Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
4, April 2023
PENERAPAN SISTEM
PROPORSIONAL TERBUKA DAN KONVERSI KURSI SAINTE-LAGUE PADA PEMILU 2019: STUDI
KASUS DAPIL 1 DPRD PROVINSI JAWA TENGAH
Yohanes Baptista Chrismayoga
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro
Email:
[email protected]
Abstrak
Indonesia sejak Pemilu tahun 2004 menerapkan sistem proporsional terbuka dengan metode konversi kuota hare. Pada pemilu 2019, walaupun masih mengusung sistem pemilu yang sama, namun terdapat perubahan pada metode konversi kursi, yang kini menggunakan sainte-lague. Dengan metode penelitian studi kasus dan studi pustaka, artikel ini dimaksudkan untuk mensosialisasikan penerapan metode konversi sainte-lague kepada masyarakat Indonesia. Studi kasus pada dapil 1 DPRD Provinsi Jawa Tengah dipilih karena pada dapil ini terlihat bahwa perolehan suara dan perolehan kursi yang diperoleh masing-masing partai politik berbanding lurus.
Kata kunci: Pemilu 2019; Proporsional terbuka; Sainte-lague.
Abstract
Indonesia since the 2004 elections
has implemented an open proportional system with the hare quota conversion
method. In the 2019 election, although it still carries the same electoral
system, there have been changes to the seat conversion method, which now uses sainte-lague. With case study research methods and
literature studies, this article is intended to socialize the application of
the sainte-lague conversion method to the people of
Indonesia. The case study in the 1st seat of the Central Java Provincial DPRD
was chosen because in this election it can be seen that the votes and seats
obtained by each political party are directly proportional.
Keywords: 2019 election; Open proportional;
Sainte-lague
Pendahuluan
Demokrasi yang secara resmi berlaku di Negara Indonesia
sejak Undang-Undang Dasar
(UUD) Negara Republik Indonesia Tahun
1945 berlaku disebut demokrasi Pancasila. Demokrasi
Pancasila adalah pemerintahan
dengan kedaulatan tertinggi dipegang oleh rakyat
yang dijiwai oleh nilai-nilai
luhur Pancasila. Dengan
kata lain bahwa hak-hak demokrasi warga negara haruslah didasarkan pada rasa tanggung jawab kapada Tuhan Yang Maha Esa, selalu
menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan berkeadaban, serta menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa dan harus mewujudkan keadilan social.
Pemilu merupakan perwujudan dari pelaksanaan demokrasi. Melalui Pemilu, diharapkan akan menghasilkan pemerintah yang dapat dipercaya. Pemilu juga merupakan sebuah sarana pergantian
elit politik yang aman dan demokratis untuk menghindari gejolak (Sinurat, 2020). Pemilu di Indonesia sejak tahun 1977 telah dilaksanakan dalam siklus lima tahun sekali. Partai
politik (parpol) memiliki peran penting dalam proses Pemilu di Indonesia yaitu sebagai kendaraan politik calon pejabat
untuk mendapatkan jabatan politik (Gunanto, 2020). Dengan kata lain, Pemilu merupakan sarana untuk menentukan
orang-orang yang akan mewakili
rakyat di legislatif maupun
eksekutif untuk menjalankan roda pemerintahan (Sondakh, 2019).
Menurut Surbakti (2020), pemilu merupakan cara yang diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil rakyat secara
demokratis. Pernyataan subakti merupakan penjabaran dari konsep kedaulatan rakyat dalam sistem perwakilan.
Dalam demokrasi perwakilan, para wakil rakyat yang duduk di parlemen diberi mandat oleh rakyat untuk bertindak atas nama rakyat dan untuk rakyat.
Agar parlemen berjalan sesuai mandat, maka perwakilan di parlemen harus dipilih melalui mekanisme yang disebut pemilu (Rosidi, 2015). Sistem pemilu berfungsi mengkonversi perolehan suara menjadi kursi
yang dimenangkan calon dan parpol. Pemilihan sistem pemilu berpengaruh
pada bidang lain seperti pembentukan daerah pemilihan, cara pendaftaran pemilih, desain surat suara,
cara penghitungan dan cara konversi kursi
(Raden, 2021). Pembangunan politik tidak dapat lepas
dari pengaruh sistem pemilu yang diterapkan di masing-masing negara. Setiap
sistem pemilu memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, aspek-aspek
yang dipengaruhi dari sistem pemilu antara
lain aspek proporsionalitas
perwakilan, aspek kepartaian dan aspek kabinet yang terbentuk (Andriana, 2014).
Sistem proporsional merupakan salah satu sistem Pemilu yang dikenal di dunia. Sistem proporsional disebut juga sistem perwakilan berimbang, sistem ini menganut asas
bahwa proporsi kursi yang diperoleh oleh parpol dalam suatu
daerah pemilihan berbanding lurus dengan perolehan suara partai tersebut.
Sistem ini terdapat 2 (dua) varian,
proportional representative dan single transferrable vote. Proportional
representative adalah dalam
pemungutan suara ada daftar calon dan daftar partai untuk dipilih
oleh pemilih (Arif, 2019). Single transferrable vote memiliki
ciri yang hampir sama dengan proportional
representative, namun pada sistem
ini dimungkinkan calon terpilih mentransfer suara kepada Calon lain dalam partai yang sama (Tanjung, 2023).
Selama penyelenggaraan Pemilu sejak tahun
1955, Indonesia telah mengenal
2 (dua) jenis sistem pemilu. Sistem pemilu proporsional tertutup digunakan pada Pemilu 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 dan 1999. Mulai Pemilu tahun
2004 menggunakan sistem
daftar setengah terbuka
(semi-open list PR), dan Pemilu Tahun
2009, 2014 dan 2019 menggunakan sistem
pemilu proporsional terbuka. Menurut Saeful (2020), sistem pemilu adalah perangkat
variabel yang digunakan untuk mengkonversi perolehan suara parpol menjadi kursi. Artikel ini ditulis berdasarkan polemik yang berkembang pada akhir tahun 2022 tentang sistem pemilu legislatif, apakah tetap proporsional
terbuka yang sudah diterapkan sejak tahun 2004 atau diubah menjadi proprosional tertutup seperti pada masa orde baru serta pembuktian
bahwa sistem konversi kursi sainte-lague yang diadaptasi pada
Pemilu 2019 merupakan sistem yang tepat karena menghasilkan kursi yang sesuai dengan perolehan suara masing-masing parpol.
Metode Penelitian
Penulisan artikel ini
menggunakan metode penelitian kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan
data kepustakaan dan mengolah
bahan penelitian menggunakan buku dan jurnal yang relevan dengan penelitian. Melalui artikel ini, diharapkan dapat memberi informasi
dan pengertian kepada masyarakat tentang sistem pemilu proporsional
terbuka dan metode konversi kursi sainte-lague dengan studi kasus pada penetapan perolehan kursi di daerah pemilihan (dapil) 1 DPRD Provinsi Jawa Tengah
Hasil dan Pembahasan
A. Sistem Proporsional Terbuka
Sistem proporsional merupakan sistem pemilu yang membagi kursi di parlemen sesuai dengan perolehan
suara yang diperoleh
masing-masing partai. Sistem
proporsional ini terdiri dari dua varian, yaitu berdasarkan
daftar (list) dan berdasarkan peringkat
(single transferable votes) (Pratiwi, 2018). Pada sistem proporsional dalam satu daerah pemilihan
terdapat banyak calon yang berarti terdapat banyak kursi untuk diperebutkan.
Dalam daerah pemilihan terdapat kursi yang akan diperoleh setiap parpol berdasarkan jumlah suara yang diperoleh parpol dan calon. Sistem proporsional
diselenggarakan dalam
negara yang memiliki multi partai
seperti Belgia, Swedia, Italia, Belanda dan Indonesia. Sistem
proporsional terbuka lebih berpotensi membentuk kabinet koalisi antarpartai dibandingkan dengan sistem pemilu lainnya
(Solihah, 2018).
Sistem proporsional varian list memiliki tiga subvarian yaitu daftar tertutup (close
list), daftar terbuka (open list) dan daftar bebas (free list). Pada subvarian
daftar terbuka atau yang sering disebut proporsional terbuka pemilih tidak hanya
memilih partai politik, tetapi juga dapat memilih calon
(Anggilia, 2022). Surat suara pada sistem proporsional terbuka selain terdapat tanda gambar parpol, juga terdapat nomor dan nama calon anggota
legislatif. Jumlah kursi yang diperoleh oleh parpol sangat tergantung dari jumlah perolehan
suara dari parpol dan seluruh calon di daerah pemilihan.�
Pola persaingan
pada sistem proporsional terbuka tidak lagi
antar parpol tetapi juga antar Calon dalam satu parpol
yang sama. Hal ini mendorong parpol menggunakan jalan pintas dengan merekrut
orang-orang terkenal, artis, dan tokoh
masyarakat menjadi calon untuk mendulang
suara sebanyak-banyaknya.
Peran parpol sebagai peserta Pemilu tidak terlalu menonjol
dalam sistem proporsional terbuka. Parpol mendorong para Calon untuk berjuang meraup suara yang berakibat terjadinya persaingan bahkan dalam satu parpol.
Proporsional terbuka menempatkan konstituen lebih dekat dengan
Calon, konstituen dapat memilih siapa yang tepat untuk mewakili
suaranya di parlemen dan dapat menagih janjinya
jika sudah terpilih nantinya.
Proporsi kursi yang diperoleh parpol di suatu dapil akan
berbanding lurus dengan perolehan suaranya. Parpol dapat menyajikan daftar calon yang sama atau lebih banyak
dari jumlah kursi, tergantung dari peraturan yang berlaku. Untuk di Indonesia, parpol dapat mengajukan
calon paling banyak sama dengan jumlah
kursi di dapil. Proporsional terbuka memiliki tingkat keadilan yang tinggi untuk calon, semakin
dikenal calon maka semakin besar
kemungkinan calon untuk terpilih. Hal ini mendorong calon
berlomba-lomba untuk berkampanye dan bahkan menggunakan politik uang. Proporsional terbuka juga mendorong pendidikan politik di masyarakat, sebab pada sistem ini pemilih harus
lebih selektif dan rasional dalam memberikan suaranya.
Dasar penggunaan
proporsional terbuka sebagai sistem pemilu legislatif tahun 2019 termaktub dalam Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa Pemilu untuk memilih
anggota DPR, DPRD Provinsi
dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan
dengan sistem proporsional terbuka. Proporsional terbuka pertama kali digunakan pada Pemilu 2009 sebagai dampak dari Putusan
MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang mengabulkan
sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
yang pada putusannya mengubah
sistem proporsional semi terbuka menjadi proporsional terbuka dengan berdasarkan suara terbanyak.
Penggunaan sistem proporsional terbuka merupakan suatu kemajuan karena pemilih diberikan pilihan nama calon
anggota legislatif yang akan mewakili mereka
di parlemen (Abdussamad & Faralita,
2023). Menurut Putusan
MK No 22-24/PUU-VI/2008, proporsional terbuka adalah pilihan yang tepat berdasarkan pertimbangan bahwa bagi Indonesia yang berbentuk negara kesatuan dan masyarakat yang plural, sistem proporsional cocok diterapkan karena mengakomodir suara minoritas.
B. Dampak
Penerapan Sistem Proporsional Terbuka
Sisi positif dari sistem
proporsional terbuka adalah daerah pemilihannya
berdasarkan basis wilayah, sehingga
setiap wilayah memiliki wakilnya masing-masing dan antara
calon dan pemilih menjadi lebih dekat
(Ratnasara,
2019). Kedekatan
calon dan pemilih akan terjaga ketika
calon terpilih menjadi anggota legislatif, karena calon membutuhkan suara pemilih maka
calon akan sering menarik simpati pemilih agar kredibilitasnya terjaga. Dengan mengetahui nama calon serta
latar belakang calon yang dipilihnya, pemilih dapat mengetahui
siapa saja yang mengerti permasalahan di wilayahnya. Kelebihan lain dari proporsional terbuka adalah calon dengan nomor
besar memiliki peluang yang sama untuk terpilih dengan calon yang bernomor kecil, semua calon memiliki
peluang yang sama bergantung dari usaha masing-masing untuk meraih suara.
Dampak negatif dari penerapan sistem proporsional terbuka adalah meningkatnya biaya politik. Hal ini disebabkan karena calon harus
memperkenalkan dirinya dengan lebih baik,
karena untuk dapat terpilih harus memperoleh suara terbanyak. Demi mendapatkan suara pemilih, calon bahkan telah melakukan
kampanye jauh sebelum tahapan kampanye berjalan dengan dalih sosialisasi.
Keharusan menarik simpati masyarakat menjadikan calon menggunakan berbagai cara, salah satunya dengan politik uang. Akibatnya politik uang dan tingginya biaya politik menyebabkan semakin meningkatnya jumlah anggota legislatif di berbagai tingkatan yang terjerat kasus korupsi (Jamaludin,
2019).
Kelemahan dari sistem proporsional terbuka adalah memunculkan koalisi dan banyak partai di parlemen karena setiap partai
memiliki peluang yang sama untuk menempatkan
wakilnya (Effendi,
2016). Banyaknya
partai dan tidak ada partai yang memiliki mayoritas kursi menyebabkan pengambilan keputusan membutuhkan waktu lebih panjang.
Kelebihan Sistem proporsional terbuka adalah bahwa sistem ini
dianggap lebih representatif karena perolehan kursi di parleman sesuai dengan jumlah perolehan
suara parpol sehingga meminimalisir distorsi antara perolehan suara dan kursi. Kelebihan lain dari sistem ini
adalah semua suara dihitung sehingga partai kecil dan masyarakat minoritas memiliki peluang menempatkan wakilnya di parlemen.
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah
karena perolehan kursi ditentukan dari jumlah perolehan
suara masing-masing parpol,
maka parpol cenderung mencari cara yang cepat untuk mendulang suara. Salah satu cara yang digunakan adalah merekrut orang-orang terkenal seperti artis, tokoh masyarakat dan tokoh adat untuk
menjadi calon anggota parlemen. Hal ini melemahkan proses kaderisasi di dalam internal parpol.
C. Metode
Konversi Suara Menjadi Kursi Pada Sistem Pemilu Proporsional
Dalam sistem
pemilu proposional kita diperkenalkan dengan dua rumpun metode penghitungan suara: Kuota dan Divisor. Pada metode penghitungan kuota terdapat dua teknik penghitungan suara yakni Kuota
Hare dan Kuota Droop. Kuota
Hare merupakan salah satu teknik penghitungan suara yang paling sering digunakan dari pemilu ke pemilu
di Indonesia. Terdapat dua tahapan
yang perlu dilalui untuk mengkonversi suara menjadi kursi
melalui teknik penghitungan Kuota Hare. Pertama, menentukan harga satu kursi
dalam satu daerah pemilihan dengan menggunakan rumus V (vote): S (seat). Kedua, menghitung jumlah perolehan kursi masing-masing parpol dalam satu
daerah pemilihan dengan cara jumlah
perolehan suara partai di satu dapil di bagi dengan
hasil hitung harga satu kursi.
Serupa dengan Kuota Hare, teknik penghitungan suara Kuota Droop memiliki dua tahapan penghitungan. Hanya saja ketika menentukan
harga satu kursi dalam satu
daerah pemilihan, Kuota Droop mengharuskan jumlah alokasi kursi dalam satu
daerah pemilihan di tambah satu. Sehingga
rumus penghitungannya menjadi V: (S+1).
Berbeda dengan
rumpun metode penghitungan suara Kuota. Metode penghitungan
Divisor tidak menerapkan harga satu kursi
sebagai bilangan pembagi untuk mencari
perolehan kursi
masing-masing partai. Akan tetapi
metode penghitungan Divisor
memiliki bilangan tetap untuk membagi
perolehan suara
masing-masing partai dengan
logika jumlah perolehan suara tertinggi dari hasil pembagian di urutkan sesuai dengan alokasi kursi yang disediakan dalam satu daerah
pemilih, berhak untuk memperoleh kursi.
Metode penghitungan
suara Divisor terbagi kedalam tiga teknik
penghitungan suara. Pertama, teknik penghitungan suara Divisor D�Hond dengan bilangan
pembagi suara 1,2,3,4,5,6,......dst. Kedua,
teknik penghitungan suara Divisor Sainte-Lague yang menerapkan bilangan pembagi suara berangka
ganjil mulai dari 1,3,5,7,9,....dst. Ketiga, penghitungan
suara Divisor Sainte-Lague Modifikasi dengan bilangan pembagi suara 1.4,3,5,7,9,....dst.
Teknik penghitungan Kuota Drop dan
Divisor D�Hondt cenderung lebih menguntungkan partai-parpol besar dengan tingkat surplus kursi yang besarannya cukup singnifikan. Teknik penghitungan Kuota Drop dan
Divisor D�Hondt cenderung mampu menyederhanakan sistem kepartaian akan tetapi berdampak
pada tingkat disproposionalitas
suara ke kursi yang cukup tinggi. Teknik penghitungan Kuota Hare dan Divisor Sainte-Lague
cenderung ramah terhadap partai besar dan menengah dengan tingkat disproposionalitas suara cenderung rendah akan tetapi tidak
memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap sistem kepartaian yang terbentuk. Berbeda dengan teknik penghitungan suara lainnya terutama
Kuota Drop dan Divisor D'hondt
yang berdampak pada rendahnya
indeks ENPP. Konversi suara menjadi kursi
dengan teknik Sainte-Lague Modifikasi tidak memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap penyederhanaan sistem kepartaian, justru menghasilkan indeks disproposionalitas yang cukup signifikan.
D. Penerapan
Sainte-Lague Pada Konversi Untuk Penetapan Kursi DPRD Provinsi Jawa Tengah
Setelah berakhirnya tahapan pemungutan, penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara pada 21 Mei 2019, tahapan berikutnnya telah menunggu yaitu tahapan penetapan perolehan kursi dan calon terpilih untuk setiap tingkatan.
Pada Pemilu 2019, KPU untuk
pertama kalinya menggunakan metode Sainte-Lague sebagai metode
konversi suara ke kursi setelah
Pemilu sebelumnya menggunakan metode Kuota Hare yang digunakan sejak Pemilu 1955.
Penggunaan metode Sainte-Lague diatur dalam Pasal
420 UU No 7 Tahun 2017 tentang
Pemilu. Merujuk pada pasal tersebut, untuk melakukan konversi kursi harus melalui 4 (empat) langkah, antara lain : (1) penetapan jumlah suara sah
setiap parpol peserta pemilu di daerah pemilihan sebagai suara sah
setiap partai politik; (2) Mambagi suara sah setiap
parpol dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3; 5; 7 dan seterusnya;
(3) Hasil pembagian diurutkan
berdasarkan jumlah nilai terbanyak; (4) nilai terbanyak pertama mendapatkan kursi pertama, dan seterusnya sampai kursi terbagi habis.
Pada Daerah Pemilihan 1 DPRD Provinsi
Jawa Tengah memiliki 6 alokasi kursi dengan
jumlah suara sah pada dapil tersebut adalah 867.713 suara. Suara tersebut
kemudian dibagi dengan bilangan pembagi ganji sampai
terbagi habis, dalam hal ini
untuk Dapil 1 DPRD Provinsi Jawa Tengah habis pada bilangan pembagi 5. Berikut penerapan 4 (empat) langkah-langkah tersebut pada pembagian kursi dengan metode sainte-lague
di Dapil 1 DPRD Provinsi Jawa Tengah:
Partai Politik |
Suara Sah |
Bilangan Pembagi |
Jumlah Perolehan Kursi |
|||||
1 |
3 |
5 |
||||||
Suara Sah |
Peringkat |
Suara Sah |
Peringkat |
Suara Sah |
Peringkat |
|||
PKB |
91.748 |
91.748,00 |
3 |
30.582,67 |
|
18.349,60 |
|
1 |
GERINDRA |
75.819 |
75.819,00 |
4 |
25.273,00 |
|
15.163,80 |
|
1 |
Partai Politik |
Suara Sah |
Bilangan Pembagi |
Jumlah Perolehan Kursi |
|||||
1 |
3 |
5 |
||||||
Suara Sah |
Peringkat |
Suara Sah |
Peringkat |
Suara Sah |
Peringkat |
|||
PDI PERJUANGAN |
332.909 |
332.909,00 |
1 |
110.969,67 |
2 |
66.581,80 |
6 |
3 |
GOLKAR |
42.610 |
42.610,00 |
|
14.203,33 |
|
8.522,00 |
|
|
NasDem |
33.938 |
33.938,00 |
|
11.312,67 |
|
6.787,60 |
|
|
GARUDA |
3.692 |
3.692,00 |
|
1.230,67 |
|
738,40 |
|
|
BERKARYA |
10.392 |
10.392,00 |
|
3.464,00 |
|
2.078,40 |
|
|
PKS |
71.398 |
71.398,00 |
5 |
23.799,33 |
|
14.279,60 |
|
1 |
PERINDO |
24.653 |
24.653,00 |
|
8.217,67 |
|
4.930,60 |
|
|
PPP |
21.946 |
21.946,00 |
|
7.315,33 |
|
4.389,20 |
|
|
PSI |
46.335 |
46.335,00 |
|
15.445,00 |
|
9.267,00 |
|
|
PAN |
22.806 |
22.806,00 |
|
7.602,00 |
|
4.561,20 |
|
|
HANURA |
24.143 |
24.143,00 |
|
8.047,67 |
|
4.828,60 |
|
|
DEMOKRAT |
60.054 |
60.054,00 |
|
20.018,00 |
|
12.010,80 |
|
|
PBB |
3.307 |
3.307,00 |
|
1.102,33 |
|
661,40 |
|
|
PKP INDONESIA |
1.963 |
1.963,00 |
|
654,33 |
|
392,60 |
|
|
Jumlah Kursi |
4 |
1 |
1 |
6 |
Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Penerapan sistem proporsional terbuka dan metode konversi kursi sainte-lague merupakan amanat dari UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Pada penerapannya di dapil 1 DPRD Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah perolehan suara 867.713 dengan suara terbanyak diperoleh PDI Perjuangan (332.909
suara), PKB (91.748 suara),
Gerindra (75.819 suara) dan
PKS (71.398 suara). Setelah
melalui tahapan konversi kursi dengan metode sainte-lague
diperoleh 4 (empat) parpol yang berhak mewakili dapil 1 di DPRD Provinsi Jawa Tengah. Keempat partai tersebut adalah PKB dengan 1 kursi, Gerindra dengan 1 kursi, PDI Perjuangan dengan 3 Kursi dan PKS dengan 1 Kursi. Hal ini menunjukkan sistem proporsional terbuka dengan metode konversi kursi sainte-lague memiliki karakteristik bahwa perolehan kursi yang diperolah oleh parpol berbanding lurus dengan jumlah
perolehan suara di dapil tersebut.
BIBLIOGRAFI
Abdussamad, G. M. A., & Faralita,
E. (2023). Korupsi Politik Terlahir Dari Sistem Pemilihan Umum Menggunakan
Sistem Proporsional Terbuka Di Indonesia. WASAKA HUKUM, 11(1),
62�77.
Andriana, N. (2014). Pemilu Dan Relasi Eksekutif Dan
Legislatif1 General Election And Executive-Legislative Relations. Jurnal
Penelitian Politik| Volume, 11(2), 101�128.
Anggilia, D. (2022). Tinjauan Yuridis Terhadap
Status Perolehan Suara Calon Anggota Legislatif Terpilih Yang Meninggal Dunia
(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 P/Hum/2019).
Arif, M. S. (2019). Reformulasi Model Penyuaraan Paska
Pemilu Serentak 2019: Studi Evaluasi Sistem Proporsional Daftar Terbuka. JWP
(Jurnal Wacana Politik), 4(2), 157�171.
Effendi, A. (2016). Studi komparatif pengaturan sistem
pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia. Fiat Justisia:
Jurnal Ilmu Hukum, 10(2).
Gunanto, D. (2020). Tinjauan kritis politik dinasti di
Indonesia. Sawala: Jurnal Administrasi Negara, 8(2), 177�191.
Jamaludin, T. (2019). Pilkada Langsung: Kisah Sukses
dan Problematika. JPW (Jurnal Politik Walisongo), 1(1), 29�48.
Pratiwi, D. A. (2018). Sistem Pemilu
Proporsional Daftar Terbuka di Indonesia: Melahirkan Korupsi Politik? Jurnal
Trias Politika, 2(1), 13�28.
Raden, S. (2021). PENYERDEHANAAN SURAT SUARA PEMILU
DALAM PRESFEKTIF SISTEM PEMILU DAN PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL. Qaumiyyah:
Jurnal Hukum Tata Negara, 2(1), 22�45.
Ratnasara, S. E. (2019). Pengaruh Penerapan Sistem
Proporsional Terbuka Pada Kualifikasi Calon Legislatif. Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Rosidi, A. (2015). Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jurnal IUS Kajian Hukum Dan Keadilan,
3(2).
Saeful, M., & Sanusi, S. (2020). Implikasi Ambang
Batas Parliamentary Threshold Terhadap Kursi Parlemen. Hukum Responsif, 11(1).
Sinurat, J. (2020). Pelaksanaan Pemilihan Umum
Anggota Legislatif Tahun 2019 Dalam Perspektif Demokrasi Berkualitas (Studi
Pemilihan Umum Legislatif Dprd Kabupaten Samosir Tahun 2019).
Solihah, R. (2018). Peluang dan tantangan pemilu
serentak 2019 dalam perspektif politik. JIIP: Jurnal Ilmiah Ilmu
Pemerintahan, 3(1), 73�88.
Sondakh, H. F. (2019). Strategi Politik Pasangan
Bupati Roy Roring Dan Wakil Bupati Robby Dondokambey Pada Pilkada Kabupaten
Minahasa 2018. Politico: Jurnal Ilmu Politik, 7(4).
Surbakti, R. (2020). A. Pemilu Proporsional Terbuka 1.
Pengertian Pemilu Secara Teori. Pemilu Proporsional Terbuka Menurut
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Dalam Perspektif,
28.
Tanjung, T. (2023). Mengenal Sistim Proporsional
Terbuka Di Indonesia Menuju Pemilihan Umum Tahun 2024. BULLET: Jurnal
Multidisiplin Ilmu, 2(1), 125�133.
Copyright holder: Yohanes
Baptista Chrismayoga (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |