Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 4, April
2023
IMPLEMENTASI DAN PENGUATAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN NASABAH ASURANSI
Hasbi Tarmum,
Henny Marlyna
Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Email: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Akhir-akhir ini, kasus gagal
bayar perusahaan asuransi, khususnya asuransi jiwa tengah menjadi sorotan publik.
Dalam sepuluh tahun terakhir rentetan kasus gagal bayar asuransi tengah membuat
cemas masyarakat. Mirisnya lagi, kasus gagal bayar tersebut terjadi pada
perusahaan-perusahaan asuransi besar. Kasus gagal bayar yang paling baru
terjadi yakni PT Asuransi Jiwa Kresna atau Kresna Life. Kasus kresna menambah
deretan kasus gagal bayar asuransi jiwa di Indonesia setelah sebelumnya dialami
nasabah PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Otomatis, realitas tersebut tidak bisa
dibiarkan. Sebab, jika terbiarkan akan berprospek membuat citra publik terhadap
industri asuransi runtuh. Melihat kenyataan tersebut, tentu pemerintah dalam
hal ini lembaga/regulator yang menaungi kebijakan polis asuransi harus segera
mengambil tindakan dengan melakukan penguatan lembaga perlindungan konsumen
nasabah asuransi Adapun implementasi lembaga perlindungan konsumen nasabah
asuransi pada saat ini sudah berjalan nanum belum sepenuhnya efektif. Namun
demikian beberapa peraturan perundangan yang mengatur mengenai usaha
perasuransian dan perlindungan terhadap konsumen menjadi modal utama untuk
menjaga hubungan antar konsumen dan pelaku usaha untuk terlibat aktif dan fair dalam industri keuangan Indonesia. Penguatan
lembaga perlindungan konsumen nasabah asuransi perlu diperkuat agar kepercayaan
masyarakat terhadap perusaan asuransi dapat terus tumbuh dan berkembang.
Penguatan lembaga perlindungan konsumen nasabah asuransi melalui (1) penguatan
lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menjadi satu-satunya lembaga yang
memiliki otoritas untuk mengelola jasa keuangan khususnya industri asuransi.
(2) Segera membentuk dan mensahkan Lembaga Penjamin Polis (LPP) yang saat ini
telah termuat dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan
Sektor Keuangan (PPSK) atau Omnibus Law
Keuangan.
Kata Kunci: asuransi; perlindungan
konsumen; lembaga penjamin polis; otoritas jasa keuangan.
Abstract
Lately, cases of
failure to pay insurance companies, especially life insurance are in the public
spotlight. In the last ten years, a series of cases of insurance default have
made the public anxious. Unfortunately, again, the default case occurred in large
insurance companies. The most recent default case was PT Asuransi Jiwa Kresna
or Kresna Life. The Krishna case adds to the series of cases of life insurance
default in Indonesia after previously experienced by customers of PT Asuransi
Jiwasraya (Persero). Automatically, this reality cannot be tolerated. Because, if
left unchecked, it will have the prospect of making the public image of the
insurance industry collapse. Seeing this reality, of course the government in
this case the institution/regulator that oversees the insurance policy policy
must immediately act by strengthening the insurance customer consumer
protection institution. The implementation of consumer protection institutions
for insurance customers is currently running but is not yet fully effective.
However, several laws and regulations governing the insurance business and
consumer protection are the main capital to maintain the relationship between
consumers and business actors to be actively and fairly involved in the
Indonesian financial industry. The strengthening of consumer protection
institutions for insurance customers needs to be strengthened so that public
trust in insurance companies can continue to grow and develop. Strengthening
consumer protection institutions for insurance customers through (1)
strengthening the Financial Services Authority (OJK) which is the only
institution that has the authority to manage financial services, especially the
insurance industry. (2) Immediately establish and ratify the Policy Guarantee
Institution (LPP) which is currently contained in the Draft Law on Development
and Strengthening of the Financial Sector (PPSK) or the Financial Omnibus Law.
Keywords: insurance; consumer protection; policy guarantee institution; financial
services authority.
Pendahuluan
Asuransi
merupakan bentuk pengalihan suatu risiko kerugian, dari satu pihak kepada pihak
lain, dengan membagi risiko pembayaran pada sejumlah premi yang dilakukan
secara adil (Fauzi, 2019). Manusia akan menghadapi hal-hal yang tidak pasti sepanjang hidupnya,
mungkin menguntungkan atau merugikan. Setiap keputusan dan kehidupan manusia
selalu dipenuhi risiko (Samsudin & Setyowati,
2022). Risiko ini menimbulkan beban
kerugian bagi jiwa atau harta benda manusia. Risiko terjadi bersumber dari
bencana alam, penyakit, kecelakaan, keteledoran, ketidakmampuan atau sebab lain
yang tak terduga (Pawitri, 2017). Peranan dasar asuransi adalah untuk mengatasi ketidakpastian terhadap potensi kerugian tersebut. Kekhawatiran akan ketidakpastian ini
menyebabkan seseorang memerlukan perlindungan asuransi.
Dewasa
ini telah berkembang beragamnya produk yang ditawarkan perusahaan asuransi,
baik produk-produk asuransi yang berbasis investasi (asuransi unitlink)
maupun yang tidak. Asuransi unit link merupakan produk asuransi jiwa
yang dikaitkan dengan investasi yang dapat memberikan dua manfaat sekaligus
dalam satu polis, yaitu manfaat perlindungan dan manfaat investasi yang
memiliki risiko sesuai dengan dana investasi yang dipilih (Rianawati &
Kusumaningsih, 2021). Dengan semakin berkembangnya produk-produk asuransi yang
ditawarkan berpotensi munculnya masalah-masalah, terutama adanya
keluhan-keluhan nasabah soal produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi
atau unit link karena tak mendapat
manfaat sebagaimana yang dijanjikan para agen (Wibowo, Chaerawaty, &
Andini, 2017).
Adanya
ketidakseimbangan posisi antara nasabah sebagai pemegang polis dan pihak
perusahaan asuransi, memiliki potensi menimbulkan suatu masalah.
Masalah-masalah yang sering muncul, adalah kendala dalam memperoleh pembayaran
klaim ketika terjadi peristiwa yang tidak diharapkan atau evenement. Hal ini bertentangan dengan tujuan utama seorang
pemegang polis atau nasabah mengikatkan diri dalam perjanjian asuransi adalah
untuk menerima ganti kerugian bila terjadi suatu peristiwa yang tidak diduga
menimpa objek asuransi (Dewi & Kasih, 2020).
Nasabah
asuransi memiliki hak untuk memperoleh dana ganti kerugian dan/atau kompensasi,
jika produk yang didapat menyalahi isi kontrak perjanjian atau menyalahi
kesepakatan, seperti dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Sebagian dari nasabah asuransi adalah nasabah
individual, dan ada pula nasabah dengan keadaan ekonomi menengah ke bawah,
sehingga peraturan hukum lebih beratensi dan memberi perlindungan hukum yang
lebih kuat untuk nasabah dari peluang atau risiko adanya pelanggaran hukum yang
dilakukan pihak perusahaan asuransi (Rambe & Sekarayu, 2022).
Dalam hal perusahaan asuransi sebagai
penanggung bersedia menanggung risiko dari pihak tertanggung, sehingga harus
ada hubungan hukum yang mengikat antar para pihak terlebih dahulu. Kesepakatan
kedua belah pihak membentuk hubungan hukum dalam bentuk akta tertulis yang
disebut polis. Polis tersebut tidak hanya memuat kesepakatan kedua
belah pihak tentang peralihan risiko, namun juga berfungsi sebagai bukti ketika
terjadi klaim atau perkara antara kedua belah pihak (Savitri, 2019).
Dalam UU Nomor� 40 Tahun 2014 mengenai Perasuransian,
menyatakan bahwa usaha yang dimana perasuransian dapat dilaksanakan oleh
perusahaan, koperasi, usaha bersama dimana hal tersebut telah ada sebelum UU
tersebut di terbitkan. Tentu perusahaan-perusahaan tersebut tidak selalu berjalan
mulus dalam menjalankan kegiatan usahanya. Ketidakmampuan membayar atau
melunasi klaim nasabah yang jatuh tempo, biasanya disebabkan karena kondisi perusahaan asuransi yang usahanya mengalami kemerosotan sehingga tidak dapat menghasilkan pendapatan yang cukup (financial distress).
Pandemi
Covid-19 (Corona Virus Disease 2019) yang sudah berlangsung
selama lebih dari 2 (dua) tahun ini, mempengaruhi berbagai aspek kehidupan
masyarakat, khususnya dunia usaha. Selama terjadi pandemi Covid-19 sektor asuransi
juga mengalami pukulan yang telak. Kelesuan perekonomian dengan segala
dampaknya sangat berpengaruh perkembangan industri asuransi. Secara nyata
dampaknya, akhir-akhir ini banyak terjadinya kasus-kasus terjadinya gagal bayar
bahkan kasus pailitnya perusahaan asuransi. Kasus yang menjadi sorotan publik
diantaranya adalah PT Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life), PT Asuransi Jiwasraya
(Persero), dan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera, AIA, AXA Mandiri, dan
Prudential.
Kecenderungan
penurunan tersebut nampak dari data yang tersaji. Berdasarkan data kinerja
industri asuransi secara agregat, pendapatan premi menunjukkan kecenderungan
penurunan apabila dibandingkan dengan triwulan yang sama di tahun sebelumnya.
Pendapatan premi asuransi mengalami penurunan dari Rp258,73 triliun menjadi
Rp265,96 triliun. Komposisi pendapatan premi didominasi oleh BPJS dengan porsi
sebesar 41,84%, diikuti oleh Asuransi Jiwa sebesar 32,00%, serta Asuransi Umum
dan Reasuransi sebesar 22,32%. Adapun data selengngkapnya teraji dalam tabel 1
di bawah.
Tabel 1
Kinerja Perusahaan Asuransi Konvensional
Dan BPJS, 2021-2022 (Dalam Triliun Rupiah)
No. |
Jenis
Indikator |
2021 |
2022 |
|||
TW II |
TW III |
TW IV |
TW I |
TW II |
||
1.����� Total
Pendapatan Premi |
|
|
|
|
|
|
Asuransi Jiwa |
94,02 |
136,26 |
184,32 |
43,68 |
85,10 |
|
�Asuransi Umum
dan Reasuransi |
50,48 |
72,40 |
100,10 |
28,75 |
59,36 |
|
Asuransi ASN, TNI/POLRI, Kecelakaan dan Lalu Lintas
Jalan |
5,65 |
8,56 |
11,65 |
7,37 |
10,22 |
|
Asuransi Sosial |
108,58 |
165,71 |
223,95 |
54,03 |
111,28 |
|
Jumlah |
258,73 |
382,94 |
520,02 |
133,83 |
265,96 |
|
2.����� Total
Klaim Bruto |
|
|
|
|
|
|
Asuransi Jiwa |
73,75 |
117,45 |
159,68 |
40,13 |
76,96 |
|
������� Asuransi Umum dan Reasuransi |
18,85 |
29,74 |
45,03 |
11,62 |
24,20 |
|
Asuransi ASN, TNI/POLRI, Kecelakaan dan Lalu Lintas
Jalan |
8,97 |
13,76 |
18,31 |
4,74 |
9,38 |
|
Asuransi Sosial |
62,16 |
94,88 |
133,11 |
38,53 |
75,84 |
|
Jumlah |
163,73 |
255,83 |
356,13 |
95,02 |
186,39 |
Sumber : Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia, Laporan
OJK triwulan II Tahun 2022, hal. 31.
Kecenderungan ini tentunya sangat memprihatinkan
karena berkembangnya suatu perusahaan asuransi tidak terlepas dari kepercayaan atau trust masyarakat terhadap
perusahaan asuransi. Gagal bayar perusahaan asuransi ini dikhawatirkan
menggerus kepercayaan publik terhadap industri asuransi. Apabila masyarakat
sudah tidak percaya lagi dengan perusahaan asuransi maka perusahaan asuransi
akan mengalami banyak sekali kesulitan dalam menjual produk-produk asuransinya.
Apabila kondisi ini tidak membaik, maka perusahaan asuransi akan mengalami
kemeresotan sehingga tidak dapat menghasilkan pendapatan yang cukup (financial
distress). Ketidakmampuan membayar atau melunasi klaim nasabah yang jatuh tempo,
biasanya disebabkan karena kondisi keuangan yang buruk tersebut.
Sebenarnya
telah terbentuk perundangan maupun berbagai lembaga perlindungan konsumen bagi
nasabah asuransi, baik yang diinisiasi oleh pemerintah maupun masyarakat. Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
terhadap pelaku usaha jasa keuangan. OJK dibentuk berdasarkan UU Nomor 21 Tahun
2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan (Thariq, Sukirno, & Prananingtyas, 2020). Selain itu OJK juga berwenang dalam mengajukan permintaan
kepailitan atas suatu perusahaan asuransi terhadap kepentingan kreditor yang
merasa dirugikan.
Dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor� 21
Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan pengaturan atas
pengawasan suatu perusahaan asuransi dapat lebih memberikan perlindungan kepada
nasabah asuransi. Berdasarkan UU OJK dalam Pasal 4, dibentuknya OJK salah
satunya bertujuan untuk melindungi kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang
dalam hal ini adalah nasabah asuransi (Rani, 2014).
Namun
implementasi perlindungan konsumen bagi nasabah asuransi dari berbagai
perangkat tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan harapan masyarakat nasabah
asuransi. Terbukti masih adanya
berbagai masalah yang terjadi pada sektor asuransi di Indonesia untuk itu
penelitian terkait asuransi menjadi sangat penting dan mendesak untuk
dilakukan.
Metode Penelitian
Artikel ini merupakan penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum doktrinal yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem
norma, yang menggunakan sumber data sekunder yang diperoleh dari hasil
penelaahan kepustakaan atau bahan literatur lainnya yang berkaitan dengan
masalah penelitian (Efendi & Ibrahim, 2018). Adapun bentuk penelitian ini merupakan penelitian
preskriptif. Penelitian preskriptif dilakukan bertujuan untuk mendapatkan
saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah
tertentu.
Pendekatan Penelitian. Jenis penelitian ini adalah yuridis
normatif yaitu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada
peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain karena
penelitian yang diteliti berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yaitu
hubungan peraturan yang satu dengan peraturan yang lain serta kaitannya dengan
penerapannya dalam praktik. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perbandingan
hukum (comparative approach) yang
dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah,
dan lain-lain.
Dalam hubungannya dengan proses pengumpulan data dan jika
dilihat dari jenisnya, data dibedakan menjadi data primer dan data sekunder.
Data primer merupakan data yang diperoleh dari langsung dari objek yang
diteliti, sedangkan data sekunder merupakan data dalam bentuk jadi, seperti
data dokumen dan publikasi. Jenis data dalam penelitian ini berupa data
sekunder yaitu dilakukaan dengan cara studi pustaka (library research) atau penelusuran literatur di perpustakaan
terhadap bahan-bahan hukum tertulis yang relevan.
Hasil dan Pembahasan
1. Implementasi
Lembaga Perlindungan Konsumen Nasabah Asuransi
Implementasi perlindungan konsumen nasabah asuransi
secara umum sebenarnya telah dijamin dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Secara spesifik kerugian yang
dialami konsumen di bidang asuransi, telah diwadahi dalam Pasal 4 UU Nomor� 8 Tahun 1999.
Dalam pasal tersebut perlindungan meliputi kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa; memilih barang dan/atau
jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan perjanjian;
informasi yang benar, jelas, dan jujur sebagaimana perjanjian; didengar
pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang dipergunakan; mendapat
dengan patut perlindungan serta penyelesaian permasalahannya; mendapat
pembinaan serta pendidikan konsumen; diperlakukan atau dilayani dengan benar
dan jujur serta tidak bersifat diskriminasi; mendapat penggantian, jika barang
dan/atau jasa yang didapatkan tidak sama dengan kesepakatan yang telah
dilakukan; serta hak-hak yang diatur melalui ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya (Rasyida, 2015).
Adapun implementasi perlindungan konsumen nasabah
asuransi melalui lembaga yang telah dibentuk yaitu BPKN (Badan
Perlindungan Konsumen Nasional). BPKN merupakan lembaga perlindungan konsumen
yang secara eksplisit telah disebutkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lembaga ini telah melakukan
pembenahan kelembagaan, menerima pengaduan konsumen, melakukan edukasi
konsumen, serta menjalin kerjasama dengan berbagai pihak. Dari semua tugas
tersebut, kebijakan yang paling dirasakan manfaatnya secara langsung oleh
masyarakat adalah peran serta aktif BPKN dalam menyelesaikan persoalan konsumen
(advokasi konsumen) (Pantouw, 2016).
Masyarakat konsumen Indonesia sebenarnya mendapat
banyak keuntungan dengan hadirnya BPKN. Selain secara hukum mendapat kepastian
melalui Undang-undang Perlindungan Konsumen, masyarakat memiliki wadah
penyelesaian persoalan yang dihadapinya, terkait jaminan hak dan ganti rugi.
Namun, keberadaan lembaga konsumen yang mayoritas
hanya di kota besar, membuat tidak mudah masyarakat untuk mengaksesnya.
Masyarakat biasanya akan memiliki kepercayaan tinggi kepada lembaga, jika
lembaga tersebut mampu membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi
masyarakat.
Dari tugas dan kewenangan BPKN yang ada dalam pasal
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2019, seperti memberi saran dan
rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan, melakukan
penelitian dan pengkajian undang-undang, melakukan penelitian terhadap barang
dan/atau jasa, mendorong LPKSM, menyebarluaskan informasi melalui media, serta
melakukan survei, nampaknya konsumen lebih menyukai tentang penguatan advokasi
konsumen. Hal ini dapat dilihat dari animo masyarakat yang meningkat setiap
tahun. Masyarakat menginginkan persoalannya dapat dibantu dan diselesaikan oleh
BPKN, maupun lembaga konsumen lainnya.
Setelah diterbitkannya UU Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan, pada Pasal 28, implementasi perlindungan
konsumen bagi nasabah asuransi ditangani oleh lembaga Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). OJK memiliki wewenang untuk menerapkan fungsi edukasi dan perlindungan
konsumen dalam sektor jasa keuangan termasuk di dalammnya nasabah asuransi.
Fungsi edukasi dan perlindungan konsumen merupakan fungsi yang penting karena
ini menjadi pilar penting bagi OJK untuk mewujudkan sistem keuangan nasional
yang baik.
Dalam implementasinya Otoritas Jasa Keuangan
menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor : 1/POJK.07/2013
Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Konsumen termasuk nasabah
asuransi sangat diutamakan dalam peraturan ini. Ini terlihat bagaimana
perumusan mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan sangat lengkap.
Implementasi pengawasan asuransi dan perlindungan
nasabah asuransi pasca terbentuknya OJK, diatur�
dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU Nomor�
2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian jo Pasal 9 ayat (1) PP
Nomor� 63 Tahun 1999 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian, dimana di dalam pasal tersebut dijelaskan mengenai tata cara
mendapatkan izin serta syarat untuk mendirikan perusahaan perasuransian.
Kemudian pada tanggal 18 April 2022, dalam rangka
memperkuat aspek perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan, OJK menerbitkan
POJK Nomor 6/POJK/07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di
Sektor Jasa Keuangan. Seperti telah diuraikan bahwa perlindungan konsumen bagi
nasabah asuransi sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Dalam
perkembangannya peraturan tersebut perlu dilakukan penyempurnaan untuk
memperkuat aspek perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan. Perkembangan
inovasi dan teknologi yang cepat dan dinamis di sektor jasa keuangan yang
ditandai dengan munculnya pelaku usaha baru, pemasaran dan pemanfaatan produk
dan layanan secara online, perjanjian berbentuk elektronik, serta terbitnya
peraturan dan kebijakan baru di sektor jasa keuangan perlu didukung dengan
penguatan perlindungan konsumen.
Selain itu, untuk mewujudkan perlindungan konsumen
dan masyarakat di sektor jasa keuangan, perlu dilakukan perbaikan implementasi
perlindungan konsumen oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) dan penguatan
implementasi dari amanat Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 Undang-Undang OJK,
yaitu melakukan tindakan pencegahan kerugian, pelayanan pengaduan Konsumen,
serta melakukan pembelaan hukum.
Dalam rangka mewujudkan perlindungan konsumen yang
efektif, menjaga kepercayaan konsumen, serta memastikan kepatuhan terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan, pelaku-pelaku usaha dalam industri
asuransi harus memenuhi prinsip-prinsip perlindungan konsumen dan masyarakat
yaitu (1) edukasi yang memadai, (2) keterbukaan dan transparansi informasi, (3)
perlakuan yang adil dan perilaku bisnis yang bertanggung jawab, (4)
perlindungan aset, privasi, dan data konsumen, serta (5) penanganan pengaduan
dan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien.
Pemenuhan prinsip-prinsip tersebut dilakukan dalam
kegiatan desain, penyediaan dan penyampaian informasi, pemasaran, penyusunan
perjanjian, pemberian layanan atas penggunaan produk dan/atau layanan, serta
penanganan dan penyelesaian pengaduan dan sengketa konsumen nasabah asuransi.
Untuk mendukung hal tersebut, OJK melakukan transformasi pengaturan yang
diharapkan dapat lebih memperkuat perlindungan konsumen.
Sebagai tindak lanjut dari perlindungan masyarakat,
untuk pengaduan yang diterima OJK termaktub pada pasal 29 Undang-Undang No 21
Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan mengatur pelayanan pengaduan konsumen
menyebutkan bahwa OJK dalam pelayanan pengaduan konsumen dapat melakukan
diantaranya : (a). menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan
Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan; (b). membuat
mekanisme pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa
Keuangan; c. memfasilitasi penyelesaian pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh
pelaku di Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang- undangan di
sektor jasa keuangan. Pasal 29 mengatur pelayanan OJK dalam pengaduan nasabah
atas kerugian yang didapat atas investasi illegal. OJK telah menyiapkan program
dalam perlindungan masyarakat, yaitu pembentukan sistem pelayanan konsumen
keuangan terintegrasi (Financial Customer Care/FCC). Program FCC menjadi
prioritas utama untuk meningkatkan ketersediaan informasi bagi masyarakat dan
pelayanan pengaduan konsumen keuangan (Samsul, 2016).
Pengawasan OJK terhadap jasa keuangan melalui
koordinasi antara OJK, otoritas moneter, pemerintah dan LPS, yang telah diatur
dalam UU OJK, maka diharapkan semakin bertambahnya lembaga keuangan yang sehat,
efektif dan melayani nasabah dengan baik.
Terkait dengan perlindungan nasabah asuransi pada
saat ini sebenarnya telah ada ada lembaga reasuransi. Reasuransi adalah istilah
yang digunakan saat satu perusahaan asuransi melindungi dirinya terhadap risiko
asuransi dengan memanfaatkan jasa dari perusahaan asuransi lain. Terdapat
banyak alasan yang menyebabkan perusahaan asuransi melakukan reasuransi.
Pembagian atau penyebaran risiko adalah salah satu alasan reasuransi. Adapun
implementasi dari Reasuransi yang dilakukan oleh sebagian perusahaan asuransi
di Indonesia ternyata dirasa belum cukup untuk menjamin nasabah mendapatkan
pertanggungan sepenuhnya dari perusahaan asuransi. Hal tersebut
karena jika perusahaan asuransi mengalami kepailitan maka perusahaan reasuransi
hanya mengeluarkan 30% dari biaya pertanggungan yang tertera pada
polis asuransi yang dimiliki nasabah (Prihandoko
& Syuhada, 2019).
Dengan demikian, adanya lembaga penjamin polis
alternatif dari perusahaan reasuransi, yang benar-benar dapat memberikan
perlindungan nasabah asuransi dirasa sangat penting di tengah banyaknya
penurunan pendapatan premi yang terjadi (Pratama & Rini, 2020).
2. Penguatan
Lembaga Perlindungan Konsumen Nasabah Asuransi
Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa
implementasi perlindungan konsumen khususnya bagi nasabah asuransi belum
sepenuhnya berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. Untuk itu perlu kiranya
segera dilakukan upaya-upaya untuk melakukan penguatan lembaga perlindungan
konsumen nasabah asuransi. Upaya yang pertama yang perlu dilakukan adalah
penguatan lembaga Otoritas Jasa Keuangan. Penguatan lembaga OJK ini sangat
penting, terlebih OJK merupakan satu-satunya lembaga otoritas jasa keuangan dan
telah memberikan komitmen yang tinggi untuk melakukan upaya-upaya edukasi dan
literasi terhadap perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan.
Dalam Laporan OJK triwulan II-2022 yang mengusung
tema "Penguatan Ekosistem Sektor Jasa Keuangan melalui Perlindungan
Konsumen yang Optimal". Tema tersebut menggambarkan berbagai upaya OJK
dalam mewujudkan sektor jasa keuangan yang tepercaya, stabil, berdaya saing,
dan inklusif tanpa mengesampingkan kepentingan konsumen yang wajib dilindungi (Raharjo, 2021).
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa pada
saat ini OJK telah melakukan upaya-upaya penguatan pengaturan melalui
pemberlakukan POJK Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan
Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. Adapun perubahan substansi pengaturan pada
POJK Nomor 6/POJK.07/2022, terdapat beberapa penguatan peraturan perlindungan
konsumen apabila dibandingkan dengan POJK sebelumnya yakni Nomor� 1/POJK.07/2013 antara lain (Syukron, 2022):
a)
Pendekatan pengaturan pada siklus hidup produk
dan/atau layanan (product life cycle).
Dengan pendekatan ini, PUJK semakin mengoptimalkan upaya perlindungan konsumen
dan masyarakat sejak desain produk dan/atau layanan hingga penanganan dan
penyelesaian sengketa.
b)
Penyesuaian prinsip perlindungan konsumen dan
masyarakat. Salah satunya penambahan prinsip �edukasi yang memadai� dalam
rangka mendorong PUJK untuk berperan aktif melakukan edukasi atau meningkatkan
literasi keuangan sehingga meningkatkan kemampuan konsumen dan masyarakat dalam
mengambil keputusan dan pengelolaan keuangan untuk mencapai kesejahteraan
keuangan.
c)
Penguatan penerapan prinsip keterbukaan dan
transparansi informasi melalui pengaturan bentuk, tata cara dan pengecualian
penyampaian ringkasan informasi produk dan/atau layanan.
d)
Penguatan dukungan terhadap konsumen dan/atau masyarakat
disabilitas dan lanjut usia, peningkatan upaya perlindungan data/informasi
konsumen.
e)
Kewajiban untuk memberikan waktu yang cukup bagi
konsumen untuk memahami perjanjian sebelum ditandatangani atau masa jeda
setelah penandatanganan perjanjian terhadap produk dan/layanan yang memiliki
jangka waktu yang panjang dan/atau bersifat kompleks.
f)
Kewajiban rekaman apabila penawaran produk dan/atau
layanan dilakukan melalui sarana komunikasi pribadi dengan suara dan/atau
video.
g)
Penegasan kewenangan OJK dalam melakukan
perlindungan konsumen termasuk pengawasan market conduct sebagai wujud
implementasi pasal 28 sampai dengan 30 Undang-Undang OJK.
h)
Kewajiban pembentukan unit atau fungsi perlindungan
konsumen dan masyarakat.
i)
Kewajiban penyampaian laporan penilaian sendiri oleh
PUJK kepada OJK terkait pemenuhan ketentuan perlindungan konsumen.
j)
Kewajiban PUJK dalam memiliki kebijakan dan prosedur
perlindungan konsumen. PUJK wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis
perlindungan konsumen. Kebijakan dan prosedur tertulis ini dimiliki oleh PUJK
sebagai dasar dari PUJK untuk menerapkan aspek perlindungan konsumen atas
produk dan/atau layanan sejak dilakukannya desain produk dan/atau layanan
sampai dengan penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa.
Penguatan perlindungan terhadap konsumen perlu
dilakukan, didorong oleh perkembangan inovasi dan teknologi yang cepat serta
dinamis di sektor jasa keuangan yang ditandai dengan munculnya pelaku usaha
baru, pemasaran, pemanfaatan produk dan layanan secara daring. POJK ini menyempurnakan
prinsip-prinsip perlindungan konsumen dan masyarakat, yaitu edukasi yang
memadai, keterbukaan dan transparansi informasi, perlakuan yang adil, perilaku
bisnis yang bertanggung jawab, perlindungan aset, privasi, data konsumen, serta
penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien.
OJK berkomitmen untuk terus memperkuat peran dan
fungsi sebagai regulator dan pengawas lembaga jasa keuangan, pelindung konsumen
sektor jasa keuangan. Program pengembangan pengawasan terus dilakukan melalui
beberapa kajian untuk memperkuat memperkuat efektivitas pengaturan dan sistem
pengawasan, pembenahan SDM OJK yang berkelanjutan, serta pengembangan
aplikasi/sistem pengawasan berbasis teknologi.
Kasus gagal bayar yang terjadi tentu sangat bertentangan
dengan hak yang seharusnya didapatkan nasabah asuransi seperti yang sudah
diamanatkan di dalam UU Perlindungan Konsumen berupa
hak untuk mendapat perlindungan, advokasi,
dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen. Untuk itu penguatan perlindungan konsumen
nasabah asuransi dilakukan dengan segera membentuk Lembaga Penjamin Polis (LPP)
yang akan memberikan jaminan dan perlindungan kepada nasabah asuransi.� Dengan adanya Lembaga Penjamin Polis maka
akan mampu meminimalisir kerugian pemegang polis serta memberikan keringanan
pemerintah atau regulator (OJK) (Sahara, 2020). Salah satu
sumber kendala yang sering menjadi masalah dalam
perusahaan asuransi adalah tidak adanya Lembaga Penjamin Polis
(LPP) seperti yang dimiliki dalam dunia perbankan yakni Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS). Memang untuk menjamin perlindungan nasabah asuransi, pada saat
ini telah ada perusahaan reasuransi namun dalam implementasinya belum
sepenuhnya efektif dan sesuai harapan untuk melakukan pertanggungan terhadap
polis nasabah. LPP nantinya berperan menjaga polis-polis nasabah jika suatu
waktu perusahaan asuransi mengalami kendala sehingga terjadi gagal bayar atau
ketidakmampuan membayar klaim (Rahmah, 2015).
Kebutuhan terbentuknya LPP saat ini sudah sangat
mendesak karena dalam pasal 53 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian sudah menegaskan bahwa setiap perusahaan asuransi harus masuk
sebagai peserta program penjamin polis dan seharusnya pendirian LPP tersebut
dilaksanakan setelah 3 (tiga)� tahun
setelah� UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian diundangangkan pada Oktober 2014 silam. Dengan
demikian maka apabila tidak segera dibentuk LPP
ini maka secara
tidak langsung pemerintah tidak
menjalankan isi dari undang-undang
tersebut (Dewi &
Kasih, 2020).
Dengan dibentuknya LPP maka akan dapat meningkatkan
kepercayaan masyarakat pada perusahaan asuransi karena telah ada yang menjamin.
LPP yang dibentuk tentu harus memiliki kriteria perusahaan yang layak menjadi
peserta LPP sehingga tidak menjadi beban bagi industri asuransi dan dana
nasabah juga aman. Selain itu dalam membentuk LPP, pemerintah juga harus
mempertimbangkan terkait batasan pertanggungan yang diberikan jaminan dari LPP (Dewi &
Kasih, 2020).
Berbagai pihak dewasa ini masih terus mendorong
reformasi industri asuransi yang dirumuskan dalam Rancangan Undang-Undang
Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) atau omnibus law sektor
keuangan, yang pada saat ini perkembangannnya sudah masuk dalam pembahasan di
Badan Anggaran DPR RI bersama pemerintah. Salah satu kebijakan utama yang
diatur adalah rencana perluasan tugas dan fungsi Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) menjadi Lembaga Penjamin Polis (LPP).
Percepatan pembentukan lembaga penjamin polis
asuransi dimuat dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan
Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) atau Omnibus Law Keuangan. Pembentukan lembaga
penjamin polis sehingga pemegang polis bisa mendapat proteksi terhadap hal-hal
yang merugikan pemegang polis. OJK juga terus berupaya mendorong dari sisi
perundangan dan pemerintah untuk membentuk lembaga penjamin polis. Adapun
bentuk lembaga penjamin polis nantinya apakah berdiri sendiri atau bisa
digabungkan dengan Lembaga Penjamin Simpanan yang sudah ada. Adapun, dalam draf
RUU PPSK disebutkan bahwa program penjaminan polis asuransi nantinya akan
diselenggarakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) (BASEL, 2016). Hal tersebut berarti, LPS
tidak hanya menjamin simpanan dana masyarakat di perbankan, tapi juga harus
menjamin polis asuransi yang dibeli dan dimiliki masyarakat dan perusahaan
asuransi. Dengan demikian cara kerja LPP juga relatif sama dengan LPS di
industri perbankan, dengan tidak semua perusahaan bisa memperoleh jaminan dari
LPP (Syantoso, 2015).
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: a) Implementasi lembaga perlindungan
konsumen nasabah asuransi pada saat ini sudah berjalan nanum belum sepenuhnya
efektif. Namun demikian beberapa peraturan perundangan yang mengatur mengenai
usaha perasuransian dan perlindungan terhadap konsumen menjadi modal utama
untuk menjaga hubungan antar konsumen dan pelaku usaha untuk terlibat aktif dan
fair dalam industri keuangan
Indonesia. b) Penguatan lembaga perlindungan konsumen nasabah asuransi perlu
diperkuat agar kepercayaan masyarakat terhadap perusaan asuransi dapat terus
tumbuh dan berkembang. Penguatan lembaga perlindungan konsumen nasabah asuransi
melalui (1) penguatan lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menjadi
satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas untuk mengelola jasa keuangan
khususnya industri asuransi. (2) Segera membentuk dan mensahkan Lembaga
Penjamin Polis (LPP) yang saat ini telah termuat dalam Rancangan Undang-Undang
tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) atau Omnibus Law Keuangan.
BIBLIOGRAFI
BASEL, T. I. M. (2016). Strategi Penguatan Sektor
IKNB Melalui Inisiasi Program Nasional Akselerasi Industri Peer to Peer Lending
(P2PL).
Dewi, Ni Putu Sintha Tjiri Pradnya, & Kasih, Desak
Putu Dewi. (2020). Pengaturan Lembaga Penjamin Polis Pada Perusahaan Asuransi
Di Indonesia. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal),
9(4), 739�751.
Efendi, Jonaedi, & Ibrahim, Jhoni. (2018). Metode
Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris.
Fauzi, Wetria. (2019). Hukum Asuransi di Indonesia.
Padang. Andalas University Press. Ichsan, Reza Nurul.(2020). Pengaruh
Sistem.
Pantouw, Magdalena Peggy. (2016). Peran dan Fungsi
Lembaga Pengawasan dalam Tanggung Jawab Pelaku Usaha Menurut UU No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lex Crimen, 5(6).
Pawitri, Rosiani Niti. (2017). Kedudukan dan
Perlindungan Hukum Pemegang Polis pada Perusahaan Asuransi Yang Pailit
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian. Wacana
Hukum, 23(1).
Pratama, Wibi Pangestu, & Rini, A. S. (2020). Transformasi
Digital Masif di Masa Pandemi, Fintech Bisa Bantu Pemulihan Ekonomi.
Bisnis. Com. https://finansial. bisnis. com/read/20200910/563/1289945.
Prihandoko, Dedy Irawan, & Syuhada, Khreshna
Imaduddin Ahmad. (2019). Prediksi Ukuran Risiko Agregat Klaim Berbasis Copula
pada Model Autoregressive Conditional Amount (ACA). Jurnal Matematika
Integratif, 15(2), 129�137.
Raharjo, Budi. (2021). Fintech Teknologi Finansial
Perbankan Digital. Penerbit Yayasan Prima Agus Teknik, 1�299.
Rahmah, Ghoida. (2015). Ini 7 Masalah Bank Syariah. Retrieved
May, 15, 2019.
Rambe, Soraya Hafidzah, & Sekarayu, Paramitha.
(2022). Perlindungan Hukum Nasabah Atas Gagal Klaim Asuransi Akibat
Ketidaktransparanan Informasi Polis Asuransi. JURNAL USM LAW REVIEW, 5(1),
93�109.
Rani, Marnia. (2014). Perlindungan Otoritas Jasa
keuangan Terhadap kerahasiaan dan keamanan data pribadi Nasabah Bank. Jurnal
Selat, 2(1), 168�181.
Rasyida, Andi Astari. (2015). Analisis Hukum Terhadap
Klausula Baku Pada Kartu Studio Pass di Trans Studio Makassar. Skripsi,
Universitas Hasanuddin Makassar.
Rianawati, Tititk, & Kusumaningsih, Sabtarini.
(2021). Mengenal Unit Link: Asuransi Dengan Fitur Investasi (Get To Know Unit
Link: Insurance With Investment Features). Jurnal Visi Manajemen, 7(3),
157�165.
Sahara, Nida. (2020). Pandemi Covid-19 Ajang
Transformasi Digital Banking.
Samsudin, Samsudin, & Setyowati, Nanik. (2022).
Manajemen Konflik Lembaga Pendidikan Dasar Islam. Scaffolding: Jurnal
Pendidikan Islam Dan Multikulturalisme, 4(2), 549�563.
Samsul, Inosentius. (2016). Perlindungan konsumen jasa
keuangan pasca pembentukan otoritas jasa keuangan (OJK). Negara Hukum:
Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan, 4(2), 153�166.
Savitri, Nur Aisyah. (2019). Perlindungan Tertanggung
Pada Asuransi Jiwa Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 Tentang
Perasuransian. Jurnal Hukum Magnum Opus, 2(2), 162�173.
Syantoso, Arie. (2015). Analisis Fiqh Keuangan
Terhadap PP No. 39 Tahun 2005 Tentang Penjaminan Simpanan Pada Perbankan
Syariah di Indonesia. AL-IQTISHADIYAH: Ekonomi Syariah Dan Hukum Ekonomi
Syariah, 1(1), 1�20.
Syukron, Syukron. (2022). Peran OJK dalam Melindungi
Konsumen dan Masyarakat di Sector Jasa Keuangan. Yurisprudentia: Jurnal
Hukum Ekonomi, 8(2), 190�201.
Thariq, Muhammad, Sukirno, Sukirno, &
Prananingtyas, Paramita. (2020). Pelaksanaan Pengawasan Asuransi Jiwasraya Oleh
OJK Provinsi Sumatera Barat Di Kota Padang. Notarius, 13(1), 111�126.
Wibowo, Eko Budi, Chaerawaty, Fahnia, & Andini,
Ayu Nurfitri. (2017). Model Unit Usaha PMI-Program Safer Sumatera.
Divisi PSD dan Kerja Sama, Markas Pusat Palang Merah Indonesia.
Copyright holder: Hasbi Tarmum, Henny Marlyna (2023) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |