Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 11, November 2022

 

KEKUASAAN PENDISIPLINAN: FANTASI DONALD TRUMP DAN XI JINPING

 

Arthuur Jeverson Maya

Center for Social Justice and Global Responsibility (CSJGR), Universitas Kristen Indonesia

E-mail: [email protected]

 

Abstrak

Kekuasaan adalah fantasi. Efek dari kekuasaan adalah pengetahuan dan efek pengetahuan adalah kekuasaan. Fantasi kekuasaan Amerika Serikat di bawah Donald Trump dan Cina di bawah Xi Jinping menjadi sesuatu yang menarik untuk diteliti. Ia akan ditelusuri dan dianalisis menggunakan pendekatan kekuasaan yang digagas oleh Michel Foucault. Melalui pembacaan ganda, strategi tekstual, dan dekonstruksi, dapat digali dan ditemukan bahwa fantasi kekuasaan global dibawah Trump berbentuk simulacra kekuasaan yang berkontribusi pada hegemon global AS. Sedangkan fantasi kekuasaan global dibawah Xi Jinping berbentuk diskursus statolatri kawasan yang bertujuan pada pembangunan damai melalui belt and road initiative. Diskursus ini berdampak pada kekuasaan pendisiplinan tubuh kawasan.

 

Kata kunci: Kekuasaan, pengetahuan, fantasi, Trump, Xi, diskursus.

 

Abstrak

Power is a fantasy. The effect of power is knowledge and the effect of knowledge is power. The fantasy of US power under Donald Trump and China under Xi Jinping is something interesting to examine. It will be explored and analyzed using the power approach initiated by Michel Foucault. Through double reading, textual strategy, and deconstruction, it can be unearthed and discovered that the fantasy of global power under Trump takes the form of a simulacra of power that contributes to US global hegemon. The fantasy of global power under Xi Jinping takes the form of regional stastatry discourse aimed at peaceful development through the belt and road initiative. This discourse has an impact on the disciplinary power of regional bodies.

 

Keywords: Power, knowledge, fantasy, Trump, Xi, discourse.

 

Latar belakang

Kekuasaan adalah fantasi. Ia beroperasi mengikuti diskursus pengetahuan, sehingga membentuk rezim pengetahuan. Ide besar riset ini berusaha membongkar diskursus kekuasaan Amerika Serikat di bawah rezim Donald Trump dan Cina di bawah rezim Xi Jinping dalam memperebutkan arena kekuasaan global.� Suatu misteri hanya dapat terungkap dengan mengeksplorasi secara kritis suatu realitas yang memiliki tatanan kebenaran pengetahuan yang terdisiplinkan oleh struktur ekonomi. Riset ini menjadi menarik karena menguji relevansi pemikiran kritis yaitu postmodernisme. Di samping itu, pendekatan hegemoni Gramsci juga mewarnai dinamika kekuasaan Xi Jinping. Selain itu, dari aspek isu perdagangan global, Cina dan Amerika Serikat dipastikan akan mempengaruhi seluruh struktur ekonomi politik negara-negara dunia. Riset ini difokuskan pada level analisis individu yaitu Donald Trump dan Xi Jinping. Kebijakan luar negeri keduanya dipastikan mampu mempengaruhi perilaku negara-negara dunia. Kendati demikian, riset kajian pemikiran ini akan didominasi pemikiran Michael Foucault tentang �kekuasaan � pengetahuan�� akan diuji relevansinya pada dinamika diskursus kekuasaan Xi Jinping dan Donald Trump.

Trump akan menegakkan peran kepemimpinan AS dalam banyak aspek urusan dunia dan Xi akan bersaing dalam memperebutkan kuasa diskursus global di berbagai kawasan negara-negara dunia ketiga. Model kekuasaan berkarakter multilateral menjadi strategi Xi Jinping, misalnya kebijakan luar negeri dalam kerangka Belt and Road Initiative (BRI), Cina menargetkan kawasan Afrika, Pasifik Selatan, Asia Tenggara, dan kawasan lain. Implementasi BRI merupakan manifestasi konfusianisme tentang �harmonisasi kekeluargaan� sehingga kerja sama yang harmonis dapat diciptakan dengan �memperkaya� keluarga sendiri. Tercermin pada kawasan Afrika yang dijadikan sebagai �keluarga� Cina dan negara-negara kawasan lain yang menjadi target untuk dijadikan �keluarga.�

Mengenai kerja sama ekonomi regional tersebut, Geoffrey Gertz dari Brook-ings Institute mencatat bahwa Trump berharap untuk menggantikan multilateral perdagangan dengan penawaran bilateral. Dia mengatakan bahwa strategi Trump tidak efisien karena mengabaikan fakta bahwa rantai pasokan produksi telah terkoneksi secara global. Juga, negara-negara kecil menemukan diri mereka lebih baik dalam kerangka multilateral, karena dapat membentuk koalisi untuk mengimbangi ketidakseimbangan kekuatan dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat�(Gertz 2017).

Kerangka multilateral seperti Trans Pasific Pathnership (TPP) mendapatkan perhatian dari negara-negara lain, yang juga menjadikan kebijakan luar negeri Cina menjadi longgar untuk membentuk aturan ekonomi regional. Sayangnya, Trump mengambil keputusan untuk meninggalkan TPP dan lebih menitikberatkan pada perdagangan bilateral�(Bermingham 2017).

Strategi Trump lebih mengarahkan pada bentuk perdagangan yang individualistik. Artinya administrasi Trump telah menunjukkan keengganan untuk menegakkan beberapa komitmen internasional yang penting seperti perlindungan hak asasi manusia di seluruh dunia�(China Digital Times 2017). Ambiguitas AS dalam membela hak asasi manusia pasti akan mengurangi tekanan pada Cina mengenai catatan hak asasi manusianya. Ini bisa membuat model pembangunan Cina, yang menekankan stabilitas atas hak asasi manusia, lebih menarik secara global, dan pada gilirannya memberanikan Cina untuk lebih menekankan isu perlindungan yang lebih baik dari hak asasi manusia dan demokratisasi seperti Hong Kong�(Nathan, China�s Challenge 2016, 31-32)

Model agresif Cina bahkan mungkin lebih aktif dipromosikan, Xi menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri yang didasarkan pada peaceful development akan membimbing masyarakat internasional mengikuti pembangunan damai versi Cina�(Economist 2017). Di mana, perdagangan global harus berkarakter �keluarga� atau kolektif bukan individualistik yang dipromosikan neoliberalisme. Nilai kolektivitas tersebut diimplementasikan dalam struktur perdagangan global setelah Xi Jinping menjadi presiden pada 2012. Terdapat perubahan dalam kebijakan luar negeri Cina, ia ditandai dengan pernyataan �berjuang untuk prestasi��(Jin 2014). Hal ini menjadikan Cina sebagai aktor pembentuk norma internasional harmonis�(Lanteigne 2016, 12).

Kerangka multilateral peaceful development yang menjadi norma perdamaian Cina dikemas dalam berbagai kerja sama kolektif seperti pembentukan AIIB dan one belt, one road (Obor) pada tahun 2013, kemudian berkembang menjadi BRI. Selain itu, Cina mengambil peran yang lebih aktif dalam membentuk aturan yang mengatur �dunia maya� dengan gagasan �cyber kedaulatan.��(Ars�ne 2015, 25-34). Hal tersebut berdampak pada hubungan Sino-Amerika. Xi Jinping mengusulkan hubungan kekuasaan yang didasarkan pada prinsip �tanpa konflik, tanpa konfrontasi, saling menghormati, dan win-win solution.��(China 2016). Singkatnya, hubungan Cina - Amerika dapat dicirikan sebagai kerja sama dan kompetisi, dengan campuran praktis kepercayaan dan ketidakpercayaan�(Wang Jisi 2016). Munculnya populisme otoriter di seluruh dunia menentang klasifikasi yang mudah di seluruh spektrum kiri - kanan, yang ditunjukkan oleh kebangkitan Rafael Correa dan Evo Morales di Amerika Latin sebagai bagian dari 'belokan kiri' yang berjanji untuk membangun sosialisme�(Murat, Arsel; Hogenboom, Barbara & Pellegrini, Lorenzo 2016). Serta kebangkitan Narendra Modi di India yang secara efektif menggunakan nostalgia demagogik untuk menjual visi negara adidaya India yang bangkit kembali (Ravindran, Tathagatan; Hale, Charles R. 2017). Selain itu, Duterte di Filipina mencirikan populisme otoritarianisme�(Thompson, Mark R; Batalla, Eric Vincent C 2018). Dalam hal ini Xi Jinping diuntungkan menjadi populisme yang mendapat perhatian masyarakat global sebagai aktor hubungan internasional pembaharu dan alternatif, khususnya menjadi penyeimbang kekuatan neoliberalisme di dunia.

Populisme Xi Jinping meningkat saat berpidato pada pertemuan ekonomi dunia 2017 di Davos. Dalam pidatonya, ia mengusulkan agar Cina menjadi pilihan yang solutif untuk isu-isu global kontemporer. Dalam pertemuan tersebut Cina diharapkan menjadi calon potensial kepemimpinan global�(China Central Television 2017). Sehingga memberikan kejutan terhadap Xi Jinping karena mampu menarik perhatian masyarakat global�(Phillips 2017). �John Dickenson dari Chinese Academy of Social Sciences mendukung Xi Jinping untuk mengambil tanggung jawab melindungi kepentingan publik internasional dan untuk membangun wacana menekankan kerja sama baru saling menguntungkan�(Dickenson 2016). Beberapa sarjana Cina juga menyarankan bahwa Cina harus lebih aktif dalam mempromosikan suatu tatanan internasional Sino-sentris dengan slogan �pemerintahan kebajikan Cina� (Wangdao), bukan didasarkan pada slogan �kekuatan pemerintahan barat yang koersif� (badao)�(Anthony H. F. Li 2017).

Kondisi ini juga mampu mendorong Xi berperilaku melampaui batas. Ketidakpuasan dengan kebijakan represif telah menyebar di pebisnis dan intelektual masyarakat Cina. Jumlah protes buruh meningkat signifikan selama masa jabatannya. Kendati demikian, sering dilupakan bahwa politik Cina tetap menerapkan demokrasi sosialisnya. Namun wacana untuk menjadikan presiden Xi sebagai presiden seumur hidup memicu kontroversi banyak pihak dalam lingkaran politik elitis. Legiitimasi wacana tersebut datang dari Partai Komunis Cina. Selain popularitas Xi di kanca global makin meluas, dia juga dihujani protes terhadap investasi diberbagai negara seperti Bangladesh, Kazakhstan, Kenya, dan Sri Lanka. Hal tersebut mengindikasikan ketakutan terhadap populis Xi yang berdampak pada otoritarianisme.

Meskipun demikian, ada sedikit bukti yang meyakinkan bahwa revolusi Xi adalah dalam bahaya yang terbalik. Banyak prestasinya telah di torehkan Xi sehingga mendapatkan dukungan rakyat luas. Dia telah bertahan dalam krisis masa lalu, dengan membangun pasar saham utama pada tahun 2015, dan pada Kongres Partai ke-19, konsolidasi kekuatan kelembagaan dan mandat untuk perubahan diperkuat. Oleh karena prestasi tersebut maka dipastikan bahwa Amerika Serikat akan berurusan dengan Cina dalam pertarungan populisme global dalam skema kekuasaan perang dagang.

Donald Trump telah merencanakan tariff baru untuk menampar produk � produk Cina. Besaran tarif yang dikenakan kepada produk Cina sekitar 10 persen atau senilai 300 miliar dollar AS. Hal tersebut dapat mengancam penangguhan hukuman yang dijanjikan AS untuk perusahaan teknologi Cina, tentunya itu kabar buruk bagi Huawei yang sejak bulan Mei berada pada daftar hitam. "Peningkatan ini meningkatkan risiko Trump mengingkari janjinya untuk menyelamatkan Huawei. Jika Trump mundur dari janji untuk mengeluarkan lisensi untuk pemasok Huawei AS, kemungkinan negosiasi mogok dan tarif yang dikenakan naik," ucap analis. Huawei pun belum bersedia komentar mengenai tarif baru yang bakal dilayangkan Trump. Tapi perusahaan telah mengakui hal itu sangat merugikan bisnisnya. Seperti yang dirilis kompas.com bahwa �CEO Huawei Ren Zhengfei mengatakan penjualan ponsel pintar di luar Cina sudah anjlok 40 persen sejak tarif dilayangkan. Ketua Huawei Liang Hua menambahkan, perusahaan memprediksi akan mengalami kesulitan di paruh ke dua tahun ini dan tahun depan. "Perusahaan akan terus menghadapi kesulitan pada paruh kedua tahun ini dan tahun depan. Namun bisnis 5G kami adalah pemimpin global yang kuat saat ini. Tapi kampanye AS dapat memperlambat peluncuran 5G global kami," kata Liang Hua. Untuk menekan imbas tarif Trump, Liang mengatakan perusahan telah memulihkan beberapa penjualan luar negeri yang hilang setelah larangan AS berlaku.��(Kompas.com 2019).

Kompas juga membangun diskursus perang dagang kedua negara seperti; "Tetapi jika Trump tidak melonggarkan pembatasan pada perusahaan Cina, itu dapat menyalakan kembali kekhawatiran konsumen tentang membeli smartphone Huawei dan menciptakan ketidakpastian bagi operator seluler yang menjual perangkat,". Larangan tersebut yang telah mencegah perusahaan seperti Google memasok sistem operasi Android dan aplikasi populer seperti Gmail dan Google Maps di ponsel keluaran terbaru Huawei. Tak hanya Huawei, larangan Donald Trump sebetulnya juga berdampak pada perusahaan bisnis Amerika. Awal pekan ini, perusahaan chip asal AS seperti Qualcomm dan AMD (AMD) mencatatkan laba penjualan anjlok di kuartal terakhir, tak lain karena mereka tidak bisa menjual chip lagi ke Huawei�(Kompas.com 2019).

Bisnis.com juga merilis diskursus perang dagang, di mana �Amerika Serikat menunjukkan sikap yang lebih agresif terhadap Cina mulai dari sanksi dagang hingga isu pelanggaran HAM. Awalnya Beijing memerintahkan agar Washington tidak terlibat dalam aksi protes di Hong Kong. Akhir pekan lalu bentrokan antara para demonstran dengan polisi berakhir ricuh dan melumpuhkan pusat keuangan Asia tersebut. Pada awal pekan lalu, Presiden AS Donald Trump bahkan mengaitkan kerusuhan di Hong Kong dengan perundingan perdagangan.��(Bisnis.com 2019). �The Global Times, sebuah surat kabar yang dikelola pemerintah Cina dan dikenal dengan nada propoganda, mengabaikan sanksi �daftar hitam� sebagai strategi awal sebelum diplomasi perdagangan dimulai. "Upaya Amerika untuk menambahkan opsi tawar menawar ini tidak akan mempengaruhi pendekatan Cina dalam perundingan dagang."

Ancaman terbaru yang akan dihadapi Donald Trump dalam menerapkan restriksi tarif impor pada produk-produk Cina merupakan upaya yang justru bisa merugikan AS dan berdampak tidak rasional. Oleh karena, mampu mendorong AS ke jurang resesi. Demikian disampaikan para ekonom dan kelompok industri negara itu. "Kami sudah memberi tahu Gedung Putih sejak awal bahwa tarif akan dibayar oleh orang Amerika dalam bentuk harga yang lebih tinggi," kata Ketua Distributor dan Pengecer Alas Kaki Amerika, Matt Priest dalam sebuah pernyataan sebagaimana dilansir dari AFP.

Merespon ancaman terbaru di atas, Trump membuat kebijakan terbaru untuk memproteksi produk-produk nasionalnya dengan menaikkan tarif impor. Argumnentasi tersebut didasarkan pada pemberlakuan bea impor sebesar US$ 250 miliar produk Cina menjadi 30% dari 25% pada 1 Oktober. Terlebih lagi, tarif atas barang-barang Cina lainnya senilai US$ 300 miliar, yang mulai berlaku pada 1 September, akan dinaikkan menjadi 15%, bukan 10%. Kenaikan tarif ini akan diluncurkan secara bertahap hingga Desember 2019 dan menargetkan beberapa barang populer, seperti laptop, ponsel, dan sepatu. Langkah itu diumumkan setelah Cina mengenakan tarif impor AS sebesar US$ 75 miliar. Akibat hal itu, lebih dari 200 produsen dan pengecer sepatu, termasuk merek-merek besar seperti Nike dan Foot Locker, menandatangani surat yang memperingatkan bahwa tarif baru Trump dapat membuat konsumen AS mendapat tambahan pajak hingga US$ 4 miliar per tahun dan meningkatkan kemungkinan penurunan ekonomi �(CNBC Indonesia 2019).

 

Pendekatan Kekuasaan Michel Foucault

Pembicaraan mengenai kekuasaan merupakan satu hal menarik yang tidak pernah selesai dibahas. Hal ini telah dimulai sejak zaman Yunani kuno dan terus berlangsung sampai zaman ini. Para filsuf klasik pada umumnya mengaitkan kekuasaan dengan kebaikan, kebajikan, keadilan dan kebebasan. Para pemikir religius menghubungkan kekuasan itu dengan Tuhan. Kekuasaan politik hanya sebagai alat untuk mengabdi tujuan negara yang dianggap agung dan mulia, yaitu kebaikan, kebajikan, keadilan, kebebasan yang berlandaskan kehendak Tuhan dan untuk kemuliaan Tuhan. Beberapa dekade yang lalu Michel Foucault, salah seorang filsuf pelopor strukturalisme juga berbicara tentang kekuasaan. Konsep Kekusasan Foucault dipengaruhi oleh Nietzsche. Foucault menilai bahwa filsafat politik tradisional selalu berorientasi pada soal legitimasi. Kekuasaan adalah sesuatu yang dilegitimasikan secara metafisis kepada negara yang memungkinkan negara dapat mewajibkan semua orang untuk mematuhinya. Namun menurut Foucault, kekuasaan adalah satu dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan.

Michel Foucault berdasarkan beberapa karya utama yang ia tulis semasa hidupnya. Menurutnya kekuasan eksis di segala ruang, di mana ada pengetahuan maka ada kekuasaan, sebaliknya. Menurut Foucault, kehendak untuk kebenaran sama dengan kehendak untuk berkuasa. Dalam Kegilaan dan Peradaban, Foucault melukiskan bagaimana kegilaan itu didefinisikan dari berbagai kelompok yang dominan pada masa tertentu. Karena itu dia meragukan legitimasi eliminasi kegilaan dari kebudayaan yang resmi. Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) dari Michel Foucault merupakan salah satu metode analisis teks media untuk membongkar bagaimana cara media mengkonstruksi sebuah wacana. Analisis wacana menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Analisis wacana kritis melihat pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai praktek sosial. Bahasa dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Knteks di sini berarti bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk di dalamnya praktik kekuasaan.

Kekuasaan merupakan elemen yang dipertimbangkan dalam analisis wacana kritis. Di sini, setiap wacana yang muncul dalam suatu teks, percakapan atau apapun tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. Pemakai bahasa bukan hanya pembicara, penulis, pendengar atau pembaca, ia juga bagian dari kategori sosial tertentu, bagian dari kelompok profesional, agama, komunitas atau masyarakat tertentu. Menurut Foucault, wacana tidak dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi wacana merupakan sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep, atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.

Dalam analisis wacana pendekatan Foucault, kuasa tidak dimaknai dalam term �kepemilikan,� di mana seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu. Kuasa menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Bagi Foucault, kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan menurut Foucault, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa, tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri.

Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan Untuk mengetahui relasi kuasa/pengetahuan dikonstruksi, dapat dilakukan analisis wacana menurut Faucault yang meliputi analisis arkeologi pengetahuan yang memungkinkan penyelidikan peristiwaperistiwa wacana, pernyataan yang dibincangkan dan dituliskan. Faucult melengkap perangkat analisis dengan genealogi kuasa untuk mengungkap keterkaitan antara pengetahuan dan kuasa.

Dalam karyanya The Order of Things, Archeology of Human Sciences, Foucault menunjukkan bahwa ada dua perubahan besar yang terjadi dalam bentuk umum pemikiran dan teorinya. Yang pertama terjadi pada pertengahan abad ketujuhbelas, yang kedua pada awal abad kesembilan belas�(Foucault 2007, 394-395). Setelah menganalisis diskursus ilmu pengetahuan abad 17 dan 18 seputar sejarah alam, teori uang, nilai, dan tata bahasa, Foucault mengambil kesimpulan bahwa pusat ilmu pengetahuan pada waktu ini adalah tabel. Orang hendak merepresentasikan realitas dalam tabel. Tabel adalah satu sistem tanda, satu bentuk taksonomi umum dan sistematis dari benda-benda�(Foucault 2007, 421-422). Dengan konsentrasi pada tabel, pengetahuan pada masa ini menjadi ahistoris.

Pada akhir abad ke18 (setelah revolusi Prancis) sampai pertengahan abad 20 (Perang Dunia II), konsentrasi wacana ilmiah pada masa ini adalah sejarah dan manusia sebagai subjeknya. Manusia dibebaskan dari segala alienasi dan bebas dari determinasi segala sesuatu. Manusia menjadi objek pengetahuan dan dengan demikian dia menjadi subjek dari kebebasan dan eksistensinya sendiri�(Foucault 2007, 422-424). Manusia menjadi pusat pemikiran. Hal ini terlihat dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial dan psikologi. Objek penelitian Foucault dalam karya ini adalah kondisi-kondisi dasar yang menyebabkan lahirnya satu diskursus. Di sini Foucault menunjukkan hubungan antara diskursus ilmu pengetahuan dengan kekuasaan. Diskursus ilmu pengetahuan yang hendak menemukan yang benar dan yang palsu pada dasarnya dimotori oleh kehendak untuk berkuasa. Ilmu pengetahuan dilaksanakan untuk menetapkan apa yang benar dan mengeliminasi apa yang dipandang palsu.

Selain itu, dalam �kegilaan dan peradaban,� Foucault melihat praktek pengkaplingan yang memisah-misahkan orang-orang yang sakit dari orang sehat, yang normal dari yang tidak normal merupakan� salah satu bentuk aplikasi kekuasaan seseorang atau satu kelompok orang atas yang lain. Foucault menemukan bahwa pada zaman Renaissance, kegilaan dan penalaran memiliki relasi yang erat, keduanya tidak terpisah, sebab keduanya menggunakan bahasa yang sama. Masyarakat tampaknya tidak menolak gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan brilian yang lahir dari orang-orang yang dicap gila. Kegilaan adalah kebebasan imaginasi, dan masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam zaman renaissance�(Foucault 2007, xxii).

Dengan demikian, kita dapat melihat inti dari teori Foucault di sini menunjukkan bahwa sakit mental hanya muncul sebagai sakit mental dalam satu kebudayaan yang mendefinisikannya sebagai demikian. Karena menyangkut definisi, maka di dalam sakit mental sebenarnya kekuasaan mendominasi. Kegilaan adalah yang berbeda dari yang biasa, dan karena yang biasa dicirikan oleh produktivitas, maka kegilaan adalah tidak adanya produktivitas. Penanganan kegilaan adalah satu bentuk aplikasi kekuasaan seseorang atau satu kelompok orang atas yang lain, bukan pertama-tama masalah pengetahuan psikologis�(Foucault 2007, 73).

Dalam �kekuasaan dan seksualitas,� dominasi juga dapat dilihat dalam analisis atas tema seksualitas. Foucault melihat seksualitas sebagai pengalihan pemahaman tentang kekuasaan. Bagaimana seksualitas diwacanakan adalah ungkapan dari kekuasaan. Pembicaraan yang terbuka tentang seks menurut Foucault, adalah demi mengatur dan mencatat jumlah kelahiran. Masalah penduduk adalah masalah sosial, dan masalah ini berhubungan dengan seksualitas. Karena itu, kekuasaan berusaha mempelajari dan mengintervensi pembicaraan tentang seks demi pengaturan pertumbuhan penduduk. Seksualitas menjadi masalah publik.

Para pelaku sodomi, onani, nekrofilia, homo seksual, masokis, sadistis dan sebagainya ditetapkan sebagai orang-orang yang berperilaku menyimpang�(Foucault 2007, xxxix). Foucault menunjukkan hubungan antara seksualitas dengan kekuasaan itu dalam pengakuan dosa dalam agama Kristen. Di sini sebuah rahasia dibongkar, dan bersamaan dengan ini posisi dia yang mengetahui rahasia itu menjadi sangat kuat. Yang menjadi pendengar pengakuan dosa itu adalah para ilmuwan, secara khusus psikiater. Dalam posisi seperti ini, psikiater menjadi penentu apa yang dianggap normal dan apa yang dipandang sebagai patologis dalam perilaku seksual. Dengan menunjukkan hubungan antara seksualitas dan kekuasaan, Foucault menggarisbawahi tesis dasarnya bahwa kekuasaan ada di mana-mana. Intervensi kekuasaan ke dalam seksualitas terjadi melalui disiplin tubuh dan ilmu tubuh, dan melalui politik populasi yang meregulasi kelahiran. Kekuasaan mulai mengadministrasi tubuh dan mengatur kehidupan privat orang. Sejalan dengan itu, resistensi terhadap kekuasaan itu pun ada di mana-mana.

Dalam buku Diciplin and Punish, Foucault mengemukakan bahwa kekuasaan (power) terspesialisasi melalui ilmu pengetahuan. Ia menyebutnya hukum imanensi (rule of immanence). Dengan demikian kekuasaan terdesentralisasi dan terpluralisasi�(S. Burchil & A. Linklater 2015, 248). Pada abad ke-17 dan 18, disiplin adalah sarana untuk mendidik tubuh. Praktik disiplin diharapkan melahirkan tubuh-tubuh yang patuh. Hal ini tidak hanya terjadi di penjara, tetapi juga dalam bidang pendidikan, tempat kerja, militer dan sebagainya Masyarakat selanjutnya berkembang menurut disiplin militer. Foucault beranggapan bahwa di era monarkial tiap proses penghukuman kriminal baru dianggap serius apabila telah melibatkan elemen penyikasaan tubuh dalam pelaksanaannya�(Suyono 2002, 338-339).

Pelaksanaan disiplin amat berhubungan dengan kuasa yang mengontrol. Foucault menguraikan bahwa fenomena disiplin tubuh selalu dikontrol oleh dua instrumen disiplin� yang diterapkan dari disiplin militer dalam masyarakat. Pertama, melalui observasi hirarkis atau kemampuan aparatus untuk mengawasi semua yang berada di bawahnya dengan satu kriteria tunggal�(Suyono 2002, 424-426). Panopticon yang terungkap dalam menara sebagai pusat penjara adalah bentuk fisik dari instrumen ini. Dengan adanya panopticon ini kekuasaan sipir menjadi sangat besar sebab para tawanan berusaha menahan diri mereka sendiri. Mereka takut dipantau. Kehadiran struktur itu sendiri sudah merupakan satu mekanisme kekuasaan dan disiplin yang luar biasa.

Instrumen kedua adalah menormalkan penilaian moral dan menghukum para pelanggar moral�(Suyono 2002, 435). Dalam hal ini kekurangan disamakan dengan kejahatan. Selain dipenjarakan, orang-orang yang menyimpang dipertontonkan. Maksudnya adalah menunjukkan kepada masyarakat betapa dekatnya manusia dengan binatang, dan manusia lain akan diperlakukan secara yang sama apabila mereka keluar dari batas-batas yang dipandang waras oleh masyarakat. Dalam keseluruhan penanganan atas penyimpangan-penyimpangan ini, psikiater atau aparat sebenarnya tidak berperan sebagai ilmuwan, tetapi sebagai kekuasaan yang mengadili.

Dalam teori genealogi kekuasaan � pengetahuan, Michael Foucault berhasil mengekplorasi kekuasaan dan pengetahuan sebagai efek ketidakadilan ekonomi, politik, sosial, dan budaya melalui �kegilaan & peradaban,� �kekuasaan & seksualitas,� dan �Diciplin & Punish,� untuk membuktikan bahwa pengetahuan tidak terpisah dengan kekuasaan dan kekuasaan selalu memproduksi pengetahuan. Dengan demikian, maka teori ini akan dipakai untuk �membongkar� rahasia populisme (Trump & Xi) dan perang dagang, populisme (Trump & Xi) dan demokrasi (AS & Cina), populisme (Trump & Xi) dan otoritarianisme (AS & Cina), sebagai efek relasi kekuasaan � pengetahuan atau rule of immanence.

 

Fantasi Kekuasaan Donald Trump

Narasi besar modernism mendapatkan perlawanan dalam arena pertarungan wacana. Ia terbatasi oleh relasi kuasa. Di mana Trump menjadi sumber pembentuk wacana perlawanan terhadap yang dianggap normal. Retakan sejarah kebenaran universal kaum modern lumpuh dalam kekuasaan Trump. Slogan tentang �Make America Great Again� menjadi kekuatan bangsa AS dalam mempertahankan kekuasaan global. Kendati demikian, kebijakan luar negeri yang kontroversial diambil, mulai dari terpilihnya Trump sebagai presiden AS, perang dagang antara AS dan Cina, isu nuklir Iran, dan kebijakan Trump paling kontroversi yaitu pembunuhan Jenderal Iran Qasem Soleimani.

Beberapa pemikir menyatakan bahwa yang nyata itu tidak nyata atau tertukar, seperti Baudrillard, dengan "hyperreal" yang paling baik terkait dengan dunia taktil melalui media tanda. Foucault, dengan permainan kekuasaan dan silsilahnya. Derrida, pemikir postmodernisme, menyatakan bahwa sebuah teks adalah fenomena yang meragukan karena "ia menyembunyikan komposisi dan aturan mainnya..." Penyembunyian ini memungkinkan meta narasi untuk mengklaim "kebenaran." Lyotard dengan lugas mengartikulasikan konsekuensi dari pandangan ini ketika dia menyatakan: "Menyederhanakan secara ekstrem, saya mendefinisikan postmodern sebagai ketidakpercayaan terhadap meta naratif ..." Sekarang apa sebenarnya arti kata besar "meta naratif" ini? Jawaban: Apa pun yang terkait dengan cita-cita pencerahan sains dan teknologi, dan itu juga termasuk kemajuan kontemporer dalam kecerdasan buatan (Bauman 2017).

Michiko Kakutani, kritikus budaya dan penulis �The Death of Truth� menyalahkan relativisme yang memfasilitasi kebangkitan Trump pada akademisi yang mempromosikan postmodernisme. Meratapi keadaan politik Amerika di bawah Trump, filsuf Daniel Dennett mengatakan dalam sebuah wawancara tahun lalu bahwa apa yang dilakukan kaum postmodernis benar-benar jahat (true evil). Dan ketika Rudy Giuliani baru-baru ini mengatakan kepada Chuck Todd dari NBC bahwa bukan pertama kalinya tim hukum Trump berperan sebagai postmodernis dan mengisyaratkan bahwa mungkin terlalu sulit untuk membedakan kebenaran karena itu semua relative�(Hanlon 2018).

Narator fiksi yang dinamis, yang memberi kami semua buku seperti Fates and Furies karya Lauren Groff, acara TV seperti The Affair, dan film seperti Rashomon karya Kurosawa, memberi Trump dan pasukannya kemampuan untuk lolos dengan fakta alternatif�(McIntyre 2018). Mereka mengizinkan Bill Clinton untuk mengatakan kebenaran "tergantung pada apa arti dari kata 'adalah' itu sendiri" dan para pendukung Trump sebagaia presiden Trump mengatakan, bahwa media hanya membacanya terlalu harfiah. Sudut pandang bahwa semua kebenaran adalah parsial (dan fungsi dari perspektif seseorang), kata Kakutani adalah bagaimana kreasionis menyimpulkan bahwa sekolah harus mengajarkan keduanya yaitu positivist dan post-positivist; truth and post-truth; modern and post-modern.

Jika kita bergenealogi dengan Postmodernisme, kita akan mendapatkan istilah �postmodern�, setidaknya dalam pengertian filosofisnya saat ini, dari judul buku Jean-Fran�ois Lyotard tahun 1979 yaitu �The Postmodern Condition: A Report on Knowledge��(Hanlon 2018). Ini menggambarkan keadaan zaman kita dengan pengamatan Lyotard bahwa masyarakat menjadi "masyarakat konsumen," "masyarakat media" dan "masyarakat pasca-industri," seperti yang ditunjukkan oleh ahli teori postmodern Fredric Jameson dalam kata pengantarnya untuk buku Lyotard. Lyotard melihat perubahan skala besar ini sebagai pengubah permainan untuk seni, sains, dan pertanyaan yang lebih luas tentang bagaimana kita mengetahui apa yang kita ketahui�(Hanlon 2018). Ini adalah diagnosis, bukan hasil politik yang dia dan ahli teori postmodernis lainnya agitasikan untuk dibawa.

Menjelang 1980-an, para sarjana konservatif seperti Allan Bloom � penulis buku berpengaruh �The Closing of the American Mind� �memahami bahwa postmodernisme tidak muncul begitu saja dari teori-teori kesayangan para profesor bahasa Inggris yang bandel. Sebaliknya, dia melihatnya sebagai momen budaya yang dibawa oleh kekuatan yang lebih besar dari universitas. Dalam dunia akademis, bagaimanapun, Bloom sangat khawatir tentang siswa - sebagai cerminan masyarakat pada umumnya - mengejar kepentingan komersial di atas kebenaran atau kebijaksanaan. Menggambarkan apa yang dia lihat sebagai pengaruh berbahaya dari musik pop, Bloom menyesalkan "kehilangan kendali orang tua atas pendidikan moral anak-anak mereka pada saat tidak ada orang lain yang benar-benar peduli dengan itu." Dia menyebut industri musik rock "kapitalisme sempurna, memenuhi permintaan dan membantu menciptakannya," dengan "semua martabat moral perdagangan narkoba."

Para kritikus yang berhaluan kanan dalam beberapa dekade sejak Bloom, dengan kasar mengubah argumen ini menjadi tuduhan bahwa postmodernisme dibuat bukan oleh konsumerisme dan perkembangan sosial dan teknologi skala besar lainnya, tetapi oleh akademisi kiri yang berbahaya, atau apa yang disebut Kimball sebagai �Tenured Radicals� dalam polemiknya pada tahun 1990 melawan kaum kiri akademis. Inti dari tuduhan ini adalah kecenderungan untuk memperlakukan postmodernisme sebagai bentuk politik sayap kiri � dengan seperangkat prinsipnya sendiri � daripada sebagai momen budaya yang lebih luas yang didiagnosis oleh akademisi sayap kiri.

Relativisme telah meningkat sejak perang budaya dimulai pada 1960-an. Saat itu, ia dianut oleh Kiri Baru, yang sangat ingin mengekspos bias pemikiran barat, juga borjuis, yang didominasi laki-laki; dibantu oleh para akademisi yang mempromosikan postmodernisme, yang berpendapat bahwa tidak ada kebenaran universal, hanya kebenaran pribadi yang lebih kecil � persepsi yang dibentuk oleh kekuatan budaya dan sosial pada masa itu. Sejak itu, argumen relativistik telah dibajak oleh populis (Gusterson 2017).

Banyak media masa yang menuliskan bahwa tidak ada peristiwa yang menggambarkan hal ini lebih dari kekuasaan politik Donald J. Trump. Berangkat dari fakta bahwa pendukungnya yang terutama kelas pekerja kulit putih, mayoritas buruh atau pekerja lepas tanpa gelar sarjana, populasi yang dilihat tampaknya akan melawan penyebaran dekonstruksionisme dan memilih mengikuti arus lainnya. Namun faktanya, para pendukung Trump sering disebut-sebut menganggap presiden pilihan mereka bebas dari kewajiban untuk semua -isme dan pidato yang benar yang �sudah seharusnya� dilakukan oleh Presiden secara politis. Feminisme, Sosialisme, Genderisme: Trump membantah semuanya dengan kata-kata sederhana, dengan dalih �menceritakan apa adanya�, walau terdengar absurd, tapi ia memiliki panggung bagi pendukungnya yang ingin menolak arus mainstream politik global saat ini.

Jika berbicara tentang kekuasaan-pengetahuan (power-knowledge) bagi kaum postmodernis pasti akan langsung terbayang wajah pencetusnya yaitu Michel Foucault. Jika kita sudah membahas Derrida dan Baudrillard, rasanya akan tidak sempurna jika kita tidak membahas Foucault. Bagaimana Foucault memandang Trump sebagai Presiden, dan Trumpisme di AS secara lebih umum? Secara lebih spesifik, bagaimana kita bisa melihat dan menerapkan genealogical insight atau metode genealogi dari Foucault untuk lebih memahami situasi politik Trump di AS? Dalam tulisan ini, penulis membuat sketsa perspektif dan skala temporal atau periodisitas untuk genealogical construction Kepresidenan Trump. Bertumpu pada kecenderungan Foucault untuk memperdalam pemahaman kita melalui pembacaan sejarah alternatif, mengeksplorasi isu-isu pelengkap pengetahuan, kekuasaan, dan subjektivitas yang disarankan oleh framing genealogi Trump/isme yang berbeda (Knauft 2016).

Bagi Trump, tujuan ekonomi dan budaya harga diri yang tinggi tampak lebih penting daripada sekadar hadiah politik dari Kepresidenan itu sendiri. Jika ingin mengejar perspektif Marxis, kita dapat menteorikan kembali hubungan yang lebih besar antara ekonomi, politik, dan media dalam Trump dan Trumpisme, termasuk bagaimana mode produksi digital baru yang dominan menggembleng tidak hanya alat produksi baru tetapi juga hubungan baru produksi yang dimediasi secara sosial. Kontrol yang berpengaruh atas produksi diri yang dimediasi menyindir dan menghasut subjektivitas dengan cara baru yang mudah diperkuat oleh ideologi jahat dan kebohongan paranoid. Ini mengintensifkan dan meningkatkan siklus kebencian yang sangat menguntungkan. Hasilnya bukan hanya perubahan teknologi tetapi juga perubahan ekonomi politik: akumulasi melalui perampasan ekonomi perhatian subjektif.

Sebuah siklus tunggal mengedepankan keputih-putihan ultra-Kanan Trump sebagai reaksi rasis terhadap multietnis kiri-tengah Obama yang masuk akal, dengan Black Lives dan bahkan Puerto Rico yang mungkin benar-benar penting. (Terhadap ini adalah komentar Trump yang meremehkan tentang Karibia dan apa yang dia sebut sebagai �negara lubang kotoran� Afrika (Davis et al. 2018)). Mengikuti siklus Trump-setelah-Obama yang saat ini kacau, haruskah kita mengharapkan jeda antara polaritas post-truth mereka, atau upaya lain yang tampak terbelakang untuk membuat Amerika liberal lagi�apa yang akan disebut oleh Zygmunt Bauman (Bauman 2017) sebagai jalan lain untuk retrotopia? Seperti Trump merindukan masa lalu Amerika yang gemilang yang telah ditinggalkan sebagai tidak ada tetapi belum mati, ini akan menjadi mundur dari memajukan modernitas bukan dengan menolaknya tetapi dengan merangkul nostalgia versi lain dari faksimili yang diproyeksikan di masa lalu. Sulit untuk membayangkan bahwa perpecahan Amerika yang mendalam�sekarang memantul dan memperkuat diri di begitu banyak cabang seperti budaya, agama, dan politik-ekonomi�akan dengan mudah ditutup-tutupi apalagi dibubarkan dengan dalih ke �pemerintah seperti biasa.� Sebaliknya, Kepresidenan Trump tampaknya merupakan bagian integral dari �Regresi Hebat� yang lebih besar di zaman kita (Geiselberger 2017)�sebuah dunia yang tampaknya tiba-tiba bergerak mundur melintasi begitu banyak front progresif atau setidaknya liberal�secara politis, etis, lingkungan, budaya, dan dalam kesetaraan ekonomi (Luce 2017). Pernyataannya bahwa imigran Meksiko adalah �pemerkosa� dan �penjahat.� Masing-masing deklarasi ini terhubung dengan pendakian spektakuler Trump dengan serangkaian pernyataan rasis, masing-masing tidak bertumpu pada kekuatan bukti tetapi pada keyakinan intuitif dan tingkat naluri.

Foucault memperingatkan kita agar tidak memandang hal-hal di atas sebagai sesuatu yang eksklusif�seolah-olah kita dapat menemukan "optik yang tepat" untuk menetapkan sejarah "benar", �seharusnya� dan �terbaik� dan paling kritis saat ini. Sebaliknya, kita akan lebih disarankan untuk mempertanyakan asumsi yang lebih dalam yang menginformasikan pembingkaian silsilah politik untuk memulai, untuk menginterogasi tidak hanya bagaimana perbedaan optik itu sendiri tetapi, setidaknya jika tidak lebih penting, apa yang mereka bagikan�apa yang mereka bagikan dengan cara asumsi mendasar tentang kemajuan dan pembangunan manusia dan hak, meskipun dan bahkan terutama di tengah oposisi yang tampaknya kuat antara pandangan Kanan dan Kiri.

Propaganda, ekses yang tidak tahu apa-apa dari trik Trump, kemudian, melacak, dan dengan sendirinya dilacak oleh genealogi ras, tatanan epistemik, yang dengan keteguhan yang mendalam � di hadapan bukti penyeimbang yang tak terbantahkan � telah lama mengorganisir kebenaran dan fakta sebagai kategori "kekuatan-pengetahuan" yang sangat berpacu.� Tentu saja, kecenderungan cepat dan longgar dari pemerintahan baru tidak kurang dari kewaspadaan tanpa henti karena mereka, tanpa diragukan lagi, oportunistik, kurang bertanggung jawab, dan cenderung premature. Namun krisis post-truth/post-fact juga mengundang wawasan tentang seluruh medan kontestasi epistemik yang menandai otoritas pengetahuan resmi justru dalam pertemuan mereka dengan kontra-pengetahuan yang tidak menyenangkan. Taruhan krisis saat ini, kemudian, juga memungkinkan kita melihat sekilas modalitas disiplin fakta dan kepalsuan itu sendiri sebagai kategori kekuasaan � pengetahuan tertanam dalam perjuangan yang mengotorisasi beberapa kebenaran dan menindas yang lain, dan diminta untuk mempertahankan tatanan dominan.

Dengan demikian, secara global, dunia multipolar muncul tidak seperti yang diharapkan banyak pendukungnya � oleh mantan negara adidaya dengan anggun mengakui pesaing klub elit mereka yang telah membuktikan diri dengan politik yang bertanggung jawab dan kinerja ekonomi yang kuat. Multipolaritas yang muncul seperti yang kita amati berasal dari kekosongan dramatis yang tersisa setelah kematian atau penarikan negara-negara adidaya sebelumnya yang memiliki visi global dan menerima tanggung jawab global, bahkan jika saling bertentangan.

Tantangan untuk pemahaman intelektual tidak hanya konseptual. Jajak pendapat PEW menemukan bahwa 58% dari Partai Republik dan independen yang condong ke Partai Republik di AS sekarang berpikir bahwa pendidikan perguruan tinggi memiliki dampak negatif secara keseluruhan di Amerika (Fingerhut 2017). Dengan demikian, perubahan pajak federal yang sekarang disahkan oleh DPR AS diproyeksikan akan menghukum mahasiswa dan mahasiswa sebesar $65 miliar selama dekade berikutnya (Hess 2017). Ketentuan termasuk pajak federal baru, yang pertama dalam sejarah, atas pendapatan abadi perguruan tinggi dan universitas swasta elit�sambil menciptakan manfaat pajak tak terduga untuk bisnis dan yang terkaya (Green 2017; Hartocollis 2017; Meyers dan Read 2017). Meskipun RUU ini mungkin atau mungkin tidak melanjutkan ke persetujuan Presiden tanpa modifikasi, pemimpinnya jelas.

Trump pernah berperang dengan MSNBC, di mana meningkatnya tepi media liberal mendorong serta mencerminkan kemarahan sang presiden (pada saat itu)�termasuk ancaman terselubung oleh Trump untuk mencabut lisensi penyiaran federal MSNBC. CNN mungkin juga berisiko: menyusul keluhan Trump tentang liputan medianya, Departemen Kehakiman telah menekan perusahaan induknya untuk menjualnya�yang akan menempatkan layanan berita CNN pada potensi belas kasihan dari kecenderungan politik pemilik baru (NY Times Board 2017). Menggemakan Breitbart News dan FOX, miliarder alt-Right Koch bersaudara menghabiskan mega-jutaan untuk akuisisi media baru (Ember dan Sorkin 2017; Mayer 2016). Sesuai persetujuan FCC, alt-Right Sinclair news siap menjangkau 72% rumah tangga Amerika melalui saluran berita TV lokal (Kroll 2017a; 2017b). Di mana ini akan mengarah pada saat makalah ini diterbitkan tidak mungkin diketahui. Delapan puluh tiga persen dari Partai Republik saat ini memberi Trump peringkat persetujuan yang menguntungkan, peningkatan selama dua bulan sebelumnya (Gallup News 2017). Dalam konteks ini, analisis di luar detail menawan sementara tampaknya sama sulitnya dengan pentingnya.

Semakin dekat dengan profesi kita, akhir sejarah yang diumumkan oleh Francis Fukuyama telah membawa kematian pemikiran sejarah sebagai fakultas mengalami dimensi keempat dari dunia fisik � waktu. Sejarah sebagai domain otonom, bahkan jika ditopang oleh imajinasi kita, telah runtuh menjadi proyeksi dua dimensi dari berbagai peristiwa masa lalu di bidang penilaian modern, moral dan politik kita saat ini. Masa lalu telah kehilangan otonomi apa pun, dan prinsip historisisme positivis lama telah kehilangan makna. Plastisitas Orwellian di masa lalu, terbuka untuk membentuk kembali radikal setiap kali kebutuhan hari ini membutuhkannya, dulu dilihat sebagai karakteristik mendasar dari rezim totaliter, sementara sekarang diharapkan dalam masyarakat demokratis.

 

Fantasi kekuasaan Xi Jinping

Mendengar nama Xi Jinping, maka tidak asing lagi bahwa ia dikenal sebagai sosok yang sangat berpengaruh bagi kemajuan Cina hari ini. Di bawah naungannya, Cina telah dipandang sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam kurun waktu dua dekade terakhir. Hal itu dibuktikan, salah satunya, dengan Cina sebagai negara yang masuk pada ekonomi terbesar kedua di dunia dengan nilai mencapai $US 14 triliun. Cina juga pernah menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan GDP tertinggi di dunia�(IMF 2018), maka tidak dapat dibantah bahwa Cina telah membuktikan dirinya sebagai suatu kekuatan baru di dunia. Kepemimpinan Xi Jinping atas Cina menjadi suatu era yang istimewa bagi kemajuan Cina, di mana Xi Jinping berhasil memberi warna tersendiri pada citra Cina yang semakin maju.

Kemajuan Cina hari ini memang tidak dapat dipisahkan dari sosok Xi Jinping. Ia disebut-sebut sebagai orang paling berkuasa di Cina, karena itu selanjutnya perlu untuk diketahui lebih dalam tentang bagaimana Xi Jinping memimpin negara Cina, serta nilai atau karakteristik yang dianutnya. Nilai-Nilai Sosialis inti telah menjadi ciri khas era Xi Jinping. Salah satunya, terlihat dari payung wacana Impian Cina (Chinese Dream), di mana nilai-nilai Sosialis telah mewakili visi pemerintahan Xi terkait hubungan masyarakat serta warga negara Cina. Nilai sosialis inti dalam kepemimpinan Xi melalui Partai Komunis Cina (PKC) mengisyaratkan daya tariknya untuk beresonansi dengan orang-orang yang ingin dikuasainya. Pada tahun 2017, Kongres Partai ke-19 secara resmi memasukkan �Pemikiran Xi Jinping tentang Sosialisme dengan Karakteristik Cina untuk Era Baru� ke dalam konstitusi PKT�(Ni 2018).

Sejak awal pemerintahannya, Xi Jinping sudah sangat aktif melakukan perubahan-perubahan dalam berbagai aspek yang sangat besar dan efektif dalam memajukan masyarakat Cina, ditambah lagi segala program dan upaya yang dilakukan Xi didasari pada sikap yang berpihak pada rakyat. Dilihat dari model atau gaya kepemimpinan Xi Jinping, maka tidak mengherankan bahwa ia mendapatkan penghormatan yang besar dari rakyatnya. Nilai-nilai sosialis khas Cina di era Xi Jinping telah menghasilkan suatu kecenderungan rakyat Cina memiliki rasa nasionalis yang sangat tinggi, serta pemimpin negara menjadi sosok yang sangat diidolakan. Sehingga negara sangat berkuasa mengatur setiap sendi kehidupan masyarakatnya. Melihat fakta yang menunjukan pengaruh besar sosok Xi Jinping bagi masyarakat Cina, maka sangatlah menarik untuk pertama-tama mengetahui lebih dalam pemikiran dan kehidupan Xi hingga dapat menjadi sosok yang berpengaruh seperti saat ini.

Seperti yang diketahui bersama bahwasanya Cina di era Xi Jinping telah bergerak menuju kepada apa yang disebut sebagai �kekuatan dunia� di mana hal itu diakui negara-negara lain yang menjalin dan mendukung berbagai kerja-sama atas kebijakan-kebijakan luar negeri Cina. Namun di pihak lain, terdapat satu kekuatan dunia yang sejak lama tak dapat terbantahkan itu, Amerika Serikat. Ia kini �merasa� tersaingi oleh Cina yang �dipercayai� oleh masyarakat internasional sebagai kekuatan baru. Sehingga dapat diargumentasikan bahwa kekuatan Cina di bawah kepemimpinan Xi Jinping bergerak cukup masiv hingga menjadikan dirinya sebagai �The Rising Power� menyaingi �kekuatan dunia� yang sebelumnya telah ada dan berkuasa di Kancah global.

Pada dua dekade terakhir, seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina, maka naiklah juga pengaruh Cina di dunia. Subbab ini menjelaskan kekuasaan Cina dalam Kancah global, yaitu yang dimaksud di sini ialah beberapa kawasa di dunia, antara lain Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Pasifik, dan Afrika. Di mana negara-negara yang ada pada kawasan tersebut telah mempercayai dirinya pada citra Cina yang semakin membaik untuk masuk pada lingkup kekuasaan Cina di bawah konfusionisme. Melalui pendisiplinan budaya, negara mendapatkan persetujuan spontan dari rakyat kawasan mengenai eksistensi Cina. Dalam bahasa Gramsci �able to present itself as an integral �state,� possessing all the intellectual and moral forces it needed to organize a complete and perfect society.� Ia menjelaskan bentuk kekuasaan yang inheren di dalam diri warga global sehingga berdampak signifikan terhadap pengendalian pikiran atau efek budaya.

Statolatri memberikan efek ketergantungan, di mana negara menjadi sesuatu yang normal, sehingga sangat mustahil hidup di luar negara. Hal ini menegaskan bahwa tidak ada kehidupan yang normal di luar dari pada negara. Kekuasaan model ini menargetkan masyarakat sipil global di era kontemporer, di mana basis struktur yaitu ekonomi memainkan peran penting dalam hal persetujuan aktif berbudaya. Dengan demikian, dalam upaya penguasaan global, statolatry adalah ujung tombak kekuasaan ekonomi melalui instrument budaya konfusionisme. Slogan Kebangkitan damai Cina dibawah Xi Jinping melalui program belt and road initiative (BRI) mengkerangkai diskusrsus kekuasaan budaya

 

Diskursus Kekuasaan Trump dan Xi

Masa kini selalu memaksakan dirinya pada pemahamannya tentang masa lalu, dan persepsi masa lalu ini kemudian berinteraksi di masa sekarang ketika membuat rencana besar untuk masa depan. Namun, pemeriksaan kebesaran Cina di masa lalu menunjukkan lebih banyak adaptasi terhadap keadaan yang berubah�seringkali keadaan berbahaya�daripada menunjukkan implementasi dari beberapa visi yang sudah ada sebelumnya. Memang, apa pun yang dapat dikatakan tentang prinsip-prinsip tetap dan asumsi filosofis yang bertahan lama dari strategi Cina, implementasinya sering kali merupakan produk dari argumen pahit, dan bahkan kekerasan, dalam sistem politik, argumen yang, pada gilirannya, merupakan hasil dari hubungan yang sangat rumit antara sistem pemerintahan dan kandungan budaya tinggi. Keadaan di dunia di sekitar Cina dapat berubah secara tiba-tiba, sehingga menggerakkan perkembangan yang sama sekali tidak terduga di dalam Cina. Bahkan dengan berlalunya berabad-abad, cara kerja hubungan-hubungan itu di masa lalu yang jauh masih menjadi bahan perdebatan sengit di masa sekarang.

Hari ini, ingatan kebesaran nasional masa lalu terjadi dalam konteks yang cukup dapat digambarkan sebagai lingkungan modern, bahkan ketika idiomnya berubah dan mungkin sedang dalam perjalanan menuju sesuatu yang baru. Tapi itu tidak terjadi namun demikian modernitas tetap menjadi konsep yang sangat kaya. Yang modern tentu terikat dengan kemajuan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi, dan kekayaan yang dihasilkan oleh kombinasi itu; kami menghubungkan modern ke produktif dan efisien. Tetapi modern juga merupakan cara berpikir tentang sesuatu, atau pandangan, atau kepekaan. Istilah "modern" juga merupakan cara untuk menggambarkan beberapa produk budaya, karena seni modern dan sastra modern dapat dikenali dari apa yang mendahuluinya. Jadi, ada lebih dari satu cara bagi seseorang untuk berpikiran modern, dan orang yang menganut modern sebagai cara hidup di satu bidang kehidupan dapat sepenuhnya menolak "modern" sebagai cara hidup di bidang lain.

Cina sangat terpesona oleh konsekuensi modernitas di dunia Barat. Dan justru karena perjumpaan Cina sendiri dengan modernitas, dalam segala aspeknya, sejauh ini terbukti sangat produktif dan sangat merusak, orang Cina saat ini sangat bersemangat dan sangat gelisah karenanya. Semua ini dipajang di pusat kota Beijing; seolah-olah kekuatan yang bersaing dalam dua abad terakhir telah berkumpul di satu bagian kecil dari real estat perkotaan. Kota Terlarang para kaisar Qing berbatasan dengan tepi utara Lapangan Tiananmen. Kompleks istana dan kantornya merupakan ekspresi klasik dari arsitektur tradisional Cina terbaik�simetris, seimbang, dan mencerminkan prinsip harmoni kosmologis Cina kuno. Tapi Kota Terlarang lebih dari sebuah karya seni; itu juga merupakan pusat saraf dari salah satu kerajaan besar dalam sejarah dunia, yang dirancang untuk mengintimidasi dan menginspirasi kekaguman.

Cina telah hidup melalui serangkaian sistem dunia, masing-masing mengekspresikan visi hegemon zaman�apakah Mongol, Manchu, atau Barat�dan masing-masing sistem ini pada gilirannya telah digantikan. Cina mungkin berpikir bahwa kali ini, melalui pertambahan kekayaan dan kekuasaannya yang berkelanjutan, akhirnya akan mendapatkan kesempatan untuk tampil di depan sejarah dan hadir pada penciptaan sistem internasional baru dengan cara yang belum pernah terjadi selama berabad-abad. Jika demikian, bagaimana sistem seperti itu bisa terjadi? Bagaimana cara kerjanya?

Pertanyaan serupa turun dari situasi historis yang berbeda dari zaman Ming, Pax Sinica. Kemudian, ada Cina yang lebih kohesif dan bersatu�Cina dengan rasa dirinya yang lebih maju dan perbedaannya dari yang lain�tetapi Cina juga sangat tertarik pada revolusi dunia dalam teknologi, perdagangan, dan ekonomi. Itu menandakan transformasi politik dunia yang sebanding. Khususnya, tentang pentingnya perdagangan maritim dunia bagi Cina pada masa itu, pemerintah Cina saat ini telah menemukan analogi yang tak tertahankan dengan preferensi kebijakannya sendiri. Ketika para sarjana kontemporer Cina, yang diberdayakan, menyelidiki era ini dengan lebih hati-hati, mereka telah menemukan tidak hanya statistik baru tentang persyaratan perdagangan tetapi juga bagaimana efek partisipasi dalam ekonomi dunia merangsang pemikiran Cina tentang ekonomi dan politik. Orang Cina, kemudian, menemukan bahwa mereka dapat sangat dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi baru yang sekarang longgar di dunia, tetapi mereka sama sekali tidak puas dengan seberapa baik mereka memahaminya. Cara kerja dari apa yang sekarang disebut pasar global itu misterius, dan ketidakmampuan orang Cina untuk menguraikannya demi kepuasan mereka menciptakan rasa kerentanan. Jadi, ada orang yang menganut cara baru dan ada yang menolaknya.

Sementara itu, ada argumen lain dari sejarah�yang diturunkan dari sejarah dinasti Qing dan Pax Manjurica-nya�yang menghantui perdebatan yang sedang berlangsung di dalam Zhongnanhai. Bagi para pemimpin Cina yang tinggal di sana, tugasnya adalah menilai kerentanan yang diberikan kepada negara mereka oleh globalisasi saat ini dan kemudian menemukan cara untuk melindungi diri dari mereka. Di sini, mediasi antara imperial dan modern terjalin dengan baik, karena sejarah modern memberi petunjuk tentang bagaimana kekuatan yang meningkat mengatasi kerentanan dan ketidakpastian yang menyertai pertumbuhan kekayaan dan kekuasaan yang berasal dari keterlibatan dalam sistem ekonomi internasional.

Oleh karena itu, Wallerstein menulis dalam bukunya Decline of American Power (Wallerstein 2003, hlm. 27) bahwa, �pertanyaan sebenarnya bukanlah apakah hegemoni AS memudar tetapi apakah Amerika Serikat dapat menemukan cara untuk turun dengan anggun, dengan kerusakan minimal pada dunia. dan untuk dirinya sendiri�. Dari perspektif sistem dunia, penerima manfaat terbesar dari gejolak saat ini di AS adalah Cina�dan terlebih lagi sejauh kekuasaan Cina dilatarbelakangi oleh keasyikan diri Amerika (Arrighi 1999). Dalam hal ini, sangat luar biasa bahwa Trump dalam kunjungan kenegaraannya baru-baru ini ke Kerajaan Tengah �memproyeksikan sikap hormat kepada Cina yang hampir tidak pernah terdengar bagi seorang Presiden Amerika. Jauh dari menyerang Xi dalam perdagangan [seperti yang telah dilakukannya tanpa henti selama kampanye pemilihan] Trump memberi hormat kepadanya karena memimpin negara yang dia katakan telah meninggalkan Amerika Serikat 'begitu jauh di belakang.'� (Landler et al. 2017).

Penurunan hegemoni Amerika telah memasukkan Perang Teluk I & II yang sangat mahal dan tidak menguntungkan serta hiperbola yang meningkat dari �perang melawan teror� (lihat Ali 2002; Harvey 2003; Knauft 2007). Tidak mengherankan, �retrotopia� Bauman (Bauman 2017) umumnya ditemukan di negara-negara hegemonik atau kekaisaran yang gagal. Secara lebih umum, seperti yang disarankan Appadurai (2017), hilangnya kedaulatan ekonomi di negara-bangsa saat ini meningkatkan penekanan kompensasi mereka pada kedaulatan budaya�yang pada gilirannya memicu munculnya populisme otoriter. Di AS, rasa kecakapan nasional yang gagal ditandai dengan jelas jika tidak diabadikan dalam upaya reaktif Trump untuk "Membuat Amerika Hebat Lagi".

Faktanya, dari sudut pandang ekonomi politik global, Trump melakukan hal sebaliknya�membakar negara adidaya terbesar di dunia dari dalam dengan mendekonstruksi, mendelegitimasi, dan meledakkan pemerintahannya sendiri. Ini baik dengan secara eksplisit membatasi dan mengurangi layanan pemerintah dan memicu pengunduran diri dan pensiun karyawan nasional karir (misalnya, Harris 2017; Friedman et al. 2017). Dari perspektif itu, radikal pascakolonial yang benar-benar berkomitmen mungkin bertanya apakah kita harus mendukung dekonstruksi Trump terhadap pemerintah Amerika, mempercepat penurunannya. Namun, dalam campurannya, radikalisme Kiri kemudian berdiri di samping nasionalisme kulit putih yang merusak: lingkaran Leninis ditutup.

Dalam daftar yang lebih besar, dapat dikatakan bahwa peristiwa saat ini sebenarnya menandakan kontinuitas daripada perpecahan antara konservatisme dan neoliberalisme (lih. Harvey 2007). Dalam pandangan kritis ini, perbedaan nyata mereka hanya mengarah ke amplitudo yang lebih tinggi dari osilasi gabungan mereka. Beberapa dari kita cukup tua untuk mengingat bagaimana kemunduran pemilih AS tampaknya dalam memilih Richard Nixon, termasuk untuk kedua kalinya, atau Ronald Reagan, termasuk untuk kedua kalinya, atau George W. Bush, termasuk untuk kedua kalinya�diselingi dengan Jimmy Carter, Bill Clinton, dan kemudian Barack Obama. Apa sebenarnya yang sekarang berbeda, dan lebih buruk, dalam momok terus-menerus Trump dan akibatnya?

Dukungan populer untuk Trump�dan suara elektoral utama yang memungkinkannya memenangkan kursi kepresidenan�tentu saja datang terutama dari petak-petak AS yang tertekan secara ekonomi yang telah secara sistematis dikesampingkan oleh pendidikan dan pertumbuhan pendapatan yang maju, terutama di daerah pedesaan dan perkotaan yang kesulitan. Kemarahan mereka yang setengah menganggur, kurang berpendidikan, kurang sopan, dan dipandang sebagai regresif oleh elit progresif sekarang tampaknya sama ganasnya dengan yang sebelumnya diabaikan.

Personalisasi kuat politik Cina dan Amerika di era Xi dan Trump membentuk hubungan antara kedua negara. Negara-negara ketiga juga tidak tersentuh oleh gaya kepemimpinan Xi dan Trump, baik dalam arti harus menghadapi dampaknya atau melalui godaan untuk meniru mereka. Pengaruh pembuat keputusan individu dan gaya kepemimpinan mereka merupakan faktor penentu untuk orientasi kegiatan kebijakan luar negeri.1 Hal yang sama berlaku untuk penilaian prospek keberhasilan, penerimaan di antara pendukung dan peluang realisasi di internasional. - lingkup nasional. Khususnya dalam sistem politik presidensial, kemampuan kepemimpinan dan gaya kepala negara sangat penting untuk mengelola proses perubahan dan mendapatkan pendukung baru. Oleh karena itu, pemeriksaan gaya kepemimpinan memberikan wawasan tentang dinamika pemerintahan.

Presiden Cina dan Amerika Serikat telah mendefinisikan kembali scope kebijakan luar negeri mereka, baik dalam struktur internal negara mereka maupun dalam hubungan eksternal mereka. Di Amerika Serikat, Presiden Trump kala itu meminimalkan pengaruh Departemen Luar Negeri, di Cina Partai Komunis di bawah Presiden Xi telah mengambil kendali atas keputusan kebijakan luar negeri. Proses politik internasional dan sumber daya domestik sangat ditentukan oleh perbedaan gaya kepemimpinan kedua presiden. Dengan memusatkan struktur Partai Komunis, Xi telah menghentikan aliran kekuatan pengambilan keputusan politik ke instansi-instansi birokrasi dan menangkal erosi kapasitas kontrol politik. Trump telah membangun hubungan langsung dengan basisnya dengan melewati struktur aparat Partai Republik dan menciptakan �klub penggemar� pribadi. Namun gaya kepemimpinan kedua presiden tidak dapat dijelaskan hanya dari segi karakter masing-masing. Mereka juga bergantung pada cara kekuasaan presidensial tertanam dalam konteks kelembagaan dari sistem pemerintahan masing-masing.

Presiden AS Trump menampilkan dirinya sebagai �pembuat kesepakatan�, �negosiator keras� yang lebih mempercayai keterampilan negosiasinya sendiri daripada kemampuan korps diplomatik. Dia melakukan segala cara untuk mengejar kesombongan diri yang dia pamerkan di atas segalanya untuk para pengikutnya di rumah. Dalam pendekatan �transaksional� terhadap kebijakan luar negeri, pencampuran agenda politik membuat segala sesuatu menjadi �negotiable�. Di sini pengaturan pribadi dengan kepala negara lain dan ritual saling pengakuan menggantikan perjanjian dan kesepakatan antara negara bagian dan kementerian.4 Metode ini bergantung pada hubungan transversal dari semua bidang kebijakan yang memungkinkan untuk menghasilkan tekanan politik dan menunjukkan otonomi tindakan pribadi. Dimana logika yang melekat pada masing-masing bidang kebijakan diabaikan atau pandangan hilang dari efek samping yang terkait, koridor tindakan yang telah dicoba dan diuji menjadi tertutup. Oleh karena itu, gaya kepemimpinan Trump mencerminkan semua kontradiksi dari harapan heterogen yang ditempatkan pada perilakunya, yang harus ia penuhi dalam politik domestik dan vis-�-vis para pendukungnya. Aparat diplomatik memiliki sedikit kesempatan untuk memoderasi hal ini, apalagi mengoreksi.

Dengan melakukan sentralisasi ekstrem aparat kebijakan luar negeri, kepala negara Cina telah berhasil menggabungkan tindakan institusional dengan kekuatan pribadi. Xi menampilkan dirinya sebagai �ketua segalanya� di dalam dan luar negeri, mengamankan peran ini dengan mencari dan menemukan dukungan kuat dalam hierarki partai dan pemerintahan. Berdasarkan posisi sentralnya di partai dan negara bagian, Xi memegang semua kartu. Ia menguasai bidang politik luar negeri dengan membentuk Komisi Pusat Luar Negeri dari Komite Sentral Partai Komunis dan menempatkannya di bawah kekuasaannya. Perampingan pemerintah dan aparat partai oleh Xi merupakan bagian dari proses di mana sistem Cina telah bertransisi dari bentuk otoritarianisme yang terfragmentasi ke bentuk otokratis. Gaya kepemimpinan dan kultus kepribadian Xi Jinping dapat digambarkan sebagai �transformatif� (Landler 2017).

Ini tidak hanya berlaku untuk basis kekuatan domestiknya, yang telah diperkuat Xi selama reformasi partai dan pergeseran terkait dari kepemimpinan kolektif ke personalistik. Aspek transformatif juga terlihat secara eksternal: Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) membentuk narasi global menyeluruh yang mendukung klaim Cina atas peran yang luar biasa, di mana banyak aktor yang sampai saat ini hanya beroperasi secara nasional kini diharapkan beroperasi secara internasional (Landler 2017). BRI dianggap dalam politik internasional sebagai �strategi besar� dan telah menyebabkan banyak aktor berorientasi pada Cina. Bahkan dalam berurusan dengan tetangga regional di Asia Timur dan Tenggara, Xi telah memilih gaya diplomasi pengambilan risiko yang didedikasikan terutama untuk mencapai tujuan Cina.

Sekarang dengan pandemi, perhatikan bagaimana Mr. Trump sebenarnya adalah seorang postmodernis yang hidup, bernafas, dan menakjubkan. Dia tidak setia pada satu posisi, tetapi dapat bergerak bebas di antara mereka tanpa batasan karena dia percaya, dan begitu juga para pengikutnya, bahwa dia benar-benar otentik. Trump awalnya memuji orang Cina ketika COVID-19 pertama kali memasuki AS dan mengatakan dia memiliki �percakapan yang sangat baik� dengan Xi Jinping dan �sangat menghormatinya�. Dia segera mengubah taktik dan menuduh Cina "secara sadar bertanggung jawab" untuk menyebarkan penyakit yang menurutnya, bagaimanapun, adalah "virus Cina".

Mr Trump juga terdengar mesianis dalam banyak kesempatan. Pada suatu waktu dia dengan percaya diri menyatakan bahwa, �Suatu hari, ini seperti keajaiban � itu [COVID-19] akan hilang.� Baru-baru ini, dua minggu yang lalu dia bernubuat: �Saya katakan itu akan pergi � dan memang begitu.� Dia sangat berharap COVID-19 akan naik dan pergi sehingga pada �Minggu Paskah, dan Anda akan memadati gereja di seluruh negara kita.� Bukti untuk semua ini? Tidak ada. Namun, pada daftar lain kita harus mengakui bahwa Mr. Trump tulus karena semua yang dia katakan adalah tulus dari hati.

Demikian juga dia meningkatkan permintaan hydroxychloroquine, menyebutnya sebagai "pengubah permainan" dan "hadiah dari surga". Ketika dia dihadapkan oleh bukti yang bertentangan dari sudut lain, oleh Dr. Anthony Fauci (ilmuwan yang memimpin Gugus Tugas COVID-19 Gedung Putih), Trump menjawab, �Saya bukan seorang dokter. Tapi aku punya akal sehat.� Dia, dengan kata lain, dalam kontak dekat dengan "hyperreal". Ada spekulasi, pada satu waktu, bahwa mungkin itu tidak semua hyperreality. Dia mungkin mendukung hydroxychloroquine karena dia memiliki kepentingan finansial di Sanofi, sebuah perusahaan farmasi yang memproduksi obat tersebut. Tapi itu akan menjadi penjelasan yang terlalu realistis.

Inilah sebabnya, sesuai dengan kondisi postmodernnya, dia sekarang telah membuang keyakinannya yang hampir sepenuhnya pada hydroxychloroquine dan secara serius berkencan dengan agen pembersih. Dia tampaknya cukup yakin cairan ini dapat melumpuhkan virus COVID-19 "dalam satu menit ... dengan suntikan ke dalam" (Jenifer 2018). Perusahaan disinfektan ini ketakutan, termasuk produsen Lysol, untuk mengeluarkan pemberitahuan publik yang memperingatkan orang untuk tidak memasukkan cairan pembersih ke dalam aliran darah mereka. Reaksi "ilmiah" seperti itu membuat Trump tidak terpengaruh karena dia tidak setia pada teks apa pun. Dia bergoyang, bobs dan menjalin dengan naluri yang datang langsung dari hati.

Ada beberapa perbandingan yang mudah antara Trump dan para pemimpin dunia lainnya yang telah menunjukkan kecenderungan diktator. Perbedaan besar di antara mereka terletak pada kenyataan bahwa Mr. Trump tidak percaya pada apa pun lebih dari jangka waktu yang singkat. Di sisi lain, mereka seperti Jair Bolsonaro (Brasil), atau Rodrigo Duterte (Filipina), memiliki komitmen jangka panjang pada satu sudut pandang.

Bolsonaro, misalnya, tetap teguh dalam penolakannya terhadap COVID-19 sebagai ancaman. Dia secara konsisten menghina, dari awal hingga akhir, dari segala upaya untuk mengekang virus. Seolah-olah SARS-CoV-2 hanyalah pasir kecil di mulut seseorang. Tuan Trump, seperti yang telah kita lihat, berbeda. Dia bermain-main dengan teks yang berbeda dan merekomendasikan berbagai obat, selalu membaca situasi hyperreal yang muncul secara otentik dari dalam dirinya.

 

Kesimpulan

����������� Kekuasaan melekat dan tidak eksternal pada subjek, dan bahwa ia tersembunyi di balik wacana, mendominasi imajinasi dan menghuni arena perjuangan diskursif. Ini menjelaskan bahwa hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan menimbulkan pertahanan timbal balik mereka, yang berarti bahwa sejarah kekuasaan adalah efek dari pengetahuan dan sejarah pengetahuan adalah efek dari kekuasaan. Ini memiliki implikasi bagi politik global di bawah para pemimpin seperti Donald Trump dan Xi Jinping, yang fantasi budayanya tentang kekuasaan mempengaruhi tindakan dan perilaku mereka. Teks selanjutnya menunjukkan bahwa budaya adalah fantasi kekuasaan, dan bahwa Trump dan Xi adalah aktor kekuatan global yang bersaing untuk mendapatkan pengakuan di panggung global melalui model kekuasaan yang berbeda. Trump menggunakan model kekuasaan budaya yang agresif namun kontemporer, sementara Xi mempromosikan model kekuasaan budaya sosialis. Perbedaan dalam pendekatan mereka tercermin dalam perilaku mereka di panggung global, dengan Xi lebih berhasil dalam mendisiplinkan budaya dan mendominasi kawasan melalui inisiatif seperti Belt and Road Initiative (BRI).� Penulis menyimpulkan dengan menyarankan bahwa studi tentang fantasi kekuasaan di AS dan Cina membutuhkan pergeseran ontologis dari ontoteologi ke ontoantropologi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi fantasi budaya kekuasaan secara lebih rinci.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Albert, Melissa. Xi Jinping . 7 May 2021.

 

Arrighi, Giovanni, and Beverly J. Silver. 1999. Chaos and Governance in the Modern World System. Minneapolis: University of Minnesota Press.

 

Bates, Thomas R. �Gramsci and the Theory of Hegemony.� Journal of the History of Ideas, Vol. 36, No. 2, 1975: 351-366.

 

Bauman, Zygmunt. 2017. Retrotopia. Cambridge: Polity Press.

 

Bennett, John Garrick and Yan Chang. �Xi Jinping Thought : Realisation of the Chinese Dream of National Rejuvenation?� China Perspectives [Online] 2018/1-2, 2018: 99-105.

 

Blanchard, Ben, dan Christian Shepherd. China allows Xi to remain president indefinitely, tightening his grip on power. 11 March 2018.

 

Brown, Kerry. CEO China, The Rise of Xi Jinping . New York : I.B.Tauris & Co. Ltd, 2016.

 

Clifford, Michael. 2013. Empowerment: The Theory and Practice of Political Genealogy. Lanham: Lexington Books.

 

Ferguson, Niall. 2006. The War of the World: Twentieth-Century Conflict and the Descent of the West. New York: Penguin.

 

Geiselberger, Heinrich ed. 2017. The Great Regression. London: Polity.

 

Gramsci, Antonio. 1971. Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. Edited by Quintin Hoare and Geoffrey Nowell-Smith. London: Lawrence and Wishart.

 

Gusterson, Hugh. 2017a. From Brexit to Trump: Anthropology and the Rise of Nationalist Populism. American Ethnologist 44: 209�14.

 

Harris, Gardiner. 2017. Diplomats Sound the Alarm as They Are Pushed Out in Droves. The New York Times, November 24.

 

Harvey, David. 1989. The Condition of Postmodernity. Oxford: Basil Blackwell.

 

Harvey, David. 2007. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.

 

IMF. World Economic Outlook Database. 2018.

 

Jennifer Rudolph, and Michael Szonyi, eds. 2018. The China Question: Critrical Insights into a Rising Power. Cambridge: Harvard University Press.

 

Jinping, Xi. The Governance of China [English Version]. Beijing : Foreign Languages Press, 2014.

 

Knauft, Bruce. 2016. What is Genealogy? An Anthropology/Philosophical Investigation. Genealogy 1: 1�16.

 

Landler, Mark, Julie Hirschfeld Davis, and Jane Perlez. 2017. Trump, Aiming to Coax Xi Jinping, Bets on Flattery. The New York Times, November 8.

 

Li, Cheng. Chinese Politics in the Xi Jinping Era: Reassessing Collective Leadership . Washington, D.C : Brookings Institution Press, 2016.

 

Marx, Karl. 1851. The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte. In Karl Marx: Selected Writings. Edited by David McClellan. Oxford: Oxford University Press, pp. 300�25.

McDonell, Stephen. Xi forever? 11 March 2018.

 

Miller, Alice. The CCP Central Committee's Leading Small Groups" In The China Leadership Monitor, No. 26. 2 September 2008.

 

Nathan, Andrew. "Who is Xi?" In The New York Review of Books .

 

Ni, Adam. China's Military Backs Proposed Constitusional Amendments. 2 March 2018. (diakses July 19, 2021).

 

O�Kane, Chris. 2017. A Hostile World: Critical Theory in the Time of Trump.

 

Osnos, Evan. 2016. The Far Right Revival: A Thirty-Years War? The New Yorker, January 12.

 

Pandey, Gyan. 2015. Can There Be a Subaltern Middle Class? Notes on African American and Dalit History. Public Culture 21: 321�42.

 

Ranade, Jayadewa. �Xi Jinping's Leadership Style And China's Likely Policy Direction.� Centre for Air Power Studies, 2013: 1-4.

 

Riley, Dylan J. �Hegemony, Democracy, and Passive Revolution in Gramsci's Prison Notebooks.� California Italian Studies Vol 2, issue 2, 2011: 3.

 

Ross, Alex. 2016. The Frankfurt School Knew Trump Was Coming. The New Yorker, December 5.

 

Sahoo, Niranjan. Chinese nationalism, with socialist characteristics? 12 July 2021.

 

Shirk, Susan L. �China in Xi's New Era : The Return to Personalistic Rule .� Journal of Democracy , 2018: 22-36.

 

Stewart, Kathleen. 1996. A Space on the Side of the Road: Cultural Poetics in an �Other� America. Princeton: Princeton University Press.

 

Steyer, Tom. 2017. Watch the Impeachment Ad that Sent Trump Into a Twitter Melt Down. Polityke: The Damage Report.

 

The Economist. 2017. How the World Was Trolled: Once Considered a Boon to Democracy, Social Media Have Started to Look Like It�s Nemesis. The Economist, November 4, 19�22.

 

Tolan, Casey. 2017. Trump-Tweet Target Tom Steyer�s Impeachment Campaign Tops 1.4 Million Signatures. The Mercury News, November 1.

 

Tsing, Anna. 2017. The Mushroom at the End of the World: On the Possibility of Life in Capitalist Ruins. Princeton: Princeton University Press.

 

Wallerstein, Immanuel. 2003. The Decline of American Power. New York: New Press.

Wilber, Ken. 2017. Trump and a Post-Truth World. Boulder: Shambala.

 

Williams, Casey. 2017. Has Trump Stolen Philosophy�s Critical Tools? The New York Times, April 17.

 

Wolff, Michael. 2018a. Donald Trump Didn�t Want to Be President: One Year Ago: The Plan to Lose, and the Admistration�s Shocked First Days. New York, January 3.

 

Wolff, Michael. 2018b. Fire and Fury: Inside the Trump White House. New York: Henry Holt & Co.

 

Xinhua . Backgrounder: Xi Jinping Thought on Socialism with Chinese Characteristics for a New Era.

 

Xinhua Net . Fuxing mubiao fenyong qianjin .

 

Xinhuanet. China Focus: China winning the toughest of tough battles against poverty. 11 October 2017.

 

Yi, Yang. China Focus: Exhibition shows China's recent development achievements. 30 September 2017.

 

Yu, Gao. Beijing observation : Xi Jinping the man. 2013.

 

Zhiyuan, H. E. Zhao. Strong Leadership: The Story of the Communist Party of China. 24 May 2021.

Copyright holder:

Arthuur Jeverson Maya (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: