Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 5, Mei 2023
ANALISIS FRAUD HEXAGON DALAM MENDETEKSI POTENSI KECURANGAN LAPORAN KEUANGAN PADA PERUSAHAAN BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN)
Atika Gando Suri, Annisaa Rahman
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Andalas, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan
untuk mendapatkan
bukti empiris pengaruh variabel-variabel dalam Fraud Hexagon Theory yang dapat
mendeteksi kecurangan laporan keuangan. Penelitian ini menggunakan
Fraud Score Model dengan studi
kasus pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tahun 2016 � 2020. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
perusahaan BUMN yang terdaftar
di BEI pada tahun 2016-2020 yang di akses melalui website idx.co.id.
Data sampel yang di gunakan
dalam penelitian ini adalah sebanyak
13 perusahaan BUMN. Pengambilan
sampel dilakukan berdasarkan metode purposive
sampling. Variabel dependen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kecurangan laporan keuangan. Variabel independen yang digunakan penelitian ini adalah stimulus, opportunity,
capability, rationalization, ego dan collusion. Analisis
data dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linear berganda dengan alat uji SPSS Versi 26. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa stimulus berpengaruh signifikan terhadap kecurangan laporan keuangan, sedangkan opportunity,
capability, rationalization, ego dan collusion tidak berpengaruh signifikan terhadap kecurangan laporan keuangan.
Kata Kunci: stimulus; opportunity;
capability; rationalization; ego; collusion fraud score model
Abstract
This study aims to obtain empirical evidence
of the influence of variables in Fraud Hexagon Theory that can detect financial
statement fraud. This study uses the Fraud Score Model with case studies on
State-Owned Enterprises (BUMN) in 2016 � 2020. The population in this study is
all state-owned companies listed on the IDX in 2016-2020 which are accessed
through the idx.co.id website. The sample data used in this study was as many
as 13 state-owned companies. Sampling is carried out based on the purposive
sampling method. The dependent variable used in this study is financial
statement fraud. The independent variables used by this study are stimulus,
opportunity, capability, rationalization, ego and collusion. Data analysis in
this study used multiple linear regression analysis with SPSS test tool Version
26. Based on the results of the analysis, it shows that stimulus has a
significant effect on financial statement fraud, while opportunity, capability,
rationalization, ego and collusion do not have a significant effect on
financial statement fraud.
Keywords:
stimulus;
opportunity; capability; rationalization; ego; collusion; fraud score model
Pendahuluan
Pandemi Covid-19 yang terjadi di seluruh
belahan dunia tak terkecuali di Indonesia memunculkan banyak sekali keresahan dan masalah. Munculnya
berbagai kebijakan yang dibentuk pemerintah dalam upaya menekan penyebaran
virus, malah menimbulkan kekhawatiran
lain di kalangan masyarakat salah satunya terjadinya resesi ekonomi global. The
Asian Development Bank (ADB) menuturkan bahwa dengan terus meningkatnya
penyebaran wabah Covid-19 akan menimbulkan
kerugian ekonomi hingga 347 miliyar USD. Selain itu, S&P Global Ratings
juga memperkirakan Asia Pasifik akan merasakan akibat yang cukup besar hingga
menimbulkan kerugian sebesar 211 miliyar USD di beberapa lokasi (Sidik, 2020).
Para analis menyampaikan bahwa keadaan ini memunculkan shock pada
permintaan dan penawaran dalam perekonomian wilayah Asia Pasifik akibat
dari keputusan pelanggan yang meminimalisir aktivitas
konsumsi.
Hal ini juga menyebabkan terjadinya hambatan pada supply
chain yang membuat
sistem produksi menjadi sedikit tidak terkendali. Aspek perekonomian juga menjadi korban atas permasalahan ini seperti
terjadinya penurunan pada
pemasukan industri, perubahan kurs pada laporan keuangan, serta penurunan pada
penghitungan cadangan industri, upah kerja serta
keuntungan industri (Sidik, 2020).
Agar dapat menjaga kestabilan perusahaan ditengah pandemi ini, banyak
upaya yang dilakukan perusahaan salah
satunya dengan menghasilkan laporan keuangan yang terlihat sehat atau bagus (window
dressing). Erick Thohir, Menteri BUMN,
mengungkapkan bahwa kemunculan window dressing pada bagian terbawah dari
laba rugi atau bottom line di laporan keuangan memang menghasilkan
keuntungan, namun nyatanya hal tersebut dapat terjadi karena perusahaan tidak
mempunyai keuangan yang sama seperti yang dilaporkan dalam laporan
keuangan (Sandi, 2020). Tindakan window dressing yang semakin berkembang akan memunculkan fraud (kecurangan) dalam penyajian dan pengungkapan laporan keuangan sehingga menyesatkan pihak yang menggunakan laporan keuangan secara material (Rezaee, 2005). (Dechow, Ge, Larson, & Sloan, 2011) membuktikan
bahwa perusahaan memutuskan untuk melakukan tindakan kecurangan dalam laporan keuangan pada saat mereka berkesempatan
untuk melakukan tindakan window dressing agar performa
mereka dipandang baik di hadapan para pemegang saham. Sehingga, banyak perusahaan
menjadikan pandemi sebagai momentum untuk menghasilkan informasi keuangan yang tampak bagus serta
realistis, hingga melakukan perbuatan kecurangan pada
laporan keuangan. Hal ini diperkuat dengan adanya hasil survei kantor
akuntan publik dan konsultan RSM Indonesia pada tahun 2020 atas kasus penipuan atau
fraud yang mengalami peningkatan selama masa pandemi Covid-19
(Atmoko,
2020).
Dalam dua tahun sekali secara
rutin, Association of Certified Fraud Examiners (ACFE)
Global melakukan survei kepada
anggota ACFE yang telah memiliki sertifikasi Certified Fraud Examiner (CFE) di seluruh dunia tak terkecuali
di Indonesia, dengan menyajikan
hasil survei dalam bentuk Report to The Nations (RTTN). Menurut survei yang
telah dilakukan ACFE Global pada tahun 2020 tersebut, kecurangan diklasifikasikan ke
dalam tiga bagian diantaranya adalah penyalahgunaan aset, korupsi, dan kecurangan laporan keuangan. �Berikut merupakan penggambaran dari hasil survei
RTTN tahun 2020 tentang
data fraud yang terjadi di seluruh
dunia :
Gambar 1 Fraud di Dunia
Sumber : ACFE Global (2020)
Berdasarkan gambaran dari hasil survei tersebut, terlihat bahwa penyalahgunaan aset merupakan kasus terbanyak yang terjadi, dengan tingkat keterjadian sebesar 86%, kemudian kasus korupsi menempati posisi kedua dengan tingkat keterjadian sebesar 43%, dan kasus terbawah adalah kecurangan laporan
keuangan dengan persentase 10%. Namun jika dilihat dari besar kerugian
yang diakibatkannya, kasus kecurangan laporan keuangan menimbulkan tingkat kerugian tertinggi diantara kategori kecurangan
lainnya, yaitu sebesar $954.000. Sedangkan korupsi menempati peringkat
kedua dengan nilai kerugian sebesar $200.000, dan kasus penyalaguanaan aset menimbulkan kerugian sebesar $100.000 (ACFE Global, 2020). Sehingga terlihat bahwa kecurangan
laporan keuangan memiliki potensi menghasilkan kerugian yang cukup besar dibandingkan dengan
kategori kecurangan lainnya.
Namun, berbeda dari hasil yang dipaparkan oleh RTTN, Indonesia tidak sepenuhnya mencerminkan fraud
yang terjadi di dunia. ACFE Indonesia Chapter melakukan Survei Fraud
Indonesia (SFD) secara khusus dikuti dengan
penyesuaian pada beberapa hal yang relevan untuk Indonesia namun
tetap berdasarkan pada
metodologi yang dikembangkan oleh ACFE Global. Berikut merupakan grafik dari gambaran hasil SFI tahun 2019
mengenai data fraud yang terjadi di Indonesia:
Gambar 2
Fraud di Indonesia
Sumber : ACFE Indonesia Chapter, 2020
Dari hasil SFI yang dilakukan oleh
ACFE Indonesia Chapter tahun 2019 menunjukkan perbedaan dengan hasil
survei RTTN, bahwa kasus fraud terbanyak di Indonesia dengan tingkat keterjadian sebesar 64,4% adalah korupsi, kemudian disusul oleh penyalahgunaan aset dengan tingkat keterjadian sebesar 28,9%, dan kecurangan
laporan keuangan dengan tingkat keterjadian sebesar sebesar 6,70%. Dilihat dari tingkat kerugian
yang diakibatkan, korupsi menjadi kasus
fraud terbesar yang menyebabkan
kerugian sebesar 70%, kemudian disusul oleh kasus penyalahgunaan aset dengan tingkat kerugian sebesar 21%, dan kecurangan laporan keuangan
sebesar 9%. Perbedaan hasil ini diindikasikan karena bermacam kejahatan di Indonesia yang berasal dari kecurangan laporan keuangan belum banyak terungkap, seperti kejahatan karena penipuan informasi pajak serta kejahatan penipuan informasi di
bursa efek. Selain itu, hal ini juga diakibatkan oleh adanya peningkatan dari
tahun 2004 hingga 2018 terkait keputusan penyidikan tindak
pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Rawantika, 2022). Dari hasil survei
tersebut tidak merubah pandangan bahwa kecurangan
laporan keuangan adalah bentuk fraud yang harus dicegah oleh
setiap perusahaan publik di Indonesia karena memiliki potensi membuat kerugian yang sangat
besar.
Hasil survei ACFE (2020) juga mengungkapkan secara
rata-rata keseluruhan kerugian yang timbul adalah sebesar lebih dari
Rp10 milyar yang diakibatkan oleh fraud dan terbanyak dirasakan oleh
pemerintah yaitu sebanyak 20,8%, organisasi atau lembaga
nirlaba sebanyak 17,4%, perusahaan swasta sebanyak 13,3%, organisasi atau lembaga nirlaba lainnya sebanyak 13% dan perusahaan
BUMN sebanyak 11,1%. Hal menarik terlihat
bahwa untuk kerugian antara
Rp500 juta s.d Rp1 milyar akibat fraud terbanyak dirasakan oleh
perusahaan swasta sebanyak 24,5%, pemerintah sebanyak
23.4%, organisasi lembaga nirlaba dan nirlaba lainnya sama-sama sebanyak 17,4% dan perusahaan BUMN sebanyak 15,9%.
Walaupun kerugian yang dialami cukup sedikit, namun kasus fraud pada
BUMN cukup sering menjadi sorotan publik.
Salah satu fenomena kecurangan laporan
keuangan yang terjadi pada perusahaan BUMN adalah perusahaan yang bergerak pada
sektor transportasi yaitu PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Hikmah (2017) menyebutkan
bahwa PT KAI memainkan data pada laporan
keuangan tahun 2005, perusahaan BUMN itu tercatat memperoleh keuntungan sebesar
Rp6,9 miliar, namun faktanya mereka malah memiliki kerugian sebesar Rp63
miliar. Kasus lain yang juga dialami oleh perusahaan BUMN adalah kasus rekayasa laporan
keuangan PT Garuda Indonesia tbk dengan tahun buku 2018. Kasus ini juga membawa
sejumlah nama akuntan publik kantor akuntan publik Tanubrata, Sutanto, Fahmi,
Bambang dan rekan yang mengaudit laporan keuangan perusahaan
BUMN tersebut (Ananta,
2019). Karena kasus ini, menteri keuangan Sri Mulyani memberikan sanksi
dengan membekukan izin akuntan publik serta kantor akuntan publik tersebut
selama satu tahun (Kusuma, 2019). Kasus lainnya terjadi di PT Timah Persero TBK
tahun 2015 (Soda, 2016). PT Indofarma Persero TBK tahun 2001 dan PT Kimia Farma
Persero TBK tahun 2001. Kasus-kasus yang pernah terjadi tersebut tentu dapat
mencoreng citra baik yang dimiliki badan usaha itu sendiri maupun pemerintah
yang gagal untuk mengawasi kinerja BUMN (Dewi,
2020).
Dari berbagai kasus kecurangan laporan keuangan yang terjadi
menggambarkan bahwa auditor memiliki tanggung jawab
yang cukup besar dalam mendeteksi adanya kecurangan laporan keuangan perusahaan
agar akuntantabilitas laporan keuangan meningkat dan
dapat dipercaya. Bebagai macam teori telah dikembangkan oleh berbagai peneliti
sebelumnya yang dapat digunakan untuk mendeteksi kecurangan. Salah satu teori
kecurangan
yang dikemukakan oleh
Cressey, pendiri ACFE, yaitu fraud
triangle pada tahun 1953.� Dalam penelitiannya yang berjudul �Other People�s Money: A Study in the
Social Psychology of Embezzlement�, fraud
triangle terdiri dari tiga komponen pendeteksian kecurangan
yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi atau
pembenaran (rationalization) (Wolfe & Hermanson, 2004).
Kemudian fraud triangle theory dikembangkan oleh Wolfe dan Hermanson (2004) menjadi fraud diamond
dengan penambahan elemen kemampuan (capability).
Beberapa tahun setelahnya perkembangan teori fraud diamond theory
menjadi fraud pentagon theory dilakukan oleh Crowe (2011) dengan mencantumkan tambahan elemen arogansi (Ego). Selanjutnya, teori kecurangan
ini kembali dikembangkan menjadi model fraud baru yaitu fraud hexagon
model yang dikemukakan oleh Vousinas (2019) yang terdiri dari enam komponen pendeteksian kecurangan yaitu Tekanan (Stimulus),
Peluang (Opportunity), Rasionalisasi (Rationalization), Kemampuan
(Capability), Arogansi (Ego), dan Kolusi (Collusion) (Sari, 2021).
Tekanan (stimulus), elemen
pertama dalam fraud
hexagon theory merupakan dorongan
untuk melakukan kecurangan. Tekanan tereksitasi pada
saat kinerja perusahaan berada
di bawah rata-rata kinerja industri (Skousen, 2009). Keadaan itu memperlihatkan
perusahaan dalam pada
kondisi tidak stabil karena kurang mampu memaksimalkan aset yang dimiliki serta
tidak dapat memanfaatkan sumber daya secara efisien. Elemen kedua
dalam fraud hexagon theory, kemampuan (capability), merupakan
keahlian yang dimiliki karyawan untuk mengabaikan internal kontrol, memiliki strategi untuk menyembunyikan sesuatu dan mengamati kondisi sosial untuk kepentingan
pribadi (Crowe, 2011). Kesempatan
(opportunity) merupakan elemen
ketiga dalam fraud
hexagon theory. Opportunity adalah suatu kesempatan untuk melakukan kecurangan (Elviani, 2020). Elemen keempat dalam fraud hexagon theory yaitu
Rasionalisasi (rationalization), merupakan suatu sikap pembenaran diri. Elemen kelima
dalam fraud hexagon theory adalah
arogan (ego), yaitu
sikap sombong yang ada dalam diri
seseorang. Elemen terakhir dalam fraud hexagon
theory yaitu kolusi (collusion),
merupakan kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk
melakukan kecurangan dengan menipu pihak
ketiga (Vousinas, 2019).
Pengujian faktor penyebab kecurangan
laporan keuangan telah banyak
dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian terdahulu menarik untuk dikaji lebih mendalam sebab
masih memperlihatkan hasil
yang berbeda-beda. (Aviantara, 2021) melakukan penelitian mengenai hubungan antara fraud
hexagon dengan kecurangan laporan keuangan pada pemerintah. Variabel
yang digunakan pada penelitian ini adalah financial stability yang
diukur dengan pertumbuhan aset, director change sebagai faktor dari kapabilitas yang diukur dengan jumlah penggantian direktur, audit fee
sebagai faktor kolusi yang diukur dengan logaritma alami, e-procurement
sebagai faktor kolusi� yang diukur dengan
keberadaan pelaksanaannya, perubahan komite audit sebagai faktor peluang yang
diukur dengan jumlah penggantian komite audit, whistleblowing system
sebagai faktor peluang yang diukur dengan eksistensi
pelaksanaannya, kepemilikan pemerintah sebagai faktor rasionalisasi yang diukur
dengan kepemilikan negara, CEO education sebagai faktor ego yang
diukur dari tingkat pendidikan dan CEO militer sebagai faktor
ego yang diukur dengan afiliasi militer. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa financial stability, director change,
audit fee, e-procurement, perubahan komite audit, whistleblowing
system dan kepemilikan pemerintah berpengaruh terhadap kecurangan
laporan keuangan dan fraud hexagon atau model S.C.C.O.R.E secara bersamaan
mempengaruhi kecurangan laporan keuangan.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Ima & Gideon (2021) mengenai
pengaruh fraud hexagon theory dalam mendeteksi kecurangan laporan
keuangan dengan objek penelitiannya perusahaan perbankan
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2015-2019.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah financial stability,
target keuangan, tekanan eksternal, kerja sama dengan proyek pemerintah,
pergantian direksi, pemantauan yang tidak efektif, pergantian auditor, rasio
total akrual terhadap total aset, kualitas auditor eksternal dan keberadaan
perusahaan. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa financial stability,
target keuangan, dan ketidakefektifan pemantauan berdampak pada kecurangan
laporan keuangan. Sementara itu, tekanan eksternal, kerja sama dengan proyek
pemerintah, pergantian direksi, pergantian auditor, rasio total akrual terhadap
total aset, kualitas auditor eksternal, dan keberadaan perusahaan tidak
berpengaruh pada kecurangan laporan keuangan.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Dian (2021) tentang pengaruh hexagon
fraud theory dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan dengan objek
penelitian Perusahaan Asuransi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode
2016-2020, menunjukkan hasil bahwa tekanan, peluang, rasionalisasi tidak
berpengaruh terhadap kecurangan laporan keuangan. Sementara itu, kapabilitas,
arogansi dan kolusi berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui langkah pendeteksian pada kecurangan laporan keuangan yang terjadi pada
perusahaan dengan mempergunakan teori hexagon fraud. Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian lainnya adalah penelitian ini
menggunakan potensi kecurangan
dalam laporan keuangan sebagai variabel dependen dan diukur menggunakan F-Score Model. Selain itu, perbedaan pada variabel independennya adalah kombinasi dari variabel independen dari berbagai penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya seperti variabel stimulus diproksikan dengan financial stability, variabel opportunity diproksikan dengan ineffective
monitoring, kemudian untuk variabel capability diproksikan dengan director
change, variabel rationalization diproksikan dengan kepemilikan pemerintah,
variabel ego dengan kemunculan frequent number of CEO�s
picture pada laporan tahunan
perusahaan dan
variabel collusion diproksikan dengan audit fee.
Dalam penelitian
ini, sampel yang digunakan adalah perusahaan BUMN yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sebab berdasarkan SFI yang dilaksanakan ACFE �Indonesia tahun 2016, perusahaan negara atau BUMN menjadi lembaga atau
organisasi dengan tingkat kerugian akibat fraud terbesar kedua di
Indonesia dengan persentase kerugian sebesar 8,1%. Oleh sebab itu, perusahaan
BUMN tersebut dapat menjadi sampel yang relevan dan representatif untuk penelitian ini.
Data yang dipakai pada penelitian ini adalah data sekunder, yaitu
laporan tahunan perushaan BUMN yang terdaftar di BEI selama periode 2016-2020.
Periode tersebut dipilih karena dinilai dapat menggambarkan kondisi sebelum
terjadinya pandemi dan kondisi terkini selama masa pandemi serta dapat
menghasilkan data yang representatif untuk penelitian ini. Dari pemaparan uraian di atas, judul
dalam penelitian ini adalah �Analisis Fraud Hexagon dalam Mendeteksi Potensi Kecurangan Laporan Keuangan Pada Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)�.
Metode Penelitian
1. Jenis dan Desain Penelitian
Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian berupa studi pengujian hipotesis. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari laporan tahunan
berupa laporan perusahaan BUMN yang telah dipublikasikan dan terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun
2016-2020. Pemilihan periode
tersebut diharapkan dapat mendeskripsikan kondisi sebelum terjadinya pandemi dan
kondisi terkini selama masa pandemi serta dapat
melihat hasil yang lebih akurat dan relevan untuk memahami
perusahaan BUMN go public yang ada di Indonesia.
2. Populasi, Sampel�dan Teknik Pengambilan Sampel
Penelitian ini menggunakan seluruh perusahaan BUMN di Indonesia tahun
periode tahun 2016-2020 sebagai populasinya. Berdasarkan data yang tercantum dalam situs Kementrian BUMN pada tahun 2020, ada 115 perusahaan negara yang menjadi milik Kementrian
BUMN yang terdiri atas 20 BUMN yang terdaftar di BEI dan 96 badan usaha yang tidak terdaftar (Kementrian BUMN, 2020). Sementara itu, teknik purposive sampling
digunakan dalam penentuan sampel pada penelitian ini, yaitu metode pemilihan
sampel berlandaskan dari tolok ukur
tertentu yang berhubungan dengan beberapa sumber data yang diperlukan. Harapannya, dengan menggunakan teknik ini akan mempermudah
dalam melakukan penelitian dalam memperoleh data yang sama dengan keperluan penelitian berlandaskan sifat-sifat yang telah ditentukan. Kriteria-kriteria sampel dalam penelitian
ini antara lain:
1) Perusahaan BUMN di Indonesia yang go
public selama periode
2016-2020.
2) Data-data yang berkaitan
dengan variabel penelitian tersedia dengan lengkap (data secara keseluruhan tersedia pada publikasi selama 2016-2020).
a) Analisis Statistik Deskriptif
Analisis statistik deskriptif ini digunakan dalam menjelaskan variabel yang ada pada penelitian. Analisis ini bertujuan
dalam penelitian ini untuk mendeskripsikan
data variabel dependen yang
dalam hal ini adalah kecurangan
laporan keuangan dan variabel independen dalam penelitian ini adalah komponen
hexagon fraud theory. Selain itu tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menilai
rata-rata (mean), nilai maksimum-minimum
dan standar deviasi (standard
deviation) dari data (Krissindiastuti
dan Rasmini, 2016).
Model regresi
linier yang disebut juga dengan
model yang baik jika dapat memenuhi beberapa asumsi dikenal dengan uji asumsi klasik (Ghozali,
2015). Jika uji asumsi klasik terpenuhi dalam model penelitian ini, maka uji regresi
linear berganda dapat dilakukan. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk
mendapatkan apakah ada kesalahan dari
asumsi klasik atas persamaan regresi berganda yang digunakan (Sihombing, 2014). Hal ini untuk menjauhi
adanya perkiraan yang bias,
sebab penerapan regresi tidak dapat
dilakukan pada semua data. Pengujian asumsi klasik pada penelitian ini terdiri dari
uji normalitas, uji multikolonieritas,
uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi.
Fungsi dari penujian normalitas adalah untuk melakukan
uji nilai sisa memiliki distribusi secara normal atau tidak. Sebab, bagus
atau tidaknya data dilihat dari apakah
data yang terdistribusi dengan
normal atau tidak. Pengujian normalitas dalam penelitian ini memanfaatkan uji Kolmogrov-Smirnov Test. Hasil dari uji Kolmogorov-Smirnov dikatakan
baik jika mempunyai nilai residual normal dengan nilai signifikasi
lebih besar dari 5% (Ghozali,
2015).
Uji multikolinearitas
berguna untuk menguji korelasi antar variabel bebas dalam model regresi. Apabila tidak terjadi korelasi
di antara masing-masing variabel
bebas maka model regresi dianggap bagus. Untuk menentukan
multikolinearitas adalah dengan melihat tolerance
dan Variance Inflation Factor (VIF) (Ghozali,
2015). Penelitian dinyatakan bebas dari multikolinearitas jika mempunyai nilai VIF ≤ 10 atau nilai tolerance ≥ 0,10.
Tujuan dari uji autokorelasi adalah untuk mengetahui apakah ada atau
tidaknya interelasi antara kesalahan residual pada periode t dengan kesalahan residual pada periode
t-1 dalam model regresi
linear (Ghozali,
2015). Syarat yang harus dipnuhi adalah
persamaan regresi harus bebas dari
autokolerasi. Deteksi autokorelasi memanfaatkan uji durbin watson (DW).
Berikut ini pengambilan keputusan dalam uji DW:
� Dikatakan terdapat autokorelasi, jika nilai DW < dL atau DW >
(4-dL)
� Tidak terdapat autokorelasi, Jika nilai dU < DW < (4-dU)
� Tidak ada kesimpulan, jika nilai dL < DW< dU atau (4-dU) < DW < (4-dL)
Fungsi dari uji heteroskedasitas adalah untuk memverifikasi model regresi dalam penelitian
ini apakah memiliki persamaan varian atau tidak.
Uji glejser test yang digunakan dalam penelitian ini untuk pengujian heterokedasitas. Baik atau tidaknya model regresi jika mengalami
heteroskedastisitas atau tidak. Model regresi dikatakan bebas heteroskedasitas jika mempunyai nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 (Ghozali,
2015).
Analisis ini berfungsi untuk mengetahui besarnya pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap satu variabel terikat dan menggunakan variabel bebas untuk memprediksi variabel terikat. Terdapat asumsi klasik yang harus dipenuhi dalam regresi linier berganda, yaitu
residual terdistribusi normal, tidak adanya multikolinearitas, tidak adanya
heteroskedastisitas dan tidak adanya autokorelasi pada model regresi (Ghozali,
2015). Model Penelitian regresi linier berganda ini dirumuskan dalam bentuk sebagai berikut :
Keterangan:
β ����������������������� =
Konstanta
β1 � β6 ������������� = Koefisien Regresi
ACHANGE ������ =
Rasio perubahan total asset
BDOUT ����������� =
Rasio total kewajiban per
total asset
BODC �������������� =
Director Change
GOVSHIP �������� =
Kepemilikan Pemerintah
CEOPic ������������ =
Jumlah foto CEO dalam laporan tahunan
AUDF �������������� =
Audit Fee
����������������������� =
Error
h) Uji Koefisiensi Determinasi (R2)
Fungsi dari pengujian ini adalah
untuk memvisualisasikan persentase variabel bebas yang menjadi pengaruh terhadap variabel terikat. Nilai dari R2 terletak dalam rentang angka
0 hingga 1. Nilai yang baik
adalah nilai R2 yang
mendekati angka satu, sebab hal
itu berarti semua independen menggambarkan hampir semua informasi yang diperlukan untuk memprediksi variasi- variabel independent (Ghozali,
2015).
Pengaruh signifikansi terkait dapat digambarkan
menggunakan model regresi
Uji f. Keputusan dapat diambil
dilihat dari tingkat signifikansinya. Jika hasil dari regresi
mempunyai tingkat signifikansi besar dari 0.05 maka model regresi tidak sesuai.
Nilai regresi dapat dikatakan sesuai atau variabel independen
secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen, jika nilai probabilitas
lebih kecil dari nilai α (Ghozali,
2015).
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan melalui
uji-t. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan signifikansi level
0,05 dengan persyaratan pengambilan keputusan:
� Ho ditolak, jika nilai yang dihasilkan uji t lebih kecil dari tingkat
signifikansi, berarti regresi sesuai dengan yang diprediksi.
� Ho gagal ditolak, apabila nilai yang dihasilkan uji t lebih besar dari
tingkat signifikansi, berarti koefisien regresi tidak sesuai
dengan yang diprediksi.
Hasil dan Pembahasan
A. Hasil
1. Gambaran Umum Objek Penelitian
Populasi pada
penelitian ini yaitu perusahaan BUMN yang terdaftar di BEI pada periode 2016 �
2020. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling atas populasi
tersebut, yaitu penentuan sampel yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu dan
berdasarkan pertimbangan tertentu yang disesuaikan dengan tujuan penelitian.
Adapun kriteria-kriteria yang digunakan dalam penelitian sampel adalah:
a) Perusahaan BUMN yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia selama periode 2016 - 2020;
b) Perusahaan BUMN yang berstatus BUMN selama
periode 2016 - 2020;
c) Perusahaan BUMN yang mempublikasikan laporan
keuangan tahunan di Bursa Efek Indonesia secara konsisten dan lengkap selama
periode 2016-2020;
Tabel 1
Kriteria Pengambilan Sampel Penelitian
Kriteria |
Jumlah Perusahaan |
Jumlah Perusahaan BUMN yang terdaftar di Bursa Efek |
20 |
Perusahaan BUMN yang berpindah status menjadi anak |
(6) |
Perusahaan BUMN yang tidak mempublikasikan laporan |
(1) |
Jumlah Sampel Perusahaan |
13 |
Jumlah Tahun Penelitian |
5 |
Data Outlier |
(7) |
Total Data Penelitian (13x5-7) |
58 |
���������� Sumber : Data Olah Sendiri
Dapat diketahui jumlah sampel
yang menjadi objek penelitian ini adalah sebanyak 58 perusahaan
(13 perusahaan x 5 tahun � 7).
2. Uji Analisis Deskriptif
Statistik deskriptif dilakukan untuk
memberikan gambaran atau deskripsi data dalam bentuk variabel, jumlah data,
nilai maksimum, nilai minimum, nilai rata-rata, dan standar deviasi yang digunakan dalam
penelitian (Ghozali, 2015). Deskripsi setiap indikator disajikan dalam
tabel di bawah ini.
Tabel 2
Analisis Deskriptif
|
N |
Minimum |
Maximum |
Mean |
Std. Deviation |
Kecurangan Laporan Keuangan |
58 |
-1.864 |
1.161 |
.08094 |
.571512 |
Stimulus |
58 |
-.266 |
.630 |
.15176 |
.176526 |
Opportunity |
58 |
.200 |
.625 |
.42590 |
.108461 |
Capability |
58 |
.000 |
8.000 |
2.84483 |
2.007020 |
Rationalization |
58 |
.510 |
.800 |
.62002 |
.094718 |
Ego |
58 |
3.000 |
13.000 |
6.37931 |
2.315679 |
Collusion |
58 |
19.539 |
24.874 |
21.76167 |
1.303798 |
Valid N (listwise) |
58 |
|
|
|
|
Sumber: Output SPSS 26
Variabel dependen kecurangan laporan keuangan yang diukur dengan f-score menunjukkan nilai rata-rata 0,0809. Hal ini menandakan selama periode tahun 2016-2020 BUMN go
public memiliki rata-rata kecurangan
yang rendah. Kemudian terlihat dari data bahwa standar deviasinya sebesar 0,5715. Nilai f-score tertinggi sebesar 1,1610 (PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk), yang menunjukkan tingginya kecurangan laporan keuangan dari perusahaan tersebut dan nilai terendahnya sebesar -1.8637 (PT Waskita Karya
(Persero) Tbk).
Variabel independen stimulus
yang diproksikan dengan financial stability yang diukur dengan perubahan aset memiliki rata-rata 0,151757, yang berarti bahwa selama periode penelitian
tingkat rata-rata perubahan aset dalam perusahaan BUMN go public tergolong
rendah. Nilai minimum perubahan aset adalah -0,2657 (PT Krakatau Steel (Persero) Tbk) dan nilai tertinggi adalah 0,6302 (PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk). Standar
deviasinya adalah 0,1765264.
Variabel independen selanjutnya yaitu variabel opportunity yang diproksikan
dengan ineffective monitoring dengan menggunakan pengukuran persentase komisaris independen terhadap total
dewan komisaris. Dari sampel diperoleh nilai rata-rata sebesar 0,425898 yang artinya jumlah komisaris independen pada BUMN adalah rata-rata 0,425898 dari jumlah total komisaris. Nilai terendahnya adalah 0,2000 (PT Semen Baturaja
(Persero) Tbk) dan nilai tertingginya adalah 0,6250 (PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk). Standar deviasi dari variabel ini adalah 0,1084607.
Selanjutnya, variabel independen capability yang diproksikan dengan director change memiliki
nilai rata-rata sebesar
2,8448 yang artinya rata-rata frekuensi
terjadinya perubahan direksi pada BUMN go public dalam
kurun waktu 2016-2020 selama satu tahun
pelaporan adalah 2 sampai 3 kali pertukaran. Untuk nilai standar
deviasinya adalah sebesar 2,0070. Untuk nilai tertinggi dari variabel ini
adalah sebesar 8 (PT Bank Mandiri (Persero) Tbk), artinya terjadi perubahan direksi terbanyak dalam perusahaan tersebut. Kemudian untuk nilai terendahnya sebesar 0 (PT Pembangunan Perumahan
(Persero) Tbk, PT Semen Gresik (Persero) Tbk dan PT Semen Baturaja
(Persero) Tbk)) artinya perusahaan tersebut tidak mengalami perubahan direksi dalam satu tahun
pelaporan.
Variabel independen lain yaitu rationalization yang diproksikan
dengan kepemilikan pemerintah pada perusahaan berdasarkan persentase kepemilikan saham memiliki nilai rata-rata sebesar 0,620024, artinya sebagian besar perusahaan BUMN go public pada tahun 2016-2020
dimiliki oleh
pemerintah dengan persentase saham sebesar 62%. Nilai terendah dari variabel ini
adalah sebesar 0,5100
atau 51% (PT Adhi Karya (Persero) Tbk dan PT Pembangunan Perumahan (Persero)
Tbk) dan nilai tertingginya sebesar 0,8000 atau 80% (PT Krakatau Steel (Persero) Tbk),
dengan standar deviasi sebesar 0,0947175.
Variabel independen Ego yang
diproksikan dengan frequent number of CEO�s picture (CEOPhoto)
menunjukkan nilai rata-rata sebesar 6,3793, artinya rata-rata jumlah foto CEO yang muncul dalam laporan
tahunan BUMN go public dalam
kurun waktu 2016-2020 selama satu tahun
adalah sebanyak 6 sampai 7 kali. Standar deviasi dari variabel ini sebesar 2,3157, nilai CEOPhoto tertinggi sebesar 13 (PT
Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk) dan nilai terendahnya adalah 3 (PT Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk).
Variabel independen terakhir adalah variabel collusion yang diproksikan
dengan audit fee memiliki nilai rata-rata logaritma natural dari professional
fees sebesar 21,761672.
Nilai terendah dari variabel ini adalah sebesar 19,5390 (PT Semen Baturaja (Persero) Tbk) dan nilai
tertingginya sebesar 24,8740 (PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk),
dengan standar deviasi sebesar 1,3037983.
1.
Pengaruh Stimulus terhadap Terjadinya Kecurangan Laporan Keuangan
Berdasarkan Tabel 4.10, menunjukkan bahwa hipotesis pertama diterima,
yaitu Stimulus yang diproksikan oleh financial stability berpengaruh secara signifikan pada kecurangan laporan keuangan. Hal ini terlihat bahwa nilai t-hitung adalah 4,995 atau lebih dari 2,0067 dan nilai signifikannya 0 lebih kecil dari nilai α=0,05. Tingginya tingkat pertumbuhan aset perusahaan mengartikan bahwa financial stability semakin tinggi di perusahaan tersebut, maka juga semakin tinggi potensi kecurangan laporan keuangan, sehingga H1 diterima.
Financial stability yang diukur dengan jumlah pertambahan total aset dari tahun ke tahun (ACHANGE) mempunyai pengaruh terhadap kecurangan laporan keuangan.
Pengaruh financial
stability terhadap
kecurangan laporan keuangan ini sejalan dengan acuan yaitu teori agensi. Saat suatu entitas memiliki kondisi yang stabil maka perusahaan dipandang oleh investor dengan nilai yang baik. Hal ini menyebabkan adanya keterkaitan antara kepentingan agen dan prinsipal yaitu ketika investor sebagai prinsipal mengharapkan pengembalian yang tinggi atas investasinya. Kondisi ini memunculkan adanya tekanan (stimulus) bagi manajemen untuk selalu memperlihatkan performa perusahaan yang stabil, sehingga investor tidak
menurunkan investasi di tahun selanjutnya.
Pada saat entitas memiliki total aset yang banyak, entitas tersebut dihitung mampu secara maksimal melakukan pengembalian bagi investor. Namun sebaliknya, jika terjadi penurunan total aset maka akan menyebabkan pihak prinsipal beranggapan bahwa tidak stabilnya kondisi perusahaan dan minimnya kemampuan perusahaan beroperasi dengan bagus. Perusahaan yang condong untuk menunjukkan total aset yang tinggi tersebut menjadikan pihak manajemen berpotensi untuk melakukan
kecurangan laporan keuangan. Sehingga, temuan dalam penelitian ini mampu memberikan jawaban atas teori tersebut sebab dari hasil uji hipotesis memperlihatkan bahwa stabilitas keuangan mempengaruhi tingkat kecurangan laporan keuangan (Kusumosari & Solikhah 2021).
Selain itu, temuan dalam penelitian
yang dilakukan Septriyani & Handayani (2018) adalah bahwa perusahaan mencoba untuk meningkatkan integritas perusaahaan salah satunya dengan melakukan perekayasaan informasi kekayaan aset yang berhubungan dengan pertumbuhan aset yang dimiliki. Total aset
yang tinggi memanifestasikan hasil kekayaan perusahaan yang semakin besar. Tingkat aset yang tinggi pada perusahaan akan memikat investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut. Total aset perusahaan sebelumnya yang rendah dapat menjadi dorongan bagi perusahaan untuk meningkatkan total
asetnya. Namun, perusahaan kadang-kadang menjadikan hal tersebut sebagai tekanan dalam
mencapai tujuan sehingga manajemen memanipulasi laporan keuangan agar memperlihatkan progres aset yang signifikan.
Berdasarkan hasil analisis, perusahaan dengan
rasio perubahan total aset tinggi memiliki nilai kecurangan yang tinggi pula.
Hal ini dapat dilihat pada PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk pada tahun 2018 yang memiliki nilai rasio
perubahan total aset tertinggi yaitu 0,6302 dan memiliki nilai kecurangan laporan keuangan yang
diproksikan dengan f-score tergolong tinggi yaitu sebesar 0,6108. Sementara itu, -0.2657 (PT Krakatau Steel (Persero) Tbk) �pada tahun
2019 memiliki nilai rasio perubahan total aset
terendah yaitu -0,2657 dan memiliki nilai kecurangan laporan keuangan yang
diproksikan dengan f-score tergolong rendah pula yaitu sebesar -0,822. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi
rasio perubahan total aset maka kecurangan laporan keuangan pada perusahaan
akan semakin tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh (Aviantara,
2021), Syifani (2021) serta Mukaromah dan Budiwitjaksono
(2021).
2.
Pengaruh Opportunity terhadap Terjadinya Kecurangan Laporan
Keuangan
Tabel 4.10 menunjukkan bahwa hipotesis kedua ditolak, yaitu variabel Opportunity yang diproksikan oleh ineffective monitoring tidak berpengaruh secara signifikan pada kecurangan laporan keuangan. Dapat dilihat bahwa nilai t-hitung adalah 0,307 atau kecil dari 2,0067 dan nilai signifikannya
0,760 besar dari nilai α=0,05, sehingga H2 ditolak.
Dalam Fraud hexagon theory menyatakan bahwa peluang dapat
meningkatkan terjadinya kecurangan laporan keuangan. Peluang dijelaskan dengan
variabel ineffective monitoring (ketidakefektifan pengawasan) yang
diukur menggunakan rasio jumlah dewan komisaris independen, semakin meningkat
nilai rasio jumlah dewan komisaris independen maka akan meningkatkan
kemungkinan kecurangan laporan keuangan, namun teori ini tidak sesuai dengan
hasil dalam penelitian, yang menunjukkan bahwa ineffective monitoring
tidak berpengaruh terhadap kecurangan laporan keuangan.
Untuk mengurangi conflict of interest
atau perbedaan kepentingan antara principal atau pemegang saham dengan agent
atau pengelola sebagaimana dalam teori agensi, diperlukan pengawasan terhadap kinerja
manajemen, pengawasan perusahaan dapat dilaksanakan oleh dewan komisari. Salah
satu alasan tidak berpengaruhnya ineffective monitoring terhadap
kecurangan laporan keuangan disebabkan karena keberadaan dewan komisaris mampu
melakukan tanggung jawabnya dalam proses pengawasan sesuai dengan peraturan
yang berlaku, sehingga pengawasan dapat terlaksana dengan efektif serta dapat
mengontrol kinerja dari perusahaan sehingga hal ini dapat menghindari
terjadinya kecurangan laporan keuangan.
Pengawasan yang efektif erat kaitannya dengan
proporsi dewan komisaris yang dimiliki oleh perusahaan, jumlah dewan komisaris
yang lebih besar dapat mencegah tindakan kemungkinan terjadinya kecurangan
laporan keuangan. Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 33/pojk/2014 tentang
direksi dan dewan komisaris emiten atau perusahaan publik pasal 20 ayat 3 bahwa
jumlah komisaris independen wajib paling kurang 30% (tiga puluh persen) dari
jumlah seluruh anggota Dewan Komisaris. Dalam penelitian ini rata-rata dari
komisaris independen sebesar 0,426 ini menunjukan bahwa jumlah komisaris independen
sudah memenuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh OJK. Dengan memenuhi
komposisi dewan komisari dalam suatu perusahaan serta melakukan pengawasan yang
efektif, sehingga tidak akan terjadi kecurangan laporan keuangan.
Selain itu dewan komisaris independen biasanya diangkat untuk meningkatkan kinerja perusahaan dan juga untuk
menjaga perusahaan agar dioperasikan atau di jalankan secara benar. Hal ini juga bertujuan agar dapat mencegah salah saji pelaporan keuangan. Namun, pengangkatan dewan komisaris independen bukan hanya dilakukan dengan tujuan tersebut,
tapi juga dilakukan untuk memenuhi suatu regulasi atau ketentuan formal tertentu. Selain itu, pemegang saham
mayoritas-lah yang memegang
peran penting untuk memperhatikan kinerja dewan perusahaan, yang dalam hal ini
mayoritas pemegang saham perusahaan BUMN terletak pada pemerintah sehingga dewan komisaris independen tidak dapat menjadi indikator
untuk menentukan tingkat kecurangan laporan keuangan yang akan dilakukan. Sehingga hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ineffective monitoring yang menjadi proksi dari variabel
opportunity bukanlah yang menyebabkan manajemen melakukan penipuan dalam laporan
keuangan. Hasil ini sejalan dengan penelitian Sukirman (2021), Rusmana dan Tanjung (2019) serta Mardianto dan Carissa Tiono (2019).
3.
Pengaruh Capability terhadap Terjadinya Kecurangan Laporan
Keuangan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Capability yang diproksikan dengan board of director change, tidak berpengaruh pada kecurangan laporan keuangan. Tabel 4.10 menunjukkan bahwa nilai t-hitung adalah 1,234 atau kecil dari 2,0067 dan nilai signifikannya
0,223 besar dari nilai α=0,05, sehingga H3 ditolak.
Hal ini menunjukkan bahwa change of directors atau
pergantian direksi dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap kecurangan
laporan keuangan. Hal ini tidak sesuai dengan fraud diamond theory, yang
menyatakan bahwa kecurangan
tidak akan terjadi tanpa keberadaan orang yang tepat dengan kemampuan yang
tepat, pergantian direksi dinilai mampu dalam menggambarkan kemampuan dalam
melakukan manajemen stress. Perusahaan yang melakukan kecurangan biasanya
sering melakukan perubahan susunan direksi, pergantian direksi ini dapat
menimbulkan stress period, sehingga berdampak pada pengambilan keputusan serta
semakin terbukanya peluang untuk melakukan kecurangan, sehingga semakin sering
terjadinya perubahan direksi maka akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
kecurangan laporan keuangan.
Perbedaan hasil penelitan ini dengan teori,
bisa disebabkan karena pergantian direksi tidak dapat dilakukan dengan mudah,
pergantian direksi harus mengikuti prosedur, dilakukan sesuai dengan ketentuan
perseroan seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 Tentang
Perseroan terbatas, dalam peraturan ini dijelaskan bahwa sebelum melakukan
pergantian direksi dilakukan terlebih dahulu RUPS, usulan dalam pengangkatan,
pemberhentian atau penggantian harus memperhatikan rekomendasi dari dewan komisaris
atau komite, serta dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya direksi diawasi
dan diberi arahan oleh dewan komisaris. Dalam peraturan ini pada pasal 20 juga
dinyatakan bahwa anggota direksi dilarang melakukan transaksi yang mempunyai
benturan kepentingan dan mengambil keuntungan pribadi dari kegiatan bisnis
selain gaji dan fasilitas sebagai anggota direksi. Dengan demikian pergantian
direksi akan sulit dimanfaatkan oleh manajemen untuk melakukan kecurangan
laporan keuangan.
Hasil ini juga dapat terjadi karena setiap kinerja direksi akan selalu
diawasi oleh dewan komisaris sehingga direktur yang memiliki kinerja lemah akan
digantikan oleh direksi baru yang lebih kompeten dan memiliki kinerja yang
baik. Diharapkan dengan pergantian direktur lama menjadi direktur baru dapat meningkatkan kualitas
lebih baik lagi. Semakin tinggi kemampuan para direktur, semakin tinggi tingkat
kehati-hatian dalam bekerja sehingga kemungkinan melakukan penipuan sangat
sedikit. Manajemen tidak menggunakan pergantian direksi
untuk melakukan tindakan penipuan melainkan untuk menghindari terjadinya kecurangan. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Mukaromah dan Budiwitjaksono (2021), Imtikhani dan
Sukirman (2021) serta Sagala dan Siagian (2021).
4.
Pengaruh Rationalization terhadap Terjadinya Kecurangan Laporan
Keuangan
Berdasarkan hasil Tabel 4.10, terlihat bahwa variabel Rationalization yang
diproksikan dengan kepemilikan pemerintah tidak mempengaruhi kecurangan laporan
keuangan. Hal ini dapat dilihat dari nilai t-hitung adalah 0,857 atau kecil dari 2,0067 dan nilai signifikannya
0,396 besar dari nilai α=0,05. Hal ini menunjukkan bahwa H4 Ditolak.
Hal ini terjadi karena tidak ada perbedaan
antara saham yang dimiliki pemerintah, lembaga lain dan individu karena kewajiban perusahaan dalam
membagi dividennya adalah sama. Hal ini juga menandakan bahwa sebagian besar kepemilikan saham tidak terkait dengan proses persiapan laporan keuangan sehingga tidak merasionalisasi manajemen untuk melakukan penipuan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sagala dan Siagian (2021) dan (Chen, Dong,
Li, & Zhang, 2018).
Selain itu, hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian (Aryanti, 2014) bahwa atas landasan hukum perseroan di Indonesia, harta kekayaan
negara yang digunakan sebagai penyertaan modal dalam Persero adalah suatu kekayaan Persero yang terpisah dari keuangan
negara. Akibat hukum kepemilikan saham pemerintah dalam Persero adalah
pengelolaannya tidak lagi tunduk pada prinsip-prinsip Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan pada prinsip good corporate governance (GCG). Kontrak-kontrak yang dibuat Persero tidak mengikat negara melainkan hanya mengikat Persero. �Akibat dari kepemilikan saham pemerintah adalah kekayaan dikelola menggunakan proses korporasi dan hamper tanpa adanya tekanan pemerintah (kecuali untuk past reserves)
sehingga BUMN lebih bebas untuk melakukan kontrak dengan pihak eksternal dan dapat menjadi penjamin bagi anak perusahaannya. Sehingga, tindakan merasionalkan kecurangan laporan keuangan tidak akan terjadi yang didasari oleh kepemilikan pemerintah pada BUMN yang tinggi,
sebab BUMN tunduk pada prinsip GCG.
5.
Pengaruh Ego terhadap Terjadinya Kecurangan Laporan Keuangan
Pada tabel 4.10 menunjukan bahwa uji hipotesis dari variabel Ego
yang diproksikan dengan Frequent Number of CEO�s Picture yang
bermakna Ha ditolak sebab dilihat dari nilai t-hitungnya sebesar 0,477 atau kecil dari 2,0067 dan nilai signifikannya
0,635 besar dari nilai α=0,05. Maka variabel Ego tidak berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya
kecurangan laporan keuangan, sehingga H5 ditolak.
Ego atau arogansi adalah sifat sombong seorang individu yang berusaha untuk menjaga jabatan yang dimilikinya. Dalam penelitian ini terlihat bahwa bahwa dengan banyaknya foto CEO yang terpampang di laporan tahunan perusahaan tidak menjadi jaminan perusahaan tersebut berpotensi melakukan tindakan mencurangi laporan keuangan. Hal ini disebabkan karena semakin banyak foto CEO perusahaan dalam laporan tahunan, maka semakin banyak juga gagasan yang muncul dalam mengelola perusahaan. Ide atau gagasan tersebut akan sangat menguntungkan bagi perusahaan itu sendiri, sehingga kecurangan
dalam laporan keuangan terminimalisir. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Rusmana dan Tanjung (2019) serta Sagala dan Siagian (2021).
6.
Pengaruh Collusion terhadap Terjadinya Kecurangan Laporan
Keuangan
Pada tabel 4.11 menunjukan bahwa uji hipotesis dari variabel Collusion
yang diproksikan dengan Audit Fee yang bermakna H6 ditolak sebab dilihat dari nilai t-hitungnya sebesar 1,644 atau kecil dari 2,0067 dan nilai signifikannya
0,106 besar dari nilai α=0,05, maka variabel Collusion tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap terjadinya kecurangan laporan keuangan, sehingga H6 ditolak.
Hal ini menandakan bahwa perusahaan audit yang menerima biaya tinggi tidak memiliki kecenderungan dalam menghadapi kompleksitas konflik kepentingan dalam memberikan pendapat dan tujuan
yang tidak memenuhi syarat untuk mempertahankan klien atau bisa dikatakan tidak memiliki loyalitas pada perusahaan. Sehingga auditor tetap melakukan temuan sesuai dengan
aturan yang ada dan tidak akan membenarkan
adanya kecurangan laporan keuangan. Temuan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sinaga & Rahcmawati (2018).
Selain itu, adanya suatu aturan tentang pertukaran auditor dan
KAP (Kantor Akuntan Publik) serta
penetapan fee audit yang diminta
oleh KAP menyebabkan besarnya fee audit tidak ada hubungannya dengan loyalitas auditor. Pertukaran auditor
atau KAP juga diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan
No.423/KMK.06 tentang jasa
KAP dan direvisi dengan KMK
No.359/KMK.06/ kemudian disempurnakan
dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan
No.17/PMK.01.2008 yang memisahkan masa perikatan perusahaan dengan KAP selama enam tahun berturut-turut
dan akuntan publik paling
lama tiga tahun buku berturut-turut pada satu klien yang sama. Selain itu,
dalam pasal 3 ayat 2 dan 3 diatur bahwa �akuntan publik dan kantor akuntan dapat menerima
kembali penugasan audit setelah satu tahun
buku tidak memberikan jasa audit kepada klien yang seperti yang disebutkan di atas�. Sehingga, adanya peraturan tersebut, menandakan bahwa loyalitas perusahaan kurang terbentuk pada pemilihan KAP, hasil ini juga didukung oleh penelitian Martina (2010) Megdy dan Rafik (2011).
Kesimpulan
Penelitian
ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris pengaruh faktor Analisis Fraud Hexagon yaitu Stimulus
(Financial stability), Opportunity
(Ineffective monitoring), Capability (Directur Change), Rationalization (kepemilikan pemerintah), Ego (Frequent Number of CEO�s Picture)
dan Collusion (Audit fee) dalam
mendeteksi potensi kecurangan laporan
keuangan pada perusahaan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang terdaftar di Indonesia� Bursa Efek selama 2016-2020. Penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif, data dan regresi linier
berganda dengan tingkat kepercayaan 95%.
Hasil dari penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa variabel stimulus secara empiris berpengaruh signifikan terhadap kecurangan laporan keuangan. Ketika
suatu perusahaan berada dalam kondisi yang stabil maka nilai perusahaan
dipandangan investor akan naik. Inilah hal yang memunculkan adanya sebuah tekanan
bagi para manajemen
untuk selalu memperlihatkan performa perusahaan yang stabil, sehingga investor
tidak menurunkan tingkat
investasi di kemudian hari.
Kecenderungan perusahaan untuk menampilkan jumlah aset yang tinggi guna memperlihatkan kondisi perusahaan tetap stabil dan baik membuat pihak
manajemen berpotensi untuk melakukan kecurangan laporan keuangan. Sebaliknya, dalam penelitian ini, variabel opportunity, capability, rationalization, ego dan collusion secara empiris tidak berpengaruh signifikan terhadap kecurangan laporan keuangan. Namun, secara keseluruhan faktor dari fraud hexagon teori secara empiris
berpengaruh terhadap kecurangan laporan keuangan.
Albrecht, W. Steve, Albrecht, Chad O.,
Albrecht, Conan C., & Zimbelman, Mark F. (2012). Fraud Examination.
South-Western Cengage Learning. Mason, OH.
Ananta, Y.
(2019). BPK Temukan Banyak Rekayasa dalam Lapkeu Garuda 2018. Retrieved from https://www.cnbcindonesia.com/market/20190626090139-17-80654/bpk-temukan-banyak-rekayasa-dalam-lapkeu-garuda-2018
Anggraeni, Novia
Nur. (2019). Pengaruh Fee Audit, Rotasi Audit, Ukuran Perusahaan Terhadap
Kualitas Audit (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di
Bursa Efek Indonesia Tahun 2014-2018). Skripsi, Universitas Muhammadiyah
Magelang.
Annisya,
Mafiana, & Asmaranti, Yuztitya. (2016). Pendeteksian kecurang laporan
keuangan menggunakan fraud diamond. Jurnal Bisnis Dan Ekonomi, 23(1).
Apriliana,
Siska, & Agustina, Linda. (2017). The Analysis of Fraudulent Financial
Reporting Determinant through Fraud Pentagon Approach. Jurnal Dinamika
Akuntansi, 9(2), 154�165. https://doi.org/10.15294/jda.v7i1.4036
Arles, Leardo.
(2014). Faktor�Faktor Pendorong Terjadinya Fraud: Predator vs. Accidental
Fraudster Diamond theory Refleksi Teori Fraud Triangle (Klasik) Suatu Kajian
Teoritis. Kajian Teoritis. Universitas Riau.
Aryanti, Ni
Wayan Desi. (2014). Prinsip-prinsip Kepemilikan Saham Pemerintah dalam
Perusahaan Milik Negara (Studi Perbandingan antara Indonesia dengan Singapura).
Jurnal Magister Hukum Udayana, 3(1), 44106.
Atmoko, Citro.
(2020). Survei: Kasus fraud dan penyelewengan aset melonjak di tengah
pandemi. Antaranews. Com. https://www. antaranews. com/berita/1872.
Aviantara, Ryan.
(2019). The BIG 4 role in moderating the detection of fraud pentagon against
fraudulent financial reports (study on Indonesian public sector government
companies). International Journal of Sciences: Basic and Applied Research,
4531, 94�107.
Aviantara, Ryan.
(2021). The Association Between Fraud Hexagon and Government�s Fraudulent
Financial Report. Asia Pacific Fraud Journal, 6(1), 26.
https://doi.org/10.21532/apfjournal.v6i1.192
Bamber, Martin
R. (2013). Overcoming your workplace stress: A CBT-based self-help guide.
Routledge.
Bawakes, H. F.,
Simanjuntak, A. M. A., & Daat, S. C. (2018). Testing theraints of the
Fareud Pentagon to Fraudulent Financial Reporting (Study on the Company listed
on the Indonesia Stock Exchange Year 2011-2015). Journal of Accounting &
Finance Region, 13, 114�134.
Beasley, Mark S.
(1996). An empirical analysis of the relation between the board of director
composition and financial statement fraud. Accounting Review, 443�465.
Calderon, Thomas
G., Wang, Li, & Klenotic, Thomas. (2012). Past control risk and current
audit fees. Managerial Auditing Journal, 27(7), 693�708.
Chantia, Dona,
Guritno, Yoyoh, & Sari, Retna. (2021). Detection of Fraudulent Financial
Statement: Fraud Hexagon SCCORE Model Approach. Prosiding BIEMA (Business
Management, Economic, and Accounting National Seminar), 2, 594�613.
Chen, Jun, Dong,
Wang, Li, Shuo, & Zhang, Yu. (2018). Perceived audit quality, state
ownership, and stock price delay: evidence from China. Asia-Pacific Journal
of Accounting & Economics, 25(1�2), 253�275.
Coderre, David
G. (2004). Fraud Detection: A Revealing Look At Fraud. Ekaros
Analytical.
Cressey, Donald
R. (1953). Other people�s money; a study of the social psychology of
embezzlement.
Darise, Rezky
Febriendy. (2019). Detection Of Fraudulent Financial Statements Using The
Beneish Ratio Index For Manufacturing Companies Listed On The Indonesian Stock
Exchange In 2016 And 2017 Period. ACCOUNTABILITY, 8(2), 66�74.
Dechow, Patricia
M., Ge, Weili, Larson, Chad R., & Sloan, Richard G. (2011). Predicting
material accounting misstatements. Contemporary Accounting Research, 28(1),
17�82.
Devi, Putu
Nirmala Chandra, Widanaputra, Anak Agung Gde Putu, Budiasih, IGAN, &
Rasmini, Ni Ketut. (2021). The effect of fraud Pentagon theory on financial
statements: Empirical evidence from Indonesia. The Journal of Asian Finance,
Economics and Business, 8(3), 1163�1169.
Dewi, Ni Putu
Gina Puspita. (2020). Pendeteksian Kecurangan Pelaporan Keuangan Dengan Menggunakan
Pentagon Fraud Pada BUMN Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia.
Universitas Pendidikan Ganesha.
Eisenhardt,
Kathleen M. (1989). Agency theory: An assessment and review. Academy of
Management Review, 14(1), 57�74.
Gaio, Cristina,
& Pinto, In�s. (2018). The role of state ownership on earnings quality:
evidence across public and private European firms. Journal of Applied
Accounting Research.
Ghozali, I.
(2015). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program IBM dan SPSS 16.
Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program IBM Dan SPSS 16.
Hall, James A.
(2015). Accounting information systems. Cengage Learning.
Herawati, Nurul.
(2015). Application of Beneish M-Score models and data mining to detect
financial fraud. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 211,
924�930.
Hikmawati,
Puteri. (2017). Dugaan Suap Dalam Mendapatkan Opini WTP. Majalah Info
Singkat, 9.
Rumpf, H.
(1990). The characteristics of systems and their changes of state disperse. Particle
Technology, Chapman and Hall; Springer: Berlin/Heidelberg, Germany, 8�54.
Copyright holder: Atika Gando Suri, Annisaa Rahman (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |