Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 4, Maret 2023

 

PERBEDAAN TANGGUNG JAWAB ANTARA CYBER NOTARY DAN NOTARIS ATAS PEMBUATAN AKTA YANG DIDASARI IDENTITAS PALSU

 

Tamara Ratnasari, I Made Pria Dharsana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa perbedaan tanggung jawab Cyber Notary dan Notaris berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) terhadap perbuatan akta yang didasari oleh pemalsuan identitas dalam proses pembuatan akta otentik yang dibuatnya serta dampak hukum apa yang akan terjadi atas keabsahan akta yang dibuatnya tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam analisa perbandingan ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yang dimana mengkaji peraturan perundang-undangan dan teori-teori hukum yang berkaitan dengan pembahasan dalam analisis ini. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang menggunakan dan menganalisis norma-norma hukum tertulis yang berupa� undang-undang, buku-buku, tesis, jurnal, serta literatur perpustakaan yang berkaitan dengan kewenangan dan tanggung jawab Notaris untuk membuat akta otentik berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas UUJN, Pasal 15. Dalam melaksanakan kewenangannya, Notaris dilarang melanggar kewajiban yang diatur di dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014. Terutama apabila� akta yang dibuat Notaris merugikan pihak yang memiliki kepentingan atas akta yang dibuat oleh Notaris itu sendiri, sehingga dapat diketahui pertanggungjawaban Notaris.

 

Kata kunci: Akta Otentik, Cyber Notary, Notaris, Identitas Palsu, Tindak Pidana.

 

Abstract

The purpose of this analytic study is to analyze the responsibility of both Cyber Notary and Notary based on Notary Profession Act Number 2 of 2014 (UUJN)� the act of identity forgery in the process of making the authentic deed and what is the legal impact that will occur including the validity of the deed and classification level of the evidence. This analysis research method used in this is normative juridical approach which examines the relevant laws and regulations, legal theories, studies and jurisprudence related to the discussion in this analysis. Normative legal research is a type of research that emphasizes the use of legal norms in writing which can be in the form of laws, thesis, academic journal, and published literature related to the authority of a Notary to make authentic deeds based on Law No. 2 of 2014 concerning amendments to the UUJN, Article 15. In exercising their authority, a Notary is prohibited from violating the prohibitions formulated in the Notary Profession Act Number 2 of 2014. Especially if the deed made by the Notary is unfair and intentionally disadvantageous to one of the involved parties.

 

Keywords: Authentic Deed, Cyber Notary, Notary, Identity Forgery, Crime.Partisanship, Notary, Crime.

 

Pendahuluan

Dalam proses pembuatan akta keinginan para pihak dicatat oleh Notaris untuk dibuatkan akta. Akta otentik adalah salah satu bukti berkekuatan sempurna yang berfungsi sebagai bukti yang kuat bagi para pihak dalam perjanjian tersebut. Namun terdapat kriteria-kriteria ketat yang harus dipenuhi, syarat-syarat tersebut antara lain adalah:� akta tersebut dibuat mengikuti template atau bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang atau dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang di daerah kewenangannya (Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Perdata - selanjutnya �KUHPer�). Notaris dalam pembuatan akta otentik harus memenuhi ketentuan persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 dan perubahannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya �UUJN�) agar akta yang dibuat dapat menjadi alat bukti berkekuatan sempurna.

Notaris dalam jabatannya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai kehendak-kehendak para penghadap yang berkepentingan (Akta Pihak atau Akta Partij)� dan akta yang diharuskan peraturan perundang-undangan (Sari et al., 2018) (Akta Relaas atau Berita Acara). Penghadap yang berkepentingan pun juga harus memenuhi berbagai kriteria seperti cakap melakukan perbuatan hukum, paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah, dikenal atau dikenalkan kepada Notaris oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang telah dewasa (paling sedikit berumur delapan belas tahun) dan wajib dituliskan dalam akta bahwa para penghadap telah dikenal (Ma�ruf & Wijaya, 2015). Karena persyaratan kecakapan dan kedewasaan tersebut maka identitas penghadap sangatlah penting diperiksa termasuk semua dokumen terkait identitas yang menjadi prasyarat dari akta otentik yang ingin dibuat. Dokumen tersebut adalah syarat wajib yang dimintakan Notaris agar dapat dilampirkan dokumen pelengkapnya dalam Minuta Akta (yaitu akta asli yang disimpan di Kantor Notaris). Tidak hanya mengenai keaslian Kartu Identitas dan dokumen, Notaris harus dapat memastikan bahwa pemegang Kartu Tanda Penduduk tersebut bukanlah identitas fiktif yang diasumsi oleh Penghadap palsu atau aktor bayaran, atau �kebetulan� yang praktis seperti penghadap tidak bisa menghadiri langsung tetapi menitipkan dokumen-dokumennya.

Penghadap sendiri juga harus memenuhi beberapa persyaratan seperti cakap melakukan perbuatan hukum, berumur dewasa (paling sedikit delapan belas tahun) dan atau telah menikah (Dharma, 2015). Selain itu, Penghadap juga harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh dua orang saksi pengenal yang telah memenuhi persyaratan tersebut dan pengenalan juga ditegaskan dalam akta (Utomo & Safi�i, 2019). Jika prosedur-prosedur tersebut tidak dipenuhi, maka akta tersebut terdegradasi menjadi akta dibawah tangan (Purnayasa, 2018).

Dari syarat-syarat tersebut, posisi Notaris sebagai pejabat umum yang dipercayai untuk memastikan dan menjamin bahwa Notaris telah melaksanakan kewajibannya dengan seksama dan dengan melaksanakan prinsip kehati-hatian dikarenakan hal tersebut merupakan kewajiban yang harus dijalankan Notaris, seperti yang dimaksud dalam UUJN 2014 Pasal 16 ayat (1) huruf (a) �Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban: bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;�. Makna dari kata �saksama� dalam pasal ini dapat diartikan �cermat dan teliti� (Umboh et al., 2023), dalam menjalankan kewajiban membuat akta, Notaris haruslah berhati-hati dalam mengenal para penghadap, sehingga dengan demikian ia bertindak amanah, dapat mengenali dan mengetahui hak dan kewajiban masing-masing pihak sehingga Notaris bersifat imparsial dan menjaga kepentingan semua pihak yang terkait, yang mengakibatkan akta yang dibuat merupakan suatu kulminasi dari tindakan amanah yang jujur dan dibuat secara mandiri tanpa keberpihakan. Oleh karena itu Notaris wajib bertindak secara berhati-hati sebelum pembuatan akta, teliti dalam fakta-fakta yang terkait sebagai pertimbangannya, meneliti kelengkapan, kebenaran dan keabsahan alat bukti atau dokumen yang diberikan sebelum dibuat dan dituangkan dalam akta dan harus memberi kepastian bahwa seluruh kejadian yang dicatat dan fakta-fakta yang diungkapkan dalam akta betul-betul telah diperiksa dan/atau dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh para menghadap pada waktu yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur pembuatan akta. Secara formal hal tersebut dilakukan untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang waktu menghadap, para pihak menghadap yang hadir di tempat, paraf dan tanda tangan para penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, diperiksa dan didengar oleh Notaris serta keterangan para penghadap benar adanya (Adjie, 2011).

Jika Notaris telah melaksanakan prosedur dengan benar, jika dikemudian hari ada perkara perdata menyangkut akta notaris tersebut maka pembuktian dalam perkara perdata hanya sebatas kebenaran formil dari akta, yang mengikuti asas actori in cambit probatio dalam Pasal 1865 KUHPer:

�Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.�

Asas tersebut juga termuat di dalam Pasal 163 Herzien Indlandsch Reglement (selanjutnya �HIR�): �Dalam pembuktian suatu perkara perdata, yang dicari dan diwujudkan adalah kebenaran formil (formeel waarheid), artinya kebenaran yang hanya didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan ke pengadilan oleh para pihak tanpa harus disertai adanya keyakinan hakim.�

Kemudian dapat disimpulkan bahwa kewenangan Notaris yang mematuhi kode etik hanya sebatas kebenaran formil dari suatu akta, dimana kebenaran yang didapatkan berdasarkan bukti-bukti formal (seperti dokumen-dokumen yang menjadi dasar dibuatnya akta) yang diajukan ke dalam persidangan yang kebenarannya hanya dibuktikan berdasarkan bukti-bukti yang diajukan tanpa perlu disertai adanya keyakinan atau perlunya meyakinkan hakim.

Namun meskipun didasari atas kepercayaan dan kehati-hatian, masih ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang ingin memanfaatkan celah dan memaksakan untuk mendapatkan hak yang seharusnya tidak didapatkan dengan memalsukan dokumen-dokumen prasyarat seperti KTP, sertifikat-sertifikat, dokumen-dokumen bahkan hingga melakukan pemalsuan identitas. Jenis-jenis pemalsuan identitas pun beragam, mulai dari memberikan dokumen identitas yang tidak sesuai, meminta bantuan dari aktor bayaran untuk mewakilkan penghadap tanpa sepengetahuan penghadap, atau dengan sepengetahuan penghadap atas keinginannya sendiri. Meskipun kesalahan terutama jatuh kepada pihak yang memanfaatkan situasi dan kondisi, namun terkadang Notaris sendiri yang sengaja berpartisipasi dengan menerima imbalan yang ditawarkan oleh pihak yang tidak berwajib tersebut. Jika demikian, berbagai sanksi pun dapat diterapkan mulai dari sanksi tertulis, administrasi (Pasal 85 UUJN), sosial/reputasi, perdata hingga pidana.

Berbeda dengan Notaris dengan cara operasional baku yang diterapkan di Indonesia, di berbagai negara common law seperti Amerika dan Malaysia, Notaris - yang disebut notary public dengan salah satu metode kerja yang disebut cyber notary - dan para penghadap diberi kebebasan penuh untuk membuat akta secara virtual menggunakan data elektronik, dengan pembubuhan tanda tangan yang dilakukan secara tidak langsung, bahkan dengan proses pertemuan yang sepenuhnya melalui internet (Chalid, 2020). Meskipun lebih praktis dan hemat waktu, beberapa kritik mengenai kelemahannya pun bermunculan, seperti bagaimana keabsahan akta dari cyber notary tersebut? Terlebih apabila ternyata ada identitas dari pihak-pihak yang dipalsukan?

Perlindungan hukum bagi Notaris terhadap akta yang didasari oleh identitas palsu tersebut secara normatif telah diatur dalam undang-undang yang berlaku, oleh karena itu dapat disarankan kepada Notaris dalam tahapan membuat akta harus memperhatikan hukum dan akibatnya apabila terjadi kesalahan akibat kurangnya ketelitian Notaris dan agar lebih berhati-hati dan melangsungkan langkah preventif. Notaris juga tidak perlu tergesa-gesa dalam proses pembuatan akta dan tidak perlu mengorbankan waktu dan mempermudah proses dengan melangkahi atau mempercepat prosedur yang seharusnya dilakukan hanya karena tekanan dari penghadap atau sebagai bagian dari servis yang baik kepada penghadap. Notaris dan pegawainya harus saling mengingatkan dan memperhatikan apabila ada prosedur yang dilewati oleh salah seorang, dan agar selalu melekatkan identitas penghadap pada minuta akta.

 

 

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan hasil penelitian ini adalah metode Yuridis Normatif yang merupakan penelitian hukum doktrinal yang menggunakan metode penelitian kepustakaan, mengkaji studi dokumen dan literatur serta menggunakan data sekunder (Soekanto, 2007). Penelitian hukum menggunakan pendekatan statute-approach (Marzuki, 2017) yang dilakukan dengan menelaah peraturan-peraturan dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang akan dijawab,� dan comparative-approach (Hartono, 2006) yaitu pendekatan perbandingan dengan cara membandingkan hukum antar negara., yang berikutnya dianalisis secara kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan metode deskriptif analisis yang bertujuan menguraikan dan menganalisis masalah secara rinci dan menelaah berdasarkan teori-teori hukum yang terkait.

 

Hasil dan Pembahasan

Kebebasan bagi para penghadap untuk membuat suatu perjanjian merupakan kebebasan yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan hukum keperdataan, yang selanjutnya dituangkan dalam akta. Akan tetapi tidak sedikit pihak-pihak yang berupaya untuk mengalihkan apa yang seharusnya bukan merupakan haknya, dengan cara yang melanggar hukum juga. R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPid) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, kejahatan ini dinamakan penipuan dengan unsur-unsur sebagai berikut (Soesilo, 1995):

1.     membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang;

2.     maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;

3.     membujuknya itu dengan memakai: nama palsu atau keadaan palsu; atau akal cerdik (tipu muslihat); atau karangan perkataan bohong.

Membuat perjanjian dengan basis penipuan adalah suatu bentuk pelanggaran persyaratan subjektif dari Pasal 1320 KUHPer dan Pasal 378 KUHPid, sehingga akta dan perjanjian tersebut dapat dibatalkan dan pelaku menghadapi ancaman pidana penjara maksimal 4 tahun. Lebih lanjut, barang siapa yang melakukan pemalsuan surat dan keterangan palsu diancam pidana penjara paling lama delapan tahun dalam Pasal 264 dan 266 KUHPid. Dokumen palsu dan keterangan palsu dari para penghadap kerap menjadi permasalahan dan ancaman bagi para Notaris. Meskipun Notaris tidak bertanggungjawab atas dokumen dan/atau keterangan palsu yang dibuat oleh para penghadap, akan tetapi alat bukti palsu tersebut tetap menempatkan Notaris dalam posisi rawan karena hal tersebut seringkali menjadi celah pidana bagi sang Notaris. Ketika terjadi sengketa, sering kali Notaris dipanggil dan dimintai keterangan sebagai saksi atau dipanggil sebagai turut tergugat untuk melengkapi suatu gugatan (Rudy & Mayasari, 2021). Sebagai pejabat umum pembuat akta, kehati-hatian dalam setiap terhadap proses pembuatan akta menjadi bagian dari tanggung jawab dan kewajiban Notaris. Hal ini dikarenakan Notaris Indonesia merupakan Notaris yang mengikuti asas� Notaris yang menjadi pedoman operasional Notaris yaitu �Tabellionis Officium Fideliter Exercebo� yang berarti Notaris dalam menjalankan tugasnya membuat akta harus melakukannya dengan cara tradisional (Noor, 2010). Menurut KBBI Daring, arti dari kata �tradisional� adalah (menjalankan sesuatu) menurut tradisi (adat) (Umboh et al., 2023), dimana tradisi-tradisi menjalankan profesi Notaris juga sudah terinkorporasi di dalam UUJN (Wiryawan, 2020) dan Kode Etik Profesi Notaris (Sinaga, 2020). Dengan demikian, Notaris Indonesia wajib beroperasi secara �tradisional� dengan mengikuti prosedur dan metode yang sudah ditentukan dari proses menemui dan pengenalan penghadap, mendengarkan keinginannya, menyusun akta dengan unsur-unsur baku akta, pembacaan akta dengan minimal dua orang saksi, penandatanganan akta, penyimpanan akta, besar maksimum honorarium. Unsur-unsur tersebut merupakan syarat kolektif yang wajib dipenuhi jika ingin akta tersebut menjadi akta otentik yang berkekuatan pembuktian sempurna.

Standar tersebut juga sudah tertanam dalam image atau gambaran masyarakat tentang Notaris sebagai suatu sosok kepercayaan yang menjaga kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum demi terlaksananya perbuatan hukum yang berimbang dan tidak merugikan salah satu pihak. Masyarakat membutuhkan sosok yang ketentuan-ketentuannya dan cara kerjanya dapat diandalkan, dipercaya, yang tanda tangan serta capnya memberikan jaminan dan keamanan bahwa akta yang dibuat sudah mencapai standar dan berdasarkan keadilan sebagai� bukti kuat yang dapat diandalkan, seorang ahli yang netral dan berpengalaman dalam memberikan nasihatnya (onkreukbaar atau unimpeachable) dan dapat membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya jika dikemudian hari bukti tersebut dibutuhkan di luar atau dalam pengadilan (Mowoka, 2014).

Sedangkan dalam negara anglo saxon, Notaris dikenal dengan sebutan public notary dengan ekstensi kategori sebagai cyber notary. Istilah cyber notary pertama kali diciptakan oleh American Bar Association (ABA) di tahun 1994. Konsep ini mengandung makna bahwa seorang cyber notary adalah seseorang yang mempunyai spesialisasi kemampuan dalam bidang hukum dan komputer yang dapat beroperasi secara virtual dengan seutuhnya (Makarim, 2011). Cyber notary adalah notaris yang menggunakan kemajuan teknologi dalam proses pembuatan aktanya, seperti: digitalisasi dokumen, pengiriman dokumen secara digital, pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) secara telekonferensi (percakapan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi (Suherman et al., 2021)), penandatanganan akta secara elektronik, dan metode-metode serupa lainnya yang mempersingkat proses pembuatan akta (Dewi, 2021).

Tentu di era digital seperti saat ini, hal tersebut jika dapat diterapkan di Indonesia akan sangat membantu mengurangi waktu pengerjaan, transportasi dan modal yang dibutuhkan untuk membuat akta bagi para pihak yang terkait. Namun keberadaan dan implementasi cyber notary tidak dapat diimplementasikan di Indonesia dikarenakan bertentangan dengan asas metode tradisional dan dalam Pasal 5 UU ITE telah dijelaskan bahwa akta notaris merupakan pengecualian dari dokumen elektronik yang sah apabila dibuat� menggunakan Sistem Elektronik dalam ketentuan UU ITE. Beberapa pendapat dari peneliti hukum mengenai penerapan cyber notary di Indonesia mayoritas menyetujui bahwa meskipun UUJN menghadirkan konsep cyber notary, namun peluang penerapannya belum luas karena pembatasan bentuk dan tata cara pembuatan akta. Begitu juga dengan pengenalan penghadap secara elektronik atau telekonferensi, pembacaan akta dan penandatanganan akta, dan adanya keharusan untuk bertemu langsung antara semua pihak, serta tidak adanya pembuatan minuta akta dalam bentuk lain yang diterima dan diakui Pemerintah selain dalam bentuk fisik (Pangesti et al., 2020). Konsep cyber notary yang ada sekarang terbatas hanya pada sertifikasi transaksi secara elektronik dan pembuatan akta risalah RUPS melalui media elektronik. Terdapat peluang dalam UUJN agar konsep cyber notary diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan, tetapi untuk melakukan hal itu harus dilakukan penambahan dalam Pasal 15 Ayat (1) UUJN untuk memperbolehkan menghadap melalui telekonferensi dan untuk kedepannya harus ditegaskan apakah kewenangan cyber notary tersebut termasuk kewenangan pembuatan akta otentik atau tidak (Alwajdi, 2020). Selain itu, ahli hukum Dr.Laely Nurhidayah S.H., LLM. juga menambahkan �peluang dan tantangan tersebut (dalam penerapan konsep cyber notary di Indonesia) dari segi pengaruhnya pada perumusan norma dan kebijakan yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dalam hal menjamin kepastian hukum dan kemudahan berusaha di Indonesia.�(Alwajdi, 2020) terutama saat adanya krisis nasional yang tidak terduga seperti pada saat pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia dan secara seketika menghentikan proses tatap muka yang lazim dilakukan sebelumnya. Selain itu, ketentuan UUJN - terutama Pasal 16 Ayat (1) huruf m, dan UUJN secara keseluruhan - merupakan peraturan yang tidak dapat dikesampingkan dengan peraturan lainnya termasuk peraturan kedaruratan terkait permasalahan Covid-19, dimana pada saat itu kebutuhan pelaksanaan cyber notary lebih mendesak dan terkuak perlunya perubahan untuk mengakomodasi krisis yang kemungkinan terjadi di masa depan (Wijaya, 2021).� Akan tetapi hingga suatu saat ditambahkan pasal yang mengakomodir dan menambahkan kewenangan cyber notary di Indonesia, pengakuan Pemerintah akan akta yang berbentuk digital, termasuk juga karena perbedaan asas dan metode praktik, maka tidak dimungkinkan untuk mengimplementasikan konsep dan cara kerja seutuhnya dari cyber notary di Indonesia untuk saat ini.

Karena itu pun juga, maka pertanggung jawaban jika ada akta yang didasari pembuatannya oleh identitas palsu juga berbeda. Di Indonesia, pertanggungjawaban Notaris terhadap akta tersebut berbeda tergantung derajat niat dan kesengajaan dari Notaris itu sendiri. Jika terdapat dugaan keterlibatan Notaris terhadap perbuatan melawan hukum dimana ia turut serta melakukan kejahatan dalam bentuk pemalsuan aspek dokumen. Pemalsuan merupakan salah satu bentuk tindak pidana dalam KUHPid, yang diatur dalam Pasal 55 (turut melakukan) dan Pasal 56 (membantu melakukan):

 

�Pasal 55 KUHPid:

1.     Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:
1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu;
2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.

2.     Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.

Pasal 56 KUHPid: Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:

1.     Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;

2.     Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.�

Perlu diingat bahwa seharusnya Notaris menjadi pihak yang netral dan tidak boleh diuntungkan oleh transaksi akta tersebut (UUJN 2004, Pasal 53. Pasal 16 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris). Jika hasil penyidikan mengindikasikan kesengajaan Notaris, maka Notaris dapat dikenakan sanksi-sanksi mulai dari Sanksi Perdata, Administratif /Kode Etik Jabatan Notaris yang diawasi oleh Majelis Pengawas Notaris. Sanksi-sanksi dalam UUJN dan Kode Etik Profesi Notaris tidak menyebut/mengatur eksklusif mengenai sanksi pidana. Namun pelanggaran hukum yang dilakukan dalam Notaris yang termasuk dalam unsur-unsur pemalsuan, penipuan, dan kesengajaan dalam proses pembuatan akta otentik, setelah dijatuhkan sanksi perdata, sanksi administratif dan/atau pelanggaran kode etik,� pelanggaran tersebut dapat dikategorikan lebih lanjut dan termasuk sebagai tindak pidana jika terbukti keterlibatan Notaris tersebut yang secara sengaja melakukan pemalsuan dalam akta otentik (Firmansyah & Adjie, 2018). Hukuman Pidana Penyertaaan yang ada pada Pasal 263 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 angka (1) dan (2) KUHPid, akibat kelalaiannya terancam hukuman pidana penjara maksimal 5 tahun. Posisi notaris adalah posisi integral yang dimaksudkan untuk membantu menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat dengan kehati-hatian yang dimaksudkan untuk mencegah (preventif) potensi terjadinya masalah hukum melalui akta otentik yang dibuat oleh dirinya melalui prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan dalam UUJN, oleh karena itu tugas Notaris Indonesia tidak bertindak sekedar sebagai pengesah perjanjian seperti Notaris Hukum Anglo Saxon, tetapi Notaris Indonesia berperan lebih aktif dalam menjalankan setiap langkah kewajibannya dan membantu masyarakat (Notaris, 2013).

Akan tetapi tanggung jawab cyber notary sangatlah berbeda karena Notaris di negara Common Law memiliki kewajiban yang berbeda pula. Kewajiban utama Notaris di negara Common Law adalah sekedar untuk mengesahkan dokumen tanpa adanya kewajiban untuk memeriksa dan memastikan bahwa data yang digunakan adalah data yang berhak digunakan atau tidak. Atas perbedaan mendasar inilah, maka Notaris Common Law dan beserta ekstensinya, cyber notary, memiliki kebebasan yang jauh lebih luas dan tidak dapat dikenakan hukuman atas akta yang didasari oleh identitas palsu. Atas kebebasan itu pun juga, maka mereka dapat mengadakan pengumpulan data sepenuhnya melalui daring, tanpa perlu adanya kewajiban bagi para pihak untuk bertemu muka, ataupun menghadiri dalam daerah yurisdiksi notaris tersebut.

 

Kesimpulan

Dikarenakan perbedaan prinsip dan asas, maka sistem kerja Notaris di Indonesia tidak dimungkinkan bekerja seperti cyber notary, kecuali ada pembaharuan hukum terhadap seluruh peraturan-peraturan dan hukum yang terkait dengan sistem kerja Notaris Indonesia. Meskipun beberapa aspek mungkin di masa depan dapat dilakukan seperti mempersingkat proses melalui daring - seperti pertemuan melalui telekonferensi, penandatanganan elektronik, penyimpanan dan pengiriman dokumen, namun pada dasarnya pembuatan akta elektronik belum dimungkinkan karena sangkut paut erat antara sejarah, masalah pembuktian baik di luar atau dalam pengadilan, dan pertentangan dari peraturan-peraturan lain yang terkait - seperti UU ITE, UUJN, Kode Etik Profesi, dan peraturan lainnya.

Tanggung jawab Notaris yang bersangkutan atas akta yang dibuat berdasarkan identitas palsu beragam, tergantung niatan, kesengajaan, dan masalah yang terdapat di dalam kasus tersebut. Berbagai sanksi dan hukuman pun dapat diterapkan, mulai dari sanksi administratif, perdata dengan pembatalan akta dan ganti rugi, bahkan pidana berupa kurungan penjara selama 2 (dua) tahun jika terbukti melakukan tindak penipuan sebagaimana yang termaksud dalam Pasal 378 jo. Pasal 55 Ayat (1) dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Notaris sebagai pejabat umum dan profesi kepercayaan yang memiliki kewenangan besar dalam setiap tahap pembuatan akta serta penyuluhan hukum harus mengikuti prosedur dan bertanggung jawab sepenuhnya atas akta yang pembuatannya dipercayakan kepadanya karena Notaris mempunyai tugas dan tanggung jawab besar dimana ia dipercaya untuk membuat akta otentik berkekuatan sempurna sebagai pembuktian bagi para penghadap yang berkonsultasi dan membuat akta kepadanya. Oleh karena itu apabila Notaris melakukan pelanggaran demi menguntungkan diri sendiri dengan merugikan penghadap dan pihak lain, perbuatan tersebut akan mengorbankan hak dari penghadap yang datang kepadanya dan menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat umum kepada Notaris. Majelis Pengawas Notaris harus lebih berhati-hati dan optimal dalam pengawasan terutama mengenai pelanggaran pidana dan penerapan prinsip kehati-hatian yang dilakukan oleh Notaris.

Berbeda dengan Notaris Indonesia, Notaris-Notaris di negara Common Law - dan ekstensinya sebagai cyber notary, berfungsi sekedar untuk mengesahkan dokumen-dokumen yang perlu disahkan dan disaksikan oleh posisi kepercayaan. Mereka juga tidak berperan andil dalam penyusunan akta, sehingga mereka tidak dapat dituntut apabila dalam pembuatan akta tersebut terdapat unsur pemalsuan identitas.

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adjie, H. (2011). Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris. Refika Aditama.

 

Alwajdi, M. F. (2020). Urgensi Pengaturan Cyber Notary Dalam Mendukung Kemudahan Berusaha Di Indonesia. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 9(2), 257.

 

Chalid, M. R. I. (2020). Hambatan Dan Prospek Hukum Penyelenggaraan Jasa Notaris Secara Elektronik Di Indonesia Memasuki Era Society 5.0. Indonesian Notary, 2(4).

 

Dewi, L. A. T. (2021). Legal Aspect of Cyber Notary in Indonesia. Journal of Digital Law and Policy, 1(1), 37�44.

 

Dharma, A. D. S. (2015). Keberagaman pengaturan batas usia dewasa seseorang untuk melakukan perbuatan hukum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebelas Maret University.

 

Firmansyah, F. A., & Adjie, H. (2018). Keabsahan Ujian Pengangkatan Notaris Sebagai Syarat Pengangkatan Notaris. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 4(2), 15�25.

 

Hartono, C. F. G. S. (2006). Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, cetakan ke-2. Penerbit Alumni, Bandung.

 

Ma�ruf, U., & Wijaya, D. (2015). Tinjauan Hukum Kedudukan Dan Fungsi Notaris Sebagai Pejabat Umum Dalam Membuat Akta Otentik (Studi Kasus di Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang). Jurnal Pembaharuan Hukum, 2(3), 299�309.

 

Makarim, E. (2011). Modernisasi Hukum Notaris Masa Depan: Kajian Hukum Terhadap Kemungkinan Cyber Notary di Indonesia. Jurnal Hukum Dan Pembangunan, 41(3), 466�499.

 

Marzuki, M. (2017). Penelitian Hukum: Edisi Revisi. Prenada Media.

 

Mowoka, V. P. (2014). Pelaksanaan Tanggung Jawab Notaris terhadap Akta yang Dibuatnya. Lex Et Societatis, 2(4).

 

Noor, H. J. (2010). Jasa notaris sebagai salah satu upaya dalam memperkuat rezim anti pencucian uang. Universitas Gadjah Mada.

 

Notaris, P. P. I. (2013). Jati Diri Notaris Indonesia. Gramedia Pustaka Utama.

 

Pangesti, S., Darmawan, G. I., & Limantara, C. P. (2020). The Regulatory Concept of Cyber Notary in Indonesia. Rechtsidee, 7.

 

Purnayasa, A. T. (2018). Akibat Hukum Terdegradasinya Akta Notaris yang Tidak Memenuhi Syarat Pembuatan Akta Autentik. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(3), 395�409.

 

Rudy, D. G., & Mayasari, I. D. A. D. (2021). Keabsahan Alat Bukti Surat Dalam Hukum Acara Perdata Melalui Persidangan Secara Elektronik. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 9(1), 167�174.

 

Sari, D. A. W., Murni, R. A. R., & Udiana, I. M. (2018). Kewenangan Notaris di Bidang Cyber Notary Berdasarkan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Udayana University.

 

Sinaga, N. A. (2020). Kode etik sebagai pedoman pelaksanaan profesi hukum yang baik. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 10(2).

 

Soekanto, S. (2007). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat.

 

Soesilo, R. (1995). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal.

 

Suherman, A., Aryani, L., & Yulyana, E. (2021). Analisis Fungsi Peraturan Mentri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 dalam Mencegah Kekerasan Seksusal di Kampus. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 7(7), 173�182.

 

Umboh, C. P., Lengkong, F. D. J., & Plangiten, N. N. (2023). Efektivitas Program Guru Penggerak Kementrian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi di SMP Negeri 3 Tumpaan. JURNAL ADMINISTRASI PUBLIK, 9(2), 117�131.

 

Utomo, H. I. W., & Safi�i, I. (2019). Tanggung Jawab Mantan Karyawan Notaris Sebagai Saksi Akta Terhadap Kerahasian Akta. Res Judicata, 2(1), 213�226.

 

Wijaya, H. W. (2021). Problematika Hukum Pelaksanaan Cyber Notary Dalam Masa Pandemi Covid-19. Proceeding of Conference on Law and Social Studies.

 

Wiryawan, A. W. (2020). Tinjauan Yuridis Terhadap Notaris Yang Dinyatakan Pailit Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris. Lex Renaissance, 5(1), 193�206.

 

Copyright holder:

Tamara Ratnasari, I Made Pria Dharsana (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: