Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia� p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 11, November 2022

 

KEDUDUKAN PENYELENGGARA EQUITY CROWDFUNDING DITINJAU DARI PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37 TAHUN 2018 TENTANG EQUITY CROWDFUNDING

 

Faustin Dwi Putri, Budi Santoso

Fakultas Hukum, Universitas Dipenogoro, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Di era revolusi industri 4.0, perkembangan fintech semakin meluas, khususnya dalam bidang pasar modal, yang melahirkan berbagai inovasi terutama dalam transaksi jual beli saham melalui teknologi informasi (Equity Crowdfunding.) Berpedoman pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 37 Tahun 2018 Tentang Equity Crowdfunding, layanan ini melibatkan 3 (tiga) pihak �yaitu Penyelenggara, Pemodal dan Penerbit. Setiap tugas yang diberikan kepada masing-masing pihak menimbulkan tanggung jawab yang harus dilaksanakan sepenuhnya dengan baik. Penelitian ini berfokus terhadap tanggung jawab yang dipegang oleh penyelenggara equity crowdfunding beserta pendukung penyelenggara equity crowdfunding. Tugas penyelenggara di samping menyediakan, mengelola dan mengoperasikan urun dana, penyelenggara juga dapat mengawasi jalannya kegiatan equity crowdfunding secara lebih terperinci yang bertujuan agar meringankan tugas dari Lembaga Otoritas Jasa Keuangan serta meningkatkan kualitas equity crowdfunding. Dalam membuat peraturan, istilah bahasa asing juga harus diperhatikan dan dipertimbangkan secara matang agar tidak terjadi kesalahpahaman antara pembuat dan pembaca peraturan. ��Penelitian ini dikaji untuk mengetahui kedudukan penyelenggara equity crowdfunding yang sebenarnya harus dijalankan dan mengkritik tanggung jawab yang dipegang penyedia sistem robo-advisor sebagai pihak layanan pendukung berbasis teknologi informasi yang bekerjasama dengan penyelenggara equity crowdfunding.

 

Kata kunci : equity crowdfunding, penyelenggara, robo-advisor.

 

Abstract

In the era of the industrial revolution 4.0, the development of fintech is increasingly widespread, especially in the field of capital markets, which gives birth to various innovations, especially in stock buying and selling transactions through information technology (Equity Crowdfunding.) Guided by the Financial Services Authority Regulation Number 37 of 2018 concerning Equity Crowdfunding, this service involves 3 (three) parties, namely Organizers, Financiers and Issuers. Each task assigned to each party gives rise to responsibilities that must be fully carried out properly. This research focuses on the responsibilities held by equity crowdfunding organizers and supporters of equity crowdfunding organizers. The task of the organizer in addition to providing, managing and operating crowdfunding, the organizer can also supervise the course of equity crowdfunding activities in more detail which aims to ease the duties of the Financial Services Authority Institution and improve the quality of equity crowdfunding. In making regulations, foreign language terms must also be considered and considered carefully so that there are no misunderstandings between the makers and readers of the rules.�� This study was studied to determine the position of equity crowdfunding organizers that actually must be carried out and criticized the responsibility held by robo-advisor system providers as information technology-based support services in collaboration with equity crowdfunding organizers.

 

Keywords: equity crowdfunding, organizer, robo-advisor.

 

Pendahuluan

Tanpa disadari, kemajuan teknologi informasi yang berkembang demikian cepat pada masa kini, membawa pengaruh dalam kegiatan bisnis. Jika dalam beberapa waktu yang lampau, yang menjadi objek transaksi adalah produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Produk tersebut bisa berupa barang dan/atau jasa. Pada dekade ini yang menjadi objek transaksi bisnis, tidak lagi hanya sekedar itu, akan tetapi yang menjadi objek transaksi adalah perusahaan itu sendiri atau lebih tepatnya saham dari perusahaan tersebut dijadikan sebagai objek transaksi (Kurniawan, 2018). Perkembangan dunia bisnis terus bergerak mengikuti arus zaman, namun ada satu hal, yang tampaknya hingga saat ini masih terus menjadi pembicaraan yakni masalah permodalan. Mengapa? Karena jika seseorang hendak melakukan suatu kegiatan bisnis, maka satu hal yang tidak bisa dihindari adalah ketersediaan modal. Namun, dalam hal modal sudah tersedia, apakah sudah memadai? Dalam suasana seperti ini, maka kehadiran lembaga pembiayaan di luar perbankan yakni lembaga pasar modal (capital market) menjadi salah satu alternatif dalam mencari dana bagi perusahaan (Sembiring, 2010).

Keberadaan pasar modal di Indonesia merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan perekonomian nasional, terbukti telah banyak industri dan perusahaan yang menggunakan institusi ini sebagai media untuk menyerap investasi dan media untuk memperkuat posisi keuangannya. Secara faktual pasar modal telah menjadi pusat saraf finansial (financial nerve centre) pada dunia ekonomi modern dewasa ini, bahkan perekonomian modern tidak mungkin dapat eksis tanpa adanya pasar modal yang tangguh dan berdaya saing global serta terorganisir dengan baik (Muklis, 2016). Tercatat hingga tahun 2020, terdapat 677 perusahaan yang sudah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (Murtini & Yonatan, 2021).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya disebut UUPM) menjelaskan bahwa pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek (Nurlita, 2015). Konteks pasar modal dalam ketentuan undang-undang ini memperlihatkan bahwa kegiatan pasar modal adalah penawaran umum maupun perdagangan efek. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK) menyatakan bahwa pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pasar modal (Ong, 2020). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kegiatan pasar modal berkaitan dengan penawaran umum dan perdagangan efek.

Di dalam UUPM, terdapat 7 lembaga yang mendukung pelaksanaan penawaran umum dan perdagangan efek, yaitu : 1) Emiten adalah pihak yang melakukan kegiatan penawaran efek untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam UUPM dan peraturan pelaksanaannya. 2) Bursa Efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek di antara mereka. Dengan adanya Bursa Efek Indonesia (selanjutnya disebut BEI) sebagai penyelenggara bursa yang memiliki kewenangan terhadap para anggota bursa dan emiten yang tercatat, juga menjadi alasan berinvestasi saham di Indonesia adalah instrumen yang aman. 3) Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah pihak yang menyelenggarakan jasa kliring dan penjaminan penyelesaian transaksi bursa. Tugas utama dari lembaga kliring dan penjaminan adalah mencatat transaksi yang dilakukan oleh pialang. Lembaga ini hanya ada satu di Indonesia yaitu PT Kliring dan Penjaminan Efek Indonesia (KPEI). KPEI berperan untuk memastikan pencatatan dilakukan sebaik-baiknya dari ribuan bahkan jutaan transaksi yang terjadi dalam sehari perdagangan di bursa efek. 4) Lembaga penyelesaian dan penyimpanan bertugas untuk menyelesaikan semua transaksi yang dicatat oleh lembaga kliring dan penjaminan. Peran lembaga ini di Indonesia ditangani oleh PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). 5) Pengertian perusahaan efek berdasarkan UUPM adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek dan atau Manajer Investasi. 6) Lembaga Penunjang Pasar Modal, terdiri dari kustodian, biro administrasi efek, dan wali amanat. 7) Profesi Penunjang Pasar Modal, yang termasuk dalam Profesi Penunjang Pasar Modal, antara lain : akuntan, konsultan hukum, penilai dan notaris (Wijaya & Ananta, 2022).

Dari ketujuh lembaga di atas, setiap lembaga memiliki fungsi dan tanggung jawabnya masing-masing dalam melakukan kegiatan usaha di bidang pasar modal. Tentu saja ketujuh lembaga ini akan lebih efektif berjalan dengan kehadiran lembaga resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bertugas mengawasi kegiatan perdagangan efek di pasar modal agar tidak menyimpang dari peraturan yang ada. Selain itu, OJK juga melakukan pengujian terhadap semua personil yang menyandang profesi tertentu di pasar modal, seperti pialang, manajer investasi dan lain-lain serta memberikan izin pada perusahaan yang ingin melakukan kegiatan di pasar modal (Nurman, 2021). Sehingga dapat disimpulkan bahwa keterlibatan lembaga-lembaga tersebut bertujuan untuk menjamin tercapainya keamanan dalam berinvestasi di pasar modal.

Salah satu tujuan Negara Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum. Dalam mencapai tujuan tersebut, Indonesia menganut filosofi gotong royong dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Salah satu bentuk kegotongroyongan tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk pengumpulan dana dari masyarakat secara bersama-bersama atau yang dapat kita kenal sebagai urun dana. Kegiatan pengumpulan dana dari masyarakat secara bersama-sama ini, khususnya dengan memanfaatkan teknologi internet disebut sebagai crowdfunding atau penggalangan dana secara kolektif.

Crowdfunding itu sendiri terbagi menjadi 4 (empat) jenis, yaitu Donation Based Crowdfunding, Reward Based Crowdfunding, Lending Based Crowdfunding, dan Equity Based Crowdfunding (selanjutnya disebut ECF). Namun dari keempat jenis crowdfunding tersebut, peneliti hendak meneliti kegiatan ECF karena proses urun dana melalui ECF melibatkan saham di dalamnya sebagai imbalan atas dana terkumpul oleh pemodal atau investor. ECF adalah sebuah konsep pendanaan perusahaan yang baru di mata dunia, maka dari itu pastinya segala informasi yang berkaitan, akan memiliki tujuan untuk mengajak masyarakat luas untuk berpartisipasi dalam berinvestasi (Karim et al., 2019). Di Indonesia, peraturan terkait dengan ECF diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 37/POJK.04/2018 Tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowdfunding) (selanjutnya disebut POJK ECF).

Kegiatan ECF melibatkan tiga pihak di dalamnya. Pertama, penyelenggara, yang menyediakan fasilitas dimana saham dibeli dan dijual. Kedua, penerbit, yang ingin mengumpulkan dana melalui internet dengan menjual saham. Ketiga, pemodal, yang ingin membeli saham. Sebelumnya karya penulisan hukum mengenai Crowdfunding sudah pernah ditulis oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, yakni I Dewa Ayu Praharviata Jayatiputri yang berjudul �Urgensi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Tentang Equity Based Crowdfunding dalam Upaya Memberikan Perlindungan bagi Investor�. Dalam karya ilmiah tersebut membahas mengenai perlindungan hukum bagi investor dalam equity based crowdfunding ditinjau dari peraturan yang ada di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, serta bagaimana urgensi pemerintah untuk mengeluarkan peraturan tersendiri tentang equity based crowdfunding. Dalam hal ini, peneliti akan lebih memfokuskan untuk membahas ECF dari sudut pandang penyelenggara.

Hadirnya penyelenggara dalam layanan urun dana penawaran saham berbasis teknologi informasi dilatarbelakangi oleh kebutuhan dari penerbit sebagai perusahaan yang menawarkan saham serta pemodal yang membeli saham penerbit, untuk mencari lembaga perantara demi lancarnya proses transaksi penawaran saham berbasis teknologi informasi. Di dalam Pasal 7 POJK ECF disebutkan bahwa penyelenggara merupakan badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola dan mengoperasikan Equity Crowdfunding yang terdaftar pada OJK, dapat berbentuk perseroan terbatas atau koperasi. Perseroan terbatas dapat berupa perusahaan efek yang telah memperoleh persetujuan dari OJK untuk melakukan kegiatan lain sebagai Penyelenggara. Perusahaan efek yang dimaksudkan adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau manajer investasi (Karisma, 2022), sama halnya dengan definisi perusahaan efek di bidang pasar modal berdasarkan Pasal 1 angka 21 UUPM (Prayitno, 2022).

Secara garis besar, antara penyelenggara ECF dengan penyelenggara pasar modal memiliki fungsi serupa yakni menyelenggarakan, menyediakan dan mengelola sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan penjual dan pembeli. Perbedaan di antara keduanya terletak pada sarana dalam mempertemukan penjual dan pembeli dan objek transaksi. Dalam pasar modal, sarana yang dimaksud adalah bursa efek yang objek transaksinya terdiri dari saham, obligasi dan reksa dana. Sedangkan dalam ECF, objek yang diperjualbelikan hanyalah saham, di mana saham dijual secara langsung kepada pemodal melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.

Keberadaan penyelenggara ECF dinilai penting dalam bertransaksi saham melalui media elektronik oleh karena memudahkan para penerbit untuk menawarkan saham secara langsung kepada pemodal melalui platform ECF yang bersifat terbuka, sesuai dengan ketentuan umum Pasal 1 angka 1 POJK ECF. Penawaran saham secara langsung berarti setiap pemodal dapat bertransaksi saham secara individual dengan menggunakan sarana elektronik seperti smartphone ataupun laptop tanpa keterlibatan pihak lainnya layaknya broker di pasar modal. Broker yang merupakan seseorang atau firma yang menjadi perantara bagi pemodal dalam bertransaksi saham di pasar modal berfungsi memberikan rekomendasi kepada pemodal yang menjadi kliennya untuk membeli maupun menjual saham (Subli, 2018), sedangkan penyelenggara ECF hanya berfungsi menghubungkan atau menjembatani penjual dan pembeli saham. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 17 huruf d POJK ECF :

�Dalam menjalankan kegiatan usaha, Penyelenggara dilarang:

(d) memberikan nasihat investasi dan/atau rekomendasi kepada Pemodal dan/atau calon Pemodal untuk berinvestasi pada Penerbit;�(Satria, 2019).

Dalam hal ini, proses transaksi saham di pasar modal lebih rumit dan membutuhkan proses yang cukup panjang dibandingkan dengan proses transaksi saham di ECF oleh karena ECF tidak membutuhkan broker melainkan pihak pemodal harus dapat menganalisis sendiri informasi-informasi apa saja yang dijabarkan oleh penerbit yang ingin menawarkan sahamnya kepada pemodal, melalui platform yang telah disediakan. Selain itu, berinvestasi saham melalui ECF lebih menghemat biaya oleh karena tidak adanya keterlibatan broker di dalamnya.�

Dengan menggunakan sistem online trading yang disediakan oleh penyelenggara ECF dapat dengan mudah digunakan oleh setiap pemodal dalam bertransaksi saham dimanapun tanpa meminta persetujuan OJK terlebih dahulu dalam setiap penawaran sahamnya kepada publik. Sehingga, ECF dianggap jauh lebih efisien dan fleksibel bagi badan usaha yang membutuhkan penambahan modal melalui penawaran saham. Berdasarkan kelebihan-kelebihan yang telah dijabarkan di atas, dapat disimpulkan bahwa ECF tidak hanya membawa kemudahan para penerbit untuk menjual saham, namun juga memudahkan para pemodal dalam membeli saham penerbit. ECF membuka akses terkait dengan pembelian saham bagi siapa saja yang tertarik untuk menanamkan modalnya. Akan tetapi, penyelenggara ECF dalam menyelenggarakan layanan urun dana penawaran saham juga tidak dapat selalu menjamin bahwa pemodal dapat bebas dari risiko-risiko yang akan dihadapi, antara lain risiko usaha, risiko kerugian investasi, risiko kekurangan likuiditas, risiko kelangkaan pembagian dividen, dan risiko dilusi kepemilikan saham (Bahtiar et al., 2021).

Sehingga, sudah merupakan tugas penyelenggara ECF untuk memastikan bahwa semua transaksi di platform online berjalan dengan baik. Sehingga, penyelenggara ECF juga memiliki peran yang penting dalam mengawasi pelaksanaan kegiatan ECF. Pada dasarnya, tugas pengawasan dalam kegiatan industri jasa keuangan merupakan tugas dari OJK. Namun, penyelenggara ECF sebagai pihak yang memfasilitasi layanan urun dana juga seharusnya bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan. Dalam POJK ECF tidak disebutkan secara eksplisit dasar hukum penyelenggara ECF melakukan pengawasan terhadap kegiatan ECF.

Dengan demikian, peraturan yang mengatur tentang ECF harus memiliki dasar hukum yang kuat. Hal ini dikarenakan masih terdapat pengaturan yang belum jelas diatur dalam POJK ECF khususnya di dalam pasal yang menyangkut tanggung jawab dari penyelenggara ECF. Oleh karena itu, terdapat hal yang harus lebih diketahui dan dikaji lebih dalam oleh peneliti mengenai topik yang akan dituangkan ke dalam suatu penelitian yang berjudul �Kedudukan Penyelenggara Equity Crowdfunding Ditinjau dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 37 Tahun 2018 Tentang Equity Crowdfunding.�

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan penyelenggara Equity Crowdfunding dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 37/POJK.04/2018 Tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi dan untuk mengetahui tanggung jawab terhadap penyedia sistem robo-advisor di dalam kegiatan Equity Crowdfunding. Secara Teoritis

Adapun manfaat penelitianHasil penelitian ini bagi pembangunan ilmu hukum, khususnya dalam bidang Hukum Pasar Modal dan hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi literatur dan bahan untuk penelitian lebih lanjut.

 

Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti termasuk ke dalam kategori penelitian hukum dengan pendekatan Yuridis-Normatif dengan teori kebenaran koheren (Ibrahim, 2012). Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum (Soekanto & Mamudji, 2015).

Penelitian hukum ini bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum (Sugiyono, 2015). Dalam melengkapi metode Yuridis-Normatif , penelitian ini ditopang dengan metode penelitian inventarisasi hukum dan perbandingan hukum. Sedangkan metode penelitian perbandingan hukum senantiasa bertitik-tolak pada paradigma teoritis maupun kerangka konsepsional (Gunawan, 2022).

Penelitian hukum ini didasarkan pengumpulan data dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Dalam proposal penelitian ini akan menggunakan data sekunder yang terkait dengan penelitian ini seperti mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang ada di perpustakaan dalam lingkungan Universitas Katolik Parahyangan. Sesuai dengan metode penelitian yang digunakan, dalam penelitian ini akan digunakan data sekunder, di mana data sekunder merupakan data yang tidak diperoleh langsung dari masyarakat, melainkan data yang diperoleh cukup dari bahan-bahan kepustakaan.

Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) sumber bahan hukum, yaitu :

1.   Bahan hukum primer (Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 Tentang Pasar Modal & Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 37/POJK.04/2018 Tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi).

2.   Bahan hukum sekunder;

a.     Sentosa Sembiring. 2019. Hukum Pasar Modal. Bandung: Nuansa Aulia.

b.     Faiza Muklis. 2016. Perkembangan dan Tantangan Pasar Modal Indonesia. Jurnal Lembaga Keuangan dan Perbankan. 1(1): 65-66

c.     Gita Widi Bhawika. 2017. Risiko Dehumanisasi pada Crowdfunding Sebagai Akses Pendanaan Berbasis Teknologi di Indonesia. Jurnal Sosial Humaniora. 10(1): 47.

d.     Cindy Indudewi Hutomo. 2019. Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi. Jurnal Perspektif 24(2): 65.

e.     Endang Retnowati. 2003. Peranan dan Tanggung Jawab Manajer Investasi dalam Mengelola Reksa Dana. Jurnal Perspektif 8(4): 358.

3.   Bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan yang menjadi penunjang dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dimana bahan hukum tersier mencangkup: Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Ensiklopedia, Black�s Law Dictionary. Bahan-bahan tersebut digunakan sebagai referensi untuk mencari peristilahan hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.

4.   Metode analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode analisis data kualitatif. Artinya, dalam penelitian ini peneliti lebih menekankan pada data berupa tulisan dan tidak menggunakan data dalam bentuk angka-angka.

 

Hasil dan Pembahasan

Analisis Kedudukan Penyelenggara Equity Crowdfunding Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Equity Crowdfunding

A.     Kedudukan Penyelenggara Equity Crowdfunding Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 37 Tahun 2018

Pada era teknologi dan digitalisasi sekarang, kebutuhan masyarakat yang meningkat terhadap kegiatan sektor jasa keuangan memperkuat perkembangan Financial Technology di Indonesia. Perkembangan Financial Technology (selanjutnya disebut sebagai Fintech) di industri jasa keuangan menciptakan berbagai macam inovasi oleh berbagai perusahaan start-up dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK).

Saat ini, berdasarkan inovasi yang dilakukan oleh perusahaan start-up maupun PUJK, perkembangan Fintech di Indonesia berkembang pesat, salah satunya di industri pembiayaan dan investasi. Pada sektor pasar modal, beberapa lembaga jasa keuangan sudah melakukan digitalisasi produk-produknya. Digitalisasi ini meliputi proses pencarian informasi, pendaftaran, pembukaan rekening hingga pelaporan kegiatan investasi. Keseluruhan proses ini dilakukan tanpa adanya kunjungan tatap muka antara pihak konsumen dengan lembaga terkait (Jamaludin et al., 2015).

Salah satunya adalah kehadiran inovasi ECF berupa kegiatan jual beli saham melalui platform online di mana pembeli saham tidak perlu lagi untuk bertatap muka dengan penjual saham seperti umumnya kegiatan transaksi saham di pasar modal konvensional. Pada saat penjual maupun pembeli saham ingin mendaftarkan diri sebagai pihak yang terlibat, mereka diberikan kemudahan dalam pengisian formulir dan dapat dilakukan dimanapun, berikut juga pengunggahan dokumen. Kemudahan ini membuat OJK harus membentuk suatu peraturan khusus terkait kegiatan transaksi saham melalui platform online atau ECF.

Sebagaimana yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, bahwa ECF dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan modal yang dibutuhkan dengan memperoleh kontribusi kecil dari sejumlah besar investor. Untuk itu, dibutuhkan adanya suatu pengaturan yang mengatur mengenai penyelenggaraan ECF serta keterlibatan para pihak agar terjamin pelaksanaannya. Belakangan ini, OJK mengeluarkan peraturan mengenai ECF yaitu POJK Nomor 37 Tahun 2018. Berdasarkan POJK ECF, terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat di dalamnya yaitu penyelenggara, penerbit dan pemodal. Pada subbab ini akan dijelaskan bagaimana kedudukan penyelenggara di dalam kegiatan ECF berdasarkan POJK ECF di Indonesia.

Penyelenggara ECF berdasarkan peraturannya di dalam POJK berkedudukan sebagai penyedia sarana, pengelola dan mengoperasikan kegiatan urun dana di bidang teknologi informasi. Dalam hal ini, badan hukum Indonesia yang mendaftarkan diri sebagai penyelenggara kegiatan layanan urun dana harus mendapatkan izin dari OJK. Akan tetapi, terdapat pernyataan yang dikemukakan oleh Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II OJK Fakhri Hilmi, bahwa Penyelenggara adalah pihak yang disebut OJK sebagai bursanya Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) karena mereka yang menjadi fasilitator sekaligus pengawas dalam pelaksanaan ECF (Rachmawati & Lantu, 2014). Sehingga pernyataan ini menimbulkan pertanyaan, apakah posisi penyelenggara hanya sebatas menyediakan dan mengelola urun dana berdasarkan POJK ECF. Bagaimana dengan OJK yang juga bertugas sebagai lembaga pengawas? Kiranya hal ini penting untuk diketahui agar tidak terjadi benturan kewenangan antara pihak satu dengan pihak yang lain.

Dilihat dari sisi fungsi dan tugasnya, OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Sementara di dalam Pasal 6 UU OJK, tugas utama dari OJK adalah melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap:

a.     kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

b.     kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;

c.     kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Dapat kita ketahui bahwa OJK mengawasi seluruh pelaksanaan kegiatan sektor jasa keuangan. Dengan demikian, OJK juga melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha ECF. Dalam penjelasan umum POJK ECF, Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas yang melakukan pengawasan atas kegiatan di sektor jasa keuangan menerapkan pendekatan pengawasan berbasis market conduct pada kegiatan Urun Dana. Pengawasan market conduct merupakan pengawasan terhadap perilaku PUJK dalam mendesain, menyusun, menyampaikan informasi dan menawarkan produk/layanan jasa keuangan serta membuat suatu perjanjian dengan konsumen termasuk penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa (Christiani et al., 2018). Dalam hal ini, pengawasan market conduct memberikan fokus pada PUJK dalam berhubungan dengan Pemodal. Dengan pendekatan tersebut, OJK mendorong penerapan keterbukaan informasi oleh Penerbit, terbentuknya Penyelenggara yang kredibel, serta terbangunnya sistem Teknologi Informasi yang aman dan andal dalam kegiatan Urun Dana.

Apabila penyelenggara ECF juga berkedudukan sebagai pengawas, pengawasan seperti apa yang diterapkan? Di dalam POJK ECF sama sekali tidak diatur secara jelas bahwa penyelenggara ECF berwenang dalam melakukan pengawasan. Untuk itu, peneliti akan membandingkan konsep pengawasan yang dimaksud dengan peraturan negara lain terkait dengan ECF, khususnya mengenai kedudukan penyelenggara.

Syarat utama bagi penyelenggara ECF di Amerika Serikat yang ingin menyelenggarakan penawaran saham adalah harus terdaftar di Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) baik sebagai perantara pialang atau sebagai portal untuk menggalang dana. Jika calon-calon penyelenggara ECF ingin terlibat dalam kegiatan tersebut, mereka harus mendaftar sebagai pialang/broker. Setelah terdaftar penyelenggara ECF harus mematuhi beberapa kewajiban, antara lain:

a.   Memberikan materi pendidikan kepada para investor mengenai proses untuk berinvestasi melalui platform yang ditawarkan. Penyelenggara ECF juga harus memberikan semua informasi yang harus diungkapkan oleh penerbit dan menyediakan segala informasi yang dimaksudkan untuk diumumkan oleh penerbit.

b.   Memiliki dasar yang masuk akal untuk menentukan bahwa penerbit mematuhi semua peraturan yang relevan.

c.   Menyediakan saluran komunikasi pada platform ECF.

d.   Menangani uang dengan cara yang telah ditentukan serta mendistribusikan uang kepada pihak ketiga yang memenuhi syarat.

Penyelenggara ECF juga diharuskan menjadi anggota Otoritas Pengatur Industri Keuangan (FINRA). FINRA atau Financial Industry Regulatory Authority adalah organisasi pengaturan mandiri yang ada di bawah Securities Exchange Act 1934, yang mengeluarkan peraturan lebih lanjut. Aturan ini berfokus pada pengaturan lisensi portal, perilaku penyelenggara, pemantauan dan kepatuhan yang sedang berlangsung pada kegiatan urun dana ini. Tujuan dari peraturan ini adalah untuk memastikan bahwa platform ECF mencerminkan standar tinggi integritas komersial dan prinsip-prinsip perdagangan yang adil dan merata, dan tidak terlibat dalam aktivitas yang manipulatif atau menipu. Sesuai dengan aturan FINRA, penyelenggara ECF harus membuat sistem pemantauan internal untuk mengawasi kegiatan masing-masing orang terkait dari platform ECF (Levine & Feigin, 2014).

Secara teoritis, terdapat dua aliran dalam hal pengawasan lembaga keuangan. Di satu pihak terdapat aliran yang mengatakan bahwa pengawasan industri keuangan sebaiknya dilakukan oleh satu institusi. Di pihak lain ada aliran yang berpendapat pengawasan industri keuangan lebih tepat apabila dilakukan beberapa lembaga (Harahap, 2019). Perbedaan yang mendasar antara kedua lembaga ini adalah bahwa SEC merupakan salah satu dari beberapa lembaga yang melakukan pengawasan di industri keuangan, khususnya dalam bidang pasar modal. Sedangkan OJK merupakan lembaga yang mengawasi seluruh kegiatan industri jasa keuangan.

SEC dapat diibaratkan seperti lembaga OJK di Indonesia karena mereka menetapkan regulasi terhadap bidang-bidang yang akan diawasi. SEC mengawasi suatu organisasi FINRA, di mana FINRA ini merupakan organisasi nirlaba yang bekerja di bawah pengawasan SEC yang secara aktif terlibat dan menyediakan alat penting bagi investor, perusahaan anggota, dan pembuat kebijakan (Oktavia, 2019). Kebijakan yang dibuat oleh FINRA salah satunya adalah mengenai ECF, oleh karena itu penyelenggara ECF di Amerika Serikat bertanggung jawab kepada organisasi FINRA. Bedanya dengan OJK, OJK membuat kebijakan langsung mengenai ECF yaitu POJK ECF, sehingga penyelenggara ECF bertanggung jawab langsung kepada OJK.

Kebijakan FINRA terhadap penyelenggara ECF salah satunya yaitu pembuatan sistem pemantauan internal. Sistem pemantauan internal merupakan bentuk dari pengawasan yang dilakukan oleh penyelenggara. FINRA Rule 3110 mensyaratkan penyelenggara ECF untuk membuat sistem pengawasan terhadap aktivitas penerbit guna mencapai kepatuhan Undang-Undang, peraturan sekuritas yang berlaku serta aturan FINRA. Aturan tersebut mengandung persyaratan bagi penyelenggara untuk memiliki prosedur pengawasan tertulis/Written Supervisory Procedures (WSP) yang dirancang secara wajar dalam mengawasi kegiatan penerbit dengan jenis usaha yang dilibatkannya (Zeranski & Sancak, 2021).

Jika sistem pemantauan internal tersebut diterapkan di Indonesia khususnya dalam POJK ECF, akan menambah kejelasan tugas penyelenggara dalam mengelola kegiatan urun dana. Setelah dana dari pemodal tersalurkan kepada penyelenggara, maka penyelenggara akan mendistribusikan dana tersebut ke penerbit. Dana segar yang didapatkan dari pemodal, oleh penerbit, digunakan untuk mengembangkan usaha yang dirintis. Dalam hal perkembangan usaha tersebut, di sinilah tugas pengawasan atau pemantauan akan dilakukan. Pengawasan ini akan menghasilkan suatu pelaporan proyek yang seharusnya dilakukan secara berkala. Pelaporan proyek akan dilakukan oleh penerbit kepada penyelenggara mengenai perkembangan usahanya. Maka dari itu, keterbukaan informasi sangat diperlukan bagi penerbit yang terlibat.

Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31 Tahun 2015 Tentang Keterbukaan atas Informasi atau Fakta Material oleh Emiten atau Perusahaan Publik : Informasi atau fakta material adalah informasi atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa, kejadian atau fakta yang dapat mempengaruhi harga efek pada bursa efek dan/atau keputusan pemodal, calon pemodal, atau pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut. Dalam hal ini, penerbit tidak boleh menutup segala informasi mengenai perusahaannya, baik dari segi positif maupun negatif. Hal ini bertujuan untuk memastikan usaha yang sedang dijalankan oleh penerbit berjalan dengan lancar atau tidak serta mewujudkan adanya perlindungan hukum oleh pemodal yang beritikad baik terhadap dana yang telah disetorkan ke layanan urun dana berbasis teknologi informasi tersebut. Perlindungan hukum yang dimaksud merupakan upaya hukum yang ditujukan kepada pemodal supaya hak yang diperoleh tidak terganggu apabila terjadi sengketa serta memberikan rasa aman dari gangguan maupun ancaman pihak manapun.

Berdasarkan penjabaran di atas, pengaturan pengawasan terkait dengan kegiatan ECF di Amerika Serikat dalam FINRA Rule 3110 dapat diadopsi oleh pemerintah. Tujuan diadopsikan peraturan ini adalah supaya dalam hal fungsi pengawasan yang dimaksud sebelumnya lebih bersifat spesifik dibandingkan dengan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga OJK yang mengawasi keseluruhan sektor industri jasa keuangan. Apabila penyelenggara ECF memiliki wewenang di bidang pengawasan atau pemantauan, kegiatan urun dana ini dapat lebih terkontrol dengan baik. Maka dari itu, model pengawasan yang dicetuskan dari organisasi FINRA bisa dijadikan sebagai bentuk pertimbangan terhadap kegiatan ECF untuk kedepannya. Oleh karena perkembangan masyarakat yang begitu dinamis diikuti dengan adanya perkembangan fintech yang dinamis pula.

B.    Tanggung Jawab Terhadap Penyedia Sistem Robo-Advisor dalam Kegiatan Equity Crowdfunding

Di era revolusi industri 4.0, perkembangan fintech semakin berkembang khususnya dalam bidang investasi, Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ECF terdiri dari 3 pihak yang terlibat, yaitu Penyelenggara, Penerbit dan Pemodal. Penyelenggara ECF dapat bekerjasama dengan melakukan pertukaran data dengan penyelenggara layanan pendukung berbasis Teknologi Informasi dalam rangka peningkatan kualitas Layanan Urun Dana, yaitu pihak yang mendukung penyelenggaraan Layanan Urun Dana. Salah satu contoh layanan pendukung berbasis Teknologi Informasi adalah robo-advisor.

Berdasarkan bab sebelumnya, secara terminologi robo-advisor didefinisikan sebagai robot penasihat yang menjalankan tugasnya secara otomatis sesuai dengan sistem. Di dalam penjelasan Pasal 47 POJK ECF, robo-advisor merupakan layanan manajemen investasi berbasis Teknologi Informasi yang menyediakan layanan manajemen portofolio secara otomatis berdasarkan algoritma untuk membantu investor dalam mengelola keuangan dan investasi tanpa melibatkan manajer investasi manusia.

Terdapat pihak yang bertanggung jawab dalam menjalankan sistem robo-advisor, yaitu penyedia sistem robo-advisor. Dalam hal ini, penyedia sistem robo-advisor merupakan subjek hukum yang dapat diminta pertanggungjawaban terhadap sistem layanan robo-advisor dalam kegiatan ECF.

Menurut peneliti, tanggung jawab di dalam Penjelasan Pasal 47 POJK ECF tidak memberikan gambaran yang sesuai dengan istilah robo-advisor yang dimaksud. Oleh sebab itu menimbulkan suatu pertanyaan, bagaimanakah tanggung jawab penyedia sistem robo-advisor yang tepat, yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 47 POJK ECF? Hal tersebut penting untuk diketahui supaya tidak adanya kesalahpahaman antara pembuat regulasi dengan pembaca regulasi. Pada subbab ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenal hal tersebut yang akan dibandingkan dengan tanggung jawab manajer investasi dan penasihat investasi di bidang pasar modal.

Manajer Investasi yang merupakan badan hukum berbentuk PT mempunyai tugas dan tanggung jawab yang harus dipegang, salah satunya adalah pengelola reksa dana. Berdasarkan Pasal 1 angka 11 UUPM, Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya mengelola portofolio efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio, investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi. Manajer investasi sebagai pengelola reksa dana berkedudukan sebagai perantara antara pemilik modal (pemodal) dengan pencari modal (penerbit), di mana ia bertanggung jawab mengelola portofolio untuk kepentingan investor berdasarkan pengalaman dan keahlian yang dimilikinya. Definisi dari Portofolio Efek menurut Pasal 1 angka 24 UUPM adalah kumpulan Efek yang dimiliki oleh Pihak. Efek yang dimaksud dapat berupa obligasi maupun saham. Di sini, pemodal memberikan kepercayaan kepada manajer investasi dalam menggunakan dananya untuk diinvestasikan oleh manajer investasi melalui portofolio efek sehingga tujuan pemodal terpenuhi.

Pengaturan mengenai Manajer Investasi terdapat dalam UUPM dari Pasal 18 sampai dengan Pasal 28. Dalam pasal-pasal tersebut mengatur bahwa pertanggungjawaban Manajer Investasi lebih mengarah kepada kegiatan reksa dana. Hal ini dibuktikan berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UUPM. Pasal tersebut menyatakan bahwa Reksa Dana hanya dapat dikelola oleh Manajer Investasi berdasarkan kontrak. Perlu diketahui bahwa reksa dana merupakan wadah untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal. Dana yang terkumpul tersebut akan diinvestasikan oleh Manajer Investasi ke dalam beberapa instrumen investasi seperti saham, obligasi atau deposito. Reksa dana juga diartikan sebagai salah satu alternatif investasi bagi masyarakat Indonesia, khususnya pemodal kecil dan pemodal yang tidak memiliki banyak waktu dan keahlian untuk menghitung risiko atas investasi mereka (Budiman & Hasanah, 2022).

Selain itu, dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) UUPM secara khusus mengatur tanggung jawab manajer investasi, ayat (1) menyatakan bahwa manajer investasi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas sebaik mungkin semata-mata untuk kepentingan Reksa Dana. Ayat (2) menyatakan dalam hal manajer investasi tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), manajer investasi tersebut wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul karena tindakannya.

Pasal tersebut memberi makna bagaimana pemodal mau berinvestasi melalui Reksa Dana serta tanggung jawab untuk memberikan perlindungan, yakni dalam hal manajer investasi menjalankan perannya mengelola portofolio investasi. Sementara dari sisi pemodal, tujuan utamanya adalah memperoleh hasil investasi saham dalam batas-batas toleransi risiko yang dihadapi (Fattah, 2020). Oleh karenanya, manajer investasi harus benar-benar dapat memahami kebutuhan investasi pemodal, berdasarkan pengalaman, kemampuan dan keahliannya dalam mendidik masyarakat untuk berinvestasi pada Reksa Dana serta mengenali risiko maupun konsekuensi yang akan dihadapi.

Selain manajer investasi, ada pula pihak penting yang dikenal dengan sebutan penasihat investasi. Baik manajer investasi dan penasihat investasi memang terdengar mirip, namun keduanya memiliki tugas dan tanggung jawab yang cukup berbeda. Apabila dibandingkan, istilah manajer investasi relatif lebih populer daripada penasihat investasi. Manajer investasi merupakan perusahaan yang telah mendapatkan izin resmi dari OJK dalam mengelola portofolio efek, portofolio investasi kolektif atau kegiatan lain berdasarkan kebijakan Pengawas Pasar Modal. Secara umum, mereka bekerjasama dengan perusahaan penyedia investasi reksadana untuk mengelola aset-aset milik investor atau pemodal (Lubis, 2019).

Pengaturan mengenai tanggung jawab Penasihat Investasi terdapat dalam UUPM dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Perilaku yang Dilarang bagi Penasihat Investasi. Secara umum, penasihat investasi memberikan arahan dan panduan dalam memilih kombinasi investasi yang cocok pagi pemodal dalam bentuk aset keuangan seperti obligasi, reksa dana dan saham. Para penasihat investasi akan membantu pemodal dalam memantau, membeli dan menjual aset keuangan pemodal untuk mencapai tujuan investasi dengan bayaran sebagai imbalannya (Fatihudin, 2017).

Sementara itu, merujuk pada Pasal 1 angka 14 UUPM, penasihat investasi diartikan sebagai pihak yang menyediakan nasihat kepada pihak lain terkait penjualan atau pembelian aset investasi. Sebagai gantinya, mereka akan mendapatkan imbalan jasa. Ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan terhadap definisi tersebut. Pertama, menyediakan nasihat terkait penjualan atau pembelian efek. Kedua, memperoleh imbalan jasa. Hal ini berarti jika suatu individu atau perusahaan memberikan nasihat untuk menjual atau membeli efek tanpa memperoleh imbalan jasa, maka ia tidak dapat disebut sebagai Penasihat Investasi. Berdasarkan definisi di atas, Penasihat investasi dapat hadir dalam bentuk individu atau perusahaan, namun keduanya wajib mendapatkan izin dari OJK terlebih dulu agar bisa beroperasi. Tujuan utama penasihat investasi adalah membantu individu atau badan hukum untuk berinvestasi, dengan mempertimbangkan investasi jangka panjang atau pendek. Dengan demikian, kepercayaan menjadi landasan utama dalam hal ini.

Apabila dibandingkan dengan manajer investasi, penasihat investasi tidak hanya terpaku kepada kegiatan reksa dana, namun juga mencakup investasi lainnya seperti saham dan obligasi. Oleh karena itu, penasihat investasi lebih menerangkan tentang aset investasi. Hal lain yang membedakan penasihat investasi dengan manajer investasi adalah dari sisi tanggung jawab yang dipegang. Dalam hal ini, manajer investasi juga bertanggung jawab dalam memutuskan instrumen investasi mana yang dibeli, memutuskan kapan instrumen dijual atau dilepas serta melaporkan kondisi aset nasabah secara harian (Musdalifah Azis et al., 2015).

Berdasarkan Pasal 20 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pedoman Perilaku Manajer Investasi, manajer investasi dilarang memberikan saran atau rekomendasi kepada nasabah dalam bentuk jasa pengelolaan investasi atau jasa konsultasi pembelian, penjualan atau pertukaran dari efek tanpa dasar pertimbangan rasional. Dengan demikian, tanggung jawab antara manajer investasi dengan penasihat investasi jelas sangat berbeda, oleh karena pengaturan tersebut telah diatur sedemikian rupa demi mencegah terjadinya bentrokan kepentingan dan tanggung jawab di antara keduanya.

Terdapat dua pertimbangan apakah sistem robo-advisor dapat disamakan dengan manajer investasi dan penasihat investasi. Pertama, dari sudut pandang penjelasan Pasal 47 POJK ECF di mana robo-advisor dapat disamakan dengan manajer investasi dan tidak dapat disamakan dengan penasihat investasi. Hal ini dikarenakan di dalam penjelasan Pasal 47 POJK ECF, terdapat frasa �tanpa melibatkan manajer investasi manusia�. Frasa tersebut menunjukkan bahwa robo-advisor menggantikan fungsi peranan manusia dalam mengelola keuangan dan investasi. Akan tetapi, hal yang disamakan tersebut tidak mencakup jenis instrumen yang dikelola manajer investasi di bidang pasar modal, yaitu reksa dana, melainkan hanya berdasarkan sisi tanggung jawab yang dipegang yaitu mengelola keuangan dan investasi. Dalam hal ini, penyedia sistem robo-advisor bertanggungjawab mengelola keuangan dan investasi berupa saham.

Pertimbangan yang kedua adalah dari segi terminologi yang digunakan dalam kata robo-advisor, di mana robo-advisor dapat disamakan dengan penasihat investasi namun tidak dapat disamakan dengan manajer investasi. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, disebutkan bahwa robo-advisor terdiri dari 2 (dua) kata, di mana robo- merupakan suatu bentuk kombinasi yang diekstraksi dari kata robot yang berarti otomatis dan digunakan dalam kata majemuk, serta advisor yang artinya pihak yang memberi nasihat atau saran (Hartati, 2021). Dengan demikian, robo-advisor dapat dimaknai sebagai suatu sistem yang menjalankan tugasnya secara otomatis dalam memberikan rekomendasi atau saran investasi kepada pemodal. Pemaknaan dari robo-advisor tersebut menunjukkan bahwa robo-advisor dapat disamakan dengan penasihat investasi, karena keduanya sama-sama memberikan saran atau rekomendasi investasi kepada pemodal.

Hal ini menunjukkan bahwa penyedia sistem robo-advisor tidak hanya sekedar bertanggung jawab dalam mengelola keuangan dan investasi, namun ia juga memberikan saran kepada para investor atau pemodal. Sehingga, robo-advisor dapat disamakan dengan manajer investasi maupun penasihat investasi. Oleh karena itu, penggunaan istilah robo-advisor di dalam Penjelasan Pasal 47 POJK ECF dinilai kurang tepat untuk memaknai suatu sistem yang menggantikan manajer investasi di pasar modal.

Dengan demikian, robo-advisor tidak hanya menjalankan tugas sebagai manajer investasi namun berperan juga sebagai penasihat investasi. Sehingga, akan lebih tepat jika penggunaan robo-advisor dalam POJK ECF diubah menjadi istilah financial robo-advisor. Penambahan istilah financial apabila diartikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti suatu hal mengenai urusan keuangan. Ditinjau dari sudut pandang ilmu keuangan, finansial membahas bagaimana mempelajari kondisi keuangan individu, bisnis atau organisasi. Mulai dari mengelola, meningkatkan, memberdayakan sumber dana, mengalokasikan dana, hingga membuat perhitungan risiko dan prospek di masa depan (Indrayani, 2020).

Perubahan istilah tersebut bertujuan agar memberi ketegasan bahwa tugas dan tanggung jawab dari penyedia sistem robo-advisor dalam kegiatan usaha ECF memang berfokus kepada bidang yang bergerak untuk mengelola keuangan dan investasi. Dengan demikian, apabila istilah financial digabungkan dengan robo-advisor yang berpedoman kepada Penjelasan Pasal 47 POJK ECF, maka akan bermakna sebagai berikut. Financial robo-advisor adalah layanan manajemen investasi berbasis Teknologi Informasi yang menyediakan layanan manajemen portofolio, memberikan saran keuangan dan investasi secara otomatis berdasarkan algoritma untuk membantu pemodal dalam mengelola keuangan dan investasi tanpa melibatkan pihak manajer investasi dan penasihat investasi manusia.

Dapat disimpulkan bahwa robo-advisor yang dimaksud di dalam Pasal 47 merupakan penggabungan antara tugas manajer investasi dan penasihat keuangan di pasar modal. Sehingga menimbulkan konsekuensi hukum berupa pertanggungjawaban terhadap penyedia sistem robo-advisor dalam menyediakan layanan manajemen portofolio, mengelola dan memberikan saran atau rekomendasi terhadap keuangan dan investasi kepada pemodal ECF.

Selain itu, perlu pengaturan lebih lanjut mengenai robo-advisor karena adanya kekosongan hukum. Hal ini dikarenakan di dalam POJK ECF, ketentuan mengenai robo-advisor hanya terdiri dari satu pasal dan tidak ada pasal lain yang mengatur dan menjelaskan lebih lanjut mengenainya. Pasal di dalam POJK ECF yang mengatur penggunaan robo-advisor hanya memberikan fungsi legitimasi. Fungsi ini memberikan makna bahwa secara hukum keberadaan dari penyelenggara pendukung robo-advisor diakui oleh masyarakat umum, namun ketentuan mengenai robo-advisor tidak diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sehingga, dampak yang diberikan dari robo-advisor, maupun konsekuensi hukumnya menjadi tidak jelas termasuk sisi pertanggungjawabannya.

����� Mengingat tujuan utama adanya pendukung penyelenggara ECF yaitu untuk meningkatkan kualitas Layanan Urun Dana dan mempermudah pemodal mengelola keuangannya dalam bertransaksi saham secara online, maka tanggung jawab dari penyedia sistem robo-advisor tidak berhenti sampai di sini saja. Untuk menjalankan peran sebagai pengelola investasi yang bisa diandalkan, penyedia sistem robo-advisor harus memegang teguh integritas, bersikap profesional, dalam arti memiliki kemampuan analisis yang prima, didukung oleh pengendalian risiko serta kemampuan melaksanakan transaksi investasi yang efektif dan efisien. Apabila penyedia sistem robo-advisor tidak profesional dalam menjalankan tugasnya, maka pendukung penyelenggara ECF ini tidak akan bisa memberikan tingkat keuntungan yang baik yang dapat dinikmati oleh para pemodal atas investasi yang ditanamkan dan bisa berpengaruh terhadap kinerja ECF.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah disajikan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah; 1) Kedudukan penyelenggara ECF tidak hanya sebagai pihak yang menyediakan, mengelola dan mengoperasikan ECF sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 1 angka 4 POJK ECF, melainkan terdapat tugas lain, yaitu dalam hal pengawasan. Pengawasan tersebut berupa pembuatan sistem pemantauan internal yang diadopsi dari aturan FINRA terhadap platform ECF. Tujuannya adalah supaya fungsi pengawasan ECF tidak sepenuhnya dibebankan kepada pihak OJK oleh karena lembaga tersebut telah bertanggung jawab dalam mengawasi keseluruhan sektor industri jasa keuangan sehingga secara spesifik kurang dapat mengatur lebih mengenai penyelenggara ECF. 2) Tanggung jawab terhadap penyedia sistem robo-advisor di dalam kegiatan ECF adalah penggabungan dari tanggung jawab manajer investasi dan penasihat investasi di pasar modal, di mana tugasnya adalah membantu pemodal dengan mengelola keuangan dan investasi serta memberikan suatu nasihat atau saran secara otomatis melalui layanan sistem robo-advisor yang selanjutnya dapat dipertimbangkan oleh pemodal.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Bahtiar, B., Lubis, E., & Harahap, H. (2021). Pengaturan Kaidah Manajemen Risiko Atas Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowfunding) untuk Pengembangan UMKM di Indonesia. Jurnal Hukum Jurisdictie, 3(2), 65�98.

 

Budiman, M. A., & Hasanah, N. I. (2022). Pengaruh Risiko Pembiayaan Syariah dan Good Corporate Governance terhadap Profitabilitas Bank Umum Syariah di Indonesia. Jurnal Iqtisaduna, 8(2), 272�286.

 

Christiani, T. A., Retnowati, A., & Sharaningtyas, Y. N. (2018). Model Kebijakan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Memberikan Informasi dan Edukasi atas Karakteristik Sektor Jasa Keuangan dalam rangka Tindakan Pencegahan Kerugian Konsumen dan masyarakat. Cahaya Atma Pustaka Kelompok Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

 

Fatihudin, D. (2017). Panduan Praktis Merencanakan Keuangan Untuk Investasi di Pasar Modal, Pasar Uang dan Valas. Penerbit P3i UMSurabaya.

 

Fattah, A. (2020). Tinjauan Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Hukum Manajer Investasi (MI) Akibat Jatuhnya Nilai Portofolio Investor. UMSU.

 

Gunawan, I. (2022). Metode Penelitian Kualitatif: teori dan praktik. Bumi Aksara.

 

Harahap, N. (2019). Kewenangan dan ruang lingkup Otoritas Jasa Keuangan di bidang perbankan. Jurnal Hukum Kaidah: Media Komunikasi Dan Informasi Hukum Dan Masyarakat, 19(1), 40�49.

 

Hartati, S. (2021). Kecerdasan Buatan Berbasis Pengetahuan. UGM PRESS.

 

Ibrahim, J. (2012). Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cetakan ke-6. Malang: Bayumedia Publishing.

 

Indrayani, L. (2020). Makna literasi keuangan dalam keberlangsungan usaha industri rumah tangga perempuan Bali. JIA (Jurnal Ilmiah Akuntansi), 5(2), 407�428.

 

Jamaludin, A., Arifin, Z., & Hidayat, K. (2015). Pengaruh promosi online dan persepsi harga terhadap keputusan pembelian. Jurnal Administrasi Bisnis, 21(1).

 

Karim, N. K., Atikah, S., & Lenap, I. P. (2019). Pelatihan Perencanaan Keuangan dan Pasar Modal Bagi Staf dan Anggota Dharma Wanita Lingkup Bappeda Kota Mataram. Prosiding PEPADU, 1, 25�30.

 

Karisma, B. (2022). Pengalihan Administrasi Rekening Efek Dalam Rangka Pengembalian Izin Usaha �Perusahaan Efek.� Legal Standing: Jurnal Ilmu Hukum, 6(2), 147�157.

 

Kurniawan, W. (2018). Standar Formal Dan Substantif Dalam Mengelola Risiko Pada Kerjasama Pemerintah Swasta. Jurnal Hukum & Pasar Modal, 8(15), 68�78.

 

Levine, M. L., & Feigin, P. A. (2014). Crowdfunding provisions under the new rule 506 (c). The CPA Journal, 84(6), 46.

 

Lubis, P. M. A. (2019). Pengaruh Dana Investasi Terhadap Pendapatan Asuransi Umum Syariah Pada PT. Asuransi Asei Indonesia. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.

 

Muklis, F. (2016). Perkembangan dan tantangan pasar modal Indonesia. Al-Masraf: Jurnal Lembaga Keuangan Dan Perbankan, 1(1), 65�76.

 

Murtini, U., & Yonatan, D. (2021). Pengaruh Likuiditas, Growth, Rasio Aktiva Tetap dan Rasio Hutang Terhadap Profitabilitas Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia Th 2010-2019. Prosiding Seminar Nasional Dan Call For Papers Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Immanuel, 63�76.

 

Musdalifah Azis, S. E., Mintarti, S., & Maryam Nadir, S. E. (2015). Manajemen Investasi Fundamental, Teknikal, Perilaku Investor dan Return Saham. Deepublish.

 

Nurlita, A. (2015). Investasi di pasar modal syariah dalam kajian Islam. Kutubkhanah, 17(1), 1�20.

 

Nurman, D. P. (2021). Pengaruh Persepsi Return dan Literasi Keuangan terhadap Minat Mahasiswa untuk Berinvestasi Saham di Pasar Modal Syariah (Studi pada Mahasiswa Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh). UIN Ar-raniry.

 

Oktavia, D. (2019). Perlindungan Hukum Terhadap Investor Dalam Layanan Equity Crowdfunding Studi Komparasi Indonesia Dengan Amerika Serikat. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

 

Ong, C. K. (2020). Inovasi Keuangan di Bidang Equity Crowdfunding Dalam Pengembangan Pasar Modal. Airlangga Journal of Innovation Management, 1(2), 237�249.

 

Prayitno, V. (2022). Studi Kasus Tindak Pidana Pasar Modal Pada PT Reliance Securities, Tbk Dan Pt Magnus Capital. " Dharmasisya� Jurnal Program Magister Hukum FHUI, 2(2), 9.

 

Rachmawati, A. W., & Lantu, D. C. (2014). Servant leadership theory development & measurement. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 115, 387�393.

 

Satria, H. R. (2019). Perlindungan Konsumen Terhadap Praktik Bisnis Emiten Penerbit Efek Syariah Berdasarkan Prinsip Keterbukaan Pasar Modal. ADIL: Jurnal Hukum, 10(2).

 

Sembiring, S. (2010). Hukum investasi pembahasan dilengkapi dengan UU No. 25 tahun 2007 tentang penanaman modal. Nuansa Aulia.

 

Soekanto, S., & Mamudji, S. (2015). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat Cet XVII. Rajawali Pers, Jakarta.

 

Subli, M. (2018). Strategi PT Phintraco sekuritas dalam meningkatkan investor di Bursa Efek Indonesia. IAIN Palangka Raya.

 

Sugiyono, P. D. (2015). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. In Alfabeta,cv.

 

Wijaya, A., & Ananta, W. P. (2022). IPO, Right Issue dan Penawaran Umum Obligasi. Sinar Grafika.

 

Zeranski, S., & Sancak, I. E. (2021). Prudential supervisory disclosure (PSD) with supervisory technology (SupTech): lessons from a FinTech crisis. International Journal of Disclosure and Governance, 1�21.

 

Copyright holder:

Faustin Dwi Putri, Budi Santoso (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: