Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia �p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
11, November 2022
JATUHNYA
REZIM KHMER MERAH DAN KEKUASAAN HUN SEN DI KAMBOJA PASCA ITU
Dian Fitriani Lestari
Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Jatuhnya rezim Khmer Merah pada
tahun 1979 dan pengambilalihan kekuasaan oleh Hun Sen di Kamboja telah
memberikan dampak yang signifikan pada sejarah dan politik negara tersebut.
Setelah kekuasaan Khmer Merah yang kejam dan kebijakan mereka yang tidak
berpihak pada rakyat, Kamboja mengalami transisi menuju pemerintahan yang lebih
stabil dan demokratis di bawah kepemimpinan Hun Sen. Meskipun terdapat kritik
terhadap cara Hun Sen mempertahankan kekuasaannya dan perlakuan terhadap
oposisi politik, Kamboja telah mengalami kemajuan dalam bidang ekonomi dan
infrastruktur. Namun, ada juga isu-isu yang perlu diatasi seperti korupsi dan
hak asasi manusia yang masih menjadi masalah di Kamboja. Sejak Jatuhnya rezim
Khmer Merah, Kamboja telah mengalami banyak perubahan dan tantangan politik,
sosial, dan ekonomi. Namun, dengan adanya upaya untuk memperbaiki keadaan,
Kamboja dapat terus berkembang dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya di masa
depan.
Kata kunci :
rezim Khmer
Merah, kekuasaan Hun Sen, transisi pemerintahan.
Abstract
The fall of the Khmer Rouge regime in 1979 and Hun Sen's
takeover of power in Cambodia have had a significant impact on the country's
history and politics. After the ruthless rule of the Khmer Rouge and their
policies of not favoring the people, Cambodia underwent a transition to a more
stable and democratic government under the leadership of Hun Sen. Despite
criticism of the way Hun Sen maintained his hold on power and treatment of
political opposition, Cambodia has made progress in economy and infrastructure.
However, there are also issues that need to be addressed such as corruption and
human rights that are still problems in Cambodia. Since the fall of the Khmer
Rouge regime, Cambodia has experienced many political, social, and economic
changes and challenges. However, with efforts to improve the situation,
Cambodia can continue to develop and improve the welfare of its people in the
future.
Keywords: Khmer Rouge regime, Hun Sen's rule,
transition of government.
Kamboja dan
Khmer Merah
Kamboja merupakan salah satu negara
di kawasan Asia Tenggara yang sering mengalami ketidakstabilan politik, entah
itu karena letak geografisnya yang menyebabkan perebutan wilayah atau hal yang
lain. Secara internal negara, Kamboja sejak dahulu mengalami konflik-konflik
yang disebabkan oleh persaingan kekuasaan di kalangan elit yang ada. Hal ini
berpengaruh pada instabilitas dalam negeri (Hartarini
et al., 2022). Di tahun 1970-an, Kamboja
mengalami konflik dalam negeri yakni perang saudara yang ditandai dengan adanya
perebutan kekuasaan sehingga menimbulkan kudeta yang membuat kondisi politik
dan keamanan negara Kamboja menjadi tidak stabil (Tri
Legionosuko & Siswo Hadi, 2019). Pengkudetaan tersebut bermula dari
Lon Nol yang menggulingkan Sihanouk yang pada saat itu sedang berada di luar
Kamboja, dengan alasan keadaan negara yang berada dalam keadaan urgent karena semakin banyak infiltrasi
militer Vietnam Utara masuk ke Kamboja (Utami,
2016). Namun hal tersebut dituntut oleh
Sihanouk untuk bubar dibantu oleh Tiongkok, sehingga akhirnya Sihanouk membangun
aliansi dengan partai komunis. Lon Nol yang dari awal merupakan seorang
anti-komunis menimbulkan perlawanan dari Partai Komunis Kamboja (Na�im
& Siswanto, 2020). Melalui Front uni National Du
Kampuchea (FUNK) atau Front Persatuan Nasional Kamboja dan Gouvernement Royal
d�Union National du Kampuchea (GRUNK) atau Pemerintahan Kerajaan Persatuan
Nasional Kamboja yang dipimpin oleh Sihanouk serta Khmer Merah berhasil menarik
perhatian serta dukungan untuk menentang pemerintahan Lon Nol pada saat itu
karena merupakan anti-komunis dan melibatkan pihak western yakni Amerika Serikat.
Tetapi sebetulnya terdapat perbedaan
ide diantara Sihanouk dan FUNK yang menegaskan bahwa �Sihanouk yang
berpandangan feodalis dan tradisional tidak disukai Partai Komunis Kamboja,
yang anti-monarki.� Sehingga hal tersebut membuat Partai Komunis Kamboja
bergerak sendiri tanpa melibatkan Sihanouk dalam melakukan perlawanan terhadap
pemerintahan Lon Nol (Sinaga,
2013).
Setelah lima tahun perlawanan
terhadap pasukan Lon Nol, pada tanggal 17 April tahun 1975, Kamboja berhasil
diduduki oleh Partai Komunis Kamboja (Dipoyudo,
1979). Diketahui bahwa pemerintahan yang
dijalankan Lon Nol melakukan korupsi dan didukung oleh pihak barat (Chandler,
1997). Minimnya legitimasi yang dimiliki
oleh pemerintahan Kamboja, yang saat itu dipimpin oleh Lon Nol, membuat posisi
pemerintah menjadi semakin lemah. Hal itu diperburuk dengan kapabilitas militer
Lon Nol yang tidak cukup sehingga pasukan Khmer Rouge dapat dengan mudah
menguasai Kamboja dari segi militer hingga akhirnya berhasil masuk ke sektor
pemerintahan pada tahun 1975 (S.
Edwards, 2004). Selanjutnya, negara Kamboja
menjadi perhatian internasional karena di bawah pemerintahan Khmer Merah (Na�im
& Siswanto, 2020). Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol
Pot juga mendeklarasikan Kamboja sebagai negara baru dengan nama Democratic
Kampuchea atau Kamboja Demokratik dan ingin membangun segala sesuatu dari
bawah, dimulai dari pembentukan negara agraris tanpa-kelas (Hasram,
2020).
Identitas Khmer Merah sendiri
dikenal sebagai para pengikut Communist Party of Kampuchea (CPK) setelah
mengkudeta Lon Nol, yang mana persebaran tersebut tidak diikuti oleh semua
kalangan masyarakat di Kamboja, hingga pada akhirnya hal tersebut memberikan
mimpi buruk bagi rakyat Kamboja. Khmer Merah berkuasa dari 17 April 1975 hingga
7 Januari 1979, pemimpinnya adalah Pol Pot (Suhaimi
& Hasibuan, 2019). Peran Pol Pot di Khmer Merah
sangat mendominasi sehingga menciptakan perubahan yang besar di berbagai aspek
seperti di bidang ekonomi, sosial dan politik, juga budaya (Erasiah
et al., 2022). Namun, perubahan besar tersebut
juga menjadi mimpi buruk bagi masyarakat Kamboja terutama mereka yang tidak
sejalan dengan Pol Pot (Taum,
2020). Dimulai saat pemerintahan Khmer
Merah menggunakan kekerasan dalam penyebarluasan kekuasaannya. Padahal, saat
Khmer Merah pertama kali muncul, rakyat Kamboja menganggap hal tersebut
merupakan permulaan yang positif hingga pada akhirnya Khmer Merah memberlakukan
sistem kerja paksa, pembunuhan, penyiksaan, penghilangan paksa serta
kemiskinan. Tidak hanya itu, Khmer Merah juga terbukti oleh pengadilan
internasional karena melakukan genosida terhadap warga etnis Vietnam dan warga
Muslim Cham (Rosyid,
2018).
Kasus kekerasan dan genosida yang
dilakukan oleh Khmer Merah terhadap masyarakat Kamboja pada tahun 1975-1979
merupakan poin yang paling sering diperhatikan dalam sejarah Kamboja, mengingat
hal tersebut memakan banyak korban jiwa dan hingga saat ini dalam
mengimplementasikan hukum humaniter internasionalnya pun belum terealisasikan
secara sempurna. Perubahan besar yang dibawa Pol Pot tersebut juga menjadi
hasil dari ideologi yang dijalankan olehnya yang mana menggunakan dalih ingin
membentuk negara agraris tanpa-kelas, justru mengarahkan Khmer Merah dalam
melakukan tindak kekerasan, bahkan pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat
Kamboja, terutama bagi mereka yang dianggap berkaitan dengan Western ataupun pemerintahan Lon Nol;
tenaga ahli, seperti dokter dan pengacara, atau mereka yang dianggap sebagai
orang yang berwawasan meskipun hanya dilihat dari penampilan; serta komunitas
etnis Vietnam dan Muslim Cham juga menjadi sasaran genosida dari Khmer Merah.
Sebagian penduduk lainnya juga dipaksa untuk terlibat dalam perbudakan di
wilayah pinggiran (Mysliwiec,
1988). Tak hanya itu, Khmer Merah
menghapus aspek kepemilikan pribadi, mata uang, agama, dan budaya tradisional,
lalu membentuk negara demokratik Kampuchea (Kuijjer
et al., 2019). Selain itu, Khmer Merah juga
memberlakukan kebijakan revolusi yang radikal, seperti pembatasan dalam
kebebasan berpendapat, bekerja, dan beragama; larangan berdagang; juga larangan
untuk menempuh pendidikan formal. Setelah kurun waktu 3 tahun kekuasaan, kurang
lebih sekitar 21% populasi atau 1,7 juta orang di Kamboja mengalami auto-genocide, baik karena kelaparan,
penyakit, dan perbudakan yang dilakukan oleh Khmer Merah.
Jatuhnya
Khmer Merah
Seiring berjalannya waktu, karena
kebijakan Khmer Merah yang semakin menyiksa, mereka yang menentang kebijakan
Khmer Merah memilih untuk kabur, tak hanya dari masyarakat biasa, melainkan
juga pihak pemerintahan yang merasa sudah tidak sejalan dengan Pol Pot.
Meskipun dalam mempertahankan kekuasaannya, Pol Pot memberikan posisi jabatan
kepada orang-orang yang dianggap sebagai satu kubu dan menyingkirkan mereka
yang menentangnya. Para penentang memilih Vietnam dan Thailand sebagai
destinasi utama untuk kabur. Hingga pada tahun 1978, Vietnam melakukan invasi militer
terhadap Kamboja yang selanjutnya berhasil mengakhiri pemerintahan Khmer Merah,
didukung oleh beberapa faktor lainnya. Invasi dari Vietnam sendiri menimbulkan
konflik antar kedua negara dimana pada saat itu perekonomian Kamboja juga lemah
akibat kebijakan Khmer Merah yang menghapus aspek kepemilikan pribadi dan
swasta serta menghapus mata uang dari peredaran, padahal pendapatan Kamboja
pada saat itu hanya berasal dari perdagangan ekspor dan impor. Selain itu,
terdapat aspek masyarakat yang lemah yang disebabkan oleh kebijakan Khmer Merah
yang keras, juga Pol Pot melakukan pembersihan terhadap mereka yang dianggap
berwawasan sehingga membuat Kamboja kehilangan tenaga ahli dan profesional
sehingga berpengaruh pada pembangunan dan situasi masyarakat kala itu, sehingga
menjadi tidak stabil kekuatannya. Invasi dari Vietnam sekaligus beberapa faktor
dari dalam negeri sendiri menyebabkan jatuhnya Rezim Khmer Merah. Apabila
ditelaah lebih dalam, melemahnya Kamboja juga disebabkan karena pemerintahan
Pol Pot itu sendiri.
Sepertiga masyarakat Kamboja menjadi
korban dari kekejaman Khmer Merah yang berkuasa dari tahun 1975 hingga 1979,
runtuhnya masa pemerintahan Pol Pot pun tetap meninggalkan bekas dikarenakan
dalam kekuasaannya sama saja seperti menghancurkan negara itu sendiri dengan
membongkar pemerintahan, pendidikan, agama, kesehatan, dan sistem hukum.
Seperti penjelasan di awal bahwa Khmer Merah merupakan poin penting dalam
sejarah Kamboja. Pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan tentang dunia
politik Kamboja masih bisa dilihat sampai saat ini. Dan tidak menutup fakta
bahwa pemerintahan Pol Pot pada saat itu memberikan pengaruh yang besar di
berbagai aspek meskipun setelahnya berubah menjadi arah yang radikal. Karena
tujuan Khmer Merah yakni ingin membentuk negara agraris tanpa-kelas, hal itu
menjadi sorotan dan mendapatkan dukungan dari masyarakat pedesaan yang berharap
bahwa kepemimpinan Khmer Rouge dapat membawa revolusi untuk memperbaiki
kehidupan masyarakat (M.
Edwards & Dudi, 2004).
Hun Sen
sebagai Orang Berpengaruh di Kamboja
Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen,
hadir sebagai orang yang paling berpengaruh di era saat ini dan menjadi
kekuatan politik utama, ia sudah lama berkuasa dam merupakan mantan anggota
Khmer Merah yang membelot dan membantu pasukan Vietnam untuk menjatuhkan Khmer
Merah di tahun 1979. Hun Sen merupakan penyusun dari Cambodian People�s Party
(CPP) yang mana berhasil membuat Kamboja untuk terlahir kembali setelah berada
di bawah Rezim Khmer Merah yang mengerikan (Quackenbush
et al., 2019). Sepanjang tahun 1990-an, ia
memulai upaya untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Di tahun 1997, ia
berhasil melakukan kudeta dan menyingkirkan Pangeran Raniridh dari Funcipec
beserta lawan-lawan politik lainnya (Nick,
2009). Hun Sen sendiri juga terus
menggunakan konsep �stability� dan �peace� dalam kampanyenya, menunjukkan
kepada masyarakat bahwa ia merupakan pahlawan dari masyarakat Kamboja pada masa
pendudukan Khmer Merah (Wright,
2019). Karena ia selalu menyebutkan
konsep tersebut dalam kampanyenya, secara tidak langsung membuat masyarakat
berpikir bahwa mempertahankan Hun Sen dalam pemerintahan bukanlah hal yang
buruk bahkan dianggap mampu menjaga agar Kamboja tidak lagi jatuh dalam rezim
yang salah seperti pada masa Khmer Merah. Dapat disimpulkan pula bahwa Kamboja
berhasil melakukan rekonstruksi politik pasca pemerintahan Khmer Merah. Hal
tersebut juga didukung dengan kebijakan Hun Sen yang cenderung otoriter,
walaupun tidak sekeras Khmer Merah, yang menghambat perkembangan pihak oposisi
di Kamboja. Meskipun begitu, masih terdapat beberapa kekhawatiran bahwa Kamboja
akan kembali kehilangan kedaulatannya terlebih lagi Hun Sen memiliki� kebijakan yang cenderung pro terhadap
Tiongkok, padahal Tiongkok merupakan pendukung utama dari rezim Khmer Merah (Dunst
et al., 2020). Dikhawatirkan, kondisi yang sama
akan terulang jika Tiongkok memberikan dukungan terhadap Hun Sen untuk
memperkuat pengaruhnya dalam pemerintah.�
Pemerintahan
Hun Sen dan CPP di Kamboja
Hun Sen dan CPP merupakan kombinasi
yang paling berkuasa di Kamboja. Sejak tahun 1998, 2003, 2008 dan 2013, CPP
selalu menduduki posisi teratas pada pemilihan umum. Meskipun begitu, bukan
berarti Hun Sen tidak mendapatkan kritikan, apabila mengingat kekuasaan Hun Sen
yang otoriter meskipun tidak sekeras Khmer Merah, tentu saja hal tersebut
karena berlawanan dengan keinginan masyarakat yang tidak bisa lepas dari
demokrasi. Pertentangan antar kekuasaan Hun Sen dengan masyarakat terus
terjadi. Partai CPP yang mendominasi Senat Kamboja telah meloloskan UU yang
berupaya untuk mengatur pergerakan dari masyarakat. Namun, tentu saja hal
tersebut tidak didukung oleh pihak oposisi, yakni The Cambodia National Rescue Party (CNRP). UU tersebut
juga mengundang terjadinya demonstrasi karena menganggap menghambat masyarakat
dan NGO dimana memiliki keterkaitan erat dengan masyarakat. Tercatat
lebih dari 70 NGO di tahun 2016 menuntut tindakan Hun Sen. Hal ini
memperlihatkan bahwa tidak kalah dengan masyarakat yang merasa mempertahankan
Hun Sen merupakan keputusan yang benar, melainkan juga memperlihatkan bahwa
masyarakat itu sendirilah yang menjadi tantangan besar bagi Hun Sen untuk
mempertahankan kekuasaannya di Kamboja. Terdapat beberapa kasus yang
memperlihatkan keotoriteran dari kekuasaan Hun Sen di Kamboja dimana perlakuan
Hun Sen ini masih dianggap �anti-kritik� bahkan tidak segan untuk membawa
mereka yang berani mengkritik kekuasaannya ke meja hijau. Di tahun 2010, UU
Kriminal direvisi untuk memperluas makna pencemaran nama baik sebagai salah
satu tindakan kriminal di Kamboja dan memenjarakan komentar yang dianggap
merusak nama baik pemerintahan (Howick
et al., 2014). Karena itulah setiap masyarakat
termasuk media massa di Kamboja harus berhati-hati dalam memberikan pernyataan
terutama menyangkut tentang pemerintahan.
Kasus
Penting yang Berkaitan dengan Kekuasaan Hun Sen
Contohnya adalah pelecehan yudisial
terhadap Mam Sonando, pendiri sekaligus pemilik Beehive Radio yang telah
ditangkap tiga kali karena melaporkan informasi yang dianggap terlalu kritis
terhadap pemerintah. Lalu di tahun 2012, Hun Sen menyiarkan penangkapan Sonando
di televisi nasional setelah Sonando melaporkan pengaduan ke The International Criminal Court
(ICC) yang menuduh pemerintah Kamboja menggusur ribuan orang dari tanah mereka
secara paksa. Selanjutnya, Sonandi dikenai hukuman 20 tahun penjara atas tuduhan
memimpin plot separatis. Menjelang pemilu bulan Juli tahun 2013, Pemerintah
Kamboja mengeluarkan aturan baru untuk lebih membungkam suara-suara
kritis.� Namun larangan tersebut kemudian
dicabut dan disusul dengan protes dan kritik dari masyarakat lokal maupun
internasional.
Bukti
keotoriteran dari Pemerintah Kamboja ialah banyaknya wartawan individu yang
sering mendapatkan ancaman terutama ketika mereka melaporkan isu-isu politik
yang sensitif. Reporter surat kabar lokal Virakchun Khmer Daily, Hang Serei
Oudum, ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa pada September 2012. Diduga ia melaporkan keterlibatan
pemerintahan dan militer dalam pembalakan liar. Tidak hanya itu, jurnalis
Kamboja, Suon Chan, dipukuli secara brutal oleh sekelompok orang menggunakan
tongkat dan batu pada tanggal 31 Januari tahun 2014. Selain menyerang
orang-orang media, Pemerintah Kamboja juga menyerang pengacara hingga meneror
dan mengintimidasi para aktivis. Pemerintah tidak mempedulikan tuntutan
mereka dan mengancam aktivis-aktivis yang kritis. Ketua umum Free Trade Union
and Workers pada Januari 2004 terbunuh, Chea Vichea. Ancaman terhadap para
aktivis tidak berhenti sampai disitu.
Kem Sokha, Yeng Virak dan Pa Ngueng
Teang, yang mana ketiganya merupakan seorang aktivis HAM yang kritis terhadap
pemerintah, ditahan atas dalih karena mereka hadir di acara Hari HAM
Internasional membawa bendera. Bendera tersebut bertuliskan kritik dan protes
dari rakyat pedesaan terhadap pemerintah Hun Sen. Kasus lainnya adalah
penahanan Moeung Sunn sebagai pemimpin NGO yang bergerak dalam bidang
konservasi Angkor Wat pada tahun 2009, ia dijatuhi dihukum hanya karena
mengeluarkan opini di publik tentang kekhawatiran akan pemasangan aliran
listrik di Angkor Wat. Karena hal itu ia dianggap telah mempermalukan
Pemerintahan Kamboja di kalangan nasional dan internasional.
Peristiwa-peristiwa di atas telah
menjelaskan bagaimana Hun Sen dan CPP menjalankan kekuasaannya di Kamboja yang
apabila dirangkum ia tidak mentoleransi sikap kritis dari siapapun terhadap
pemerintah. Dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya yang memperlihatkan sikap
represif Hun Sen terhadap masyarakat yang kritis terhadapnya.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa Kamboja berhasil melakukan rekonstruksi politik pasca
pemerintahan Khmer Merah, ditandai dengan situasi negara yang lebih stabil
dibandingkan dengan sebelumnya. Namun pihak pemerintah tetap harus
mengedepankan kesejahteraan dari masyarakat misalnya dengan memberikan
kebebasan dalam berpendapat. Menanggapi kritik dari masyarakat pun bukan
semata-mata hanya untuk menjelekkan kinerja pemerintahan, melainkan guna
memperbaiki kekurangan dari kebijakan pemerintah itu pun sendiri. Karena di
waktu yang bersamaan, pemerintahan Kamboja saat ini telah memiliki legitimasi
yang cukup dari masyarakat Kamboja untuk dapat bertahan menguasai negara
tersebut. Isu mengenai keterlibatan Khmer Merah terhadap pemerintahan yang
sekarang sudah tidak lagi berlaku karena keduanya memiliki sesuatu yang berbeda
meskipun memang masih menjadi kekhawatiran sendiri dari masyarakat Kamboja.
Masih banyak agenda yang harus dilakukan pemerintahan Kamboja misalnya
permasalahan krusial yang perlu diselesaikan oleh Kamboja, tidak harus
memikirkan permasalahan peninggalan masa lalu di era Khmer Merah.
BIBLIOGRAFI
Chandler, D. (1997). FromCambodge�toKampuchea�: State and Revolution in
Cambodia 1863-1979. Thesis Eleven, 50(1), 35�49.
Dipoyudo, K. (1979). Konflik Kamboja-Vietnam dan
Akar-Akarnya. Analisis CSIS, 8, 645�668.
Dunst, C. J., Hamby, D. W., Howse, R. B., Wilkie, H., &
Annas, K. (2020). Research synthesis of meta-Analyses of preservice teacher
preparation practices in higher education. Higher Education Studies, 10(1),
29�47.
Edwards, M., & Dudi, A. (2004). Role of chlorine and
chloramine in corrosion of lead‐bearing plumbing materials. Journal‐American
Water Works Association, 96(10), 69�81.
Edwards, S. (2004). Financial openness, sudden stops, and
current-account reversals. American Economic Review, 94(2), 59�64.
Erasiah, E., Pratama, F. S., & Hazari, V. (2022).
Komunitas Muslim di Kawasan Komunis. Khazanah: Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan
Islam, 12(2), 149�167.
Hartarini, Y. M., Nafiah, Z., & Sopi, S. (2022). Kajian
Tentang Ekonomi Kreatif di Kabupaten Kendal. EKOMA: Jurnal Ekonomi,
Manajemen, Akuntansi, 2(1), 77�89.
Hasram, K. (2020). Birokratisasi Islam di Indocina
Meninjau Ulang Hubungan Negara dan Minoritas Muslim. Nusa Litera Inspirasi.
Howick, J., Cals, J. W. L., Jones, C., Price, C. P., Pl�ddemann,
A., Heneghan, C., Berger, M. Y., Buntinx, F., Hickner, J., & Pace, W.
(2014). Current and future use of point-of-care tests in primary care: an
international survey in Australia, Belgium, The Netherlands, the UK and the
USA. BMJ Open, 4(8), e005611.
Kuijjer, M. L., Tung, M. G., Yuan, G., Quackenbush, J., &
Glass, K. (2019). Estimating sample-specific regulatory networks. Iscience,
14, 226�240.
Mysliwiec, E. (1988). Punishing the poor: The
international isolation of Kampuchea. Oxfam GB.
Na�im, Z., & Siswanto, S. (2020). Signifikansi Umat Islam
Indonesia Dalam Konteks Perdamaian Dunia. Belajea: Jurnal Pendidikan Islam,
5(2), 263�276.
Nick, B. (2009). The handbook of sustainable
refurbishment: non-domestic buildings. Routledge.
Quackenbush, K. C., Quackenbush, D. A., Epe, P. K. C., &
Epe, P. I. T. C. (2019). Stylistics analysis of sonnet 18 by William
Shakespeare. International Journal of Applied Research, 5(5), 233�237.
Rosyid, M. (2018). Model pendidikan peredam pemikiran dan
gerakan radikal belajar dari kudus. QUALITY, 5(1), 104�136.
Sinaga, L. C. (2013). Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Demokrasi
dan Ham Di ASEAN: Studi Kasus Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam. Jurnal
Penelitian Politik| Volume, 10(1), 127�142.
Suhaimi, A., & Hasibuan, P. (2019). Geliat
Neo-Komunisme di Indonesia Penompang Gelap Gerbong Reformasi.
Taum, Y. Y. (2020). Peran Kebudayaan Dalam Strategi
Pembangunan Bangsa: Merajut Ingatan, Merawat Harapan. Sanata Dharma
University Press.
Tri Legionosuko, L., & Siswo Hadi, S. (2019). Buku:
Strategi Pertahanan Bawah Laut Indonesia. Universitas Pertahanan, 1,
393.
Utami, A. S. (2016). Peranan United States�Cambodia cultural
property agreement dalam mengatasi trafficking in cultural property di Kamboja.
Peranan United States�Cambodia Cultural Property Agreement Dalam Mengatasi
Trafficking in Cultural Property Di Kamboja.
Wright, E. O. (2019). How to be an anticapitalist in the
twenty-first century. Verso Books.
Copyright
holder: Dian
Fitriani Lestari (2022) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |