Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
5, Mei 2023
RESILIENSI MASYARAKAT PENYINTAS BENCANA ALAM DI DESA
TOMPE KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA
Mohammad Aksyar,
Suparman Abdullah, Sakaria Anwar
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Banyaknya jumlah
korban jiwa, dan kerusakan infrastruktur yang hancur akibat bencana alam gempa dan tsunami pada tahun 2018 silam. Dalam hal ini
sangat dibutuhkan kemampuan
resiliensi untuk dapat hidup kembali
seperti sebelum mengalami bencana alam. Sehingga dapat membagun dan meningkatkan potensi ketahanan dalam masyarakat penyintas bencana alam. Penelitian
ini hadir untuk menganalisis bagaimana proses resiliensi masyarakat penyintas bencana alam di Desa Tompe Kecamatan
SIRENJA Kabupaten Donggala.
Penelitian ini menggunakan� metode� kualitatif� dengan�� analisis�� studi�� kasus.�� Sumber data�� dibagi�� menjadi�� dua kategori, yaitu� sumber� primer dan�
sekunder. Teknik� pengumpulan� data�
yang digunakan dalam
penelitian� ini yaitu,� wawancara mendalam, orbservasi,�� dokumentasi.
Teknik analisis data yang digunakan
adalah� reduksi� data,� penyajian data atau display,� dan penarikan� kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa proses resiliensi masyarakat penyintas bencana alam sudah terbentuk,
Namun mengalami kesulitan disebabkan ketidakmampuan masyarakat penyintas bencana alam dalam beradaptasi
maupun menyesuaikan dengan mata pencaharian
yang baru dan keterbatasannya
sumber daya alam yang tersisah pasca bencana alam
gempa dan tsunami terjadi.
Kata Kunci: resiliensi; masyarakat penyintas bencana alam
Abstract
The large number of victims, and damage to
infrastructure destroyed by the earthquake and tsunami natural disasters in
2018. In this case resilience skills are needed to be able to live again as
before experiencing a natural disaster. So that it can build and increase the
potential for resilience in communities of natural disaster survivors. This
research is present to analyze how the resilience process of natural disaster
survivors in Tompe Village, SIRENJA District, Donggala Regency. This study uses qualitative methods with
case study analysis. Data sources are divided into two categories, namely
primary and secondary sources. Data collection techniques used in this study
are in-depth interviews, observation, documentation. The data analysis
technique used is data reduction, data presentation or display, and drawing
conclusions. The results of this study indicate that the process of resilience
for natural disaster survivors has been formed, but experiencing difficulties
due to the inability of natural disaster survivors to adapt or adjust to new
livelihoods and limited natural resources remaining after the earthquake and
tsunami natural disasters occurred.
Keywords:
resilience; natural disaster
survivors
Pendahuluan
Bencana alam merupakan
peristiwa alam yang dapat mengakibatkan kerusakan atau bahkan memusnahkan makhluk hidup. Bencana alam sendiri
dapat terjadi karena faktor perubahan
dari alam itu sendiri atau
bahkan akibat dari ulah manusia.
Bencana alam dapat menyebabkan berbagai dampak negatif, baik itu
fisik maupun mental. Kerugian yang ditimbulkan oleh bencana alam diantaranya
banyakanya korban jiwa, hilangnya harta benda, rusaknya lingkungan, dan musnahnya ekosistem. Selain itu bencana juga dapat menimbulkan kemiskinan dan pengangguran (Alma, 2010).
Resiliensi merupakan kemampuan
sebuah sistem, komunitas atau masyarakat yang terdampak oleh bencana untuk melawan,
menyerap, mengakomodasi dan
memulihkan diri dari dampak suatu
bahaya secara cepat dan efisien, termasuk melestarikan dan memulihkan struktur dan fungsi dasar yang penting sebagai upaya manajemen Resiko bencana (Medina & Santoso, 2019). Sehingga resiliensi mengacu pada tanggapan inheren dan adaptif terhadap bencana yang memungkinkan masyarakat untuk mengurangi atau menghindari kerugian (Rose, 2004). Konsep ini dianggap lebih
efektif dan memiliki prespektif jangka panjang sehingga dapat menciptakan pembangunan yang berkelajutan. Sehingga, prinsip pengurangan Resiko bencana saat ini,
lebih ditekankan pada upaya peningkatan terhadap resiliensi bencana, baik di tingkat individu, komunitas, dan secara global.
Salah satu peristiwa
bencana alam yang perna terjadi dengan
dahsyat diwilayah Indonesia
tepatnya di Sulawesi Tengah yaitu
Kota Palu dan donggala berupa gempa, tsunami, dan likufaksi pada Jumat, 28
September 2018. Gempa bumi berkekuatan 7,4 SR dengan kedalaman 11 km terjadi pada episenter yang terletak pada koordinat 0,180 LS dan 119,850 BT berada
di Donggala Sulawesi Tengah dengan
pusat gempa berada pada 10 km timur laut. Gempa bumi
memicu tsunami disepanjang pesisir Kota Palu dan Kabupaten Donggala salah satunya adalah Kecamatan Sirenja di Desa Tompe (Thahir, 2019).
Selain banyaknya jumlah
korban jiwa, juga berimbas
pada banyaknya kerusakan bangunan dan infrastruktur yang hancur akibat bencana
alam gempa, tsunami, dan likufaksi. Kerusakan tersebut meliputi 68.451 unit rumah, 327 unit rumah ibadah, 265
unit sekolah, perkantoran
78 unit, toko 362 unit, jalan
168 titik retak, jembatan 7 unit dan sebagainya (Rosyida & Nurmasari,
2019). Pada UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana menjelaskan bahwa dalam manajemen
penanggulangan bencana, terbagi menjadi tiga tahapan, yakni
manajemen risiko bencana, manajemen kedaruratan, dan manajemen pemulihan. Pada tahapan manajemen pemulihan, inilah pentingnya proses pengembalian kondisi yang rusak baik secara
fisik maupun psikologis dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada.
Upaya untuk membangun
proses pemulihan dalam meningkatkan potensi ketahanan pada masyarakat, maupun mengatasi segala dampak perubahan
yang ditimbulkan oleh bencana
alam tsunami maupun gempa, dalam hal
ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan potensi ketahanan dalam masyarakat tersebut dinamakan adanya resiliensi pada masyarakat. Resiliensi merupakan hal yang penting bagi penyintas
bencana untuk dapat hidup kembali
seperti sebelum mengalami bencana. Resiliensi ditentukan beberapa faktor yang merupakan interaksi antara faktor personal yaitu kemampuan individu dalam menghadapi kondisi tidak menyenangkan dan kembali ke kondisi
yang lebih baik serta faktor eksternal
yaitu ada tidaknya dukungan sosial, fasilitas, dan konstruksi resiliensi secara sosial (Suryadi, n.d.).
Penelitian ini hadir
untuk mencoba menganalisis bagaimana proses resiliensi masyarakat penyintas bencana alam di desa tompe
kecamatan SIRENJA kabupaten
donggala.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Dengan dasar penelitian
studi kasus, untuk memahami secara mendalam Resiliensi Masyarakat Penyintas Bencana Alam Di Desa Tompe Kecamatan
SIRENJA Kabupaten Donggala.
Dalam studi kasus peneliti menjelaskan secara mendalam, Jadi studi kasus merupakan penelitian yang mempelajari secara intensif atau mendalam satu
anggota dari kelompok sasaran suatu subjek penelitian.
Defenisi lain mengatakan bahwa studi kasus
merupakan suatu kajian yang rinci tentang satu latar,
atau subjek tunggal, atau satu
tempat penyimpanan dokumen atau suatu
peristiwa tertentu (Hapudin, 2019).
Informan penelitian adalah individu atau kelompok yang menjadi sumber data dalam penelitian kualitatif yang dinilai dapat menyediakan informasi yang diperlukan dalam tujuan penelitian.
Ada beberapa cara dalam menentukan informan penelitian. Penentuan informan dalam penelitian ini mengikuti prosedur
purposif, yakni menentukan terlebih dahulu kelompok peserta yang akan dijadikan informan, tentu dengan memenuhi
kriteria-kriteria yang telah
disesuaikan dengan tujuan penelitian
Sesuai dengan judul dan tujuan penelitian ini maka kriteria informan
yang dipakai dalam penelitian ini yakni informan yang merupakan masyarakat penyintas bencana alam. Informan yang dibutuhkan dalam penelitian ini terbagi tiga kategori:
pertama, informan dari perwakilan masyarakat penyintas bencana yang terdiri dari sektor pertanian,
sektor peternakan dan sektor perikanan. Kedua, yaitu pemerintah
desa. Informal penelitian ini berjumlah 10 orang yang terdiri dari masyarakat
penyintas bencana alam 6 orang, pemerintah desa 4 orang.
Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua macam kategori:�� primer��
dan� skunder. Teknik pengumpulan
data yang digunakan� dalam
penelitian� ini yaitu,� 1. Wawancara mendalam, 2. Orbservasi,�� 3.�� Dokumentasi.��
Sedang�� teknik�� analisis�� data� yang digunakan�� adalah� reduksi� data,� penyajian�� data� atau� display,�
dan penarikan��� kesimpulan. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tompe Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi
Tengah.
Hasil dan Pembahasan
1. Proses Resiliensi Masyarakat Penyintas Bencana
Alam di Desa Tompe
Resiliensi pada masyarakat penyintas bencana alam merupakan
kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dan pulih dari dampak
terburuk dengan memanfaatkan sumber daya lokal mereka
saat pra-bencana, bencana, dan pasca bencana (Arif, 2018). Dalam proses resiliensi pada masyarakat penyintas bencana alam di desa Tompe Kabupaten
Donggala memilki sumber daya lokal
yang sangat terbatas akibat
kerusakan pasca bencana terjadi ditahun 2018 yang mengalami
tsunami dan gempa. Desa Tompe juga daerah yang paling terdampak dan menjadi pusat bencana alam
gempa dan tsunami di Daerah Kabupaten
Donggala. Hal tersebut membuat masyarakat penyintas bencana alam desa Tompe
mengalami kesulitan dalam proses resiliensi� serta
kemampuan untuk� menyesuaikan� dari dampak bencana alam. �Pada awal pasca bencana terjadi
tahun 2018 lalu, kami masyarakat disini sangat kesulitan untuk bangkit pak, apalagi
pak secara ekonomi karena hampir semua aset-aset
lahan mata pencaharian kami itu hilang akibat gempa
dan tsunami yang terjadi pak,
Jadi memang kami ini agak lambat untuk
bisa pulih pak kemarin, apalagi
kemarin itu kami berusaha bekerja dengan pekerjaan baru� (Wawancara bersama informan H, tanggal 25 Juli 2022).
Mata pencaharian masyarakat desa tompe yang merupakan salah satu sektor yang terdampak langsung dari kejadian bencana
gempa bumi, tsunami di Kabupaten Donggala. Masyarakat penyintas bencana yang terdampak kehilangan mata pencaharian dan aset-aset mata pencaharia. Untuk membangun kembali ketahanan pangan masyarakat terdampak dan mewujudkan kembali mata pencaharian tersebut, Lembaga Human Initiative dengan
dukungan dari Oxfam di
Indonesia menyelenggarakan Program Pemulihan dan Peningkatan Mata Pencaharian melalui sumber daya lokal
yang masih ada. Sehingga sebagaian masyarakat penyintas bencana alam, memulai
dari awal untuk mencari mata
pencaharian yang baru. Jadi
disini pasca bencana itu, pak,
hampir semua memulai dari awal
untuk mata pencaharian kami pak, karena ada yang hilang semua asetnya,
ada juga sudah tidak bisa digunakan
asetnya seperti lahan sawahnya pak, � (Wawancara
bersama informan H, tanggal 25 Juli 2022).
Merujuk pandangan menjelaskan bahwa dari sumber
daya yang bisa digunakan oleh masyarakat merupakan sebagai kapasitas adaptasi untuk bertahan di antaranya keterhubungan antara orang dengan tempat tinggal, nilai dan terbuka. Kemampuan masyarakat penyintas bencana alam desa tompe
dalam kepercayaan, ilmu pengetahuan, keterampilan, jaringan sosial, keterlibatan pemerintah (termasuk kolaborasi antarinstitusi), inovasi ekonomi, infrastruktur, dan pikiran yang beradaptasi dengan lingkungan sumber daya lokal yang masih ada, sangat mempengaruhi proses resiliensi pasca bencana alam
terjadi. �Untuk pemulihan mata pencaharian masyarakat penyintas bencana itu, yang paling berpengaruh itu pak, dukungan
dari masyarakat itu sendiri untuk
bangkit dan mau menyesuaikan dari kondisi yang tidak punya apa-apa, berusaha untuk bangkit kembali
mencari mata pencahrian baru dengan melibatkan dan mengandalkan berbagai macam sumber daya
yang ada baik dari bantuan pemerintah
daerah, pemerinta desa serta lembaga
Human Initiative lainnya� (Wawancara
bersama informan H.H tanggal 27 Juli 2022).
Untuk menilai bahwa proses resiliensi masyarakat, yakni berdasarkan analisis ketahanan sumber daya (resources robustness) dan kapasitas adaptif (adaptive
capacity). Ketahanan sumber
daya (resources
robustness) adalah faktor
penting yang menentukan resiliensi masyarakat, yaitu seberapa jauh masyarakat mampu memobilisasi sumber daya yang dimiliki untuk mengembalikan kehidupan seperti semula setelah mengalami guncangan akibat bencana. Upaya yang dapat dilakukan dapat berupa membangun
dan merehabilitasi tempat pengungsian, mendukung institusi publik yang menyediakan pelayanan dasar serta meningkatkan
akses terhadap lahan, dan fasilitas yang mendukung kelangsungan kegiatan mata pencaharian
baik pertanian, peternakan maupun nelayan.
Proses adaptasi itu sendiri merupakan
suatu proses dimana suatu kesatuan berubah dan membangun hubungan yang saling menguntungkan dengan lingkungannya. Lingkungan ini dapat berupa
lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Adaptasi juga mempengaruhi pola pikir masyarakat
serta kemampuan beradaptasi pada lingkungan fisik, ekonomi, budaya, maupun sosial. Hal ini sesuai dengan hasil
wawancara bersama informan A dengan mengatakan bahwa: �Kami ini masyarakat penyintas bencana kemarin, tentunya mengalami kesulitan juga pak, dengan memanfaatkan
yang tersisah dari lahan tani sawah kami, dengan memanfaatkannya menjadi lahan untuk
menanam palawija yang sebelumnya lahan petani sawah, dengan adanya bantuan modal untuk beli bibit
dari lembaga Human
Initiative bisa lah membantu kami untuk bisa kembali menggarap
lahan kami yang tersisah bencana� (Wawancara bersama Informan A. tanggal 28 Juli 2022).
Suatu resiliensi masyarakat penyintas bencana alam sangat dipengaruhi oleh kemampuan adaptasi suatu masyarakat terhadap lingkungan fisik, ekonomi maupun lingkungan sosialnya. Dalam lingkungan fisik, seperti rumah, lahan pertanian dan aset mata pencaharian
lainnya yang membutuhkan kemampuan adaptasi masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya yang masih ada dan membangun hubungan kerja sama dari berbagai
stakeholder yang saling menguntungkan.
�Pada awal pasca bencana terjadi tahun 2018 lalu, kami masyarakat disini sangat kesulitan untuk bangkit secara ekonomi karena hampir semua aset-aset
lahan mata pencaharian kami itu hilang akibat gempa
dan tsunami jadi kami ini agak lambat untuk
bisa pulih pak kemarin, apalagi
kemarin itu kami berusaha bekerja dengan pekerjaan baru kami pak� (Wawancara bersama informan H, tanggal 25 Juli 2022).
Mata pencaharian masyarakat desa tompe yang merupakan salah satu sektor yang terdampak langsung dari kejadian bencana
gempa bumi, tsunami di Kabupaten Donggala. Masyarakat penyintas bencana yang terdampak kehilangan mata pencaharian dan aset-aset ekonomi. Untuk membangun kembali ketahanan pangan masyarakat terdampak dan mewujudkan kembali mata pencaharian
tersebut, Kemampuan masyarakat penyintas bencana alam desa
tompe dalam penyesuaian dengan lingkungan sumber daya lokal yang masih ada sangat mempengaruhi proses resiliensi pasca bencana alam
terjadi.) Berdasarkan Hasil
wawancara diatas, menunjukan bahwa kemampuan masyarakat penyintas bencana alam desa tompe
mengalami kesulitan dalam menyesuaikan perubahan mata pencaharian ketikan pasca bencana alam
terjadi.
2. Tahapan Resiliensi Masyarakat Penyintas
Bencana Alam Di Desa Tompe
O�Leary dkk dalam (Coulson, 2006) menyebutkan empat tahapan yang terjadi ketika seseorang mengalami situasi dari kondisi yang menekan (significant
adversity) antara lain yaitu:
Menyerah, Bertahan, Pemulihan dan Berkembang pesat. Pada masyarkat penyintas bencana alam di desa tompe
telah melalui tahapan demi tahapan, baik itu dalam
tahapan kondisi menyerah, bertahan dan kondisi pemulihan dalam proses resiliensi. �Kalau setelah bencana
alam yang menimpah kami pak, kami ini baru
bisa pulih kembali, setelah adanya berbagai macam bantuan pak,
baik itu pemerintah maupun bantuan dari lembaga
kemanusiaan, apalagi dengan bantuan Lembaga Human
initiative sudah sangat membantu
pemulihan ekonomi mata pencaharian kami disini pak, setidaknya
kami ini sudah bisa pulihlah ekonomi
kami pak. (Wawancara dengan informan A.A tanggal 26 Juli 2022) Hasil wawancara bersama A.A menjelaskan bahwa untuk tahapan pada resiliensi masyarakat penyintas bencana alam dengan adanya
bantuan program dari lembaga Human Initiative hanya dapat memulihkan kembali mata pencaharian
masyarakat.
Tahapan dalam proses resiliensi para penyintas bencana alam, hanya berada
pada tahapan pemulihan dengan adanya bantuan
yang diberikan Lembaga Human Initiative. Hal tersebut belum mencapai tahapan resiliensi pada tahapan yaitu berkembang pesat, yang menurut O�Leary dan Icko vics dalam
(Coulson, 2006) menyebutkan empat tahapan yang terjadi ketika seseorang mengalami situasi dari kondisi yang menekan (significant
adversity) antara lain yaitu:
menyerah, bertahan, pemulihan dan berkembang pesat. "Sebenarnya, kalau dilihat juga hasil evaluasi program oleh
internal Human Initiative dan Oxfam Indonesia kemarin,
yah memang sih kondisi nya hanya
bisa mengembalikan aset-aset mata pencaharian, apalagi para kelompok-kelompok nelayannya hanya bisa dapat
memulihkan ekonomi saja pak" (Wawancara Bersama M. tanggala 9 Agustus 2022). Dikuatkan juga
oleh hasil wawancara bersama informan M bahwa tahapan resiliensi
atau tingkat ketahanan masyarakat penyintas bencana alam di desa tompe
hanya dapat memulihkan kembali mata pencaharian ekonomi masyarakat yang bencana ini setelah
kehilangan aset-aset mata pencahariannya pasca bencana alam.
3. Kendala- Kendala Dalam
Proses Resiliensi Masyarakat Penyintas
Bencana Alam di Desa Tompe
Kendala-kendala dalam proses resiliensi terbagi menjadi dua yaitu kendala internal yang berasal dari dalam
masyarakat penyintas bencana dan kendala eksternal yang berasal dari luar masyarakat
penyintas bencana. Dalam kendala internal terdapat tiga yaitu
pertama, semangat nilai gotong royong (Sintuvu) yang menurun disebabkan tingginya individualis atau mementingkan diri sendiri untuk bisa
bertahan hidup pasca bencana. Kedua rendahnya partisipasi dan keterlibatan anggota kelompok usaha dalam mengikuti
setiap kegiatan program pemulihan mata pencaharian yang tampaknya kurang menarik. Ketiga terjadinya konflik antar anggota
kelompok usaha yang disebabkan oleh kecemburaan sosial adanya penggunaan
aset-aset kelompok yang diberikan hanya didominasi oleh satu orang saja.
Adapun kendala eksternal terdapat tiga kendala yaitu : Pertama, adanya perubahan
lingkungan alam akibat terjadinya bencana sehingga lahan sawah terendam air laut secara permanen,
selain itu mengakibatkan juga para nelayan mengalami kesusahan dalam mencari ikan pasca bencana terjadi,
para nelayan harus keluar jauh ketengah
laut untuk bisa mendapatkan ikan. Kedua adanya keterbatasan Infrastruktur yaitu banyaknya infrastrktur jalan kantong kantong
produksi pertanian yang rusak maupun hilang
akibat dari bencana tsunami dan gempa, dan Ketiga yaitu kurangnya dukungan pemerintah daerah kabupaten donggala untuk mendampingi maupun pembinaan sudah tidak berlanjut. Hal ini yang mengakibatkan beberapa kelompok usaha program mata pencaharian disektor pertanian dan peternakan tidak berlanjut pasca program selesai.
Kesimpulan
Proses resiliensi
masyarakat penyintas bencana alam melalui
program mata pencaharian
Human Initiative di Desa Tompe
Kabupaten Donggala sudah terbentuk, namun mengalami kesulitan disebabkan ketidakmampuan masyarakat penyintas bencana alam dalam menyesuaikan
mata pencaharian yang baru, sehingga masyarakat penyintas bencana alam belum
dapat beradaptasi dalam proses resiliensi melalui program pemulihan mata pencaharian� lembaga
human Initiative.
Kendala-kendala dalam
proses resiliensi terbagi menjadi dua yaitu kendala internal yang berasal dari dalam masyarakat
penyintas bencana dan kendala eksternal yang berasal dari luar
masyarakat penyintas bencana. Dalam kendala internal terdapat tiga yaitu pertama,
semangat nilai gotong
royong (Sintuvu)
yang menurun. Kedua rendahnya partisipasi. Ketiga terjadinya konflik antar anggota.
Adapun kendala eksternal terdapat tiga kendala
yaitu :
Pertama, adanya perubahan lingkungan alam. Kedua adanya keterbatasan
Infrastruktur. Ketiga yaitu
kurangnya dukungan pemerintah daerah kabupaten donggala untuk mendampingi maupun pembinaan sudah tidak berlanjut.
Tahapan proses resiliensi masyarakat penyintas bencana alam hanya berada
ditahapan pemulihan saja. Belum mampu menjadikan masyarakat penyintas bencana alam berada ditahapan
resiliensi yang berkembang pesat (Thriving) pasca bencana alam.
Adapun aspek yang mempengaruhi
proses resiliensi penyintas
bencana alam yaitu kemampuan terhadap kepercayaan diri sendiri untuk
bisa bangkit, adanya bantuan modal aset oleh human initiative dan kemampuan
untuk menjadikan nilai-nilai keimanan terhadap agama, sehingga menjadi spirit untuk bangkit dan dapat bertahan dari tekanan
menghadapi bencana tsunami
dan gempa tahun 2018.
Alma, Buchari. (2010). Pembelajaran studi
sosial. Bandung: Alfabeta.
Arif, Ahmad. (2018). Catatan Pemikiran
dari Titik Nol Tsunami Aceh: Membangun Negeri Sadar Bencana. Syiah Kuala
University Press.
Coulson, Ronaye. (2006). Resilience and
self-talk in University Students. University of Calgary.
Hapudin, Muhammad Soleh. (2019).
Implementasi Pendidikan Karakter Melalui Pembangunan Budaya Sekolah (Culture
School). Journal of Teaching Dan Learning Research, 1(2),
121�130.
Medina, Amalia, & Santoso, Eko Budi. (2019).
Peningkatan Resiliensi Ekonomi Masyarakat Berdasarkan Tingkat Kerugian Ekonomi
di Kawasan Terdampak Kali Lamong Kabupaten Gresik (Increased Community Economic
Resilience Based on the Level of Economic Losses in the Kali Lamong Affected
Area in Gresik Regency). Jurnal Penataan Ruang, 14(1), 1�5.
Rose, Adam. (2004). Defining and measuring
economic resilience to disasters. Disaster Prevention and Management: An
International Journal, 13(4), 307�314.
Rosyida, Ainun, & Nurmasari, Ratih.
(2019). Analisis Perbandingan Dampak Kejadian Bencana Hidrometeorologi dan
Geologi di Indonesia Dilihat Dari Jumlah Korban (Studi: Data Kejadian Bencana
Indonesia 2018). Jurnal Dialog Dan Penanggulangan Bencana, 10(1),
12�21.
Suryadi, Bambang. (n.d.). Hubungan
antara pesiliensi dengan prestasi belajar anak binaa yayasan SMART Ekselensia
Indonesia.
Thahir, Lukman S. (2019). Semua Di Luar
Nalar: 7 Kisah Inspiratif Melawan Amarah Gempa & Tsunami Di Palu.
Pustaka Harakatuna.
Copyright holder: Mohammad Aksyar, Suparman Abdullah, Sakaria Anwar (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |