Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 5, Mei 2023

 

 

IMPLEMENTASI PRINSIP FIRST TO USE PADA PEMBATALAN MEREK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016

 

Farah Zhafirah Putri Lubis, R. Rahaditya

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Merek sebagai identitas suatu barang sebagai daya pembeda. Merek menjadi bagian dari Kekayaan Intelektual yang perlu dilindungi penggunaannya. Perlindungan hak merek di Indonesia dilakukan dengan prinsip first to file yang mana hak akan diberikan kepada pendaftar pertama. Namun, perlindungan hak merek juga dapat diberikan melalui prinsip first to use dengan memberikan pembuktian atas penggunaan merek tersebut. Prinsip first to use dalam hal ini dapat diterapkan pada pemilik merek yang melakukan permohonan merek dengan itikad tidak baik. Pembuktian pada prinsip first to use dilakukan untuk menguji pemilik merek yang sebenarnya. Penerapan first to use dalam undang-undang merek digunakan sebagai payung hukum untuk membuktikan adanya perbuatan itikad tidak baik. Apabila terdapat perbuatan itikad tidak baik terhadap suatu merek dapat dilakukan upaya yaitu pembatalan merek. Dalam pembatalan merek penerapan prinsip first to use tidak dapat dikesampingkan. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis secara tegas hanya memberikan perlindungan kepada pemilik merek terdaftar. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, sumber data diperoleh dari studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan first to use tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, namun perlindungan hukum masih tetap dapat diberikan kepada pemilik merek yang dapat membuktikan atas penggunaan suatu merek. Atas dasar tersebut, first to use masih dapat diberikan perlindungan untuk melindungi pihak yang beritikad baik meskipun tidak dapat digunakan secara mandiri. Dengan demikian, implementasi prinsip first to use dapat digunakan untuk pembatalan merek selama pemilik merek dapat membuktikan dengan jelas dan pasti atas penggunaan merek dan membuktikan pemilik merek yang sesungguhnya

 

Kata kunci: Kekayaan Intelektual; Merek; First to Use Principle.

 

Abstract

Brand as the identity of an item as a differentiating force. The brand becomes part of the Intellectual Property that needs to be protected for its use. Protection of trademark rights in Indonesia is carried out with the principle of first to file where rights will be given to the first registrant. However, trademark rights protection can also be provided through the principle of first to use by providing proof of the use of the mark. The principle of first to use in this case can be applied to brand owners who apply for a mark in bad faith. Proof on the principle of first to use is done to test the actual owner of the brand. The application of first to use in trademark law is used as a legal umbrella to prove the existence of bad faith acts. If there is a bad faith act against a brand, efforts can be made, namely trademark cancellation. In trademark cancellation the application of the first to use principle cannot be ruled out. In Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications, it expressly only provides protection to registered trademark owners. This research uses normative research methods, this research is descriptive analytical, data sources are obtained from literature studies. The results showed that the application of first to use is not explicitly regulated in Law Number 20 of 2016, but legal protection can still be provided to brand owners who can prove the use of a brand. On this basis, first to use can still be given protection to protect parties in good faith even though it cannot be used independently. Thus, the implementation of the first to use principle can be used for trademark cancellation as long as the brand owner can clearly and definitely prove the use of the mark and prove the real owner of the mark.

 

Keywords: Intellectual Property; Brand; First to Use Principle

 

Pendahuluan

Seiring berkembangnya zaman, kegiatan perdagangan serta perindustrian mengalami banyak perubahan dan perkembangan. Hal ini tentu didukung oleh teknologi yang semakin canggih serta ilmu pengetahuan yang mengalami progres yang kian semakin cepat. Indonesia sebagai negara yang mengalami dan menghadapi perubahan dan perkembangan terutama dalam bidang ekonomi. Oleh karena itu, para pelaku usaha didorong agar mampu mengembangkan usahanya agar lebih maju dan menarik. Pelaku usaha harus mengasah ide-ide baru yang kreatif agar mampu memberikan nilai lebih kepada konsumen yang akan menggunakan produknya serta diharapkan dapat membuat konsumen mudah mengenali produk dan dapat digunakan secara terus-menerus. Untuk itu, merek menjadi komponen penting sebagai pembeda atau identitas atas barang atau jasa yang diberikan oleh para pelaku usaha tersebut.

Merek merupakan bagian dari Kekayaan Intelektual atau disebut juga Intellectual Property Rights (IPR) yang perlu dilindungi penggunaannya. Hak Kekayaan Intelektual merupakan dasar bagi para individu untuk dapat menikmati, memiliki dan mengontrol ciptaannya sehingga menghasilkan nilai (Wibowo, 2015). Selain itu, nilai berupa manfaat ekonomi dapat dinikmati oleh pencipta sebagai bentuk apresiasi terhadap karya intelektual (Yustisia, 2015). Ruang lingkup kekayaan intelektual mencakup pada dua kelompok, yakni Bidang Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri. Hak Kekayaan Industri sendiri memuat terkait Merek, Desain Industri, Paten, perlindungan varietas tanaman, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang (Nurachmad, 2012). Merek juga merupakan adopsi dari perjanjian TRIP�s atau Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs (Saraswati & Ibrahim, 2020). Kekayaan intelektual memiliki pengaruh meskipun dapat dikatakan sebagai benda tidak berwujud (immaterial). Merek sebagai wujud dari bidang kekayaan intelektual yang perlu diberikan perlindungan dan kepastian hukum. Hal ini tentu harus didukung dengan regulasi yang mumpuni agar terhindar dari adanya penjiplakan oleh orang yang tidak memiliki hak atas merek tersebut (Mahendra, 2021). Perkembangan mengenai regulasi hukum merek di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan.

Regulasi hukum merek diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis ialah sebuah tanda yang dapat diekspresikan secara grafis baik dalam bentuk gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, yang dapat diwujudkan, baik dua dimensi maupun tiga dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dua atau lebih unsur tersebut, yang bertujuan untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Merek menjadi salah satu bagian yang cukup krusial dalam bidang perdagangan dan hal yang sangat dibutuhkan, karena merek sebagai tanda atas suatu identitas produk dan jaminan mutu serta kualitas barang jasa (Indriyanto & Yusnita, 2017).

Sebelum berlakunya UU No.20/2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, sistem hukum Indonesia menganut dua asas, yaitu asas deklaratif yang ditandai dengan prinsip first to use dan asas konstitutif yang ditandai dengan prinsip first to file. First to use merupakan prinsip yang menyatakan bahwa hak atas merek timbul kepada pemakai pertama dari merek tersebut, sehingga pendaftaran hanya sebatas pembuktian. Oleh karena itu, pemakai merek pertamalah yang berhak menggunakan merek tersebut (Gautama & Winata, 1987). Pada prinsip first to use, tidak hanya dilakukan pendaftaran tetapi pemilik merek harus membuktikan bahwa merek tersebut dipergunakan dalam barang dan jasanya. Dalam hal ini juga, dapat dinyatakan bahwa pemilik merek yang tidak mendaftarkan mereknya tetap dilindungi secara hukum (OK, 2015).

Sedangkan first to file, merupakan prinsip yang menyatakan hak atas merek timbul karena adanya suatu pendaftaran (Aristeus, 2010). Jika dilihat dari penerapannya, hukum merek lebih mengedepankan prinsip first to file dibanding first to use dalam kasus sengketa merek. Dalam suatu sengketa, apabila pada suatu merek terdaftar ternyata ditemukan adanya kesamaan pada merek yang sudah lebih dulu terdaftar, maka pemilik yang lebih dulu mendaftarkan dapat menggunakan merek tersebut (Laela, 2020). Hal ini karena pada sistem hukum merek, prinsip first to file yang lebih diutamakan sebagai syarat mutlak dan kepastian hukum bagi pemegang hak tersebut. Sehingga, pemilik yang mereknya belum terdaftar tidak dapat menggunakan merek tersebut.

Dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, bahwa penolakan permohonan merek apabila memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek lain yang dimohonkan terlebih dahulu untuk barang dan jasa yang sejenis (Nomor, 2020). Hal tersebut menjelaskan bahwa prinsip first to file lebih memberikan kepastian dibanding first to use. Namun, disebutkan dalam Pasal 21 ayat (3) bahwa penolakan permohonan merek apabila dilakukan oleh pemohon yang tidak beritikad baik. Prinsip first to use dalam hal ini dapat diterapkan pemilik merek yang melakukan permohonan merek dengan itikad tidak baik (Nomor, 2020). Hal tersebut dapat dianggap tidak baik, semisal merek yang yang telah beredar terlebih dahulu di pasaran adalah milik pemohon. Dimana jika suatu merek yang telah terdaftar menimbulkan suatu sengketa dan dalam proses pengadilan terbukti bahwa merek terdaftar memiliki persamaan dengan merek lain, hal tersebut memberikan peluang untuk membatalkan merek yang telah terdaftar (Dermawan, 2015).

Dalam hal tersebut, prinsip first to use tidak dapat dikesampingkan dalam pembatalan merek karena pemilik merek yang menggunakan merek tersebut terlebih dahulu dan dapat dibuktikan. Pembatalan merek ialah suatu langkah yang ditempuh oleh pihak yang berkepentingan untuk menghilangkan keberadaan pemilik merek terdaftar yang tercantum dalam Daftar Umum Merek serta membatalkan validitas hak yang tercantum dalam sertifikat merek (Saraswati & Ibrahim, 2020).

Saat ini, masih sering ditemukan merek sejenis yang terdaftar di Direktorat Kekayaan Intelektual dengan memiliki persamaan pada pokoknya ataupun secara keseluruhan dengan merek lain. Hal tersebut sangat merugikan pemegang merek dan juga dapat berdampak kepada konsumen sebab menimbulkan adanya kekeliruan. Kasus yang sering terjadi mengenai hal ini adalah adanya peniruan pada merek-merek yang terkenal dan mengedepankan prinsip first to file, padahal yang menggunakan terlebih dahulu belum mendaftarkan yang mana prinsip first to use tidak bisa dikesampingkan. Seperti pada kasus sengketa pembatalan merek berdasarkan prinsip first to use yaitu sengketa yang telah berada pada tingkat Kasasi dengan nomor perkara No.813/K/Pdt.Sus-HKI/Merek/2020. Pada sengketa tersebut, objek sengketa adalah merek GF RACING. Merek GF RACING merupakan merek dagang yang telah memperdagangkan produk otomotif untuk kendaraan, bahwa merek GF RACING tergugat telah terdaftar terlebih dahulu pada tahun 2018, sedangkan merek GF RACING penggugat baru terdaftar pada tahun 2019. Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik menganalisis mengenai bagaimana penerapan prinsip first to use berdasarkan UU No. 20/2016 dan bagaimana implementasi penerapan first to use pada pembatalan merek berdasarkan UU No. 20 Tahun 2016.

 

Metode Penelitian

Metode dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum Normatif. Penelitian ini didukung dengan adanya kajian kepustakaan dari berbagai sumber kepustakaan yang nantinya dijadikan bahan serta acuan penulisan penelitian (Marzuki, 2013). Penelitian ini mengadopsi teknik analisis berupa Deskriptif Analisis, dengan memperoleh data yang pasti, sehingga hasil data yang diperoleh memiliki keterkaitan yang baik dalam substansi penelitian (Sugiyono, 2019). Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan undang-undang serta metode pendekatan konsep (Marzuki, 2013). Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka (Library Research) adalah segala usaha yang dilakukan guna memperoleh data tentang masalah yang diselidiki dengan mempelajari asas, norma, hukum dan peraturan, doktrin dan consensus (Taufik, 2022). Pengelolaan data dalam penelitian ini yaitu dengan mengelola bahan hukum secara runtut dan sistematis. Peneliti juga menggunakan metode analisis data kualitatif yang dilakukan dengan menerapkan prinsip analisis data dengan menghimpun data kemudian menyeleksi data-data yang terkumpul berdasarkan tinjauan di lapangan yang dikaji berdasarkan realitas dan kualitas yang apa adanya. Data tersebut selanjutnya disusun yang kemudian ditinjau lebih dalam dengan prinsip penerapan metode deduktif.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Penerapan prinsip first to use berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

Ketentuan terkait hukum merek di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Merek adalah salah satu bagian dari perlindungan Kekayaan Intelektual, dimana diberikannya hak eksklusif kepada pemilik suatu merek untuk memakai merek tersebut dalam barang atau jasa yang terdaftar (Balqis, 2021). Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dinyatakan bahwa hak eksklusif diberikan kepada pemilik merek yang terdaftar. Selanjutnya, disebutkan juga pada Pasal 3 bahwa hak atas merek didapatkan setelah merek tersebut terdaftar, yang berarti kedua pasal tersebut menjelaskan bahwa secara jelas perlindungan hukum atas suatu merek timbul dan diberikan saat merek terdaftar. Dengan demikian, apabila suatu merek terdaftar maka hak eksklusif tersebut berguna untuk pemilik merek sebagai orang satu-satunya yang berhak atas merek tersebut.

Hak eksklusif hanya dapat diberikan untuk merek yang sudah terdaftar pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Sebagaimana yang diketahui, perlindungan hukum atas merek di Indonesia menggunakan asas konstitutif atau first to file. Hal ini berarti hak akan diberikan kepada pendaftar pertama. Ketentuan tersebut ialah hal yang mutlak dan juga diakui oleh negara. Perlindungan hukum berdasarkan prinsip first to file berarti hanya diberikan kepada pemilik merek yang mereknya terdaftar dan pemilik merek yang tidak terdaftar tidak dapat diberikan perlindungan hukumnya. Adanya prinsip first to file ini dapat menjadi tidak absolut jika dikaitkan dengan merek terkenal namun belum didaftarkan. Apabila melihat regulasi sebelumnya yaitu Undang-Undang Merek pada tahun 1961, UU tersebut menerapkan dua prinsip yaitu first to file dan first to use, yang menyatakan bahwa perlindungan hukum diberikan kepada pemilik merek yang menggunakan pertama kali, lalu mendaftarkan mereknya. Sehingga pada saat itu, pendaftaran merek bukan merupakan hal wajib.

Penggunaan prinsip first to use atau yang dikenal dengan asas deklaratif ialah prinsip yang menyatakan perlindungan hukum diberikan kepada pengguna pertama suatu merek dalam kegiatan perdagangan atau jasa. Pemilik merek adalah pemakai atas merek tersebut pertama kali. Namun seiring berjalannya waktu, tentu regulasi tersebut mengalami perubahan dan menilai bahwa prinsip first to use sebagai dugaan hukum (rechtsvermoeden) saja. Dimana seolah-olah pemilik merek memang diakui sebagai pengguna pertama tetapi berakhir tidak memiliki kepastian hukum yang artinya tidak ada perlindungan bagi merek yang tidak terdaftar.Hal tersebut menyebabkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 hanya menggunakan prinsip first to file.

Sistem pendaftar pertama dinilai memiliki kepastian hukum dalam prinsip first to file. Prinsip first to file dapat menjadi tidak absolut apabila terjadi dua hal yaitu perbuatan itikad buruk dan merek yang bersangkutan merupakan merek terkenal. Sebagaimana dalam UU Merek Pasal 21 ayat (1) huruf b dan c bahwa merek terkenal memiliki perlindungan khusus atas merek meskipun tidak terdaftar. Dalam UU Merek sendiri dinyatakan bahwa apabila ada pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan pembatalan merek ke pengadilan niaga untuk menguji pemilik merek yang sebenarnya. Sehubungan dengan hal tersebut, mengacu kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis yang berlaku saat ini, perlindungan hukum diberikan untuk menciptakan keadilan dan agar tidak timbul benturan kepentingan kepada pihak yang haknya belum ada.

Perlindungan hukum diberikan kepada pihak yang dapat membuktikan penggunaan atas merek tersebut. Artinya UU Merek masih memberikan kesempatan dan upaya kepada pemilik merek yang tidak terdaftar. Hal tersebut dapat diperoleh dengan mengajukan gugatan ke pengadilan selama memenuhi syarat formal yang ada, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 76 ayat (2), bahwa pemilik merek tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan. UU Merek menyadari bahwa dengan berlakunya asas konstitutif dapat memberikan peluang atas munculnya itikad tidak baik yang lebih luas oleh para pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.

Berlakunya first to use pada dasarnya mengacu kepada pembuktian atas pemakaian merek yang digunakan secara terus-menerus yang mana menitikberatkan pada doktrin prior user yaitu mengacu kepada aspek pembuktian bahwa pemakai dan pengguna pertama yang dapat membuktikan atas penggunaan merek tersebut, memiliki kedudukan yang lebih unggul daripada pendaftar pertama. Pembuktian pada prinsip first to use dilakukan untuk menguji pemilik merek yang sebenarnya. Penerapan first to use dalam undang-undang merek digunakan sebagai payung hukum untuk membuktikan adanya perbuatan itikad tidak baik. Hal ini juga berkaitan dengan pendaftaran merek yang mungkin dapat menimbulkan celah hukum, maka undang-undang dapat memberikan pembuktian pertama kali penggunaan atas merek untuk menopang celah hukum atas pendaftaran merek tersebut.

UU Merek menyatakan penerapan first to use secara tersirat bahwa untuk membatalkan merek terdaftar diperlukannya pembuktian yang konkret atas pemakaian atau penggunaan suatu merek karena UU Merek tidak menjelaskan secara jelas dan saat ini, UU Merek juga menggunakan pendaftaran sebagai bentuk kepemilikan atas merek tersebut. Penerapan first to use sebenarnya memberikan keadilan karena secara tidak langsung pemakaian mereknya dibuktikan secara jelas. Pernyataan penggunaan atas merek yang terdaftar hanya sebatas hitam diatas putih atau bersifat self declare dan hal ini juga kerap menimbulkan permasalahan akibat adanya pelaku usaha yang mendaftarkan merek yang sudah digunakan oleh pelaku usaha lain yang menimbulkan itikad tidak baik. Dengan demikian, tentu diantara prinsip first to file dan prinsip first to use memiliki kelebihan dan kekurangan.

Dalam first to file sendiri, secara jelas memberikan adanya kepastian hukum kepada pemilik merek, namun hal tersebut dapat menimbulkan adanya ketidakadilan hukum. Sedangkan first to use, jika dilihat secara UU Merek dianggap tidak memiliki kepastian hukum dikarenakan mereknya tidak terdaftar secara sah, namun memberikan keadilan karena penggunaan dapat dibuktikan atas penggunaan merek tersebut agar hak atas mereknya didapatkan. Oleh karena itu, penerapan first to use perlu pembuktian atas penggunaan suatu merek, maka secara adil pemilik merek yang dapat membuktikan pemakaian merek tersebut dan sepatutnya mendapat hak eksklusif. Sebab, undang-undang merek menegaskan bahwa perlindungan hukum hanya diberikan kepada pemilik merek terdaftar.

Penerapan first to use pada undang-undang merek selain dapat digunakan untuk mengajukan gugatan dengan membebankan pada pembuktian serta untuk membuktikan penggunaan atas pemilik merek tidak terdaftar. Atas dasar hal tersebut, first to use masih dapat diberikan perlindungan untuk melindungi pihak yang beritikad baik meskipun tidak dapat digunakan secara mandiri. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 dapat secara tegas menyatakan bahwa bukti penggunaan suatu merek diperlukan baik saat pendaftaran maupun saat perpanjangan, meskipun penggunaan first to use tidak diatur dalam Undang-Undang.

 

B.    Implementasi Prinsip First To Use Pada Pembatalan MerekBerdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Berlandaskan pada ketentuan hukum merek di Indonesia, bahwa perlindungan hukum merek menggunakan asas konstitutif atau first to file. Secara jelas dinyatakan dalam UU Merek bahwa perlindungan hukum terhadap pemilik merek yang mereknya tidak terdaftar maka tidak dilindungi haknya ataupun keberadaannya. Namun, pengaturan mengenai first to file dapat juga bersifat tidak absolut jika berkaitan dengan merek yang terkenal. Pasalnya, sekalipun pemilik merek terkenal tidak melakukan pendaftaran tetapi dapat melakukan pembuktian terhadap unsur-unsur merek terkenal yang ditetapkan oleh WIPO maka tetap mendapatkan perlindungan. Sehingga, dalam hal ini prinsip first to file tidak cukup untuk digunakan.

Selain mengenai merek terkenal, UU Merek juga mengatakan bahwa prinsip first to file juga tidak berlaku absolut apabila adanya perbuatan itikad tidak baik atas suatu merek. Itikad tidak baik sering ditemukan dan menjadi sengketa dalam merek. Hal ini karena adanya celah hukum dalam prinsip first to file yaitu dapat membuat semua orang bebas untuk mendaftarkan mereknya tanpa memperhatikan kembali merek yang sudah ada namun tidak terdaftar (Ramadhani, 2022). Sesuai dengan Pasal 21 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2016 bahwa pemohon pendaftaran wajib dilakukan dengan itikad baik. Dalam ketentuannya, pemilik merek diberikan hak khusus jika merasa dirugikan dengan pemilik merek yang beritikad tidak baik yaitu dengan melakukan gugatan pembatalan merek.

Pembatalan merek merupakan tindakan yang menghilangkan hak eksklusif pemilik merek untuk melakukan perbuatan hukum terhadap merek yang bersangkutan dan menghilangkan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara. Upaya ini adalah upaya yang memungkinkan kepemilikan merek dengan itikad buruk dapat dibatalkan dan sekaligus bentuk perlindungan hukum represif yang diberikan oleh undang-undang kepada pemilik merek yang tidak mendaftarkan mereknya karena ada yang mendaftarkan mereknya dengan tujuan untuk mengambil keuntungan dengan memanfaatkan kealphaan orang lain. Dengan demikian, perlindungan terhadap merek tidak terdaftar secara implisit memerlukan adanya pembuktian dengan menggunakan prinsip first to use atau sistem deklaratif.

Payung hukum untuk pemilik merek yang tidak terdaftar dan kepada pihak yang merasa dirugikan oleh orang lain akibat itikad buruk tercantum dalam Pasal 76 UU Merek. Dalam pasal 76 ayat (1) dinyatakan bahwa gugatan pembatalan merek dapat diajukan oleh pihak yang memiliki kepentingan atas merek yaitu adanya kerugian yang ditimbulkan. Selanjutnya, untuk merek yang belum atau tidak mendaftarkan mereknya juga tetap diberi kesempatan untuk mengajukan sengketa pembatalan merek ke pengadilan dengan melampirkan bukti atas penggunaan merek tersebut. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa penerapan first to use sangat erat dengan pembuktian penggunaan merek dan biasanya ditujukan untuk melakukan gugatan bagi pemilik merek yang tidak terdaftar.

Di Indonesia, saat ini pendaftar pertama selalu dinilai memiliki kepastian hukum. Namun, jika perlindungan hukum hanya mengacu kepada prinsip first to file dapat menimbulkan ketidakadilan bagi pemilik merek yang sesungguhnya serta juga dapat meningkatkan potensi perbuatan itikad tidak baik yang menimbulkan kecurangan(Thalib & Mukhlisin, 2017). Maka dari itu, diperlukan penerapan first to use pada gugatan pembatalan merek ditujukan untuk membuktikan unsur itikad tidak baik yang dilakukan oleh pemilik merek yang tidak berhak agar terciptanya keadilan. Adanya hubungan antara prinsip first to use dengan itikad baik yang mana apabila terjadi penyalahgunaan merek dengan itikad buruk dan bertentangan dengan UU Merek, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan pembatalan merek dengan memberikan bukti atas penggunaan dan pemakaian pertama. Prinsip first to use sebagai upaya untuk melindungi merek.

Dalam UU No. 20 Tahun 2016, implementasi prinsip first to use memiliki tujuan untuk menguji pemilik merek yang sebenarnya. Artinya, dalam UU Merek masih menerapkan prinsip first to use secara tersirat untuk memberikan kesempatan pemilik merek dengan mengajukan bukti pada saat gugatan pembatalan merek berlangsung. Sebagaimana dengan kasus gugatan sengketa pembatalan merek merek GF RACING dengan putusan No.813/K/Pdt.Sus-HKI/Merek/2020. Merek GF RACING adalah merek dagang yang digunakan dalam perdagangan produk otomotif untuk kendaraan. Merek GF RACING milik penggugat telah digunakan dan beredar di pasaran sejak tahun 2013 serta telah didaftarkan dengan nomor pendaftaran DID2019065389 yang berada pada kelas 12, namun pada saat itu tidak diterima oleh DJKI dikarenakan dianggap memiliki persamaan dengan merek MOTOGP+. Sedangkan, pada tahun 2018 merek GF RACING milik tergugat didaftarkan pada kelas yang sama dengan nomor pendaftaran IDM000652247. Pada tahun yang sama, penggugat mengajukan keberatan kepada Direktorat Merek atas permohonan merek GF RACING baru oleh tergugat. Keduanya antara merek GF RACING lama dan merek GF RACING baru, memiliki persamaan yang cukup signifikan baik secara penyebutan nama sampai tampilan visual. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, jika dikaitkan dengan UU Merek maka dapat mengacu kepada Pasal 76 yang mana dapat dilakukan pembatalan merek karena penggugat memiliki kepentingan dan merasa dirugikan akibat mereknya didaftarkan oleh pihak lain tanpa hak.

Hal ini juga mengacu kepada Pasal 21 ayat (3) bahwa permohonan harus ditolak jika pemohon beritikad tidak baik dengan maksud menjiplak merek yang sudah ada sebelumnya dan menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang berpotensi mengecoh konsumen. Perbuatan yang dilakukan oleh tergugat dalam hal ini dapat diduga melakukan itikad tidak baik karena memanfaatkan kelemahan dalam sistem pendaftaran first to file. Dalam putusan tersebut, hakim memutuskan untuk mengabulkan gugatan penggugat dikarenakan sebagai pengguna pertama. Hal tersebut dikarenakan dapat dilihat bahwa tergugat memang memiliki itikad tidak baik dengan mengajukan permohonan merek yang sama dan kelas yang sama. Dalam permasalahan tersebut sangat diperlukan pembuktian siapa pengguna pertama sebenarnya, hal ini juga didukung merek sudah beredar jauh sebelum tahun didaftarkan dan beredar luas meskipun belum didaftarkan. Prinsip first to file dapat dianggap tidak absolut dalam menyelesaikan sengketa merek tersebut.

Permohonan pembatalan merek yang dilakukan oleh penggugat tentu menitikberatkan kepada pembuktian yang mana berhubungan erat dengan prinsip first to use. Prinsip first to use menjadi sangat diperlukan karena penggugat wajib membuktikan di pengadilan bahwa ia adalah pihak yang memiliki hak atas merek yang berkaitan dan pemilik yang sebenar-benarnya. Prinsip first to use dapat digunakan meskipun merek tersebut telah terdaftar dan ditemukan celah bahwa adanya itikad buruk didalamnya yang menimbulkan kerugian serta tidak memberikan keadilan yang mumpuni untuk pihak yang berkepentingan.

Oleh karena itu, kasus sengketa Merek GF RACING sebagai gambaran jelas bahwa implementasi prinsip first to use dalam UU Merek masih diberlakukan terutama apabila ditemukan kecurangan atau perbuatan itikad tidak baik oleh para pelaku usaha. Itikad tidak baik tersebut menjadi dasar yang perlu dibuktikan kepada pengadilan secara jelas bahwa dalam pendaftaran merek yang telah dilakukan terdapat unsur yang tidak sesuai. Maka dari itu, diperlihatkan dalam permasalahan tersebut bahwa perlunya membuktikan bahwa merek tersebut hasil ide dari pemilik merek dan juga dibuktikan bahwa tidak adanya perbuatan buruk atas penggunaan merek tersebut. Prinsip first to file dalam hal ini tidak dapat sepenuhnya melindungi pemilik merek karena cenderung mengesampingkan keadilan hukum dan memiliki celah yang cukup besar untuk para pelaku usaha melakukan perbuatan curang. Sehingga, sepatutnya perlindungan hukum tetap diberikan kepada pemilik merek dengan mengedepankan sisi keadilan yang berarti mengedepankan prinsip first to use walaupun dalam UU Merek diberikan secara tersirat dan tidak secara jelas. Dengan demikian, implementasi prinsip first to use dapat digunakan untuk pembatalan merek selama dapat dibuktikan dengan jelas dan pasti oleh pemilik merek yang sesungguhnya.

 

Kesimpulan

Penerapan First to use tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, karena undang-undang merek hanya menggunakan pendaftar pertama untuk mendapat hak eksklusif. Penerapan first to use yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 secara implisit terkandung dalam Pasal 76 ayat (2) bahwa merek tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan pembatalan ke Pengadilan Niaga dengan melampirkan bukti pemakaian dan penggunaan atas merek tersebut. Sehingga penerapan first to use yang diberikan undang-undang merupakan dasar dalam menentukan pemilik merek yang sejatinya, yaitu pemilik merek yang dapat membuktikan atas penggunaan suatu merek. Atas dasar tersebut, first to use masih dapat diberikan perlindungan untuk melindungi pihak yang beritikad baik meskipun tidak dapat digunakan secara mandiri. Dalam UU Merek, implementasi prinsip first to use memiliki tujuan untuk menguji pemilik merek yang sebenarnya terhadap suatu merek yang artinya, UU Merek menerapkan prinsip first to use secara tersirat untuk memberikan kesempatan pemilik merek mengajukan bukti pada saat gugatan pembatalan merek berlangsung.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Aristeus, S. (2010). Perlindungan merek terkenal sebagai aset perusahaan. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

 

Balqis, W. G. (2021). Perlindungan Merek sebagai Hak Kekayaan Intelektual: Studi di Kota Semarang, Indonesia. Journal of Judicial Review, 23(1), 41�56.

 

Dermawan, R. (2015). Tinjauan Yuridis Undang-Undang Merek Terhadap Penggunaan Merek Sepatu Olahraga Terkenal (Studi Kasus Putusan No. 13/Merek/2010/Pn. Niaga. Jkt. Pst). NOVUM: JURNAL HUKUM, 2(1), 36�43.

 

Gautama, S., & Winata, R. (1987). Himpunan keputusan merek dagang. (No Title).

 

Indriyanto, A., & Yusnita, I. M. (2017). Aspek Hukum Pendaftaran Merek. Rajawali Press.

 

Laela, F. I. (2020). Analisis kepastian hukum merek terkenal terdaftar terhadap sengketa gugatan pembatalan merek. Jurnal Ilmiah Hukum Dan Keadilan, 7(2), 182�201.

 

Mahendra, R. (2021). Pelaksanaan Perlindungan Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Bagi Pekerja Di CV. Basit Eshan Abadi Berdasrkan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Di Desa Lipat Kain Selatan, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Universitas Islam Riau.

 

Marzuki, P. M. (2013). Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. Mertokusumo, Sudikno.

 

Nomor, U.-U. R. I. (2020). Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Indonesia. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.

 

Nurachmad, M. (2012). Segala Tentang HAKI Indonesia. Bukubiru.

 

OK, H. (2015). Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

 

Ramadhani, T. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Produk Usaha Mikri Kecil dan Menengah Terkait Merek Yang Tidak Terdaftar di Indonesia. Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

 

Saraswati, I. A. K. I. N., & Ibrahim, R. (2020). Pembatalan Merek Karena Adanya Kesamaan Konotasi Dengan Merek Lain Yang Telah Terdaftar. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 7.

 

Sugiyono. (2019). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta.

 

Taufik, H. (2022). Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak Pada Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Sawah (Studi Di Kecamatan Kuripan Kabupaten Lombok Barat). Universitas_Muhammadiyah_Mataram.

 

Thalib, A., & Mukhlisin, M. (2017). Aneka Hukum Bisnis Modern. Raja Grafindo Persada.

 

Wibowo, A. (2015). Justifikasi Hukum Pidana terhadap Kebijakan Kriminalisasi Pelanggaran Hak Cipta, serta Perumusan Kualifikasi Yuridis dan Jenis Deliknya. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 22(1), 54�75.

 

Yustisia, T. V. (2015). Panduan Resmi Hak Cipta: Mulai Mendaftar, Melindungi, dan Menyelesaikan Sengketa. VisiMedia.

Copyright holder:

Farah Zhafirah Putri Lubis, R. Rahaditya (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: