Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 8, No. 4, April 2023
PERLINDUNGAN HUKUM
ATAS MEREK TERDAFTAR PADA DJKI
Angie Octavia Susanto, Jeane Neltje
Saly
Fakultas
Hukum Universitas Tarumanagara, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara,
Indonesia
E-mail
: [email protected], [email protected]
Abstrak
Merek terdaftar adalah suatu simbol
atau nama yang telah didaftarkan pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual
untuk mengidentifikasi produk atau jasa yang ditawarkan oleh pemilik merek
tersebut. Perlindungan hukum atas merek terdaftar merupakan hal yang penting
bagi pemilik merek guna mencegah penggunaan merek oleh pihak lain tanpa izin.
Perlindungan hukum tersebut dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan
melalui pengadilan atau badan hukum terkait, baik di tingkat nasional maupun
internasional. Pada tingkat nasional, pemilik merek terdaftar dapat memperoleh
perlindungan hukum melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis. Undang-Undang ini memberikan hak eksklusif bagi pemilik
merek terdaftar untuk menggunakan merek tersebut dan melarang pihak lain
menggunakan atau memalsukan merek tersebut tanpa izin. Jika terjadi
pelanggaran, pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan melalui
Pengadilan Niaga. Dalam praktiknya, perlindungan hukum atas merek terdaftar
sangat penting bagi pemilik merek guna melindungi kepentingannya dan
mempertahankan citra mereknya di mata konsumen. Oleh karena itu, pemilik merek
terdaftar perlu memahami ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk memperoleh perlindungan hukum yang
maksimal.
Kata kunci: Perlindungan Hukum, Merek Terdaftar,
Pelanggaran Merek.
Abstract
A
registered mark is a symbol or name that has been registered with the
Directorate General of Intellectual Property to identify the
products offered by the owner of the trademark. Legal protection for registered marks is important for trademark owners to
prevent the use of the trademark by other parties without permission. This
legal protection can be done by filing a lawsuit through a court or related
legal entity, both at the national and international levels. At the national
level, registered mark owners can obtain legal protection through Law Number 20
of 2016 about Marks and Geographical Indications. This law gives exclusive
rights to registered mark owners to use the trademark and prohibits other
parties from using or counterfeiting the trademark without permission. If there
is a violation, the owner of the registered mark can file a lawsuit through the
Commercial Court. In practice, legal protection of registered marks is very
important for trademark owners to protect their interests and maintain their
brand image in the eyes of consumers. Therefore, registered trademark owners
need to understand the applicable legal provisions and take the necessary steps
to obtain maximum legal protection.
Keywords:
Legal Protection, Registered Mark, Trademark Infringement
Pendahuluan
Perlindungan atas Kekayaan
Intelektual di Indonesia terutama yang memfokuskan dalam bidang merek, diawali
dengan dikeluarkannya undang-undang pertama di bidang Hak Kekayaan Intelektual
pada tahun 1961 yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek
Perusahaan dan Merek Perniagaan. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan
zaman, pemerintah Indonesia terus menyesuaikan bentuk-bentuk pelaksanaan
perlindungan kekayaan intelektual hingga yang terakhir adalah Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Menurut Pasal 1 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, merek
merupakan sebuah tanda berupa grafis yang memuat gambar, logo, nama, kata,
huruf, angka, susunan warna bisa dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga)
dimensi, bahkan suara maupun hologram (Rifai,
2016).
Unsur-unsur ini bertujuan untuk
membedakan setiap barang maupun jasa yang diproduksi dalam kegiatan perdagangan
barang maupun jasa dan menjadi identitas setiap barang maupun jasa yang
didagangkan. Dengan tujuan ini, perlindungan atas merek diperlukan karena merek
digunakan konsumen dalam membuat pertimbangan saat melaksanakan aktivitas
transaksi atas barang dan/atau jasa pada kehidupan sehari-harinya. Hal ini
ditujukan untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat dari barang-barang
hasil tiruan/bajakan. Merek bagi konsumen sendiri, merupakan salah satu faktor
yang dipertimbangkan saat melaksanakan aktivitas transaksi atas barang dan/atau
jasa. Dalam pertimbangannya, konsumen memperhatikan beberapa faktor seperti
kualitas dari barang dan/atau jasa yang dihasilkan, dimana hal ini dibahas oleh
Schmitt bahwa terdapat hubungan antara merek dan konsumen yang terbagi menjadi
3 (tiga) level. Level pertama yang menggambarkan nilai kegunaan yang ditawarkan
dari merek. Level kedua menunjukan kebutuhan personal konsumen dengan merek
sedangkan level ketiga menggambarkan hubungan sosial dengan merek. Hal tersebut
menandakan semakin tinggi levelnya semakin bermakna juga sebuah merek bagi
konsumennya (Schmitt,
2012).
Oleh karena itu merupakan suatu
keharusan merek dimiliki oleh pemilik merek dan mendaftarkannya secara resmi
mereknya pada DJKI (Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual) dalam Kementerian
Hukum dan HAM Republik Indonesia agar mereknya terlindungi. Perlindungan hukum
atas merek yang terdaftar yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis memang melindungi keberadaan merek namun
besar pemahaman masyarakat dan rasa masyarakat dalam menghargai keberadaan
sebuah merek yang dapat menimbulkan adanya pelanggaran atas merek (Wijaya
& Kansil, 2018). Menurut Laporan Tahunan Direktorat
Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia
Tahun 2020, data perlindungan atas merek dalam jenjang tahun 2015-2020
mengalami kenaikan setiap tahunnya. Pada tahun 2015 terdapat 284.032 merek yang
mendapatkan perlindungan sedangkan pada tahun 2020 terdapat 411.458 merek yang
mendapatkan perlindungan (Sahratullah,
2021). Dari data tersebut dapat
disimpulkan, telah terjadi kenaikan kasus pelanggaran hak atas merek sebesar
45% dalam 5 tahun. Salah satu kasus pelanggaran hak atas merek yang menarik
perhatian penulis terjadi pada tahun 2022 antara PS Glow dan MS Glow.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif analitis dengan didasarkan pada data sekunder dimana penulis akan
memberikan penjelasan variabel dari penelitian ini dengan didasarkan pada
teori-teori hukum yang akan dijabarkan oleh penulis pada salah satu bagian
penelitian ini. Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif yang dilengkapi
dengan wawancara. Menurut Peter Mahmud Marzuki (2016), penelitian ini merupakan
penelitian yang memaparkan sistem dari sebuah peraturan dan analisis dari
hubungan antara peraturan tersebut dengan tindakan yang menyimpang dari aturan
yang berlaku (Marzuki,
2013). Penulis menggunakan 2 (dua)
pendekatan dalam penelitian ini yaitu, pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan kasus. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan meneliti
undang-undang yang ada dan peraturan yang menyangkut dengan isu hukum yang
sedang diteliti. Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan penelitian
lebih lanjut pada kasus-kasus yang menyangkut dengan isu yang diteliti yang
telah menjadi putusan dalam pengadilan.
Hasil dan Pembahasan
Hukum menjadi dasar sesuatu yang
penting dan sangat berguna untuk mengintegrasikan serta menghubungkan
kepentingan-kepentingan akan suatu aktivitas diantara satu sama lain, untuk
menghindari konflik yang terjadi akibat adanya benturan-benturan seperti
kepentingan berbentuk peraturan baik nasional maupun adat yang telah disahkan
oleh pemerintah, Undang-Undang, Peraturan dan sebagainya untuk mengatur pola
perjalanan hidup masyarakat. Hal tersebut membentuk makna perlindungan hukum
sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum karena hukum dapat memberikan suatu
keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian bagi subjek hukum.
Menurut seorang ahli bernama
Satjipto Rahardjo (2010), perlindungan hukum dapat terjadi
akibat adanya upaya untuk melindungi kepentingan seseorang yang bisa dilakukan
dengan mengalokasikan suatu Hak Asasi Manusia berupa kekuasaan kepadanya untuk
bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Menurut Muchsin (2019), perlindungan hukum dilaksanakan
untuk melindungi individu dengan adanya suatu hubungan maupun nilai-nilai atau
juga dengan kaidah-kaidah yang menjadi sikap dan tindakan dalam menciptakan
adanya ketertiban dalam kehidupan antar sesama manusia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000), perlindungan berasal dari kata
lindung yang berarti mempertahankan, mencegah, membentengi, mengayomi,
sedangkan perlindungan berarti konservasi, pemeliharaan, penjagaan, dan bunker.
Secara umum, perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang
berbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang.
Selain itu, perlindungan juga mengandung arti pengayoman yang diberikan oleh
seseorang terhadap orang yang lebih lemah. Perlindungan hukum dapat diartikan
perlindungan oleh hukum atau perlindungan dengan menggunakan sarana hukum.
Dalam hukum, pengertian perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang
dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang
bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup
sesuai dengan hak-hak asasi yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis merupakan hukum yang sedang berlaku dan
menjadi dasar hukum dari Merek. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Merek dan Indikasi Geografis, pemilik merek bisa mendapatkan hak atas mereknya
dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur dan mendaftarkannya
kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan
HAM Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis memberikan perlindungan kepada merek yang sesuai dengan
definisi yang tertulis pada Pasal 1 yaitu, Merek adalah tanda yang dapat
ditampilkan secara grafis menggunakan gambar, logo, nama, kata, huruf, angka,
susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara,
hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk
membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum
dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa (Rifai,
2016).
Perlindungan atas sebuah merek
terdaftar memberikan hak atas merek pada pemilik merek yang merupakan hak
eksklusif yang diberikan oleh negara untuk jangka waktu tertentu dengan
menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk
menggunakannya dengan adanya lisensi (Septarina
& Salamiah, 2020). Hak atas merek tersebut dapat
diperoleh setelah merek tersebut terdaftar, merek dapat disebut terdaftar
adalah setelah permohonan melalui proses pemeriksaan formalitas, proses
pengumuman, dan proses pemeriksaan substantif serta mendapatkan persetujuan
Menteri untuk diterbitkan sertifikat. Perlindungan yang diberikan atas merek
terdaftar untuk dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaaan
dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.
Perlindungan hukum atas merek yang
diberikan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis juga didasarkan pada asas First
to File dan Prinsip Kewilayahan (Martini
et al., 2017). Asas first to file merupakan sistem dimana orang yang pertama
mendaftarkan permohonan merek, mendapatkan perlindungan hak atas merek, tanpa
memperhatikan tanggal penggunaan Merek yang sebenarnya. Sedangkan untuk prinsip
kewilayahan merupakan perlindungan merek hanya berlaku di negara dimana
permohonan itu diajukan dan diberikan. Maka, seseorang atau badan hukum perlu mendaftarkan
Mereknya ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual agar mendapatkan
perlindungan hukum atas Mereknya di Indonesia. Sedangkan untuk dinegara lain,
maka pihak tersebut harus mendaftarkannya di negara bersangkutan.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, pelanggaran yang menyangkut hak atas
merek dapat terjadi jika merek terdaftar tersebut (Nugraha
& Krisnamurti, 2019):
1. Memiliki persamaan pada pokoknya
dan/atau keseluruhannya dengan Indikasi Geografis,
2. Bertentangan dengan ideologi negara,
peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban
umum,
3. Memiliki kesamaan pada
keseluruhannya dengan ekspresi budaya tradisional, warisan budaya tak benda,
atau nama atau logo yang sudah merupakan tradisi turun temurun.
�Kesamaan pada pokoknya� diperjelas
dalam bagian Penjelasan atas Rancangan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi Geografis Pasal 21 ayat (1) berupa kemiripan yang
disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara merek yang satu dengan merek
yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk,
cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur, maupun persamaan
bunyi ucapan, yang terdapat dalam merek tersebut. Dari pelanggaran tersebut,
DJKI memberikan pilihan dalam menyelesaikan sengketa tersebut bisa melalui
proses mediasi atau arbitrase. Jika melalui proses tersebut para pihak tidak
menemukan jalan keluar, dapat dilanjutkan melalui tindakan hukum. Tindakan
hukum ini berupa seperti gugatan perdata untuk menghentikan penggunaan merek
dagang yang melanggar dengan mengajukan penghapusan dan/atau pembatalan.
Pengajuan penghapusan merek dapat diajukan kepada menteri berdasarkan Pasal 72
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yaitu
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM
Republik Indonesia. Sedangkan untuk pembatalan atas merek yang terdaftar dapat
diajukan kepada Pengadilan Niaga terhadap pemilik merek terdaftar berdasarkan
Pasal 76 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis. Selain dari penghapusan dan/atau pembatalan, pemilik merek terdaftar
dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang menggunakan mereknya tanpa
hak atas merek tersebut berupa (Mayana,
2017):
1. Gugatan ganti rugi
2. Penghentian semua perbuatan yang
berkaitan dengan penggunaan merek tersebut.
Pengajuan gugatan pada Pengadilan
Niaga salah satunya kasus PS Glow dan MS Glow dimana pihak PS Glow mengajukan
gugatan penggunaan merek tanpa hak atas pihak MS Glow di Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Surabaya yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim bahwa pihak
PS Glow yang memiliki hak eksklusif atas merek dagangnya dan menyatakan bahwa
pihak MS Glow yang secara tanpa hak dan melawan hukum menggunakan merek dagang
MS GLOW yang memiliki kesamaan pada pokoknya dengan merek dagang PS GLOW.
Perlindungan yang diberikan kepada PS Glow sebagai pihak penggugat pada kasus
ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Muchsin bahwa perlindungan hukum dilaksanakan
untuk melindungi individu dengan adanya suatu hubungan maupun nilai-nilai atau
juga dengan kaidah-kaidah yang menjadi sikap dan tindakan dalam menciptakan
adanya ketertiban dalam kehidupan antar sesama manusia (M.
Muchsin, 2003). Gugatan yang diajukan oleh PS Glow
pada Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya sendiri yaitu gugatan ganti
rugi karena PS Glow merasa dirugikan dengan keberadaaan MS Glow yang memiliki
kesamaan pada pokoknya merupakan perlindungan yang diberikan dari Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yaitu pada Pasal 83
ayat (1) yang mengatur mengenai tuntutan ganti rugi atas� merek yang memiliki kemiripan pada pokoknya (Ridla,
2019). Putusan yang telah diputuskan oleh
Majelis Hakim di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya juga
merupakan salah satu bentuk keadilan yang sesuai dengan teori Aristoteles yang
digunakan oleh Hyronimus Rhiti dimana keadilan merupakan keseimbangan dan
sesuai dengan salah satu pembagian keadilannya yaitu keadilan korektif dimana
keadilan yang berhubungan dengan membetulkan atau membenarkan sesuatu yang
salah, memberikan kompensasi bagi pihak yang dirugikan atau memberikan hukuman
yang pantas bagi pelaku kejahatan (Rhiti,
2016).
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah
penulis sampaikan, dapat disimpulkan perlindungan hukum atas merek terdaftar
pada DJKI telah tercantum pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek
dan Indikasi Geografis. Perlindungan hukum yang diberikan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis atas merek yang terdaftar
pada DJKI sendiri dapat dilihat dari contoh konkrit yaitu kasus PS Glow dan MS
Glow yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Surabaya dengan Putusan Nomor 2/Pdt.Sus.HKI/Merek/2022/Pn.
Niaga Sby.�
Perlindungan hukum terhadap merek
terdaftar pada DJKI contohnya PS Glow dan MS Glow berupa pengajuan gugatan oleh
pihak PS Glow yang mengalami kerugian ke Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri
Surabaya, perlindungan yang diberikan Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis mengenai gugatan ganti rugi
atas kerugian yang telah dialami pihak PS Glow dan gugatan penghentian semua
perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek dagang MS Glow yang memiliki
kesamaan pada pokoknya dengan merek dagang PS Glow dan perlindungan yang
diberikan dari putusan Majelis Hakim yang didasarkan keadilan dari bukti-bukti
yang menguatkan pihak PS Glow untuk mendapatkan hak eksklusif atas merek
dagangnya dan bukti-bukti bahwa MS Glow yang secara tanpa hak dan melawan hukum
menggunakan merek dagangnya yang memiliki kesamaan pada pokoknya dengan merek
dagang PS Glow.
BIBLIOGRAFI
Indonesia, K. B. B., Uchino, M., Indonesia, U., Indonesia, L.
F., Viemilawati, J., Anna, N. N., INDONESIA, I., Kasim, U., Rana, D., &
Sul-Teng, L. P. (2000). Tim Penyusun. Jakarta.
Martini, D., Haq, H., & Sutrisno, B. (2017). Perlindungan
hukum terhadap pengetahuan obat-obatan tradisional dalam rezim Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) Indonesia (Studi pada Masyarakat Tradisional Sasak). Jurnal
Hukum Dan Peradilan, 6(1), 67�90.
Marzuki, P. M. (2013). Penelitian hukum.
Marzuki, P. M. (2016). Penelitian Hukum, Edisi Revisi,
Cetakan Ke-12. Jakarta: Kencana.
Mayana, R. F. (2017). Perlindungan Merek Non Tradisional
Untuk Produk Ekonomi Kreatif Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Merek, Indikasi Geografis dan Perspektif Perbandingan Hukum. Jurnal
Bina Mulia Hukum, 2(1), 26�41.
Muchsin, A., Rukiah, R., & Sabir, M. (2019). Legalitas
Perkawinan yang Tidak Tercatat pada Masyarakat Pinrang: Analisis Perma No. 1
Tahun 2015 tentang Pelayanan Terpadu Pencatatan Nikah. DIKTUM: Jurnal
Syariah Dan Hukum, 17(1), 31�48.
Muchsin, M. (2003). Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi
Investor di Indonesia. Universitas Sebelas Maret.
Nugraha, R., & Krisnamurti, H. (2019). Sengketa Merek
Terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Wacana
Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum, 18(2), 97�114.
Rahardjo, S. (2010). Penegakan Hukum Progresif.
Penerbit Buku Kompas.
Rhiti, H. (2016). Landasan Filosofis Hukum Progresif. Justitia
Et Pax, 32(1).
Ridla, M. A. (2019). Perlindungan Indikasi Geografis terhadap
Kopi Yang Belum Terdaftar Menurut First-To-Use-System. Jurnal Hukum Bisnis
Bonum Commune, 2(2), 116�125.
Rifai, T. P. (2016). Kesiapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi
Asean. Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, 10(4), 733�776.
Sahratullah, S. (2021). Pengusulan HKI (Hak Kekayaan
Intelektual) untuk Petunjuk Praktikum Bioteknologi Berbasis Guided Inquiry. Jurnal
Ilmiah Mandala Education, 7(4).
Schmitt, B. (2012). The consumer psychology of brands. Journal
of Consumer Psychology, 22(1), 7�17.
Septarina, M., & Salamiah, S. (2020). Upaya Perlindungan
Hukum Terhadap Pelanggaran Merek Terkenal Yang Tidak Terdaftar Di Indonesia
Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis. Al-Adl:
Jurnal Hukum, 12(1), 89�100.
Wijaya, W., & Kansil, C. S. T. (2018). Analisis Kekuatan
Unsur Itikad Baik Pada Pelaksanaan Pendaftaran Merek Di Indonesia (Studi Kasus
Putusan Mahkamah Agung Nomor 364k/Pdt. Sus-Hki/2014) Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016. Jurnal Hukum Adigama, 1(1), 937�961.
�
Copyright holder: Angie Octavia Susanto, Jeane Neltje Saly (2023) |
First publication right: Syntax
Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |