تَبْدِيْلَ
لِخَلْقِ اللّٰهِ
ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ
الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ
اَكْثَرَ النَّاسِ
لَا يَعْلَمُوْنَۙ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah,
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. Agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui (Hamid, 2017).
Fitrah Allah disini maksudnya adalah kondisi ciptaan
Allah, manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama dalam ajarannya
meraih kebahagiaan, salah satunya memeluk agama tauhid, kalau ada manusia tidak
beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Manusia yang tidak beragama itu
hanyalah pengaruh dari lingkungan terutama dari pengaruh orangtua
(Mansir, 2018). Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadis Nabi
sebagai berikut:
(2658) حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ
سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْعَزِيزِ
يَعْنِي الدَّرَاوَرْدِيَّ،
عَنِ الْعَلَاءِ،
عَنْ أَبِيهِ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
أَنَّ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
قَالَ: �كُلُّ إِنْسَانٍ
تَلِدُهُ أُمُّهُ
عَلَى الْفِطْرَةِ،
وَأَبَوَاهُ بَعْدُ
يُهَوِّدَانِهِ
وَيُنَصِّرَانِهِ
وَيُمَجِّسَانِهِ،
فَإِنْ كَانَا
مُسْلِمَيْنِ،
فَمُسْلِمٌ كُلُّ
إِنْسَانٍ تَلِدُهُ
أُمُّهُ يَلْكُزُهُ
الشَّيْطَانُ
فِي حِضْنَيْهِ
إِلَّا مَرْيَمَ
وَابْنَهَا�
Setiap anak yang lahir dilahirkan atas fitrah, kedua
orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi atau Nasrani
(Adi, 2022).
Dari keduanya ini sama-sama dijadikan syarat bagi penjagaan
fitrah manusia yang salah satu ajaran didalamnya adalah meraih kebahagiaan menjaga
kesehatan mental dan juga ini mengidentifikasikan bahwa Islam adalah �salah satu agama yang sangat memperhatikan
kesehatan, baik fisik maupun mental. Hal ini pula yang menjadikan studi hadis
terus dikembangkan oleh para ulama dan peneliti yang mana hadis juga perlu
dipahami dengan pendekatan multidisiplin integratif seperti ilmu psikologi,
yang mana psikologi adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan mental
(Tajang, 2020). Mempelajari agama dengan pendekatan psikologi berarti
mencoba melihat agama dari kacamata psikologi. Dapat dipahami bahwa setiap
individu atau kelompok dalam praktik kehidupannya pasti memiliki kecenderungan
dalam perbedaan keadaan dan kondisi satu dengan yang lain.
Dalam kelanjutannya, keilmuan psikologi dipilih karena
ilmu ini salah satu ilmu yang mendalami perilaku manusia dalam hubungannya
dengan lingkungan, hal ini lantaran karena jiwa manusia bersifat abstrak yang
sukar dipelajari secara objektif (Wahid, 2014).
Model sikap jiwa seseorang secara tidak
langsung dapat ditemui
dalam keseharian bersosial.
Pada studi keagamaan, ilmu psikologi dapat mengungkap gejala-gejala lahiriah
seorang Muslim, dimana hubungan keyakinan keagamaan berkaitan erat dengan
perilaku kesehariannya, seperti sikap untuk bersedekah, sikap saling menolong,
sikap menghormati, dan berbagai kegiatan yang bersumber dari ajaran agama,
dimana semua hal tersebut masuk dalam kejiwaan yang berhubungan dengan agama.
Pembahasan
Definisi Psikologi dan Ruang Lingkupnya
1.
Definisi Psikologi dan Sejarah Singkat Perkembangan
Psikologi
Secara
harfiah psikologi umumnya diartikan sebagai �ilmu jiwa�, definisi ini diambil
berdasarkan terjemahan kata dari bahasa Yunani Psychology yang merupakan
gabungan kata psyche dan logos. Psyche berarti jiwa, nyawa
dan alat untuk berpikir. Logos berarti ilmu. Dengan demikian dapat
diambil kesimpulan bahwa Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa
(H. Fitri, 2020). Berikut ada beberapa ahli yang mendefinisikan psikologi
secara istilah:
a.
Plato
dan Aristoteles mengemukakan psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.
b.
Menurut
Edwin G. Boring dan Herbert S. Langfeld mendefinisikan psikologi� jauh lebih sederhana yakni psikologi adalah
studi tentang hakikat manusia.
c.
Gardner
Murphy juga mendefinisikan psikologi sebagai ilmu yang mempelajari respons yang
diberikan oleh makhluk hidup terhadap lingkungannya.
d.
Dakir
pada tahun 1993 mengembangkan pengertian psikologi, yaitu membahas tingkah laku
manusia dalam hubungannya dengan lingkungan (Nurmala, 2013).
Beragamnya
pengertian psikologi diatas menunjukkan beragamnya pula titik berangkat ahli
dalam mempelajari kehidupan jiwa yang kompleks. Oleh sebab itu akan sulit
menemukan pengertian psikologi yang dapat disepakati oleh semua pihak. Akan
tetapi menurut penulis sendiri dengan mengambil kesimpulan bahwa psikologi adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang jiwa dan semua tingkah laku manusia
yang mana tingkah laku tersebut tidak dapat terlepas dari proses lingkungannya
dan mengakibatkan terbentuknya mental seseorang.
Selanjutnya
mengenai sejarah singkat perkembangan psikologi. Secara umum
perkembangan psikologi dibagi menjadi 2 fase. Fase pertama adalah ketika psikologi
sebagai bagian dari ilmu lain. Pada awalnya psikologi menjadi bagian dari
filsafat. Kira-kira abad ke-7
para ahli ilmu faal mulai tertarik mempelajari gejala kejiwaan. Pada saat itu,
psikologi menjadi bagian dari ilmu pengetahuan alam. Fase ke dua adalah ketika
psikologi menjadi ilmu yang berdiri sendiri yaitu sekitar akhir abad 19.
Berdirinya psikologi ditandai dengan dibangunnya laboratorium pertama di
Leipzig oleh Wilhelm Wundt.
Setelah psikologi berdiri sendiri,
lambat laun para ahli psikologi mengembangkan sistematika dan metodenya
sendiri-sendiri, sehingga timbul berbagai aliran dalam psikologi. Pada
perkembangannya ada tiga aliran yang sangat berpengaruh, yaitu psikodinamika,
behavorisme, dan humanistik. Aliran psiko-dinamika
menitikberatkan pada pemikiran-pemikiran yang berasal dari alam ketidaksadaran,
konflik antara insting biologis dengan tuntutan masyarakat, serta pengalaman masa
kecil seseorang. Aliran behavioristik, sebaliknya, menitikberatkan pada tingkah
laku yang dapat diobservasi dan diukur. Tingkah laku merupakan hasil belajar
kondisioning. Sedangkan aliran humanistik menitikberatkan pada potensi-potensi
positif dalam kepribadian. Aliran ini berpendapat bahwa manusia memiliki
kebebasan kehendak. Manusia tidak tergantung pada dorongan-dorongan yang tidak disadarinya
dan tidak pula tergantung pada lingkungannya (Susantyo, 2011).
2.
Objek Kajian Psikologi
Ditinjau
dari objek kajian, psikologi dapat dilihat dari dua hal:
a.
Psikologi
umum
Psikologi yang menyelediki dan mempelajari
kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas psikis manusia pada umumnya yang
dewasa, yang normal dan yang beradab (berkultur). Psikologi umum berusaha
mencari dalil-dalil
yang bersifat umum daripada kegiatan-kegiatan atau aktivitas psikis. Psikologi
umum memandang manusia seakan-akan
terlepas dari manusia yang lain
b.
Psikologi
khusus
Psikologi khusus adalah psikologi yang menyelediki dan
mempelajari segi-segi kekhususan dari aktivitas-aktivitas psikis manusia. Hal-hal yang khusus yang
menyimpang dari hal-hal yang umum dibicarakan dalam psikologi khusus.
Psikologi khusus dibagi menjadi beberapa pembagian,
diantaranya:
1)
Psikologi
sosial: psikologi yang mempelajari tentang tingkah laku atau aktivitas manusia
yang berhubugan dengan situasi sosial.
2)
Psikologi
pendidikan: psikologi yang khusus membicrakan tentang kegiatan manusia yang
hubungannya dengan dunia pendidikan.
3)
Psikologi
kepribadian dan tipologi: psikologi yang khusus memaparkan struktur pribadi
manusia dan tipe-tipe kepribadian manusia.
4)
Psikologi
perkembangan: psikologi yang mempelajari perkembangan psikis manusia dari masa
bayi sampai tua.
5)
Psikatologi:
psikologi yang khusus menguraikan mengenai keadaan psikis yang tidak
normal(abnormal) atau hal-hal klinis lainnya.
6)
Psikologi
kriminil: psikologi yang khusus berhubungan soal kejahatan atau kriminalitas.
7)
Psikologi
industri: psikologi yang khusus berhubungan dengan persoalan perusahaan, seperti
menejemen sumber daya manusia yang benar (Manara, 2014).
3.
Ruang Lingkup Psikologi Umum
a.
Berdasarkan
objek yang diselidiki: Ilmu jiwa umum, Ilmu jiwa khusus, dan �ilmu jiwa binatang.
b.
Ilmu
jiwa khusus dikelompokkan berdasarkan: Usia, Jenis kelamin, Pekerjaan; dan
Jumlah orang.
c.
Berdasarkan
usia: Ilmu jiwa anak-anak, Ilmu jiwa pubertas, Ilmu jiwa pemuda,� Ilmu jiwa orang dewasa dan Ilmu jiwa lanjut
usia.
d.
Berdasarkan jenis kelamin: Ilmu jiwa pria dan Ilmu jiwa perempuan.
Pemahaman Hadis dengan Pendekatan Psikologi
Pemahaman hadis
dengan pendekatan psikologi adalah pendekatan yang menekankan pada kondisi
kejiwaan seseorang atau kepada siapa hadis tersebut ditujukan
(Dalil, 2017). Selain itu, dalam upaya memahami sebuah hadis juga
diperlukan teori dan metode pendekatan agar bisa mendapat informasi dan historisnya
dengan tujuan memperoleh keontentikan pada hadis dan memperoleh pemahamannya
(Zakiyah et al., 2020). Adapun salah satunya adalah menggunakan pemahaman
melalui pendekatan psikologi.
Dalam hal
memahami sebuah ilmu, merumuskan dan menjelaskan struktur kepribadian manusia
merupakan upaya yang sulit karena ini menyangkut siapa dan apa hakikat manusia.
Berbagai disiplin ilmu seperti biologi, psikologi, antropologi, filsafat dan sebagainya
mencoba memahami hakikat manusia melalui pendekatan
dan tujuan masing-masing, tetapi konklusinya sangat beragam meskipun
materialnya sama. Salah
satu fokus perhatian psikologi adalah psikologi terhadap kepribadian. Struktur
kepribadian yang dimaksud disini adalah aspek-aspek atau elemen-elemen yang
terdapat dalam diri manusia yang karenanya kepribadian terbentuk. Para
ahli umumnya membedakan manusia dari dua aspek yaitu jasad dan ruh (Siregar, 2017).
Lebih dalam akan
dibahas mengenai upaya pemahaman hadis melalui pendekatan psikologi. Dalam
suatu hadis, apabila ditemukan sebuah hadis yang berisi tentang sebuah jawaban
Nabi berbeda terhadap satu pertanyaan yang sama, maka kemungkinan untuk
pemahaman atas hadis tersebut adalah dengan menggunakan pendekatan psikologi.
Ada dua kemungkinan perbedaan jawaban Nabi terhadap satu pertanyaan yang sama,
seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Syuhudi Ismail dalam bukunya yang
menyatakan bahwa: 1. Relevansi antara keadaan orang yang bertanya dengan materi
jawaban yang diberikan, 2. Relevansi antara keadaan kelompok masyarakat
tertentu dengan materi jawaban yang diberikan. Dari kedua hal inilah yang
menjadikan adanya hadis-hadis yang bersifat temporal dan kondisional
(Muhazir, 2022).
Lebih umum Fuad
Nasori mengelompokkan pola dalam studi terhadap psikologi, dibagi kepada empat
pola yakni: 1. Perumusan psikologi dengan bertitik tolak
dari al-Qur�an dan Hadis 2. Perumusan psikologi bertitik tolak dari khazanah
keislaman 3. Perumusan psikologi dengan mengambil inspirasi dari khazanah
psikologi modern dan membahasnya dengan pandangan dunia Islam 4. Merumuskan
konsep manusia berdasarkan pribadi yang hidup dalam Islam (Haris, 2018).
Jika ingin memahami matan hadis dengan menampilkan
bagaimana kondisi psikologi sahabat yang memiliki pertanyaan kepada Nabi saat
itu, maka dibutuhkan Ilmu Maanil Hadis sebagai ilmu untuk mengkaji keterkaitan
dengan situasi kondisi masyarakat pada saat hadis diriwayatkan. Ilmu ma�ani
al-hadis merupakan suatu keilmuan yang mengfokuskan kepada lafaz atau kata
bahasa Arab yang sesuai dengan tuntutan situasi serta kondisi dari Rasulullah
SAW (tekstual atau kontekstual), agar bisa meminalisir pemaknaan ganda ataupun
yang kontradiktif, fokus pemahaman hadis tekstual (setelah dikorelasikan dengan
segi yang berkaitan), menuntut interpretasi yang sesuai apa yang tertulis
(saja), adapun pemahaman hadis yang kontekstual terwujud jika ditemukan
petunjuk yang cukup kuat mengharuskan hadis tersebut diterapkan bukan yang
tersurat melainkan fokus ke makna yang tersirat (kontekstual). Metode-metode
tersebut digunakan bagi penelitian dalam pendekatan ideographic (subjeknya
individu) dan nomothetic (subyeknya kelompok manusia) (Tajang, 2020).
Aplikasi Pemahaman Hadis dengan Pendekatan Psikologis
Berikut adalah contoh hadis yang menjelaskan pendekatan
yang menekankan pada kondisi kejiwaan seseorang atau kepada siapa hadis
tersebut ditujukan:
1.
Hadis Pertama tentang amalan yang disukai Allah
527-حَدَّثَنَا
أَبُو الوَلِيدِ
هِشَامُ بْنُ عَبْدِ
المَلِكِ، قَالَ:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ،
قَالَ الوَلِيدُ
بْنُ العَيْزَارِ:
أَخْبَرَنِي قَالَ:
سَمِعْتُ أَبَا
عَمْرٍو الشَّيْبَانِيَّ،
يَقُولُ: حَدَّثَنَا
صَاحِبُ - هَذِهِ
الدَّارِ وَأَشَارَ
إِلَى دَارِ - عَبْدِ
اللَّهِ، قَالَ:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: أَيُّ
العَمَلِ أَحَبُّ
إِلَى اللَّهِ؟
قَالَ: �الصَّلاَةُ
عَلَى وَقْتِهَا�
، قَالَ: ثُمَّ
أَيٌّ؟ قَالَ:
�ثُمَّ بِرُّ الوَالِدَيْنِ�
قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟
قَالَ: �الجِهَادُ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ�
Dari Abu Amr asy-Syaibani, sambil menunjuuk rumah
Abdullah bin Masud dengan tangannya, ia berkata, aku bertanya kepada Rasulullah
terkait amalan apakah yang paling dicintai Allah? Beliau menjawab melaksanakan
shalat pada waktunya, aku melanjutkan, kemudian apa lagi ya Rasul? Beliau
menjawab berbakti pada kedua orang tua, lalu aku bertanya kembali, lalu apa
lagi ya Rasul? Beliau mengatakan, berjihad di jalan Allah.
2.
Hadis Kedua
26-حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ
يُونُسَ، وَمُوسَى
بْنُ إِسْمَاعِيلَ،
قَالاَ: حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيمُ
بْنُ سَعْدٍ، قَالَ:
حَدَّثَنَا ابْنُ
شِهَابٍ، عَنْ
سَعِيدِ بْنِ المُسَيِّبِ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ سُئِلَ:
أَيُّ العَمَلِ
أَفْضَلُ؟ فَقَالَ:
�إِيمَانٌ بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ�
. قِيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟
قَالَ: �الجِهَادُ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ�
قِيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟
قَالَ: �حَجٌّ مَبْرُورٌ�
Dari Abu Hurairah berkata, Nabi ditanya tentang amalan
apakah yang paling utama? Beliau menjawab, iman kepada Allah dan rasul-Nya,
lalu beliau di tanya lagi, kemudian apa? Beliau menjawab, Jihad di jalan Allah,
beliau ditanya kembali, lalu apa? Beliau menjawab, Haji yang mabrur.
3.
Hadis Ketiga
2518-حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ
بْنُ مُوسَى، عَنْ
هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ،
عَنْ أَبِيهِ،
عَنْ أَبِي مُرَاوِحٍ،
عَنْ أَبِي ذَرٍّ
رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، قَالَ:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَيُّ
العَمَلِ أَفْضَلُ؟
قَالَ: �إِيمَانٌ
بِاللَّهِ، وَجِهَادٌ
فِي سَبِيلِهِ�
Abu Dzar bertanya kepada Rasulullah terkait amal apakah
yang paling terbaik? Beliau menjawab beriman kepada Allah serta berjihad di
jalan-Nya.
4.
Hadis Keempat
5027-حَدَّثَنَا
حَجَّاجُ بْنُ
مِنْهَالٍ، حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ، قَالَ:
أَخْبَرَنِي عَلْقَمَةُ
بْنُ مَرْثَدٍ،
سَمِعْتُ سَعْدَ
بْنَ عُبَيْدَةَ،
عَنْ أَبِي عَبْدِ
الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ،
عَنْ عُثْمَانَ
رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ:
�خَيْرُكُمْ مَنْ
تَعَلَّمَ القُرْآنَ
وَعَلَّمَهُ�
Dari Utsman, dari Rasulullah beliau bersabda, orang yang
terbaik di antara kalian adalah yang mempelajari Alquran dan juga
mengajarkannya.
Penjelasan Pemahaman Hadis
melalui Pendekatan Psikologi
Pada hadis
pertama, disebutkan mengayomi orang tua lebih didahulukan dari jihad, sedangkan
pada hadis No. 2, jihad berada di posisi pertama sebelum haji, menurut al-Qadhi
Iy�dh, bahwa konteks hadis tersebut turun ketika masa awal masa datangnya
Islam, dimana kala itu, mengikuti jihad perang lebih diutamakan daripada
berhaji, yang bisa jadi saat ini sudah berbeda keadaan dan kemaslahatannya
(Tajang, 2020). Perihal pertanyaan yang diajukan kepada Nabi dalam hal
amalan yang paling disukai Allah dari semua hadis contoh diatas, secara umum
tak lain bertujuan untuk menggelorakan semangatt mengamalkannya dan menjaganya.
Hadis pertama
amalan pertama menjadi jawaban Nabi pada pertanyaan sahabat Aabdullah bin
Mas�ud adalah shalat pada waktunya, bukan soal penunjukkan spesifik awal maupun
akhir waktu yang lebih utama disini, tetapi lebih kepada anjuran untuk bersikap
hati-hati agar tidak melakukan ibadah shalat diluar waktu yang telah
disyariatkan. Lalu untuk amalan kedua yang dianjurkan Nabi adalah berbakti
kepada orang tua. Ini menunjukkan bahwa perkara berbakti kepada orang tua adalah
hal patut diperhatikan dan diharamkan apabila melukai kedua orang tua dan ada
dalil kuat dasar penegasan sikap tersebut dalam Alquran QS. Al-Isra� ayat 23-24
dan an-Nisa� ayat 36 bahkan dalam QS al-Ahqaf Allah berfirman berbuat baik
kepada kedua orangtua dapat menjadi sebab diampuni dosa. Dan hadis kedua
dikatakan bahwa jihad ada di urutan kedua karna pada saat itu jihad adalah hal
yang harus dilakukan oleh individu pada waktu adanya penyerangan terhadap
wilayah Islam, hal ini ditujukan karena didalamnya terkandung kemaslahatan umum
bagi kaum Muslimin.
Berbeda halnya
menurut Al-Qarafi haji lebih utama daripada jihad, disebabkan haji menjadi
tuntutan semua individu mukalaf (istitho�ah); berbeda dengan jihad, yang
mungkin menjadi tuntutan pada sebagian mukalaf saja. Melihat kembali historis
ketika hadis tersebut disabdakan dan diintegrasikan dengan keilmuan kekinian
seperti psikologi, ada baiknya perlu kita melihat kembali �situasi� atau
�keadaan� (psikis)sahabat yang bertanya (mukhathab) ketika Nabi menjawab
beberapa pertanyaan yang serupa dan menjawabnya dengan jawaban yang berbeda,
dimana secara psikologi diambil pemahaman bahwa agak mustahil setiap orang
mempunyai kondisi yang sama dan Nabi dengan segala hal ada pada diri beliau,
termasuk sebagai pemimpin umat pasti mempunyai banyak pertimbangan ketika
menyampaikan sesuatu kepada para sahabatnya, terutama kemaslahatan
masing-masing sahabatnya.
M. Nur Ichwan
berpendapat, bahwasanya respon Nabi SAW yang cenderung berbeda dari pertanyaan
yang serupa, menandakan Nabi SAW sangat memperhatikan kondisi dari
masing-masing sahabatnya, termasuk dalam aspek psikologisnya, olehnya itu amal
shalih yang afdhal dapat saja berbeda sesuai dengan kondisi mukhatab-nya
(Ichwan, 2013).
Kemungkinan
besar, jika seorang sahabat yang kekar dan pemberani, ada kemungkinan Nabi SAW
menganjurkannya untuk berjihad dalam peperangan seperti hadis dalam Shahih
Bukhari nomer indeks 2518 diatas(karena ada hadis lainnya dimana Nabi melarang
sahabat tertentu mengikuti peperangan karena suatu sebab); jika yang bertanya
itu berasal dari sahabat yang cukup kaya dan terlihat jarang untuk bersedekah,
maka bisa jadi Nabi menganjurkannya untuk banyak sedekah terlebih dahulu
daripada amalan lainnya; jika yang bertanya itu dari sahabat yang mempunyai
perangai cukup keras, maka dapat saja Rasulullah SAW mendahulukan untuk
bersikap tidak mudah marah sebagaimana hadis Shahih Bukhari No. 6116, dimana
Rasul berpesan untuk �janganlah engkau marah�. Oleh karena itu amalan yang
paling utama bagi setiap individu sahabat, sangat bergantung pada maslahat yang
sesuai dengan waktu, keadaan pada individu dan kelompok masyarakat yang menjadi
mukhatab-nya (Tajang, 2020).
Oleh karena itu
dapat disimpulkan bahwa amalan yang paling utama bagi setiap individu sahabat,
sangat bergantung pada masalahat yang sesuai dengan waktu, keadaan pada
individu dan kelompok masyarakat yang menjadi mukhatabnya. Halimi memberikan
pendapat dengan mengambil jalan tengah dari berbagai hadis tersebut dan
mengatakan bahwa hal yang terbaik adalah amalan atau perkara tertentu yang
telah disebutkan tetapi bukan berarti amalan tersebut itu terbaik dalam segala
sisi dan dalam keadaan yang pas bagi semua orang.
Jika dilihat
dari beberapa hadis terkait pertanyaan yang serupa dan dikuatkan dalam ayat
Al-Qur�an, posisi keberimanan dibandingkan hal lainnya adalah yang utama dan
mutlak, karena menjadi kunci �keyakinan� seorang hamba kepada Tuhannya. Hal ini
berhubungan dengan ibadah yang dapat mencerminkan keimanan tersebut. Oleh
karena itu peran dari pendekatan psikologi dalam memahami sebuah hadis cukuplah
penting, sehingga dengan harapan dalam aplikasi ajaran dari hadis tersebut
dapat disesuaikan dengan audiens/mukhatab dari individu atau kelompok, tentu
dengan tidak meninggalkan kajian keilmuan hadis yang telah cukup mapan dari
para ulama sebelumnya, oleh itu proses integrasi-interkoneksi keilmuan akan
jauh lebih baik.
Untuk
mengkompromikan berbagai hadis tersebut, ada yang mengatakan bahwa itu
merupakan jawaban yang ditujukan khusus untuk penanya tertentu, dengan melihat
pada keadaan, atau waktunya. Atau dilihat dari sisi keumuman keadaan atau
keumuman waktu tersebut; atau dilihat dari sisi keadaan orang yang menjadi
sasaran ucapan tersebut (mukh�thab) atau keadaan orang-orang yang
seperti keadaan mereka. Sekiranya hal itu ditujukan kepada seorang pemberani,
tentulah akan dijawab dengan jihad; Atau ditujukan kepada seorang kaya, tentu
akan dijawab dengan sedekah; atau ditujukan kepada seorang penakut yang fakir,
tentu akan dijawab dengan amal kebajikan atau dzikir; Atau ditujukan kepada
orang yang cerdas, tentu akan dijawab dengan (mencari) ilmu; atau ditujukan
kepada orang yang perangainya keras, tentu akan dijawab dengan: janganlah
engkau marah. Dan seperti itulah disesuaikan dengan semua keadaan manusia
�(Hasanah & Suatuti, 2020).
Dalam sebuah
matan hadis, penelitian akan terfokuskan kepada lafaz atau kata bahasa Arab dalam
matan hadis tersebut, apakah matan tersebut sesuai dengan tuntutan situasi
serta kondisi Rasulullah Saw(tekstual atau kontekstual), hal ini termasuk ke
dalam pemahaman ilmu Maani al-hadis. Menurut Syuhudi Ismail yang merupakan Guru
Besar Ilmu Hadis pertama di Indonesia, pemahaman tekstual adalah pemahaman
hadis secara tersurat, yang bila hadis tersebut telah dihubungkan dengan
hal-hal yang terkait dengannya, misalnya saja asb�b al-wur�dnya, tetap saja
menghendaki pemahaman yang sesuai dengan makna tertulisnya. Sementara itu,
pemahaman kontekstual merupakan tipologi pemahaman secara tersirat, yang
mengharuskan adanya pemahaman yang mungkin tidak sebagaimana makna tekstualnya
(tersirat) karena adanya petunjuk yang kuat pada hal tersebut di balik teks
hadis yang dimaksud (Nadhiran & Hayati, 2022).
Contoh 2:
Ada pula contoh
pemahaman hadis melalui pendekatan psikologi yang mana dalam upaya memahami
sebuah hadis juga diperlukan teori dan metode pendekatan agar bisa mendapat
informasi dan historisnya dengan tujuan memperoleh keontentikan pada hadis dan
memperoleh pemahamannya. Berikut contohnya:
Hadis riwayat Ibnu Majah tentang Tertawa
2269-حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا
يَحْيَى، عَنِ
الْأَجْلَحِ،
عَنِ الشَّعْبِيِّ،
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ الْخَلِيلِ،
عَنْ زَيْدِ بْنِ
أَرْقَمَ قَالَ:
كُنْتُ جَالِسًا
عِنْدَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَجَاءَ
رَجُلٌ مِنَ الْيَمَنِ،
فَقَالَ: إِنَّ
ثَلَاثَةَ نَفَرٍ
مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ
أَتَوْا عَلِيًّا،
يَخْتَصِمُونَ
إِلَيْهِ فِي وَلَدٍ،
وَقَدْ وَقَعُوا
عَلَى امْرَأَةٍ
فِي طُهْرٍ وَاحِدٍ،
فَقَالَ: لِاثْنَيْنِ
مِنْهُمَا طِيبَا
بِالْوَلَدِ لِهَذَا
فَغَلَيَا، ثُمَّ
قَالَ: لِاثْنَيْنِ
طِيبَا بِالْوَلَدِ
لِهَذَا فَغَلَيَا،
ثُمَّ قَالَ: لِاثْنَيْنِ
طِيبَا بِالْوَلَدِ
لِهَذَا فَغَلَيَا،
فَقَالَ: أَنْتُمْ
شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ،
إِنِّي مُقْرِعٌ
بَيْنَكُمْ فَمَنْ
قَرَعَ فَلَهُ
الْوَلَدُ، وَعَلَيْهِ
لِصَاحِبَيْهِ
ثُلُثَا الدِّيَةِ،
فَأَقْرَعَ بَيْنَهُمْ،
فَجَعَلَهُ لِمَنْ
قَرَعَ، �فَضَحِكَ
رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حَتَّى
بَدَتْ أَضْرَاسُهُ
أَوْ نَوَاجِذُهُ�
Telah menceritakan kepada kami Musaddad,
telah menceritakan kepada kami Yahya dari al-Ajlah , dari asy-Sya'bi dari
Abdullah bin al-Khalil
dari Zaid bin Arqam, ia berkata; aku pernah duduk bersama Nabi shallallahu
'alaihi wasallam kemudian terdapat seorang laki-laki dari Yaman yang masuk dan
berkata; sesungguhnya terdapat tiga orang penduduk Yaman datang kepada Ali,
mereka memperselisihkan kepada Ali mengenai anak yang dilahirkan oleh seorang
wanita yang telah mereka gauli dalam satu masa suci. Kemudian Ali berkata
kepada dua orang diantara mereka relakan anak itu untuk orang ini! Kemudian
mereka berteriak, kemudian ia berkata; kepada dua orang; relakan anak tersebut
untuk orang ini! Kemudian mereka berdua berteriak, kemudian ia berkata kepada
dua orang; relakan anak tersebut untuk orang ini! Kemudian mereka berteriak.
Lalu Ali berkata; kalian adalah sekutu yang saling berseteru, aku akan mengundi
kalian. Barangsiapa yang keluar undiannya, maka anak tersebut adalah miliknya
dan ia wajib membayar kepada kedua sahabatnya dua pertiga diyah. Kemudian Ali
mengundi diantara mereka. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
tertawa hingga nampak gigi-gigi geraham beliau atau gigi-gigi seri beliau.
Takhrij Hadis
Hadis Riwayat Imam an-Nasai
2270-حَدَّثَنَا
خُشَيْشُ بْنُ
أَصْرَمَ، حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّزَّاقِ،
أَخْبَرَنَا الثَّوْرِيُّ،
عَنْ صَالِحٍ الْهَمْدَانِيِّ،
عَنِ الشَّعْبِيِّ،
عَنْ عَبْدِ خَيْرٍ،
عَنْ زَيْدِ بْنِ
أَرْقَمَ قَالَ:
أُتِيَ عَلِيٌّ
رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ بِثَلَاثَةٍ،
وَهُوَ بِالْيَمَنِ
وَقَعُوا عَلَى
امْرَأَةٍ فِي
طُهْرٍ وَاحِدٍ،
فَسَأَلَ اثْنَيْنِ:
أَتُقِرَّانِ
لِهَذَا بِالْوَلَدِ؟
قَالَا: لَا، حَتَّى
سَأَلَهُمْ جَمِيعًا،
فَجَعَلَ كُلَّمَا
سَأَلَ اثْنَيْنِ،
قَالَا: لَا، فَأَقْرَعَ
بَيْنَهُمْ فَأَلْحَقَ
الْوَلَدَ بِالَّذِي
صَارَتْ عَلَيْهِ
الْقُرْعَةُ،
وَجَعَلَ عَلَيْهِ
ثُلُثَيِ الدِّيَةِ،
قَالَ: �فَذَكَرَ
ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَضَحِكَ
حَتَّى بَدَتْ
نَوَاجِذُهُ�
Hadis Riwayat Imam an-Nasai
3488- أَخْبَرَنَا
أَبُو عَاصِمٍ
خُشَيْشُ بْنُ
أَصْرَمَ، قَالَ:
أَنْبَأَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ،
قَالَ: أَنْبَأَنَا
الثَّوْرِيُّ،
عَنْ صَالِحٍ الْهَمْدَانِيِّ،
عَنْ الشَّعْبِيِّ،
عَنْ عَبْدِ خَيْرٍ،
عَنْ زَيْدِ بْنِ
أَرْقَمَ، قَالَ:
" أُتِيَ عَلِيٌّ
رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ بِثَلَاثَةٍ
وَهُوَ بِالْيَمَنِ
وَقَعُوا عَلَى
امْرَأَةٍ فِي
طُهْرٍ وَاحِدٍ،
فَسَأَلَ اثْنَيْنِ:
أَتُقِرَّانِ
لِهَذَا بِالْوَلَدِ؟
قَالَا: لَا، ثُمَّ
سَأَلَ اثْنَيْنِ:
أَتُقِرَّانِ
لِهَذَا بِالْوَلَدِ؟
قَالَا: لَا، فَأَقْرَعَ
بَيْنَهُمْ فَأَلْحَقَ
الْوَلَدَ بِالَّذِي
صَارَتْ عَلَيْهِ
الْقُرْعَةُ،
وَجَعَلَ عَلَيْهِ
ثُلُثَيِ الدِّيَةِ،
فَذُكِرَ ذَلِكَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ �فَضَحِكَ
حَتَّى بَدَتْ
نَوَاجِذُهُ�
Hadis
Riwayat Imam Ibnu Majah
2348-حَدَّثَنَا
إِسْحَاقُ بْنُ
مَنْصُورٍ قَالَ:
أَنْبَأَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ قَالَ:
أَنْبَأَنَا الثَّوْرِيُّ،
عَنْ صَالِحٍ الْهَمْدَانِيِّ،
عَنِ الشَّعْبِيِّ،
عَنْ عَبْدِ خَيْرٍ
الْحَضْرَمِيِّ،
عَنْ زَيْدِ بْنِ
أَرْقَمَ، قَالَ:
أُتِيَ عَلِيُّ
بْنُ أَبِي طَالِبٍ
وَهُوَ بِالْيَمَنِ،
فِي ثَلَاثَةٍ
قَدْ وَقَعُوا
عَلَى امْرَأَةٍ
فِي طُهْرٍ وَاحِدٍ،
فَسَأَلَ اثْنَيْنِ،
فَقَالَ: �أَتُقِرَّانِ
لِهَذَا بِالْوَلَدِ؟�
فَقَالَا: لَا،
ثُمَّ سَأَلَ اثْنَيْنِ،
فَقَالَ: �أَتُقِرَّانِ
لِهَذَا بِالْوَلَدِ؟�
فَقَالَا: لَا،
فَجَعَلَ كُلَّمَا
سَأَلَ اثْنَيْنِ:
�أَتُقِرَّانِ
لِهَذَا بِالْوَلَدِ؟�
قَالَا: لَا، �فَأَقْرَعَ
بَيْنَهُمْ، وَأَلْحَقَ
الْوَلَدَ بِالَّذِي
أَصَابَتْهُ الْقُرْعَةُ،
وَجَعَلَ عَلَيْهِ
ثُلُثَيِ الدِّيَةِ،
فَذُكِرَ ذَلِكَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَضَحِكَ
حَتَّى بَدَتْ
نَوَاجِذُهُ�
Data Perawi
1.
Abu
Daud
Nama lengkap ����������� : Sulaiman bin Asy�as bin Ishaq
Bashir bin Shadad
Lahir��������������� ����������� : 202 H
Wafat������������� ����������� : 275 H
Guru��������������� ����������� : Musaddad bin Masarhad, Muhammad
bin Yunus an-Nasai
Murid������������� ����������� : at-Turmudhi, Abu Abd Allah bin Abu
Daud
Jarh wa at-Ta�dil�������� :
Ibn H{ajar���� : Thiqah, H{afidh
����������������������������������� � Adz-Dzahabi :
al-H{afidh
2.
Musaddad
Nama lengkap������������ :
Musaddad bin Masarhad
Lahir��������������������������� :
-
Wafat������������������������� :
228 H
Guru��������������������������� :
Yahya bin Said bin Furukh al-Qathan, Yusuf bin Ya�qub
Murid������������������������� :
Bukhari, Abu Daud, Abu Hatim
Jarh wa at-Ta�dil�������� :
Ibn H{ajar���� : Thiqah, H{afidh
����������������������������������� � Adz-Dzahabi :
al-H{afidh
3.
Yahya
Nama lengkap������������ :
Yahya bin Said bin Furukh al-Qathan
Lahir��������������������������� :
120 H
Wafat������������������������� :
198 H
Guru��������������������������� :
al-Ajlah bin Abd Allah al-Kindi, Ismail bin Abi Khalid
Murid������������������������� :
Musaddad bin Masrohit, Sufyan at-Tsauri
Jarh wa at-Ta�dil�������� :
Ibn H{ajar���� : Thiqah, H{afidh
����������������������������������� � Adz-Dzahabi :
al-H{afidh al-Kabir
4.
Ajlah
Nama lengkap������������ :
al-Ajlah bin Abd Allah al-Kindi
Lahir��������������������������� :
-
Wafat������������������������� :
145 H
Guru��������������������������� :
Amr asy-Sya�bi, Qais bin Muslim
Murid������������������������� :
Yahya bin Said bin Furukh al-Qathan
Jarh wa at-Ta�dil�������� :
Ibn H{ajar���� : Saduq
����������������������������������� � Adz-Dzahabi :
Thiqah
5.
Asy-Sya�bi
Nama lengkap������������ :
Amr asy-Syarahil
Lahir��������������������������� :-
Wafat������������������������� :
100 H
Guru��������������������������� :
Abd Allah bin Khalil al-H{adrami, Abd Allah bin Abbas
Murid������������������������� :
al-Ajlah bin Abd Allah, Asma� bin �Ubaid
Jarh wa at-Ta�dil�������� :
Ibn H{ajar���� : Thiqah
����������������������������������� � Adz-Dzahabi :
Ahad al-A�lam
6.
Abdu
Allah bin al-Khalil
Nama lengkap������������ :
Abd Allah bin Khalil al-H{adrami
Lahir��������������������������� :-
Wafat������������������������� :-
Guru��������������������������� :
Zaid bin Arqam, Zaid bin Thabit
Murid������������������������� :
Amr asy-Syarahil, Ibrahim bin Raja�
Jarh wa at-Ta�dil�������� :
Ibn H{ajar���� : Maqbul
7.
Zaid
bin Arqam
Nama lengkap������������ :
Zaid bin Arqam
Lahir��������������������������� :-
Wafat������������������������� :
68 H
Guru��������������������������� :
Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib
Murid������������������������� :
Abd Allah bin Khalil al-H{adrami, Muhammad bin Ka�ab
Jarh wa at-Ta�dil�������� :
Ibn H{ajar���� : Sahabat Masyhur
Dari data rawi diatas menunjukkan bahwa semua rawi dalam
sanad hadis diatas mengandung indikasi adanya pertemuan. Hal ini terbukti dari
adanya hubungan guru dan murid dimulai dari Mukharrij Abu Daud berguru ke
Musaddad dan seterusnya. Dengan semikian dapat disimpulkan bahwa hadis diatas
dari jalur Zaid bin Arqam bersambung sanad(muttasil).
Hadis
dari jalur Zaid bin Arqam belum ditemukan letak Tajrih. Walaupun tidak semua
perawi dalam sanad
mendapat peringkat S|iqah dan tidak pada peringkat pertama. Namun, hadis diatas masih berada dalam
tataran Ta�dil. S{iqah antara Az|-Z|ahabi dan Ibn H|ajar berbeda tipis. Dari beberapa bukti yang telah didapat, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa status kualitas hadis tersebut adalah shahih li
ghairih. Dan dapat dijadikan hujjah.
Pemaknaan Tertawa dalam Kajian
Psikologi
Islam adalah
agama samawi wahyu dari Allah swt. Setiap perintah dan
larangan Allah swt tersirat rahasia dan kebijaksanaanNya yang �bisa jadi sulit dijangkau maknanya oleh akal manusia tanpa bimbingan
rasul (Zamy, 2021). Begitu pula
dengan tertawa. Dalil-dalil yang menunjukkan eksistensi tertawa ternyata baru
terbukti di zaman modern. Alat bantu untuk memahami dalil tersebut yakni Ilmu
Modern yang salah satunya berupa Psikologi. Awalnya tertawa diketahui sebagai
media kebahagiaan, namun ternyata lambat laun perilaku ini mempunyai
kenegatifan juga.
Tertawa juga tidak luput dari pembahasan
hadis. Didalam hadis, tertawa merupakan bagian dari sikap manusia yang sangat
erat dengan etika ataupun muamalah. Maha besar Allah yang mengangkat derajat
Nabi Saw hingga tawanya tercatat dalam kitab-kitab. Kisah tertawa tersebut
seolah-olah merupakan kisah yang aneh namun berisi panutan dan nasihat. Allah
terus memberkati Rasul Saw yang berkedudukan mulia dan membuat humor ataupun
tertawanya Rasulullah direkam menjadi sesuatu yang patut diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya seperti hadis di atas (Dahlia, 2019).
Muhammad
Nasrullah menemukan kata Dahik atau tertawa dalam Mu�jam mufradat Alfazil
al-Quran yang memaknai dengan berseri-serinya wajah dan tampaknya gigi-gigi
dari seorang yang bahagia (Nedih, 2018). Begitu pula yang termaktub dalam QS. An-Najm ayat 43 menyatakan
bahwa Rasul
dalam hal ini membuktikan fitrah manusia �Dan, bahwa dadalah yang menjadikan
orang tertawa dan menangis�.
Baik dalam perasaan senang maupun sedih, manusia dapat mengekspresikannya
dengan tertawa, dari bervariasinya motif ini nantinya akan memunculkan dampak
baik pada fisik ataupun psikis. Dampak tersebut dapat memberikan efek positif
ataupun sebaliknya. Dari hal inilah perlu dianalisis lebih dalam perasaannya
yang terlihat secara langsung atau juga dapat melalui diagnosa. Melalui
diagnosa ini biasanya akan ditemukan alasan detail dan dampaknya dalam
pengekspresian tertawa seorang manusia. Selanjutnya akan coba dipahami hadis
tertawa dengan alat bantu untuk memahami hadis yakni berupa
Psikologi.
Keduanya(dalil dan psikologi) saling melengkapi dan
memberikan penguat-penguat pengetahuan. Tertawa dalam redaksi hadis hanya
menunjukkan kalimat-kalimat yang sifatnya umum. Terdapat pula hadis yang memaparkan dampak akan
banyaknya tertawa, sebagai berikut:
4193-حَدَّثَنَا
بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ
قَالَ: حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرٍ الْحَنَفِيُّ
قَالَ: حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْحَمِيدِ
بْنُ جَعْفَرٍ،
عَنْ إِبْرَاهِيمَ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ حُنَيْنٍ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: �لَا
تُكْثِرُوا الضَّحِكَ،
فَإِنَّ كَثْرَةَ
الضَّحِكِ تُمِيتُ
الْقَلْبَ�
Telah menceritakan kepada kami Bakar bin Khalaf, telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar Hanafi, telah menceritakan kepada kami Abdul
Hamid bin Ja'far dari Ibrahim bin Abdullah dari Abu Hurairah dia berkata,
"Rasulullah bersabda," Janganlah kalian banyak tertawa, karena banyak
tertawa akan mematikan hati."
Begitu pula
dalam psikologi menjelaskan adanya relasi. Bahwa tertawa yang berlebihan
berdampak pada bagian saraf otak dan bahkan banyak tertawa akan memproduksi
hormon pemicu kesenangan yang berlebihan. Apabila hormon ini tidak stabil atau
bahkan dalam kondisi drop, maka kesenangan akan berubah menjadi kegalauan.
Tubuh manusia terbagi dua yakni fisik atau
jasad dan Psikis atau mental. Tertawa dikatakan menyehatkan mental apabila
tertawa tersebut mencapai kriteria-kriteria yang dianggap menyehatkan mental.
Beberapa kriteria tersebut antara lain:
1.
Menyesuaikan diri secara konstruktif
dengan kenyataan, walaupun kenyataan sangat buruk. Individu akan beradaptasi
dengan lingkungannya dengan turut andil dalam kelompok tersebut. Individu
bersifat loyal dan mementingkan kepentingan kelompok.
2.
Bebas dari rasa tegang dan cemas. Kedua
sikap ini memang
ada pada diri manusia namun bukan selalu menjadi hal yang ada di kehidupan. Keberadaan
rasa tegang ataupun cemas bagi individu yang sehat mental tidak akan begitu
terlihat. Misalnya percaya diri dalam menghadapi ujian akhir. Ketegangan akan
berkurang bagi mereka yang mempunyai persiapan matang. Berbeda dengan individu yang kurang persiapan dan
kurang percaya diri tentunya akan bersikap sebaliknya yakni gugup bahkan akan
merasa tegang dan cemas. Hingga akhirnya berdampak pada pikiran kosong.
3.
Memperoleh kepuasan jiwa dari hasil
tindakan pribadi. Individu akan pandai bersyukur atas rizki yang telah diberikan oleh Allah Swt.
Setiap hasil dari usaha mencapai keberhasilan selalu disyukuri dan dinikmati.
4.
Menyelesaikan permusuhan, dengki, dan iri.
Orang yang bermental sehat akan memberikan saran atau bahkan mengatasi suatu
pertikaian dengan bijak. Individu ini merupakan pribadi yang solutif. Contoh
yang demikian dapat juga dikaitkan dengan penjelasan tertawanya Rasulullah
melihat sikap solutif Ali yang mengundi kasus hak asuh anak.
5.
Mempunyai jiwa kasih sayang dan suka
memberi. Bermental sehat berarti mempunyai rasa simpati ataupun empati yang
tinggi. Misalnya memberikan hiburan kepada orang yang bersedih ataupun tertimpa
musibah sehingga mereka tertawa bahagia walaupun dalam keadaan susah (Kholel, 2020).
Dampak Positif Tertawa Dan Pemaknaan Hadis Melalui
Pendekatan Psikologi
Tingkah
laku manusia merupakan cerminan mental. Tertawa kecil atau tersenyum secara
sederhana akan menggambarkan bahwa
kondisi tubuh sedang dalam keadaan bahagia. Seseorang tidak dapat memikirkan pikiran marah saat tersenyum.
Gaya hidup ini lebih efisien untuk diterapkan dalam kehidupan; setiap waktu dan
dimana pun. Aid al-Qarni
mengatakan ada penelitian dan riset-riset ilmiah yang menemukan bahwa mayoritas
penyakit stress dan kebosanan atau merasa sempit itu timbul dari terlalu
tenggelamnya seseorang dalam pekerjaan yang terus menerus. Hal ini membuat
seseorang menjadi terlalu tegang, bosan, cepat tersinggung dan pemarah dan resepnya adalah dengan tertawa.
As�adi
Muhammad dalam bukunya merangkum bahwa tertawa dapat menyingkirkan
energi-energi negatif seseorang lantaran ada 4 faktor, yakni:
1.
Tertawa �melarutkan� kesedihan, kecemasan,
dan kemarahan. Poin ini merupakan bagian dari emosi manusia. Terutama
kesedihan, banyak orang diluapkan dengan bentuk tangisan. Namun, untuk
mengurangi kesedihan tentunya manusia juga boleh tertawa sebab dengan tertawa
akan membuat seseorang akan menjadi tenang.
2.
Tertawa
membantu seseorang untuk bersantai dan mengisi ulang hari-harinya. Saat bersantai tentunya tidak
harus diisi dengan hal-hal yang menjenuhkan.
Perlu diisi dengan sesuatu yang humoris yang membuat tertawa dan suasana tidak
terkesan kaku.
3.
Tertawa bisa menggeser pikiran-pikiran
negatif. Kebanyakan orang meyakini bahwa sikap tergantung pada suasana hati.
Apabila sedang tidak mood maka muka akan terlihat muram dan tidak perhatian,
serta kurang tanggap jika dipanggil oleh orang lain. Sebaliknya, saat pikiran
tenang atau stabil, seseorang lebih tanggap terhadap panggilan ataupun suara
orang lain.
4.
Ketika tertawa, hal ini akan mengeluarkan
hormon kebahagiaan. Penyebab munculnya tertawa adalah perasaan senang. Struktur
otak yang berperan dalam pemunculan tertawa adalah hipotalmus. Salah satu
bagian dari hipotalmus adalah kelenjar ptuitari. Saat seseorang tertawa maka
kelenjar ptuitari melepaskan hormon yang dinamakan Serotonin. Fungsi serotonin
yakni sebagai Neurotransmitter. Ternyata
serotonin tidak sendiri dalam membangun perasaan senang atau tenang. Saat
manusia tertawa juga mengeluarkan endorphin yang dihasilkan oleh kelenjar
ptuitari dan hipotalmus. Endorfin mampu melepaskan sinyal rasa sakit yang
berlebihan. Setelah cidera, dengan endorfphin, seseorang dapat melakukan
control diri, sehingga memungkinkan untuk melakukan aktifitas sepanjang waktu.[1]
Lain lagi dalam
dunia kesehatan, salah satunya
menyatakan bahwa tertawa bukan malah menyebabkan awet muda
seperti statement yang biasa didengar, melainkan
akan cepat memunculkan kesan tua. Saat tertawa sebagan besar otot wajah akan
mengencang. Kulit permukaanpun akan tertarik, terlipat, dan lama-lama keriput.
Dr. Laksmi Duarsa, SpKK, dokter kulit RS. Surya Husadha membenarkan hal itu.
Tertawa memang membuat keriput karena saat tertawa wajah akan mengalami banyak
kontraksi (Darmawan, 2013).
Tips supaya bisa
senyum tanpa khawatir keriput yaitu kurangi kontraksi pada wajah. senyum
sekadarnya, jangan berlebihan karena jika berlebihan akan menimbulkan keriput. Tertawa
sebagai pelampiasan bahagia bisa membuat seseorang awet muda. Sekedar senyum
pun dapat memberikan efek awet muda. Bukan soal penampilan di permukaan kulit
saja, melainkan awet muda dilihat dari kualitas hidup seseorang. Pada dasarnya
senyum itu berasal dari jiwa yang tenang dan senang. Jika sedang mencapai
kebahagiaan, manusia
akan tersenyum (Sutarto, 2013).
Reward atau penghargaan
bagi orang yang tertawa yang dijelaskan dalam hadis juga didapati dalam
psikologi. Fisik dan mental merasakan hal yang positif. Wajah akan terlihat
lebih muda dan stress akan hilang. Selain itu, terapi tertawa menunjukkan
eksistensi kebaikan tertawa. Terapi ini terbukti mampu meyembuhkan
penyakit-penyakit seperti tekanan darah tinggi ataupun stress. Relasi hadis dengan psikologi sangat kuat
yakni adanya titik temu dari kedua ilmu tersebut. Hadis ataupun Psikilogi
sama-sama menunjukkan bukti akan kebenaran al-Qur�an yang menjelaskan prinsip
keseimbangan. Sebagaimana yang termaktub dalam QS. Ar-Rahman: 7-9:
وَالسَّماءَ
رَفَعَها وَوَضَعَ
الْمِيزانَ () أَلاَّ
تَطْغَوْا فِي
الْمِيزانِ () وَأَقِيمُوا
الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ
وَلا تُخْسِرُوا
الْمِيزانَ
Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan
keseimbangan, Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, Dan tegakkanlah
keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu
Tertawa dalam sudut pandang hadis ataupun
psikologi mempunyai titik temu berupa kesamaan pemahaman. Tertawa merupakan
kegiatan yang sangat dibolehkan untuk dilakukan selama tidak melenceng dari
dogma-dogma agama. Tertawa ala kadarnya, tidak meyakiti perasaan, dan dalam
skala kecil. Sedangkan psikologi memberikan ladang yang luas untuk memahami
dogma tersebut. Perilaku tertawa sangat dibolehkan sebab dampaknya akan
langsung dirasakan oleh pelakunya. Keseimbangan yang diajarkan oleh Allah yang
takdir yang digariskan oleh-Nya. Setiap kesedihan ada kesengan yang ditandai dengan
menangis dan tertawa. al-Qur�an meletakkan kata tertawa dan menangis dalam satu
ayat yang indikasinya yakni fitrah manusia sebagai insan yang pasti mengalami
tertawa dan menangis. Sedangkan dalam psikologi tertawa juga mengajarkan hal
yang sama yakni setiap manusia tetap dianjurkan untuk tetawa dan menangis.
Kebaikan
tertawa seperti terapi tertawa pasti membawa kemanfaatan. Bahkan orang yang
tersenyum akan mendapatkan balasan berupa turunnya stress. Wajar saja kalau
hadis memberikan nilai tertawa setara dengan sedekah, hadisnya sebagai berikut:
1956-حَدَّثَنَا
عَبَّاسُ بْنُ
عَبْدِ الْعَظِيمِ
الْعَنْبَرِيُّ
حَدَّثَنَا النَّضْرُ
بْنُ مُحَمَّدٍ
الْجُرَشِيُّ
الْيَمَامِيُّ
حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ
بْنُ عَمَّارٍ
حَدَّثَنَا أَبُو
زُمَيْلٍ عَنْ
مَالِكِ بْنِ مَرْثَدٍ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ
أَبِي ذَرٍّ قَالَ
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
تَبَسُّمُكَ فِي
وَجْهِ أَخِيكَ
لَكَ صَدَقَةٌ
وَأَمْرُكَ بِالْمَعْرُوفِ
وَنَهْيُكَ عَنْ
الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ
وَإِرْشَادُكَ
الرَّجُلَ فِي
أَرْضِ الضَّلَالِ
لَكَ صَدَقَةٌ
وَبَصَرُكَ لِلرَّجُلِ
الرَّدِيءِ الْبَصَرِ
لَكَ صَدَقَةٌ
وَإِمَاطَتُكَ
الْحَجَرَ وَالشَّوْكَةَ
وَالْعَظْمَ عَنْ
الطَّرِيقِ لَكَ
صَدَقَةٌ وَإِفْرَاغُكَ
مِنْ دَلْوِكَ
فِي دَلْوِ أَخِيكَ
لَكَ صَدَقَةٌ
Telah
menceritakan kepada kami Abbas bin Abdul Azhim Al Anbari, telah menceritakan
kepada kami An Nadlr bin Muhammad Al Jurasyi Al Yamami, telah menceritakan
kepada kami Ikrimah bin Ammar, telah menceritakan kepada kami Abu Zuamail dari
Malik bin Martsad dari bapaknya dari Abu Dzarr ia berkata, Rasulullah ﷺ
bersabda, "Senyummu kepada saudaramu merupakan sedekah, engkau berbuat
ma'ruf dan melarang dari kemungkaran juga sedekah, engkau menunjukkan jalan
kepada orang yang tersesat juga sedekah, engkau menuntun orang yang
berpenglihatan kabur juga sedekah, menyingkirkan batu, duri dan tulang dari
jalan merupakan sedekah, dan engkau menuangkan air dari embermu ke ember
saudaramu juga sedekah."
Islam sebagai agama paripurna yang
sempurna menyimpan permasalahan
yang selalu dapat di kompromikan dengan ilmu kekinian. Sehingga pemahaman
mengenai tertawa ataupun pemahaman
lain
akan terus bergulir seiring perkembangan zaman.
Kesimpulan
Mempelajari agama
dengan pendekatan psikologi berarti mencoba melihat agama dari kacamata
psikologi. Pemahaman hadis melalui pendekatan psikologi memiliki 2 artian. yang
pertama adalah pemahaman hadis dengan pendekatan psikologi adalah pendekatan
yang menekankan pada kondisi kejiwaan seseorang atau kepada siapa hadis
tersebut ditujukan. Selain itu, dalam upaya memahami sebuah hadis juga
diperlukan teori dan metode pendekatan agar bisa mendapat informasi dan
historisnya dengan tujuan memperoleh keontentikan pada hadis dan memperoleh
pemahamannya. Adapun salah satunya adalah menggunakan pemahaman melalui
pendekatan psikologi. Dari kedua pengertian ini sama-sama mencakup ilmu maanil
hadis didalamnya.
BIBLIOGRAFI
Adi,
L. (2022). Pendidikan keluarga dalam perspektif Islam. Jurnal Pendidikan
Ar-Rasyid, 7(1), 1�9.
Dahlia, L. (2019). Fenomena prank dalam perspektif hadis
(kajian ma�ani al-hadith No. Indeks 5004 melalui pendekatan sosio-historis).
UIN Sunan Ampel Surabaya.
Dalil, F. Y. M. (2017). Hadis-Hadis tentang Farmasi; Sebuah
Kajian Integratif dalam Memahami Hadis Rasulullah. Proceeding IAIN
Batusangkar, 1(1), 309�326.
Darmawan, A. B. (2013). Anti-Aging Rahasia Tampil Muda di
Segala Usia. MediaPressindo.
Fitri, A. (2018). Pendidikan karakter prespektif al-Quran
hadits. TA�LIM: Jurnal Studi Pendidikan Islam, 1(2), 258�287.
Fitri, H. (2020). Urgensi Psikologi Pendidikan Islami dalam
Pengajaran. Ihya Al-Arabiyah: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Arab, 6(1),
140�150.
Hamid, A. (2017). Agama dan kesehatan mental dalam perspektif
psikologi agama. Healthy Tadulako Journal (Jurnal Kesehatan Tadulako), 3(1),
1�14.
Haris, M. (2018). Pendekatan Psikologi Dalam Studi Islam. Palita:
Journal of Social Religion Research, 2(1), 73�90.
Hasanah, U., & Suatuti, E. (2020). Buku Ajar Teori
Hukum. SCOPINDO MEDIA PUSTAKA.
Ichwan, M. N. (2013). Towards a puritanical moderate Islam:
The Majelis Ulama Indonesia and the politics of religious orthodoxy. Contemporary
Developments in Indonesian Islam: Explaining the �conservative Turn, 60�104.
Kholel, A. (2020). Fanatisme dan solidaritas suporter
Ultras Gresik dalam mendukung tim Gresik United. UIN Sunan Ampel Surabaya.
Manara, M. U. (2014). Hard Skills dan Soft Skills pada Bagian
Sumber Daya Manusia di Organisasi Industri. Jurnal Psikologi Tabularasa,
9(1).
Mansir, F. (2018). Pendekatan psikologi dalam kajian
pendidikan islam. Psikis: Jurnal Psikologi Islami, 4(1), 61�73.
Muhazir, M. (2022). Studi Komparasi Metode Hermeneutika Hadis
Perspektif Khaled M. Aboe el Fadl dan M. Syuhudi Ismail. El-Mizzi: Jurnal
Ilmu Hadis, 1(1), 36�56.
Nadhiran, H., & Hayati, S. (2022). Kerangka Pemahaman
Hadis Hasbi Ash-Shiddieqy. Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran,
Dan Fenomena Agama, 23(1), 52�75.
Nedih, Z. I. (2018). Kajian Tematik Tentang Hadis-Hadis
Tertawa Dengan Pendekatan Psikologi. Jakarta: Fakultas Ushuluddin Dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah.
Nurmala, A. H. (2013). Pengaruh perkembangan psikologi anak
sd terhadap keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Journal of Chemical
Information and Modeling, 53(9), 1689�1699.
Siregar, E. (2017). Hakikat Manusia (Tela�ah Istilah Manusia
Versi Al-Qur�an dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam). Majalah Ilmu
Pengetahuan Dan Pemikiran Keagamaan Tajdid, 20(2), 48�67.
Susantyo, B. (2011). Memahami perilaku agresif: Sebuah
tinjauan konseptual. Sosio Informa: Kajian Permasalahan Sosial Dan Usaha
Kesejahteraan Sosial, 16(3).
Sutarto, J. T. (2013). Pensiun, Bukan Akhir Segalanya.
Gramedia Pustaka Utama.
Tajang, A. D. (2020). Pendekatan Psikologi Dalam Studi Hadis
(Sebuah Pengantar). Jurnal Ushuluddin: Media Dialog Pemikiran Islam, 22(1).
Wahid, A. (2014). Konsep ilmu pengetahuan menurut
Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, serta implikasinya terhadap pengembangan pendidikan
Islam. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Zakiyah, Z., Saputra, E., & Alhafiza, R. G. (2020).
Rekonstruksi Pemahaman Hadis dan Sunnah Menurut Fazlur Rahman. Mashdar:
Jurnal Studi Al-Qur�an Dan Hadis, 2(1), 19�36.
Zamy, M. N. S. Z. (2021). Kesaksian Ulul�Ilmi terhadap
Ke-Esaan Allah dalam Surat Al-Imran Ayat 18: studi Tafsir Al-Azhar Karya Hamka.
UIN Sunan Ampel.
Copyright
holder: Ni�matul
Khoiroh, Zulfa Ma�rifatul Azizah, Yunita Indrawati (2022) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |
[1]Hardiono Puspo Negoro, �Peran Seretonin pada Anak�, Jurnal Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4, Mei 2007, 117