Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia� p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

CIVIL DISOBEDIENCE MOVEMENT (CDM) SEBAGAI GERAKAN RESISTANSI RAKYAT MYANMAR TERHADAP KUDETA MILITER TAHUN 2021

 

Syuhada Bahri

Universitas Muhammadiyah Malang, Indonesia

E-mail: [email protected]

 

Abstrak

Myanmar atau Burma telah lama menjadi korban dari buruknya pemerintahan militer di masa lalu, di mana sebelumnya Militer pernah memegang kekuasaan lebih dari 50 Tahun lamanya. Setelah pemerintahan demokratis dipulihkan pada tahun 2011 pun Myanmar masih di bayang-bayangi oleh kekuasaan militer. Pada Februari 2021 Militer kembali melakukan kudeta dengan menangkap para petinggi pemerintahan Myanmar seperti Aung san Suu Kyi dan presiden Win Myint. tindakan kudeta militer tersebut tentu membuat rakyat Myanmar kembali mengingat kenangan buruk selama negara berada di bawah pemerintah militer, Rakyat yang tidak ingin kembali di kuasai oleh pemerintahan yang otoriter lantas serentak menyuarakan protes melalui demonstrasi untuk menentang kudeta tersebut yang selanjutnya di namakan oleh revolusi musim semi 22222. Penelitian ini menggunakan Konsep Gerakan Pembangkangan Sipil� sebagai alat analisa, Untuk memperoleh data dan informasi penulis menggunakan metode library research dengan jenis kualitatif deskriptif.

 

Kata-Kata Kunci: Kudeta, Gerakan Pembangkangan Sipil, Myanmar, Militer.

 

ABSTRACT

Myanmar or Burma has long been a victim of bad military rule in the past, where previously the military had held power for more than 50 years. Even after democratic government was restored in 2011, Myanmar is still overshadowed by military rule. In February 2021 the military again staged a coup by arresting high-ranking Myanmar government officials such as Aung san Suu Kyi and president Win Myint. The military coup action certainly made the people of Myanmar recall bad memories as long as the country was under a military government, the people who did not want to be controlled by an authoritarian government then simultaneously voiced protests through demonstrations against the coup which was hereinafter called the spring revolution 22222 This study uses the concept of the Civil Disobedience Movement as an analytical tool. To obtain data and information, the writer uses library research method with descriptive qualitative type.

 

Keywords: Coup, Civil Disobedience Movement, Myanmar, Military.

 

Pendahuluan

Myanmar adalah salah satu negara di Asia tenggara yang berbatasan langsung dengan Bangladesh, India, Cina, Laos, dan Thailand. Negara ini dulunya dikenal dengan nama Burma yang merupakan etnis terbesar, namun dikarenakan munculnya berbagai perlawanan dari kelompok-kelompok etnis minoritas lain maka setelah adanya peristiwa berdarah 8888 pemerintah memutuskan untuk mengubah nama Burma menjadi Myanmar untuk menyatukan kembali rakyatnya. Sama seperti kebanyakan negara dunia ketiga lainnya Myanmar juga pernah mengalami masa-masa penjajahan di mana ia pernah menjadi negara jajahan nya kerajaan Inggris dan setelah 42 Myanmar jatuh ke tangan Jepang. Selama berada di bawah pemerintahan Jepang Myanmar ternyata jauh lebih menderita dibandingkan berada di bawah kekuasaan Inggris, setelah sekian lama berada di bawah penderitaan muncul seorang tokoh yang kelak akan menyandang gelar pahlawan, ia bernama Aung San.

Aung san yang juga merasa terkhianati oleh iming-iming Jepang yang sebelumnya mengatakan akan memberikan kehidupan yang lebih baik kepada rakyat Myanmar kemudian memutuskan untuk menggandeng blok sekutu untuk dapat mengusir Jepang dari wilayahnya. Akhirnya pada 27 Maret 1945 dengan bantuan kerajaan Inggris dan tentara aliansi, Jepang dipaksa keluar dari Myanmar yang menjadikan myanmar akhirnya kembali berada di bawah kekuasaan Inggris. selanjutnya melalui perundingan panjang, pada 1948 Myanmar kemudian berhasil untuk dapat berdiri sebagai sebuah negara yang merdeka.

Namun kemerdekaan tersebut rupanya tidak serta merta menjadikan Myanmar bangkit menjadi wilayah yang makmur, pihak militer yang sebelumnya memainkan peran penting dalam kemerdekaan Myanmar rupanya tidak terlalu rela dalam memberikan kekuasaan penuh pada pihak sipil karena menganggap bahwa militer juga harusnya dapat tetap memiliki kekuasaan didalamnya. Hal ini semakin memanas hingga pada 2 Maret 1962 Ne Win yang merupakan jenderal angkatan bersenjata Burma Tatmadaw, berhasil menggulingkan kekuasaan presiden Win Maung Dan perdana menteri U Nu, dengan hal itu demokratisasi di Myanmar akhirnya kembali terhambat dan dan Myanmar jatuh ke tangan pemerintahan yang otoriter.

Di bawah pemerintahan militer terjadi banyak sekali aksi resistansi yang timbul dari masyarakat terutama dari etnis minoritas yang tinggal di perbatasan yang membentuk kelompok militan bersenjata yang menuntut otonomi khusus atau separatisme. Ketidakpuasan dan kemarahan masyarakat sempat memuncak pada peristiwa yang dikenal dengan revolusi 8888 yang memakan ribuan korban jiwa dari pihak sipil, hingga pada 4 Februari 2011. Tingginya tekanan dari dunia internasional dan serangkaian ancaman politik serta ekonomi, pemerintah militer akhirnya memutuskan untuk mengembalikan kembali tongkat kekuasaan kepada sipil. Melalui hal itu Thein Sein akhirnya diangkat menjadi presiden Myanmar setelah 60 tahun kekuasaan militer (Charney, 2021).

Akan tetapi walaupun militer sudah tidak memegang kekuasaan penuh namun mereka masih memiliki tempat dalam parlemen sehingga pemerintahan masih dibayang-bayangi oleh kekuatan militer. Aung San Suu Kyi yang merupakan anak dari sang pahlawan, Aung san. Selama berpuluh-puluh tahun mencoba untuk dapat menghilangkan hal ini dan membuatnya tampil menjadi seorang pemimpin tertinggi partai NLD yang berkuasa setelah reformasi, ya sebelumnya sempat menjadi tahanan rumah selama 20 tahun setelah perannya dalam gerakan 8888 yang menjadikannya sebagai tokoh politik terkemuka di kalangan rakyat Myanmar sehingga membuatnya sukses tampil sebagai kanselir. Tindakannya untuk melemahkan kekuasaan militer menjadi lebih aktif setelah adanya reformasi yang menjadikan pihak militer semakin gelisah akan hal itu, Ketegangan dalam perpolitikan di Myanmar semakin meningkat intensitasnya setelah partai NLD berkali-kali memenangkan pemilu.

Ketika pemilu 8 November 2020 pada akhirnya dilaksanakan partai NLD kembali meraih suara mayoritas dengan 369 suara dari 476 total suara, sementara pihak militer hanya memperoleh 33 suara (Charney, 2021). Hasil ini mengakibatkan pihak militer menuduh bahwa partai NLD melakukan kecurangan dalam pemilu ini dan menuntut adanya penyelidikan lebih lanjut. Akan tetapi penyelidikan yang dituntut tersebut pada akhirnya tidak berjalan dengan baik dan membuat militer yang di pimpin oleh jenderal Min Aung Hlaing akhirnya mengambil langkah dengan menggulingkan kekuasaan pemerintah sipil sekali lagi pada 1 Februari 2021 (Ashadi, 2022).

Kudeta ini tentu mengingatkan kembali rakyat Myanmar tentang mimpi buruk yang dialami ketika berada di bawah pemerintahan militer puluhan tahun yang lalu sehingga rakyat pun secara kolektif berkumpul dan mengeluarkan aksi penolakan terhadap pengambilan kekuasaan ini. Gerakan resistansi tersebut tergabung dalam Kelompok Civil Disobedience Movement (CDM) yang dilakukan dengan berbagai macam cara diantaranya yaitu Long March hingga membuat suara bising yang di simbolkan sebagai penolakan terhadap iblis dalam kepercayaan masyarakat setempat. Dengan semakin luasnya aksi protes di seluruh negeri, pada 22 Februari rakyat Myanmar secara kolektif melakukan aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan bukan hanya di ibu kota namun juga hingga ke seluruh penjuru Myanmar, Aksi ini kemudian dinamakan sebagai revolusi musim semi 22222, alasan penggunaan nama ini karena penyelenggara dan peserta menyandingkannya dengan aksi revolusi 8888 yang menjadi titik balik bagi proses demokratisasi di Myanmar di masa lalu. Aksi ini tidak berakhir damai karena pihak militer kemudian menggunakan cara-cara yang ofensif untuk dapat menenangkan kemarahan massa, di mana selain menggunakan senjata anti huru-hara ternyata terdapat pula penggunaan senjata api yang kemudian menewaskan banyak demonstran, diantaranya yaitu Mya Thwe Thwe Khaing. Seorang gadis berusia 20 tahun yang tertembak oleh aparat ketika menjadi bagian dari aksi tersebut. Kematiannya ini bukan membuat masyarakat Myanmar menjadi takut pada ada kekuasaan pemerintahan namun malah semakin membakar amarah rakyat yang membuat semakin luasnya aksi protes yang terjadi (Alimin, 2022).

Akhirnya situasi yang memanas dan ketidakstabilan dalam negeri membuat banyak warga yang akhirnya juga memutuskan untuk melarikan diri ke negara-negara tetangga selain itu kelompok etnis separatis seperti tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA), Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA), dan Arakan Army (AA) (Ukraine�s, 2014). yang telah lama berdiam diri ini kembali menunjukkan taringnya, bahkan di situasi tersebut banyak warga yang kemudian malah menjadikan kelompok-kelompok ini sebagai pelindung mereka dari kekejaman Militer sehingga banyak juga yang akhirnya menjadi simpatisan dan bagian dari kelompok ini. Perjuangan rakyat Myanmar dalam mengembalikan demokrasi ke dalam segi pemerintahannya inilah yang kemudian menarik minat penulis untuk dapat menganalisanya lebih lanjut, Di mana penulis berharap dengan penelitian ini akan memberikan sumbangsih terhadap studi hubungan internasional terutama pada pembahasan gerakan sosial di negara dunia ketiga.

 

Landasan Konseptual

����������� Untuk Demi memperoleh sebuah penelitian yang terarah dan komprehensif, tentu dibutuhkan sebuah alat analisa yang yang menjadi pedoman peneliti dalam menganalisa isu yang dibahas. Pada penelitian ini penulis menggunakan Konsep civil disobedience movement (CDM). Civil Disobedience Movement atau yang dapat diartikan sebagai gerakan pembangkangan atau resistansi sipil, digunakan pertama kali oleh Henry David thoreau tahun 1848 untuk menjelaskan mengenai gerakan penolakan yang terjadi di Amerika Serikat oleh kebijakan pajak pemerintah yang rencananya akan digunakan untuk membiayai perang di Meksiko, di mana hal itu akan memperluas praktik perbudakan melalui penguatan hukum perbudakan yang ada.

Pada perkembangannya di tahun 1971 John Rawls kemudian berhasil untuk pertama kali mendefinisikan mengenai Civil disobedience movement yang dapat di terima secara luas, di mana ia menjelaskan CDM sebagai gerakan tanpa kekerasan atau aksi damai yang dilakukan dengan hati-hati demi tujuan untuk membawa perubahan dalam hukum atau kebijakan yang ada (Budaya, 2019).

Aksi pembangkangan rakyat dapat terwujud oleh berbagai bentuk, dapat bermulai dari aksi turun ke jalan hingga aksi simbolik yaitu mogok kerja dan aksi diam seperti yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi dari India (Aziz, 2014), yang melakukan pembangkangan terhadap Kolonial Inggris terkait dengan ketidakadilan dan kebijakan transaksi garam. Lebih lanjutnya Algifari Hassan menyampaikan pula bahwa CDM itu dilakukan oleh warga secara terorganisir dan penuh kesadaran walaupun itu berarti melawan hukum sehingga memungkinkan partisipan mendapatkan suatu sanksi atau hukuman. Dengan demikian para partisipan tahu bahwa akan konsekuensi tersebut namun mereka tetap melakukan penolakan demi kepentingan yang di tuju.

Ronald Dworkin dalam hal ini ini kemudian menjabarkan bahwa terdapat tiga jenis dari pembangkangan sipil yang pertama yaitu berbasis integritas dimana warga sipil tidak mematuhi hukum yang menurut norma dan kaidah yang dipahami bertentangan dengan nilai-nilai yang ada, yang kedua yaitu berbasis keadilan di mana warga melakukan pembangkangan dan penolakan terhadap hukum yang menyalahi hak hak yang dimiliki olehnya, dan yang terakhir yaitu berbasis kebijakan dimana warga melakukan penolakan ketika otoritas setempat menerapkan kebijakan yang dianggap sebagai sesuatu yang salah oleh warga sipil (Ni�am, 2014).

Mengenai isu gerakan sosial yang terjadi di Myanmar, warga melakukan penolakan dan aksi protes terhadap pemerintahan militer yang melakukan kudeta terhadap pemerintahan demokratis yang kembali ke Myanmar sejak tahun 2011. Dimana hal itu membuat warga Myanmar kembali mengingat mimpi buruk atas pemerintahan militer di masa lalu yang otoriter dan membuat Myanmar menjadi salah satu negara yang paling lambat dalam perkembangan dan rendah dalam kesejahteraan.

Selain itu dikarenakan terjadinya penangkapan terhadap tokoh-tokoh politik yang dikagumi masyarakat seperti Aung San Suu Kyi dan kekhawatiran akan kembali terjadinya pemerintahan otoriter di Myanmar, membuat warga akhirnya turun kejalan dan melayangkan aksi protes terhadap pemerintahan junta militer. Di mana bukan hanya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh warga, masyarakat dari sektor strategis lainnya seperti kesehatan dan pekerja umum atau buruh, juga melayangkan aksi melalui adanya pemogokan dan keberpihakan terhadap sipil yang membuat kehidupan sosial dan ekonomi di Myanmar menjadi terhambat.

 

Metode Penelitian

����������� Penelitian�� ini�� menggunakan�� jenis�� penelitian�� kualitatif deskriptif. Di mana menurut� Bogdan� dan� Tylor�� penelitian� kualitatif� di definisikan sebagai� �prosedur penelitian� yang� menghasilkan� data� deskriptif� berupa� kata-kata� tertulis� atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati�. Metode� kualitatif� deskriptif�� di lakukan dengan menyesuaikan antara pemikiran penulis dengan sumber yang di dapat menggunakan metode library research yaitu mengambil dan memilah informasi melalui data-data yang tersedia di buku, Jurnal, Situs berita yang terverifikasi dll. Penulis menggunakan metode ini karena penelitian ini berfokus untuk menjelaskan bagaimana bisa fenomena Kudeta militer yang terjadi di Myanmar dapat mempengaruhi stabilitas keamanan di wilayah Asia tenggara sehingga tidak memungkinkan untuk di jelaskan dalam bentuk angka.

Data-data tersebut selanjutnya akan disajikan dengan bentuk deskriptif� dengan menggunakan pemilihan kata yang mudah di mengerti, Namun tetap akurat dalam menjelaskan topik yang di bahas yaitu mengenai Civil Disobedience Movement Sebagai Gerakan Resistansi Rakyat Myanmar Terhadap Kudeta Militer Tahun 2021. Hasil dari penelitian tersebut akan di analisa menggunakan teori atau konsep yang berkaitan melalui studi literatur demi mencapai hasil penelitian yang maksimal.

 

Hasil dan Pembahasan

Profil� dan Sejarah Singkat Negara Myanmar

����������� Myanmar atau lengkapnya di sebut Pyidaunzu Thanmăda Myăma Nainngandaw atau Republik persatuan Myanmar‌ adalah sebuah negara yang terletak di barat kawasan Asia tenggara, luas wilayahnya sebesar 676.590 km2 dan beribukota di Naypyidaw setelah sebelumnya di pindahkan dari Yangoon. Negara ini berbatasan dengan China di bagian utara, Bangladesh dan India di bagian barat, Thailand dan Laos di wilayah timur serta Malaysia di bagian selatan.

����������� Bentuk pemerintahannya yaitu Republik dengan sistem pemerintahan adalah presidensil, di mana saat ini yang menjabat sebagai Presidennya adalah Win Myint dan penasihat negaranya adalah Aung San Suu Kyi dari partai� National League for Democracy (NLD) atau Liga Nasional Untuk demokrasi yang menjadi partai mayoritas di Myanmar saat ini.� Myanmar adalah negara multi ras dengan total penduduknya pada 2009 sebesar 47.6 Juta jiwa,� yang sebagian besar berasal dari ras Bamar yang mendominasi 2/3 populasi yang sebagian besar penganut ajaran Buddha di Myanmar, Selain itu terdapat Ras inti lainnya yakni : Arakan, Karen, Rohingya, Kayah, Mon, Chin dan Kachin. Militer Myanmar termasuk dalam militer terkuat ke-4 di Asia tenggara, di mana pemerintahan di Myanmar walaupun telah di katakan telah berestorasi ke pemerintahan pemerintahan sipil pada 2011 namun campur tangan Militer masih kuat dalam memengaruhi jalannya pemerintahan di Myanmar hingga saat ini (Wibowo, 2016).

����������� Sejak 1824 Myanmar merupakan negara yang dijajah oleh Inggris sama dengan India, memasuki tahun 1900-an mulai bermunculan gerakan nasionalisme di Myanmar, Munculnya gerakan nasionalisme tersebut tidak lepas dari beberapa alasan di antaranya yaitu dampak dari perang dunia pertama yang di akhiri dengan perjanjian Versailles, kemenganan Jepang atas Rusia yang menginspirasi semangat perjuangan, serta timbulnya Nasionalisme di India yang menciptakan efek domino sehingga Masyarakat Myanmar semakin termotivasi untuk berdiri sebagai bangsa yang merdeka. Hal inilah yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya gerakan-gerakan perlawanan terhadap penjajahan.

Ketika Jepang masuk ke Myanmar pada 1942 gerakan Nasionalisme Myanmar semakin berkembang, hal tersebut juga menjadikan berdirinya Liga Rakyat Merdeka Anti-Fasis (AFPFL) yang di pimpinan Aung San. Aung san yang kemudian melihat bahwa kekuatan dari Jepang yang melemah kemudian membuatnya menghimpun kekuatan dengan menyatukan rakyat Myanmar, selain itu ia juga meminta dukungan dari Inggris dalam mengalahkan Jepang. Pertempuran pun terjadi, Jepang yang telah terpojokkan oleh serangan aliansi pun tidak dapat bertahan sehingga pada 15 Juni 1945 Jepang pun menyerah (Santika, 2022). Walaupun Jepang telah di usir, namun pemerintahan di Myanmar kemudian di kembalikan ke tangan Inggris. Akhirnya setelah perjuangan panjang melalui pendalaman mengenai masa depan Myanmar, Pada 4 januari 1948 Inggris akhirnya dengan resmi memberikan kemerdekaan kepada rakyat Myanmar yang saat itu masihlah bernama Burma. Dengan Sao Shwe Thaik sebagai presiden pertamanya.

Di bawah pemerintahan junta Militer pada 1988, terdapat kembali berbagai gerakan masyarakat yang menuntut disintegrasi atau otonomi di beberapa wilayah di Burma yang di dominasi oleh etnis Minoritas seperti Arakan dan Karen. Merespon Hal tersebut pemerintah kemudian melihat bahwa salah satu alasan munculnya berbagai gerakan anti-pemerintah itu karena adanya konflik antar etnis karena lemahnya persatuan karena ketidak adilan yang di rasakan di bandingkan oleh etnis Bamar yang berdiri sebagai etnis mayoritas. Oleh karena itu pada 18 Juni 1989 nama Burma resmi di ganti menjadi Myanmar yang di harapkan dapat menyatukan semua etnis ke dalam satu identitas yang sama.

Sejarah Gerakan Rakyat Di Myanmar

����������� Myanmar atau yang dulunya bernama Burma adalah salah satu negara yang masih di hantui oleh kekuasaan militer, di mana Militer di Myanmar selain masih memiliki ikut campur dalam pemerintahan, namun juga dapat sewaktu-waktu kembali mengambil alih Pemerintahan itu sendiri. Mengenai perjalanan reformasi dan awal dari rezim militer dapat berperan kuat dalam politik pemerintahan Myanmar sampai saat ini, tidak lepas dari� peran pengaruh era penjajahan dulu terutama ketika berada di bawah kekuasaan Jepang. Sama halnya dengan Indonesia, kedatangan Jepang awalnya di anggap sebagai penyelamat bangsa asia dari penjajahan bangsa barat, bahkan masuknya Jepang sendiri merupakan undangan dari tokoh Masyarakat yang kelak akan di kenal sebagai pahlawan negara bernama Aung San, yang dengan keinginannya sendiri untuk pergi ke Jepang menghadap kolonel Suzuki dan meminta bantuan dalam mengusir kolonialisme Inggris di Burma pada tahun 1939 (Sampson, 2018).

����������� Setelah Burma jatuh ke tangan Jepang, Jepang kemudian merekrut masyarakat Burma yang di sebut Thakins untuk mendapatkan pelatihan militer, Anggota Thakins kemudian menjadi pelopor dari terbentuknya Burma Independence Army (BIA). Pembentukan organisasi ini awalnya di dukung oleh Jepang yang menganggap bahwa kelompok ini dapat memberikan keleluasaan bagi Jepang dalam mempertahankan eksistensinya di Burma oleh karena anggotanya yang sebelumnya telah di didik untuk dapat loyal kepada kekaisaran Jepang.

����������� Akan tetapi dengan semakin kuatnya kekuatan oleh BIA dan masif nya dukungan� oleh karena kampanye yang efektif terhadap masyarakat, membuat Jepang akhirnya memutuskan untuk membubarkan kelompok ini pada tahun 1942 menggunakan tindakan koersif, akan tetapi masyarakat Burma malah semakin memusuhi Jepang dan mulai bermunculan gerakan perlawanan anti-Jepang di beberapa wilayah yang tentunya di komandoi oleh BIA.

����������� Akhirnya setelah Jepang berhasil di usir dan Pihak aliansi pula setuju untuk memberikan kemerdekaan kepada rakyat Burma, para petinggi BIA mendapatkan peran penting dalam politik pemerintahan di Burma. Walau demikian sebagai negara yang baru saja lahir, tentu masih banyak terdapat pertarungan kekuasaan yang terjadi, di mana U Nu yang menduduki jabatan sebagai perdana menteri sejak 1948 ternyata memiliki perbedaan pandangan tentang masa depan pemerintahan di Myanmar dengan Komandan militer Ne Win, di mana hal tersebut juga di landasi oleh adanya krisis politik karena terdapat perpecahan dalam partai Anti-Facist People�s Freedom League (AFPL), Oleh karena itu� pada tahun 1958 Ne Win kemudian melakukan penggulingan terhadap kekuasaan U Nu dan mengambil alih kekuasaan di Burma untuk sementara.

����������� Ne Win yang selanjutnya kembali melakukan pemilihan umum untuk dapat mengembalikan kekuasaan terhadap sipil pada 1960, rupanya membuat partai persatuan yang di usung U Nu kembali memenangkan pemilu. Namun berdasarkan pengalaman atas krisis politik sebelumnya, Rupanya pemerintahan kembali menjadi tidak stabil dengan adanya ketegangan antara sipil dan militer mengenai pemerintahan. Hasilnya pemerintahan U Nu lagi-lagi di gulingkan oleh militer pada 2 Maret 1962, di mana selanjutnya Militer sukses dalam menguasai pemerintahan hingga hampir 50 tahun kemudian.

����������� Pada perjalanan politik pemerintahan di Burma pada masa itu, pemerintahan militer berupaya untuk menumbuhkan bibit yang dapat menempatkan militer untuk terus terikat erat dalam pemerintahan. Pemerintah Militer kemudian membubarkan partai lainnya dan hanya melegalkan partai Burma Sosialist Program Party (BSPP), Sehingga dengan adanya pemerintahan di bawah satu partai Ne Win pun dapat semakin leluasa dalam memerintah Burma.

Namun di lain sisi di bawah kepemimpinan otoriter, Militer selanjutnya memerintah negara dengan tangan besi sehingga banyak dari warganya yang menderita. Selain itu negara-negara pendonor juga enggan dalam menyalurkan bantuan finansial dan lainnya terhadap pemerintahan militer di Burma sehingga proses pembangunan di Burma pun ikut terhambat, dan hasil dari tekanan sosial juga ekonomi tersebut pula berpengaruh pada kualitas hidup masyarakat, lebih buruknya lahi pada pertanian saja di tahun 1965-1966 prosuksi padi menurun hingga 5,3 % (Sampson, 2018). Hal ini lantas menyebabkan terjadinya kemarahan warga hingga terjadi aksi protes di seluruh negeri termasuk juga bermunculannya kelompok-kelompok bersenjata yang menggaungkan gerakan anti-pemerintah dan separatisme dari Burma, seperti : Arakan Army, Tentara Aliansi Demokrasi Myanmar, Tentara Kemerdekaan Kachin dan Tentara Pembebas Nasional Ta'ang.

Aksi protes itu memuncak pada 8 Agustus 1988 sehingga kemudian gelombang protes tersebut dinamakan pemberontakan 8888. di mana ketika itu Mahasiswa dari Universitas Rangoon awalnya melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut sebuah demokrasi dan turunnya rezim militer. Akan tetapi aksi itu di balas dengan tindakan koersif oleh pasukan keamanan sehingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Tapi bukan malah mereda aksi tersebut kemudian menjadi semakin luas terjadi di seluruh negeri, kali ini di ikuti oleh para biksu, Buruh, para ibu, bahkan anak-anak di barisan demonstrasi. Dengan di sertai adanya peningkatan serangan dari kelompok etnis bersenjata, Tekanan aktor-aktor internasional, dan juga perekonomian yang kian memburuk karena aksi mogok massal para buruh. Akhirnya pada 21 September Ne Win terpaksa untuk turun dari jabatannya sebagai penguasa tertinggi, Pemerintah lalu menjanjikan adanya pemilihan umum serta pemulihan demokrasi untuk meredam aksi massa, partai BSPP pun ikut di bubarkan, dan Untuk menyatukan Masyarakat yang telah terpecah belah nama Burma lalu di ganti menjadi Myanmar.

����������� Di balik keberhasilan tersebut, nama Aung San Suu Kyi putri dari pahlawan Burma Aung San menjadi harum di kalangan masyarakat dan di jadikan sebagai ikon demokrasi juga kebebasan di Burma, karena ketangguhannya yang lantang dalam menyuarakan demokrasi di saat pemerintahan militer sedang gencar-gencarnya menanamkan pengaruhnya yang di landasi ideologi �Burmese way to socialism� di kalangan masyarakat. Selanjutnya berkat popularitasnya tersebut dan juga dengan bantuan dari aktor eksternal, ia kemudian berhasil memaksa pemerintah untuk meresmikan Partai Liga Nasional Untuk Demokrasi (NLD ).

����������� Aung San Suu Kyii dan partai NLD nya lalu gencar dalam menekan pemerintahan militer dalam melakukan disfungsi kekuasaan. Pada 1990 Pemerintah Junta setuju untuk mengadakan pemilu, Pemilu ini lalu di menangkan oleh partai NLD namun pemerintah Militer yang merasa tidak terima kemudian menanngkap Aung San Suu Kyi serta beberapa tokoh NLD untuk di jadikan tahanan rumah. Tentunya keputusan ini kembali mendatangkan protes dari masyarakat, Namun sama seperti sebelumnya pemerintah Junta kembali berjanji untuk segera menyusun konstitusi demi mengembalikan kekuasaan kepada sipil untuk menurunkan amarah warga Myanmar.

����������� Walau begitu sampai bertahun-tahun kemudian belum ada juga implementasi dari janji tersebut karena adanya kegagalan dalam penyusunan konstitusi dan persaingan internal. Setelah terjadi beberapa kali aksi protes serupa , akhirnya pada 2008 Pemerintah sukses dalam memutuskan konstitusi untuk penyerahan kekuasaan ke sipil, Dengan catatan dalam konstitusi tersebut militer tidak sepenuhnya meninggalkan arena politik Myanmar namun masih mengisi 25% maksimal dari kuota parlemen nasional dalam pemerintahan melalui Union Solidarity and Development Party (USDP) yang di dukungnya.

����������� Dengan demikian pada 2011 pemerintah militer resmi menyerahkan pemerintah ke tangan sipil. Namun demikian bayang-bayang cengkeraman militer masih terus menghantui, dua pemilu setelah reformasi berjalan dengan baik-baik saja. Namun pada pemilu 8 November 2020, Partai NLD lagi-lagi mendapatkan kemenangan besar dengan perolehan 396 dari 476 kursi di parlemen (Hamzah, 2018). Hasil tersebut terlampau jauh di bandingkan jumlah kursi yang di menangkan oleh Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang di dukung militer yang memenangkan 25 kursi (Rugian et al., 2022).

Pihak militer lantas mengindikasikan adanya kecurangan dalam pemilu tersebut dan menuntut adanya penyelidikan dan pemilihan ulang. Namun setelah sekian lama tidak mendapatkan respon atas tuntutan tersebut, pada 1 Februari 2021 Militer Myanmar di bawah pimpinan Jenderal militer Myanmar (Tatmadaw) Min Aung Hlaing, Melakukan kudeta dan Menangkap Penasehat negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Mynt, serta beberapa tokoh penting dalam Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).

����������� Pengambilan Kekuasaan tersebut menjadikan proses demokratisasi di Myanmar dapat di katakan telah kembali ke titik awal, di mana tentu hal ini membuat masyarakat Myanmar kembali di hantui dengan pengalaman pemerintahan militer pada dekade-dekade sebelumnya. Merespon hal tersebut masyarakat dari berbagai kalangan yang di dominasi oleh Buruh dan Mahasiswa, Melakukan aksi demonstrasi besar-besaran menuntut di kembalikannya pemerintahan ke tangan sipil. Pihak militer pun kemudian mengumumkan kondisi darurat nasional selama setahun walaupun pada konstitusi Myanmar Tahun 2008 artikel 417-419, yang berhak melakukan hal tersebut hanyalah adalah presiden.

�If there arises or if there is sufficient reason for a state of emergency to arise that may disintegrate the Union or disintegrate national solidarity or that may cause the loss ofsovereignty, due to acts or attempts to take over the sovereignty of the Union by insurgency, violence and wrongful forcible means, the President may, after coordinating with the National Defence and Security Council, promulgate an ordinance and declare a state of emergency.�(Seethi, 2022).

����������� Tindakan tersebut hasilnya membuat Masyarakat semakin geram dengan tindakan militer yang� seolah-olah di anggap telah menguasai pemerintahan secara utuh. Demonstrasi juga akhirnya menjadi semakin masif, di mana yang awalnya terkonsentrasi di sekitaran wilayah ibukota Nay Pyi Daw kemudian menyebar ke berbagai wilayah lainnya. Namun sayangnya pihak Junta juga merespon dengan sejumlah tindakan kekerasan untuk dapat mengontrol situasi termasuk dalam penggunaan senjata api kepada warga sipil walaupun tuduhan tersebut di sanggah oleh pihak junta militer.

����������� Selain itu melihat dari adanya penyebaran berbagai video kekerasan militer dan mencegah dari adanya propaganda melalui jejaring sosial, Mereka juga membatasi akses internet nasional serta mengadakan jam malam. Masyarakat yang merasa semakin terbatasi dengan adanya penerapan aturan tersebut kemudian semakin memiliki alasan kuat untuk turun berdemonstrasi. Akan tetapi perlahan Korban Jiwa mulai berjatuhan, pada 3 Maret 2021 saja 38 orang meninggal atas tindakan kekerasan dari pihak junta militer ke warga sipil, hal ini memperkuat posisi kelompok-kelompok separatis Myanmar untuk dapat meraih dukungan dan melanggengkan aksinya (Hidayat, 2022). Pihak militer yang melihat peningkatan kekuatan etnis di perbatasan yang menginginkan separatisme sebagai sebuah ancaman, sehingga mereka selanjutnya juga melakukan agresi militer dan serangkaian serangan udara dalam menumpas kekuatan militer kelompok-kelompok pemberontak yang juga berakibat pada mengungsinya Ribuan orang ke perbatasan Thailand.

Kudeta Militer Tahun 2021 Dan Civil Disobedience Movement Sebagai Gerakan Resistansi Rakyat Myanmar.

����������� Kembalinya pemerintahan Myanmar ke tangan sipil pada tahun 2011 tentu menjadi angin sejuk bagi demokratisasi di Myanmar, pasalnya sejak dikuasai militer selama hampir 50 tahun, Kemajuan dan pembangunan di Myanmar berjalan dengan sangat lambat. Oleh karena itu, kebebasan dalam berpendapat dibatasi dan masyarakat juga tidak dapat menyampaikan aspirasinya dengan leluasa dalam pemerintahan.

����������� Melalui hal tersebut Aung San Suu Kyi yang merupakan anak dari pahlawan kemerdekaan Aung San dan juga pemegang penghargaan karena usahanya dalam memperjuangkan demokrasi di Myanmar. Kemudian muncul sebagai figur utama yang paling berpengaruh dalam pemerintahan di Myanmar, Begitu pula Partai NLD miliknya yang populer di kalangan masyarakat, sehingga pada pemilu pertama setelah reformasi tahun 2015 Partai NLD sukses memperoleh kemenangan besar.

����������� Memang sejak dulu partai NLD sering mendapatkan popularitas yang cukup tinggi di kalangan masyarakat, namun di bawah kekuasaan militer partai tersebut tidak memiliki kekuatan yang cukup dalam menyaingi kekuasaan junta. Akan tetapi setelah kekuasaan kembali ke tangan sipil, Hal tersebut kian menjadi ancaman dalam melengserkan kekuasaan militer dalam pemerintahan Sehingga seringkali ada terdapat krisis di dalam pemerintahan. Apalagi Aung San Suu Kyi dan para petinggi NLD seringkali melakukan upaya untuk dapat melemahkan kekuasaan militer melalui serangkaian strategi politik yang di lakukan dengan dukungan aktor eksternal yang bersimpati atas demokratisasi di Myanmar.

����������� Pada pemilu selanjutnya yang di laksanakan 8 November 2020, Partai NLD lagi-lagi mendapatkan kemenangan besar dengan perolehan 396 dari 476 kursi di parlemen (Roza, 2021). Hasil tersebut terlampau jauh dibandingkan jumlah kursi yang di menangkan oleh Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang di dukung militer sebanyak memenangkan 25 kursi (Rugian et al., 2022). Pihak militer lantas mengindikasikan adanya kecurangan dalam pemilu tersebut dan menuntut adanya penyelidikan dan pemilihan ulang.

Namun setelah sekian lama tidak mendapatkan respon atas tuntutan tersebut, Pada tanggal 29 Januari 2021 tatmadaw atau angkatan bersenjata Myanmar mulai mengerahkan tank dan kendaraan lapis baja di kota-kota besar di Myanmar. Selanjutnya pada 1 Februari 2021 Pihak Militer Myanmar di bawah pimpinan Jenderal militer Myanmar (Tatmadaw) Min Aung Hlaing, Melakukan kudeta dan Menangkap Penasehat negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Mynt, serta beberapa tokoh penting dalam Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).

Bersamaan dengan itu pihak militer juga memberlakukan jam malam, memblokir akses internet sejak jam 03.00 serta mengumumkan kondisi darurat nasional selama setahun.� Walaupun pada konstitusi Myanmar Tahun 2008 artikel 417-419, yang berhak melakukan hal tersebut hanyalah adalah presiden.

�If there arises or if there is sufficient reason for a state of emergency to arise that may disintegrate the Union or disintegrate national solidarity or that may cause the loss ofsovereignty, due to acts or attempts to take over the sovereignty of the Union by insurgency, violence and wrongful forcible means, the President may, after coordinating with the National Defence and Security Council, promulgate an ordinance and declare a state of emergency.�

����������� Sehingga dengan hal itu militer secara tidak langsung menyatakan bahwa pemerintahan telah di ambil secara utuh. Di hari Selanjutnya pihak Militer menempatkan 400 orangnya untuk menduduki parlemen dan membentuk State Administration Council (SAC) untuk memperkuat posisinya dalam pemerintahan. Di saat yang bersamaan pengambilan Kekuasaan tersebut tentu membuat masyarakat Myanmar kembali di hantui dengan pengalaman pemerintahan militer pada dekade-dekade sebelumnya, Sehingga merespon hal tersebut warga dari berbagai kalangan yang di dominasi oleh Buruh dan Mahasiswa, Mulai melakukan aksi perlawanan dan demonstrasi besar-besaran menuntut di kembalikannya pemerintahan ke tangan sipil.

����������� Aksi ini di mulai dengan gerakan mogok kerja oleh para pekerja kesehatan dan buruh sipil di bawah nama Civil Disobedience Movement (CDM), yang selanjutnya di ikuti oleh masyarakat secara umum. Di mana pada tanggal 3 Februari 70 staf dari rumah sakit dan departemen kesehatan di 30 kota melakukan aksi mogok kerja sebagai protes, dan dua hari kemudian 100 rumah sakit pemerintah, 22 universitas, dan 16 departemen pemerintahan turut serta dalam CDM.

����������� Demonstrasi juga akhirnya menjadi semakin masif, di mana yang awalnya terkonsentrasi disekitaran wilayah ibukota Nay Pyi Daw kemudian menyebar ke berbagai wilayah lainnya. Namun sayangnya, pihak Junta juga merespon dengan sejumlah tindakan kekerasan untuk dapat mengontrol situasi termasuk dalam penggunaan senjata api kepada warga sipil walaupun tuduhan tersebut di sanggah oleh pihak junta militer. Akhirnya perlahan Korban Jiwa mulai berjatuhan, pada 3 Maret 2021 saja 38 orang meninggal atas tindakan kekerasan dari pihak junta militer ke warga sipil (Putri et al., 2021).

Hingga kemudian pada 9 Februari Mya Thwe Thwe Khaing, seorang orang pemuda berusia 20 tahun tertembak di kepalanya dalam aksi protes yang diikuti olehnya yang membuatnya tidak dapat di selamatkan lagi pada 19 Februari karena cedera otak. Peristiwa tersebut semakin memancing amarah warga terhadap pemerintahan militer yang mengakibatkan bukan tingkat kepatuhan masyarakat yang semakin tinggi, namun malah semakin menjadi-jadi dan berakibat pada penghentian total kehidupan sosial ekonomi serta juga ketidakstabilan keamanan yang semakin tinggi khususnya di daerah perbatasan.

Hal ini memperkuat posisi kelompok-kelompok separatis Myanmar untuk dapat meraih dukungan dan melanggengkan aksinya. Pihak militer yang melihat peningkatan kekuatan etnis di perbatasan yang menginginkan separatisme sebagai sebuah ancaman, sehingga mereka selanjutnya juga melakukan agresi militer dalam menumpas kekuatan militer kelompok-kelompok pemberontak seperti : Arakan Army, Tentara Aliansi Demokrasi Myanmar, Tentara Kemerdekaan Kachin dan Tentara Pembebas Nasional Ta'ang.

Bangkitnya kembali perlawanan dari� para militan separatis, memperkuat posisi CDM sebagai simbol perlawanan masyarakat, di mana pada 16 Februari CDM melancarkan aksinya dengan membuat fungsi dan kapasitas pihak junta militer dalam bidang perbankan, media, transportasi, juga staff pemerintah yang tergabung menjadi terhambat. Hal ini di respon oleh pihak militer dengan semakin brutal melalui serangan bersenjata ke pekerja kereta api juga secara ilegal menangkap 400 orang yang menargetkan para pekerja di bidang kesehatan.

Dengan semakin maraknya kekerasan yang dilakukan oleh pihak militer terhadap sipil dalam rangkaian aksi protes ini akhirnya di tanggal 22 Februari 2021 rakyat sipil bersepakat untuk mengadakan protes dengan volume yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya, yang kemudian dinamakan sebagai revolusi musim semi 22222. Nama ini di gunakan untuk di sandingkan dengan terjadinya� revolusi berdarah 88888 yang pada akhirnya berhasil membuat pihak junta militer terpaksa memenuhi permintaan rakyat terhadap demokratisasi dalam pemerintahan di masa lalu. Para demonstran setidaknya menuntut tujuh hal dalam aksi tersebut diantaranya : 1. Pemulihan demokrasi, 2. Penghapusan pemerintahan militer yang otoriter 3. Pembebasan terhadap tahanan politik dan masyarakat sipil lainnya yang di tahan selama kudeta, 4. Penghapusan Undang-Undang Dasar tahun 2008, 5. Penetapan Serikat Federal, 6. Ketidak inginan akan nasionalisme berpengaruh dari etnis Burma selaku etnis dominan, dan yang terkahir 7. Penyatuan atau Integrasi seluruh kelompok Masyarakat di Myanmar.

Walaupun saat ini gerakan protes tersebut sudah mulai menurun intensitasnya dikarenakan oleh kejenuhan masyarakat dan keinginan masyarakat untuk kembali mencapai keamanan, Akan tetapi beberapa tempat masih terjadi aksi penolakan dan pembangkangan dari rakyat sipil. Namun ini juga bukan berarti bahwa masyarakat sipil telah sepenuhnya tunduk akan tetapi sedang menunggu waktu yang tepat untuk kembali melancarkan aksi perlawanan. Dimana rakyat sudah mulai sedikit tenang semenjak pihak junta mengeluarkan pernyataan bahwa akan segera mengembalikan pemerintah sipil secepatnya di tahun yang akan datang dan akan berupaya untuk mencegah terjadinya kembali kekerasan serta mengembalikan keamanan kepada seluruh rakyat Myanmar.

����������� Civil disobedience movement (CMD) ini merupakan salah satu gerakan sosial di negara dunia ketiga, yang awalnya terjadi karena adanya pengambilan kekuasaan secara paksa oleh pihak militer yang tidak mendapatkan respon positif dari masyarakat yang mengakibatkan terjadinya integrasi warga sipil untuk dapat melakukan perlawanan demi melindungi kebebasan nya di bawah nama demokrasi.

Pada fase awal pengambilan kekuasaan oleh pihak junta, warga Myanmar mengalami kegelisahan atas trauma masa lalu dan masih belum melakukan penolakan secara objektif akan tetapi ketika terbentuknya civil disobedience movement yang yang diprakarsai oleh para pekerja medis dan buruh, masyarakat sipil dari berbagai kalangan kemudian mulai menyatukan kekuatan di bawah kelompok resistant yang lebih terorganisir dan memiliki tujuan yang lebih jelas.

Kelompok ini kemudian semakin memiliki simpatisan yang lebih luas ketika jatuhnya korban dari warga sipil oleh karena aksi kekerasan yang dilakukan oleh pihak militer sehingga hal ini menjadi sebuah sarana propaganda dan pembuktian atas kekejaman dan ketidakadilan yang di lakukan oleh rezim Militer. Dimana dengan meningkatnya partisipasi masyarakat serta penolakan yang terjadi, mengakibatkan pihak militer sewaktu-waktu akan terpaksa untuk dapat memenuhi tuntutan rakyat atau melakukan negosiasi untuk dapat mengembalikan keamanan, kestabilan bersama, juga demi mengembalikan jalannya sektor sosial dan ekonomi yang terhambat oleh karena aksi pemogokan dan pemboikotan sipil di Myanmar.

 

Kesimpulan

Myanmar merupakan negara dengan sejarah panjang perjuangan anti penjajahan dan ketidakadilan, namun mengalami pergesekan antar kepentingan politik sipil dan militer setelah meraih kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948. Kondisi ini menyebabkan adanya campur tangan militer dalam pemerintahan yang mengancam stabilitas dan demokrasi di negara tersebut. Setelah beberapa kali terjadi penggulingan kekuasaan oleh militer, masyarakat Myanmar yang tidak ingin kembali jatuh dalam masa-masa kelam pada dekade-dekade sebelumnya membangkitkan gerakan sosial untuk menentang pemerintah junta militer dan memperjuangkan kebebasan dan demokrasi.

Gerakan sosial ini meliputi aksi pemogokan, kampanye politik, pemboikotan terhadap tempat-tempat vital bagi pemerintah militer, dan demonstrasi yang dilakukan melalui Civil Disobedience Movement (CDM) yang mempersatukan berbagai segmen masyarakat. Walau gerakan ini mendapat tanggapan kekerasan dari pemerintah militer, namun gerakan ini berhasil menekan pihak junta militer untuk melakukan negosiasi dengan pihak sipil untuk membahas masa depan Myanmar dan mengembalikan keamanan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Gerakan sosial ini merupakan contoh dari gerakan sosial negara dunia ketiga yang dilakukan atas dasar penolakan hukum dan pembangkangan terhadap pemerintah yang otoriter.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Alimin, N. (2022). AFP,�Myanmar Internet Blackout Worsens�, Bangkok Post, 2 April 2021, https://www. bangkokpost. com/world/2093995/myanmar-internet-blackout-worsens, ac-cessed 22 August 2021. AFP,��No Legal Pathways�: Myanmar Poverty Pushes Thousands to Thailand�, Mizzima, 7 January 2022, https://mizzima. com/article/no-legal-pathways-myanmar. Covid-19 and Atrocity Prevention in East Asia, 182.

 

Ashadi, W. (2022). Kudeta Junta Militer Myanmar Terhadap Aung San Suu Kyi 2021. Dauliyah: Journal of Islam and International Affairs, 7(2), 138�164.

 

Aziz, M. F. (2014). Representasi perlawanan sipil dalam lirik lagu tantang tirani: analisis semiotika charles sanders peirce. Tangerang: Universitas Multimedia Nusantara.

 

Budaya, F. M. (2019). Penegakan Hukum Pidana Terhadap Perdagangan Gelap Telepon Seluler Di Wilayah Hukum Direktorat Kepolisian Perairan Polda Riau. Universitas Islam Riau.

 

Charney, M. W. (2021). Myanmar coup: how the military has held onto power for 60 years. The Conversation.

 

Hamzah, A. (2018). Pengaruh Diplomasi Kemanusiaan Indonesia Terhadap Krisis Kemanusiaan Rohingya Di Myanmar. Skripsi Universitas Hassanudin.

 

Hidayat, A. A. (2022). Sejarah sosial Muslim Minoritas di kawasan Asia. Prodi P2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

 

Ni�am, L. (2014). Kepengaturan dan penolakan relokasi: Kasus warga Watugajah pascabencana Gunung Merapi tahun 2011-2013. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 18(1), 1�14.

 

Putri, A., Jasmine, P., Salma, R., Bagasta, G., & Faturrahman, M. P. (2021). Dampak Prinsip-Prinsip Dasar ASEAN Terhadap Pola Kerjasama ASEAN Menghadapi Krisis Kudeta Myanmar. Nation State: Journal of International Studies, 4(1), 117�139.

 

Roza, R. (2021). Kudeta Militer di Myanmar: Ujian Bagi ASEAN. Info Singkat Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 13(4), 7�12.

 

Rugian, F. E., Niode, B. N., & Tulung, T. E. (2022). Dinamika Kehidupan Demokrasi di Myanmar (Suatu Studi Tentang Pengalihan Kekuasaan Oleh Militer di Tahun 2021). Jurnal Pemerintahan Dan Politik, 7(2).

 

Sampson, A. (2018). Nelson Mandela: the authorised biography. Bentang Pustaka.

 

Santika, I. G. N. (2022). Menggali dan Menemukan Roh Pancasila Secara Kontekstual.

 

Seethi, K. M. (2022). Human Mobility and Reverse Migration in Asia: Triggers and Travails. Journal of Polity and Society, 14(2).

 

Ukraine�s, C. (2014). Krisis ukraina dan dampaknya terhadap Tatanan politik global dan regional. Jurnal Penelitian Politik| Volume, 11(1), 79�108.

 

Wibowo, T. (2016). Ketimpangan pendapatan dan Middle income trap. Kajian Ekonomi Dan Keuangan, 20(2), 111�132.

 

Copyright holder:

Syuhada Bahri (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: