Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 12, Desember 2022

 

ANALISIS TANGGAPAN NABI MUHAMMAD SAW TERHADAP HADIS TENTANG AMALAN-AMALAN YANG UTAMA DALAM PENDEKATAN PSIKOLOGI

 

Ni�matul Khoiroh, Zulfa Ma�rifatul Azizah, Yunita Indrawati

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Indonesia

E-mail : [email protected]om, [email protected]om, yntaindrawati@gmail.com

 

Abstrak

Psikologi menjadi salah satu pilihan pendekatan multidisiplin integratif yang terus dikembangkan oleh para peneliti. Dalam beberapa kasus hadis, ketika Nabi Saw ditanya beberapa sahabat dengan pertanyaan yang hampir sama dan Nabi Saw menjawabnya dengan tidak seragam, karena salah satu aspek yang menjadi dasar jawaban Nabi adalah aspek psikologi. Begitu pula dengan pendekatan psikologi menjadi opsi jalan pemahaman sebuah hadis yang dirasa pas dalam upaya memahami sebuah hadis. Artikel ini merupakan penelitian kepustakaan(library research) yaitu penelitian yang berasal dari bahan pustaka dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Beberapa indikasi menunjukkan bahwa Nabi mempertimbangkan aspek psikologi sahabat yang bertanya. Diharapkan penelitian terhadap pemahaman hadis kedepannya lebih bervariasi terhadap aspek pendekatan yang digunakan seperti aspek psikologi, agar nantinya Hadis dan umumnya Islam dapat menjadi jawaban atas segala permasalahan yang menjadi persoalan umat di dunia.

 

Kata Kunci: Hadis, Pemahaman, Pendekatan, Psikologi.

 

Abstract

Psychology is one of the choices for an integrative multidisciplinary approach that continues to be developed by researchers. In some cases of hadith, when the Prophet was asked several companions with almost the same question and the Prophet answered it not uniformly, because one of the aspects on which the Prophet's answer was based was the psychological aspect. Similarly, the psychological approach is an option for understanding a hadith that is considered appropriate in an effort to understand a hadith. This article is library research, which is research derived from library materials using a qualitative approach. Some indications suggest that the Prophet considered the psychological aspects of the companion who questioned. It is hoped that research on the understanding of hadith in the future will be more varied on aspects of the approach used such as psychological aspects, so that later Hadith and generally Islam can be the answer to all problems that are problems of people in the world.

 

Keywords: hadith, understanding, approach, psychology.

 

Pendahuluan

Alquran dan Hadis merupakan sumber hukum utama dalam ajaran Islam yang dapat memberikan petunjuk dan bimbingan bagi umat manusia dalam segala hal, termasuk didalamnya dalam hal menjaga fitrah manusia untuk meraih kebahagiaan (A. Fitri, 2018). Seperti yang telah difirmankan Allah Swt dalam kalam-Nya yang memperkenalkan istilah jiwa yang tenang (an-nafs al-muthmainnah), salah satu indikasi kebahagiaan adalah ketika memiliki jiwa yang tenang. Sebagaimana dijelaskan Allah dalam Alquran surah ar-Rum ayat 30 dalam penjelasan fiitrah itu sendiri:

 

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ

 

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Hamid, 2017).

Fitrah Allah disini maksudnya adalah kondisi ciptaan Allah, manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama dalam ajarannya meraih kebahagiaan, salah satunya memeluk agama tauhid, kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Manusia yang tidak beragama itu hanyalah pengaruh dari lingkungan terutama dari pengaruh orangtua (Mansir, 2018). Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadis Nabi sebagai berikut:

 

(2658) حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي الدَّرَاوَرْدِيَّ، عَنِ الْعَلَاءِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: �كُلُّ إِنْسَانٍ تَلِدُهُ أُمُّهُ عَلَى الْفِطْرَةِ، وَأَبَوَاهُ بَعْدُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ، فَإِنْ كَانَا مُسْلِمَيْنِ، فَمُسْلِمٌ كُلُّ إِنْسَانٍ تَلِدُهُ أُمُّهُ يَلْكُزُهُ الشَّيْطَانُ فِي حِضْنَيْهِ إِلَّا مَرْيَمَ وَابْنَهَا�

 

Setiap anak yang lahir dilahirkan atas fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi atau Nasrani (Adi, 2022).

Dari keduanya ini sama-sama dijadikan syarat bagi penjagaan fitrah manusia yang salah satu ajaran didalamnya adalah meraih kebahagiaan menjaga kesehatan mental dan juga ini mengidentifikasikan bahwa Islam adalah �salah satu agama yang sangat memperhatikan kesehatan, baik fisik maupun mental. Hal ini pula yang menjadikan studi hadis terus dikembangkan oleh para ulama dan peneliti yang mana hadis juga perlu dipahami dengan pendekatan multidisiplin integratif seperti ilmu psikologi, yang mana psikologi adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan mental (Tajang, 2020). Mempelajari agama dengan pendekatan psikologi berarti mencoba melihat agama dari kacamata psikologi. Dapat dipahami bahwa setiap individu atau kelompok dalam praktik kehidupannya pasti memiliki kecenderungan dalam perbedaan keadaan dan kondisi satu dengan yang lain.

Dalam kelanjutannya, keilmuan psikologi dipilih karena ilmu ini salah satu ilmu yang mendalami perilaku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan, hal ini lantaran karena jiwa manusia bersifat abstrak yang sukar dipelajari secara objektif (Wahid, 2014).

Model sikap jiwa seseorang secara tidak langsung dapat ditemui dalam keseharian bersosial. Pada studi keagamaan, ilmu psikologi dapat mengungkap gejala-gejala lahiriah seorang Muslim, dimana hubungan keyakinan keagamaan berkaitan erat dengan perilaku kesehariannya, seperti sikap untuk bersedekah, sikap saling menolong, sikap menghormati, dan berbagai kegiatan yang bersumber dari ajaran agama, dimana semua hal tersebut masuk dalam kejiwaan yang berhubungan dengan agama.

 

Pembahasan

Definisi Psikologi dan Ruang Lingkupnya

1.    Definisi Psikologi dan Sejarah Singkat Perkembangan Psikologi

Secara harfiah psikologi umumnya diartikan sebagai �ilmu jiwa�, definisi ini diambil berdasarkan terjemahan kata dari bahasa Yunani Psychology yang merupakan gabungan kata psyche dan logos. Psyche berarti jiwa, nyawa dan alat untuk berpikir. Logos berarti ilmu. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa (H. Fitri, 2020). Berikut ada beberapa ahli yang mendefinisikan psikologi secara istilah:

a.    Plato dan Aristoteles mengemukakan psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.

b.    Menurut Edwin G. Boring dan Herbert S. Langfeld mendefinisikan psikologi� jauh lebih sederhana yakni psikologi adalah studi tentang hakikat manusia.

c.    Gardner Murphy juga mendefinisikan psikologi sebagai ilmu yang mempelajari respons yang diberikan oleh makhluk hidup terhadap lingkungannya.

d.   Dakir pada tahun 1993 mengembangkan pengertian psikologi, yaitu membahas tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan (Nurmala, 2013).

Beragamnya pengertian psikologi diatas menunjukkan beragamnya pula titik berangkat ahli dalam mempelajari kehidupan jiwa yang kompleks. Oleh sebab itu akan sulit menemukan pengertian psikologi yang dapat disepakati oleh semua pihak. Akan tetapi menurut penulis sendiri dengan mengambil kesimpulan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang jiwa dan semua tingkah laku manusia yang mana tingkah laku tersebut tidak dapat terlepas dari proses lingkungannya dan mengakibatkan terbentuknya mental seseorang.

Selanjutnya mengenai sejarah singkat perkembangan psikologi. Secara umum perkembangan psikologi dibagi menjadi 2 fase. Fase pertama adalah ketika psikologi sebagai bagian dari ilmu lain. Pada awalnya psikologi menjadi bagian dari filsafat. Kira-kira abad ke-7 para ahli ilmu faal mulai tertarik mempelajari gejala kejiwaan. Pada saat itu, psikologi menjadi bagian dari ilmu pengetahuan alam. Fase ke dua adalah ketika psikologi menjadi ilmu yang berdiri sendiri yaitu sekitar akhir abad 19. Berdirinya psikologi ditandai dengan dibangunnya laboratorium pertama di Leipzig oleh Wilhelm Wundt.

Setelah psikologi berdiri sendiri, lambat laun para ahli psikologi mengembangkan sistematika dan metodenya sendiri-sendiri, sehingga timbul berbagai aliran dalam psikologi. Pada perkembangannya ada tiga aliran yang sangat berpengaruh, yaitu psikodinamika, behavorisme, dan humanistik. Aliran psiko-dinamika menitikberatkan pada pemikiran-pemikiran yang berasal dari alam ketidaksadaran, konflik antara insting biologis dengan tuntutan masyarakat, serta pengalaman masa kecil seseorang. Aliran behavioristik, sebaliknya, menitikberatkan pada tingkah laku yang dapat diobservasi dan diukur. Tingkah laku merupakan hasil belajar kondisioning. Sedangkan aliran humanistik menitikberatkan pada potensi-potensi positif dalam kepribadian. Aliran ini berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan kehendak. Manusia tidak tergantung pada dorongan-dorongan yang tidak disadarinya dan tidak pula tergantung pada lingkungannya (Susantyo, 2011).

2.    Objek Kajian Psikologi

Ditinjau dari objek kajian, psikologi dapat dilihat dari dua hal:

a.       Psikologi umum

Psikologi yang menyelediki dan mempelajari kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas psikis manusia pada umumnya yang dewasa, yang normal dan yang beradab (berkultur). Psikologi umum berusaha mencari dalil-dalil yang bersifat umum daripada kegiatan-kegiatan atau aktivitas psikis. Psikologi umum memandang manusia seakan-akan terlepas dari manusia yang lain

b.      Psikologi khusus

Psikologi khusus adalah psikologi yang menyelediki dan mempelajari segi-segi kekhususan dari aktivitas-aktivitas psikis manusia. Hal-hal yang khusus yang menyimpang dari hal-hal yang umum dibicarakan dalam psikologi khusus.

Psikologi khusus dibagi menjadi beberapa pembagian, diantaranya:

1)   Psikologi sosial: psikologi yang mempelajari tentang tingkah laku atau aktivitas manusia yang berhubugan dengan situasi sosial.

2)   Psikologi pendidikan: psikologi yang khusus membicrakan tentang kegiatan manusia yang hubungannya dengan dunia pendidikan.

3)   Psikologi kepribadian dan tipologi: psikologi yang khusus memaparkan struktur pribadi manusia dan tipe-tipe kepribadian manusia.

4)   Psikologi perkembangan: psikologi yang mempelajari perkembangan psikis manusia dari masa bayi sampai tua.

5)   Psikatologi: psikologi yang khusus menguraikan mengenai keadaan psikis yang tidak normal(abnormal) atau hal-hal klinis lainnya.

6)   Psikologi kriminil: psikologi yang khusus berhubungan soal kejahatan atau kriminalitas.

7)   Psikologi industri: psikologi yang khusus berhubungan dengan persoalan perusahaan, seperti menejemen sumber daya manusia yang benar (Manara, 2014).

 

3.    Ruang Lingkup Psikologi Umum

a.    Berdasarkan objek yang diselidiki: Ilmu jiwa umum, Ilmu jiwa khusus, dan �ilmu jiwa binatang.

b.    Ilmu jiwa khusus dikelompokkan berdasarkan: Usia, Jenis kelamin, Pekerjaan; dan Jumlah orang.

c.    Berdasarkan usia: Ilmu jiwa anak-anak, Ilmu jiwa pubertas, Ilmu jiwa pemuda,� Ilmu jiwa orang dewasa dan Ilmu jiwa lanjut usia.

d.   Berdasarkan jenis kelamin: Ilmu jiwa pria dan Ilmu jiwa perempuan.

Pemahaman Hadis dengan Pendekatan Psikologi

Pemahaman hadis dengan pendekatan psikologi adalah pendekatan yang menekankan pada kondisi kejiwaan seseorang atau kepada siapa hadis tersebut ditujukan (Dalil, 2017). Selain itu, dalam upaya memahami sebuah hadis juga diperlukan teori dan metode pendekatan agar bisa mendapat informasi dan historisnya dengan tujuan memperoleh keontentikan pada hadis dan memperoleh pemahamannya (Zakiyah et al., 2020). Adapun salah satunya adalah menggunakan pemahaman melalui pendekatan psikologi.

Dalam hal memahami sebuah ilmu, merumuskan dan menjelaskan struktur kepribadian manusia merupakan upaya yang sulit karena ini menyangkut siapa dan apa hakikat manusia. Berbagai disiplin ilmu seperti biologi, psikologi, antropologi, filsafat dan sebagainya mencoba memahami hakikat manusia melalui pendekatan dan tujuan masing-masing, tetapi konklusinya sangat beragam meskipun materialnya sama. Salah satu fokus perhatian psikologi adalah psikologi terhadap kepribadian. Struktur kepribadian yang dimaksud disini adalah aspek-aspek atau elemen-elemen yang terdapat dalam diri manusia yang karenanya kepribadian terbentuk. Para ahli umumnya membedakan manusia dari dua aspek yaitu jasad dan ruh (Siregar, 2017).

Lebih dalam akan dibahas mengenai upaya pemahaman hadis melalui pendekatan psikologi. Dalam suatu hadis, apabila ditemukan sebuah hadis yang berisi tentang sebuah jawaban Nabi berbeda terhadap satu pertanyaan yang sama, maka kemungkinan untuk pemahaman atas hadis tersebut adalah dengan menggunakan pendekatan psikologi. Ada dua kemungkinan perbedaan jawaban Nabi terhadap satu pertanyaan yang sama, seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Syuhudi Ismail dalam bukunya yang menyatakan bahwa: 1. Relevansi antara keadaan orang yang bertanya dengan materi jawaban yang diberikan, 2. Relevansi antara keadaan kelompok masyarakat tertentu dengan materi jawaban yang diberikan. Dari kedua hal inilah yang menjadikan adanya hadis-hadis yang bersifat temporal dan kondisional (Muhazir, 2022).

Lebih umum Fuad Nasori mengelompokkan pola dalam studi terhadap psikologi, dibagi kepada empat pola yakni: 1. Perumusan psikologi dengan bertitik tolak dari al-Qur�an dan Hadis 2. Perumusan psikologi bertitik tolak dari khazanah keislaman 3. Perumusan psikologi dengan mengambil inspirasi dari khazanah psikologi modern dan membahasnya dengan pandangan dunia Islam 4. Merumuskan konsep manusia berdasarkan pribadi yang hidup dalam Islam (Haris, 2018).

Jika ingin memahami matan hadis dengan menampilkan bagaimana kondisi psikologi sahabat yang memiliki pertanyaan kepada Nabi saat itu, maka dibutuhkan Ilmu Maanil Hadis sebagai ilmu untuk mengkaji keterkaitan dengan situasi kondisi masyarakat pada saat hadis diriwayatkan. Ilmu ma�ani al-hadis merupakan suatu keilmuan yang mengfokuskan kepada lafaz atau kata bahasa Arab yang sesuai dengan tuntutan situasi serta kondisi dari Rasulullah SAW (tekstual atau kontekstual), agar bisa meminalisir pemaknaan ganda ataupun yang kontradiktif, fokus pemahaman hadis tekstual (setelah dikorelasikan dengan segi yang berkaitan), menuntut interpretasi yang sesuai apa yang tertulis (saja), adapun pemahaman hadis yang kontekstual terwujud jika ditemukan petunjuk yang cukup kuat mengharuskan hadis tersebut diterapkan bukan yang tersurat melainkan fokus ke makna yang tersirat (kontekstual). Metode-metode tersebut digunakan bagi penelitian dalam pendekatan ideographic (subjeknya individu) dan nomothetic (subyeknya kelompok manusia) (Tajang, 2020).

Aplikasi Pemahaman Hadis dengan Pendekatan Psikologis

Berikut adalah contoh hadis yang menjelaskan pendekatan yang menekankan pada kondisi kejiwaan seseorang atau kepada siapa hadis tersebut ditujukan:

1.    Hadis Pertama tentang amalan yang disukai Allah

 

527-حَدَّثَنَا أَبُو الوَلِيدِ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ المَلِكِ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ الوَلِيدُ بْنُ العَيْزَارِ: أَخْبَرَنِي قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَمْرٍو الشَّيْبَانِيَّ، يَقُولُ: حَدَّثَنَا صَاحِبُ - هَذِهِ الدَّارِ وَأَشَارَ إِلَى دَارِ - عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ العَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ: �الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا� ، قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: �ثُمَّ بِرُّ الوَالِدَيْنِ� قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: �الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ�

 

Dari Abu Amr asy-Syaibani, sambil menunjuuk rumah Abdullah bin Masud dengan tangannya, ia berkata, aku bertanya kepada Rasulullah terkait amalan apakah yang paling dicintai Allah? Beliau menjawab melaksanakan shalat pada waktunya, aku melanjutkan, kemudian apa lagi ya Rasul? Beliau menjawab berbakti pada kedua orang tua, lalu aku bertanya kembali, lalu apa lagi ya Rasul? Beliau mengatakan, berjihad di jalan Allah.

2.    Hadis Kedua

 

26-حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالاَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ المُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ: أَيُّ العَمَلِ أَفْضَلُ؟ فَقَالَ: �إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ� . قِيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: �الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ� قِيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: �حَجٌّ مَبْرُورٌ�

 

Dari Abu Hurairah berkata, Nabi ditanya tentang amalan apakah yang paling utama? Beliau menjawab, iman kepada Allah dan rasul-Nya, lalu beliau di tanya lagi, kemudian apa? Beliau menjawab, Jihad di jalan Allah, beliau ditanya kembali, lalu apa? Beliau menjawab, Haji yang mabrur.

3.    Hadis Ketiga

 

2518-حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي مُرَاوِحٍ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ العَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: �إِيمَانٌ بِاللَّهِ، وَجِهَادٌ فِي سَبِيلِهِ�

 

Abu Dzar bertanya kepada Rasulullah terkait amal apakah yang paling terbaik? Beliau menjawab beriman kepada Allah serta berjihad di jalan-Nya.

4.    Hadis Keempat

 

5027-حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عَلْقَمَةُ بْنُ مَرْثَدٍ، سَمِعْتُ سَعْدَ بْنَ عُبَيْدَةَ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ، عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: �خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ�

 

Dari Utsman, dari Rasulullah beliau bersabda, orang yang terbaik di antara kalian adalah yang mempelajari Alquran dan juga mengajarkannya.

 

Penjelasan Pemahaman Hadis melalui Pendekatan Psikologi

Pada hadis pertama, disebutkan mengayomi orang tua lebih didahulukan dari jihad, sedangkan pada hadis No. 2, jihad berada di posisi pertama sebelum haji, menurut al-Qadhi Iy�dh, bahwa konteks hadis tersebut turun ketika masa awal masa datangnya Islam, dimana kala itu, mengikuti jihad perang lebih diutamakan daripada berhaji, yang bisa jadi saat ini sudah berbeda keadaan dan kemaslahatannya (Tajang, 2020). Perihal pertanyaan yang diajukan kepada Nabi dalam hal amalan yang paling disukai Allah dari semua hadis contoh diatas, secara umum tak lain bertujuan untuk menggelorakan semangatt mengamalkannya dan menjaganya.

Hadis pertama amalan pertama menjadi jawaban Nabi pada pertanyaan sahabat Aabdullah bin Mas�ud adalah shalat pada waktunya, bukan soal penunjukkan spesifik awal maupun akhir waktu yang lebih utama disini, tetapi lebih kepada anjuran untuk bersikap hati-hati agar tidak melakukan ibadah shalat diluar waktu yang telah disyariatkan. Lalu untuk amalan kedua yang dianjurkan Nabi adalah berbakti kepada orang tua. Ini menunjukkan bahwa perkara berbakti kepada orang tua adalah hal patut diperhatikan dan diharamkan apabila melukai kedua orang tua dan ada dalil kuat dasar penegasan sikap tersebut dalam Alquran QS. Al-Isra� ayat 23-24 dan an-Nisa� ayat 36 bahkan dalam QS al-Ahqaf Allah berfirman berbuat baik kepada kedua orangtua dapat menjadi sebab diampuni dosa. Dan hadis kedua dikatakan bahwa jihad ada di urutan kedua karna pada saat itu jihad adalah hal yang harus dilakukan oleh individu pada waktu adanya penyerangan terhadap wilayah Islam, hal ini ditujukan karena didalamnya terkandung kemaslahatan umum bagi kaum Muslimin.

Berbeda halnya menurut Al-Qarafi haji lebih utama daripada jihad, disebabkan haji menjadi tuntutan semua individu mukalaf (istitho�ah); berbeda dengan jihad, yang mungkin menjadi tuntutan pada sebagian mukalaf saja. Melihat kembali historis ketika hadis tersebut disabdakan dan diintegrasikan dengan keilmuan kekinian seperti psikologi, ada baiknya perlu kita melihat kembali �situasi� atau �keadaan� (psikis)sahabat yang bertanya (mukhathab) ketika Nabi menjawab beberapa pertanyaan yang serupa dan menjawabnya dengan jawaban yang berbeda, dimana secara psikologi diambil pemahaman bahwa agak mustahil setiap orang mempunyai kondisi yang sama dan Nabi dengan segala hal ada pada diri beliau, termasuk sebagai pemimpin umat pasti mempunyai banyak pertimbangan ketika menyampaikan sesuatu kepada para sahabatnya, terutama kemaslahatan masing-masing sahabatnya.

M. Nur Ichwan berpendapat, bahwasanya respon Nabi SAW yang cenderung berbeda dari pertanyaan yang serupa, menandakan Nabi SAW sangat memperhatikan kondisi dari masing-masing sahabatnya, termasuk dalam aspek psikologisnya, olehnya itu amal shalih yang afdhal dapat saja berbeda sesuai dengan kondisi mukhatab-nya (Ichwan, 2013).

Kemungkinan besar, jika seorang sahabat yang kekar dan pemberani, ada kemungkinan Nabi SAW menganjurkannya untuk berjihad dalam peperangan seperti hadis dalam Shahih Bukhari nomer indeks 2518 diatas(karena ada hadis lainnya dimana Nabi melarang sahabat tertentu mengikuti peperangan karena suatu sebab); jika yang bertanya itu berasal dari sahabat yang cukup kaya dan terlihat jarang untuk bersedekah, maka bisa jadi Nabi menganjurkannya untuk banyak sedekah terlebih dahulu daripada amalan lainnya; jika yang bertanya itu dari sahabat yang mempunyai perangai cukup keras, maka dapat saja Rasulullah SAW mendahulukan untuk bersikap tidak mudah marah sebagaimana hadis Shahih Bukhari No. 6116, dimana Rasul berpesan untuk �janganlah engkau marah�. Oleh karena itu amalan yang paling utama bagi setiap individu sahabat, sangat bergantung pada maslahat yang sesuai dengan waktu, keadaan pada individu dan kelompok masyarakat yang menjadi mukhatab-nya (Tajang, 2020).

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa amalan yang paling utama bagi setiap individu sahabat, sangat bergantung pada masalahat yang sesuai dengan waktu, keadaan pada individu dan kelompok masyarakat yang menjadi mukhatabnya. Halimi memberikan pendapat dengan mengambil jalan tengah dari berbagai hadis tersebut dan mengatakan bahwa hal yang terbaik adalah amalan atau perkara tertentu yang telah disebutkan tetapi bukan berarti amalan tersebut itu terbaik dalam segala sisi dan dalam keadaan yang pas bagi semua orang.

Jika dilihat dari beberapa hadis terkait pertanyaan yang serupa dan dikuatkan dalam ayat Al-Qur�an, posisi keberimanan dibandingkan hal lainnya adalah yang utama dan mutlak, karena menjadi kunci �keyakinan� seorang hamba kepada Tuhannya. Hal ini berhubungan dengan ibadah yang dapat mencerminkan keimanan tersebut. Oleh karena itu peran dari pendekatan psikologi dalam memahami sebuah hadis cukuplah penting, sehingga dengan harapan dalam aplikasi ajaran dari hadis tersebut dapat disesuaikan dengan audiens/mukhatab dari individu atau kelompok, tentu dengan tidak meninggalkan kajian keilmuan hadis yang telah cukup mapan dari para ulama sebelumnya, oleh itu proses integrasi-interkoneksi keilmuan akan jauh lebih baik.

Untuk mengkompromikan berbagai hadis tersebut, ada yang mengatakan bahwa itu merupakan jawaban yang ditujukan khusus untuk penanya tertentu, dengan melihat pada keadaan, atau waktunya. Atau dilihat dari sisi keumuman keadaan atau keumuman waktu tersebut; atau dilihat dari sisi keadaan orang yang menjadi sasaran ucapan tersebut (mukh�thab) atau keadaan orang-orang yang seperti keadaan mereka. Sekiranya hal itu ditujukan kepada seorang pemberani, tentulah akan dijawab dengan jihad; Atau ditujukan kepada seorang kaya, tentu akan dijawab dengan sedekah; atau ditujukan kepada seorang penakut yang fakir, tentu akan dijawab dengan amal kebajikan atau dzikir; Atau ditujukan kepada orang yang cerdas, tentu akan dijawab dengan (mencari) ilmu; atau ditujukan kepada orang yang perangainya keras, tentu akan dijawab dengan: janganlah engkau marah. Dan seperti itulah disesuaikan dengan semua keadaan manusia �(Hasanah & Suatuti, 2020).

Dalam sebuah matan hadis, penelitian akan terfokuskan kepada lafaz atau kata bahasa Arab dalam matan hadis tersebut, apakah matan tersebut sesuai dengan tuntutan situasi serta kondisi Rasulullah Saw(tekstual atau kontekstual), hal ini termasuk ke dalam pemahaman ilmu Maani al-hadis. Menurut Syuhudi Ismail yang merupakan Guru Besar Ilmu Hadis pertama di Indonesia, pemahaman tekstual adalah pemahaman hadis secara tersurat, yang bila hadis tersebut telah dihubungkan dengan hal-hal yang terkait dengannya, misalnya saja asb�b al-wur�dnya, tetap saja menghendaki pemahaman yang sesuai dengan makna tertulisnya. Sementara itu, pemahaman kontekstual merupakan tipologi pemahaman secara tersirat, yang mengharuskan adanya pemahaman yang mungkin tidak sebagaimana makna tekstualnya (tersirat) karena adanya petunjuk yang kuat pada hal tersebut di balik teks hadis yang dimaksud (Nadhiran & Hayati, 2022).

Contoh 2:

Ada pula contoh pemahaman hadis melalui pendekatan psikologi yang mana dalam upaya memahami sebuah hadis juga diperlukan teori dan metode pendekatan agar bisa mendapat informasi dan historisnya dengan tujuan memperoleh keontentikan pada hadis dan memperoleh pemahamannya. Berikut contohnya:

 

Hadis riwayat Ibnu Majah tentang Tertawa

 

2269-حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنِ الْأَجْلَحِ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْخَلِيلِ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَاءَ رَجُلٌ مِنَ الْيَمَنِ، فَقَالَ: إِنَّ ثَلَاثَةَ نَفَرٍ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ أَتَوْا عَلِيًّا، يَخْتَصِمُونَ إِلَيْهِ فِي وَلَدٍ، وَقَدْ وَقَعُوا عَلَى امْرَأَةٍ فِي طُهْرٍ وَاحِدٍ، فَقَالَ: لِاثْنَيْنِ مِنْهُمَا طِيبَا بِالْوَلَدِ لِهَذَا فَغَلَيَا، ثُمَّ قَالَ: لِاثْنَيْنِ طِيبَا بِالْوَلَدِ لِهَذَا فَغَلَيَا، ثُمَّ قَالَ: لِاثْنَيْنِ طِيبَا بِالْوَلَدِ لِهَذَا فَغَلَيَا، فَقَالَ: أَنْتُمْ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ، إِنِّي مُقْرِعٌ بَيْنَكُمْ فَمَنْ قَرَعَ فَلَهُ الْوَلَدُ، وَعَلَيْهِ لِصَاحِبَيْهِ ثُلُثَا الدِّيَةِ، فَأَقْرَعَ بَيْنَهُمْ، فَجَعَلَهُ لِمَنْ قَرَعَ، �فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَضْرَاسُهُ أَوْ نَوَاجِذُهُ�

 

Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya dari al-Ajlah , dari asy-Sya'bi dari Abdullah bin al-Khalil dari Zaid bin Arqam, ia berkata; aku pernah duduk bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kemudian terdapat seorang laki-laki dari Yaman yang masuk dan berkata; sesungguhnya terdapat tiga orang penduduk Yaman datang kepada Ali, mereka memperselisihkan kepada Ali mengenai anak yang dilahirkan oleh seorang wanita yang telah mereka gauli dalam satu masa suci. Kemudian Ali berkata kepada dua orang diantara mereka relakan anak itu untuk orang ini! Kemudian mereka berteriak, kemudian ia berkata; kepada dua orang; relakan anak tersebut untuk orang ini! Kemudian mereka berdua berteriak, kemudian ia berkata kepada dua orang; relakan anak tersebut untuk orang ini! Kemudian mereka berteriak. Lalu Ali berkata; kalian adalah sekutu yang saling berseteru, aku akan mengundi kalian. Barangsiapa yang keluar undiannya, maka anak tersebut adalah miliknya dan ia wajib membayar kepada kedua sahabatnya dua pertiga diyah. Kemudian Ali mengundi diantara mereka. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tertawa hingga nampak gigi-gigi geraham beliau atau gigi-gigi seri beliau.

Takhrij Hadis

Hadis Riwayat Imam an-Nasai

 

2270-حَدَّثَنَا خُشَيْشُ بْنُ أَصْرَمَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا الثَّوْرِيُّ، عَنْ صَالِحٍ الْهَمْدَانِيِّ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَبْدِ خَيْرٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ: أُتِيَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِثَلَاثَةٍ، وَهُوَ بِالْيَمَنِ وَقَعُوا عَلَى امْرَأَةٍ فِي طُهْرٍ وَاحِدٍ، فَسَأَلَ اثْنَيْنِ: أَتُقِرَّانِ لِهَذَا بِالْوَلَدِ؟ قَالَا: لَا، حَتَّى سَأَلَهُمْ جَمِيعًا، فَجَعَلَ كُلَّمَا سَأَلَ اثْنَيْنِ، قَالَا: لَا، فَأَقْرَعَ بَيْنَهُمْ فَأَلْحَقَ الْوَلَدَ بِالَّذِي صَارَتْ عَلَيْهِ الْقُرْعَةُ، وَجَعَلَ عَلَيْهِ ثُلُثَيِ الدِّيَةِ، قَالَ: �فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ�

 

Hadis Riwayat Imam an-Nasai

 

3488- أَخْبَرَنَا أَبُو عَاصِمٍ خُشَيْشُ بْنُ أَصْرَمَ، قَالَ: أَنْبَأَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ: أَنْبَأَنَا الثَّوْرِيُّ، عَنْ صَالِحٍ الْهَمْدَانِيِّ، عَنْ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَبْدِ خَيْرٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ، قَالَ: " أُتِيَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِثَلَاثَةٍ وَهُوَ بِالْيَمَنِ وَقَعُوا عَلَى امْرَأَةٍ فِي طُهْرٍ وَاحِدٍ، فَسَأَلَ اثْنَيْنِ: أَتُقِرَّانِ لِهَذَا بِالْوَلَدِ؟ قَالَا: لَا، ثُمَّ سَأَلَ اثْنَيْنِ: أَتُقِرَّانِ لِهَذَا بِالْوَلَدِ؟ قَالَا: لَا، فَأَقْرَعَ بَيْنَهُمْ فَأَلْحَقَ الْوَلَدَ بِالَّذِي صَارَتْ عَلَيْهِ الْقُرْعَةُ، وَجَعَلَ عَلَيْهِ ثُلُثَيِ الدِّيَةِ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ �فَضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ�

 

Hadis Riwayat Imam Ibnu Majah

 

2348-حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ: أَنْبَأَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ: أَنْبَأَنَا الثَّوْرِيُّ، عَنْ صَالِحٍ الْهَمْدَانِيِّ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَبْدِ خَيْرٍ الْحَضْرَمِيِّ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ، قَالَ: أُتِيَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَهُوَ بِالْيَمَنِ، فِي ثَلَاثَةٍ قَدْ وَقَعُوا عَلَى امْرَأَةٍ فِي طُهْرٍ وَاحِدٍ، فَسَأَلَ اثْنَيْنِ، فَقَالَ: �أَتُقِرَّانِ لِهَذَا بِالْوَلَدِ؟� فَقَالَا: لَا، ثُمَّ سَأَلَ اثْنَيْنِ، فَقَالَ: �أَتُقِرَّانِ لِهَذَا بِالْوَلَدِ؟� فَقَالَا: لَا، فَجَعَلَ كُلَّمَا سَأَلَ اثْنَيْنِ: �أَتُقِرَّانِ لِهَذَا بِالْوَلَدِ؟� قَالَا: لَا، �فَأَقْرَعَ بَيْنَهُمْ، وَأَلْحَقَ الْوَلَدَ بِالَّذِي أَصَابَتْهُ الْقُرْعَةُ، وَجَعَلَ عَلَيْهِ ثُلُثَيِ الدِّيَةِ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ�

Data Perawi

1.      Abu Daud

Nama lengkap ����������� : Sulaiman bin Asy�as bin Ishaq Bashir bin Shadad

Lahir��������������� ����������� : 202 H

Wafat������������� ����������� : 275 H

Guru��������������� ����������� : Musaddad bin Masarhad, Muhammad bin Yunus an-Nasai

Murid������������� ����������� : at-Turmudhi, Abu Abd Allah bin Abu Daud

Jarh wa at-Ta�dil�������� : Ibn H{ajar���� : Thiqah, H{afidh

����������������������������������� � Adz-Dzahabi : al-H{afidh

2.      Musaddad

Nama lengkap������������ : Musaddad bin Masarhad

Lahir��������������������������� : -

Wafat������������������������� : 228 H

Guru��������������������������� : Yahya bin Said bin Furukh al-Qathan, Yusuf bin Ya�qub

Murid������������������������� : Bukhari, Abu Daud, Abu Hatim

Jarh wa at-Ta�dil�������� : Ibn H{ajar���� : Thiqah, H{afidh

����������������������������������� � Adz-Dzahabi : al-H{afidh

3.      Yahya

Nama lengkap������������ : Yahya bin Said bin Furukh al-Qathan

Lahir��������������������������� : 120 H

Wafat������������������������� : 198 H

Guru��������������������������� : al-Ajlah bin Abd Allah al-Kindi, Ismail bin Abi Khalid

Murid������������������������� : Musaddad bin Masrohit, Sufyan at-Tsauri

Jarh wa at-Ta�dil�������� : Ibn H{ajar���� : Thiqah, H{afidh

����������������������������������� � Adz-Dzahabi : al-H{afidh al-Kabir

4.      Ajlah

Nama lengkap������������ : al-Ajlah bin Abd Allah al-Kindi

Lahir��������������������������� : -

Wafat������������������������� : 145 H

Guru��������������������������� : Amr asy-Sya�bi, Qais bin Muslim

Murid������������������������� : Yahya bin Said bin Furukh al-Qathan

Jarh wa at-Ta�dil�������� : Ibn H{ajar���� : Saduq

����������������������������������� � Adz-Dzahabi : Thiqah

5.      Asy-Sya�bi

Nama lengkap������������ : Amr asy-Syarahil

Lahir��������������������������� :-

Wafat������������������������� : 100 H

Guru��������������������������� : Abd Allah bin Khalil al-H{adrami, Abd Allah bin Abbas

Murid������������������������� : al-Ajlah bin Abd Allah, Asma� bin �Ubaid

Jarh wa at-Ta�dil�������� : Ibn H{ajar���� : Thiqah

����������������������������������� � Adz-Dzahabi : Ahad al-A�lam

6.      Abdu Allah bin al-Khalil

Nama lengkap������������ : Abd Allah bin Khalil al-H{adrami

Lahir��������������������������� :-

Wafat������������������������� :-

Guru��������������������������� : Zaid bin Arqam, Zaid bin Thabit

Murid������������������������� : Amr asy-Syarahil, Ibrahim bin Raja�

Jarh wa at-Ta�dil�������� : Ibn H{ajar���� : Maqbul

7.      Zaid bin Arqam

Nama lengkap������������ : Zaid bin Arqam

Lahir��������������������������� :-

Wafat������������������������� : 68 H

Guru��������������������������� : Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib

Murid������������������������� : Abd Allah bin Khalil al-H{adrami, Muhammad bin Ka�ab

Jarh wa at-Ta�dil�������� : Ibn H{ajar���� : Sahabat Masyhur

Dari data rawi diatas menunjukkan bahwa semua rawi dalam sanad hadis diatas mengandung indikasi adanya pertemuan. Hal ini terbukti dari adanya hubungan guru dan murid dimulai dari Mukharrij Abu Daud berguru ke Musaddad dan seterusnya. Dengan semikian dapat disimpulkan bahwa hadis diatas dari jalur Zaid bin Arqam bersambung sanad(muttasil).

Hadis dari jalur Zaid bin Arqam belum ditemukan letak Tajrih. Walaupun tidak semua perawi dalam sanad mendapat peringkat S|iqah dan tidak pada peringkat pertama. Namun, hadis diatas masih berada dalam tataran Ta�dil. S{iqah antara Az|-Z|ahabi dan Ibn H|ajar berbeda tipis. Dari beberapa bukti yang telah didapat, maka dapat diambil kesimpulan bahwa status kualitas hadis tersebut adalah shahih li ghairih. Dan dapat dijadikan hujjah.

Pemaknaan Tertawa dalam Kajian Psikologi

Islam adalah agama samawi wahyu dari Allah swt. Setiap perintah dan larangan Allah swt tersirat rahasia dan kebijaksanaanNya yang �bisa jadi sulit dijangkau maknanya oleh akal manusia tanpa bimbingan rasul (Zamy, 2021). Begitu pula dengan tertawa. Dalil-dalil yang menunjukkan eksistensi tertawa ternyata baru terbukti di zaman modern. Alat bantu untuk memahami dalil tersebut yakni Ilmu Modern yang salah satunya berupa Psikologi. Awalnya tertawa diketahui sebagai media kebahagiaan, namun ternyata lambat laun perilaku ini mempunyai kenegatifan juga.

Tertawa juga tidak luput dari pembahasan hadis. Didalam hadis, tertawa merupakan bagian dari sikap manusia yang sangat erat dengan etika ataupun muamalah. Maha besar Allah yang mengangkat derajat Nabi Saw hingga tawanya tercatat dalam kitab-kitab. Kisah tertawa tersebut seolah-olah merupakan kisah yang aneh namun berisi panutan dan nasihat. Allah terus memberkati Rasul Saw yang berkedudukan mulia dan membuat humor ataupun tertawanya Rasulullah direkam menjadi sesuatu yang patut diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya seperti hadis di atas (Dahlia, 2019).

Muhammad Nasrullah menemukan kata Dahik atau tertawa dalam Mu�jam mufradat Alfazil al-Quran yang memaknai dengan berseri-serinya wajah dan tampaknya gigi-gigi dari seorang yang bahagia (Nedih, 2018). Begitu pula yang termaktub dalam QS. An-Najm ayat 43 menyatakan bahwa Rasul dalam hal ini membuktikan fitrah manusia �Dan, bahwa dadalah yang menjadikan orang tertawa dan menangis�. Baik dalam perasaan senang maupun sedih, manusia dapat mengekspresikannya dengan tertawa, dari bervariasinya motif ini nantinya akan memunculkan dampak baik pada fisik ataupun psikis. Dampak tersebut dapat memberikan efek positif ataupun sebaliknya. Dari hal inilah perlu dianalisis lebih dalam perasaannya yang terlihat secara langsung atau juga dapat melalui diagnosa. Melalui diagnosa ini biasanya akan ditemukan alasan detail dan dampaknya dalam pengekspresian tertawa seorang manusia. Selanjutnya akan coba dipahami hadis tertawa dengan alat bantu untuk memahami hadis yakni berupa Psikologi.

Keduanya(dalil dan psikologi) saling melengkapi dan memberikan penguat-penguat pengetahuan. Tertawa dalam redaksi hadis hanya menunjukkan kalimat-kalimat yang sifatnya umum. Terdapat pula hadis yang memaparkan dampak akan banyaknya tertawa, sebagai berikut:

 

4193-حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ الْحَنَفِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُنَيْنٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: �لَا تُكْثِرُوا الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ�

 

Telah menceritakan kepada kami Bakar bin Khalaf, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Hanafi, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid bin Ja'far dari Ibrahim bin Abdullah dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah bersabda," Janganlah kalian banyak tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati."

Begitu pula dalam psikologi menjelaskan adanya relasi. Bahwa tertawa yang berlebihan berdampak pada bagian saraf otak dan bahkan banyak tertawa akan memproduksi hormon pemicu kesenangan yang berlebihan. Apabila hormon ini tidak stabil atau bahkan dalam kondisi drop, maka kesenangan akan berubah menjadi kegalauan.

Tubuh manusia terbagi dua yakni fisik atau jasad dan Psikis atau mental. Tertawa dikatakan menyehatkan mental apabila tertawa tersebut mencapai kriteria-kriteria yang dianggap menyehatkan mental. Beberapa kriteria tersebut antara lain:

1.      Menyesuaikan diri secara konstruktif dengan kenyataan, walaupun kenyataan sangat buruk. Individu akan beradaptasi dengan lingkungannya dengan turut andil dalam kelompok tersebut. Individu bersifat loyal dan mementingkan kepentingan kelompok.

2.      Bebas dari rasa tegang dan cemas. Kedua sikap ini memang ada pada diri manusia namun bukan selalu menjadi hal yang ada di kehidupan. Keberadaan rasa tegang ataupun cemas bagi individu yang sehat mental tidak akan begitu terlihat. Misalnya percaya diri dalam menghadapi ujian akhir. Ketegangan akan berkurang bagi mereka yang mempunyai persiapan matang. Berbeda dengan individu yang kurang persiapan dan kurang percaya diri tentunya akan bersikap sebaliknya yakni gugup bahkan akan merasa tegang dan cemas. Hingga akhirnya berdampak pada pikiran kosong.

3.      Memperoleh kepuasan jiwa dari hasil tindakan pribadi. Individu akan pandai bersyukur atas rizki yang telah diberikan oleh Allah Swt. Setiap hasil dari usaha mencapai keberhasilan selalu disyukuri dan dinikmati.

4.      Menyelesaikan permusuhan, dengki, dan iri. Orang yang bermental sehat akan memberikan saran atau bahkan mengatasi suatu pertikaian dengan bijak. Individu ini merupakan pribadi yang solutif. Contoh yang demikian dapat juga dikaitkan dengan penjelasan tertawanya Rasulullah melihat sikap solutif Ali yang mengundi kasus hak asuh anak.

5.      Mempunyai jiwa kasih sayang dan suka memberi. Bermental sehat berarti mempunyai rasa simpati ataupun empati yang tinggi. Misalnya memberikan hiburan kepada orang yang bersedih ataupun tertimpa musibah sehingga mereka tertawa bahagia walaupun dalam keadaan susah (Kholel, 2020).

Dampak Positif Tertawa Dan Pemaknaan Hadis Melalui Pendekatan Psikologi

Tingkah laku manusia merupakan cerminan mental. Tertawa kecil atau tersenyum secara sederhana akan menggambarkan bahwa kondisi tubuh sedang dalam keadaan bahagia. Seseorang tidak dapat memikirkan pikiran marah saat tersenyum. Gaya hidup ini lebih efisien untuk diterapkan dalam kehidupan; setiap waktu dan dimana pun. Aid al-Qarni mengatakan ada penelitian dan riset-riset ilmiah yang menemukan bahwa mayoritas penyakit stress dan kebosanan atau merasa sempit itu timbul dari terlalu tenggelamnya seseorang dalam pekerjaan yang terus menerus. Hal ini membuat seseorang menjadi terlalu tegang, bosan, cepat tersinggung dan pemarah dan resepnya adalah dengan tertawa.

As�adi Muhammad dalam bukunya merangkum bahwa tertawa dapat menyingkirkan energi-energi negatif seseorang lantaran ada 4 faktor, yakni:

1.      Tertawa �melarutkan� kesedihan, kecemasan, dan kemarahan. Poin ini merupakan bagian dari emosi manusia. Terutama kesedihan, banyak orang diluapkan dengan bentuk tangisan. Namun, untuk mengurangi kesedihan tentunya manusia juga boleh tertawa sebab dengan tertawa akan membuat seseorang akan menjadi tenang.

2.      Tertawa membantu seseorang untuk bersantai dan mengisi ulang hari-harinya. Saat bersantai tentunya tidak harus diisi dengan hal-hal yang menjenuhkan. Perlu diisi dengan sesuatu yang humoris yang membuat tertawa dan suasana tidak terkesan kaku.

3.      Tertawa bisa menggeser pikiran-pikiran negatif. Kebanyakan orang meyakini bahwa sikap tergantung pada suasana hati. Apabila sedang tidak mood maka muka akan terlihat muram dan tidak perhatian, serta kurang tanggap jika dipanggil oleh orang lain. Sebaliknya, saat pikiran tenang atau stabil, seseorang lebih tanggap terhadap panggilan ataupun suara orang lain.

4.      Ketika tertawa, hal ini akan mengeluarkan hormon kebahagiaan. Penyebab munculnya tertawa adalah perasaan senang. Struktur otak yang berperan dalam pemunculan tertawa adalah hipotalmus. Salah satu bagian dari hipotalmus adalah kelenjar ptuitari. Saat seseorang tertawa maka kelenjar ptuitari melepaskan hormon yang dinamakan Serotonin. Fungsi serotonin yakni sebagai Neurotransmitter. Ternyata serotonin tidak sendiri dalam membangun perasaan senang atau tenang. Saat manusia tertawa juga mengeluarkan endorphin yang dihasilkan oleh kelenjar ptuitari dan hipotalmus. Endorfin mampu melepaskan sinyal rasa sakit yang berlebihan. Setelah cidera, dengan endorfphin, seseorang dapat melakukan control diri, sehingga memungkinkan untuk melakukan aktifitas sepanjang waktu.[1]

Lain lagi dalam dunia kesehatan, salah satunya menyatakan bahwa tertawa bukan malah menyebabkan awet muda seperti statement yang biasa didengar, melainkan akan cepat memunculkan kesan tua. Saat tertawa sebagan besar otot wajah akan mengencang. Kulit permukaanpun akan tertarik, terlipat, dan lama-lama keriput. Dr. Laksmi Duarsa, SpKK, dokter kulit RS. Surya Husadha membenarkan hal itu. Tertawa memang membuat keriput karena saat tertawa wajah akan mengalami banyak kontraksi (Darmawan, 2013).

Tips supaya bisa senyum tanpa khawatir keriput yaitu kurangi kontraksi pada wajah. senyum sekadarnya, jangan berlebihan karena jika berlebihan akan menimbulkan keriput. Tertawa sebagai pelampiasan bahagia bisa membuat seseorang awet muda. Sekedar senyum pun dapat memberikan efek awet muda. Bukan soal penampilan di permukaan kulit saja, melainkan awet muda dilihat dari kualitas hidup seseorang. Pada dasarnya senyum itu berasal dari jiwa yang tenang dan senang. Jika sedang mencapai kebahagiaan, manusia akan tersenyum (Sutarto, 2013).

Reward atau penghargaan bagi orang yang tertawa yang dijelaskan dalam hadis juga didapati dalam psikologi. Fisik dan mental merasakan hal yang positif. Wajah akan terlihat lebih muda dan stress akan hilang. Selain itu, terapi tertawa menunjukkan eksistensi kebaikan tertawa. Terapi ini terbukti mampu meyembuhkan penyakit-penyakit seperti tekanan darah tinggi ataupun stress. Relasi hadis dengan psikologi sangat kuat yakni adanya titik temu dari kedua ilmu tersebut. Hadis ataupun Psikilogi sama-sama menunjukkan bukti akan kebenaran al-Qur�an yang menjelaskan prinsip keseimbangan. Sebagaimana yang termaktub dalam QS. Ar-Rahman: 7-9:

 

وَالسَّماءَ رَفَعَها وَوَضَعَ الْمِيزانَ () أَلاَّ تَطْغَوْا فِي الْمِيزانِ () وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلا تُخْسِرُوا الْمِيزانَ

 

Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu

Tertawa dalam sudut pandang hadis ataupun psikologi mempunyai titik temu berupa kesamaan pemahaman. Tertawa merupakan kegiatan yang sangat dibolehkan untuk dilakukan selama tidak melenceng dari dogma-dogma agama. Tertawa ala kadarnya, tidak meyakiti perasaan, dan dalam skala kecil. Sedangkan psikologi memberikan ladang yang luas untuk memahami dogma tersebut. Perilaku tertawa sangat dibolehkan sebab dampaknya akan langsung dirasakan oleh pelakunya. Keseimbangan yang diajarkan oleh Allah yang takdir yang digariskan oleh-Nya. Setiap kesedihan ada kesengan yang ditandai dengan menangis dan tertawa. al-Qur�an meletakkan kata tertawa dan menangis dalam satu ayat yang indikasinya yakni fitrah manusia sebagai insan yang pasti mengalami tertawa dan menangis. Sedangkan dalam psikologi tertawa juga mengajarkan hal yang sama yakni setiap manusia tetap dianjurkan untuk tetawa dan menangis.

Kebaikan tertawa seperti terapi tertawa pasti membawa kemanfaatan. Bahkan orang yang tersenyum akan mendapatkan balasan berupa turunnya stress. Wajar saja kalau hadis memberikan nilai tertawa setara dengan sedekah, hadisnya sebagai berikut:

1956-حَدَّثَنَا عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنَا النَّضْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجُرَشِيُّ الْيَمَامِيُّ حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو زُمَيْلٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ وَأَمْرُكَ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيُكَ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَإِرْشَادُكَ الرَّجُلَ فِي أَرْضِ الضَّلَالِ لَكَ صَدَقَةٌ وَبَصَرُكَ لِلرَّجُلِ الرَّدِيءِ الْبَصَرِ لَكَ صَدَقَةٌ وَإِمَاطَتُكَ الْحَجَرَ وَالشَّوْكَةَ وَالْعَظْمَ عَنْ الطَّرِيقِ لَكَ صَدَقَةٌ وَإِفْرَاغُكَ مِنْ دَلْوِكَ فِي دَلْوِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ

Telah menceritakan kepada kami Abbas bin Abdul Azhim Al Anbari, telah menceritakan kepada kami An Nadlr bin Muhammad Al Jurasyi Al Yamami, telah menceritakan kepada kami Ikrimah bin Ammar, telah menceritakan kepada kami Abu Zuamail dari Malik bin Martsad dari bapaknya dari Abu Dzarr ia berkata, Rasulullah bersabda, "Senyummu kepada saudaramu merupakan sedekah, engkau berbuat ma'ruf dan melarang dari kemungkaran juga sedekah, engkau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat juga sedekah, engkau menuntun orang yang berpenglihatan kabur juga sedekah, menyingkirkan batu, duri dan tulang dari jalan merupakan sedekah, dan engkau menuangkan air dari embermu ke ember saudaramu juga sedekah."

Islam sebagai agama paripurna yang sempurna menyimpan permasalahan yang selalu dapat di kompromikan dengan ilmu kekinian. Sehingga pemahaman mengenai tertawa ataupun pemahaman lain akan terus bergulir seiring perkembangan zaman.

 

Kesimpulan

Mempelajari agama dengan pendekatan psikologi berarti mencoba melihat agama dari kacamata psikologi. Pemahaman hadis melalui pendekatan psikologi memiliki 2 artian. yang pertama adalah pemahaman hadis dengan pendekatan psikologi adalah pendekatan yang menekankan pada kondisi kejiwaan seseorang atau kepada siapa hadis tersebut ditujukan. Selain itu, dalam upaya memahami sebuah hadis juga diperlukan teori dan metode pendekatan agar bisa mendapat informasi dan historisnya dengan tujuan memperoleh keontentikan pada hadis dan memperoleh pemahamannya. Adapun salah satunya adalah menggunakan pemahaman melalui pendekatan psikologi. Dari kedua pengertian ini sama-sama mencakup ilmu maanil hadis didalamnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adi, L. (2022). Pendidikan keluarga dalam perspektif Islam. Jurnal Pendidikan Ar-Rasyid, 7(1), 1�9.

 

Dahlia, L. (2019). Fenomena prank dalam perspektif hadis (kajian ma�ani al-hadith No. Indeks 5004 melalui pendekatan sosio-historis). UIN Sunan Ampel Surabaya.

 

Dalil, F. Y. M. (2017). Hadis-Hadis tentang Farmasi; Sebuah Kajian Integratif dalam Memahami Hadis Rasulullah. Proceeding IAIN Batusangkar, 1(1), 309�326.

 

Darmawan, A. B. (2013). Anti-Aging Rahasia Tampil Muda di Segala Usia. MediaPressindo.

 

Fitri, A. (2018). Pendidikan karakter prespektif al-Quran hadits. TA�LIM: Jurnal Studi Pendidikan Islam, 1(2), 258�287.

 

Fitri, H. (2020). Urgensi Psikologi Pendidikan Islami dalam Pengajaran. Ihya Al-Arabiyah: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Arab, 6(1), 140�150.

 

Hamid, A. (2017). Agama dan kesehatan mental dalam perspektif psikologi agama. Healthy Tadulako Journal (Jurnal Kesehatan Tadulako), 3(1), 1�14.

 

Haris, M. (2018). Pendekatan Psikologi Dalam Studi Islam. Palita: Journal of Social Religion Research, 2(1), 73�90.

 

Hasanah, U., & Suatuti, E. (2020). Buku Ajar Teori Hukum. SCOPINDO MEDIA PUSTAKA.

 

Ichwan, M. N. (2013). Towards a puritanical moderate Islam: The Majelis Ulama Indonesia and the politics of religious orthodoxy. Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the �conservative Turn, 60�104.

 

Kholel, A. (2020). Fanatisme dan solidaritas suporter Ultras Gresik dalam mendukung tim Gresik United. UIN Sunan Ampel Surabaya.

 

Manara, M. U. (2014). Hard Skills dan Soft Skills pada Bagian Sumber Daya Manusia di Organisasi Industri. Jurnal Psikologi Tabularasa, 9(1).

 

Mansir, F. (2018). Pendekatan psikologi dalam kajian pendidikan islam. Psikis: Jurnal Psikologi Islami, 4(1), 61�73.

 

Muhazir, M. (2022). Studi Komparasi Metode Hermeneutika Hadis Perspektif Khaled M. Aboe el Fadl dan M. Syuhudi Ismail. El-Mizzi: Jurnal Ilmu Hadis, 1(1), 36�56.

 

Nadhiran, H., & Hayati, S. (2022). Kerangka Pemahaman Hadis Hasbi Ash-Shiddieqy. Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran, Dan Fenomena Agama, 23(1), 52�75.

 

Nedih, Z. I. (2018). Kajian Tematik Tentang Hadis-Hadis Tertawa Dengan Pendekatan Psikologi. Jakarta: Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah.

 

Nurmala, A. H. (2013). Pengaruh perkembangan psikologi anak sd terhadap keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689�1699.

 

Siregar, E. (2017). Hakikat Manusia (Tela�ah Istilah Manusia Versi Al-Qur�an dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam). Majalah Ilmu Pengetahuan Dan Pemikiran Keagamaan Tajdid, 20(2), 48�67.

 

Susantyo, B. (2011). Memahami perilaku agresif: Sebuah tinjauan konseptual. Sosio Informa: Kajian Permasalahan Sosial Dan Usaha Kesejahteraan Sosial, 16(3).

 

Sutarto, J. T. (2013). Pensiun, Bukan Akhir Segalanya. Gramedia Pustaka Utama.

 

Tajang, A. D. (2020). Pendekatan Psikologi Dalam Studi Hadis (Sebuah Pengantar). Jurnal Ushuluddin: Media Dialog Pemikiran Islam, 22(1).

 

Wahid, A. (2014). Konsep ilmu pengetahuan menurut Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, serta implikasinya terhadap pengembangan pendidikan Islam. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

 

Zakiyah, Z., Saputra, E., & Alhafiza, R. G. (2020). Rekonstruksi Pemahaman Hadis dan Sunnah Menurut Fazlur Rahman. Mashdar: Jurnal Studi Al-Qur�an Dan Hadis, 2(1), 19�36.

 

Zamy, M. N. S. Z. (2021). Kesaksian Ulul�Ilmi terhadap Ke-Esaan Allah dalam Surat Al-Imran Ayat 18: studi Tafsir Al-Azhar Karya Hamka. UIN Sunan Ampel.

 

Copyright holder:

Ni�matul Khoiroh, Zulfa Ma�rifatul Azizah, Yunita Indrawati (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under:

 



[1]Hardiono Puspo Negoro, �Peran Seretonin pada Anak�, Jurnal Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4, Mei 2007, 117