Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia�
p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
10, Oktober 2022
CIVIL DISOBEDIENCE MOVEMENT (CDM) SEBAGAI GERAKAN
RESISTANSI RAKYAT MYANMAR TERHADAP KUDETA MILITER TAHUN 2021
Syuhada Bahri
Universitas Muhammadiyah Malang, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Myanmar
atau Burma telah lama menjadi korban dari buruknya pemerintahan militer di masa
lalu, di mana sebelumnya Militer pernah memegang kekuasaan lebih dari 50 Tahun
lamanya. Setelah
pemerintahan demokratis dipulihkan pada tahun 2011 pun Myanmar masih di
bayang-bayangi oleh kekuasaan militer. Pada Februari 2021 Militer kembali
melakukan kudeta dengan menangkap para petinggi pemerintahan Myanmar seperti
Aung san Suu Kyi dan presiden Win Myint. tindakan kudeta militer tersebut tentu membuat rakyat
Myanmar kembali mengingat kenangan buruk selama negara berada di bawah
pemerintah militer, Rakyat yang tidak ingin kembali di kuasai oleh pemerintahan
yang otoriter lantas serentak menyuarakan protes melalui demonstrasi untuk
menentang kudeta tersebut yang selanjutnya di namakan oleh revolusi musim semi
22222. Penelitian ini menggunakan Konsep Gerakan Pembangkangan Sipil� sebagai alat analisa, Untuk memperoleh data
dan informasi penulis menggunakan metode library research dengan jenis
kualitatif deskriptif.
Kata-Kata
Kunci: Kudeta, Gerakan Pembangkangan Sipil, Myanmar, Militer.
ABSTRACT
Myanmar or Burma has long been a victim of bad
military rule in the past, where previously the military had held power for
more than 50 years. Even after democratic government was restored in 2011,
Myanmar is still overshadowed by military rule. In February 2021 the military
again staged a coup by arresting high-ranking Myanmar government officials such
as Aung san Suu Kyi and president Win Myint. The military coup action certainly
made the people of Myanmar recall bad memories as long as the country was under
a military government, the people who did not want to be controlled by an
authoritarian government then simultaneously voiced protests through
demonstrations against the coup which was hereinafter called the spring
revolution 22222 This study uses the concept of the Civil Disobedience Movement as an analytical tool. To obtain data and
information, the writer uses library research method with descriptive
qualitative type.
Keywords:
Coup, Civil Disobedience Movement,
Myanmar, Military.
Pendahuluan
Myanmar adalah salah satu negara di Asia tenggara
yang berbatasan langsung dengan Bangladesh, India, Cina, Laos, dan Thailand.
Negara ini dulunya dikenal dengan nama Burma yang merupakan etnis terbesar,
namun dikarenakan munculnya berbagai perlawanan dari kelompok-kelompok etnis
minoritas lain maka setelah adanya peristiwa berdarah 8888 pemerintah
memutuskan untuk mengubah nama Burma menjadi Myanmar untuk menyatukan kembali
rakyatnya. Sama seperti kebanyakan negara dunia ketiga lainnya Myanmar juga
pernah mengalami masa-masa penjajahan di mana ia pernah menjadi negara jajahan
nya kerajaan Inggris dan setelah 42 Myanmar jatuh ke tangan Jepang. Selama
berada di bawah pemerintahan Jepang Myanmar ternyata jauh lebih menderita
dibandingkan berada di bawah kekuasaan Inggris, setelah sekian lama berada di
bawah penderitaan muncul seorang tokoh yang kelak akan menyandang gelar
pahlawan, ia bernama Aung San.
Aung san yang juga merasa terkhianati oleh
iming-iming Jepang yang sebelumnya mengatakan akan memberikan kehidupan yang
lebih baik kepada rakyat Myanmar kemudian memutuskan untuk menggandeng blok
sekutu untuk dapat mengusir Jepang dari wilayahnya. Akhirnya pada 27 Maret 1945
dengan bantuan kerajaan Inggris dan tentara aliansi, Jepang dipaksa keluar dari
Myanmar yang menjadikan myanmar akhirnya kembali berada di bawah kekuasaan
Inggris. selanjutnya melalui perundingan panjang, pada 1948 Myanmar kemudian
berhasil untuk dapat berdiri sebagai sebuah negara yang merdeka.
Namun kemerdekaan tersebut rupanya tidak serta merta
menjadikan Myanmar bangkit menjadi wilayah yang makmur, pihak militer yang
sebelumnya memainkan peran penting dalam kemerdekaan Myanmar rupanya tidak
terlalu rela dalam memberikan kekuasaan penuh pada pihak sipil karena
menganggap bahwa militer juga harusnya dapat tetap memiliki kekuasaan
didalamnya. Hal ini semakin memanas hingga pada 2 Maret 1962 Ne Win yang
merupakan jenderal angkatan bersenjata Burma Tatmadaw, berhasil menggulingkan
kekuasaan presiden Win Maung Dan perdana menteri U Nu, dengan hal itu
demokratisasi di Myanmar akhirnya kembali terhambat dan dan Myanmar jatuh ke
tangan pemerintahan yang otoriter.
Di bawah pemerintahan militer terjadi banyak sekali
aksi resistansi yang timbul dari masyarakat terutama dari etnis minoritas yang
tinggal di perbatasan yang membentuk kelompok militan bersenjata yang menuntut
otonomi khusus atau separatisme. Ketidakpuasan dan kemarahan masyarakat sempat
memuncak pada peristiwa yang dikenal dengan revolusi 8888 yang memakan ribuan
korban jiwa dari pihak sipil, hingga pada 4 Februari 2011. Tingginya tekanan
dari dunia internasional dan serangkaian ancaman politik serta ekonomi,
pemerintah militer akhirnya memutuskan untuk mengembalikan kembali tongkat
kekuasaan kepada sipil. Melalui hal itu
Thein Sein akhirnya diangkat menjadi presiden Myanmar setelah 60 tahun
kekuasaan militer (Charney, 2021).
Akan tetapi walaupun militer sudah tidak memegang
kekuasaan penuh namun mereka masih memiliki tempat dalam parlemen sehingga
pemerintahan masih dibayang-bayangi oleh kekuatan militer. Aung San Suu Kyi
yang merupakan anak dari sang pahlawan, Aung san. Selama berpuluh-puluh tahun
mencoba untuk dapat menghilangkan hal ini dan membuatnya tampil menjadi seorang
pemimpin tertinggi partai NLD yang berkuasa setelah reformasi, ya sebelumnya
sempat menjadi tahanan rumah selama 20 tahun setelah perannya dalam gerakan
8888 yang menjadikannya sebagai tokoh politik terkemuka di kalangan rakyat
Myanmar sehingga membuatnya sukses tampil sebagai kanselir. Tindakannya untuk
melemahkan kekuasaan militer menjadi lebih aktif setelah adanya reformasi yang
menjadikan pihak militer semakin gelisah akan hal itu, Ketegangan dalam
perpolitikan di Myanmar semakin meningkat intensitasnya setelah partai NLD
berkali-kali memenangkan pemilu.
Ketika pemilu 8 November 2020 pada akhirnya
dilaksanakan partai NLD kembali meraih suara mayoritas dengan 369 suara dari
476 total suara, sementara pihak militer hanya memperoleh 33 suara (Charney, 2021).
Hasil ini mengakibatkan pihak militer menuduh bahwa partai NLD melakukan
kecurangan dalam pemilu ini dan menuntut adanya penyelidikan lebih lanjut. Akan
tetapi penyelidikan yang dituntut tersebut pada akhirnya tidak berjalan dengan
baik dan membuat militer yang di pimpin oleh jenderal Min Aung Hlaing akhirnya
mengambil langkah dengan menggulingkan kekuasaan pemerintah sipil sekali lagi
pada 1 Februari 2021 (Ashadi, 2022).
Kudeta ini tentu
mengingatkan kembali rakyat Myanmar tentang mimpi buruk yang dialami ketika
berada di bawah pemerintahan militer puluhan tahun yang lalu sehingga rakyat
pun secara kolektif berkumpul dan mengeluarkan aksi penolakan terhadap
pengambilan kekuasaan ini. Gerakan resistansi tersebut tergabung dalam Kelompok Civil Disobedience Movement (CDM) yang dilakukan dengan berbagai macam cara diantaranya
yaitu Long March hingga membuat suara bising yang di simbolkan sebagai
penolakan terhadap iblis dalam kepercayaan masyarakat setempat. Dengan semakin
luasnya aksi protes di seluruh negeri, pada 22 Februari rakyat Myanmar secara
kolektif melakukan aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan bukan hanya di
ibu kota namun juga hingga ke seluruh penjuru Myanmar, Aksi ini kemudian
dinamakan sebagai revolusi musim semi 22222, alasan penggunaan nama ini karena
penyelenggara dan peserta menyandingkannya dengan aksi revolusi 8888 yang
menjadi titik balik bagi proses demokratisasi di Myanmar di masa lalu. Aksi ini
tidak berakhir damai karena pihak militer kemudian menggunakan cara-cara yang
ofensif untuk dapat menenangkan kemarahan massa, di mana selain menggunakan
senjata anti huru-hara ternyata terdapat pula penggunaan senjata api yang
kemudian menewaskan banyak demonstran, diantaranya yaitu Mya Thwe Thwe Khaing.
Seorang gadis berusia 20 tahun yang tertembak oleh aparat ketika menjadi bagian
dari aksi tersebut. Kematiannya ini bukan membuat masyarakat Myanmar menjadi
takut pada ada kekuasaan pemerintahan namun malah semakin membakar amarah
rakyat yang membuat semakin luasnya aksi protes yang terjadi (Alimin, 2022).
Akhirnya situasi yang
memanas dan ketidakstabilan dalam negeri membuat banyak warga yang akhirnya
juga memutuskan untuk melarikan diri ke negara-negara tetangga selain itu
kelompok etnis separatis seperti tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar
(MNDAA), Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA), dan Arakan Army (AA) (Ukraine�s, 2014). yang telah lama berdiam diri ini kembali
menunjukkan taringnya, bahkan di situasi tersebut banyak warga yang kemudian
malah menjadikan kelompok-kelompok ini sebagai pelindung mereka dari kekejaman
Militer sehingga banyak juga yang akhirnya menjadi simpatisan dan bagian dari
kelompok ini. Perjuangan rakyat Myanmar dalam mengembalikan demokrasi ke dalam
segi pemerintahannya inilah yang kemudian menarik minat penulis untuk dapat
menganalisanya lebih lanjut, Di mana penulis berharap dengan penelitian ini
akan memberikan sumbangsih terhadap studi hubungan internasional terutama pada
pembahasan gerakan sosial di negara dunia ketiga.
Landasan Konseptual
����������� Untuk Demi memperoleh sebuah penelitian yang terarah dan
komprehensif, tentu dibutuhkan sebuah alat analisa yang yang menjadi pedoman
peneliti dalam menganalisa isu yang dibahas. Pada penelitian ini penulis menggunakan
Konsep civil disobedience movement (CDM). Civil Disobedience Movement
atau yang dapat diartikan sebagai gerakan pembangkangan atau resistansi sipil,
digunakan pertama kali oleh Henry David thoreau tahun 1848 untuk menjelaskan
mengenai gerakan penolakan yang terjadi di Amerika Serikat oleh kebijakan pajak
pemerintah yang rencananya akan digunakan untuk membiayai perang di Meksiko, di
mana hal itu akan memperluas praktik perbudakan melalui penguatan hukum
perbudakan yang ada.
Pada perkembangannya di tahun 1971 John Rawls kemudian
berhasil untuk pertama kali mendefinisikan mengenai Civil disobedience
movement yang dapat di terima secara luas, di mana ia menjelaskan CDM
sebagai gerakan tanpa kekerasan atau aksi damai yang dilakukan dengan hati-hati
demi tujuan untuk membawa perubahan dalam hukum atau kebijakan yang ada (Budaya, 2019).
Aksi pembangkangan rakyat dapat terwujud oleh berbagai
bentuk, dapat bermulai dari aksi turun ke jalan hingga aksi simbolik yaitu
mogok kerja dan aksi diam seperti yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi dari India
(Aziz, 2014), yang melakukan pembangkangan terhadap Kolonial
Inggris terkait dengan ketidakadilan dan kebijakan transaksi garam. Lebih
lanjutnya Algifari Hassan menyampaikan pula bahwa CDM itu dilakukan oleh warga
secara terorganisir dan penuh kesadaran walaupun itu berarti melawan hukum
sehingga memungkinkan partisipan mendapatkan suatu sanksi atau hukuman. Dengan
demikian para partisipan tahu bahwa akan konsekuensi tersebut namun mereka
tetap melakukan penolakan demi kepentingan yang di tuju.
Ronald Dworkin dalam hal ini ini kemudian menjabarkan
bahwa terdapat tiga jenis dari pembangkangan sipil yang pertama yaitu berbasis
integritas dimana warga sipil tidak mematuhi hukum yang menurut norma dan
kaidah yang dipahami bertentangan dengan nilai-nilai yang ada, yang kedua yaitu
berbasis keadilan di mana warga melakukan pembangkangan dan penolakan terhadap
hukum yang menyalahi hak hak yang dimiliki olehnya, dan yang terakhir yaitu
berbasis kebijakan dimana warga melakukan penolakan ketika otoritas setempat
menerapkan kebijakan yang dianggap sebagai sesuatu yang salah oleh warga sipil (Ni�am, 2014).
Mengenai isu gerakan sosial yang terjadi di Myanmar,
warga melakukan penolakan dan aksi protes terhadap pemerintahan militer yang
melakukan kudeta terhadap pemerintahan demokratis yang kembali ke Myanmar sejak
tahun 2011. Dimana hal itu membuat warga Myanmar kembali mengingat mimpi buruk
atas pemerintahan militer di masa lalu yang otoriter dan membuat Myanmar
menjadi salah satu negara yang paling lambat dalam perkembangan dan rendah
dalam kesejahteraan.
Selain itu dikarenakan terjadinya penangkapan terhadap
tokoh-tokoh politik yang dikagumi masyarakat seperti Aung San Suu Kyi dan kekhawatiran
akan kembali terjadinya pemerintahan otoriter di Myanmar, membuat warga
akhirnya turun kejalan dan melayangkan aksi protes terhadap pemerintahan junta
militer. Di mana bukan hanya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh warga,
masyarakat dari sektor strategis lainnya seperti kesehatan dan pekerja umum
atau buruh, juga melayangkan aksi melalui adanya pemogokan dan keberpihakan
terhadap sipil yang membuat kehidupan sosial dan ekonomi di Myanmar menjadi
terhambat.
Metode
Penelitian
����������� Penelitian�� ini��
menggunakan�� jenis�� penelitian��
kualitatif deskriptif. Di mana menurut�
Bogdan� dan� Tylor��
penelitian� kualitatif� di definisikan sebagai� �prosedur penelitian� yang�
menghasilkan� data� deskriptif�
berupa� kata-kata� tertulis�
atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati�. Metode� kualitatif�
deskriptif�� di lakukan dengan
menyesuaikan antara pemikiran penulis dengan sumber yang di dapat menggunakan
metode library research yaitu mengambil dan memilah informasi melalui data-data
yang tersedia di buku, Jurnal, Situs berita yang terverifikasi dll. Penulis
menggunakan metode ini karena penelitian ini berfokus untuk menjelaskan
bagaimana bisa fenomena Kudeta militer yang terjadi di Myanmar dapat
mempengaruhi stabilitas keamanan di wilayah Asia tenggara sehingga tidak
memungkinkan untuk di jelaskan dalam bentuk angka.
Data-data tersebut selanjutnya akan disajikan dengan
bentuk deskriptif� dengan menggunakan
pemilihan kata yang mudah di mengerti, Namun tetap akurat dalam menjelaskan
topik yang di bahas yaitu mengenai Civil Disobedience Movement Sebagai Gerakan
Resistansi Rakyat Myanmar Terhadap Kudeta Militer Tahun 2021. Hasil dari
penelitian tersebut akan di analisa menggunakan teori atau konsep yang
berkaitan melalui studi literatur demi mencapai hasil penelitian yang maksimal.
Hasil
dan Pembahasan
Profil� dan
Sejarah Singkat Negara Myanmar
����������� Myanmar atau lengkapnya di
sebut Pyidaunzu Thanmăda Myăma Nainngandaw atau Republik persatuan
Myanmar adalah sebuah negara yang terletak di barat kawasan Asia
tenggara, luas wilayahnya sebesar 676.590 km2 dan beribukota di Naypyidaw
setelah sebelumnya di pindahkan dari Yangoon. Negara ini berbatasan dengan
China di bagian utara, Bangladesh dan India di bagian barat, Thailand dan Laos
di wilayah timur serta Malaysia di bagian selatan.
����������� Bentuk
pemerintahannya yaitu Republik dengan sistem pemerintahan adalah presidensil,
di mana saat ini yang menjabat sebagai Presidennya adalah Win Myint dan
penasihat negaranya adalah Aung San Suu Kyi dari partai� National League for Democracy (NLD)
atau Liga Nasional Untuk demokrasi yang menjadi partai mayoritas di Myanmar
saat ini.� Myanmar adalah negara multi
ras dengan total penduduknya pada 2009 sebesar 47.6 Juta jiwa,� yang sebagian besar berasal dari ras Bamar
yang mendominasi 2/3 populasi yang sebagian besar penganut ajaran Buddha di
Myanmar, Selain itu terdapat Ras inti lainnya yakni : Arakan, Karen, Rohingya,
Kayah, Mon, Chin dan Kachin. Militer Myanmar termasuk dalam militer terkuat
ke-4 di Asia tenggara, di mana pemerintahan di Myanmar walaupun telah di
katakan telah berestorasi ke pemerintahan pemerintahan sipil pada 2011 namun
campur tangan Militer masih kuat dalam memengaruhi jalannya pemerintahan di
Myanmar hingga saat ini (Wibowo, 2016).
����������� Sejak
1824 Myanmar merupakan negara yang dijajah oleh Inggris sama dengan India,
memasuki tahun 1900-an mulai bermunculan gerakan nasionalisme di Myanmar,
Munculnya gerakan nasionalisme tersebut tidak lepas dari beberapa alasan di
antaranya yaitu dampak dari perang dunia pertama yang di akhiri dengan
perjanjian Versailles, kemenganan Jepang atas Rusia yang menginspirasi semangat
perjuangan, serta timbulnya Nasionalisme di India yang menciptakan efek domino
sehingga Masyarakat Myanmar semakin termotivasi untuk berdiri sebagai bangsa
yang merdeka. Hal inilah yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya
gerakan-gerakan perlawanan terhadap penjajahan.
Ketika Jepang masuk ke
Myanmar pada 1942 gerakan Nasionalisme Myanmar semakin
berkembang, hal tersebut juga menjadikan berdirinya Liga Rakyat Merdeka
Anti-Fasis (AFPFL) yang di pimpinan Aung San. Aung san yang kemudian melihat
bahwa kekuatan dari Jepang yang melemah kemudian membuatnya menghimpun kekuatan
dengan menyatukan rakyat Myanmar, selain itu ia juga meminta dukungan dari
Inggris dalam mengalahkan Jepang. Pertempuran pun terjadi, Jepang yang telah
terpojokkan oleh serangan aliansi pun tidak dapat bertahan sehingga pada 15
Juni 1945 Jepang pun menyerah (Santika, 2022). Walaupun Jepang telah di usir, namun pemerintahan
di Myanmar kemudian di kembalikan ke tangan Inggris. Akhirnya setelah
perjuangan panjang melalui pendalaman mengenai masa depan Myanmar, Pada 4
januari 1948 Inggris akhirnya dengan resmi memberikan kemerdekaan kepada rakyat
Myanmar yang saat itu masihlah bernama Burma. Dengan Sao Shwe Thaik sebagai
presiden pertamanya.
Di bawah pemerintahan junta
Militer pada 1988, terdapat kembali berbagai gerakan masyarakat yang menuntut
disintegrasi atau otonomi di beberapa wilayah di Burma yang di dominasi oleh
etnis Minoritas seperti Arakan dan Karen. Merespon Hal tersebut pemerintah
kemudian melihat bahwa salah satu alasan munculnya berbagai gerakan
anti-pemerintah itu karena adanya konflik antar etnis karena lemahnya persatuan
karena ketidak adilan yang di rasakan di bandingkan oleh etnis Bamar yang berdiri
sebagai etnis mayoritas. Oleh karena itu pada 18 Juni 1989 nama Burma resmi di
ganti menjadi Myanmar yang di harapkan dapat menyatukan semua etnis ke dalam
satu identitas yang sama.
Sejarah Gerakan Rakyat Di Myanmar
����������� Myanmar
atau yang dulunya bernama Burma adalah salah satu negara yang masih di hantui
oleh kekuasaan militer, di mana Militer di Myanmar selain masih memiliki ikut
campur dalam pemerintahan, namun juga dapat sewaktu-waktu kembali mengambil
alih Pemerintahan itu sendiri. Mengenai perjalanan reformasi dan awal dari
rezim militer dapat berperan kuat dalam politik pemerintahan Myanmar sampai
saat ini, tidak lepas dari� peran
pengaruh era penjajahan dulu terutama ketika berada di bawah kekuasaan Jepang.
Sama halnya dengan Indonesia, kedatangan Jepang awalnya di anggap sebagai
penyelamat bangsa asia dari penjajahan bangsa barat, bahkan masuknya Jepang
sendiri merupakan undangan dari tokoh Masyarakat yang kelak akan di kenal
sebagai pahlawan negara bernama Aung San, yang dengan keinginannya sendiri
untuk pergi ke Jepang menghadap kolonel Suzuki dan meminta bantuan dalam
mengusir kolonialisme Inggris di Burma pada tahun 1939 (Sampson, 2018).
����������� Setelah
Burma jatuh ke tangan Jepang, Jepang kemudian merekrut masyarakat Burma yang di
sebut Thakins untuk mendapatkan pelatihan militer, Anggota Thakins kemudian
menjadi pelopor dari terbentuknya Burma Independence Army (BIA). Pembentukan
organisasi ini awalnya di dukung oleh Jepang yang menganggap bahwa kelompok ini
dapat memberikan keleluasaan bagi Jepang dalam mempertahankan eksistensinya di
Burma oleh karena anggotanya yang sebelumnya telah di didik untuk dapat loyal
kepada kekaisaran Jepang.
����������� Akan
tetapi dengan semakin kuatnya kekuatan oleh BIA dan masif nya dukungan� oleh karena kampanye yang efektif terhadap
masyarakat, membuat Jepang akhirnya memutuskan untuk membubarkan kelompok ini
pada tahun 1942 menggunakan tindakan koersif, akan tetapi masyarakat Burma
malah semakin memusuhi Jepang dan mulai bermunculan gerakan perlawanan
anti-Jepang di beberapa wilayah yang tentunya di komandoi oleh BIA.
����������� Akhirnya
setelah Jepang berhasil di usir dan Pihak aliansi pula setuju untuk memberikan
kemerdekaan kepada rakyat Burma, para petinggi BIA mendapatkan peran penting
dalam politik pemerintahan di Burma. Walau demikian sebagai negara yang baru
saja lahir, tentu masih banyak terdapat pertarungan kekuasaan yang terjadi, di
mana U Nu yang menduduki jabatan sebagai perdana menteri sejak 1948 ternyata
memiliki perbedaan pandangan tentang masa depan pemerintahan di Myanmar dengan
Komandan militer Ne Win, di mana hal tersebut juga di landasi oleh adanya
krisis politik karena terdapat perpecahan dalam partai Anti-Facist People�s
Freedom League (AFPL), Oleh karena itu�
pada tahun 1958 Ne Win kemudian melakukan penggulingan terhadap kekuasaan
U Nu dan mengambil alih kekuasaan di Burma untuk sementara.
����������� Ne
Win yang selanjutnya kembali melakukan pemilihan umum untuk dapat mengembalikan
kekuasaan terhadap sipil pada 1960, rupanya membuat partai persatuan yang di
usung U Nu kembali memenangkan pemilu. Namun berdasarkan pengalaman atas krisis
politik sebelumnya, Rupanya pemerintahan kembali menjadi tidak stabil dengan
adanya ketegangan antara sipil dan militer mengenai pemerintahan. Hasilnya
pemerintahan U Nu lagi-lagi di gulingkan oleh militer pada 2 Maret 1962, di
mana selanjutnya Militer sukses dalam menguasai pemerintahan hingga hampir 50
tahun kemudian.
����������� Pada
perjalanan politik pemerintahan di Burma pada masa itu, pemerintahan militer
berupaya untuk menumbuhkan bibit yang dapat menempatkan militer untuk terus
terikat erat dalam pemerintahan. Pemerintah Militer kemudian membubarkan partai
lainnya dan hanya melegalkan partai Burma Sosialist Program Party (BSPP),
Sehingga dengan adanya pemerintahan di bawah satu partai Ne Win pun dapat
semakin leluasa dalam memerintah Burma.
Namun di lain sisi di bawah
kepemimpinan otoriter, Militer selanjutnya memerintah negara dengan tangan besi
sehingga banyak dari warganya yang menderita. Selain itu negara-negara pendonor
juga enggan dalam menyalurkan bantuan finansial dan lainnya terhadap pemerintahan
militer di Burma sehingga proses pembangunan di Burma pun ikut terhambat, dan
hasil dari tekanan sosial juga ekonomi tersebut pula berpengaruh pada kualitas
hidup masyarakat, lebih buruknya lahi pada pertanian saja di tahun 1965-1966
prosuksi padi menurun hingga 5,3 % (Sampson, 2018). Hal ini lantas menyebabkan terjadinya kemarahan
warga hingga terjadi aksi protes di seluruh negeri termasuk juga bermunculannya
kelompok-kelompok bersenjata yang menggaungkan gerakan anti-pemerintah dan
separatisme dari Burma, seperti : Arakan Army, Tentara Aliansi Demokrasi
Myanmar, Tentara Kemerdekaan Kachin dan Tentara Pembebas Nasional Ta'ang.
Aksi protes itu memuncak
pada 8 Agustus 1988 sehingga kemudian gelombang protes tersebut dinamakan
pemberontakan 8888. di mana ketika itu Mahasiswa dari Universitas Rangoon
awalnya melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut sebuah demokrasi dan turunnya
rezim militer. Akan tetapi aksi itu di balas dengan tindakan koersif oleh
pasukan keamanan sehingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Tapi bukan malah
mereda aksi tersebut kemudian menjadi semakin luas terjadi di seluruh negeri,
kali ini di ikuti oleh para biksu, Buruh, para ibu, bahkan anak-anak di barisan
demonstrasi. Dengan di sertai adanya peningkatan serangan dari kelompok etnis
bersenjata, Tekanan aktor-aktor internasional, dan juga perekonomian yang kian
memburuk karena aksi mogok massal para buruh. Akhirnya pada 21 September Ne Win
terpaksa untuk turun dari jabatannya sebagai penguasa tertinggi, Pemerintah
lalu menjanjikan adanya pemilihan umum serta pemulihan demokrasi untuk meredam
aksi massa, partai BSPP pun ikut di bubarkan, dan Untuk menyatukan Masyarakat
yang telah terpecah belah nama Burma lalu di ganti menjadi Myanmar.
����������� Di
balik keberhasilan tersebut, nama Aung San Suu Kyi putri dari pahlawan Burma
Aung San menjadi harum di kalangan masyarakat dan di jadikan sebagai ikon
demokrasi juga kebebasan di Burma, karena ketangguhannya yang lantang dalam
menyuarakan demokrasi di saat pemerintahan militer sedang gencar-gencarnya
menanamkan pengaruhnya yang di landasi ideologi �Burmese way to socialism� di
kalangan masyarakat. Selanjutnya berkat popularitasnya tersebut dan juga dengan
bantuan dari aktor eksternal, ia kemudian berhasil memaksa pemerintah untuk
meresmikan Partai Liga Nasional Untuk Demokrasi (NLD ).
����������� Aung
San Suu Kyii dan partai NLD nya lalu gencar dalam menekan pemerintahan militer
dalam melakukan disfungsi kekuasaan. Pada 1990 Pemerintah Junta setuju untuk
mengadakan pemilu, Pemilu ini lalu di menangkan oleh partai NLD namun
pemerintah Militer yang merasa tidak terima kemudian menanngkap Aung San Suu
Kyi serta beberapa tokoh NLD untuk di jadikan tahanan rumah. Tentunya keputusan
ini kembali mendatangkan protes dari masyarakat, Namun sama seperti sebelumnya
pemerintah Junta kembali berjanji untuk segera menyusun konstitusi demi
mengembalikan kekuasaan kepada sipil untuk menurunkan amarah warga Myanmar.
����������� Walau
begitu sampai bertahun-tahun kemudian belum ada juga implementasi dari janji
tersebut karena adanya kegagalan dalam penyusunan konstitusi dan persaingan internal.
Setelah terjadi beberapa kali aksi protes serupa , akhirnya pada 2008
Pemerintah sukses dalam memutuskan konstitusi untuk penyerahan kekuasaan ke
sipil, Dengan catatan dalam konstitusi tersebut militer tidak sepenuhnya
meninggalkan arena politik Myanmar namun masih mengisi 25% maksimal dari kuota
parlemen nasional dalam pemerintahan melalui Union Solidarity and Development
Party (USDP) yang di dukungnya.
����������� Dengan
demikian pada 2011 pemerintah militer resmi menyerahkan pemerintah ke tangan
sipil. Namun demikian bayang-bayang cengkeraman militer masih terus menghantui,
dua pemilu setelah reformasi berjalan dengan baik-baik saja. Namun pada pemilu
8 November 2020, Partai NLD lagi-lagi mendapatkan kemenangan besar dengan
perolehan 396 dari 476 kursi di parlemen (Hamzah, 2018). Hasil tersebut terlampau jauh di bandingkan jumlah
kursi yang di menangkan oleh Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan
(USDP) yang di dukung militer yang memenangkan 25 kursi (Rugian et al., 2022).
Pihak militer lantas
mengindikasikan adanya kecurangan dalam pemilu tersebut dan menuntut adanya
penyelidikan dan pemilihan ulang. Namun setelah sekian lama tidak mendapatkan
respon atas tuntutan tersebut, pada 1 Februari 2021 Militer Myanmar di bawah
pimpinan Jenderal militer Myanmar (Tatmadaw) Min Aung Hlaing, Melakukan kudeta
dan Menangkap Penasehat negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Mynt, serta
beberapa tokoh penting dalam Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
����������� Pengambilan
Kekuasaan tersebut menjadikan proses demokratisasi di Myanmar dapat di katakan
telah kembali ke titik awal, di mana tentu hal ini membuat masyarakat Myanmar
kembali di hantui dengan pengalaman pemerintahan militer pada dekade-dekade
sebelumnya. Merespon hal tersebut masyarakat dari berbagai kalangan yang di
dominasi oleh Buruh dan Mahasiswa, Melakukan aksi demonstrasi besar-besaran
menuntut di kembalikannya pemerintahan ke tangan sipil. Pihak militer pun kemudian
mengumumkan kondisi darurat nasional selama setahun walaupun pada konstitusi
Myanmar Tahun 2008 artikel 417-419, yang berhak melakukan hal tersebut hanyalah
adalah presiden.
�If there arises or if there is
sufficient reason for a state of emergency to arise that may disintegrate the
Union or disintegrate national solidarity or that may cause the loss
ofsovereignty, due to acts or attempts to take over the sovereignty of the
Union by insurgency, violence and wrongful forcible means, the President may,
after coordinating with the National Defence and Security Council, promulgate
an ordinance and declare a state of emergency.�(Seethi, 2022).
����������� Tindakan
tersebut hasilnya membuat Masyarakat semakin geram dengan tindakan militer
yang� seolah-olah di anggap telah
menguasai pemerintahan secara utuh. Demonstrasi juga akhirnya menjadi semakin
masif, di mana yang awalnya terkonsentrasi di sekitaran wilayah ibukota Nay Pyi
Daw kemudian menyebar ke berbagai wilayah lainnya. Namun sayangnya pihak Junta
juga merespon dengan sejumlah tindakan kekerasan untuk dapat mengontrol situasi
termasuk dalam penggunaan senjata api kepada warga sipil walaupun tuduhan
tersebut di sanggah oleh pihak junta militer.
����������� Selain
itu melihat dari adanya penyebaran berbagai video kekerasan militer dan
mencegah dari adanya propaganda melalui jejaring sosial, Mereka juga membatasi
akses internet nasional serta mengadakan jam malam. Masyarakat yang merasa
semakin terbatasi dengan adanya penerapan aturan tersebut kemudian semakin
memiliki alasan kuat untuk turun berdemonstrasi. Akan tetapi perlahan Korban
Jiwa mulai berjatuhan, pada 3 Maret 2021 saja 38 orang meninggal atas tindakan
kekerasan dari pihak junta militer ke warga sipil, hal ini memperkuat posisi
kelompok-kelompok separatis Myanmar untuk dapat meraih dukungan dan
melanggengkan aksinya (Hidayat, 2022). Pihak militer yang melihat peningkatan kekuatan
etnis di perbatasan yang menginginkan separatisme sebagai sebuah ancaman,
sehingga mereka selanjutnya juga melakukan agresi militer dan serangkaian
serangan udara dalam menumpas kekuatan militer kelompok-kelompok pemberontak
yang juga berakibat pada mengungsinya Ribuan orang ke perbatasan Thailand.
Kudeta Militer Tahun 2021 Dan Civil Disobedience
Movement Sebagai Gerakan Resistansi Rakyat Myanmar.
����������� Kembalinya pemerintahan
Myanmar ke tangan sipil pada tahun 2011 tentu menjadi angin sejuk bagi
demokratisasi di Myanmar, pasalnya sejak dikuasai militer selama hampir 50
tahun, Kemajuan dan pembangunan di Myanmar berjalan dengan sangat lambat. Oleh karena itu, kebebasan dalam berpendapat
dibatasi dan masyarakat juga tidak dapat
menyampaikan aspirasinya dengan leluasa dalam pemerintahan.
����������� Melalui
hal tersebut Aung San Suu Kyi yang merupakan anak dari pahlawan kemerdekaan
Aung San dan juga pemegang penghargaan karena usahanya dalam memperjuangkan
demokrasi di Myanmar. Kemudian muncul sebagai figur utama yang paling
berpengaruh dalam pemerintahan di Myanmar, Begitu pula Partai NLD miliknya yang
populer di kalangan masyarakat, sehingga pada pemilu pertama setelah reformasi
tahun 2015 Partai NLD sukses memperoleh kemenangan besar.
����������� Memang
sejak dulu partai NLD sering mendapatkan popularitas yang cukup tinggi di
kalangan masyarakat, namun di bawah kekuasaan militer partai tersebut tidak
memiliki kekuatan yang cukup dalam menyaingi kekuasaan junta. Akan tetapi
setelah kekuasaan kembali ke tangan sipil, Hal tersebut kian menjadi ancaman
dalam melengserkan kekuasaan militer dalam pemerintahan Sehingga seringkali ada
terdapat krisis di dalam pemerintahan. Apalagi Aung San Suu Kyi dan para
petinggi NLD seringkali melakukan upaya untuk dapat melemahkan kekuasaan
militer melalui serangkaian strategi politik yang di lakukan dengan dukungan
aktor eksternal yang bersimpati atas demokratisasi di Myanmar.
����������� Pada
pemilu selanjutnya yang di laksanakan 8 November 2020, Partai NLD lagi-lagi
mendapatkan kemenangan besar dengan perolehan 396 dari 476 kursi di parlemen (Roza, 2021). Hasil tersebut terlampau jauh dibandingkan jumlah
kursi yang di menangkan oleh Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan
(USDP) yang di dukung militer sebanyak memenangkan 25 kursi (Rugian et al., 2022). Pihak militer lantas mengindikasikan adanya kecurangan
dalam pemilu tersebut dan menuntut adanya penyelidikan dan pemilihan ulang.
Namun setelah sekian lama
tidak mendapatkan respon atas tuntutan tersebut, Pada tanggal 29 Januari 2021
tatmadaw atau angkatan bersenjata Myanmar mulai mengerahkan tank dan kendaraan
lapis baja di kota-kota besar di Myanmar. Selanjutnya pada 1 Februari 2021
Pihak Militer Myanmar di bawah pimpinan Jenderal militer Myanmar (Tatmadaw) Min
Aung Hlaing, Melakukan kudeta dan Menangkap Penasehat negara Aung San Suu Kyi,
Presiden Win Mynt, serta beberapa tokoh penting dalam Partai Liga Nasional
untuk Demokrasi (NLD).
Bersamaan dengan itu pihak
militer juga memberlakukan jam malam, memblokir akses internet sejak jam 03.00
serta mengumumkan kondisi darurat nasional selama setahun.� Walaupun pada konstitusi Myanmar Tahun 2008
artikel 417-419, yang berhak melakukan hal tersebut hanyalah adalah presiden.
�If there arises or if there is
sufficient reason for a state of emergency to arise that may disintegrate the
Union or disintegrate national solidarity or that may cause the loss
ofsovereignty, due to acts or attempts to take over the sovereignty of the
Union by insurgency, violence and wrongful forcible means, the President may,
after coordinating with the National Defence and Security Council, promulgate
an ordinance and declare a state of emergency.�
����������� Sehingga
dengan hal itu militer secara tidak langsung menyatakan bahwa pemerintahan
telah di ambil secara utuh. Di hari Selanjutnya pihak Militer menempatkan 400
orangnya untuk menduduki parlemen dan membentuk State Administration Council
(SAC) untuk memperkuat posisinya dalam pemerintahan. Di saat yang bersamaan
pengambilan Kekuasaan tersebut tentu membuat masyarakat Myanmar kembali di
hantui dengan pengalaman pemerintahan militer pada dekade-dekade sebelumnya,
Sehingga merespon hal tersebut warga dari berbagai kalangan yang di dominasi
oleh Buruh dan Mahasiswa, Mulai melakukan aksi perlawanan dan demonstrasi
besar-besaran menuntut di kembalikannya pemerintahan ke tangan sipil.
����������� Aksi
ini di mulai dengan gerakan mogok kerja oleh para pekerja kesehatan dan buruh
sipil di bawah nama Civil Disobedience Movement (CDM), yang selanjutnya di
ikuti oleh masyarakat secara umum. Di mana pada tanggal 3 Februari 70 staf dari
rumah sakit dan departemen kesehatan di 30 kota melakukan aksi mogok kerja
sebagai protes, dan dua hari kemudian 100 rumah sakit pemerintah, 22
universitas, dan 16 departemen pemerintahan turut serta dalam CDM.
����������� Demonstrasi juga akhirnya
menjadi semakin masif, di mana yang awalnya terkonsentrasi disekitaran wilayah
ibukota Nay Pyi Daw kemudian menyebar ke berbagai wilayah lainnya. Namun
sayangnya, pihak Junta juga merespon
dengan sejumlah tindakan kekerasan untuk dapat mengontrol situasi termasuk
dalam penggunaan senjata api kepada warga sipil walaupun tuduhan tersebut di
sanggah oleh pihak junta militer. Akhirnya perlahan Korban Jiwa mulai
berjatuhan, pada 3 Maret 2021 saja 38 orang meninggal atas tindakan kekerasan
dari pihak junta militer ke warga sipil (Putri et al., 2021).
Hingga kemudian pada 9
Februari Mya Thwe Thwe Khaing, seorang orang pemuda berusia 20 tahun tertembak
di kepalanya dalam aksi protes yang diikuti olehnya yang membuatnya tidak dapat
di selamatkan lagi pada 19 Februari karena cedera otak. Peristiwa tersebut
semakin memancing amarah warga terhadap pemerintahan militer yang mengakibatkan
bukan tingkat kepatuhan masyarakat yang semakin tinggi, namun malah semakin
menjadi-jadi dan berakibat pada penghentian total kehidupan sosial ekonomi
serta juga ketidakstabilan keamanan yang semakin tinggi khususnya di daerah
perbatasan.
Hal ini memperkuat posisi
kelompok-kelompok separatis Myanmar untuk dapat meraih dukungan dan
melanggengkan aksinya. Pihak militer yang melihat peningkatan kekuatan etnis di
perbatasan yang menginginkan separatisme sebagai sebuah ancaman, sehingga
mereka selanjutnya juga melakukan agresi militer dalam menumpas kekuatan
militer kelompok-kelompok pemberontak seperti : Arakan Army, Tentara Aliansi
Demokrasi Myanmar, Tentara Kemerdekaan Kachin dan Tentara Pembebas Nasional
Ta'ang.
Bangkitnya kembali
perlawanan dari� para militan separatis,
memperkuat posisi CDM sebagai simbol perlawanan masyarakat, di mana pada 16
Februari CDM melancarkan aksinya dengan membuat fungsi dan kapasitas pihak
junta militer dalam bidang perbankan, media, transportasi, juga staff
pemerintah yang tergabung menjadi terhambat. Hal ini di respon oleh pihak
militer dengan semakin brutal melalui serangan bersenjata ke pekerja kereta api
juga secara ilegal menangkap 400 orang yang menargetkan para pekerja di bidang
kesehatan.
Dengan semakin maraknya
kekerasan yang dilakukan oleh pihak militer terhadap sipil dalam rangkaian aksi
protes ini akhirnya di tanggal 22 Februari 2021 rakyat sipil bersepakat untuk
mengadakan protes dengan volume yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya,
yang kemudian dinamakan sebagai revolusi musim semi 22222. Nama ini di gunakan
untuk di sandingkan dengan terjadinya�
revolusi berdarah 88888 yang pada akhirnya berhasil membuat pihak junta
militer terpaksa memenuhi permintaan rakyat terhadap demokratisasi dalam
pemerintahan di masa lalu. Para demonstran setidaknya menuntut tujuh hal dalam
aksi tersebut diantaranya : 1. Pemulihan demokrasi, 2. Penghapusan pemerintahan
militer yang otoriter 3. Pembebasan terhadap tahanan politik dan masyarakat
sipil lainnya yang di tahan selama kudeta, 4. Penghapusan Undang-Undang Dasar
tahun 2008, 5. Penetapan Serikat Federal, 6. Ketidak inginan akan nasionalisme
berpengaruh dari etnis Burma selaku etnis dominan, dan yang terkahir 7.
Penyatuan atau Integrasi seluruh kelompok Masyarakat di Myanmar.
Walaupun saat ini gerakan
protes tersebut sudah mulai menurun intensitasnya dikarenakan oleh kejenuhan
masyarakat dan keinginan masyarakat untuk kembali mencapai keamanan, Akan
tetapi beberapa tempat masih terjadi aksi penolakan dan pembangkangan dari
rakyat sipil. Namun ini juga bukan berarti bahwa masyarakat sipil telah
sepenuhnya tunduk akan tetapi sedang menunggu waktu yang tepat untuk kembali
melancarkan aksi perlawanan. Dimana rakyat sudah mulai sedikit tenang semenjak
pihak junta mengeluarkan pernyataan bahwa akan segera mengembalikan pemerintah
sipil secepatnya di tahun yang akan datang dan akan berupaya untuk mencegah
terjadinya kembali kekerasan serta mengembalikan keamanan kepada seluruh rakyat
Myanmar.
����������� Civil disobedience movement (CMD) ini merupakan salah
satu gerakan sosial di negara dunia ketiga, yang awalnya terjadi karena
adanya pengambilan kekuasaan secara paksa oleh pihak militer yang tidak mendapatkan respon
positif dari masyarakat yang mengakibatkan terjadinya
integrasi warga sipil untuk dapat melakukan perlawanan demi melindungi
kebebasan nya di bawah nama demokrasi.
Pada
fase awal pengambilan kekuasaan oleh pihak junta, warga Myanmar mengalami
kegelisahan atas trauma masa lalu dan masih belum melakukan penolakan secara
objektif akan tetapi ketika terbentuknya civil disobedience movement
yang yang diprakarsai oleh para pekerja medis dan buruh, masyarakat sipil dari
berbagai kalangan kemudian mulai menyatukan kekuatan di bawah kelompok
resistant yang lebih terorganisir dan memiliki tujuan yang lebih jelas.
Kelompok
ini kemudian semakin memiliki simpatisan yang lebih luas ketika jatuhnya korban
dari warga sipil oleh karena aksi kekerasan yang dilakukan oleh pihak militer
sehingga hal ini menjadi sebuah sarana propaganda dan pembuktian atas kekejaman
dan ketidakadilan yang di lakukan oleh rezim Militer. Dimana dengan
meningkatnya partisipasi masyarakat serta penolakan yang terjadi, mengakibatkan
pihak militer sewaktu-waktu akan terpaksa untuk dapat memenuhi tuntutan rakyat
atau melakukan negosiasi untuk dapat mengembalikan keamanan, kestabilan
bersama, juga demi mengembalikan jalannya sektor sosial dan ekonomi yang
terhambat oleh karena aksi pemogokan dan pemboikotan sipil di Myanmar.
Kesimpulan
Myanmar merupakan negara
dengan sejarah panjang perjuangan anti penjajahan dan ketidakadilan, namun
mengalami pergesekan antar kepentingan politik sipil dan militer setelah meraih
kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948. Kondisi ini menyebabkan adanya campur
tangan militer dalam pemerintahan yang mengancam stabilitas dan demokrasi di
negara tersebut. Setelah beberapa kali terjadi penggulingan kekuasaan oleh
militer, masyarakat Myanmar yang tidak ingin kembali jatuh dalam masa-masa
kelam pada dekade-dekade sebelumnya membangkitkan gerakan sosial untuk
menentang pemerintah junta militer dan memperjuangkan kebebasan dan demokrasi.
Gerakan sosial ini meliputi
aksi pemogokan, kampanye politik, pemboikotan terhadap tempat-tempat vital bagi
pemerintah militer, dan demonstrasi yang dilakukan melalui Civil Disobedience
Movement (CDM) yang mempersatukan berbagai segmen masyarakat. Walau gerakan ini
mendapat tanggapan kekerasan dari pemerintah militer, namun gerakan ini
berhasil menekan pihak junta militer untuk melakukan negosiasi dengan pihak
sipil untuk membahas masa depan Myanmar dan mengembalikan keamanan dan
kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Gerakan sosial ini merupakan contoh dari
gerakan sosial negara dunia ketiga yang dilakukan atas dasar penolakan hukum dan
pembangkangan terhadap pemerintah yang otoriter.
BIBLIOGRAFI
Alimin, N. (2022). AFP,�Myanmar Internet Blackout
Worsens�, Bangkok Post, 2 April 2021, https://www. bangkokpost.
com/world/2093995/myanmar-internet-blackout-worsens, ac-cessed 22 August 2021.
AFP,��No Legal Pathways�: Myanmar Poverty Pushes Thousands to Thailand�,
Mizzima, 7 January 2022, https://mizzima.
com/article/no-legal-pathways-myanmar. Covid-19 and Atrocity Prevention in
East Asia, 182.
Ashadi, W. (2022). Kudeta Junta
Militer Myanmar Terhadap Aung San Suu Kyi 2021. Dauliyah: Journal of Islam
and International Affairs, 7(2), 138�164.
Aziz, M. F. (2014). Representasi
perlawanan sipil dalam lirik lagu tantang tirani: analisis semiotika charles
sanders peirce. Tangerang: Universitas Multimedia Nusantara.
Budaya, F. M. (2019). Penegakan
Hukum Pidana Terhadap Perdagangan Gelap Telepon Seluler Di Wilayah Hukum
Direktorat Kepolisian Perairan Polda Riau. Universitas Islam Riau.
Charney, M. W. (2021). Myanmar coup:
how the military has held onto power for 60 years. The Conversation.
Hamzah, A. (2018). Pengaruh Diplomasi
Kemanusiaan Indonesia Terhadap Krisis Kemanusiaan Rohingya Di Myanmar. Skripsi
Universitas Hassanudin.
Hidayat, A. A. (2022). Sejarah
sosial Muslim Minoritas di kawasan Asia. Prodi P2 Studi Agama-Agama UIN
Sunan Gunung Djati Bandung.
Ni�am, L. (2014). Kepengaturan dan
penolakan relokasi: Kasus warga Watugajah pascabencana Gunung Merapi tahun
2011-2013. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 18(1), 1�14.
Putri, A., Jasmine, P., Salma, R.,
Bagasta, G., & Faturrahman, M. P. (2021). Dampak Prinsip-Prinsip Dasar
ASEAN Terhadap Pola Kerjasama ASEAN Menghadapi Krisis Kudeta Myanmar. Nation
State: Journal of International Studies, 4(1), 117�139.
Roza, R. (2021). Kudeta Militer di
Myanmar: Ujian Bagi ASEAN. Info Singkat Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR
RI, 13(4), 7�12.
Rugian, F. E., Niode, B. N., &
Tulung, T. E. (2022). Dinamika Kehidupan Demokrasi di Myanmar (Suatu Studi
Tentang Pengalihan Kekuasaan Oleh Militer di Tahun 2021). Jurnal
Pemerintahan Dan Politik, 7(2).
Sampson, A. (2018). Nelson
Mandela: the authorised biography. Bentang Pustaka.
Santika, I. G. N. (2022). Menggali
dan Menemukan Roh Pancasila Secara Kontekstual.
Seethi, K. M. (2022). Human Mobility
and Reverse Migration in Asia: Triggers and Travails. Journal of Polity and
Society, 14(2).
Ukraine�s, C. (2014). Krisis ukraina
dan dampaknya terhadap Tatanan politik global dan regional. Jurnal
Penelitian Politik| Volume, 11(1), 79�108.
Wibowo, T. (2016). Ketimpangan
pendapatan dan Middle income trap. Kajian Ekonomi Dan Keuangan, 20(2),
111�132.
Copyright holder: Syuhada
Bahri (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |