Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
5, Mei 2023
IMPLEMENTASI PRINSIP FIRST
TO USE PADA PEMBATALAN MEREK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016
Farah Zhafirah
Putri Lubis, R. Rahaditya
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Merek sebagai identitas suatu barang sebagai daya pembeda. Merek menjadi bagian dari Kekayaan Intelektual yang perlu dilindungi penggunaannya. Perlindungan hak merek di Indonesia dilakukan dengan prinsip first to file yang mana hak akan diberikan kepada pendaftar pertama. Namun, perlindungan hak merek juga dapat diberikan melalui prinsip first to use dengan memberikan pembuktian atas penggunaan merek tersebut. Prinsip first to use dalam hal ini dapat diterapkan pada pemilik merek yang melakukan permohonan merek dengan itikad tidak baik. Pembuktian pada prinsip first to use dilakukan untuk menguji pemilik merek yang sebenarnya. Penerapan first to use dalam undang-undang merek digunakan sebagai payung hukum untuk membuktikan adanya perbuatan itikad tidak baik. Apabila terdapat perbuatan itikad tidak baik terhadap suatu merek dapat dilakukan upaya yaitu pembatalan merek. Dalam pembatalan merek penerapan prinsip first to use tidak dapat dikesampingkan. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis secara tegas hanya memberikan perlindungan kepada pemilik merek terdaftar. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, sumber data diperoleh dari studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan first to use tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, namun perlindungan hukum masih tetap dapat diberikan kepada pemilik merek yang dapat membuktikan atas penggunaan suatu merek. Atas dasar tersebut, first to use masih dapat diberikan perlindungan untuk melindungi pihak yang beritikad baik meskipun tidak dapat digunakan secara mandiri. Dengan demikian, implementasi prinsip first to use dapat digunakan untuk pembatalan merek selama pemilik merek dapat membuktikan dengan jelas dan pasti atas penggunaan merek dan membuktikan pemilik merek yang sesungguhnya
Kata kunci: Kekayaan Intelektual; Merek; First to Use Principle.
Abstract
Brand as the identity of an item
as a differentiating force. The brand becomes part of the Intellectual Property
that needs to be protected for its use. Protection of trademark rights in
Indonesia is carried out with the principle of first to file where rights will
be given to the first registrant. However, trademark rights protection can also
be provided through the principle of first to use by providing proof of the use
of the mark. The principle of first to use in this case can be applied to brand
owners who apply for a mark in bad faith. Proof on the principle of first to
use is done to test the actual owner of the brand. The application of first to
use in trademark law is used as a legal umbrella to prove the existence of bad
faith acts. If there is a bad faith act against a brand, efforts can be made,
namely trademark cancellation. In trademark cancellation the application of the
first to use principle cannot be ruled out. In Law Number 20 of 2016 concerning
Marks and Geographical Indications, it expressly only provides protection to
registered trademark owners. This research uses normative research methods,
this research is descriptive analytical, data sources are obtained from literature
studies. The results showed that the application of first to use is not
explicitly regulated in Law Number 20 of 2016, but legal protection can still
be provided to brand owners who can prove the use of a brand. On this basis,
first to use can still be given protection to protect parties in good faith
even though it cannot be used independently. Thus, the implementation of the
first to use principle can be used for trademark cancellation as long as the
brand owner can clearly and definitely prove the use of the mark and prove the
real owner of the mark.
Keywords: Intellectual Property; Brand;
First to Use Principle
Pendahuluan
Seiring berkembangnya zaman, kegiatan perdagangan serta perindustrian mengalami banyak perubahan dan perkembangan. Hal ini tentu didukung
oleh teknologi yang semakin
canggih serta ilmu pengetahuan yang mengalami progres yang kian semakin cepat.
Indonesia sebagai negara yang mengalami
dan menghadapi perubahan
dan perkembangan terutama dalam bidang ekonomi.
Oleh karena itu, para pelaku usaha didorong
agar mampu mengembangkan usahanya agar lebih maju dan menarik. Pelaku usaha harus
mengasah ide-ide baru yang kreatif agar mampu memberikan nilai lebih kepada konsumen
yang akan menggunakan produknya serta diharapkan dapat membuat konsumen mudah mengenali produk dan dapat digunakan secara terus-menerus. Untuk itu, merek menjadi
komponen penting sebagai pembeda atau identitas atas barang atau
jasa yang diberikan oleh
para pelaku usaha tersebut.
Merek merupakan bagian dari Kekayaan
Intelektual atau disebut juga Intellectual Property Rights (IPR) yang perlu dilindungi penggunaannya. Hak Kekayaan Intelektual merupakan dasar bagi para individu untuk dapat menikmati, memiliki dan mengontrol ciptaannya sehingga menghasilkan nilai (Wibowo, 2015). Selain itu, nilai berupa
manfaat ekonomi dapat dinikmati oleh pencipta sebagai bentuk apresiasi terhadap karya intelektual (Yustisia,
2015). Ruang lingkup kekayaan intelektual mencakup pada dua kelompok, yakni Bidang Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri. Hak Kekayaan Industri sendiri memuat terkait Merek, Desain Industri, Paten, perlindungan varietas tanaman, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang (Nurachmad,
2012). Merek juga merupakan
adopsi dari perjanjian TRIP�s atau Agreement
on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs (Saraswati & Ibrahim,
2020). Kekayaan intelektual
memiliki pengaruh meskipun dapat dikatakan sebagai benda tidak berwujud
(immaterial). Merek sebagai
wujud dari bidang kekayaan intelektual yang perlu diberikan perlindungan dan kepastian hukum. Hal ini tentu harus
didukung dengan regulasi yang mumpuni agar terhindar dari adanya penjiplakan oleh orang
yang tidak memiliki hak atas merek
tersebut (Mahendra,
2021). Perkembangan mengenai regulasi hukum merek di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan.
Regulasi hukum merek diatur dalam
Undang-Undang No. 20 Tahun
2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 angka
1 Undang�Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis ialah sebuah tanda
yang dapat diekspresikan secara grafis baik
dalam bentuk gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan
warna, yang dapat diwujudkan, baik dua dimensi maupun tiga dimensi, suara,
hologram, atau kombinasi
dua atau lebih unsur tersebut, yang bertujuan untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan
perdagangan barang dan/atau jasa. Merek
menjadi salah satu bagian yang cukup krusial dalam bidang
perdagangan dan hal yang
sangat dibutuhkan, karena merek sebagai tanda
atas suatu identitas produk dan jaminan mutu serta
kualitas barang jasa (Indriyanto
& Yusnita, 2017).�
Sebelum berlakunya UU
No.20/2016 tentang Merek
dan Indikasi Geografis, sistem hukum Indonesia menganut dua asas, yaitu asas deklaratif
yang ditandai dengan prinsip first to use dan asas konstitutif yang ditandai dengan prinsip first to file.
First to use merupakan prinsip
yang menyatakan bahwa hak atas merek
timbul kepada pemakai pertama dari merek tersebut,
sehingga pendaftaran hanya sebatas pembuktian.
Oleh karena itu, pemakai merek pertamalah
yang berhak menggunakan merek tersebut (Gautama
& Winata, 1987). Pada prinsip first
to use, tidak hanya dilakukan pendaftaran tetapi pemilik merek harus membuktikan
bahwa merek tersebut dipergunakan dalam barang dan jasanya. Dalam hal ini juga, dapat
dinyatakan bahwa pemilik merek yang tidak mendaftarkan mereknya tetap dilindungi secara hukum (OK,
2015).
Sedangkan first to file, merupakan
prinsip yang menyatakan hak atas merek
timbul karena adanya suatu pendaftaran
(Aristeus,
2010). Jika dilihat dari penerapannya, hukum merek lebih
mengedepankan prinsip first
to file dibanding first to use dalam
kasus sengketa merek. Dalam suatu
sengketa, apabila pada suatu merek terdaftar
ternyata ditemukan adanya kesamaan pada merek yang sudah lebih dulu terdaftar,
maka pemilik yang lebih dulu mendaftarkan
dapat menggunakan merek tersebut (Laela, 2020). Hal ini karena pada sistem hukum merek, prinsip
first to file yang lebih diutamakan
sebagai syarat mutlak dan kepastian hukum bagi pemegang
hak tersebut. Sehingga, pemilik yang mereknya belum terdaftar tidak dapat menggunakan merek tersebut.
Dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, bahwa penolakan permohonan merek apabila memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek lain yang dimohonkan terlebih dahulu untuk barang
dan jasa yang sejenis (Nomor,
2020). Hal tersebut menjelaskan bahwa prinsip first to file lebih memberikan kepastian dibanding first to use. Namun, disebutkan dalam Pasal 21 ayat (3) bahwa penolakan permohonan merek apabila dilakukan oleh pemohon yang tidak beritikad baik. Prinsip first to use dalam hal ini dapat
diterapkan pemilik merek yang melakukan permohonan merek dengan itikad tidak
baik (Nomor,
2020). Hal tersebut dapat dianggap tidak baik, semisal
merek yang yang telah beredar terlebih
dahulu di pasaran adalah milik pemohon.
Dimana jika suatu merek yang telah terdaftar menimbulkan suatu sengketa dan dalam proses pengadilan terbukti bahwa merek terdaftar memiliki persamaan dengan merek lain,
hal tersebut memberikan peluang untuk membatalkan merek yang telah terdaftar (Dermawan, 2015).
Dalam hal tersebut, prinsip first to use tidak dapat dikesampingkan
dalam pembatalan merek karena pemilik
merek yang menggunakan merek tersebut terlebih dahulu dan dapat dibuktikan. Pembatalan merek ialah suatu langkah
yang ditempuh oleh pihak
yang berkepentingan untuk menghilangkan keberadaan pemilik merek terdaftar
yang tercantum dalam Daftar
Umum Merek serta membatalkan validitas hak yang tercantum dalam sertifikat merek (Saraswati
& Ibrahim, 2020).
Saat ini, masih sering ditemukan
merek sejenis yang terdaftar di Direktorat Kekayaan Intelektual dengan memiliki persamaan pada pokoknya ataupun secara keseluruhan dengan merek lain. Hal tersebut sangat merugikan pemegang merek dan juga dapat berdampak kepada konsumen sebab menimbulkan adanya kekeliruan. Kasus yang sering terjadi mengenai hal ini adalah
adanya peniruan pada merek-merek yang terkenal dan mengedepankan prinsip first to
file, padahal yang menggunakan
terlebih dahulu belum mendaftarkan yang mana prinsip first to use tidak bisa dikesampingkan. Seperti pada kasus sengketa pembatalan merek berdasarkan prinsip first to use yaitu sengketa yang telah berada pada tingkat Kasasi dengan nomor
perkara No.813/K/Pdt.Sus-HKI/Merek/2020. Pada sengketa tersebut, objek sengketa adalah merek GF RACING. Merek GF RACING merupakan merek dagang yang telah memperdagangkan produk otomotif untuk kendaraan, bahwa merek GF RACING tergugat telah terdaftar terlebih dahulu pada tahun 2018, sedangkan merek GF RACING penggugat baru terdaftar pada tahun 2019. Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik menganalisis mengenai bagaimana penerapan prinsip first to use berdasarkan
UU No. 20/2016 dan bagaimana implementasi
penerapan first to use pada pembatalan
merek berdasarkan UU No. 20
Tahun 2016.
Metode Penelitian
Metode dalam penelitian
ini menggunakan metode penelitian hukum Normatif. Penelitian ini didukung dengan adanya kajian kepustakaan
dari berbagai sumber kepustakaan yang nantinya dijadikan bahan serta acuan
penulisan penelitian (Marzuki,
2013). Penelitian ini
mengadopsi teknik analisis berupa Deskriptif Analisis, dengan memperoleh data yang pasti, sehingga hasil data yang diperoleh memiliki keterkaitan yang baik dalam substansi
penelitian (Sugiyono,
2019). Pada penelitian ini, penulis menggunakan
metode pendekatan undang-undang serta metode pendekatan konsep (Marzuki,
2013). Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka (Library Research) adalah segala usaha
yang dilakukan guna memperoleh data tentang masalah yang diselidiki dengan mempelajari asas, norma, hukum
dan peraturan, doktrin dan consensus
(Taufik,
2022). Pengelolaan data dalam penelitian ini yaitu dengan
mengelola bahan hukum secara runtut
dan sistematis. Peneliti
juga menggunakan metode analisis data kualitatif yang dilakukan dengan menerapkan prinsip analisis data dengan menghimpun data kemudian menyeleksi data-data yang terkumpul
berdasarkan tinjauan di lapangan yang dikaji berdasarkan realitas dan kualitas yang apa adanya. Data tersebut selanjutnya disusun yang kemudian ditinjau lebih dalam dengan
prinsip penerapan metode deduktif.
Hasil dan Pembahasan
A. Penerapan
prinsip first to use berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek
dan Indikasi Geografis
Ketentuan terkait hukum merek
di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan
Indikasi Geografis. Merek adalah salah satu bagian dari perlindungan Kekayaan
Intelektual, dimana diberikannya hak eksklusif kepada pemilik suatu merek untuk
memakai merek tersebut dalam barang atau jasa yang terdaftar (Balqis, 2021). Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 1
angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis
dinyatakan bahwa hak eksklusif diberikan kepada pemilik merek yang terdaftar.
Selanjutnya, disebutkan juga pada Pasal 3 bahwa hak atas merek didapatkan
setelah merek tersebut terdaftar, yang berarti kedua pasal tersebut menjelaskan
bahwa secara jelas perlindungan hukum atas suatu merek timbul dan diberikan
saat merek terdaftar. Dengan demikian, apabila suatu merek terdaftar maka hak
eksklusif tersebut berguna untuk pemilik merek sebagai orang satu-satunya yang
berhak atas merek tersebut.
Hak eksklusif hanya dapat
diberikan untuk merek yang sudah terdaftar pada Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual (DJKI). Sebagaimana yang diketahui, perlindungan hukum atas merek
di Indonesia menggunakan asas konstitutif atau first to file. Hal ini berarti
hak akan diberikan kepada pendaftar pertama. Ketentuan tersebut ialah hal yang
mutlak dan juga diakui oleh negara. Perlindungan hukum berdasarkan prinsip
first to file berarti hanya diberikan kepada pemilik merek yang mereknya
terdaftar dan pemilik merek yang tidak terdaftar tidak dapat diberikan
perlindungan hukumnya. Adanya prinsip first to file ini dapat menjadi tidak
absolut jika dikaitkan dengan merek terkenal namun belum didaftarkan. Apabila
melihat regulasi sebelumnya yaitu Undang-Undang Merek pada tahun 1961, UU
tersebut menerapkan dua prinsip yaitu first to file dan first to use, yang
menyatakan bahwa perlindungan hukum diberikan kepada pemilik merek yang
menggunakan pertama kali, lalu mendaftarkan mereknya. Sehingga pada saat itu,
pendaftaran merek bukan merupakan hal wajib.
Penggunaan prinsip first to use
atau yang dikenal dengan asas deklaratif ialah prinsip yang menyatakan
perlindungan hukum diberikan kepada pengguna pertama suatu merek dalam kegiatan
perdagangan atau jasa. Pemilik merek adalah pemakai atas merek tersebut pertama
kali. Namun seiring berjalannya waktu, tentu regulasi tersebut mengalami
perubahan dan menilai bahwa prinsip first to use sebagai dugaan hukum
(rechtsvermoeden) saja. Dimana seolah-olah pemilik merek memang diakui sebagai
pengguna pertama tetapi berakhir tidak memiliki kepastian hukum yang artinya
tidak ada perlindungan bagi merek yang tidak terdaftar.� Hal tersebut menyebabkan Undang-Undang No. 20
Tahun 2016 hanya menggunakan prinsip first to file.
Sistem pendaftar pertama
dinilai memiliki kepastian hukum dalam prinsip first to file. Prinsip first to
file dapat menjadi tidak absolut apabila terjadi dua hal yaitu perbuatan itikad
buruk dan merek yang bersangkutan merupakan merek terkenal. Sebagaimana dalam
UU Merek Pasal 21 ayat (1) huruf b dan c bahwa merek terkenal memiliki
perlindungan khusus atas merek meskipun tidak terdaftar. Dalam UU Merek sendiri
dinyatakan bahwa apabila ada pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan pembatalan merek ke pengadilan
niaga untuk menguji pemilik merek yang sebenarnya. Sehubungan dengan hal tersebut, mengacu
kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis yang berlaku saat ini,
perlindungan hukum diberikan untuk menciptakan keadilan dan agar tidak timbul benturan
kepentingan kepada pihak yang haknya belum ada.
Perlindungan hukum diberikan kepada pihak yang dapat membuktikan penggunaan atas merek tersebut. Artinya UU Merek masih memberikan kesempatan dan upaya kepada pemilik merek yang tidak terdaftar. Hal tersebut dapat diperoleh dengan mengajukan gugatan ke pengadilan
selama memenuhi syarat formal yang ada, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 76 ayat (2), bahwa pemilik merek tidak
terdaftar dapat mengajukan gugatan. UU Merek menyadari bahwa dengan berlakunya
asas konstitutif dapat memberikan peluang atas munculnya
itikad tidak baik yang lebih luas oleh para pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.
Berlakunya first to use pada dasarnya mengacu
kepada pembuktian atas pemakaian merek yang digunakan secara terus-menerus yang mana menitikberatkan pada doktrin
prior user yaitu mengacu kepada aspek pembuktian
bahwa pemakai dan pengguna pertama yang dapat membuktikan atas penggunaan merek tersebut, memiliki kedudukan yang lebih unggul daripada
pendaftar pertama. Pembuktian pada prinsip first to
use dilakukan untuk menguji pemilik merek yang sebenarnya. Penerapan first to use dalam undang-undang merek digunakan sebagai payung hukum untuk
membuktikan adanya perbuatan itikad tidak baik. Hal ini juga berkaitan dengan pendaftaran merek yang mungkin dapat menimbulkan celah hukum, maka
undang-undang dapat memberikan pembuktian pertama kali penggunaan atas merek untuk
menopang celah hukum atas pendaftaran
merek tersebut.
UU Merek menyatakan penerapan first to use
secara tersirat bahwa untuk membatalkan
merek terdaftar diperlukannya pembuktian yang konkret atas pemakaian
atau penggunaan suatu merek karena
UU Merek tidak menjelaskan secara jelas dan saat ini, UU Merek juga menggunakan pendaftaran sebagai bentuk kepemilikan atas merek tersebut. Penerapan first to use sebenarnya
memberikan keadilan karena secara tidak
langsung pemakaian mereknya dibuktikan secara jelas. Pernyataan
penggunaan atas merek yang terdaftar hanya sebatas hitam
diatas putih atau bersifat self
declare dan hal ini
juga kerap menimbulkan permasalahan akibat adanya pelaku usaha
yang mendaftarkan merek
yang sudah digunakan oleh pelaku usaha lain yang menimbulkan itikad tidak baik. Dengan
demikian, tentu diantara prinsip first to file
dan prinsip first to use memiliki
kelebihan dan kekurangan.
Dalam
first to file sendiri, secara
jelas memberikan adanya kepastian hukum kepada pemilik
merek, namun hal tersebut dapat
menimbulkan adanya ketidakadilan hukum. Sedangkan first to use, jika dilihat secara UU Merek dianggap tidak memiliki kepastian hukum dikarenakan mereknya tidak terdaftar secara sah, namun
memberikan keadilan karena penggunaan dapat dibuktikan atas penggunaan merek tersebut agar hak atas mereknya
didapatkan. Oleh karena itu, penerapan first to use perlu pembuktian atas penggunaan suatu merek, maka
secara adil pemilik merek yang dapat membuktikan pemakaian merek tersebut dan sepatutnya mendapat hak eksklusif.
Sebab, undang-undang merek menegaskan bahwa perlindungan hukum hanya diberikan
kepada pemilik merek terdaftar.
Penerapan
first to use pada undang-undang merek
selain dapat digunakan untuk mengajukan gugatan dengan membebankan pada pembuktian serta untuk membuktikan penggunaan atas pemilik merek tidak
terdaftar. Atas dasar hal tersebut, first to use masih dapat diberikan
perlindungan untuk melindungi pihak yang beritikad baik meskipun tidak dapat digunakan secara mandiri. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 dapat secara tegas menyatakan
bahwa bukti penggunaan suatu merek diperlukan baik saat pendaftaran
maupun saat perpanjangan, meskipun penggunaan first to use tidak diatur dalam Undang-Undang.
B. Implementasi
Prinsip First To Use Pada Pembatalan Merek�
Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis.
Berlandaskan pada ketentuan hukum
merek di Indonesia, bahwa perlindungan hukum merek menggunakan asas konstitutif atau first to file. Secara jelas dinyatakan dalam UU Merek bahwa perlindungan hukum terhadap pemilik merek yang mereknya tidak terdaftar maka tidak dilindungi haknya ataupun keberadaannya. Namun, pengaturan mengenai first to file
dapat juga bersifat tidak absolut jika
berkaitan dengan merek yang terkenal. Pasalnya, sekalipun pemilik merek terkenal
tidak melakukan pendaftaran tetapi dapat melakukan pembuktian terhadap unsur-unsur merek terkenal yang ditetapkan oleh
WIPO maka tetap mendapatkan perlindungan. Sehingga, dalam hal ini prinsip
first to file tidak cukup untuk digunakan.
Selain mengenai merek terkenal, UU Merek juga mengatakan bahwa prinsip first to file juga tidak berlaku absolut apabila adanya perbuatan itikad tidak baik atas
suatu merek. Itikad tidak baik
sering ditemukan dan menjadi sengketa dalam merek. Hal ini karena adanya
celah hukum dalam prinsip first to file yaitu dapat membuat
semua orang bebas untuk mendaftarkan mereknya tanpa memperhatikan kembali merek yang sudah ada namun tidak
terdaftar (Ramadhani,
2022). Sesuai
dengan Pasal 21 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2016 bahwa pemohon pendaftaran
wajib dilakukan dengan itikad baik.
Dalam ketentuannya, pemilik merek diberikan
hak khusus jika merasa dirugikan
dengan pemilik merek yang beritikad tidak baik yaitu
dengan melakukan gugatan pembatalan merek.
Pembatalan merek merupakan tindakan yang menghilangkan hak eksklusif pemilik
merek untuk melakukan perbuatan hukum terhadap merek yang bersangkutan dan menghilangkan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara.
Upaya ini adalah upaya yang memungkinkan kepemilikan merek dengan itikad
buruk dapat dibatalkan dan sekaligus bentuk perlindungan hukum represif yang diberikan oleh undang-undang kepada pemilik merek yang tidak mendaftarkan mereknya karena ada yang mendaftarkan mereknya dengan tujuan untuk
mengambil keuntungan dengan memanfaatkan kealphaan orang lain. Dengan demikian, perlindungan terhadap merek tidak terdaftar secara implisit memerlukan adanya pembuktian dengan menggunakan prinsip first to use atau sistem deklaratif.
Payung hukum untuk pemilik merek yang tidak terdaftar dan kepada pihak yang merasa dirugikan oleh orang lain akibat itikad buruk
tercantum dalam Pasal 76 UU Merek. Dalam pasal 76 ayat (1) dinyatakan bahwa gugatan pembatalan
merek dapat diajukan oleh pihak yang memiliki kepentingan atas merek yaitu
adanya kerugian yang ditimbulkan. Selanjutnya, untuk merek yang belum atau tidak
mendaftarkan mereknya juga tetap diberi kesempatan
untuk mengajukan sengketa pembatalan merek ke pengadilan
dengan melampirkan bukti atas penggunaan
merek tersebut. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa penerapan first to use
sangat erat dengan pembuktian penggunaan merek dan biasanya ditujukan untuk melakukan gugatan bagi pemilik merek
yang tidak terdaftar.
Di
Indonesia, saat ini pendaftar pertama selalu dinilai memiliki kepastian hukum. Namun, jika
perlindungan hukum hanya mengacu kepada
prinsip first to file dapat
menimbulkan ketidakadilan bagi pemilik merek
yang sesungguhnya serta
juga dapat meningkatkan potensi perbuatan itikad tidak baik
yang menimbulkan kecurangan� (Thalib
& Mukhlisin, 2017). Maka
dari itu, diperlukan penerapan first to use
pada gugatan pembatalan merek ditujukan untuk membuktikan unsur itikad tidak
baik yang dilakukan oleh pemilik merek yang tidak berhak agar terciptanya keadilan. Adanya hubungan antara prinsip first to use dengan itikad baik
yang mana apabila terjadi penyalahgunaan merek dengan itikad buruk
dan bertentangan dengan UU Merek, maka pihak
yang dirugikan dapat mengajukan pembatalan merek dengan memberikan
bukti atas penggunaan dan pemakaian pertama. Prinsip first to use sebagai upaya untuk
melindungi merek.
Dalam UU No. 20 Tahun 2016, implementasi
prinsip first to use memiliki
tujuan untuk menguji pemilik merek yang sebenarnya. Artinya, dalam UU Merek masih menerapkan
prinsip first to use secara
tersirat untuk memberikan kesempatan pemilik merek dengan
mengajukan bukti pada saat gugatan pembatalan
merek berlangsung. Sebagaimana dengan kasus gugatan sengketa
pembatalan merek merek GF RACING dengan putusan No.813/K/Pdt.Sus-HKI/Merek/2020. Merek GF RACING adalah merek dagang
yang digunakan dalam perdagangan produk otomotif untuk kendaraan. Merek GF RACING milik penggugat telah digunakan dan beredar di pasaran sejak tahun 2013 serta telah didaftarkan
dengan nomor pendaftaran DID2019065389 yang berada
pada kelas 12, namun pada saat itu tidak
diterima oleh DJKI dikarenakan
dianggap memiliki persamaan dengan merek MOTOGP+. Sedangkan, pada tahun 2018 merek GF RACING milik tergugat didaftarkan pada kelas yang sama dengan nomor
pendaftaran IDM000652247. Pada tahun
yang sama, penggugat mengajukan keberatan kepada Direktorat Merek atas permohonan
merek GF RACING baru oleh tergugat. Keduanya antara merek GF RACING lama dan merek GF RACING baru, memiliki persamaan yang cukup signifikan baik secara penyebutan
nama sampai tampilan visual. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, jika dikaitkan dengan UU Merek maka dapat
mengacu kepada Pasal 76 yang mana dapat dilakukan pembatalan merek karena penggugat
memiliki kepentingan dan merasa dirugikan akibat mereknya didaftarkan oleh pihak lain tanpa hak.
Hal ini juga mengacu kepada Pasal 21 ayat (3) bahwa permohonan harus ditolak jika pemohon
beritikad tidak baik dengan maksud
menjiplak merek yang sudah ada sebelumnya
dan menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
yang berpotensi mengecoh konsumen. Perbuatan yang dilakukan oleh tergugat dalam hal ini
dapat diduga melakukan itikad tidak baik karena
memanfaatkan kelemahan dalam sistem pendaftaran
first to file. Dalam putusan
tersebut, hakim memutuskan untuk mengabulkan gugatan penggugat dikarenakan sebagai pengguna pertama. Hal tersebut dikarenakan dapat dilihat bahwa
tergugat memang memiliki itikad tidak baik dengan
mengajukan permohonan merek yang sama dan kelas yang sama. Dalam permasalahan tersebut sangat diperlukan pembuktian siapa pengguna pertama sebenarnya, hal ini juga didukung merek sudah beredar
jauh sebelum tahun didaftarkan dan beredar luas meskipun
belum didaftarkan. Prinsip first to file dapat dianggap tidak absolut dalam menyelesaikan
sengketa merek tersebut.
Permohonan pembatalan merek
yang dilakukan oleh penggugat
tentu menitikberatkan kepada pembuktian yang mana berhubungan erat dengan prinsip first to use. Prinsip first to use menjadi
sangat diperlukan karena penggugat wajib membuktikan di pengadilan bahwa ia adalah
pihak yang memiliki hak atas merek
yang berkaitan dan pemilik
yang sebenar-benarnya. Prinsip
first to use dapat digunakan
meskipun merek tersebut telah terdaftar dan ditemukan celah bahwa adanya
itikad buruk didalamnya yang menimbulkan kerugian serta tidak memberikan keadilan yang mumpuni untuk pihak yang berkepentingan.
Oleh karena itu, kasus
sengketa Merek GF RACING sebagai gambaran jelas bahwa implementasi
prinsip first to use dalam
UU Merek masih diberlakukan terutama apabila ditemukan kecurangan atau perbuatan itikad tidak baik oleh para pelaku usaha. Itikad
tidak baik tersebut menjadi dasar yang perlu dibuktikan kepada pengadilan secara jelas bahwa dalam
pendaftaran merek yang telah dilakukan terdapat unsur yang tidak sesuai. Maka
dari itu, diperlihatkan dalam permasalahan tersebut bahwa perlunya membuktikan bahwa merek tersebut hasil ide dari pemilik merek dan juga dibuktikan bahwa tidak adanya perbuatan
buruk atas penggunaan merek tersebut. Prinsip first to file dalam hal ini
tidak dapat sepenuhnya melindungi pemilik merek karena
cenderung mengesampingkan keadilan hukum dan memiliki celah yang cukup besar untuk
para pelaku usaha melakukan perbuatan curang. Sehingga, sepatutnya perlindungan hukum tetap diberikan
kepada pemilik merek dengan mengedepankan
sisi keadilan yang berarti mengedepankan prinsip first to use walaupun dalam UU Merek diberikan secara tersirat dan tidak secara jelas. Dengan
demikian, implementasi prinsip first to use dapat digunakan untuk pembatalan merek selama dapat dibuktikan
dengan jelas dan pasti oleh pemilik merek yang sesungguhnya.
Kesimpulan
Penerapan First to use tidak diatur secara eksplisit
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, karena undang-undang merek hanya menggunakan
pendaftar pertama untuk mendapat hak eksklusif. Penerapan first to use yang diberikan
oleh Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 secara implisit terkandung dalam Pasal 76 ayat (2) bahwa merek tidak terdaftar
dapat mengajukan gugatan pembatalan ke Pengadilan Niaga
dengan melampirkan bukti pemakaian dan penggunaan atas merek tersebut. Sehingga penerapan first to use
yang diberikan undang-undang
merupakan dasar dalam menentukan pemilik merek yang sejatinya, yaitu pemilik merek yang dapat membuktikan atas penggunaan suatu merek. Atas dasar tersebut, first to use masih dapat diberikan
perlindungan untuk melindungi pihak yang beritikad baik meskipun tidak dapat digunakan secara mandiri. Dalam UU Merek, implementasi prinsip first to use
memiliki tujuan untuk menguji pemilik
merek yang sebenarnya terhadap suatu merek yang artinya, UU Merek menerapkan prinsip first to use secara tersirat untuk memberikan kesempatan pemilik merek mengajukan
bukti pada saat gugatan pembatalan merek berlangsung.
BIBLIOGRAFI
Aristeus, S. (2010). Perlindungan
merek terkenal sebagai aset perusahaan. Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
Balqis, W. G. (2021). Perlindungan Merek sebagai Hak
Kekayaan Intelektual: Studi di Kota Semarang, Indonesia. Journal of Judicial
Review, 23(1), 41�56.
Dermawan, R. (2015). Tinjauan Yuridis Undang-Undang
Merek Terhadap Penggunaan Merek Sepatu Olahraga Terkenal (Studi Kasus Putusan
No. 13/Merek/2010/Pn. Niaga. Jkt. Pst). NOVUM: JURNAL HUKUM, 2(1),
36�43.
Gautama, S., & Winata, R.
(1987). Himpunan keputusan merek dagang. (No Title).
Indriyanto, A., & Yusnita, I. M. (2017). Aspek
Hukum Pendaftaran Merek. Rajawali Press.
Laela, F. I. (2020). Analisis kepastian hukum merek
terkenal terdaftar terhadap sengketa gugatan pembatalan merek. Jurnal Ilmiah
Hukum Dan Keadilan, 7(2), 182�201.
Mahendra, R. (2021). Pelaksanaan Perlindungan
Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Bagi Pekerja Di CV. Basit Eshan Abadi
Berdasrkan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Di Desa
Lipat Kain Selatan, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
Universitas Islam Riau.
Marzuki, P. M. (2013).
Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. Mertokusumo, Sudikno.
Nomor, U.-U. R. I. (2020). Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Indonesia. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Nurachmad, M. (2012). Segala
Tentang HAKI Indonesia. Bukubiru.
OK, H. (2015). Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan
Intelektual. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ramadhani, T. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap
Produk Usaha Mikri Kecil dan Menengah Terkait Merek Yang Tidak Terdaftar di
Indonesia. Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Saraswati, I. A. K. I. N., & Ibrahim, R. (2020).
Pembatalan Merek Karena Adanya Kesamaan Konotasi Dengan Merek Lain Yang Telah
Terdaftar. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 7.
Sugiyono. (2019). Metode
Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta.
Taufik, H. (2022). Penerapan Asas Kebebasan
Berkontrak Pada Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Sawah (Studi Di Kecamatan Kuripan
Kabupaten Lombok Barat). Universitas_Muhammadiyah_Mataram.
Thalib, A., & Mukhlisin, M. (2017). Aneka Hukum
Bisnis Modern. Raja Grafindo Persada.
Wibowo, A. (2015). Justifikasi Hukum Pidana terhadap
Kebijakan Kriminalisasi Pelanggaran Hak Cipta, serta Perumusan Kualifikasi
Yuridis dan Jenis Deliknya. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 22(1),
54�75.
Yustisia, T. V. (2015). Panduan
Resmi Hak Cipta: Mulai Mendaftar, Melindungi, dan Menyelesaikan Sengketa.
VisiMedia.
Copyright holder: Farah Zhafirah Putri Lubis, R. Rahaditya (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |