Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 4, April 2023

 

PENERAPAN SISTEM PROPORSIONAL TERBUKA DAN KONVERSI KURSI SAINTE-LAGUE PADA PEMILU 2019: STUDI KASUS DAPIL 1 DPRD PROVINSI JAWA TENGAH

 

Yohanes Baptista Chrismayoga

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro

Email: [email protected]

 

Abstrak

Indonesia sejak Pemilu tahun 2004 menerapkan sistem proporsional terbuka dengan metode konversi kuota hare. Pada pemilu 2019, walaupun masih mengusung sistem pemilu yang sama, namun terdapat perubahan pada metode konversi kursi, yang kini menggunakan sainte-lague. Dengan metode penelitian studi kasus dan studi pustaka, artikel ini dimaksudkan untuk mensosialisasikan penerapan metode konversi sainte-lague kepada masyarakat Indonesia. Studi kasus pada dapil 1 DPRD Provinsi Jawa Tengah dipilih karena pada dapil ini terlihat bahwa perolehan suara dan perolehan kursi yang diperoleh masing-masing partai politik berbanding lurus.

 

Kata kunci: Pemilu 2019; Proporsional terbuka; Sainte-lague.

 

Abstract

Indonesia since the 2004 elections has implemented an open proportional system with the hare quota conversion method. In the 2019 election, although it still carries the same electoral system, there have been changes to the seat conversion method, which now uses sainte-lague. With case study research methods and literature studies, this article is intended to socialize the application of the sainte-lague conversion method to the people of Indonesia. The case study in the 1st seat of the Central Java Provincial DPRD was chosen because in this election it can be seen that the votes and seats obtained by each political party are directly proportional.

 

Keywords: 2019 election; Open proportional; Sainte-lague

 

Pendahuluan

Demokrasi yang secara resmi berlaku di Negara Indonesia sejak Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berlaku disebut demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila adalah pemerintahan dengan kedaulatan tertinggi dipegang oleh rakyat yang dijiwai oleh nilai-nilai luhur Pancasila. Dengan kata lain bahwa hak-hak demokrasi warga negara haruslah didasarkan pada rasa tanggung jawab kapada Tuhan Yang Maha Esa, selalu menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan berkeadaban, serta menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa dan harus mewujudkan keadilan social.

Pemilu merupakan perwujudan dari pelaksanaan demokrasi. Melalui Pemilu, diharapkan akan menghasilkan pemerintah yang dapat dipercaya. Pemilu juga merupakan sebuah sarana pergantian elit politik yang aman dan demokratis untuk menghindari gejolak (Sinurat, 2020). Pemilu di Indonesia sejak tahun 1977 telah dilaksanakan dalam siklus lima tahun sekali. Partai politik (parpol) memiliki peran penting dalam proses Pemilu di Indonesia yaitu sebagai kendaraan politik calon pejabat untuk mendapatkan jabatan politik (Gunanto, 2020). Dengan kata lain, Pemilu merupakan sarana untuk menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat di legislatif maupun eksekutif untuk menjalankan roda pemerintahan (Sondakh, 2019).

Menurut Surbakti (2020), pemilu merupakan cara yang diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil rakyat secara demokratis. Pernyataan subakti merupakan penjabaran dari konsep kedaulatan rakyat dalam sistem perwakilan. Dalam demokrasi perwakilan, para wakil rakyat yang duduk di parlemen diberi mandat oleh rakyat untuk bertindak atas nama rakyat dan untuk rakyat. Agar parlemen berjalan sesuai mandat, maka perwakilan di parlemen harus dipilih melalui mekanisme yang disebut pemilu (Rosidi, 2015). Sistem pemilu berfungsi mengkonversi perolehan suara menjadi kursi yang dimenangkan calon dan parpol. Pemilihan sistem pemilu berpengaruh pada bidang lain seperti pembentukan daerah pemilihan, cara pendaftaran pemilih, desain surat suara, cara penghitungan dan cara konversi kursi (Raden, 2021). Pembangunan politik tidak dapat lepas dari pengaruh sistem pemilu yang diterapkan di masing-masing negara. Setiap sistem pemilu memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, aspek-aspek yang dipengaruhi dari sistem pemilu antara lain aspek proporsionalitas perwakilan, aspek kepartaian dan aspek kabinet yang terbentuk (Andriana, 2014).

Sistem proporsional merupakan salah satu sistem Pemilu yang dikenal di dunia. Sistem proporsional disebut juga sistem perwakilan berimbang, sistem ini menganut asas bahwa proporsi kursi yang diperoleh oleh parpol dalam suatu daerah pemilihan berbanding lurus dengan perolehan suara partai tersebut. Sistem ini terdapat 2 (dua) varian, proportional representative dan single transferrable vote. Proportional representative adalah dalam pemungutan suara ada daftar calon dan daftar partai untuk dipilih oleh pemilih (Arif, 2019). Single transferrable vote memiliki ciri yang hampir sama dengan proportional representative, namun pada sistem ini dimungkinkan calon terpilih mentransfer suara kepada Calon lain dalam partai yang sama (Tanjung, 2023).

Selama penyelenggaraan Pemilu sejak tahun 1955, Indonesia telah mengenal 2 (dua) jenis sistem pemilu. Sistem pemilu proporsional tertutup digunakan pada Pemilu 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 dan 1999. Mulai Pemilu tahun 2004 menggunakan sistem daftar setengah terbuka (semi-open list PR), dan Pemilu Tahun 2009, 2014 dan 2019 menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka. Menurut Saeful (2020), sistem pemilu adalah perangkat variabel yang digunakan untuk mengkonversi perolehan suara parpol menjadi kursi. Artikel ini ditulis berdasarkan polemik yang berkembang pada akhir tahun 2022 tentang sistem pemilu legislatif, apakah tetap proporsional terbuka yang sudah diterapkan sejak tahun 2004 atau diubah menjadi proprosional tertutup seperti pada masa orde baru serta pembuktian bahwa sistem konversi kursi sainte-lague yang diadaptasi pada Pemilu 2019 merupakan sistem yang tepat karena menghasilkan kursi yang sesuai dengan perolehan suara masing-masing parpol.

 

Metode Penelitian

Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan data kepustakaan dan mengolah bahan penelitian menggunakan buku dan jurnal yang relevan dengan penelitian. Melalui artikel ini, diharapkan dapat memberi informasi dan pengertian kepada masyarakat tentang sistem pemilu proporsional terbuka dan metode konversi kursi sainte-lague dengan studi kasus pada penetapan perolehan kursi di daerah pemilihan (dapil) 1 DPRD Provinsi Jawa Tengah

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Sistem Proporsional Terbuka

Sistem proporsional merupakan sistem pemilu yang membagi kursi di parlemen sesuai dengan perolehan suara yang diperoleh masing-masing partai. Sistem proporsional ini terdiri dari dua varian, yaitu berdasarkan daftar (list) dan berdasarkan peringkat (single transferable votes) (Pratiwi, 2018). Pada sistem proporsional dalam satu daerah pemilihan terdapat banyak calon yang berarti terdapat banyak kursi untuk diperebutkan. Dalam daerah pemilihan terdapat kursi yang akan diperoleh setiap parpol berdasarkan jumlah suara yang diperoleh parpol dan calon. Sistem proporsional diselenggarakan dalam negara yang memiliki multi partai seperti Belgia, Swedia, Italia, Belanda dan Indonesia. Sistem proporsional terbuka lebih berpotensi membentuk kabinet koalisi antarpartai dibandingkan dengan sistem pemilu lainnya (Solihah, 2018).

Sistem proporsional varian list memiliki tiga subvarian yaitu daftar tertutup (close list), daftar terbuka (open list) dan daftar bebas (free list). Pada subvarian daftar terbuka atau yang sering disebut proporsional terbuka pemilih tidak hanya memilih partai politik, tetapi juga dapat memilih calon (Anggilia, 2022). Surat suara pada sistem proporsional terbuka selain terdapat tanda gambar parpol, juga terdapat nomor dan nama calon anggota legislatif. Jumlah kursi yang diperoleh oleh parpol sangat tergantung dari jumlah perolehan suara dari parpol dan seluruh calon di daerah pemilihan.

Pola persaingan pada sistem proporsional terbuka tidak lagi antar parpol tetapi juga antar Calon dalam satu parpol yang sama. Hal ini mendorong parpol menggunakan jalan pintas dengan merekrut orang-orang terkenal, artis, dan tokoh masyarakat menjadi calon untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya. Peran parpol sebagai peserta Pemilu tidak terlalu menonjol dalam sistem proporsional terbuka. Parpol mendorong para Calon untuk berjuang meraup suara yang berakibat terjadinya persaingan bahkan dalam satu parpol. Proporsional terbuka menempatkan konstituen lebih dekat dengan Calon, konstituen dapat memilih siapa yang tepat untuk mewakili suaranya di parlemen dan dapat menagih janjinya jika sudah terpilih nantinya.

Proporsi kursi yang diperoleh parpol di suatu dapil akan berbanding lurus dengan perolehan suaranya. Parpol dapat menyajikan daftar calon yang sama atau lebih banyak dari jumlah kursi, tergantung dari peraturan yang berlaku. Untuk di Indonesia, parpol dapat mengajukan calon paling banyak sama dengan jumlah kursi di dapil. Proporsional terbuka memiliki tingkat keadilan yang tinggi untuk calon, semakin dikenal calon maka semakin besar kemungkinan calon untuk terpilih. Hal ini mendorong calon berlomba-lomba untuk berkampanye dan bahkan menggunakan politik uang. Proporsional terbuka juga mendorong pendidikan politik di masyarakat, sebab pada sistem ini pemilih harus lebih selektif dan rasional dalam memberikan suaranya.

Dasar penggunaan proporsional terbuka sebagai sistem pemilu legislatif tahun 2019 termaktub dalam Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Proporsional terbuka pertama kali digunakan pada Pemilu 2009 sebagai dampak dari Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang pada putusannya mengubah sistem proporsional semi terbuka menjadi proporsional terbuka dengan berdasarkan suara terbanyak.

Penggunaan sistem proporsional terbuka merupakan suatu kemajuan karena pemilih diberikan pilihan nama calon anggota legislatif yang akan mewakili mereka di parlemen (Abdussamad & Faralita, 2023). Menurut Putusan MK No 22-24/PUU-VI/2008, proporsional terbuka adalah pilihan yang tepat berdasarkan pertimbangan bahwa bagi Indonesia yang berbentuk negara kesatuan dan masyarakat yang plural, sistem proporsional cocok diterapkan karena mengakomodir suara minoritas.

 

B.    Dampak Penerapan Sistem Proporsional Terbuka

Sisi positif dari sistem proporsional terbuka adalah daerah pemilihannya berdasarkan basis wilayah, sehingga setiap wilayah memiliki wakilnya masing-masing dan antara calon dan pemilih menjadi lebih dekat (Ratnasara, 2019). Kedekatan calon dan pemilih akan terjaga ketika calon terpilih menjadi anggota legislatif, karena calon membutuhkan suara pemilih maka calon akan sering menarik simpati pemilih agar kredibilitasnya terjaga. Dengan mengetahui nama calon serta latar belakang calon yang dipilihnya, pemilih dapat mengetahui siapa saja yang mengerti permasalahan di wilayahnya. Kelebihan lain dari proporsional terbuka adalah calon dengan nomor besar memiliki peluang yang sama untuk terpilih dengan calon yang bernomor kecil, semua calon memiliki peluang yang sama bergantung dari usaha masing-masing untuk meraih suara.

Dampak negatif dari penerapan sistem proporsional terbuka adalah meningkatnya biaya politik. Hal ini disebabkan karena calon harus memperkenalkan dirinya dengan lebih baik, karena untuk dapat terpilih harus memperoleh suara terbanyak. Demi mendapatkan suara pemilih, calon bahkan telah melakukan kampanye jauh sebelum tahapan kampanye berjalan dengan dalih sosialisasi. Keharusan menarik simpati masyarakat menjadikan calon menggunakan berbagai cara, salah satunya dengan politik uang. Akibatnya politik uang dan tingginya biaya politik menyebabkan semakin meningkatnya jumlah anggota legislatif di berbagai tingkatan yang terjerat kasus korupsi (Jamaludin, 2019).

Kelemahan dari sistem proporsional terbuka adalah memunculkan koalisi dan banyak partai di parlemen karena setiap partai memiliki peluang yang sama untuk menempatkan wakilnya (Effendi, 2016). Banyaknya partai dan tidak ada partai yang memiliki mayoritas kursi menyebabkan pengambilan keputusan membutuhkan waktu lebih panjang.

Kelebihan Sistem proporsional terbuka adalah bahwa sistem ini dianggap lebih representatif karena perolehan kursi di parleman sesuai dengan jumlah perolehan suara parpol sehingga meminimalisir distorsi antara perolehan suara dan kursi. Kelebihan lain dari sistem ini adalah semua suara dihitung sehingga partai kecil dan masyarakat minoritas memiliki peluang menempatkan wakilnya di parlemen.

Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah karena perolehan kursi ditentukan dari jumlah perolehan suara masing-masing parpol, maka parpol cenderung mencari cara yang cepat untuk mendulang suara. Salah satu cara yang digunakan adalah merekrut orang-orang terkenal seperti artis, tokoh masyarakat dan tokoh adat untuk menjadi calon anggota parlemen. Hal ini melemahkan proses kaderisasi di dalam internal parpol.

 

C.    Metode Konversi Suara Menjadi Kursi Pada Sistem Pemilu Proporsional

Dalam sistem pemilu proposional kita diperkenalkan dengan dua rumpun metode penghitungan suara: Kuota dan Divisor. Pada metode penghitungan kuota terdapat dua teknik penghitungan suara yakni Kuota Hare dan Kuota Droop. Kuota Hare merupakan salah satu teknik penghitungan suara yang paling sering digunakan dari pemilu ke pemilu di Indonesia. Terdapat dua tahapan yang perlu dilalui untuk mengkonversi suara menjadi kursi melalui teknik penghitungan Kuota Hare. Pertama, menentukan harga satu kursi dalam satu daerah pemilihan dengan menggunakan rumus V (vote): S (seat). Kedua, menghitung jumlah perolehan kursi masing-masing parpol dalam satu daerah pemilihan dengan cara jumlah perolehan suara partai di satu dapil di bagi dengan hasil hitung harga satu kursi. Serupa dengan Kuota Hare, teknik penghitungan suara Kuota Droop memiliki dua tahapan penghitungan. Hanya saja ketika menentukan harga satu kursi dalam satu daerah pemilihan, Kuota Droop mengharuskan jumlah alokasi kursi dalam satu daerah pemilihan di tambah satu. Sehingga rumus penghitungannya menjadi V: (S+1).

Berbeda dengan rumpun metode penghitungan suara Kuota. Metode penghitungan Divisor tidak menerapkan harga satu kursi sebagai bilangan pembagi untuk mencari perolehan kursi masing-masing partai. Akan tetapi metode penghitungan Divisor memiliki bilangan tetap untuk membagi perolehan suara masing-masing partai dengan logika jumlah perolehan suara tertinggi dari hasil pembagian di urutkan sesuai dengan alokasi kursi yang disediakan dalam satu daerah pemilih, berhak untuk memperoleh kursi.

Metode penghitungan suara Divisor terbagi kedalam tiga teknik penghitungan suara. Pertama, teknik penghitungan suara Divisor D�Hond dengan bilangan pembagi suara 1,2,3,4,5,6,......dst. Kedua, teknik penghitungan suara Divisor Sainte-Lague yang menerapkan bilangan pembagi suara berangka ganjil mulai dari 1,3,5,7,9,....dst. Ketiga, penghitungan suara Divisor Sainte-Lague Modifikasi dengan bilangan pembagi suara 1.4,3,5,7,9,....dst.

Teknik penghitungan Kuota Drop dan Divisor D�Hondt cenderung lebih menguntungkan partai-parpol besar dengan tingkat surplus kursi yang besarannya cukup singnifikan. Teknik penghitungan Kuota Drop dan Divisor D�Hondt cenderung mampu menyederhanakan sistem kepartaian akan tetapi berdampak pada tingkat disproposionalitas suara ke kursi yang cukup tinggi. Teknik penghitungan Kuota Hare dan Divisor Sainte-Lague cenderung ramah terhadap partai besar dan menengah dengan tingkat disproposionalitas suara cenderung rendah akan tetapi tidak memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap sistem kepartaian yang terbentuk. Berbeda dengan teknik penghitungan suara lainnya terutama Kuota Drop dan Divisor D'hondt yang berdampak pada rendahnya indeks ENPP. Konversi suara menjadi kursi dengan teknik Sainte-Lague Modifikasi tidak memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap penyederhanaan sistem kepartaian, justru menghasilkan indeks disproposionalitas yang cukup signifikan.

 

D.    Penerapan Sainte-Lague Pada Konversi Untuk Penetapan Kursi DPRD Provinsi Jawa Tengah

Setelah berakhirnya tahapan pemungutan, penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara pada 21 Mei 2019, tahapan berikutnnya telah menunggu yaitu tahapan penetapan perolehan kursi dan calon terpilih untuk setiap tingkatan. Pada Pemilu 2019, KPU untuk pertama kalinya menggunakan metode Sainte-Lague sebagai metode konversi suara ke kursi setelah Pemilu sebelumnya menggunakan metode Kuota Hare yang digunakan sejak Pemilu 1955.

Penggunaan metode Sainte-Lague diatur dalam Pasal 420 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Merujuk pada pasal tersebut, untuk melakukan konversi kursi harus melalui 4 (empat) langkah, antara lain : (1) penetapan jumlah suara sah setiap parpol peserta pemilu di daerah pemilihan sebagai suara sah setiap partai politik; (2) Mambagi suara sah setiap parpol dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3; 5; 7 dan seterusnya; (3) Hasil pembagian diurutkan berdasarkan jumlah nilai terbanyak; (4) nilai terbanyak pertama mendapatkan kursi pertama, dan seterusnya sampai kursi terbagi habis. Pada Daerah Pemilihan 1 DPRD Provinsi Jawa Tengah memiliki 6 alokasi kursi dengan jumlah suara sah pada dapil tersebut adalah 867.713 suara. Suara tersebut kemudian dibagi dengan bilangan pembagi ganji sampai terbagi habis, dalam hal ini untuk Dapil 1 DPRD Provinsi Jawa Tengah habis pada bilangan pembagi 5. Berikut penerapan 4 (empat) langkah-langkah tersebut pada pembagian kursi dengan metode sainte-lague di Dapil 1 DPRD Provinsi Jawa Tengah:

Partai Politik

Suara Sah

Bilangan Pembagi

Jumlah Perolehan Kursi

1

3

5

Suara Sah

Peringkat

Suara Sah

Peringkat

Suara Sah

Peringkat

PKB

91.748

91.748,00

3

30.582,67

 

18.349,60

 

1

GERINDRA

75.819

75.819,00

4

25.273,00

 

15.163,80

 

1

 

Partai Politik

Suara Sah

Bilangan Pembagi

Jumlah Perolehan Kursi

1

3

5

Suara Sah

Peringkat

Suara Sah

Peringkat

Suara Sah

Peringkat

PDI PERJUANGAN

332.909

332.909,00

1

110.969,67

2

66.581,80

6

3

GOLKAR

42.610

42.610,00

 

14.203,33

 

8.522,00

 

 

NasDem

33.938

33.938,00

 

11.312,67

 

6.787,60

 

 

GARUDA

3.692

3.692,00

 

1.230,67

 

738,40

 

 

BERKARYA

10.392

10.392,00

 

3.464,00

 

2.078,40

 

 

PKS

71.398

71.398,00

5

23.799,33

 

14.279,60

 

1

PERINDO

24.653

24.653,00

 

8.217,67

 

4.930,60

 

 

PPP

21.946

21.946,00

 

7.315,33

 

4.389,20

 

 

PSI

46.335

46.335,00

 

15.445,00

 

9.267,00

 

 

PAN

22.806

22.806,00

 

7.602,00

 

4.561,20

 

 

HANURA

24.143

24.143,00

 

8.047,67

 

4.828,60

 

 

DEMOKRAT

60.054

60.054,00

 

20.018,00

 

12.010,80

 

 

PBB

3.307

3.307,00

 

1.102,33

 

661,40

 

 

PKP INDONESIA

1.963

1.963,00

 

654,33

 

392,60

 

 

Jumlah Kursi

4

1

1

6

Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah Penerapan sistem proporsional terbuka dan metode konversi kursi sainte-lague merupakan amanat dari UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Pada penerapannya di dapil 1 DPRD Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah perolehan suara 867.713 dengan suara terbanyak diperoleh PDI Perjuangan (332.909 suara), PKB (91.748 suara), Gerindra (75.819 suara) dan PKS (71.398 suara). Setelah melalui tahapan konversi kursi dengan metode sainte-lague diperoleh 4 (empat) parpol yang berhak mewakili dapil 1 di DPRD Provinsi Jawa Tengah. Keempat partai tersebut adalah PKB dengan 1 kursi, Gerindra dengan 1 kursi, PDI Perjuangan dengan 3 Kursi dan PKS dengan 1 Kursi. Hal ini menunjukkan sistem proporsional terbuka dengan metode konversi kursi sainte-lague memiliki karakteristik bahwa perolehan kursi yang diperolah oleh parpol berbanding lurus dengan jumlah perolehan suara di dapil tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abdussamad, G. M. A., & Faralita, E. (2023). Korupsi Politik Terlahir Dari Sistem Pemilihan Umum Menggunakan Sistem Proporsional Terbuka Di Indonesia. WASAKA HUKUM, 11(1), 62�77.

 

Andriana, N. (2014). Pemilu Dan Relasi Eksekutif Dan Legislatif1 General Election And Executive-Legislative Relations. Jurnal Penelitian Politik| Volume, 11(2), 101�128.

 

Anggilia, D. (2022). Tinjauan Yuridis Terhadap Status Perolehan Suara Calon Anggota Legislatif Terpilih Yang Meninggal Dunia (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 P/Hum/2019).

 

Arif, M. S. (2019). Reformulasi Model Penyuaraan Paska Pemilu Serentak 2019: Studi Evaluasi Sistem Proporsional Daftar Terbuka. JWP (Jurnal Wacana Politik), 4(2), 157�171.

 

Effendi, A. (2016). Studi komparatif pengaturan sistem pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia. Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, 10(2).

 

Gunanto, D. (2020). Tinjauan kritis politik dinasti di Indonesia. Sawala: Jurnal Administrasi Negara, 8(2), 177�191.

 

Jamaludin, T. (2019). Pilkada Langsung: Kisah Sukses dan Problematika. JPW (Jurnal Politik Walisongo), 1(1), 29�48.

 

Pratiwi, D. A. (2018). Sistem Pemilu Proporsional Daftar Terbuka di Indonesia: Melahirkan Korupsi Politik? Jurnal Trias Politika, 2(1), 13�28.

 

Raden, S. (2021). PENYERDEHANAAN SURAT SUARA PEMILU DALAM PRESFEKTIF SISTEM PEMILU DAN PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL. Qaumiyyah: Jurnal Hukum Tata Negara, 2(1), 22�45.

 

Ratnasara, S. E. (2019). Pengaruh Penerapan Sistem Proporsional Terbuka Pada Kualifikasi Calon Legislatif. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

 

Rosidi, A. (2015). Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jurnal IUS Kajian Hukum Dan Keadilan, 3(2).

 

Saeful, M., & Sanusi, S. (2020). Implikasi Ambang Batas Parliamentary Threshold Terhadap Kursi Parlemen. Hukum Responsif, 11(1).

 

Sinurat, J. (2020). Pelaksanaan Pemilihan Umum Anggota Legislatif Tahun 2019 Dalam Perspektif Demokrasi Berkualitas (Studi Pemilihan Umum Legislatif Dprd Kabupaten Samosir Tahun 2019).

 

Solihah, R. (2018). Peluang dan tantangan pemilu serentak 2019 dalam perspektif politik. JIIP: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 3(1), 73�88.

 

Sondakh, H. F. (2019). Strategi Politik Pasangan Bupati Roy Roring Dan Wakil Bupati Robby Dondokambey Pada Pilkada Kabupaten Minahasa 2018. Politico: Jurnal Ilmu Politik, 7(4).

 

Surbakti, R. (2020). A. Pemilu Proporsional Terbuka 1. Pengertian Pemilu Secara Teori. Pemilu Proporsional Terbuka Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Dalam Perspektif, 28.

 

Tanjung, T. (2023). Mengenal Sistim Proporsional Terbuka Di Indonesia Menuju Pemilihan Umum Tahun 2024. BULLET: Jurnal Multidisiplin Ilmu, 2(1), 125�133.

Copyright holder:

Yohanes Baptista Chrismayoga (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: