Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 4, Maret 2023

 

KEABSAHAN DAN KEPASTIAN HUKUM JUAL BELI TANAH BERDASARKAN AKTA DI BAWAH TANGAN YANG DIBUAT DIHADAPAN KEPALA DESA

 

Olivia Laksmono, I Made Pria Dharsana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Peralihan hak atas tanah dapat dilakukan dengan berbagai cara, dan salah satunya adalah dengan jual beli. Menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, jual beli tanah harus dilaksanakan di hadapan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berdasarkan akta autentik. Lalu peralihan hak atas tanah akibat dari jual beli tersebut harus didaftarkan, agar dapat terdaftar atas nama pembeli sebagai pemilik yang baru, dan pembeli dapat memperoleh sertipikat tanah sebagai bukti kepemilikan yang kuat. Dengan demikian, kepastian hukum dalam bidang pertanahan dapat terjaga. Namun pada kenyataannya, masih banyak tanah yang jual belinya dilakukan di hadapan kepala desa berdasarkan akta di bawah tangan. Sehingga muncul pertanyaan mengenai keabsahan dan kepastian hukum dari jual beli yang dilakukan sedemikian. Penelitian ini adalah penelitian doktrinal, dan dilakukan melalui studi kepustakaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa jual beli tanah berdasarkan akta di bawah tangan di hadapan kepala desa adalah sah jika memenuhi persyaratan dan tata cara yang diatur dalam Surat Edaran MA-RI Nomor 04/Bua.6/Hs/SP/XII/2016. Kepastian hukum dari jual beli berdasarkan akta di bawah tangan di hadapan kepala desa memang masih kurang dan lebih rawan sengketa, jika dibandingkan dengan jual beli berdasarkan akta autentik di hadapan PPAT. Namun hal tersebut ada solusinya, yaitu dengan cara mendaftarkan peralihannya berdasarkan Pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

 

Kata kunci: Jual Beli Tanah, Kepala Desa, Keabsahan, Kepastian Hukum

 

Abstract

The transfer of land rights can be done through multiple ways, and one of them is through sale and purchase. Pursuant to Article 37 paragraph (1) of Government Regulation No. 24 of 1997 regarding Land Registration, sale and purchase of land ought to be done through an authentic deed written in front of an authorized officer known as �Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)� . The transfer of land right due to the said sales and purchase will then be registered, in order for the buyer as the new owner of the land to obtain a land certificate as a strong proof of ownership over the land, and in order to maintain legal certainty in the land sector. However, there�s still a lot of sale and purchase of land done through a private deed (non-authentic) written in front of a village chief. Hence, arising question regarding the validity and legal certainty of such sale and purchase. This is a doctrinal research, carried out through literature studies. This research shows that the sale and purchase of land done through private deed written in front of a village chief is valid as long as it complies with the requirements and procedure stipulated in Circular Letter issued by the Supreme Court of Indonesia No. 04/Bua.6/Hs/SP/XII/2016. Although the legal certainty of such sale and purchase is lacking, compared with the ones done through an authentic deed in front of an authorized officer (PPAT), it can still be registered to gain more legal certainty, in accordance with Article 37 paragraph (2) of Government Regulation No. 24 of 1997 regarding Land Registration.

 

Keywords: Sale and Purchase of Land, Village Chief, Validity, Legal Certainty

 

Pendahuluan

Peralihan hak atas tanah dapat dilakukan dengan berbagai cara, dan salah satunya yang umum adalah melalui jual beli (Razak, 2015). Pengertian mengenai jual beli menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dapat ditemukan pada Pasal 1457, yang berbunyi: �Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain membayar harga yang telah dijanjikan.� Sedangkan Pasal 1458 KUHPer mengatakan bahwa kesepakatan sudah cukup untuk melahirkan jual beli, meskipun harga belum dibayar dan barang masih belum diserahkan. Berdasarkan kedua pasal di atas, jual beli dalam KUHPerdata adalah suatu perjanjian obligatoir, yang memberikan hak dan kewajiban kepada pihak penjual untuk menyerahkan benda dan menerima pembayaran; sedangkan kepada pihak pembeli diberikan hak dan kewajiban untuk membayar harga yang dijanjikan dan menerima barang. Jual beli hanya memberikan hak dan kewajiban pada para pihak, tanpa adanya perpindahan kepemilikan. Dengan demikian jual beli dipisahkan dari penyerahan benda (levering) (Soedharyo, 2001).� Perjanjian jual beli merupakan suatu ikatan bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas jumlah sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda koopen verkoop yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu verkoopt (menjual) sedang yang lainnya koopt (membeli).

Jual beli tanah tidak mengikuti konsep jual beli pada KUHPerdata dan memiliki konsep yang berbeda dari jual beli yang terdapat dalam KUHPerdata. Dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), hukum agraria di Indonesia, termasuk juga hukum yang mengatur mengenai jual beli tanah menganut hukum adat (Indonesia, 1960). Kesepakatan saja tidak cukup untuk melahirkan jual beli menurut hukum adat, melainkan juga membutuhkan suatu penyerahan hak atas barang, dalam hal ini tanah, dengan syarat pembayaran suatu harga pada saat jual beli tersebut dilaksanakan. Persetujuan awal untuk mengadakan jual beli antara pihak identik dengan pemberian panjar atau uang muka (down payment) dari pembeli kepada penjual (Prodjodikoro, 1967). Jual beli tanah dalam hukum adat mensyaratkan jual beli untung dilaksanakan secara terang dan tunai. Terang artinya jual beli dilaksanakan di hadapan pejabat yang berwenang (Setyawan & Wati, 2022). Sedangkan tunai artinya pembayaran harga oleh pembeli dan penyerahan hak atas tanah oleh penjual dilaksanakan pada saat yang sama (Hayati, 2016).

Umumnya, jual beli tanah dilakukan dengan dibuatnya suatu Akta Jual Beli di hadapan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) (Razak, 2015). Akta Jual Beli yang dibuat dihadapan PPAT tersebut bersifat autentik, dan merupakan bukti yang sempurna bahwa telah dilaksanakannya jual beli di wilayah jabatan PPAT yang bersangkutan (Muljanto, 2008). Untuk menjamin terpeliharanya data, setiap peralihan hak atas tanah wajib didaftartarkan, yaitu dengan cara menyampaikan Akta Jual Beli kepada Kantor Pertanahan oleh PPAT (Mentari et al., 2020). Pendaftaran tersebut meliputi pembukuan ke dalam buku tanah, dan penerbitan tanda bukti hak (Nomor, 24 C.E.), yaitu berupa sertipikat (Nomor, 24 C.E.). Data yang tercantum dalam sertipikat selalu dianggap benar, sepanjang sesuai dengan data yang terdapat pada surat ukur dan buku tanah, dan tidak dapat dibuktikan sebaliknya, sehingga menjadikan sertipikat tersebut sebagai alat pembuktian akan hak atas tanah yang kuat (Aprini, 2007). Dengan dilakukannya pendaftaran pada Kantor Pertanahan, maka diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak baru atas hak atas tanah yang telah diperolehnya melalui jual beli (Kaunang, 2016).

Namun hingga saat ini, kenyataannya pada praktik di masyarakat masih kerap ditemukan pelaksanaan jual beli tanah yang tidak dilakukan berdasarkan akta autentik di hadapan seorang PPAT, melainkan melalui akta di bawah tangan di hadapan kepala desa. Hal tersebut disebabkan oleh adanya kebiasaan melakukan jual beli di hadapan kepala desa dari sejak lama, sehingga telah menjadi budaya pada beberapa desa, selain terdapatnya juga faktor biaya yang lebih murah dan proses yang cepat. Peralihan tanah yang demikian biasanya tidak pernah didaftarkan, sehingga pembeli tidak pernah memperoleh sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah dan hak atas tanah tersebut juga tidak pernah dicatatkan atas nama pembeli dalam buku tanah, melainkan memperoleh kwitansi dan Surat Pernyataan Jual Beli Tanah sebagai alat bukti kepemilikannya (Amin & Isrok, 2021). Dengan demikian, muncul pertanyaan mengenai keabsahan dan kepastian hukum dari jual beli tanah di bawah tangan di hadapan kepala desa, karena tidak pernah didaftarkan dan juga tidak pernah diterbitkan sertipikat untuk menjadi alat bukti yang kuat sesuai dengan Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997.

 

Metode Penelitian

Penelitian adalah kegiatan yang disertai dengan asas pengetahuan, yakni untuk menghimpun serta menemukan hubungan-hubungan yang ada antara fakta-fakta yang diamati secara seksama (Triwahyuningsih, 2018). Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini bersifat doktrinal, yaitu menggunakan norma hukum untuk menjawab permasalah hukum yang ada (M. Marzuki, 2017). Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan, dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam terkait jual beli tanah, dan bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan dokumen resmi seperti buku-buku dan jurnal-jurnal terkait jual beli tanah (P. M. Marzuki, 2013).

 

Hasil dan Pembahasan

1. Konsep Jual Beli Tanah dalam Hukum Pertanahan Indonesia

a.     Jual Beli Tanah dalam Hukum Pertanahan Indonesia

Jual beli merupakan salah satu dari berbagai cara untuk mengalihkan hak atas tanah yang telah disebutkan dalam Pasal 26 UUPA dan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/97). Menurut Pasal 5 UUPA, hukum agraria di Indonesia, termasuk juga tentang jual beli tanah, menganut hukum adat, selama tidak bertentangan kepentingan nasional dan Negara, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hukum adat, jual beli menganut asas terang dan tunai. Sebagai asas, persyaratan terang dan tunai tidak dapat diabaikan dalam jual beli tanah (Julyano & Sulistyawan, 2019).

Terang memiliki arti bahwa jual beli harus dilaksanakan di hadapan pejabat yang berwenang (Setyawan & Wati, 2022), yang menurut Pasal 1 angka 24 PP 24/97 adalah PPAT. Pelaksanaan jual beli di hadapan PPAT sebagai pejabat yang berwenang menjadi terang karena PPAT sebagai pejabat yang berwenang memiliki fungsi untuk menjamin kebenaran dari status tanah dan bahwa penjual adalah orang yang berhak atas tanah yang ia jual, guna mencegah adanya pelanggaran hukum dalam jual beli (Effendie, 1993). Perbuatan jual beli tersebut kemudian dituangkan ke dalam suatu Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti bahwa telah dilaksanakannya jual beli tersebut.

Sedangkan tunai memiliki arti bahwa pembayaran harga oleh pembeli dan penyerahan hak atas tanah oleh penjual dilaksanakan pada saat yang sama (Susanti et al., 2022). Asas tunai umumnya merujuk pada Yurisprudensi Keputusan MA-RI No. 27/K/Sip/1956, yang menyatakan walaupun pembayarannya belum lunas, hak atas tanah tetap telah berpindah dari penjual kepada pembeli dan perpindahan hak tersebut tidak dapat dibatalkan. Hal tersebut dikarenakan dalam hukum adat, jual beli tanah bukanlah suatu �perjanjian obligatoir� yang hanya melahirkan hak dan kewajiban seperti pada hukum perdata, melainkan suatu tindakan pemindahan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli. Menurut Prof. Boedi Harsono:

�Jual beli tanah dalam hukum adat merupakan perbuatan pemindahan hak dengan pembayaran tunai. Artinya harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan. Dalam hukum adat tidak ada pengertian penyerahan yuridis sebagai pemenuhan kewajiban hukum penjual, karena justru apa yang disebut �jual beli tanah� itu adalah penyerahan hak atas tanah yang dijual kepada pembeli yang pada saat yang sama membayar penuh kepada penjual harga yang telah disetujui bersama.�

b.     Kepastian Hukum Jual Beli Tanah dalam Hukum Pertanahan Indonesia Melalui pendaftaran tanah

Kepastian hukum merupakan salah satu dari tiga nilai dasar hukum, yang untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Gustav Radbruch dalam buku yang berjudul �einf�hrung in die rechtswissenschaften�, selain dari keadilan dan kemanfaatan (Sudiyana & Suswoto, 2018). Kepastian hukum diartikan sebagai suatu keadaan dimana hukum memiliki kekuatan yang konkret, sehingga pencari keadilan dapat berlindung pada aturan hukum tersebut dari perbuatan yang sewenang-wenang (Mertokusumo & Pitlo, 1993). Dengan demikian, kepastian hukum memiliki keterkaitan yang kuat dengan perlindungan hukum.

Dalam bidang pertanahan di Indonesia, kepastian dan perlindungan hukum diharapkan dapat diberikan kepada para pemegang hak atas tanah dari tindakan sewenang-wenang pihak lain melalui pendaftaran tanah (Handoko, 2019). Untuk menjaga kepastian hukum jual beli tanah, setiap peralihan hak atas tanah yang merupakan akibat dari perbuatan jual beli perlu didaftarkan. Pasal 40 dari PP 24/97 mewajibkan PPAT untuk menyampaikan Akta Jual Beli yang dibuatkan kepada Kantor Pertanahan. Akta Jual Beli adalah dasar untuk didaftarkannya perubahan data akibat dari jual beli ke dalam buku daftar tanah (Murni, 2021). Kemudian juga diterbitkan suatu tanda bukti hak berupa sertipikat hak atas tanah. Sertipikat hak atas tanah merupakan bukti yang kepemilikan yang kuat, dan data pada sertipikat akan selalu dianggap benar sepanjang sesuai dengan data yang terdapat pada surat ukur dan buku tanah, dan tidak dapat dibuktikan sebaliknya. Dengan terlaksananya tertib administrasi, kepastian dan perlindungan hukum dapat diberikan baik kepada para pihak yang mengadakan jual beli, maupun kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan.

 

2.     Keabsahan dan Kepastian Hukum Jual Beli Tanah Berdasarkan Akta di Bawah Tangan di Hadapan Kepala Desa menurut Surat Edaran MA-RI Nomor 04/Bua.6/Hs/SP/XII/2016

a.     Praktik Jual Beli Berdasarkan Akta di Bawah Tangan di Hadapan Kepala

Praktik jual beli tanah di hadapan kepala desa oleh masyarakat dilakukan berdasarkan hukum adat yang berlaku pada desa yang bersangkutan, yaitu yang lahir dari kebiasaan jual beli tanah yang sudah dilakukan di desa tersebut sejak lama. Namun pada umumnya, mereka semua memiliki kesamaan dimana mereka menggunakan kwitansi dan suatu akta perjanjian jual beli di bawah tangan sebagai bukti telah dilakukannya jual beli. Akta jual beli di bawah tangan tersebut ditandatangani oleh pihak penjual dan pembeli dengan disaksikan oleh seorang Kepala Desa atau Kepala Adat beserta Staf Desa, guna menjamin kebenaran mengenai riwayat status tanah dan bahwa penjual adalah benar orang yang berhak untuk menjual tanah tersebut sebagai pemilik tanah (Effendie, 1993). Objek jual beli tanah yang dilakukan di hadapan kepala desa umumnya adalah tanah yang belum didaftarkan, yang berakibat tanah tersebut belum ada sertipikatnya, dan sulitnya menjamin kebenaran mengenai pemilik tanah tersebut (Amin, n.d.).

 

b.     Keabsahan Jual Beli Tanah Berdasarkan Akta di Bawah Tangan di Hadapan Kepala Desa menurut UUPA dan Surat Edaran MA-RI Nomor 04/Bua.6/Hs/SP/XII/2016

Menurut Pasal 5 UU Agraria, hukum yang berlaku atas tanah di Indonesia, termasuk mengenai jual belinya, adalah hukum adat. Hal tersebut memiliki dampak bahwa semua jual beli tanah di Indonesia harus menganut asas terang dan tunai. Terang memiliki arti bahwa jual beli harus dilaksanakan di hadapan pejabat yang berwenang (Setyawan & Wati, 2022), yang menurut Pasal 1 angka 24 PP 24/97 adalah PPAT. Namun pejabat yang berwenang tidak terbatas pada PPAT saja. Menurut Surat Edaran MA-RI Nomor 04/Bua.6/Hs/SP/XII/2016, khusus untuk jual beli atas tanah yang belum didaftarkan, pejabat yang berwenang adalah kepala desa/kepala adat. Kepala desa/kepala adat bukanlah hanya saksi jual beli biasa, melainkan pejabat yang menjalankan fungsi yang sama dengan PPAT, yaitu untuk menjamin kebenaran dari status tanah dan bahwa penjual adalah orang yang berhak atas tanah yang ia jual, guna mencegah adanya pelanggaran hukum dalam jual beli, sehingga jual beli tersebut dapat dianggap �terang� dan diakui oleh masyarakat (Naufal, 2017).

Sedangkan tunai memiliki arti bahwa pembayaran harga oleh pembeli dan penyerahan hak atas tanah oleh penjual dilaksanakan pada saat yang sama. Dalam jual beli di hadapan kepala desa, pembayaran harga oleh pembeli dilakukan di hadapan kepala desa dan dibuktikan dengan dibuatkannya suatu kwitansi. Sedangkan untuk penyerahan ha katas tanah dibuktikan dengan Akta di Bawah Tangan yang ditandatangani oleh pihak penjual dan pembeli dengan disaksikan oleh seorang Kepala Desa atau Kepala Adat beserta Staf Desa. Dengan dilakukannya itu semua, maka jual beli di hadapan kepala desa telah memenuhi asas tunai.

Selain memenuhi persyaratan terang dan tunai, Surat Edaran MA-RI Nomor 04/Bua.6/Hs/SP/XII/2016 juga memberikan persyaratan lainnya agar jual beli berdasarkan akta di bawah tangan di hadapan kepala desa dapat menjadi sah, yaitu:

a.     Didahului dengan penelitian mengenai status objek jual beli yang berupa tanah, yang menunjukkan bahwa tanah objek jual beli tersebut adalah benar milik si penjual; dan

b.     Jual beli dilakukan dengan harga yang layak.

c.     Jual beli dilakukan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian.

d.     Jual beli di hadapan kepala desa/kepala adat hanya dapat dilakukan untuk objek jual beli berupa tanah yang belum didaftarkan/belum bersertipikat.

Selama semua persyaratan dan tata cara yang telah disebutkan di atas terpenuhi, maka jual beli tanah berdasarkan akta di bawah tangan di hadapan kepala desa atau kepala adat adalah sah.

 

c.     Kepastian Hukum Jual Beli Jual Beli Tanah Berdasarkan Akta di Bawah Tangan di Hadapan Kepala Desa

Walaupun praktik jual beli tanah berdasarkan akta di bawah tangan di hadapan kepala desa adalah sah berdasarkan akta di bawah tangan di hadapan kepala desa sah menurut Surat Edaran MA-RI Nomor 04/Bua.6/Hs/SP/XII/2016 sah jika dilakukan atas objek berupa tanah yang belum didaftarkan, dan mengikuti persyaratan yang ditentukan oleh Surat Edaran tersebut.� jika dilakukan dengan mengikuti tata cara dan persyaratan yang telah diatur dalam Surat Edaran MA-RI Nomor 04/Bua.6/Hs/SP/XII/2016, kepastian hukumnya kurang jika dibandingkan dengan jual beli tanah berdasarkan akta autentik di hadapan PPAT. Kwitansi dan surat pernyataan jual beli di bawah tangan merupakan bukti kepemilikan yang lemah, jika dibandingkan dengan sertipikat tanah, yang datanya juga sudah terdaftar pada buku tanah. Oleh karena tidak adanya alas pembuktian yang kuat bahwa yang bersangkutan adalah pemilik yang sah atas tanah, maka akan sulit untuk memperoleh perlindungan hukum, serta risiko munculnya sengketa jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanah yang jual belinya dilakukan di hadapan PPAT.

Agar jual beli tanah di hadapan kepala desa/kepala adat yang dilakukan atas objek tanah belum bersertipikat dapat memperoleh kepastian hukum yang sama dengan jual beli tanah di hadapan PPAT atas objek tanah bersertipikat, maka peralihan hak atas tanah berdasarkan jual beli di hadapan kepala desa tersebut perlu didaftarkan. Pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah menyatakan:

 

�Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan.�

 

Berdasarkan aturan di atas, maka dimungkinkan bagi pembeli untuk mendaftarkan tanah yang ia peroleh dari jual beli yang dilakukan berdasarkan akta di bawah tangan yang dibuat di hadapan kepala desa/kepala camat selama kadar kebenarannya dianggap cukup. Melalui pendaftaran tersebut, pembeli lalu dapat memperoleh bukti kepemilikan yang lebih kuat berupa sertifikat.

 

Kesimpulan

Jual beli tanah berdasarkan akta di bawah tangan di hadapan kepala desa hanya dapat dilakukan atas objek jual beli tanah berupa tanah yang belum bersertipikat/belum didaftarkan, dan adalah sah apabila dilakukan menurut tata cara yang tercantum dalam Surat Edaran MA-RI Nomor 04/Bua.6/Hs/SP/XII/2016, yaitu: 1) memenuhi syarat terang dan tunai dengan dilakukan di hadapan atau diketahui oleh kepala desa/kepala adat/lurah setempat; 2) didahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli; 3) dilakukan dengan harga yang layak; dan 4) dilakukan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian.

Kepastian hukum jual beli tanah berdasarkan akta di bawah tangan di hadapan kepala desa sangat kurang jika dibandingkan dengan jual beli tanah berdasarkan akta autentik di hadapan PPAT, karena tanahnya tidak terdaftar dan tiap-tiap peralihannya juga di tercatat di daftar tanah. Kwitansi dan akta di bawah tangan juga merupakan bukti yang lemah jika dibandingkan dengan sertipikat tanah, yang data di dalamnya akan selalu dianggap benar hingga dapat dibuktikan sebaliknya. Namun dimungkinkan untuk jual beli tanah berdasarkan akta di bawah tangan di hadapan kepala desa memperoleh kepastian hukum lebih dengan cara didaftarkan, berdasarkan Pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Amin, M. (N.D.). Laporan Hasil Penelitian Individul Aspek Hukum Dalam Al-Qur�an. Jakarta: Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2009.

 

Amin, M., & Isrok, M. (2021). Analisis Praktik Jual Beli Tanah Di Bawah Tangan Yang Dilakukan Di Hadapan Kepala Desa:(Studi Kasus Di Desa Cangkering Kecamatan Amuntai Selatan Kabupaten Hulu Sungai Utara). Indonesia Law Reform Journal, 1(2), 273�287.

 

Aprini, E. (2007). Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Kaitannya Dengan Ketentuan Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

 

Effendie, B. (1993). Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah. Alumni.

 

Handoko, A. P. (2019). EKSISTENSI PIDANA KEBIRI KIMIA DITINJAU DARI TEORI TUJUAN PEMIDANAAN (STUDI ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG�UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG�UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK).

 

Hayati, N. (2016). Peralihan Hak Dalam Jual Beli Hak Atas Tanah (Suatu Tinjauan Terhadap Perjanjian Jual Beli Dalam Konsep Hukum Barat Dan Hukum Adat Dalam Kerangka Hukum Tanah Nasional). Lex Jurnalica, 13(3), 147934.

 

Indonesia. (1960). Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Vol. 144). Ganung Lawu.

 

Julyano, M., & Sulistyawan, A. Y. (2019). Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum. Crepido, 1(1), 13�22.

 

Kaunang, M. C. (2016). Proses Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Lex Crimen, 5(4).

 

Marzuki, M. (2017). Penelitian Hukum: Edisi Revisi. Prenada Media.

 

Marzuki, P. M. (2013). Penelitian Hukum.

 

Mentari, M., Silviana, A., & Ardani, M. N. (2020). TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH SEMENTARA ATAU PPATS TERHADAP BATAS WAKTU PENDAFTARAN AKTA JUAL BELI TANAH BERDASARKAN PASAL 40 PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH (Studi Di Kota Depok). Diponegoro Law Journal, 9(2), 359�372.

 

Mertokusumo, M. S., & Pitlo, A. (1993). Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Citra Aditya Bakti.

 

Muljanto, H. (2008). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pelaksanaan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan Dan Pelayanan (SPOPP) Di Kantor Pertanahan Kota Surakarta. Tesis), Program Studi Pasca Sarjan Universitas Sebelsa Maret.

 

Murni, C. S. (2021). Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Proses Peralihan Jual Beli Hak Atas Tanah. Jurnal Kajian Pembaruan Hukum, 1(1), 25�48.

 

Naufal, M. F. (2017). Hubungan Agama Dan Negara Dalam Pemikiran Politik Islam Di Indonesia (Analisis Pemikiran Politik Bahtiar Effendy). UIN Raden Intan Lampung.

 

Nomor, P. P. (24 C.E.). Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

 

Prodjodikoro, W. (1967). Hukum Antar-Golongan Di Indonesia. Penerbitan" Sumur Bandung".

 

Razak, A. (2015). EFEKTIFITAS PASAL 37 AYAT 1 PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN PERALIHAN DAN PEMBEBANAN HAK ATAS TANAH DI BADAN PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN GORONTALO. Skripsi, 1(271408015).

 

Setyawan, C. A., & Wati, A. (2022). Peralihan Hak Atas Tanah Dengan Kuitansi Jual Beli. Jurnal Ilmu Kenotariatan, 3(1), 14�22.

 

Soedharyo, S. (2001). Status Hak Dan Pembebasan Tanah. Sinar Grafika: Jakarta.

 

Sudiyana, S., & Suswoto, S. (2018). Kajian Kritis Terhadap Teori Positivisme Hukum Dalam Mencari Keadilan Substantif. Qistie, 11(1).

 

Susanti, D. O., Sh, M., & A�an Efendi, S. H. (2022). Penelitian Hukum: Legal Research. Sinar Grafika.

 

Triwahyuningsih, S. (2018). Perlindungan Dan Penegakan Hak Asasi Manusia (Ham) Di Indonesia. Legal Standing: Jurnal Ilmu Hukum, 2(2), 113�121.

 

Copyright holder:

Olivia Laksmono, I Made Pria Dharsana (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: