Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 7, No. 11, November 2022
KEKUASAAN PENDISIPLINAN: FANTASI
DONALD TRUMP DAN XI JINPING
Arthuur Jeverson Maya
Center for Social Justice and Global Responsibility
(CSJGR),
Universitas Kristen Indonesia
E-mail: [email protected]
Kekuasaan
adalah fantasi. Efek dari kekuasaan adalah pengetahuan dan efek pengetahuan
adalah kekuasaan. Fantasi kekuasaan Amerika Serikat di bawah Donald Trump dan Cina
di bawah Xi Jinping menjadi sesuatu yang menarik untuk diteliti. Ia akan
ditelusuri dan dianalisis menggunakan pendekatan kekuasaan yang digagas oleh
Michel Foucault. Melalui pembacaan ganda, strategi tekstual, dan dekonstruksi,
dapat digali dan ditemukan bahwa fantasi kekuasaan global dibawah Trump
berbentuk simulacra kekuasaan yang berkontribusi pada hegemon global AS.
Sedangkan fantasi kekuasaan global dibawah Xi Jinping berbentuk diskursus
statolatri kawasan yang bertujuan pada pembangunan damai melalui belt and road
initiative. Diskursus ini berdampak pada kekuasaan pendisiplinan tubuh kawasan.
Kata
kunci: Kekuasaan, pengetahuan,
fantasi, Trump, Xi, diskursus.
Abstrak
Power is a fantasy. The effect of
power is knowledge and the effect of knowledge is power. The fantasy of US
power under Donald Trump and China under Xi Jinping is something interesting to
examine. It will be explored and analyzed using the power approach initiated by
Michel Foucault. Through double reading, textual strategy, and deconstruction,
it can be unearthed and discovered that the fantasy of global power under Trump
takes the form of a simulacra of power that contributes to US global hegemon.
The fantasy of global power under Xi Jinping takes the form of regional
stastatry discourse aimed at peaceful development through the belt and road
initiative. This discourse has an impact on the disciplinary power of regional
bodies.
Keywords: Power,
knowledge, fantasy, Trump, Xi, discourse.
Latar belakang
Kekuasaan
adalah fantasi. Ia beroperasi mengikuti diskursus pengetahuan, sehingga
membentuk rezim pengetahuan. Ide besar riset ini berusaha membongkar diskursus kekuasaan Amerika
Serikat di bawah rezim Donald Trump dan Cina di bawah rezim Xi Jinping dalam memperebutkan arena kekuasaan
global.� Suatu misteri hanya dapat terungkap dengan mengeksplorasi secara
kritis suatu realitas yang memiliki tatanan kebenaran pengetahuan yang
terdisiplinkan oleh struktur ekonomi. Riset ini menjadi menarik karena menguji relevansi
pemikiran kritis yaitu postmodernisme. Di samping itu, pendekatan hegemoni Gramsci
juga mewarnai dinamika kekuasaan Xi Jinping. Selain itu, dari aspek
isu perdagangan global, Cina dan Amerika Serikat dipastikan akan mempengaruhi
seluruh struktur ekonomi politik negara-negara dunia. Riset ini difokuskan
pada level analisis individu yaitu Donald Trump dan Xi Jinping. Kebijakan luar
negeri keduanya dipastikan mampu mempengaruhi perilaku negara-negara dunia. Kendati demikian, riset
kajian pemikiran ini akan didominasi pemikiran Michael Foucault tentang
�kekuasaan � pengetahuan�� akan diuji
relevansinya pada dinamika diskursus kekuasaan Xi Jinping dan Donald
Trump.
Trump akan menegakkan
peran kepemimpinan AS dalam banyak aspek urusan dunia dan Xi akan bersaing dalam
memperebutkan kuasa diskursus global di berbagai kawasan negara-negara dunia
ketiga. Model kekuasaan berkarakter multilateral menjadi strategi Xi Jinping, misalnya kebijakan
luar negeri dalam kerangka Belt and Road
Initiative (BRI), Cina menargetkan kawasan Afrika, Pasifik Selatan, Asia
Tenggara, dan kawasan lain. Implementasi BRI merupakan manifestasi
konfusianisme tentang �harmonisasi kekeluargaan� sehingga kerja sama yang
harmonis dapat diciptakan dengan �memperkaya� keluarga sendiri. Tercermin pada
kawasan Afrika yang dijadikan sebagai �keluarga� Cina dan negara-negara kawasan
lain yang menjadi target untuk dijadikan �keluarga.�
Mengenai kerja sama
ekonomi regional tersebut, Geoffrey Gertz dari Brook-ings Institute mencatat bahwa Trump berharap untuk
menggantikan multilateral perdagangan dengan penawaran bilateral. Dia
mengatakan bahwa strategi Trump tidak efisien karena mengabaikan fakta bahwa
rantai pasokan produksi telah terkoneksi secara global. Juga, negara-negara
kecil menemukan diri mereka lebih baik dalam kerangka multilateral, karena
dapat membentuk koalisi untuk mengimbangi ketidakseimbangan kekuatan dengan
negara-negara besar seperti Amerika Serikat
Kerangka multilateral
seperti Trans Pasific Pathnership (TPP)
mendapatkan perhatian dari negara-negara lain, yang juga menjadikan kebijakan
luar negeri Cina menjadi longgar untuk membentuk aturan ekonomi regional.
Sayangnya, Trump mengambil keputusan untuk meninggalkan TPP dan lebih menitikberatkan
pada perdagangan bilateral
Strategi Trump lebih
mengarahkan pada bentuk perdagangan yang individualistik. Artinya administrasi
Trump telah menunjukkan keengganan untuk menegakkan beberapa komitmen
internasional yang penting seperti perlindungan hak asasi manusia di seluruh
dunia
Model agresif Cina bahkan
mungkin lebih aktif dipromosikan, Xi menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri
yang didasarkan pada peaceful development
akan membimbing masyarakat internasional mengikuti pembangunan damai versi
Cina
Kerangka multilateral peaceful development yang menjadi norma
perdamaian Cina dikemas dalam berbagai kerja sama kolektif seperti pembentukan
AIIB dan one belt, one road (Obor)
pada tahun 2013, kemudian berkembang menjadi BRI. Selain itu, Cina mengambil
peran yang lebih aktif dalam membentuk aturan yang mengatur �dunia maya� dengan
gagasan �cyber kedaulatan.�
Populisme Xi Jinping
meningkat saat berpidato pada pertemuan ekonomi dunia 2017 di Davos. Dalam
pidatonya, ia mengusulkan agar Cina menjadi pilihan yang solutif untuk isu-isu
global kontemporer. Dalam pertemuan tersebut Cina diharapkan menjadi calon
potensial kepemimpinan global
Kondisi ini juga mampu
mendorong Xi berperilaku melampaui batas. Ketidakpuasan dengan kebijakan
represif telah menyebar di pebisnis dan intelektual masyarakat Cina. Jumlah
protes buruh meningkat signifikan selama masa jabatannya. Kendati demikian,
sering dilupakan bahwa politik Cina tetap menerapkan demokrasi sosialisnya.
Namun wacana untuk menjadikan presiden Xi sebagai presiden seumur hidup memicu
kontroversi banyak pihak dalam lingkaran politik elitis. Legiitimasi wacana
tersebut datang dari Partai Komunis Cina. Selain popularitas Xi di kanca global
makin meluas, dia juga dihujani protes terhadap investasi diberbagai negara
seperti Bangladesh, Kazakhstan, Kenya, dan Sri Lanka. Hal tersebut
mengindikasikan ketakutan terhadap populis Xi yang berdampak pada
otoritarianisme.
Meskipun demikian, ada
sedikit bukti yang meyakinkan bahwa revolusi Xi adalah dalam bahaya yang
terbalik. Banyak prestasinya telah di torehkan Xi sehingga mendapatkan dukungan
rakyat luas. Dia telah bertahan dalam krisis masa lalu, dengan membangun pasar
saham utama pada tahun 2015, dan pada Kongres Partai ke-19, konsolidasi
kekuatan kelembagaan dan mandat untuk perubahan diperkuat. Oleh karena prestasi
tersebut maka dipastikan bahwa Amerika Serikat akan berurusan dengan Cina dalam
pertarungan populisme global dalam skema kekuasaan perang dagang.
Donald Trump telah
merencanakan tariff baru untuk menampar produk � produk Cina. Besaran tarif
yang dikenakan kepada produk Cina sekitar 10 persen atau senilai 300 miliar
dollar AS. Hal tersebut dapat mengancam penangguhan hukuman yang dijanjikan AS
untuk perusahaan teknologi Cina, tentunya itu kabar buruk bagi Huawei yang
sejak bulan Mei berada pada daftar hitam. "Peningkatan ini meningkatkan
risiko Trump mengingkari janjinya untuk menyelamatkan Huawei. Jika Trump mundur
dari janji untuk mengeluarkan lisensi untuk pemasok Huawei AS, kemungkinan
negosiasi mogok dan tarif yang dikenakan naik," ucap analis. Huawei pun
belum bersedia komentar mengenai tarif baru yang bakal dilayangkan Trump. Tapi
perusahaan telah mengakui hal itu sangat merugikan bisnisnya. Seperti yang
dirilis kompas.com bahwa �CEO Huawei Ren Zhengfei mengatakan penjualan ponsel
pintar di luar Cina sudah anjlok 40 persen sejak tarif dilayangkan. Ketua
Huawei Liang Hua menambahkan, perusahaan memprediksi akan mengalami kesulitan
di paruh ke dua tahun ini dan tahun depan. "Perusahaan akan terus
menghadapi kesulitan pada paruh kedua tahun ini dan tahun depan. Namun bisnis
5G kami adalah pemimpin global yang kuat saat ini. Tapi kampanye AS dapat
memperlambat peluncuran 5G global kami," kata Liang Hua. Untuk menekan
imbas tarif Trump, Liang mengatakan perusahan telah memulihkan beberapa
penjualan luar negeri yang hilang setelah larangan AS berlaku.�
Kompas juga membangun
diskursus perang dagang kedua negara seperti; "Tetapi jika Trump tidak
melonggarkan pembatasan pada perusahaan Cina, itu dapat menyalakan kembali
kekhawatiran konsumen tentang membeli smartphone
Huawei dan menciptakan ketidakpastian bagi operator seluler yang menjual
perangkat,". Larangan tersebut yang telah mencegah perusahaan seperti Google memasok sistem operasi Android
dan aplikasi populer seperti Gmail
dan Google Maps di ponsel keluaran
terbaru Huawei. Tak hanya Huawei, larangan Donald Trump sebetulnya juga
berdampak pada perusahaan bisnis Amerika. Awal pekan ini, perusahaan chip asal
AS seperti Qualcomm dan AMD (AMD)
mencatatkan laba penjualan anjlok di kuartal terakhir, tak lain karena mereka
tidak bisa menjual chip lagi ke
Huawei
Bisnis.com juga merilis
diskursus perang dagang, di mana �Amerika Serikat menunjukkan sikap yang lebih
agresif terhadap Cina mulai dari sanksi dagang hingga isu pelanggaran HAM.
Awalnya Beijing memerintahkan agar Washington tidak terlibat dalam aksi protes
di Hong Kong. Akhir pekan lalu bentrokan antara para demonstran dengan polisi
berakhir ricuh dan melumpuhkan pusat keuangan Asia tersebut. Pada awal pekan
lalu, Presiden AS Donald Trump bahkan mengaitkan kerusuhan di Hong Kong dengan
perundingan perdagangan.�
Ancaman terbaru yang akan
dihadapi Donald Trump dalam menerapkan restriksi tarif impor pada produk-produk
Cina merupakan upaya yang justru bisa merugikan AS dan berdampak tidak
rasional. Oleh karena, mampu mendorong AS ke jurang resesi. Demikian disampaikan
para ekonom dan kelompok industri negara itu. "Kami sudah memberi tahu
Gedung Putih sejak awal bahwa tarif akan dibayar oleh orang Amerika dalam
bentuk harga yang lebih tinggi," kata Ketua Distributor dan Pengecer Alas
Kaki Amerika, Matt Priest dalam sebuah pernyataan sebagaimana dilansir dari
AFP.
Merespon ancaman terbaru
di atas, Trump membuat kebijakan terbaru untuk memproteksi produk-produk
nasionalnya dengan menaikkan tarif impor. Argumnentasi tersebut didasarkan pada
pemberlakuan bea impor sebesar US$ 250 miliar produk Cina menjadi 30% dari 25%
pada 1 Oktober. Terlebih lagi, tarif atas barang-barang Cina lainnya senilai
US$ 300 miliar, yang mulai berlaku pada 1 September, akan dinaikkan menjadi
15%, bukan 10%. Kenaikan tarif ini akan diluncurkan secara bertahap hingga
Desember 2019 dan menargetkan beberapa barang populer, seperti laptop, ponsel,
dan sepatu. Langkah itu diumumkan setelah Cina mengenakan tarif impor AS
sebesar US$ 75 miliar. Akibat hal itu, lebih dari 200 produsen dan pengecer
sepatu, termasuk merek-merek besar seperti Nike
dan Foot Locker, menandatangani surat
yang memperingatkan bahwa tarif baru Trump dapat membuat konsumen AS mendapat
tambahan pajak hingga US$ 4 miliar per tahun dan meningkatkan kemungkinan
penurunan ekonomi
Pendekatan Kekuasaan Michel Foucault
Pembicaraan mengenai
kekuasaan merupakan satu hal menarik yang tidak pernah selesai dibahas. Hal ini
telah dimulai sejak zaman Yunani kuno dan terus berlangsung sampai zaman ini.
Para filsuf klasik pada umumnya mengaitkan kekuasaan dengan kebaikan, kebajikan,
keadilan dan kebebasan. Para pemikir religius menghubungkan kekuasan itu dengan
Tuhan. Kekuasaan politik hanya sebagai alat untuk mengabdi tujuan negara yang
dianggap agung dan mulia, yaitu kebaikan, kebajikan, keadilan, kebebasan yang
berlandaskan kehendak Tuhan dan untuk kemuliaan Tuhan. Beberapa dekade yang
lalu Michel Foucault, salah seorang filsuf pelopor strukturalisme juga
berbicara tentang kekuasaan. Konsep Kekusasan Foucault dipengaruhi oleh
Nietzsche. Foucault menilai bahwa filsafat politik tradisional selalu
berorientasi pada soal legitimasi. Kekuasaan adalah sesuatu yang
dilegitimasikan secara metafisis kepada negara yang memungkinkan negara dapat
mewajibkan semua orang untuk mematuhinya. Namun menurut Foucault, kekuasaan
adalah satu dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan.
Michel Foucault
berdasarkan beberapa karya utama yang ia tulis semasa hidupnya. Menurutnya
kekuasan eksis di segala ruang, di mana ada pengetahuan maka ada kekuasaan,
sebaliknya. Menurut Foucault, kehendak untuk kebenaran sama dengan kehendak
untuk berkuasa. Dalam Kegilaan dan Peradaban, Foucault melukiskan bagaimana
kegilaan itu didefinisikan dari berbagai kelompok yang dominan pada masa
tertentu. Karena itu dia meragukan legitimasi eliminasi kegilaan dari
kebudayaan yang resmi. Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) dari Michel Foucault merupakan salah
satu metode analisis teks media untuk membongkar bagaimana cara media
mengkonstruksi sebuah wacana. Analisis wacana menekankan pada konstelasi
kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Analisis
wacana kritis melihat pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai
praktek sosial. Bahasa dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek
kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Knteks di sini berarti
bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk di dalamnya praktik
kekuasaan.
Kekuasaan merupakan
elemen yang dipertimbangkan dalam analisis wacana kritis. Di sini, setiap
wacana yang muncul dalam suatu teks, percakapan atau apapun tidak dipandang
sebagai sesuatu yang alamiah, wajar dan netral, tetapi merupakan bentuk
pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara
wacana dengan masyarakat. Pemakai bahasa bukan hanya pembicara, penulis,
pendengar atau pembaca, ia juga bagian dari kategori sosial tertentu, bagian
dari kelompok profesional, agama, komunitas atau masyarakat tertentu. Menurut
Foucault, wacana tidak dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam
teks, tetapi wacana merupakan sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah
gagasan, konsep, atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis
suatu ide, opini, konsep dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks
tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.
Dalam analisis wacana
pendekatan Foucault, kuasa tidak dimaknai dalam term �kepemilikan,� di mana
seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu. Kuasa menurut Foucault tidak
dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak
posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Bagi Foucault, kekuasaan
selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu mempunyai efek
kuasa. Penyelenggara kekuasaan menurut Foucault, selalu memproduksi pengetahuan
sebagai basis kekuasaannya. Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan
samar-samar dari relasi kuasa, tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi
kuasa itu sendiri.
Tidak ada pengetahuan
tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan Untuk mengetahui
relasi kuasa/pengetahuan dikonstruksi, dapat dilakukan analisis wacana menurut
Faucault yang meliputi analisis arkeologi pengetahuan yang memungkinkan
penyelidikan peristiwaperistiwa wacana, pernyataan yang dibincangkan dan dituliskan.
Faucult melengkap perangkat analisis dengan genealogi kuasa untuk mengungkap
keterkaitan antara pengetahuan dan kuasa.
Dalam karyanya The Order of Things, Archeology of Human Sciences, Foucault
menunjukkan bahwa ada dua perubahan besar yang terjadi dalam bentuk umum
pemikiran dan teorinya. Yang pertama terjadi pada pertengahan abad
ketujuhbelas, yang kedua pada awal abad kesembilan belas
Pada akhir abad ke18
(setelah revolusi Prancis) sampai pertengahan abad 20 (Perang Dunia II),
konsentrasi wacana ilmiah pada masa ini adalah sejarah dan manusia sebagai
subjeknya. Manusia dibebaskan dari segala alienasi dan bebas dari determinasi
segala sesuatu. Manusia menjadi objek pengetahuan dan dengan demikian dia
menjadi subjek dari kebebasan dan eksistensinya sendiri
Selain itu, dalam
�kegilaan dan peradaban,� Foucault melihat praktek pengkaplingan yang
memisah-misahkan orang-orang yang sakit dari orang sehat, yang normal dari yang
tidak normal merupakan� salah satu bentuk
aplikasi kekuasaan seseorang atau satu kelompok orang atas yang lain. Foucault
menemukan bahwa pada zaman Renaissance, kegilaan dan penalaran memiliki relasi
yang erat, keduanya tidak terpisah, sebab keduanya menggunakan bahasa yang
sama. Masyarakat tampaknya tidak menolak gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan
brilian yang lahir dari orang-orang yang dicap gila. Kegilaan adalah kebebasan
imaginasi, dan masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam zaman
renaissance
Dengan demikian, kita
dapat melihat inti dari teori Foucault di sini menunjukkan bahwa sakit mental
hanya muncul sebagai sakit mental dalam satu kebudayaan yang mendefinisikannya
sebagai demikian. Karena menyangkut definisi, maka di dalam sakit mental
sebenarnya kekuasaan mendominasi. Kegilaan adalah yang berbeda dari yang biasa,
dan karena yang biasa dicirikan oleh produktivitas, maka kegilaan adalah tidak
adanya produktivitas. Penanganan kegilaan adalah satu bentuk aplikasi kekuasaan
seseorang atau satu kelompok orang atas yang lain, bukan pertama-tama masalah
pengetahuan psikologis
Dalam �kekuasaan dan
seksualitas,� dominasi juga dapat dilihat dalam analisis atas tema seksualitas.
Foucault melihat seksualitas sebagai pengalihan pemahaman tentang kekuasaan.
Bagaimana seksualitas diwacanakan adalah ungkapan dari kekuasaan. Pembicaraan
yang terbuka tentang seks menurut Foucault, adalah demi mengatur dan mencatat
jumlah kelahiran. Masalah penduduk adalah masalah sosial, dan masalah ini
berhubungan dengan seksualitas. Karena itu, kekuasaan berusaha mempelajari dan
mengintervensi pembicaraan tentang seks demi pengaturan pertumbuhan penduduk.
Seksualitas menjadi masalah publik.
Para pelaku sodomi,
onani, nekrofilia, homo seksual, masokis, sadistis dan sebagainya ditetapkan
sebagai orang-orang yang berperilaku menyimpang
Dalam buku Diciplin and Punish, Foucault
mengemukakan bahwa kekuasaan (power) terspesialisasi melalui ilmu pengetahuan.
Ia menyebutnya hukum imanensi (rule of
immanence). Dengan demikian kekuasaan terdesentralisasi dan terpluralisasi
Pelaksanaan disiplin amat
berhubungan dengan kuasa yang mengontrol. Foucault menguraikan bahwa fenomena
disiplin tubuh selalu dikontrol oleh dua instrumen disiplin� yang diterapkan dari disiplin militer dalam masyarakat.
Pertama, melalui observasi hirarkis atau kemampuan aparatus untuk mengawasi
semua yang berada di bawahnya dengan satu kriteria tunggal
Instrumen kedua adalah
menormalkan penilaian moral dan menghukum para pelanggar moral
Dalam teori genealogi
kekuasaan � pengetahuan, Michael Foucault berhasil mengekplorasi kekuasaan dan
pengetahuan sebagai efek ketidakadilan ekonomi, politik, sosial, dan budaya
melalui �kegilaan & peradaban,� �kekuasaan & seksualitas,� dan �Diciplin & Punish,� untuk
membuktikan bahwa pengetahuan tidak terpisah dengan kekuasaan dan kekuasaan
selalu memproduksi pengetahuan. Dengan demikian, maka teori ini akan dipakai
untuk �membongkar� rahasia populisme (Trump & Xi) dan perang dagang,
populisme (Trump & Xi) dan demokrasi (AS & Cina), populisme (Trump
& Xi) dan otoritarianisme (AS & Cina), sebagai efek relasi kekuasaan �
pengetahuan atau rule of immanence.
Fantasi
Kekuasaan Donald Trump
Narasi besar modernism mendapatkan perlawanan
dalam arena pertarungan wacana. Ia terbatasi oleh relasi kuasa. Di mana Trump
menjadi sumber pembentuk wacana perlawanan terhadap yang dianggap normal.
Retakan sejarah kebenaran universal kaum modern lumpuh dalam kekuasaan Trump.
Slogan tentang �Make America Great Again� menjadi kekuatan bangsa AS
dalam mempertahankan kekuasaan global. Kendati demikian, kebijakan luar negeri
yang kontroversial diambil, mulai dari terpilihnya Trump sebagai presiden
AS, perang dagang antara AS dan Cina, isu nuklir Iran, dan kebijakan Trump
paling kontroversi yaitu pembunuhan Jenderal Iran Qasem Soleimani.
Beberapa pemikir menyatakan bahwa yang nyata
itu tidak nyata atau tertukar, seperti Baudrillard, dengan "hyperreal"
yang paling baik terkait dengan dunia taktil melalui media tanda. Foucault,
dengan permainan kekuasaan dan silsilahnya. Derrida, pemikir postmodernisme,
menyatakan bahwa sebuah teks adalah fenomena yang meragukan karena "ia
menyembunyikan komposisi dan aturan mainnya..." Penyembunyian ini
memungkinkan meta narasi untuk mengklaim "kebenaran." Lyotard dengan
lugas mengartikulasikan konsekuensi dari pandangan ini ketika dia menyatakan:
"Menyederhanakan secara ekstrem, saya mendefinisikan postmodern sebagai
ketidakpercayaan terhadap meta naratif ..." Sekarang apa sebenarnya arti
kata besar "meta naratif" ini? Jawaban: Apa pun yang terkait dengan
cita-cita pencerahan sains dan teknologi, dan itu juga termasuk kemajuan
kontemporer dalam kecerdasan buatan (Bauman 2017).
Michiko Kakutani, kritikus budaya dan penulis
�The Death of Truth� menyalahkan relativisme yang memfasilitasi
kebangkitan Trump pada akademisi yang mempromosikan postmodernisme. Meratapi
keadaan politik Amerika di bawah Trump, filsuf Daniel Dennett mengatakan dalam
sebuah wawancara tahun lalu bahwa apa yang dilakukan kaum postmodernis
benar-benar jahat (true evil). Dan ketika Rudy Giuliani baru-baru ini
mengatakan kepada Chuck Todd dari NBC bahwa bukan pertama kalinya tim hukum
Trump berperan sebagai postmodernis dan mengisyaratkan bahwa mungkin terlalu
sulit untuk membedakan kebenaran karena itu semua relative
Narator fiksi yang dinamis, yang memberi kami
semua buku seperti Fates and Furies karya Lauren Groff, acara TV seperti The
Affair, dan film seperti Rashomon karya Kurosawa, memberi Trump dan pasukannya
kemampuan untuk lolos dengan fakta alternatif
Jika kita bergenealogi dengan Postmodernisme,
kita akan mendapatkan istilah �postmodern�, setidaknya dalam pengertian
filosofisnya saat ini, dari judul buku Jean-Fran�ois Lyotard tahun 1979 yaitu �The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge�
Menjelang 1980-an, para sarjana konservatif
seperti Allan Bloom � penulis buku berpengaruh �The Closing of the American
Mind� �memahami bahwa postmodernisme tidak muncul begitu saja dari
teori-teori kesayangan para profesor bahasa Inggris yang bandel. Sebaliknya,
dia melihatnya sebagai momen budaya yang dibawa oleh kekuatan yang lebih besar
dari universitas. Dalam dunia akademis, bagaimanapun, Bloom sangat khawatir
tentang siswa - sebagai cerminan masyarakat pada umumnya - mengejar kepentingan
komersial di atas kebenaran atau kebijaksanaan. Menggambarkan apa yang dia
lihat sebagai pengaruh berbahaya dari musik pop, Bloom menyesalkan "kehilangan
kendali orang tua atas pendidikan moral anak-anak mereka pada saat tidak ada
orang lain yang benar-benar peduli dengan itu." Dia menyebut industri
musik rock "kapitalisme sempurna, memenuhi permintaan dan membantu
menciptakannya," dengan "semua martabat moral perdagangan
narkoba."
Para kritikus yang berhaluan kanan dalam
beberapa dekade sejak Bloom, dengan kasar mengubah argumen ini menjadi tuduhan
bahwa postmodernisme dibuat bukan oleh konsumerisme dan perkembangan sosial dan
teknologi skala besar lainnya, tetapi oleh akademisi kiri yang berbahaya, atau
apa yang disebut Kimball sebagai �Tenured Radicals� dalam polemiknya
pada tahun 1990 melawan kaum kiri akademis. Inti dari tuduhan ini adalah
kecenderungan untuk memperlakukan postmodernisme sebagai bentuk politik sayap
kiri � dengan seperangkat prinsipnya sendiri � daripada sebagai momen budaya
yang lebih luas yang didiagnosis oleh akademisi sayap kiri.
Relativisme telah meningkat sejak perang
budaya dimulai pada 1960-an. Saat itu, ia dianut oleh Kiri Baru, yang sangat
ingin mengekspos bias pemikiran barat, juga borjuis, yang didominasi laki-laki;
dibantu oleh para akademisi yang mempromosikan postmodernisme, yang berpendapat
bahwa tidak ada kebenaran universal, hanya kebenaran pribadi yang lebih kecil �
persepsi yang dibentuk oleh kekuatan budaya dan sosial pada masa itu. Sejak
itu, argumen relativistik telah dibajak oleh populis (Gusterson 2017).
Banyak media masa yang menuliskan bahwa tidak
ada peristiwa yang menggambarkan hal ini lebih dari kekuasaan politik Donald J.
Trump. Berangkat dari fakta bahwa pendukungnya yang terutama kelas pekerja
kulit putih, mayoritas buruh atau pekerja lepas tanpa gelar sarjana, populasi
yang dilihat tampaknya akan melawan penyebaran dekonstruksionisme dan memilih
mengikuti arus lainnya. Namun faktanya, para pendukung Trump sering
disebut-sebut menganggap presiden pilihan mereka bebas dari kewajiban untuk
semua -isme dan pidato yang benar yang �sudah seharusnya� dilakukan oleh
Presiden secara politis. Feminisme, Sosialisme, Genderisme: Trump membantah
semuanya dengan kata-kata sederhana, dengan dalih �menceritakan apa adanya�,
walau terdengar absurd, tapi ia memiliki panggung bagi pendukungnya yang
ingin menolak arus mainstream politik global saat ini.
Jika berbicara tentang kekuasaan-pengetahuan (power-knowledge)
bagi kaum postmodernis pasti akan langsung terbayang wajah pencetusnya yaitu
Michel Foucault. Jika kita sudah membahas Derrida dan Baudrillard, rasanya akan
tidak sempurna jika kita tidak membahas Foucault. Bagaimana Foucault memandang
Trump sebagai Presiden, dan Trumpisme di AS secara lebih umum? Secara lebih
spesifik, bagaimana kita bisa melihat dan menerapkan genealogical insight
atau metode genealogi dari Foucault untuk lebih memahami situasi politik Trump
di AS? Dalam tulisan ini, penulis membuat sketsa perspektif dan skala temporal
atau periodisitas untuk genealogical construction Kepresidenan Trump.
Bertumpu pada kecenderungan Foucault untuk memperdalam pemahaman kita melalui
pembacaan sejarah alternatif, mengeksplorasi isu-isu pelengkap pengetahuan,
kekuasaan, dan subjektivitas yang disarankan oleh framing genealogi
Trump/isme yang berbeda (Knauft 2016).
Bagi Trump, tujuan ekonomi dan budaya harga
diri yang tinggi tampak lebih penting daripada sekadar hadiah politik dari
Kepresidenan itu sendiri. Jika ingin mengejar perspektif Marxis, kita dapat
menteorikan kembali hubungan yang lebih besar antara ekonomi, politik, dan
media dalam Trump dan Trumpisme, termasuk bagaimana mode produksi digital baru
yang dominan menggembleng tidak hanya alat produksi baru tetapi juga hubungan
baru produksi yang dimediasi secara sosial. Kontrol yang berpengaruh atas
produksi diri yang dimediasi menyindir dan menghasut subjektivitas dengan cara
baru yang mudah diperkuat oleh ideologi jahat dan kebohongan paranoid. Ini
mengintensifkan dan meningkatkan siklus kebencian yang sangat menguntungkan.
Hasilnya bukan hanya perubahan teknologi tetapi juga perubahan ekonomi politik:
akumulasi melalui perampasan ekonomi perhatian subjektif.
Sebuah siklus tunggal mengedepankan
keputih-putihan ultra-Kanan Trump sebagai reaksi rasis terhadap multietnis
kiri-tengah Obama yang masuk akal, dengan Black Lives dan bahkan Puerto
Rico yang mungkin benar-benar penting. (Terhadap ini adalah komentar Trump yang
meremehkan tentang Karibia dan apa yang dia sebut sebagai �negara lubang
kotoran� Afrika (Davis et al. 2018)). Mengikuti siklus Trump-setelah-Obama yang
saat ini kacau, haruskah kita mengharapkan jeda antara polaritas post-truth
mereka, atau upaya lain yang tampak terbelakang untuk membuat Amerika liberal
lagi�apa yang akan disebut oleh Zygmunt Bauman (Bauman 2017) sebagai jalan lain
untuk retrotopia? Seperti Trump merindukan masa lalu Amerika yang gemilang yang
telah ditinggalkan sebagai tidak ada tetapi belum mati, ini akan menjadi mundur
dari memajukan modernitas bukan dengan menolaknya tetapi dengan merangkul
nostalgia versi lain dari faksimili yang diproyeksikan di masa lalu. Sulit
untuk membayangkan bahwa perpecahan Amerika yang mendalam�sekarang memantul dan
memperkuat diri di begitu banyak cabang seperti budaya, agama, dan
politik-ekonomi�akan dengan mudah ditutup-tutupi apalagi dibubarkan dengan
dalih ke �pemerintah seperti biasa.� Sebaliknya, Kepresidenan Trump tampaknya
merupakan bagian integral dari �Regresi Hebat� yang lebih besar di zaman kita
(Geiselberger 2017)�sebuah dunia yang tampaknya tiba-tiba bergerak mundur
melintasi begitu banyak front progresif atau setidaknya liberal�secara politis,
etis, lingkungan, budaya, dan dalam kesetaraan ekonomi (Luce 2017). Pernyataannya
bahwa imigran Meksiko adalah �pemerkosa� dan �penjahat.� Masing-masing
deklarasi ini terhubung dengan pendakian spektakuler Trump dengan serangkaian
pernyataan rasis, masing-masing tidak bertumpu pada kekuatan bukti tetapi pada
keyakinan intuitif dan tingkat naluri.
Foucault memperingatkan kita agar tidak
memandang hal-hal di atas sebagai sesuatu yang eksklusif�seolah-olah kita dapat
menemukan "optik yang tepat" untuk menetapkan sejarah
"benar", �seharusnya� dan �terbaik� dan paling kritis saat ini.
Sebaliknya, kita akan lebih disarankan untuk mempertanyakan asumsi yang lebih
dalam yang menginformasikan pembingkaian silsilah politik untuk memulai, untuk
menginterogasi tidak hanya bagaimana perbedaan optik itu sendiri tetapi,
setidaknya jika tidak lebih penting, apa yang mereka bagikan�apa yang mereka
bagikan dengan cara asumsi mendasar tentang kemajuan dan pembangunan manusia
dan hak, meskipun dan bahkan terutama di tengah oposisi yang tampaknya kuat
antara pandangan Kanan dan Kiri.
Propaganda, ekses yang tidak tahu apa-apa dari
trik Trump, kemudian, melacak, dan dengan sendirinya dilacak oleh genealogi
ras, tatanan epistemik, yang dengan keteguhan yang mendalam � di hadapan bukti
penyeimbang yang tak terbantahkan � telah lama mengorganisir kebenaran dan
fakta sebagai kategori "kekuatan-pengetahuan" yang sangat berpacu.� Tentu saja, kecenderungan cepat dan longgar
dari pemerintahan baru tidak kurang dari kewaspadaan tanpa henti karena mereka,
tanpa diragukan lagi, oportunistik, kurang bertanggung jawab, dan cenderung premature.
Namun krisis post-truth/post-fact juga mengundang wawasan tentang
seluruh medan kontestasi epistemik yang menandai otoritas pengetahuan resmi
justru dalam pertemuan mereka dengan kontra-pengetahuan yang tidak
menyenangkan. Taruhan krisis saat ini, kemudian, juga memungkinkan kita melihat
sekilas modalitas disiplin fakta dan kepalsuan itu sendiri sebagai kategori
kekuasaan � pengetahuan tertanam dalam perjuangan yang mengotorisasi beberapa
kebenaran dan menindas yang lain, dan diminta untuk mempertahankan tatanan
dominan.
Dengan demikian, secara global, dunia
multipolar muncul tidak seperti yang diharapkan banyak pendukungnya � oleh
mantan negara adidaya dengan anggun mengakui pesaing klub elit mereka yang
telah membuktikan diri dengan politik yang bertanggung jawab dan kinerja
ekonomi yang kuat. Multipolaritas yang muncul seperti yang kita amati berasal
dari kekosongan dramatis yang tersisa setelah kematian atau penarikan
negara-negara adidaya sebelumnya yang memiliki visi global dan menerima
tanggung jawab global, bahkan jika saling bertentangan.
Tantangan untuk pemahaman intelektual tidak
hanya konseptual. Jajak pendapat PEW menemukan bahwa 58% dari Partai Republik
dan independen yang condong ke Partai Republik di AS sekarang berpikir bahwa
pendidikan perguruan tinggi memiliki dampak negatif secara keseluruhan di
Amerika (Fingerhut 2017). Dengan demikian, perubahan pajak federal yang
sekarang disahkan oleh DPR AS diproyeksikan akan menghukum mahasiswa dan
mahasiswa sebesar $65 miliar selama dekade berikutnya (Hess 2017). Ketentuan
termasuk pajak federal baru, yang pertama dalam sejarah, atas pendapatan abadi
perguruan tinggi dan universitas swasta elit�sambil menciptakan manfaat pajak
tak terduga untuk bisnis dan yang terkaya (Green 2017; Hartocollis 2017; Meyers
dan Read 2017). Meskipun RUU ini mungkin atau mungkin tidak melanjutkan ke
persetujuan Presiden tanpa modifikasi, pemimpinnya jelas.
Trump pernah berperang dengan MSNBC, di mana
meningkatnya tepi media liberal mendorong serta mencerminkan kemarahan sang
presiden (pada saat itu)�termasuk ancaman terselubung oleh Trump untuk mencabut
lisensi penyiaran federal MSNBC. CNN mungkin juga berisiko: menyusul keluhan
Trump tentang liputan medianya, Departemen Kehakiman telah menekan perusahaan
induknya untuk menjualnya�yang akan menempatkan layanan berita CNN pada potensi
belas kasihan dari kecenderungan politik pemilik baru (NY Times Board 2017).
Menggemakan Breitbart News dan FOX, miliarder alt-Right Koch bersaudara
menghabiskan mega-jutaan untuk akuisisi media baru (Ember dan Sorkin 2017;
Mayer 2016). Sesuai persetujuan FCC, alt-Right Sinclair news siap menjangkau
72% rumah tangga Amerika melalui saluran berita TV lokal (Kroll 2017a; 2017b).
Di mana ini akan mengarah pada saat makalah ini diterbitkan tidak mungkin
diketahui. Delapan puluh tiga persen dari Partai Republik saat ini memberi
Trump peringkat persetujuan yang menguntungkan, peningkatan selama dua bulan
sebelumnya (Gallup News 2017). Dalam konteks ini, analisis di luar detail
menawan sementara tampaknya sama sulitnya dengan pentingnya.
Semakin dekat dengan profesi kita, akhir
sejarah yang diumumkan oleh Francis Fukuyama telah membawa kematian pemikiran
sejarah sebagai fakultas mengalami dimensi keempat dari dunia fisik � waktu.
Sejarah sebagai domain otonom, bahkan jika ditopang oleh imajinasi kita, telah
runtuh menjadi proyeksi dua dimensi dari berbagai peristiwa masa lalu di bidang
penilaian modern, moral dan politik kita saat ini. Masa lalu telah kehilangan
otonomi apa pun, dan prinsip historisisme positivis lama telah kehilangan
makna. Plastisitas Orwellian di masa lalu, terbuka untuk membentuk kembali
radikal setiap kali kebutuhan hari ini membutuhkannya, dulu dilihat sebagai
karakteristik mendasar dari rezim totaliter, sementara sekarang diharapkan
dalam masyarakat demokratis.
Fantasi kekuasaan Xi Jinping
Mendengar nama Xi Jinping, maka tidak asing lagi bahwa
ia dikenal sebagai sosok yang sangat berpengaruh bagi kemajuan Cina hari ini.
Di bawah naungannya, Cina telah dipandang sebagai negara dengan pertumbuhan
ekonomi yang pesat dalam kurun waktu dua dekade terakhir. Hal itu dibuktikan,
salah satunya, dengan Cina sebagai negara yang masuk pada ekonomi terbesar
kedua di dunia dengan nilai mencapai $US 14 triliun. Cina juga pernah menduduki
peringkat pertama sebagai negara dengan GDP tertinggi di dunia
Kemajuan Cina hari ini memang tidak dapat dipisahkan
dari sosok Xi Jinping. Ia disebut-sebut sebagai orang paling berkuasa di Cina,
karena itu selanjutnya perlu untuk diketahui lebih dalam tentang bagaimana Xi
Jinping memimpin negara Cina, serta nilai atau karakteristik yang dianutnya.
Nilai-Nilai Sosialis inti telah menjadi ciri khas era Xi Jinping. Salah
satunya, terlihat dari payung wacana Impian Cina (Chinese Dream), di mana nilai-nilai Sosialis telah mewakili visi
pemerintahan Xi terkait hubungan masyarakat serta warga negara Cina. Nilai
sosialis inti dalam kepemimpinan Xi melalui Partai Komunis Cina (PKC)
mengisyaratkan daya tariknya untuk beresonansi dengan orang-orang yang ingin
dikuasainya. Pada tahun 2017, Kongres Partai ke-19 secara resmi memasukkan
�Pemikiran Xi Jinping tentang Sosialisme dengan Karakteristik Cina untuk Era
Baru� ke dalam konstitusi PKT
Sejak awal pemerintahannya, Xi Jinping sudah sangat
aktif melakukan perubahan-perubahan dalam berbagai aspek yang sangat besar dan
efektif dalam memajukan masyarakat Cina, ditambah lagi segala program dan upaya
yang dilakukan Xi didasari pada sikap yang berpihak pada rakyat. Dilihat dari
model atau gaya kepemimpinan Xi Jinping, maka tidak mengherankan bahwa ia
mendapatkan penghormatan yang besar dari rakyatnya. Nilai-nilai sosialis khas
Cina di era Xi Jinping telah menghasilkan suatu kecenderungan rakyat Cina
memiliki rasa nasionalis yang sangat tinggi, serta pemimpin negara menjadi sosok
yang sangat diidolakan. Sehingga negara sangat berkuasa mengatur setiap sendi
kehidupan masyarakatnya. Melihat fakta yang menunjukan pengaruh besar sosok Xi
Jinping bagi masyarakat Cina, maka sangatlah menarik untuk pertama-tama
mengetahui lebih dalam pemikiran dan kehidupan Xi hingga dapat menjadi sosok
yang berpengaruh seperti saat ini.
Seperti
yang diketahui bersama bahwasanya Cina di era Xi Jinping telah bergerak menuju
kepada apa yang disebut sebagai �kekuatan dunia� di mana hal itu diakui
negara-negara lain yang menjalin dan mendukung berbagai kerja-sama atas
kebijakan-kebijakan luar negeri Cina. Namun di pihak lain, terdapat satu
kekuatan dunia yang sejak lama tak dapat terbantahkan itu, Amerika Serikat. Ia
kini �merasa� tersaingi oleh Cina yang �dipercayai� oleh masyarakat
internasional sebagai kekuatan baru. Sehingga dapat diargumentasikan bahwa
kekuatan Cina di bawah kepemimpinan Xi Jinping bergerak cukup masiv hingga
menjadikan dirinya sebagai �The Rising
Power� menyaingi �kekuatan dunia� yang sebelumnya telah ada dan berkuasa di
Kancah global.
Pada
dua dekade terakhir, seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina, maka
naiklah juga pengaruh Cina di dunia. Subbab ini menjelaskan kekuasaan Cina
dalam Kancah global, yaitu yang dimaksud di sini ialah beberapa kawasa di
dunia, antara lain Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Pasifik, dan Afrika. Di
mana negara-negara yang ada pada kawasan tersebut telah mempercayai dirinya
pada citra Cina yang semakin membaik untuk masuk pada lingkup kekuasaan Cina di
bawah konfusionisme. Melalui pendisiplinan budaya, negara mendapatkan
persetujuan spontan dari rakyat kawasan
mengenai eksistensi Cina. Dalam bahasa Gramsci �able to present itself as an integral �state,� possessing all the
intellectual and moral forces it needed to organize a complete and perfect
society.� Ia menjelaskan bentuk
kekuasaan yang inheren di dalam diri warga global sehingga berdampak signifikan
terhadap pengendalian pikiran atau efek budaya.
Statolatri
memberikan efek ketergantungan, di mana negara menjadi sesuatu yang normal,
sehingga sangat mustahil hidup di luar negara. Hal ini menegaskan bahwa tidak
ada kehidupan yang normal di luar dari pada negara. Kekuasaan model ini
menargetkan masyarakat sipil global di era kontemporer, di mana basis struktur
yaitu ekonomi memainkan peran penting dalam hal persetujuan aktif berbudaya.
Dengan demikian, dalam upaya penguasaan global, statolatry adalah ujung tombak
kekuasaan ekonomi melalui instrument budaya konfusionisme. Slogan Kebangkitan
damai Cina dibawah Xi Jinping melalui program belt and road initiative
(BRI) mengkerangkai diskusrsus kekuasaan budaya
Diskursus Kekuasaan Trump dan Xi
Masa kini selalu memaksakan dirinya pada
pemahamannya tentang masa lalu, dan persepsi masa lalu ini kemudian
berinteraksi di masa sekarang ketika membuat rencana besar untuk masa depan.
Namun, pemeriksaan kebesaran Cina di masa lalu menunjukkan lebih banyak
adaptasi terhadap keadaan yang berubah�seringkali keadaan berbahaya�daripada
menunjukkan implementasi dari beberapa visi yang sudah ada sebelumnya. Memang,
apa pun yang dapat dikatakan tentang prinsip-prinsip tetap dan asumsi filosofis
yang bertahan lama dari strategi Cina, implementasinya sering kali merupakan
produk dari argumen pahit, dan bahkan kekerasan, dalam sistem politik, argumen
yang, pada gilirannya, merupakan hasil dari hubungan yang sangat rumit antara
sistem pemerintahan dan kandungan budaya tinggi. Keadaan di dunia di sekitar
Cina dapat berubah secara tiba-tiba, sehingga menggerakkan perkembangan yang
sama sekali tidak terduga di dalam Cina. Bahkan dengan berlalunya berabad-abad,
cara kerja hubungan-hubungan itu di masa lalu yang jauh masih menjadi bahan
perdebatan sengit di masa sekarang.
Hari ini, ingatan kebesaran nasional masa lalu
terjadi dalam konteks yang cukup dapat digambarkan sebagai lingkungan modern,
bahkan ketika idiomnya berubah dan mungkin sedang dalam perjalanan menuju
sesuatu yang baru. Tapi itu tidak terjadi namun demikian modernitas tetap
menjadi konsep yang sangat kaya. Yang modern tentu terikat dengan kemajuan ilmu
pengetahuan, kemajuan teknologi, dan kekayaan yang dihasilkan oleh kombinasi
itu; kami menghubungkan modern ke produktif dan efisien. Tetapi modern juga
merupakan cara berpikir tentang sesuatu, atau pandangan, atau kepekaan. Istilah
"modern" juga merupakan cara untuk menggambarkan beberapa produk
budaya, karena seni modern dan sastra modern dapat dikenali dari apa yang
mendahuluinya. Jadi, ada lebih dari satu cara bagi seseorang untuk berpikiran
modern, dan orang yang menganut modern sebagai cara hidup di satu bidang
kehidupan dapat sepenuhnya menolak "modern" sebagai cara hidup di
bidang lain.
Cina sangat terpesona oleh konsekuensi
modernitas di dunia Barat. Dan justru karena perjumpaan Cina sendiri dengan
modernitas, dalam segala aspeknya, sejauh ini terbukti sangat produktif dan
sangat merusak, orang Cina saat ini sangat bersemangat dan sangat gelisah
karenanya. Semua ini dipajang di pusat kota Beijing; seolah-olah kekuatan yang
bersaing dalam dua abad terakhir telah berkumpul di satu bagian kecil dari real
estat perkotaan. Kota Terlarang para kaisar Qing berbatasan dengan tepi utara
Lapangan Tiananmen. Kompleks istana dan kantornya merupakan ekspresi klasik
dari arsitektur tradisional Cina terbaik�simetris, seimbang, dan mencerminkan
prinsip harmoni kosmologis Cina kuno. Tapi Kota Terlarang lebih dari sebuah
karya seni; itu juga merupakan pusat saraf dari salah satu kerajaan besar dalam
sejarah dunia, yang dirancang untuk mengintimidasi dan menginspirasi kekaguman.
Cina telah hidup melalui serangkaian sistem
dunia, masing-masing mengekspresikan visi hegemon zaman�apakah Mongol, Manchu,
atau Barat�dan masing-masing sistem ini pada gilirannya telah digantikan. Cina
mungkin berpikir bahwa kali ini, melalui pertambahan kekayaan dan kekuasaannya
yang berkelanjutan, akhirnya akan mendapatkan kesempatan untuk tampil di depan
sejarah dan hadir pada penciptaan sistem internasional baru dengan cara yang
belum pernah terjadi selama berabad-abad. Jika demikian, bagaimana sistem
seperti itu bisa terjadi? Bagaimana cara kerjanya?
Pertanyaan serupa turun dari situasi historis
yang berbeda dari zaman Ming, Pax Sinica. Kemudian, ada Cina yang lebih kohesif
dan bersatu�Cina dengan rasa dirinya yang lebih maju dan perbedaannya dari yang
lain�tetapi Cina juga sangat tertarik pada revolusi dunia dalam teknologi,
perdagangan, dan ekonomi. Itu menandakan transformasi politik dunia yang
sebanding. Khususnya, tentang pentingnya perdagangan maritim dunia bagi Cina pada
masa itu, pemerintah Cina saat ini telah menemukan analogi yang tak tertahankan
dengan preferensi kebijakannya sendiri. Ketika para sarjana kontemporer Cina,
yang diberdayakan, menyelidiki era ini dengan lebih hati-hati, mereka telah
menemukan tidak hanya statistik baru tentang persyaratan perdagangan tetapi
juga bagaimana efek partisipasi dalam ekonomi dunia merangsang pemikiran Cina
tentang ekonomi dan politik. Orang Cina, kemudian, menemukan bahwa mereka dapat
sangat dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi baru yang sekarang longgar di dunia,
tetapi mereka sama sekali tidak puas dengan seberapa baik mereka memahaminya.
Cara kerja dari apa yang sekarang disebut pasar global itu misterius, dan
ketidakmampuan orang Cina untuk menguraikannya demi kepuasan mereka menciptakan
rasa kerentanan. Jadi, ada orang yang menganut cara baru dan ada yang
menolaknya.
Sementara itu, ada argumen lain dari
sejarah�yang diturunkan dari sejarah dinasti Qing dan Pax Manjurica-nya�yang
menghantui perdebatan yang sedang berlangsung di dalam Zhongnanhai. Bagi para
pemimpin Cina yang tinggal di sana, tugasnya adalah menilai kerentanan yang
diberikan kepada negara mereka oleh globalisasi saat ini dan kemudian menemukan
cara untuk melindungi diri dari mereka. Di sini, mediasi antara imperial dan
modern terjalin dengan baik, karena sejarah modern memberi petunjuk tentang
bagaimana kekuatan yang meningkat mengatasi kerentanan dan ketidakpastian yang
menyertai pertumbuhan kekayaan dan kekuasaan yang berasal dari keterlibatan
dalam sistem ekonomi internasional.
Oleh karena itu, Wallerstein menulis dalam
bukunya Decline of American Power (Wallerstein 2003, hlm. 27) bahwa,
�pertanyaan sebenarnya bukanlah apakah hegemoni AS memudar tetapi apakah
Amerika Serikat dapat menemukan cara untuk turun dengan anggun, dengan
kerusakan minimal pada dunia. dan untuk dirinya sendiri�. Dari perspektif
sistem dunia, penerima manfaat terbesar dari gejolak saat ini di AS adalah
Cina�dan terlebih lagi sejauh kekuasaan Cina dilatarbelakangi oleh keasyikan
diri Amerika (Arrighi 1999). Dalam hal ini, sangat luar biasa bahwa Trump dalam
kunjungan kenegaraannya baru-baru ini ke Kerajaan Tengah �memproyeksikan sikap
hormat kepada Cina yang hampir tidak pernah terdengar bagi seorang Presiden
Amerika. Jauh dari menyerang Xi dalam perdagangan [seperti yang telah
dilakukannya tanpa henti selama kampanye pemilihan] Trump memberi hormat
kepadanya karena memimpin negara yang dia katakan telah meninggalkan Amerika
Serikat 'begitu jauh di belakang.'� (Landler et al. 2017).
Penurunan hegemoni Amerika telah memasukkan
Perang Teluk I & II yang sangat mahal dan tidak menguntungkan serta
hiperbola yang meningkat dari �perang melawan teror� (lihat Ali 2002; Harvey
2003; Knauft 2007). Tidak mengherankan, �retrotopia� Bauman (Bauman 2017) umumnya
ditemukan di negara-negara hegemonik atau kekaisaran yang gagal. Secara lebih
umum, seperti yang disarankan Appadurai (2017), hilangnya kedaulatan ekonomi di
negara-bangsa saat ini meningkatkan penekanan kompensasi mereka pada kedaulatan
budaya�yang pada gilirannya memicu munculnya populisme otoriter. Di AS, rasa
kecakapan nasional yang gagal ditandai dengan jelas jika tidak diabadikan dalam
upaya reaktif Trump untuk "Membuat Amerika Hebat Lagi".
Faktanya, dari sudut pandang ekonomi politik
global, Trump melakukan hal sebaliknya�membakar negara adidaya terbesar di
dunia dari dalam dengan mendekonstruksi, mendelegitimasi, dan meledakkan
pemerintahannya sendiri. Ini baik dengan secara eksplisit membatasi dan
mengurangi layanan pemerintah dan memicu pengunduran diri dan pensiun karyawan
nasional karir (misalnya, Harris 2017; Friedman et al. 2017). Dari perspektif
itu, radikal pascakolonial yang benar-benar berkomitmen mungkin bertanya apakah
kita harus mendukung dekonstruksi Trump terhadap pemerintah Amerika,
mempercepat penurunannya. Namun, dalam campurannya, radikalisme Kiri kemudian
berdiri di samping nasionalisme kulit putih yang merusak: lingkaran Leninis
ditutup.
Dalam daftar yang lebih besar, dapat dikatakan
bahwa peristiwa saat ini sebenarnya menandakan kontinuitas daripada perpecahan
antara konservatisme dan neoliberalisme (lih. Harvey 2007). Dalam pandangan
kritis ini, perbedaan nyata mereka hanya mengarah ke amplitudo yang lebih
tinggi dari osilasi gabungan mereka. Beberapa dari kita cukup tua untuk
mengingat bagaimana kemunduran pemilih AS tampaknya dalam memilih Richard
Nixon, termasuk untuk kedua kalinya, atau Ronald Reagan, termasuk untuk kedua
kalinya, atau George W. Bush, termasuk untuk kedua kalinya�diselingi dengan
Jimmy Carter, Bill Clinton, dan kemudian Barack Obama. Apa sebenarnya yang
sekarang berbeda, dan lebih buruk, dalam momok terus-menerus Trump dan
akibatnya?
Dukungan populer untuk Trump�dan suara
elektoral utama yang memungkinkannya memenangkan kursi kepresidenan�tentu saja
datang terutama dari petak-petak AS yang tertekan secara ekonomi yang telah
secara sistematis dikesampingkan oleh pendidikan dan pertumbuhan pendapatan
yang maju, terutama di daerah pedesaan dan perkotaan yang kesulitan. Kemarahan
mereka yang setengah menganggur, kurang berpendidikan, kurang sopan, dan
dipandang sebagai regresif oleh elit progresif sekarang tampaknya sama ganasnya
dengan yang sebelumnya diabaikan.
Personalisasi kuat politik Cina dan Amerika di
era Xi dan Trump membentuk hubungan antara kedua negara. Negara-negara ketiga
juga tidak tersentuh oleh gaya kepemimpinan Xi dan Trump, baik dalam arti harus
menghadapi dampaknya atau melalui godaan untuk meniru mereka. Pengaruh pembuat
keputusan individu dan gaya kepemimpinan mereka merupakan faktor penentu untuk
orientasi kegiatan kebijakan luar negeri.1 Hal yang sama berlaku untuk
penilaian prospek keberhasilan, penerimaan di antara pendukung dan peluang
realisasi di internasional. - lingkup nasional. Khususnya dalam sistem politik
presidensial, kemampuan kepemimpinan dan gaya kepala negara sangat penting
untuk mengelola proses perubahan dan mendapatkan pendukung baru. Oleh karena
itu, pemeriksaan gaya kepemimpinan memberikan wawasan tentang dinamika
pemerintahan.
Presiden Cina dan Amerika Serikat telah mendefinisikan
kembali scope kebijakan luar negeri mereka, baik dalam struktur internal
negara mereka maupun dalam hubungan eksternal mereka. Di Amerika Serikat,
Presiden Trump kala itu meminimalkan pengaruh Departemen Luar Negeri, di Cina
Partai Komunis di bawah Presiden Xi telah mengambil kendali atas keputusan
kebijakan luar negeri. Proses politik internasional dan sumber daya domestik
sangat ditentukan oleh perbedaan gaya kepemimpinan kedua presiden. Dengan
memusatkan struktur Partai Komunis, Xi telah menghentikan aliran kekuatan
pengambilan keputusan politik ke instansi-instansi birokrasi dan menangkal
erosi kapasitas kontrol politik. Trump telah membangun hubungan langsung dengan
basisnya dengan melewati struktur aparat Partai Republik dan menciptakan �klub
penggemar� pribadi. Namun gaya kepemimpinan kedua presiden tidak dapat
dijelaskan hanya dari segi karakter masing-masing. Mereka juga bergantung pada
cara kekuasaan presidensial tertanam dalam konteks kelembagaan dari sistem
pemerintahan masing-masing.
Presiden AS Trump menampilkan dirinya sebagai
�pembuat kesepakatan�, �negosiator keras� yang lebih mempercayai keterampilan
negosiasinya sendiri daripada kemampuan korps diplomatik. Dia melakukan segala
cara untuk mengejar kesombongan diri yang dia pamerkan di atas segalanya untuk
para pengikutnya di rumah. Dalam pendekatan �transaksional� terhadap kebijakan
luar negeri, pencampuran agenda politik membuat segala sesuatu menjadi
�negotiable�. Di sini pengaturan pribadi dengan kepala negara lain dan ritual saling
pengakuan menggantikan perjanjian dan kesepakatan antara negara bagian dan
kementerian.4 Metode ini bergantung pada hubungan transversal dari semua bidang
kebijakan yang memungkinkan untuk menghasilkan tekanan politik dan menunjukkan
otonomi tindakan pribadi. Dimana logika yang melekat pada masing-masing bidang
kebijakan diabaikan atau pandangan hilang dari efek samping yang terkait,
koridor tindakan yang telah dicoba dan diuji menjadi tertutup. Oleh karena itu,
gaya kepemimpinan Trump mencerminkan semua kontradiksi dari harapan heterogen
yang ditempatkan pada perilakunya, yang harus ia penuhi dalam politik domestik
dan vis-�-vis para pendukungnya. Aparat diplomatik memiliki sedikit kesempatan
untuk memoderasi hal ini, apalagi mengoreksi.
Dengan melakukan sentralisasi ekstrem aparat
kebijakan luar negeri, kepala negara Cina telah berhasil menggabungkan tindakan
institusional dengan kekuatan pribadi. Xi menampilkan dirinya sebagai �ketua
segalanya� di dalam dan luar negeri, mengamankan peran ini dengan mencari dan
menemukan dukungan kuat dalam hierarki partai dan pemerintahan. Berdasarkan
posisi sentralnya di partai dan negara bagian, Xi memegang semua kartu. Ia
menguasai bidang politik luar negeri dengan membentuk Komisi Pusat Luar Negeri
dari Komite Sentral Partai Komunis dan menempatkannya di bawah kekuasaannya.
Perampingan pemerintah dan aparat partai oleh Xi merupakan bagian dari proses
di mana sistem Cina telah bertransisi dari bentuk otoritarianisme yang
terfragmentasi ke bentuk otokratis. Gaya kepemimpinan dan kultus kepribadian Xi
Jinping dapat digambarkan sebagai �transformatif� (Landler 2017).
Ini tidak hanya berlaku untuk basis kekuatan
domestiknya, yang telah diperkuat Xi selama reformasi partai dan pergeseran
terkait dari kepemimpinan kolektif ke personalistik. Aspek transformatif juga
terlihat secara eksternal: Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) membentuk narasi
global menyeluruh yang mendukung klaim Cina atas peran yang luar biasa, di mana
banyak aktor yang sampai saat ini hanya beroperasi secara nasional kini
diharapkan beroperasi secara internasional (Landler 2017). BRI dianggap dalam
politik internasional sebagai �strategi besar� dan telah menyebabkan banyak
aktor berorientasi pada Cina. Bahkan dalam berurusan dengan tetangga regional
di Asia Timur dan Tenggara, Xi telah memilih gaya diplomasi pengambilan risiko
yang didedikasikan terutama untuk mencapai tujuan Cina.
Sekarang dengan pandemi, perhatikan bagaimana
Mr. Trump sebenarnya adalah seorang postmodernis yang hidup, bernafas, dan
menakjubkan. Dia tidak setia pada satu posisi, tetapi dapat bergerak bebas di
antara mereka tanpa batasan karena dia percaya, dan begitu juga para
pengikutnya, bahwa dia benar-benar otentik. Trump awalnya memuji orang Cina
ketika COVID-19 pertama kali memasuki AS dan mengatakan dia memiliki
�percakapan yang sangat baik� dengan Xi Jinping dan �sangat menghormatinya�.
Dia segera mengubah taktik dan menuduh Cina "secara sadar bertanggung
jawab" untuk menyebarkan penyakit yang menurutnya, bagaimanapun, adalah
"virus Cina".
Mr Trump juga terdengar mesianis dalam banyak
kesempatan. Pada suatu waktu dia dengan percaya diri menyatakan bahwa, �Suatu
hari, ini seperti keajaiban � itu [COVID-19] akan hilang.� Baru-baru ini, dua
minggu yang lalu dia bernubuat: �Saya katakan itu akan pergi � dan memang
begitu.� Dia sangat berharap COVID-19 akan naik dan pergi sehingga pada �Minggu
Paskah, dan Anda akan memadati gereja di seluruh negara kita.� Bukti untuk
semua ini? Tidak ada. Namun, pada daftar lain kita harus mengakui bahwa Mr. Trump
tulus karena semua yang dia katakan adalah tulus dari hati.
Demikian juga dia meningkatkan permintaan
hydroxychloroquine, menyebutnya sebagai "pengubah permainan" dan
"hadiah dari surga". Ketika dia dihadapkan oleh bukti yang
bertentangan dari sudut lain, oleh Dr. Anthony Fauci (ilmuwan yang memimpin
Gugus Tugas COVID-19 Gedung Putih), Trump menjawab, �Saya bukan seorang dokter.
Tapi aku punya akal sehat.� Dia, dengan kata lain, dalam kontak dekat dengan
"hyperreal". Ada spekulasi, pada satu waktu, bahwa mungkin itu tidak
semua hyperreality. Dia mungkin mendukung hydroxychloroquine karena dia
memiliki kepentingan finansial di Sanofi, sebuah perusahaan farmasi yang
memproduksi obat tersebut. Tapi itu akan menjadi penjelasan yang terlalu
realistis.
Inilah sebabnya, sesuai dengan kondisi
postmodernnya, dia sekarang telah membuang keyakinannya yang hampir sepenuhnya
pada hydroxychloroquine dan secara serius berkencan dengan agen pembersih. Dia
tampaknya cukup yakin cairan ini dapat melumpuhkan virus COVID-19 "dalam
satu menit ... dengan suntikan ke dalam" (Jenifer 2018). Perusahaan
disinfektan ini ketakutan, termasuk produsen Lysol, untuk mengeluarkan
pemberitahuan publik yang memperingatkan orang untuk tidak memasukkan cairan
pembersih ke dalam aliran darah mereka. Reaksi "ilmiah" seperti itu
membuat Trump tidak terpengaruh karena dia tidak setia pada teks apa pun. Dia
bergoyang, bobs dan menjalin dengan naluri yang datang langsung dari hati.
Ada beberapa perbandingan yang mudah antara
Trump dan para pemimpin dunia lainnya yang telah menunjukkan kecenderungan
diktator. Perbedaan besar di antara mereka terletak pada kenyataan bahwa Mr.
Trump tidak percaya pada apa pun lebih dari jangka waktu yang singkat. Di sisi
lain, mereka seperti Jair Bolsonaro (Brasil), atau Rodrigo Duterte (Filipina),
memiliki komitmen jangka panjang pada satu sudut pandang.
Bolsonaro, misalnya, tetap teguh dalam
penolakannya terhadap COVID-19 sebagai ancaman. Dia secara konsisten menghina,
dari awal hingga akhir, dari segala upaya untuk mengekang virus. Seolah-olah
SARS-CoV-2 hanyalah pasir kecil di mulut seseorang. Tuan Trump, seperti yang
telah kita lihat, berbeda. Dia bermain-main dengan teks yang berbeda dan
merekomendasikan berbagai obat, selalu membaca situasi hyperreal yang muncul secara
otentik dari dalam dirinya.
Kesimpulan
����������� Kekuasaan melekat dan tidak eksternal pada subjek, dan bahwa ia
tersembunyi di balik wacana, mendominasi imajinasi dan menghuni arena
perjuangan diskursif. Ini menjelaskan bahwa hubungan antara kekuasaan dan
pengetahuan menimbulkan pertahanan timbal balik mereka, yang berarti bahwa
sejarah kekuasaan adalah efek dari pengetahuan dan sejarah pengetahuan adalah
efek dari kekuasaan. Ini memiliki implikasi bagi politik global di bawah para
pemimpin seperti Donald Trump dan Xi Jinping, yang fantasi budayanya tentang
kekuasaan mempengaruhi tindakan dan perilaku mereka. Teks selanjutnya
menunjukkan bahwa budaya adalah fantasi kekuasaan, dan bahwa Trump dan Xi
adalah aktor kekuatan global yang bersaing untuk mendapatkan pengakuan di
panggung global melalui model kekuasaan yang berbeda. Trump menggunakan model
kekuasaan budaya yang agresif namun kontemporer, sementara Xi mempromosikan model
kekuasaan budaya sosialis. Perbedaan dalam pendekatan mereka tercermin dalam
perilaku mereka di panggung global, dengan Xi lebih berhasil dalam
mendisiplinkan budaya dan mendominasi kawasan melalui inisiatif seperti Belt
and Road Initiative (BRI).� Penulis
menyimpulkan dengan menyarankan bahwa studi tentang fantasi kekuasaan di AS dan
Cina membutuhkan pergeseran ontologis dari ontoteologi ke ontoantropologi.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi fantasi budaya
kekuasaan secara lebih rinci.
BIBLIOGRAFI
Albert, Melissa. Xi Jinping .
7 May 2021.
Arrighi, Giovanni, and Beverly J. Silver. 1999. Chaos and Governance
in the Modern World System. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Bates, Thomas R. �Gramsci and
the Theory of Hegemony.� Journal of the History of Ideas, Vol. 36, No. 2,
1975: 351-366.
Bauman, Zygmunt. 2017. Retrotopia. Cambridge: Polity Press.
Bennett, John Garrick and Yan
Chang. �Xi Jinping Thought : Realisation of the Chinese Dream of National
Rejuvenation?� China Perspectives [Online] 2018/1-2, 2018: 99-105.
Blanchard, Ben, dan Christian
Shepherd. China allows Xi to remain president indefinitely, tightening his
grip on power. 11 March 2018.
Brown, Kerry. CEO China, The
Rise of Xi Jinping . New York : I.B.Tauris & Co. Ltd, 2016.
Clifford, Michael. 2013. Empowerment: The Theory and Practice of
Political Genealogy. Lanham: Lexington Books.
Ferguson, Niall. 2006. The War of the World: Twentieth-Century
Conflict and the Descent of the West. New York: Penguin.
Geiselberger, Heinrich ed. 2017. The Great Regression. London: Polity.
Gramsci, Antonio. 1971. Selections from the Prison Notebooks of
Antonio Gramsci. Edited by Quintin Hoare and Geoffrey Nowell-Smith. London:
Lawrence and Wishart.
Gusterson, Hugh. 2017a. From Brexit to Trump: Anthropology and the
Rise of Nationalist Populism. American Ethnologist 44: 209�14.
Harris, Gardiner. 2017. Diplomats Sound the Alarm as They Are Pushed
Out in Droves. The New York Times, November 24.
Harvey, David. 1989. The Condition of Postmodernity. Oxford: Basil
Blackwell.
Harvey, David. 2007. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford
University Press.
IMF. World Economic Outlook
Database. 2018.
Jennifer Rudolph, and Michael Szonyi, eds. 2018. The China Question:
Critrical Insights into a Rising Power. Cambridge: Harvard University Press.
Jinping, Xi. The Governance
of China [English Version]. Beijing : Foreign Languages Press, 2014.
Knauft, Bruce. 2016. What is Genealogy? An Anthropology/Philosophical
Investigation. Genealogy 1: 1�16.
Landler, Mark, Julie Hirschfeld Davis, and Jane Perlez. 2017. Trump,
Aiming to Coax Xi Jinping, Bets on Flattery. The New York Times, November 8.
Li, Cheng. Chinese Politics
in the Xi Jinping Era: Reassessing Collective Leadership . Washington, D.C
: Brookings Institution Press, 2016.
Marx, Karl. 1851. The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte. In Karl
Marx: Selected Writings. Edited by David McClellan. Oxford: Oxford University
Press, pp. 300�25.
McDonell, Stephen. Xi
forever? 11 March 2018.
Miller, Alice. The CCP
Central Committee's Leading Small Groups" In The China Leadership Monitor,
No. 26. 2 September 2008.
Nathan, Andrew. "Who is
Xi?" In The New York Review of Books .
Ni, Adam. China's Military
Backs Proposed Constitusional Amendments. 2 March 2018. (diakses July 19,
2021).
O�Kane, Chris. 2017. A Hostile World: Critical Theory in the Time of
Trump.
Osnos, Evan. 2016. The Far Right Revival: A Thirty-Years War? The New
Yorker, January 12.
Pandey, Gyan. 2015. Can There Be a Subaltern Middle Class? Notes on
African American and Dalit History. Public Culture 21: 321�42.
Ranade, Jayadewa. �Xi Jinping's
Leadership Style And China's Likely Policy Direction.� Centre for Air Power
Studies, 2013: 1-4.
Riley, Dylan J. �Hegemony,
Democracy, and Passive Revolution in Gramsci's Prison Notebooks.� California
Italian Studies Vol 2, issue 2, 2011: 3.
Ross, Alex. 2016. The Frankfurt School Knew Trump Was Coming. The New
Yorker, December 5.
Sahoo, Niranjan. Chinese
nationalism, with socialist characteristics? 12 July 2021.
Shirk, Susan L. �China in Xi's
New Era : The Return to Personalistic Rule .� Journal of Democracy ,
2018: 22-36.
Stewart, Kathleen. 1996. A Space on the Side of the Road: Cultural
Poetics in an �Other� America. Princeton: Princeton University Press.
Steyer, Tom. 2017. Watch the Impeachment Ad that Sent Trump Into a
Twitter Melt Down. Polityke: The Damage Report.
The Economist. 2017. How the World Was
Trolled: Once Considered a Boon to Democracy, Social Media Have Started to Look
Like It�s Nemesis. The Economist, November 4, 19�22.
Tolan, Casey. 2017. Trump-Tweet Target Tom Steyer�s Impeachment
Campaign Tops 1.4 Million Signatures. The Mercury News, November 1.
Tsing, Anna. 2017. The Mushroom at the End of the World: On the
Possibility of Life in Capitalist Ruins. Princeton: Princeton University Press.
Wallerstein, Immanuel. 2003. The Decline of American Power. New York:
New Press.
Wilber, Ken. 2017. Trump and a Post-Truth World. Boulder: Shambala.
Williams, Casey. 2017. Has Trump Stolen Philosophy�s Critical Tools?
The New York Times, April 17.
Wolff, Michael. 2018a. Donald Trump Didn�t Want to Be President: One
Year Ago: The Plan to Lose, and the Admistration�s Shocked First Days. New
York, January 3.
Wolff, Michael. 2018b. Fire and Fury: Inside the Trump White House.
New York: Henry Holt & Co.
Xinhua . Backgrounder: Xi
Jinping Thought on Socialism with Chinese Characteristics for a New Era.
Xinhua Net . Fuxing mubiao
fenyong qianjin .
Xinhuanet. China Focus: China
winning the toughest of tough battles against poverty. 11 October 2017.
Yi, Yang. China Focus:
Exhibition shows China's recent development achievements. 30 September
2017.
Yu, Gao. Beijing observation
: Xi Jinping the man. 2013.
Zhiyuan,
H. E. Zhao. Strong Leadership: The Story of the Communist Party of China.
24 May 2021.
Copyright
holder: Arthuur Jeverson Maya (2022) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |