Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 5, Mei 2023

 

CITRA PEREMPUAN SEBAGAI OBJEK DALAM FILM HOROR

Velia Paranta, Alfarabi, Eka Vuspa

Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Bengkulu

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini berfokus pada citra perempuan yang ditampilkan dalam Film Horor yang berjudul Pee Mak Phrakanong dengan melihat bagaimana perempuan direpresentasikan berdasarkan analisis wacana kritis model Sara Mills. Peneliti mengumpulkan data kemudian menyajikan data dalam bentuk tabel potongan gambar dengan 2 posisi yakni, perempuan diposisikan sebagai subjek atau objek, dan bagaimana posisi penonton ditempatkan dalam sebuah teks film tersebut. Paradigma kritis menjadi sudut pandang dalam penelitian ini untuk mengetahui dan mengkritik aspek-aspek tersembunyi dari representasi perempuan sebagai sosok hantu dalam film. Keabsahan data yang peneliti gunakan adalah triangulasi data yang memanfaatkan instrumen penelitian lain dalam membandingkan hasil penelitian. Adapun hasil penelitian, yaitu : 1) Perempuan pada film ini direpresentasikan sebagai karakter hantu dan karakter seorang istri sehingga hanya akan memiliki kuasa ketika memposisikan diri sebagai subjek penceritaan dalam wujud hantu, 2) Penonton diberikan� pemahaman mengenai representasi perempuan bahwa perempuan hanya bisa menerima posisi tersebut di manapun posisi ia berada.

 

Kata Kunci : Citra, Perempuan, Film Horor

 

Abstract

This research focuses on the image of women featured in a horror film entitled Pee Mak Phrakanong by looking at how women are represented based on the critical discourse analysis model of Sara Mills. The researcher collected the data and then presented the data in the form of a table of image fragments with 2 positions namely, women are positioned as subjects or objects, and how the position of the audience is placed in a film text. The critical paradigm becomes a point of view in this research to find out and criticize the hidden aspects of the representation of women as ghosts in films. The validity of the data that researchers use is data triangulation that utilizes other research instruments in comparing research results. As for the results of the research, namely: 1) Women in this film are represented as ghost characters and the character of a wife so that they will only have power when positioning themselves as the subject of storytelling in the form of ghosts, 2) The audience is given an understanding of women's representation that women can only accept this position wherever he is located.

 

Keywords: Image, Woman, Horror Movie

 

Pendahuluan

Film menjadi media komunikasi massa yang saat ini dipilih secara nyata oleh masyarakat sebagai media informasi dan hiburan karena dapat mempengaruhi pola piker, sikap dan tindakan dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang berinteraksi satu sama lainnya (Pratama, Iqbal, & Tarigan, 2019). �Pendapat ini sejalan dengan pandangan dari (Gunawan, 2018) yang menyatakan bahwa ketika penonton benar-benar berkonsentrasi saat menonton film, tanpa disadari penonton tersebut akan sangat mengkhayati hingga menyamakan diri sebagai salah seorang pemeran dalam film yang ditonton.

Dapat dikatakan bahwa sudah lebih dari 100 tahun terakhir ini masyarakat mengenal dan akrab dengan film dengan beragam bentuk yang memiliki karakteristik masing-masing karena film itu sendiri didefinisikan sebagai salah satu media massa yang terus dipilih oleh masyarakat sebagai kebutuhan akan informasi dan hiburan (Ramli, 2012). Nawiroh Vera mengelompokkan film fiksi menjadi beberapa genre, diantaranya ialah Drama, Laga (action), Komedi, Animasi, Science Fiction, Musikal, Kartun, dan juga (Daim, 2021).

Di Indonesia sudah tidak jarang kita menemukan perempuan sebagai tema yang besar diangkat oleh para sutradara yang dikelompokkan menjadi 2 jenis utama yakni, berdasarkan fiktif� (film cerita atau fiksi) dan nonfiktifnya (film nonfiksi) sehingga peristiwa dalam film, baik itu film fiktif �maupun nonfiktif sebenarnya memiliki �pola atau karakteristik yang sama, seperti kesamaan latar, tema, struktur cerita, dan aksi atau peristiwa dalam film yang dikenal dengan istilah genre.

Penempatan perempuan sebagai tokoh utama dalam sebuah film sebenarnya secara Sadar atau tidak sadar, hal ini juga terjadi pada film ber-genre horror yang banyak menempatkan perempuan sebagai tema hingga tokoh utama dalam filmnya namun penggambaran lain perempuan dalam film sering kali diposisikan sebagai sesuatu yang jahat (Darmawan, 2019).� Seperti sosok hantu yang identik dengan perempuan dalam film ber-genre horror padahal jika ditinjau dari kata perempuan dalam (Jupriono, 1997) dari artikel Perempuan, Wanita, atau Betina? Menjelaskan bahwa secara etimologis berasal dari kata �empu� yang berarti �tuan�, �orang yang mahir atau berkuasa�, �kepala�, �hulu�, ataupun �yang paling besar� (Putry, 2018). Kata perempuan juga berakar erat dari kata �empuan� yakni kata yang mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya sapaan hormat pada perempuan (Saruan, 2022).

Untuk lebih jelasnya, peneliti telah merangkum berbagai sosok hantu yang dikenal di Indonesia :

Tabel 1.1 Daftar Hantu Perempuan dan Hantu Laki-laki yang dikenal di Indonesia

No

Hantu Perempuan

Hantu Laki-Laki

1.

Suster Ngesot:

Sosok hantu seorang perawat perempuan yang tidak bisa berdiri dan berjalan hanya dengan cara menyeret kaki hingga panggulnya.

Genderuwo:

Hantu laki-laki yang berwujud manusia mirip kera. Tubuhnya besar dan kekar dengan warna kulit hitam kemerahan dan ditutupi rambut lebat di sekujur tubuh.

2.

Kuntilanak:

Hantu dari perempuan hamil yang meninggal dunia karena melahirkan.

Tuyul:

Digambarkan sebagai sosok anak laki-laki yang botak, hanya mengenakan celana dalam dan ditugaskan oleh pemiliknya untuk mencuri uang.

3.

Nenek Gayung:

Hantu berwujud perempuan yang sudah tua (nenek) yang selalu membawa gayung dan tikar pandan untuk memandikan korbannya.

Kakek Cangkul:

Dikisahkan bahwa Kakek Cangkul adalah suami dari Nenek Gayung. Ketika meninggal, jasad Kakek Gayung tidak sempat dikuburkan dengan layak. Seperti namanya, kakek cangkul adalah sosok hantu laki-laki tua (kakek) yang membawa cangkul kemana-mana.

5.

Sundel Bolong:

Hantu perempuan cantik berambut panjang yang bolong atau berlubang di bagian punggungnya. Bolongan pada punggung Sundel Bolong hanya sedikit tertutup rambut-rambut panjangnya sehingga organ tubuh didalamnya terlihat.

Buto Ijo:

Hantu raksasa yang dipercaya bisa mendatangkan kekayaan melalui ritual persugihan. Selain itu Buto Ijo uga bisa menjadi �penjaga� rumah dan harta benda lainnya.

7.

Kuyang:

Siluman perempuan berwujud kepala manusia dengan isi tubuh yang menempel tanpa kulit dan anggota badan. Kuyang dapat terbang untuk mencari darah bayi atau darah wanita setelah melahirkan. Kuyang dikenal masayarakat di Kalimantan sebagai sosok manusia (perempuan) yang belajar ilmu hitam untuk mencapai kehidupan abadi.

 

8.

Wewe Gombel:

Sering disebut juga Nenek Gombel adalah istilah dalam tradisi Jawa yang berarti roh jahat atau hantu. Hantu ini kerap menculik anak-anak namun tidak mencelakainya. Anak-anak yang diculik adalah anak-anak yang ditelantarkan oleh orangtuanya.

 

������������������

Sumber : Olahan peneliti hasil pra penelitian, Oktober 2019

Selain pada beberapa jenis hantu yang berkembang dalam film di Indonesia, penulis juga menemukan beberapa nama hantu yang melekat secara budaya dan tradisi sehingga diwariskan ceritanya secara turun temurun pada anak di Bengkulu, yaitu Nyi Blorong, Nyi Roro Kidul, Mak Lampir, Nini Pelet (Anas, 2018).

Selain itu,� penggambaran sosok perempuan sebagai �hantu� dalam bayangan masyarakat untuk sebuah film bukan hanya menjadi fenomena masyarakat di Indonesia, melainkan juga terdapat di beberapa belahan Negara lain seperti halnya di Jepang ada hantu Yuki Onna yakni, hantu perempuan yang biasa muncul di komik-komik Jepang dan identik dengan sosok perempuan berpakaian Kimono atau baju tradisional Jepang. Venezuella memiliki hantu perempuan yang disebut dengan La Sayona yang artinya Algojo. Hantu dari Venezuella ini diidentikkan dengan roh perempuan yang sangat kejam bernama Casilda. Ada juga hantu perempuan dari Meksiko yakni, La Llorona yang dikatakan adalah hantu perempuan yang arwahnya tidak bisa ke surga dan banyak merenggut nyawa anak-anak. Di Amerika Utara, ada hantu yang disebut dengan Hantu Gaun Merah (Lady in Red) yakni cerita tentang perempuan pekerja seks yang senang mengenakan gaun berwarna merah. Ada lagi hantu perempuan yang juga berasal dari Asia yakni, hantu Mae Nak yang berasal dari Thailand dan latar belakangnya mirip dengan cerita Kuntilanak yang ada di Indonesia yakni, tentang perempuan yang meninggal karena melahirkan (Wardhana, 2013).

Dengan demikian, perfilman di berbagai dunia masih menggunakan ideologi patriarki, termasuk pada film ber-genre horror. Hal ini berdasarkan pendapat Corri Prestita Ishaya dalam skripsinya berjudul Analisis Wacana Sara Mills dalam Film Dokumenter Battle for Sevastopol (2016) (Ishaya, 2016), hingga saat ini kajian film mengenai perempuan atau yang sering disebut sebagai feminisme dalam film cukup menarik untuk dikaji karena dalam dunia perfilman masih menggunakan pandangan bahwa lelaki memiliki status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.

Film berjudul Pee Mak Phrakanong yang merupakan film horror Thailand yang disutradarai oleh Banjong Pisanthanakun. Ceritanya diadaptasi dari cerita Mae Nak yakni, legenda dari Thailand atau Thai folklore yang kisahnya diangkat dari kisah nyata yang terjadi antara tahun 1851 hingga 1868 (Tridika, 2016) juga memberikan gambaran perempuan sebagai sosok hantu namun tidak digambarkan sebagai perempuan yang tertindas semasa hidupnya sehingga meninggal di tangan laki-laki dan baru mendapat kekuatan untuk membalaskan dendam ketika telah meninggal atau menjadi hantu, film ini justru dengan lembut membalutkan kisah cinta sepasang kekasih bernama Nak dan Pee Mak sebagai �kisah horrornya�.

Film ini menarik untuk diteliti, selain karena menampilkan perempuan sebagai hantu dalam penokohannya, juga karena film ini mengusung genre horror-romantic-comedy yang unsur romatic - comedy-nya rentan untuk menghadirkan teks bias dalam merepresentasikan perempuan itu sendiri. Bahkan, sangat memungkinkan perempuan akan dimarjinalkan dalam representasi yang demikian. Selain itu, film ini menarik untuk diteliti juga karena telah masuk dalam daftar Box Office Thailand bahkan penjualannya sukses secara Internasional.

 

Metode Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian kualitatif tentang bagaimana perempuan direpresentasikan dalam film horror Pee Mak Phrakanong dengan menggunakan analisis wacana kritis model Sara Mills (Strauss & Corbin, 2003). Peneliti mengumpulkan data, kemudian menyajikan data dalam bentuk tabel potongan gambar dari film Pee Mak Phrakanong berdasarkan 2 posisi yakni, perempuan diposisikan sebagai subjek atau objek, dan bagaimana posisi penonton ditempatkan dalam sebuah teks film tersebut. Data-data yang telah ada dijelaskan menggunakan referensi yang tersedia dan dibahas secara ilmiah.

Adapun paradigma penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini ialah paradigma kritis yang meyakini bahwa realitas sosial merupakan entitas yang dikonstruksikan secara sosial sehingga selalu berada di bawah relasi kuasa yang konstan (Muslim, 2018). Untuk mengetahui dan mengkritik aspek-aspek tersembunyi dari representasi perempuan sebagai sosok hantu dalam film Pee Mak Phrakanong berdasarkan metode analisis wacana kritis model Sara Mills.

Subjek dalam penelitian ini adalah film horror berjudul Pee Mak Phrakanong. Sedangkan Objek dalam penelitian ini adalah gambar potongan adegan dan dialog (scene) dalam film tersebut. Ada dua jenis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini yaitu, data primer atau data utama dan data sekunder atau data tambahan dalam penelitian.

Dengan tetap berdasar pada konsep analisis wacana kritis model Sara Mills, aktivitas dalam analisis data ini terdiri dari 3 hal utama, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Ketiga kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar untuk membangun wawasan umum yang disebut analisis (Azizah, 2022).

Keabsahan data yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah triangulasi data. Triangulasi pada hakikatnya merupakan pendekatan multimetode yang dilakukan peneliti pada saat mengumpulkan dan menganalisis data (Bachri, 2010). Teknik ini adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan instrumen penelitian lain dalam membandingkan hasil penelitian (Machmud, 2016). Norman K. Denkin mendefinisikan triangulasi sebagai gabungan atau kombinasi berbagai metode yang dipakai untuk mengkaji fenomena yang saling terkait dari sudut pandang dan perspektif yang berbeda (Rahardjo, 2011).

 

Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil analisis, penulis menemukan bahwa film Pee Mak Phrakanong adalah film horror yang mengisahkan tentang kisah cinta sepasang kekasih bernama Pee Mak dan Nak sebagai kisah horror yang alur ceritanya dipegang oleh tiga kelompok penokohan yakni, tokoh Nak, tokoh Pee Mak, dan teman-teman Mak. Tiga kelompok penokohan ini sama-sama memiliki kesempatan untuk menempati posisi subjek ataupun posisi objek dalam penceritaan. Namun, meskipun tokoh perempuan juga memiliki kesempatan untuk menjadi subjek yang menceritakan dan mengekspresikan dirinya sendiri, dominasi tokoh laki-laki tetap terjadi dalam film ini. Penempatan perempuan sebagai tokoh hantu sekaligus tokoh istri yang menyembunyikan kebenaran tentang dirinya telah meninggal karena keinginannya untuk terus bersama dengan orang yang dicintainya sebagai inti dari cerita dalam film ini, membuat setiap tindakan dan keputusan tokoh Nak di anggap selalu salah dan marginal. Tanpa disadari, masyarakat pun telah disuguhkan dengan penggambaran cerita yang memarginalkan sosok perempuan, dengan menghadirkan penokohan perempuan yang tidak dapat mengendalikan ego dalam dirinya sehingga ia menjadi pembohong.

Semakin jauh mengamati bagaimana posisi subjek dan posisi objek dalam film ini ditempati oleh tokoh dalam filmnya, penulis pun melihat ada semakin banyak pemarginalan terhadap perempuan yang terjadi dalam film Pee Mak Phrakanong. Pemarginalan yang terjadi memang kebanyakan ialah ketika perempuan diposisikan sebagai objek penceritaan, namun seperti apa yang terjadi pada opening dalam film ini yang sudah penulis jelaskan sebelumnya, bukan tidak mungkin pada penempatan perempuan sebagai subjek penceritaan sekalipun, perempuan juga termarjinalkan. Pemarjinalan yang penulis maksud dalam penelitian ini dapat di lihat dari berbagai sudut pandang yakni, perempuan sebagai sosok yang membutuhkan laki-laki, adanya relasi kuasa yang tidak seimbang, pemarjinalan dalam persoalan sex dan eksploitasi tubuh, dan pemarjinalan perempuan dalam persoalan pekerjaan domestik yang tidak konvensional.

Tentu saja akan lebih mudah menyampaikan bagaimana ideologi patriarki bekerja dengan pemikiran bahwa perempuan adalah komoditas yang lemah dan membutuhkan laki-laki dengan menempatkan perempuan pada posisi objek. Ada banyak sekali adegan dalam film ini yang menghadirkan tokoh perempuan sebagai objek, di mana tokoh laki-laki menggambarkan bahwa perempuan membutuhkan dirinya, berada di sampingnya, untuk menemani atau bahkan melindungi perempuan.

Untuk itu, pemahaman yang bersifat patriarkat dan cenderung memarginalkan perempuan dalam film Pee Mak Phrakanong ini, seperti perempuan adalah komoditas yang lemah dan selalu membutuhkan laki-laki, merupakan konstruksi realitas sosial yang terjadi pada diri pembuat film yang sudah melalui proses internalisasi pada dirinya, yang kemudian ia keluarkan dalam sebuah karya film untuk menjadikan penontonnya objek dari proses eksternalisasi paham yang dipercayainya. Paham yang berhubungan dengan pemahaman patriarkat tentu saja akan lebih mudah disetujui apabila tokoh perempuan di tempatkan pada posisi objek dan tokoh laki-lakilah yang menjadi pencerita atau subjek dalam penceritaan tersebut.

Selanjutnya, penulis juga melihat adanya permainan relasi kuasa yang terjadi dalam film Pee Mak Phrakanong. Seperti yang terdapat pada scene 8, di mana kendali atas pengambilan keputusan di pegang oleh tokoh laki-laki karena adanya relasi kuasa yang di pegang oleh tokoh laki-laki sebagai kepala keluarga. Pada adegan dan dialog di scene ini, tokoh Mak mempersilahkan teman-temannya untuk tinggal beberapa hari di lingkungan tempat ia dan istrinya tinggal, yakni dengan menempati rumah bibinya. Seketika ekspresi wajah Nak menunjukkan ketidaksetujuan dan ketidaknyamanan. Namun, hal itu bahkan sama sekali tidak menjadi pertimbangan bagi tokoh laki-laki yakni Mak untuk meminta pendapat Nak tentang keputusannya. Menyamakan diri dengan posisi Nak, penonton pada adegan ini mengidentifikasi diri sebagai pembela objek yang ikut merasakan ketidaknyamanan tokoh Nak.

Penulis juga mendapati bahwa pada film ini perempuan barulah diberikan kuasa yang sebenar-benarnya atas dirinya sebagai subjek dalam penceritaan, ketika perempuan menggunakan kuasanya sebagai hantu yang ditakuti. Di beberapa adegan, perempuan memegang kendali tidak hanya atas dirinya, tetapi juga kendali atas suasana dalam film, pengambilan keputusan tokoh lain, dan segala bentuk penguasaan lainnya ketika ia menggunakan identitasnya sebagai hantu yang sedang marah dan menakutkan.

Untuk menanggapi beberapa potongan adegan dan relasi kuasa yang terjadi di atas, Foucault, dalam tesisnya mengatakan bahwa kuasa seharusnya tidak bekerja dengan cara negatif dan represif, melainkan dengan cara yang positif dan produktif (Setyowati, n.d.). Maka, sebagaimana teks bias bekerja, relasi kuasa yang diciptakan pada film Pee Mak Phrakanong dengan menggambarkan perempuan barulah memiliki kuasa ketika memposisikan diri sebagai subjek yang mengerikan atau menakutkan dalam wujud hantu, sebenarnya bukanlah bertujuan memberikan kuasa terhadap tokoh perempuan, melainkan sebagai upaya memarjinalkan perempuan.

Selanjutnya, penulis juga melihat adanya relasi kuasa yang tidak seimbang pada persoalan pekerjaan domestik yang tidak konvensional. Seperti apa yang telah penulis jelaskan sebelumnya pada bab 2, dalam menganalisis film ini penulis akan memperhatikan unsur-unsur feminisme dalam film ini sebagaimana aliran postfeminisme mendefinisikan bagaimana feminisme itu sendiri bekerja. Postfeminisme membawa pandangan baru tentang nilai-nilai konservatif seperti menikah, memiliki anak, berpenampilan menarik, tidak hilang seiring dengan kesadaran perempuan dan kemampuannya untuk memilih dengan sadar dan bebas. Penulis melihat dalam film ini nilai-nilai konservatif itu ada namun ternyata bukan sebagai gerakan feminisme karena pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan tidak benar-benar atas pilihannya, melainkan didefinisikan oleh tokoh lain.

Tokoh perempuan dalam film Pee Mak Phrakanong ini diidentikkan dengan pemilik tunggal pekerjaan domestik misalnya, membereskan rumah, memasak, dan pekerjaan rumah lainnya. Potongan adegan dan dialog pada scene ke-18 pada film ini dapat menjadi contoh pemarjinalan perempuan pada persoalan domestik tersebut. Tokoh Shin yang baru saja kembali dari rumah Mak mengatakan bahwa rumah Mak tampak berantakan dan kotor. Pernyataan Shin seketika dijawab oleh tokoh Ter dengan kalimat, �mungkin Nak lagi malas�. Dialog yang terjadi pada potongan adegan ini menempatkan perempuan pada posisi objek yang seolah mengatakan bahwa ketika pekerjaan domestik dalam sebuah rumah tangga tidak beres, maka perempuanlah yang akan tertuduh sebagai orang yang malas.

Pemosisian perempuan sebagai objek pada adegan di beberapa scene dalam film Pee Mak Phrakanong, ternyata juga membawa perempuan pada pemarjinalan dalam persoalan sex ataupun eksploitasi tubuh. Penulis menemukan beberapa adegan dalam film ini berusaha mendefinisikan ciri fisik tokoh perempuan yakni Nak, yang tentu saja didefinisikan oleh tokoh laki-laki. Seperti yang terjadi pada adegan dan dialog di scene 8, kehadiran Nak didefinisikan sebagai istri yang begitu cantik oleh tokoh Puak. Namun, yang menjadi persoalan sebenarnya ialah tentang cara pandang dan tingkah laku Puak sejak pertama melihat Nak mengisyaratkan adanya nafsu terhadap tanda fisik Nak. Beruntungnya pada scene ini, tokoh Ter langsung tidak membenarkan pikiran tokoh Puak dengan mengatakan �itu adalah istri teman kita� yang seolah juga berbicara pada penonton untuk tidak mengaminkan apa yang menjadi pemikiran Puak.

Representasi perempuan dalam film Pee Mak Phrakanong ini membawa perempuan pada posisi termarjinalkan. Perempuan digambarkan sebagai komoditas yang lemah dan ditempatkan sebagai komoditas yang paling ampuh menarik perhatian penonton dalam film horror dengan mengeksploitasi tubuh perempuan itu sendiri. Perempuan direpresentasikan hanya memiliki kuasa ketika memposisikan diri sebagai hantu. Unsur-unsur postfeminisme yang ada pada film ini hanyalah bumbu penceritaan yang justru digunakan untuk menyisipkan ideologi patriarki sebagaimana teks bias bekerja. Maka, dapat disimpulkan bahwa apa yang dikatakan oleh Sara Mills sebagai pandangan kritis terhadap media, perempuan memang cenderung ditampilkan sebagai pihak yang salah, marjinal dibandingkan dengan laki-laki dalam sebuah teks termasuk dalam teks film.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada penelitian berjudul �Representasi Perempuan dalam Film Horror (Analisis Wacana Kritis Model Sara Mills pada Film Horror Pee Mak Phrakanong)� ini, dapat disimpulkan bahwa perempuan, khususnya perempuan dalam bingkai film horror Thailand, direpresentasikan sebagai berikut: (1) Perempuan pada film ini direpresentasikan sebagai karakter hantu dan karakter seorang istri. Perempuan direpresentasikan hanya akan memiliki kuasa ketika memposisikan diri sebagai subjek penceritaan dalam wujud hantu, sedangkan ketika perempuan berperan sebagai karakter seorang istri, baik berposisi sebagai objek maupun subjek dalam penceritaan, perempuan akan cenderung dimarjinalkan. (2) enonton pada film Pee Mak Phrakanong diberikan� pemahaman akan representasi perempuan bahwa, bagaimanapun ia diposisikan di tengah masyarakat tempat ia berada, pada akhirnya perempuan hanya bisa menerima posisi tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

BLIBLIOGRAFI

Anas, Afdal. (2018). Perancangan Ilustrasi Untuk Melestarikan Permainan Tradisional Di Kota Makassar. Universitas Negeri Makassar.

Azizah, Maftukhatul Azizah. (2022). Citra Wanita Sholehah Dalam Novel Ayat-Ayat Langit Karya Muttaqin Dan Farida (Studi Analisis Wacana Kritis Sara Mills).

Bachri, Bachtiar S. (2010). Meyakinkan Validitas Data Melalui Triangulasi Pada Penelitian Kualitatif. Jurnal Teknologi Pendidikan, 10(1), 46�62.

Daim, Muhammad Nur. (2021). Representasi Persahabatan Dalam Film Bebas (Analisis Semiotika Charles Sander Peirce Dalam Film Bebas). Universitas Islam Riau.

Darmawan, Aditya Aries. (2019). Membangun Punchline Dalam Film Fiksi �Malam Minggu Kliwon� Menggunakan Ritme Editing. Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Gunawan, Dendi. (2018). Representasi Budaya Bugis-Makasar Pada Film Dalam Film Uang Panai.

Ishaya, Corri Prestita. (2016). Analisis Wacana Sara Mills Dalam Film Dokumenter Battle For Sevastopol. Fakultas Dakwah Dan Ilmu Komunikasi.

Jupriono, Sudarwati D. (1997). Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, Pragmatik. Fsu: In The Limelight, 5(1).

Machmud, Muslimin. (2016). Tuntunan Penulisan Tugas Akhir Berdasarkan Prnsip Dasar Penelitian Ilmiah. Research Report.

Muslim, Muslim. (2018). Varian-Varian Paradigma, Pendekatan, Metode, Dan Jenis Penelitian Dalam Ilmu Komunikasi. Media Bahasa, Sastra, Dan Budaya Wahana, 1(10).

Pratama, Deska Yoga, Iqbal, Ilham Mohamad, & Tarigan, Nadiem Attar. (2019). Makna Televisi Bagi Generasi Z. Inter Komunika: Jurnal Komunikasi, 4(1), 88�103.

Putry, Vizka Armanda. (2018). Memilih Biseksual Sebagai Orientasi Seksual (Studi Lima Orang Perempuan Di Kota Pekanbaru). Universitas Islam Riau.

Rahardjo, Mudjia. (2011). Metode Pengumpulan Data Penelitian Kualitatif.

Ramli, Muhammad. (2012). Media Dan Teknologi Pembelajaran. Antasari Press.

Saruan, Yosua. (2022). Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kasus Pemerkosaan Disertai Pembunuhan Berencana. Lex Privatum, 10(2).

Setyowati, Agnes. (N.D.). Representasi Al Qaeda: Strategi Naratif Lawrence Wright Dalam Narasi Apologi The Looming Tower: Al Qaeda And The Road To 9/11.

Strauss, Anselm, & Corbin, Juliet. (2003). Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wardhana, Veven Sp. (2013). Budaya Massa, Agama, Wanita. Kepustakaan Populer Gramedia.

 

Copyright holder:

Velia Paranta, Alfarabi, Eka Vuspa (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: