Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.5,
Mei 2023
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN
NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA OTENTIK YANG PENGHADAPNYA MENGGUNAKAN IDENTITAS
PALSU
Desya Qotrannadha, Hanafi Tanawijaya
Universitas Tarumanagara
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Karena sangat jarang
timbul masalah hukum karena pihak-pihak
yang melaksanakan kejahatan
terhadap akta otentik yang dikeluarkan oleh notaris, misalnya memberikan surat palsu dan keterangan palsu dalam akta,
notaris wajib mengikuti prinsip kehati-hatian dalam cara pembuatan akta otentik. perbuatan.
Oleh karena itu, Undang-undang tentang persyaratan dan standar Notaris perlu ditata
ulang agar notaris bisa lebih berhati-hati
dalam mengeluarkan akta yang sah alhasil
mengurangi kemungkinan dituntut atas kejahatan
yang dapat menyebabkan kejatuhannya. Penelitian ini mengkaji permasalahan
hukum notaris yang menggunakan prinsip kehati-hatian dalam mengeluarkan akta asli terhadap orang yang dihadapannya dengan menggunakan identitas palsu. Notaris/PPAT mengemban tanggung jawab atas keabsahan
akta sah yang diciptakannya, meskipun di dalamnya terdapat nama dan tanda tangan pihak yang terpalsukan. Perihal itu terjadi karena
notaris kurang teliti mencocokkan identitas para pihak saat mengidentifikasi penghadap. Tanggung jawab ini dapat
berupa tindakan administratif, litigasi perdata, atau tuntutan
pidana. Akta jual beli yang seolah-olah asli tetapi ternyata palsu karena memuat
keterangan palsu melanggar hukum sebab tidak terpenuhi
kriteria aspek objektif perjanjian yang berhubungan terhadap alasan-alasan yang sah.
Kata kunci: Notaris, Akta, Palsu
Abstract
Because it is very rare for legal
problems to arise due to parties committing crimes against authentic deeds
issued by a notary, for example providing fake letters and false statements in
the deed, the notary must follow the precautionary principle in the process of
making an authentic deed. deed. Therefore, the Law on Notary requirements and standards
needs to be rearranged so that notaries can be more careful in issuing legal
deeds so as to reduce the possibility of being prosecuted for crimes that could
lead to their downfall. This study examines the legal issues of notaries who
use the precautionary principle in issuing original deed to people who use fake
identities before them. The notary/PPAT is responsible for the validity of the
legal deed he created, even though it contains the name and signature of the
forged party. This happened because the notary was not careful in matching the
identities of the parties when identifying the appearers.
This liability may take the form of administrative action, civil litigation, or
criminal prosecution. The deed of sale and purchase that pretends to be genuine
but turns out to be fake because it contains false statements violates the law
of causation
Keywords: Notary, Deed, Fake
Pendahuluan
����� Masyarakat yang berkembang membutuhkan
kejelasan hukum terkait dengan pelayanan publik. Notaris ialah seorang
profesional yang memberikan layanan yang berkaitan dengan hukum, paling sering
hukum perdata. Profesi notaris, seperti pekerjaan berstatus tinggi lainnya,
ialah unik. Itu berbeda dari profesi lain karena tujuan utamanya ialah untuk
memberi manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, daripada para praktisinya
secara individu, sifat profesinya mensyaratkan bahwa motivasi utamanya bukanlah
sebagai mata pencaharian, melainkan keinginan untuk mengabdi terhadap
masyarakat yang membutuhkan. Saat ini, pendokumentasian tertulis otentik dari
suatu tindakan publik yang dilakukan sejalan terhadap undang-undang menjadi
semakin penting, meningkatkan kesadaran publik terhadap lembaga notaris.
Meningkatnya kesejahteraan dan kepentingan masyarakat di bidang hukum mengharuskan
penggunaan notaris dalam praktik hukum sehari-hari (Christian, 2020).
����� Kekuatan akta autentik yang
diciptakan oleh notaris sebagai alat pembuktian yang sempurna dan sebab hal
tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sangat kuat. Akibatnya, ada sejumlah
aturan dan ketetapan yang mengamanatkan suatu akta asli untuk pelaksanaan perbuatan
hukum tertentu. Notaris ialah pejabat umum yang cakap melaksanakan pembuatan
akta-akta yang sah dan kuasa-kuasa lain yang tertulis pada UU ini atau
berdasarkan UU lain, sesuai tercantum pada Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Th 2014
tentang Perubahan atas UU No. 30 Th 2004 tentang Jabatan Notaris (�UUJN�).
Setiap urusan hukum seseorang membutuhkan jasa notaris, sebab dalam
melaksanakan hubungan hukum tersebut diperlukannya pembuktian tertulis yang
berwujud akta autentik. Dalam upaya melindungi masyarakat dan memastikan
kegiatan notaris yang telah dipercaya oleh UU dan masyarakat sekitar, maka
keberadaan peraturan umum tentang pengendalian eksekutif notaris sangat
berguna. Dengan adanya kode etik yang mengandung aturan-aturan etika,
kepentingan masyarakat akan terjamin alhasil hal tersebut meningkatkan
kepercayaan masyarakat. Dewasa ini, kebutuhan akan tumbuhnya ikatan ekonomi dan
sosial nasional, regional, dan global sejalan dengan kebutuhan akan terciptanya
kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang dapat ditegakkan. Tujuan
kode etik ialah untuk memastikan bahwa suatu profesi dipraktikkan secara moral,
bermartabat, dan termotivasi, dengan menekankan pada bakat intelektual,
kemampuan berpikir logis dan kritis, serta komitmen untuk menjunjung tinggi cita-cita
normatif. Untuk menjalankan tugasnya dengan baik, notaris harus berpegang teguh
pada UU dan Kode Etik Notaris. Sejalan terhadap UUJN, asosiasi notaris
mengembangkan dan menetapkan Kode Etik Notaris, yang mencakup prinsip-prinsip
berikut:
1.
Anggota komunitas Notaris berkumpul secara berkelompok;
2.
Di Indonesia, notaris tergabung dalam Ikatan Notaris Indonesia.
������ Untuk menjalankan sebagian kewenangan negara di bidang hukum perdata, negara melembagakan sistem notaris yang bertugas melaksanakan pembuatan surat-surat hukum yang dapat diterima di pengadilan. Akte notaris diatur oleh Uniform Yurisdiction and Judgment Act (UUJN). Pekerjaan
notaris, sebagai sebuah profesi, memiliki serangkaian tugas dan tanggung jawab yang berbeda, diatur oleh seperangkat UU yang unik, dan dianggap sebagai bagian masyarakat yang tetap dan berkelanjutan. Alhasil, jika seorang notaris
bertindak diluar kewenangan yang sudah ditetapkan, maka hal tersebut bisa
dianggap sebagai perbuatan melanggar (Tobing,
1983).
����� Saat menjalankan jabatannya, Notaris/PPAT
harus memperhatikan pembuatan akta serta syarat-syaratnya. Saat membuat akta,
notaris harus sejalan terhadap kehendak hukum dan hal-hal yang diinginkan para
pihak yang terlibat dalam maksud yang sebenarnya, karena hal tersebut dilakukan
sejalan terhadap aturan hukum yang mengatur profesinya dan tidak
melebih-lebihkan atas akta yang dibuatnya serta harus menjelaskan atau
membacakan dokumen sejalan terhadap tujuan yang disetujui oleh para pihak. Hal
ini dikarenakan isi akta dipastikan harus sesuai, karena tidak sedikit kasus
yang terjadi karena suatu pihak menggunakan identitas palsu saat menghadap
notaris untuk melaksanakan pembuatan suatu akta. Oleh sebab itu, Notaris/PPAT
diharuskan mengaplikasikan prinsip kehati-hatian Saat membuat aktanya serta
memperhatikan dengan seksama bahwa isi dari akta yang dibuat sudah benar.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam pemecahan permasalahan termasuk metode analisis. Keterangan gambar diletakkan menjadi bagian dari judul gambar
(figure caption) bukan
menjadi bagian dari gambar. Metode-metode
yang digunakan dalam penyelesaian penelitian dituliskan di bagian ini.
Pada Metode Penelitian,
Alat-alat kecil dan bukan utama (sudah
umum berada di lab, seperti: gunting, gelas ukur, pensil)
tidak perlu dituliskan, tetapi cukup tuliskan rangkaian peralatan utama saja, atau
alat-alat utama yang digunakan untuk analisis dan/atau karakterisasi, bahkan perlu sampai ke
tipe dan akurasi; Tuliskan secara lengkap lokasi penelitian, jumlah responden, cara mengolah hasil pengamatan atau wawancara atau kuesioner, cara mengukur tolok ukur kinerja; metode
yang sudah umum tidak perlu dituliskan
secara detail, tetapi cukup
merujuk ke buku acuan. Prosedur
percobaan harus dituliskan dalam bentuk kalimat berita, bukan kalimat
perintah.
Hasil dan Pembahasan
Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Menjalankan Jabatan Notaris
Terhadap Penghadap Yang Menggunakan Identitas Palsu
����� Sebagaimana tercantum pada UUD 1945,
Indonesia ialah Negara Hukum. Negara hukum sederhananya merupakan negara yang
pelaksanaan kewenangan pemerintahannya berpedoman atas hukum yang memiliki
prinsip untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan keuntungan terbesar, dengan
tujuan hukum dan ketertiban, perlakuan yang adil, dan kebaikan umum dalam pikiran.
Sejalan terhadap Pancasila dan UU Dasar 1945, Indonesia ialah negara hukum yang
setiap warga negaranya serta semua badan pemerintah dan non-pemerintah wajib
bertindak sejalan terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ditentukan (Riyadi, Hermawan, & Sumarwan, 2015). Guna menunjang keberhasilan penegakkan
hukum, sudah seharusnya aparat penegak hukum (hakim, jaksa, notaris, dan
polisi) harus beritikad baik dan ikhlas dalam upaya menegakkan kebenaran dan
keadilan, alhasil profesi hukum dipandang sebagai profesi yang terhormat dan
mulia. Karena mulia dan terhormatnya, sudah seharusnya profesi hukum ini
melihat profesinya sebagai pilihannya dan sekaligus sebagai panggilan hidupnya
dalam upaya membantu sesama dalam bidang hukum (Mangku, 2020).
����� Pesatnya perkembangan
kehidupan ekonomi dan sosial budaya dalam hubungan kemasyarakatan dalam
kaitannya dengan hubungan hukum keperdataan antar individu, terutama dalam
kaitannya dengan keinginan masyarakat untuk menyatakan kehendaknya dengan
bukti-bukti yang autentik seperti terkait kondisi, kejadian, tindakan hukum di
antara mereka yang di mana setiap masyarakat memerlukan seseorang yang
kesaksiannya bisa dipertanggungjawabkan dan dipercaya, yang tanda tangan dan
capnya memberikan jaminan serta pembuktianyang kuat, seorang ahli yang tidak
memihak dan penasihat yang tidak terdapat cacatnya yang bisa merahasiakan serta
membentuk suatu perjanjian yang bisa melindungi mereka diwaktu mendatang (Anggraini, Muntaqo, & Syarifuddin, 2021).
����� Perlindungan terhadap
masyarakat tersebut ialah salah satu ciri dan fungsi Notaris/PPAT sebagai
Lembaga privat yang tidak dikuasai oleh profesi hukum yang lain (Ghansham Anand & Kn, 2018). Dengan demikian, Notaris/PPAT diberikan
kekuasaan dalam upaya melaksanakan pembuatan akta autentik. Kegiatan notaris
selalu didasarkan pada persyaratan peraturan perundang-undangan yang ada, yang
menjamin keabsahan akta notaris. Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta
bersifat otentik apabila perbuatan atau perkataan yang dikemukakan itu
memberikan pembuktianyang tidak dapat dihapuskan, baik antara para pihak maupun
terhadap pihak ketiga (Adam, 1985). Meskipun saling memiliki wewenang
melaksanakan pembuatan dan mengeluarkan akta autentik, tetapi kedua pejabat
(Notaris/PPAT) tersebut memiliki perangkat hukum berbeda (Syafrudin, 2000). Pasal 15 UUJN menjabarkan ruang lingkup
kewenangan notaris, dan tanggung jawab khusus notaris yang terkodifikasi dalam
berbagai anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan. Sedangkan tanggung
jawab dan wewenang PPAT tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 24 Th 2016
tentang Peraturan Kedudukan Pembuatan Akta Tanah. Ketentuan ini antara lain
mengatur bahwa PPAT berwenang melaksanakan pembuatan akta jual beli yang
berkaitan dengan tanah. Sesuai perkembangan dalam ranah bisnis atau usaha,
tidak sedikit pihak yang terlibat dalam melaksanakan transaksi yang juga
melibatkan PPAT, terutama dalam transaksi jual beli tanah. Keikutsertaan PPAT
tersebut memiliki tujuan agar pelaksanaan jual beli memberikan kepastian hukum
dan perlindungan hukum terhadap para pihak. Dengan demikian, PPAT bertugas
memberikan pelayanan hukum terhadap pihak yang membutuhkan, dengan tetap
mengedepankan prinsip kode etik, sejalan terhadap koridor standar pelayanan
perkantoran yang diatur dalam KUHPerdata, PP No. 24 Th 2016, dan peraturan
perundang-undangan lainnya (Waluyo & Umum, 2001).
����� Kewenangan notaris hanya
disebutkan pada Pasal 15 UUJN. Jabatan notaris diangkat serta diberhentikan
oleh pemerintah, yaitu menteri yang memiliki tanggung jawab di bidang
kenotariatan. Walaupun secara administratif pemerintah mengangkat dan
memberhentikan notaris, bukan berarti notaris menjadi subordinasi (bawahan) (Farazenia, 2020). Dengan demikian, notaris bersifat mandiri
dalam melangsungkan tugasnya, tidak memihak dan tidak bergantung pada siapapun,
yang berarti bahwa pihak yang mengangkatnya atau pihak lain tidak dapat
mencampuri kedudukannya dalam menjalankan tugasnya sebagai notaris. Walaupun
notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, mereka juga tidak
memperoleh gaji serta pensiun dari negara. Notaris memperoleh bayaran hanya
dari orang-orang yang mereka layani, atau menawarkan layanan gratis terhadap
mereka yang kurang mampu. Apabila kehadiran Notaris diperlukan agar terpenuhi
keperluan warga yang menuntut surat-surat sah yang asli dalam bidang hukum
perdata, maka Notaris mempunyai tugas dalam usahanya melayani masyarakat dan
harus berperilaku sejalan terhadap kepentingan masyarakat. Pasal 65 UUJN
menyatakan bahwa notaris, notaris pengganti, notaris pengganti khusus, dan
pejabat sementara bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan dalam
jabatannya, terlepas dari apakah protokol notaris telah diserahkan atau tidak
terhadap penanggung jawab protokoler. Karena tugas umum notaris, masyarakat
dapat mengajukan gugatan perdata terhadap mereka untuk memulihkan kerugian dan
bunga jika tindakan notaris tersebut di kemudian hari terbukti tidak sah.
Sedangkan
menurut Pasal 1 Angka 1 PP No. 37 Th 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ialah pejabat umum yang
berwenang melaksanakan pembuatan akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu
yang berkaitan dengan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
Jika PPAT dilaksanakan sejalan terhadap UU, maka berpotensi menumbuhkan
kepercayaan antara masyarakat dan negara, yang pada gilirannya harus
menimbulkan rasa aman dan stabilitas di masyarakat. Tindakan yang tepat dan
benar dari pihak PPAT dalam melaksanakan tanggung jawab dan wewenangnya
mensyaratkan bahwa perbuatan yang dilakukan telah memenuhi ketentuan UU dan
ketentuan pihak-pihak yang berkepentingan karena kedudukannya sejalan terhadap
ketentuan hukum yang berlaku (Wibawa, 2018).
Peraturan akta ialah dokumen yang dibuat dengan sengaja, ditandatangani, dan
kemudian digunakan sebagai pembuktiansesuatu (Iskasari, 2012). Akta notaris ialah surat resmi yang
dikeluarkan oleh notaris yang mempunyai kekuatan hukum penuh sebagai alat
pembuktiansejalan terhadap Pasal 1870 KUHPerdata, Pasal 165 Herzien Inlandsch
Reglement, dan Rbg 285 Recht Reglement voor de Buitengewesten . Akta dapat
diklasifikasikan sebagai "asli" atau "pribadi" tergantung pada
terpenuhi atau tidaknya kriteria tertentu (Sunanda, Wahab, & Abubakar, 2013):
1.
Akta autentik, seorang pejabat yang mempunyai kapasitas untuk menyusun
akta melaksanakannya sejalan terhadap aturan dan pedoman yang sudah ditentukan,
dengan atau tanpa masukan dari para pihak dalam akta, dan dokumen yang
dihasilkan memuat syarat-syarat yang telah disetujui oleh para pihak dalam
akta. Akta asli akan mencakup keterangan tentang pejabat yang menyaksikannya,
termasuk peristiwa yang mengarah pada tanda tangannya. Pasal 1868 Kitab UU
Hukum Perdata (KUHPerdata) mendefinisikan akta otentik sebagai suatu yang
ditentukan oleh UU Saat membuatnya dan dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum
yang berwenang dalam hal itu di tempat dibuatnya akta itu (Subekti & Tjitrosudibio, 1999).
2.
Istilah mengenai akta yang hanya memiliki kekuatan pembuktian sebagai
akta di bawah tangan saja ada kaitannya dengan kekuatan pembuktian terhadap
suatu alat bukti, karena tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu, akta tersebut
bisa berakibat batal demi hukum (Adjie, 2011). Namun, akta bawah tangan masih terdapat
nilai pembuktiannya, asalkan pembuatnya tidak mempermasalahkannya, dan kalaupun
harus dibuktikan, pembuktian itu juga mesti disertai juga dengan saksi-saksi
serta alat pembuktianyang lainnya. Akta bawah tangan merupakan akta berbentuk
bebas, tidak harus dibuat di hadapan otoritas yang memiliki wewenang, alhasil
biasanya 2 (dua) orang saksi yang sudah dewasa harus disertakan dalam akta ini
untuk memperkuat bukti (Lubis, Sari, & Zuhdi, 2018).
Akta autentik
ialah instrumen
perlindungan hukum bagi pemiliknya. Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam jual beli
tanah, suatu akta harus dibuat
oleh dan diperlihatkan terhadap
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hal ini sudah disadari masyarakat bahwa legalitas berperan penting dalam prosedur
perbuatan hukum yang akan dilaksanakan maupun telah dilaksanakan
yang selanjutnya dituangkan
dalam suatu dokumen berupa akta autentik (Hansun,
2016). Pemahaman
masyarakat untuk bertindak dalam melaksanakan pembuatan akta di hadapan pejabat yang memiliki wewenang akan hal
tersebut menandakan masyarakat sudah paham bahwa diperlukan
alat pembuktianberbentuk akta autentik untuk
memperoleh perlindungan dan
kepastian atas objek yang dimilikinya. Notaris/PPAT wajib mengikuti aturan yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 24 Th 2016 dalam menjalankan tugasnya untuk melaksanakan pembuatan dokumen yang sah. Menurut Pasal
16 UUJN, PPAT harus bekerja
secara jujur, teliti, mandiri, tidak memihak, dan melindungi kepentingan pihak yang berkepentingan dalam proses hukum. Notaris bersumpah �bahwa saya akan
melaksanakan pekerjaan saya dengan amanah,
jujur, teliti, mandiri, dan tidak memihak�, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN. Lebih lanjut, Notaris/PPAT
sebagai pejabat umum harus mengamati
perkembangan hukum yang ada untuk memberikan
pelayanannya terhadap masyarakat, membantu mengelola dan menangani perkembangan kebutuhan hukum alhasil ia
bisa menawarkan jalan keluar yang diperkenankan secara hukum. Dalam menawarkan
jasa pun seorang notaris harus memperhatikan
cita-cita profesi yang mulia dengan tuntutan
kewajiban hati nurani (Muhammad,
2006).
Berdasarkan sumpah
jabatan yang diucapkan oleh
Notaris/PPAT tersebut, hal ini menjadikan
PPAT memiliki peranan yang penting dalam menentukan
tindakan mana yang dapat dimasukkan ke dalam
akta atau tidak, oleh karena itu harus diterapkan
prinsip kehati-hatian dalam prosedur penyusunan akta, salah satunya dengan melaksanakan identifikasi pada penghadap berdasarkan identitasnya yang ditunjukkan terhadap notaris. Hal ini karena akibat
hukum yang ditimbulkan dari pembuatan dan penandatanganan akta PPAT akan berakibat terjadinya peralihan atau pemberian hak tanggungan atau pemberian hak kuasa membebankan
hak tanggungan masyarakat, dan apabila PPAT tidak berhati-hati saat pembuatan akta maka akta
tersebut akan berdampak batal demi hukum atau bisa
dimintakan pembatalannya
dan apabila akta PPAT batal, maka PPAT dapat dituntut pembayaran ganti kerugian oleh para pihak yang dirugikan .
Berdasarkan hal
di atas, tidak jarang terjadi konflik hukum yang menyangkut keaslian akta jual beli
yang dibuat di hadapan
PPAT, apakah PPAT mengetahui
atau tidak keaslian akta yang dibuatnya. Hal ini dikarenakan seringkali PPAT tidak tekun dalam
melaksanakan tugasnya. Ini termasuk kurangnya
kehati-hatian, yaitu notaris sangat mempermudah penghadap mengenai identitas. Penghadap yang akan menggunakan jasa notaris harus
membuktikan identitasnya
yang sebenarnya dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang asli dan mengirimkan fotokopinya terhadap notaris. Dalam praktiknya, meskipun wajib memberikan tanda pengenal, masih banyak konflik hukum dalam akta
notaris karena adanya pemalsuan identitas, dokumen, surat atau keterangan
yang akan merugikan pihak lain. Konflik
tersebut umumnya disebabkan oleh kurangnya kehati-hatian PPAT dalam melaksanakan pembuatan dan menandatangani akta, termasuk tidak memperhatikan realitas identitas penampil dan ceroboh saat mengenali
penampil.
Cara yang harus ditempuh oleh PPAT dalam melaksanakan pembuatan akta jual beli ialah
dengan mencari surat-surat atau surat-surat yang wajib dicantumkan dalam akta. Fotokopi KTP klien PPAT atau bentuk identifikasi foto resmi lainnya
akan diperlukan untuk dicantumkan dalam Minuta Akta
(Akta Notaris asli). Penghadap wajib dipastikan oleh PPAT telah cakap dalam
upaya melaksanakan perbuatan hukum terhadap akta yang akan dibuat. Dalam
hal ini, UUJN menjelaskan bahwa penghadap dalam upaya melaksanakan pembuatan akta dengan notaris wajib memenuhi syarat sekurang-kurangnya berumur 18 Th atau telah menikah.
Notaris juga harus mengenal penghadap atau telah dihadirkan
terhadapnya oleh dua orang saksi
identitas yang berusia sekurang-kurangnya 18 Th atau sudah menikah dan secara hukum cakap
melaksanakan prosedur hukum. Harus ada sekurang-kurangnya dua orang saksi
yang hadir pada waktu notaris membacakan suatu akta, kecuali
ditentukan lain oleh UU. Semua
tanda tangan dan paraf harus disaksikan
oleh dua pihak yang berdiri
sendiri dan tidak berkepentingan yang tidak memiliki hubungan perkawinan atau darah dalam garis tiga derajat langsung
dan tidak terbatas atau lebih dekat
dengan notaris atau pihak lain mana pun dalam akta tersebut.
Saksi harus berusia minimal 18 Th atau sudah menikah. Identifikasi penghadap dilaksanakan dalam upaya mengetahui apakah para penghadap ialah pihak yang cakap, berkompeten, dan apakah mereka juga berhak dan memiliki wewenang dalam upaya melangsungan perbuatan hukum yang akan dimasukkan ke dalam akta.
Lebih lanjut, ini membuktikan bahwa keaslian identitas subjek dalam akta (penghadap)
ialah informasi pribadi yang valid dan untuk membuktikan validitas dan keutuhan dokumen-dokumen yang memiliki hubungan dengan objek perjanjian.
Perbuatan hukum maupun akta autentik
menjadi tidak sah apabila salah satu syarat ini
tidak terwujud, karena akta tersebut
menjadi cacat hukum di kemudian hari. Oleh karena itu, PPAT diwajibkan melaksanakan identifikasi terhadap penghadap (Sumaryono,
2009).
Menurut Pasal
66 ayat (1) UUJN, jika ada penghadir yang memalsukan identitasnya, penyidik, penuntut umum, atau hakim, melalui persetujuan Majelis Pengawas Daerah, dapat melakukan pengambilan fotokopi Berita Acara Akta aupun surat yang dilampirkan Minuta Akta atau Protokol
Notaris dalam penyimpanan Notaris, dan dapat juga melakukan pemanggilan Notaris agar menghadiri pada pemeriksaan yang berhubungan terhadap akta yang diciptakannya ataupun Protokol Notaris. Dalam pengawasan Notaris dibentuk Majelis Kehormatan Notaris sejalan terhadap Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor 17 Th 2021. Majelis ini berwenang melaksanakan
usaha membina Notaris dan kewajiban member kesepakatan maupun penolakan bagi kepentingan menyidik dan mengadili, terhadap pengambilan fotokopi Berita Acara Akta dan pemanggilan Notaris agar hadir pada saat pemeriksaan atau persidangan. Oleh karena itu, PPAT ialah notaris yang khusus melaksanakan pembuatan akta-akta yang sah untuk kegiatan hukum tertentu yang menyangkut hak atas tanah atau
hak milik atas satuan rumah
susun.
������������������
Kesimpulan
Peran
notaris ialah amanah, oleh karena itu notaris harus menjunjung tinggi
standar perilaku yang diatur pada UU tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik
Notaris. Tindakan notaris harus jujur, lengkap, dan tidak memihak. Karena
masyarakat menderita kerugian ketika notaris tidak jujur, kejujuran sangat
penting. Selain itu, notaris juga dituntut untuk mengaplikasikan prinsip
kehati-hatian agar tidak terjadi konflik dalam pelaksanaan tugasnya, seperti
pembuatan akta autentik. Dalam akta autentik, identitas klien atau penghadapnya
harus diperiksa secara teliti agar tidak terjadi pemalsuan identitas dalam hal
pembuatan akta. Terjadinya pemalsuan identitas akan melaksanakan pembuatan
kekuatan akta itu jadi di bawah tangan ataupun batal demi hukum.
BIBLIOGRAFI
Adam, Muhammad. (1985). Asal-Usul
Dan Sejarah Akta Notarial. Sinar Baru.
Adjie, Habib. (2011). Kebatalan Dan
Pembatalan Akta Notaris. Refika Aditama.
Anggraini, Natasha Dian, Muntaqo, Firman,
& Syarifuddin, Achmad. (2021). Penerapan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Yang Mengatur Kewajiban Penggunaan Bahasa
Indonesia Dalam Pembuatan Perjanjian Dan Akta Notaris. Sriwijaya
University.
Christian, Alfian. (2020). Konflik Norma
Berkaitan Dengan Hak Ingkar Dalam Jabatan Notaris Ditinjau Dari Undang-Undang
Jabatan Notaris Dan Kode Etik Notaris. Jurnal Education And Development,
8(1), 1�10.
Farazenia, Aulia. (2020). Tanggung Jawab
Notaris Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual
Beli Lunas Yang Hasil Pembayarannya Dikembalikan Kepada Pihak Pembeli (Studi
Kasus Putusan Majelis Pengawas Pusat Notaris Nomor 04/B/Mppn/Vii/2019). Indonesian
Notary, 1(004).
Ghansham Anand, S. H., & Kn, M. (2018).
Karakteristik Jabatan Notaris Di Indonesia. Prenada Media.
Hansun, Morrets Hendro. (2016). Kajian
Yuridis Peralihan Hak Atas Tanah. Lex Administratum, 4(1).
Iskasari, Desny. (2012). Pembatalan Akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah (Ppat) Dengan Putusan Pengadilan (Studi Kasus Di
Pengadilan Tinggi Semarang). Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Lubis, Irwansyah, Sari, Lubis Abidah, &
Zuhdi, Lubis Muhammad. (2018). Taat Hukum Pajak. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Mangku, Dewa Gede Sudika. (2020).
Perlindungan Hukum Terhadap Anak-Anak Disabilitas Terkait Hak Pendidikan Di
Kabupaten Buleleng. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law
Journal), 9(2), 353�365.
Muhammad, Abdul Kadir. (2006). Etika
Profesi Hukum, Bandung: Pt. Citra Aditya Bakti, Cetakan Ke Iii.
Riyadi, Slamet, Hermawan, Aji, &
Sumarwan, Ujang. (2015). Kepuasan Masyarakat Terhadap Kualitas Pelayanan Kantor
Pertanahan Kabupaten Indramayu. Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen, 8(1),
49�58.
Subekti, Raden, & Tjitrosudibio, Raden.
(1999). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sumaryono, Sumaryono. (2009). Jual Beli
Tanah Yang Dilakukan Tanpa Akta Jual Beli Pejabat Pembuat Akta Tanah
(Ppat)(Analisis Kasus Perkara Nomor 220/Pdt. G/2006/Pn. Bks). Program Pasca
Sarjana Universitas Diponegoro.
Sunanda, Budi, Wahab, Amiruddin A., &
Abubakar, Muzakkir. (2013). Pembatalan Perjanjian Jual Beli Tanah Meskipun
Telah Memiliki Akta Jual Beli Tanah Dari Ppat Oleh Pengadilan Negeri. Jurnal
Ilmu Hukum Issn, 2302(0180), 106�115.
Syafrudin, Ateng. (2000). Menuju
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Yang Bersih Dan Bertanggung Jawab. Jurnal
Pro Justisia Edisi Iv, Universitas Parahyangan, Bandung.
Tobing, G. H. S. Lumban. (1983). Peraturan
Jabatan Notaris (Notaris Regelement). Erlangga.
Waluyo, Dody Radjasa, & Umum,
Kewenangan Notaris Selaku Pejabat. (2001). Media Notariat (Menor). Edisi
Oktober-Desember.
Wibawa, Ida Bagus Putu Pramarta. (2018).
Penggunaan Tanda Tangan Berubah-Ubah Oleh Penghadap Di Dalam Pembuatan Akta
Notaris. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(3).
Copyright holder: Desya
Qotrannadha, Hanafi Tanawijaya
(2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |