Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 5, Mei 2023

 

ANALISIS FRAUD HEXAGON DALAM MENDETEKSI POTENSI KECURANGAN LAPORAN KEUANGAN PADA PERUSAHAAN BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN)

 

Atika Gando Suri, Annisaa Rahman

Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Andalas, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris pengaruh variabel-variabel dalam Fraud Hexagon Theory yang dapat mendeteksi kecurangan laporan keuangan. Penelitian ini menggunakan Fraud Score Model dengan studi kasus pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tahun 2016 � 2020. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan BUMN yang terdaftar di BEI pada tahun 2016-2020 yang di akses melalui website idx.co.id. Data sampel yang di gunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 13 perusahaan BUMN. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan metode purposive sampling. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kecurangan laporan keuangan. Variabel independen yang digunakan penelitian ini adalah stimulus, opportunity, capability, rationalization, ego dan collusion. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linear berganda dengan alat uji SPSS Versi 26. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa stimulus berpengaruh signifikan terhadap kecurangan laporan keuangan, sedangkan opportunity, capability, rationalization, ego dan collusion tidak berpengaruh signifikan terhadap kecurangan laporan keuangan.

 

Kata Kunci: stimulus; opportunity; capability; rationalization; ego; collusion fraud score model

 

Abstract

This study aims to obtain empirical evidence of the influence of variables in Fraud Hexagon Theory that can detect financial statement fraud. This study uses the Fraud Score Model with case studies on State-Owned Enterprises (BUMN) in 2016 � 2020. The population in this study is all state-owned companies listed on the IDX in 2016-2020 which are accessed through the idx.co.id website. The sample data used in this study was as many as 13 state-owned companies. Sampling is carried out based on the purposive sampling method. The dependent variable used in this study is financial statement fraud. The independent variables used by this study are stimulus, opportunity, capability, rationalization, ego and collusion. Data analysis in this study used multiple linear regression analysis with SPSS test tool Version 26. Based on the results of the analysis, it shows that stimulus has a significant effect on financial statement fraud, while opportunity, capability, rationalization, ego and collusion do not have a significant effect on financial statement fraud.

Keywords: stimulus; opportunity; capability; rationalization; ego; collusion; fraud score model

 

Pendahuluan

Pandemi Covid-19 yang terjadi di seluruh belahan dunia tak terkecuali di Indonesia memunculkan banyak sekali keresahan dan masalah. Munculnya berbagai kebijakan yang dibentuk pemerintah dalam upaya menekan penyebaran virus, malah menimbulkan kekhawatiran lain di kalangan masyarakat salah satunya terjadinya resesi ekonomi global. The Asian Development Bank (ADB) menuturkan bahwa dengan terus meningkatnya penyebaran wabah Covid-19 akan menimbulkan kerugian ekonomi hingga 347 miliyar USD. Selain itu, S&P Global Ratings juga memperkirakan Asia Pasifik akan merasakan akibat yang cukup besar hingga menimbulkan kerugian sebesar 211 miliyar USD di beberapa lokasi (Sidik, 2020).

Para analis menyampaikan bahwa keadaan ini memunculkan shock pada permintaan dan penawaran dalam perekonomian wilayah Asia Pasifik akibat dari keputusan pelanggan yang meminimalisir aktivitas konsumsi. Hal ini juga menyebabkan terjadinya hambatan pada supply chain yang membuat sistem produksi menjadi sedikit tidak terkendali. Aspek perekonomian juga menjadi korban atas permasalahan ini seperti terjadinya penurunan pada pemasukan industri, perubahan kurs pada laporan keuangan, serta penurunan pada penghitungan cadangan industri, upah kerja serta keuntungan industri (Sidik, 2020).

Agar dapat menjaga kestabilan perusahaan ditengah pandemi ini, banyak upaya yang dilakukan perusahaan salah satunya dengan menghasilkan laporan keuangan yang terlihat sehat atau bagus (window dressing). Erick Thohir, Menteri BUMN, mengungkapkan bahwa kemunculan window dressing pada bagian terbawah dari laba rugi atau bottom line di laporan keuangan memang menghasilkan keuntungan, namun nyatanya hal tersebut dapat terjadi karena perusahaan tidak mempunyai keuangan yang sama seperti yang dilaporkan dalam laporan keuangan (Sandi, 2020). Tindakan window dressing yang semakin berkembang akan memunculkan fraud (kecurangan) dalam penyajian dan pengungkapan laporan keuangan sehingga menyesatkan pihak yang menggunakan laporan keuangan secara material (Rezaee, 2005). (Dechow, Ge, Larson, & Sloan, 2011) membuktikan bahwa perusahaan memutuskan untuk melakukan tindakan kecurangan dalam laporan keuangan pada saat mereka berkesempatan untuk melakukan tindakan window dressing agar performa mereka dipandang baik di hadapan para pemegang saham. Sehingga, banyak perusahaan menjadikan pandemi sebagai momentum untuk menghasilkan informasi keuangan yang tampak bagus serta realistis, hingga melakukan perbuatan kecurangan pada laporan keuangan. Hal ini diperkuat dengan adanya hasil survei kantor akuntan publik dan konsultan RSM Indonesia pada tahun 2020 atas kasus penipuan atau fraud yang mengalami peningkatan selama masa pandemi Covid-19 (Atmoko, 2020).

Dalam dua tahun sekali secara rutin, Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) Global melakukan survei kepada anggota ACFE yang telah memiliki sertifikasi Certified Fraud Examiner (CFE) di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia, dengan menyajikan hasil survei dalam bentuk Report to The Nations (RTTN). Menurut survei yang telah dilakukan ACFE Global pada tahun 2020 tersebut, kecurangan diklasifikasikan ke dalam tiga bagian diantaranya adalah penyalahgunaan aset, korupsi, dan kecurangan laporan keuangan. �Berikut merupakan penggambaran dari hasil survei RTTN tahun 2020 tentang data fraud yang terjadi di seluruh dunia :

 

Gambar 1 Fraud di Dunia

Sumber : ACFE Global (2020)

 

Berdasarkan gambaran dari hasil survei tersebut, terlihat bahwa penyalahgunaan aset merupakan kasus terbanyak yang terjadi, dengan tingkat keterjadian sebesar 86%, kemudian kasus korupsi menempati posisi kedua dengan tingkat keterjadian sebesar 43%, dan kasus terbawah adalah kecurangan laporan keuangan dengan persentase 10%. Namun jika dilihat dari besar kerugian yang diakibatkannya, kasus kecurangan laporan keuangan menimbulkan tingkat kerugian tertinggi diantara kategori kecurangan lainnya, yaitu sebesar $954.000. Sedangkan korupsi menempati peringkat kedua dengan nilai kerugian sebesar $200.000, dan kasus penyalaguanaan aset menimbulkan kerugian sebesar $100.000 (ACFE Global, 2020). Sehingga terlihat bahwa kecurangan laporan keuangan memiliki potensi menghasilkan kerugian yang cukup besar dibandingkan dengan kategori kecurangan lainnya.

Namun, berbeda dari hasil yang dipaparkan oleh RTTN, Indonesia tidak sepenuhnya mencerminkan fraud yang terjadi di dunia. ACFE Indonesia Chapter melakukan Survei Fraud Indonesia (SFD) secara khusus dikuti dengan penyesuaian pada beberapa hal yang relevan untuk Indonesia namun tetap berdasarkan pada metodologi yang dikembangkan oleh ACFE Global. Berikut merupakan grafik dari gambaran hasil SFI tahun 2019 mengenai data fraud yang terjadi di Indonesia:

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2

Fraud di Indonesia

 

Sumber : ACFE Indonesia Chapter, 2020

 

Dari hasil SFI yang dilakukan oleh ACFE Indonesia Chapter tahun 2019 menunjukkan perbedaan dengan hasil survei RTTN, bahwa kasus fraud terbanyak di Indonesia dengan tingkat keterjadian sebesar 64,4% adalah korupsi, kemudian disusul oleh penyalahgunaan aset dengan tingkat keterjadian sebesar 28,9%, dan kecurangan laporan keuangan dengan tingkat keterjadian sebesar sebesar 6,70%. Dilihat dari tingkat kerugian yang diakibatkan, korupsi menjadi kasus fraud terbesar yang menyebabkan kerugian sebesar 70%, kemudian disusul oleh kasus penyalahgunaan aset dengan tingkat kerugian sebesar 21%, dan kecurangan laporan keuangan sebesar 9%. Perbedaan hasil ini diindikasikan karena bermacam kejahatan di Indonesia yang berasal dari kecurangan laporan keuangan belum banyak terungkap, seperti kejahatan karena penipuan informasi pajak serta kejahatan penipuan informasi di bursa efek. Selain itu, hal ini juga diakibatkan oleh adanya peningkatan dari tahun 2004 hingga 2018 terkait keputusan penyidikan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Rawantika, 2022). Dari hasil survei tersebut tidak merubah pandangan bahwa kecurangan laporan keuangan adalah bentuk fraud yang harus dicegah oleh setiap perusahaan publik di Indonesia karena memiliki potensi membuat kerugian yang sangat besar.

Hasil survei ACFE (2020) juga mengungkapkan secara rata-rata keseluruhan kerugian yang timbul adalah sebesar lebih dari Rp10 milyar yang diakibatkan oleh fraud dan terbanyak dirasakan oleh pemerintah yaitu sebanyak 20,8%, organisasi atau lembaga nirlaba sebanyak 17,4%, perusahaan swasta sebanyak 13,3%, organisasi atau lembaga nirlaba lainnya sebanyak 13% dan perusahaan BUMN sebanyak 11,1%. Hal menarik terlihat bahwa untuk kerugian antara Rp500 juta s.d Rp1 milyar akibat fraud terbanyak dirasakan oleh perusahaan swasta sebanyak 24,5%, pemerintah sebanyak 23.4%, organisasi lembaga nirlaba dan nirlaba lainnya sama-sama sebanyak 17,4% dan perusahaan BUMN sebanyak 15,9%. Walaupun kerugian yang dialami cukup sedikit, namun kasus fraud pada BUMN cukup sering menjadi sorotan publik.

Salah satu fenomena kecurangan laporan keuangan yang terjadi pada perusahaan BUMN adalah perusahaan yang bergerak pada sektor transportasi yaitu PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Hikmah (2017) menyebutkan bahwa PT KAI memainkan data pada laporan keuangan tahun 2005, perusahaan BUMN itu tercatat memperoleh keuntungan sebesar Rp6,9 miliar, namun faktanya mereka malah memiliki kerugian sebesar Rp63 miliar. Kasus lain yang juga dialami oleh perusahaan BUMN adalah kasus rekayasa laporan keuangan PT Garuda Indonesia tbk dengan tahun buku 2018. Kasus ini juga membawa sejumlah nama akuntan publik kantor akuntan publik Tanubrata, Sutanto, Fahmi, Bambang dan rekan yang mengaudit laporan keuangan perusahaan BUMN tersebut (Ananta, 2019). Karena kasus ini, menteri keuangan Sri Mulyani memberikan sanksi dengan membekukan izin akuntan publik serta kantor akuntan publik tersebut selama satu tahun (Kusuma, 2019). Kasus lainnya terjadi di PT Timah Persero TBK tahun 2015 (Soda, 2016). PT Indofarma Persero TBK tahun 2001 dan PT Kimia Farma Persero TBK tahun 2001. Kasus-kasus yang pernah terjadi tersebut tentu dapat mencoreng citra baik yang dimiliki badan usaha itu sendiri maupun pemerintah yang gagal untuk mengawasi kinerja BUMN (Dewi, 2020).

Dari berbagai kasus kecurangan laporan keuangan yang terjadi menggambarkan bahwa auditor memiliki tanggung jawab yang cukup besar dalam mendeteksi adanya kecurangan laporan keuangan perusahaan agar akuntantabilitas laporan keuangan meningkat dan dapat dipercaya. Bebagai macam teori telah dikembangkan oleh berbagai peneliti sebelumnya yang dapat digunakan untuk mendeteksi kecurangan. Salah satu teori kecurangan yang dikemukakan oleh Cressey, pendiri ACFE, yaitu fraud triangle pada tahun 1953.� Dalam penelitiannya yang berjudul �Other People�s Money: A Study in the Social Psychology of Embezzlement�, fraud triangle terdiri dari tiga komponen pendeteksian kecurangan yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi atau pembenaran (rationalization) (Wolfe & Hermanson, 2004).

Kemudian fraud triangle theory dikembangkan oleh Wolfe dan Hermanson (2004) menjadi fraud diamond dengan penambahan elemen kemampuan (capability). Beberapa tahun setelahnya perkembangan teori fraud diamond theory menjadi fraud pentagon theory dilakukan oleh Crowe (2011) dengan mencantumkan tambahan elemen arogansi (Ego). Selanjutnya, teori kecurangan ini kembali dikembangkan menjadi model fraud baru yaitu fraud hexagon model yang dikemukakan oleh Vousinas (2019) yang terdiri dari enam komponen pendeteksian kecurangan yaitu Tekanan (Stimulus), Peluang (Opportunity), Rasionalisasi (Rationalization), Kemampuan (Capability), Arogansi (Ego), dan Kolusi (Collusion) (Sari, 2021).

Tekanan (stimulus), elemen pertama dalam fraud hexagon theory merupakan dorongan untuk melakukan kecurangan. Tekanan tereksitasi pada saat kinerja perusahaan berada di bawah rata-rata kinerja industri (Skousen, 2009). Keadaan itu memperlihatkan perusahaan dalam pada kondisi tidak stabil karena kurang mampu memaksimalkan aset yang dimiliki serta tidak dapat memanfaatkan sumber daya secara efisien. Elemen kedua dalam fraud hexagon theory, kemampuan (capability), merupakan keahlian yang dimiliki karyawan untuk mengabaikan internal kontrol, memiliki strategi untuk menyembunyikan sesuatu dan mengamati kondisi sosial untuk kepentingan pribadi (Crowe, 2011). Kesempatan (opportunity) merupakan elemen ketiga dalam fraud hexagon theory. Opportunity adalah suatu kesempatan untuk melakukan kecurangan (Elviani, 2020). Elemen keempat dalam fraud hexagon theory yaitu Rasionalisasi (rationalization), merupakan suatu sikap pembenaran diri. Elemen kelima dalam fraud hexagon theory adalah arogan (ego), yaitu sikap sombong yang ada dalam diri seseorang. Elemen terakhir dalam fraud hexagon theory yaitu kolusi (collusion), merupakan kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk melakukan kecurangan dengan menipu pihak ketiga (Vousinas, 2019).

Pengujian faktor penyebab kecurangan laporan keuangan telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian terdahulu menarik untuk dikaji lebih mendalam sebab masih memperlihatkan hasil yang berbeda-beda. (Aviantara, 2021) melakukan penelitian mengenai hubungan antara fraud hexagon dengan kecurangan laporan keuangan pada pemerintah. Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah financial stability yang diukur dengan pertumbuhan aset, director change sebagai faktor dari kapabilitas yang diukur dengan jumlah penggantian direktur, audit fee sebagai faktor kolusi yang diukur dengan logaritma alami, e-procurement sebagai faktor kolusi� yang diukur dengan keberadaan pelaksanaannya, perubahan komite audit sebagai faktor peluang yang diukur dengan jumlah penggantian komite audit, whistleblowing system sebagai faktor peluang yang diukur dengan eksistensi pelaksanaannya, kepemilikan pemerintah sebagai faktor rasionalisasi yang diukur dengan kepemilikan negara, CEO education sebagai faktor ego yang diukur dari tingkat pendidikan dan CEO militer sebagai faktor ego yang diukur dengan afiliasi militer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa financial stability, director change, audit fee, e-procurement, perubahan komite audit, whistleblowing system dan kepemilikan pemerintah berpengaruh terhadap kecurangan laporan keuangan dan fraud hexagon atau model S.C.C.O.R.E secara bersamaan mempengaruhi kecurangan laporan keuangan.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Ima & Gideon (2021) mengenai pengaruh fraud hexagon theory dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan dengan objek penelitiannya perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2015-2019. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah financial stability, target keuangan, tekanan eksternal, kerja sama dengan proyek pemerintah, pergantian direksi, pemantauan yang tidak efektif, pergantian auditor, rasio total akrual terhadap total aset, kualitas auditor eksternal dan keberadaan perusahaan. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa financial stability, target keuangan, dan ketidakefektifan pemantauan berdampak pada kecurangan laporan keuangan. Sementara itu, tekanan eksternal, kerja sama dengan proyek pemerintah, pergantian direksi, pergantian auditor, rasio total akrual terhadap total aset, kualitas auditor eksternal, dan keberadaan perusahaan tidak berpengaruh pada kecurangan laporan keuangan.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Dian (2021) tentang pengaruh hexagon fraud theory dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan dengan objek penelitian Perusahaan Asuransi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2016-2020, menunjukkan hasil bahwa tekanan, peluang, rasionalisasi tidak berpengaruh terhadap kecurangan laporan keuangan. Sementara itu, kapabilitas, arogansi dan kolusi berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui langkah pendeteksian pada kecurangan laporan keuangan yang terjadi pada perusahaan dengan mempergunakan teori hexagon fraud. Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian lainnya adalah penelitian ini menggunakan potensi kecurangan dalam laporan keuangan sebagai variabel dependen dan diukur menggunakan F-Score Model. Selain itu, perbedaan pada variabel independennya adalah kombinasi dari variabel independen dari berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya seperti variabel stimulus diproksikan dengan financial stability, variabel opportunity diproksikan dengan ineffective monitoring, kemudian untuk variabel capability diproksikan dengan director change, variabel rationalization diproksikan dengan kepemilikan pemerintah, variabel ego dengan kemunculan frequent number of CEO�s picture pada laporan tahunan perusahaan dan variabel collusion diproksikan dengan audit fee.

Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah perusahaan BUMN yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sebab berdasarkan SFI yang dilaksanakan ACFE �Indonesia tahun 2016, perusahaan negara atau BUMN menjadi lembaga atau organisasi dengan tingkat kerugian akibat fraud terbesar kedua di Indonesia dengan persentase kerugian sebesar 8,1%. Oleh sebab itu, perusahaan BUMN tersebut dapat menjadi sampel yang relevan dan representatif untuk penelitian ini.

Data yang dipakai pada penelitian ini adalah data sekunder, yaitu laporan tahunan perushaan BUMN yang terdaftar di BEI selama periode 2016-2020. Periode tersebut dipilih karena dinilai dapat menggambarkan kondisi sebelum terjadinya pandemi dan kondisi terkini selama masa pandemi serta dapat menghasilkan data yang representatif untuk penelitian ini. Dari pemaparan uraian di atas, judul dalam penelitian ini adalah �Analisis Fraud Hexagon dalam Mendeteksi Potensi Kecurangan Laporan Keuangan Pada Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)�.

 

Metode Penelitian

1.   Jenis dan Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Penelitian ini menggunakan desain penelitian berupa studi pengujian hipotesis. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari laporan tahunan berupa laporan perusahaan BUMN yang telah dipublikasikan dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2016-2020. Pemilihan periode tersebut diharapkan dapat mendeskripsikan kondisi sebelum terjadinya pandemi dan kondisi terkini selama masa pandemi serta dapat melihat hasil yang lebih akurat dan relevan untuk memahami perusahaan BUMN go public yang ada di Indonesia.

2.   Populasi, Sampel�dan Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan seluruh perusahaan BUMN di Indonesia tahun periode tahun 2016-2020 sebagai populasinya. Berdasarkan data yang tercantum dalam situs Kementrian BUMN pada tahun 2020, ada 115 perusahaan negara yang menjadi milik Kementrian BUMN yang terdiri atas 20 BUMN yang terdaftar di BEI dan 96 badan usaha yang tidak terdaftar (Kementrian BUMN, 2020). Sementara itu, teknik purposive sampling digunakan dalam penentuan sampel pada penelitian ini, yaitu metode pemilihan sampel berlandaskan dari tolok ukur tertentu yang berhubungan dengan beberapa sumber data yang diperlukan. Harapannya, dengan menggunakan teknik ini akan mempermudah dalam melakukan penelitian dalam memperoleh data yang sama dengan keperluan penelitian berlandaskan sifat-sifat yang telah ditentukan. Kriteria-kriteria sampel dalam penelitian ini antara lain:

1)  Perusahaan BUMN di Indonesia yang go public selama periode 2016-2020.

2)  Data-data yang berkaitan dengan variabel penelitian tersedia dengan lengkap (data secara keseluruhan tersedia pada publikasi selama 2016-2020).

3.   Metode Analisis Data

a)  Analisis Statistik Deskriptif

Analisis statistik deskriptif ini digunakan dalam menjelaskan variabel yang ada pada penelitian. Analisis ini bertujuan dalam penelitian ini untuk mendeskripsikan data variabel dependen yang dalam hal ini adalah kecurangan laporan keuangan dan variabel independen dalam penelitian ini adalah komponen hexagon fraud theory. Selain itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai rata-rata (mean), nilai maksimum-minimum dan standar deviasi (standard deviation) dari data (Krissindiastuti dan Rasmini, 2016).

b)  Uji Asumsi Klasik

Model regresi linier yang disebut juga dengan model yang baik jika dapat memenuhi beberapa asumsi dikenal dengan uji asumsi klasik (Ghozali, 2015). Jika uji asumsi klasik terpenuhi dalam model penelitian ini, maka uji regresi linear berganda dapat dilakukan. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mendapatkan apakah ada kesalahan dari asumsi klasik atas persamaan regresi berganda yang digunakan (Sihombing, 2014). Hal ini untuk menjauhi adanya perkiraan yang bias, sebab penerapan regresi tidak dapat dilakukan pada semua data. Pengujian asumsi klasik pada penelitian ini terdiri dari uji normalitas, uji multikolonieritas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi.

c)  Uji Normalitas

Fungsi dari penujian normalitas adalah untuk melakukan uji nilai sisa memiliki distribusi secara normal atau tidak. Sebab, bagus atau tidaknya data dilihat dari apakah data yang terdistribusi dengan normal atau tidak. Pengujian normalitas dalam penelitian ini memanfaatkan uji Kolmogrov-Smirnov Test. Hasil dari uji Kolmogorov-Smirnov dikatakan baik jika mempunyai nilai residual normal dengan nilai signifikasi lebih besar dari 5% (Ghozali, 2015).

d)  Uji Multikolonieritas

Uji multikolinearitas berguna untuk menguji korelasi antar variabel bebas dalam model regresi. Apabila tidak terjadi korelasi di antara masing-masing variabel bebas maka model regresi dianggap bagus. Untuk menentukan multikolinearitas adalah dengan melihat tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF) (Ghozali, 2015). Penelitian dinyatakan bebas dari multikolinearitas jika mempunyai nilai VIF ≤ 10 atau nilai tolerance ≥ 0,10.

e)  Uji Autokorelasi

Tujuan dari uji autokorelasi adalah untuk mengetahui apakah ada atau tidaknya interelasi antara kesalahan residual pada periode t dengan kesalahan residual pada periode t-1 dalam model regresi linear (Ghozali, 2015). Syarat yang harus dipnuhi adalah persamaan regresi harus bebas dari autokolerasi. Deteksi autokorelasi memanfaatkan uji durbin watson (DW). Berikut ini pengambilan keputusan dalam uji DW:

�    Dikatakan terdapat autokorelasi, jika nilai DW < dL atau DW > (4-dL)

�    Tidak terdapat autokorelasi, Jika nilai dU < DW < (4-dU)

�    Tidak ada kesimpulan, jika nilai dL < DW< dU atau (4-dU) < DW < (4-dL)

f)   Uji Heterokedasitas

Fungsi dari uji heteroskedasitas adalah untuk memverifikasi model regresi dalam penelitian ini apakah memiliki persamaan varian atau tidak. Uji glejser test yang digunakan dalam penelitian ini untuk pengujian heterokedasitas. Baik atau tidaknya model regresi jika mengalami heteroskedastisitas atau tidak. Model regresi dikatakan bebas heteroskedasitas jika mempunyai nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 (Ghozali, 2015).

g)  Analisis Regresi

Analisis ini berfungsi untuk mengetahui besarnya pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap satu variabel terikat dan menggunakan variabel bebas untuk memprediksi variabel terikat. Terdapat asumsi klasik yang harus dipenuhi dalam regresi linier berganda, yaitu residual terdistribusi normal, tidak adanya multikolinearitas, tidak adanya heteroskedastisitas dan tidak adanya autokorelasi pada model regresi (Ghozali, 2015). Model Penelitian regresi linier berganda ini dirumuskan dalam bentuk sebagai berikut :

Keterangan:

β ����������������������� = Konstanta

β1 � β6 ������������� = Koefisien Regresi

ACHANGE ������ = Rasio perubahan total asset

BDOUT ����������� = Rasio total kewajiban per total asset

BODC �������������� = Director Change

GOVSHIP �������� = Kepemilikan Pemerintah

CEOPic ������������ = Jumlah foto CEO dalam laporan tahunan

AUDF �������������� = Audit Fee

����������������������� = Error

 

 

h)  Uji Koefisiensi Determinasi (R2)

Fungsi dari pengujian ini adalah untuk memvisualisasikan persentase variabel bebas yang menjadi pengaruh terhadap variabel terikat. Nilai dari R2 terletak dalam rentang angka 0 hingga 1. Nilai yang baik adalah nilai R2 yang mendekati angka satu, sebab hal itu berarti semua independen menggambarkan hampir semua informasi yang diperlukan untuk memprediksi variasi- variabel independent (Ghozali, 2015).

i)   Uji Signifikansi (Uji F)

Pengaruh signifikansi terkait dapat digambarkan menggunakan model regresi Uji f. Keputusan dapat diambil dilihat dari tingkat signifikansinya. Jika hasil dari regresi mempunyai tingkat signifikansi besar dari 0.05 maka model regresi tidak sesuai. Nilai regresi dapat dikatakan sesuai atau variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen, jika nilai probabilitas lebih kecil dari nilai α (Ghozali, 2015).

j)   Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan melalui uji-t. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan signifikansi level 0,05 dengan persyaratan pengambilan keputusan:

�    Ho ditolak, jika nilai yang dihasilkan uji t lebih kecil dari tingkat signifikansi, berarti regresi sesuai dengan yang diprediksi.

�    Ho gagal ditolak, apabila nilai yang dihasilkan uji t lebih besar dari tingkat signifikansi, berarti koefisien regresi tidak sesuai dengan yang diprediksi.

Hasil dan Pembahasan

A. Hasil

1. Gambaran Umum Objek Penelitian

Populasi pada penelitian ini yaitu perusahaan BUMN yang terdaftar di BEI pada periode 2016 � 2020. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling atas populasi tersebut, yaitu penentuan sampel yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu dan berdasarkan pertimbangan tertentu yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Adapun kriteria-kriteria yang digunakan dalam penelitian sampel adalah:

a)  Perusahaan BUMN yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2016 - 2020;

b)  Perusahaan BUMN yang berstatus BUMN selama periode 2016 - 2020;

c)  Perusahaan BUMN yang mempublikasikan laporan keuangan tahunan di Bursa Efek Indonesia secara konsisten dan lengkap selama periode 2016-2020;

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 1

Kriteria Pengambilan Sampel Penelitian

Kriteria

Jumlah Perusahaan

Jumlah Perusahaan BUMN yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia 2016-2020

20

Perusahaan BUMN yang berpindah status menjadi anak
usaha BUMN selama periode 2016-2020

(6)

Perusahaan BUMN yang tidak mempublikasikan laporan
keuangan tahunan di Bursa Efek Indonesia secara berturut-turut selama periode 2016-2020

(1)

Jumlah Sampel Perusahaan

13

Jumlah Tahun Penelitian

5

Data Outlier

(7)

Total Data Penelitian (13x5-7)

58

���������� Sumber : Data Olah Sendiri

 

Dapat diketahui jumlah sampel yang menjadi objek penelitian ini adalah sebanyak 58 perusahaan (13 perusahaan x 5 tahun � 7).

2. Uji Analisis Deskriptif

Statistik deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran atau deskripsi data dalam bentuk variabel, jumlah data, nilai maksimum, nilai minimum, nilai rata-rata, dan standar deviasi yang digunakan dalam penelitian (Ghozali, 2015). Deskripsi setiap indikator disajikan dalam tabel di bawah ini.

 

Tabel 2

Analisis Deskriptif

 

N

Minimum

Maximum

Mean

Std. Deviation

Kecurangan Laporan Keuangan

58

-1.864

1.161

.08094

.571512

Stimulus

58

-.266

.630

.15176

.176526

Opportunity

58

.200

.625

.42590

.108461

Capability

58

.000

8.000

2.84483

2.007020

Rationalization

58

.510

.800

.62002

.094718

Ego

58

3.000

13.000

6.37931

2.315679

Collusion

58

19.539

24.874

21.76167

1.303798

Valid N (listwise)

58

 

 

 

 

Sumber: Output SPSS 26

 

Variabel dependen kecurangan laporan keuangan yang diukur dengan f-score menunjukkan nilai rata-rata 0,0809. Hal ini menandakan selama periode tahun 2016-2020 BUMN go public memiliki rata-rata kecurangan yang rendah. Kemudian terlihat dari data bahwa standar deviasinya sebesar 0,5715. Nilai f-score tertinggi sebesar 1,1610 (PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk), yang menunjukkan tingginya kecurangan laporan keuangan dari perusahaan tersebut dan nilai terendahnya sebesar -1.8637 (PT Waskita Karya (Persero) Tbk).

Variabel independen stimulus yang diproksikan dengan financial stability yang diukur dengan perubahan aset memiliki rata-rata 0,151757, yang berarti bahwa selama periode penelitian tingkat rata-rata perubahan aset dalam perusahaan BUMN go public tergolong rendah. Nilai minimum perubahan aset adalah -0,2657 (PT Krakatau Steel (Persero) Tbk) dan nilai tertinggi adalah 0,6302 (PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk). Standar deviasinya adalah 0,1765264.

Variabel independen selanjutnya yaitu variabel opportunity yang diproksikan dengan ineffective monitoring dengan menggunakan pengukuran persentase komisaris independen terhadap total dewan komisaris. Dari sampel diperoleh nilai rata-rata sebesar 0,425898 yang artinya jumlah komisaris independen pada BUMN adalah rata-rata 0,425898 dari jumlah total komisaris. Nilai terendahnya adalah 0,2000 (PT Semen Baturaja (Persero) Tbk) dan nilai tertingginya adalah 0,6250 (PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk). Standar deviasi dari variabel ini adalah 0,1084607.

Selanjutnya, variabel independen capability yang diproksikan dengan director change memiliki nilai rata-rata sebesar 2,8448 yang artinya rata-rata frekuensi terjadinya perubahan direksi pada BUMN go public dalam kurun waktu 2016-2020 selama satu tahun pelaporan adalah 2 sampai 3 kali pertukaran. Untuk nilai standar deviasinya adalah sebesar 2,0070. Untuk nilai tertinggi dari variabel ini adalah sebesar 8 (PT Bank Mandiri (Persero) Tbk), artinya terjadi perubahan direksi terbanyak dalam perusahaan tersebut. Kemudian untuk nilai terendahnya sebesar 0 (PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk, PT Semen Gresik (Persero) Tbk dan PT Semen Baturaja (Persero) Tbk)) artinya perusahaan tersebut tidak mengalami perubahan direksi dalam satu tahun pelaporan.

Variabel independen lain yaitu rationalization yang diproksikan dengan kepemilikan pemerintah pada perusahaan berdasarkan persentase kepemilikan saham memiliki nilai rata-rata sebesar 0,620024, artinya sebagian besar perusahaan BUMN go public pada tahun 2016-2020 dimiliki oleh pemerintah dengan persentase saham sebesar 62%. Nilai terendah dari variabel ini adalah sebesar 0,5100 atau 51% (PT Adhi Karya (Persero) Tbk dan PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk) dan nilai tertingginya sebesar 0,8000 atau 80% (PT Krakatau Steel (Persero) Tbk), dengan standar deviasi sebesar 0,0947175.

Variabel independen Ego yang diproksikan dengan frequent number of CEO�s picture (CEOPhoto) menunjukkan nilai rata-rata sebesar 6,3793, artinya rata-rata jumlah foto CEO yang muncul dalam laporan tahunan BUMN go public dalam kurun waktu 2016-2020 selama satu tahun adalah sebanyak 6 sampai 7 kali. Standar deviasi dari variabel ini sebesar 2,3157, nilai CEOPhoto tertinggi sebesar 13 (PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk) dan nilai terendahnya adalah 3 (PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk).

Variabel independen terakhir adalah variabel collusion yang diproksikan dengan audit fee memiliki nilai rata-rata logaritma natural dari professional fees sebesar 21,761672. Nilai terendah dari variabel ini adalah sebesar 19,5390 (PT Semen Baturaja (Persero) Tbk) dan nilai tertingginya sebesar 24,8740 (PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk), dengan standar deviasi sebesar 1,3037983.

B.  Pembahasan

1.   Pengaruh Stimulus terhadap Terjadinya Kecurangan Laporan Keuangan

Berdasarkan Tabel 4.10, menunjukkan bahwa hipotesis pertama diterima, yaitu Stimulus yang diproksikan oleh financial stability berpengaruh secara signifikan pada kecurangan laporan keuangan. Hal ini terlihat bahwa nilai t-hitung adalah 4,995 atau lebih dari 2,0067 dan nilai signifikannya 0 lebih kecil dari nilai α=0,05. Tingginya tingkat pertumbuhan aset perusahaan mengartikan bahwa financial stability semakin tinggi di perusahaan tersebut, maka juga semakin tinggi potensi kecurangan laporan keuangan, sehingga H1 diterima.

Financial stability yang diukur dengan jumlah pertambahan total aset dari tahun ke tahun (ACHANGE) mempunyai pengaruh terhadap kecurangan laporan keuangan. Pengaruh financial stability terhadap kecurangan laporan keuangan ini sejalan dengan acuan yaitu teori agensi. Saat suatu entitas memiliki kondisi yang stabil maka perusahaan dipandang oleh investor dengan nilai yang baik. Hal ini menyebabkan adanya keterkaitan antara kepentingan agen dan prinsipal yaitu ketika investor sebagai prinsipal mengharapkan pengembalian yang tinggi atas investasinya. Kondisi ini memunculkan adanya tekanan (stimulus) bagi manajemen untuk selalu memperlihatkan performa perusahaan yang stabil, sehingga investor tidak menurunkan investasi di tahun selanjutnya.

Pada saat entitas memiliki total aset yang banyak, entitas tersebut dihitung mampu secara maksimal melakukan pengembalian bagi investor. Namun sebaliknya, jika terjadi penurunan total aset maka akan menyebabkan pihak prinsipal beranggapan bahwa tidak stabilnya kondisi perusahaan dan minimnya kemampuan perusahaan beroperasi dengan bagus. Perusahaan yang condong untuk menunjukkan total aset yang tinggi tersebut menjadikan pihak manajemen berpotensi untuk melakukan kecurangan laporan keuangan. Sehingga, temuan dalam penelitian ini mampu memberikan jawaban atas teori tersebut sebab dari hasil uji hipotesis memperlihatkan bahwa stabilitas keuangan mempengaruhi tingkat kecurangan laporan keuangan (Kusumosari & Solikhah 2021).

Selain itu, temuan dalam penelitian yang dilakukan Septriyani & Handayani (2018) adalah bahwa perusahaan mencoba untuk meningkatkan integritas perusaahaan salah satunya dengan melakukan perekayasaan informasi kekayaan aset yang berhubungan dengan pertumbuhan aset yang dimiliki. Total aset yang tinggi memanifestasikan hasil kekayaan perusahaan yang semakin besar. Tingkat aset yang tinggi pada perusahaan akan memikat investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut. Total aset perusahaan sebelumnya yang rendah dapat menjadi dorongan bagi perusahaan untuk meningkatkan total asetnya. Namun, perusahaan kadang-kadang menjadikan hal tersebut sebagai tekanan dalam mencapai tujuan sehingga manajemen memanipulasi laporan keuangan agar memperlihatkan progres aset yang signifikan.

Berdasarkan hasil analisis, perusahaan dengan rasio perubahan total aset tinggi memiliki nilai kecurangan yang tinggi pula. Hal ini dapat dilihat pada PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk pada tahun 2018 yang memiliki nilai rasio perubahan total aset tertinggi yaitu 0,6302 dan memiliki nilai kecurangan laporan keuangan yang diproksikan dengan f-score tergolong tinggi yaitu sebesar 0,6108. Sementara itu, -0.2657 (PT Krakatau Steel (Persero) Tbk) �pada tahun 2019 memiliki nilai rasio perubahan total aset terendah yaitu -0,2657 dan memiliki nilai kecurangan laporan keuangan yang diproksikan dengan f-score tergolong rendah pula yaitu sebesar -0,822. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi rasio perubahan total aset maka kecurangan laporan keuangan pada perusahaan akan semakin tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Aviantara, 2021), Syifani (2021) serta Mukaromah dan Budiwitjaksono (2021).

2.   Pengaruh Opportunity terhadap Terjadinya Kecurangan Laporan Keuangan

Tabel 4.10 menunjukkan bahwa hipotesis kedua ditolak, yaitu variabel Opportunity yang diproksikan oleh ineffective monitoring tidak berpengaruh secara signifikan pada kecurangan laporan keuangan. Dapat dilihat bahwa nilai t-hitung adalah 0,307 atau kecil dari 2,0067 dan nilai signifikannya 0,760 besar dari nilai α=0,05, sehingga H2 ditolak.

Dalam Fraud hexagon theory menyatakan bahwa peluang dapat meningkatkan terjadinya kecurangan laporan keuangan. Peluang dijelaskan dengan variabel ineffective monitoring (ketidakefektifan pengawasan) yang diukur menggunakan rasio jumlah dewan komisaris independen, semakin meningkat nilai rasio jumlah dewan komisaris independen maka akan meningkatkan kemungkinan kecurangan laporan keuangan, namun teori ini tidak sesuai dengan hasil dalam penelitian, yang menunjukkan bahwa ineffective monitoring tidak berpengaruh terhadap kecurangan laporan keuangan.

Untuk mengurangi conflict of interest atau perbedaan kepentingan antara principal atau pemegang saham dengan agent atau pengelola sebagaimana dalam teori agensi, diperlukan pengawasan terhadap kinerja manajemen, pengawasan perusahaan dapat dilaksanakan oleh dewan komisari. Salah satu alasan tidak berpengaruhnya ineffective monitoring terhadap kecurangan laporan keuangan disebabkan karena keberadaan dewan komisaris mampu melakukan tanggung jawabnya dalam proses pengawasan sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga pengawasan dapat terlaksana dengan efektif serta dapat mengontrol kinerja dari perusahaan sehingga hal ini dapat menghindari terjadinya kecurangan laporan keuangan.

Pengawasan yang efektif erat kaitannya dengan proporsi dewan komisaris yang dimiliki oleh perusahaan, jumlah dewan komisaris yang lebih besar dapat mencegah tindakan kemungkinan terjadinya kecurangan laporan keuangan. Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 33/pojk/2014 tentang direksi dan dewan komisaris emiten atau perusahaan publik pasal 20 ayat 3 bahwa jumlah komisaris independen wajib paling kurang 30% (tiga puluh persen) dari jumlah seluruh anggota Dewan Komisaris. Dalam penelitian ini rata-rata dari komisaris independen sebesar 0,426 ini menunjukan bahwa jumlah komisaris independen sudah memenuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh OJK. Dengan memenuhi komposisi dewan komisari dalam suatu perusahaan serta melakukan pengawasan yang efektif, sehingga tidak akan terjadi kecurangan laporan keuangan.

Selain itu dewan komisaris independen biasanya diangkat untuk meningkatkan kinerja perusahaan dan juga untuk menjaga perusahaan agar dioperasikan atau di jalankan secara benar. Hal ini juga bertujuan agar dapat mencegah salah saji pelaporan keuangan. Namun, pengangkatan dewan komisaris independen bukan hanya dilakukan dengan tujuan tersebut, tapi juga dilakukan untuk memenuhi suatu regulasi atau ketentuan formal tertentu. Selain itu, pemegang saham mayoritas-lah yang memegang peran penting untuk memperhatikan kinerja dewan perusahaan, yang dalam hal ini mayoritas pemegang saham perusahaan BUMN terletak pada pemerintah sehingga dewan komisaris independen tidak dapat menjadi indikator untuk menentukan tingkat kecurangan laporan keuangan yang akan dilakukan. Sehingga hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ineffective monitoring yang menjadi proksi dari variabel opportunity bukanlah yang menyebabkan manajemen melakukan penipuan dalam laporan keuangan. Hasil ini sejalan dengan penelitian Sukirman (2021), Rusmana dan Tanjung (2019) serta Mardianto dan Carissa Tiono (2019).

3.   Pengaruh Capability terhadap Terjadinya Kecurangan Laporan Keuangan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Capability yang diproksikan dengan board of director change, tidak berpengaruh pada kecurangan laporan keuangan. Tabel 4.10 menunjukkan bahwa nilai t-hitung adalah 1,234 atau kecil dari 2,0067 dan nilai signifikannya 0,223 besar dari nilai α=0,05, sehingga H3 ditolak.

Hal ini menunjukkan bahwa change of directors atau pergantian direksi dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap kecurangan laporan keuangan. Hal ini tidak sesuai dengan fraud diamond theory, yang menyatakan bahwa kecurangan tidak akan terjadi tanpa keberadaan orang yang tepat dengan kemampuan yang tepat, pergantian direksi dinilai mampu dalam menggambarkan kemampuan dalam melakukan manajemen stress. Perusahaan yang melakukan kecurangan biasanya sering melakukan perubahan susunan direksi, pergantian direksi ini dapat menimbulkan stress period, sehingga berdampak pada pengambilan keputusan serta semakin terbukanya peluang untuk melakukan kecurangan, sehingga semakin sering terjadinya perubahan direksi maka akan meningkatkan kemungkinan terjadinya kecurangan laporan keuangan.

Perbedaan hasil penelitan ini dengan teori, bisa disebabkan karena pergantian direksi tidak dapat dilakukan dengan mudah, pergantian direksi harus mengikuti prosedur, dilakukan sesuai dengan ketentuan perseroan seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 Tentang Perseroan terbatas, dalam peraturan ini dijelaskan bahwa sebelum melakukan pergantian direksi dilakukan terlebih dahulu RUPS, usulan dalam pengangkatan, pemberhentian atau penggantian harus memperhatikan rekomendasi dari dewan komisaris atau komite, serta dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya direksi diawasi dan diberi arahan oleh dewan komisaris. Dalam peraturan ini pada pasal 20 juga dinyatakan bahwa anggota direksi dilarang melakukan transaksi yang mempunyai benturan kepentingan dan mengambil keuntungan pribadi dari kegiatan bisnis selain gaji dan fasilitas sebagai anggota direksi. Dengan demikian pergantian direksi akan sulit dimanfaatkan oleh manajemen untuk melakukan kecurangan laporan keuangan.

Hasil ini juga dapat terjadi karena setiap kinerja direksi akan selalu diawasi oleh dewan komisaris sehingga direktur yang memiliki kinerja lemah akan digantikan oleh direksi baru yang lebih kompeten dan memiliki kinerja yang baik. Diharapkan dengan pergantian direktur lama menjadi direktur baru dapat meningkatkan kualitas lebih baik lagi. Semakin tinggi kemampuan para direktur, semakin tinggi tingkat kehati-hatian dalam bekerja sehingga kemungkinan melakukan penipuan sangat sedikit. Manajemen tidak menggunakan pergantian direksi untuk melakukan tindakan penipuan melainkan untuk menghindari terjadinya kecurangan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mukaromah dan Budiwitjaksono (2021), Imtikhani dan Sukirman (2021) serta Sagala dan Siagian (2021).

4.   Pengaruh Rationalization terhadap Terjadinya Kecurangan Laporan Keuangan

Berdasarkan hasil Tabel 4.10, terlihat bahwa variabel Rationalization yang diproksikan dengan kepemilikan pemerintah tidak mempengaruhi kecurangan laporan keuangan. Hal ini dapat dilihat dari nilai t-hitung adalah 0,857 atau kecil dari 2,0067 dan nilai signifikannya 0,396 besar dari nilai α=0,05. Hal ini menunjukkan bahwa H4 Ditolak.

Hal ini terjadi karena tidak ada perbedaan antara saham yang dimiliki pemerintah, lembaga lain dan individu karena kewajiban perusahaan dalam membagi dividennya adalah sama. Hal ini juga menandakan bahwa sebagian besar kepemilikan saham tidak terkait dengan proses persiapan laporan keuangan sehingga tidak merasionalisasi manajemen untuk melakukan penipuan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sagala dan Siagian (2021) dan (Chen, Dong, Li, & Zhang, 2018).

Selain itu, hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian (Aryanti, 2014) bahwa atas landasan hukum perseroan di Indonesia, harta kekayaan negara yang digunakan sebagai penyertaan modal dalam Persero adalah suatu kekayaan Persero yang terpisah dari keuangan negara. Akibat hukum kepemilikan saham pemerintah dalam Persero adalah pengelolaannya tidak lagi tunduk pada prinsip-prinsip Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan pada prinsip good corporate governance (GCG). Kontrak-kontrak yang dibuat Persero tidak mengikat negara melainkan hanya mengikat Persero. �Akibat dari kepemilikan saham pemerintah adalah kekayaan dikelola menggunakan proses korporasi dan hamper tanpa adanya tekanan pemerintah (kecuali untuk past reserves) sehingga BUMN lebih bebas untuk melakukan kontrak dengan pihak eksternal dan dapat menjadi penjamin bagi anak perusahaannya. Sehingga, tindakan merasionalkan kecurangan laporan keuangan tidak akan terjadi yang didasari oleh kepemilikan pemerintah pada BUMN yang tinggi, sebab BUMN tunduk pada prinsip GCG.

5.   Pengaruh Ego terhadap Terjadinya Kecurangan Laporan Keuangan

Pada tabel 4.10 menunjukan bahwa uji hipotesis dari variabel Ego yang diproksikan dengan Frequent Number of CEO�s Picture yang bermakna Ha ditolak sebab dilihat dari nilai t-hitungnya sebesar 0,477 atau kecil dari 2,0067 dan nilai signifikannya 0,635 besar dari nilai α=0,05. Maka variabel Ego tidak berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya kecurangan laporan keuangan, sehingga H5 ditolak.

Ego atau arogansi adalah sifat sombong seorang individu yang berusaha untuk menjaga jabatan yang dimilikinya. Dalam penelitian ini terlihat bahwa bahwa dengan banyaknya foto CEO yang terpampang di laporan tahunan perusahaan tidak menjadi jaminan perusahaan tersebut berpotensi melakukan tindakan mencurangi laporan keuangan. Hal ini disebabkan karena semakin banyak foto CEO perusahaan dalam laporan tahunan, maka semakin banyak juga gagasan yang muncul dalam mengelola perusahaan. Ide atau gagasan tersebut akan sangat menguntungkan bagi perusahaan itu sendiri, sehingga kecurangan dalam laporan keuangan terminimalisir. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rusmana dan Tanjung (2019) serta Sagala dan Siagian (2021).

6.   Pengaruh Collusion terhadap Terjadinya Kecurangan Laporan Keuangan

Pada tabel 4.11 menunjukan bahwa uji hipotesis dari variabel Collusion yang diproksikan dengan Audit Fee yang bermakna H6 ditolak sebab dilihat dari nilai t-hitungnya sebesar 1,644 atau kecil dari 2,0067 dan nilai signifikannya 0,106 besar dari nilai α=0,05, maka variabel Collusion tidak berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya kecurangan laporan keuangan, sehingga H6 ditolak.

Hal ini menandakan bahwa perusahaan audit yang menerima biaya tinggi tidak memiliki kecenderungan dalam menghadapi kompleksitas konflik kepentingan dalam memberikan pendapat dan tujuan yang tidak memenuhi syarat untuk mempertahankan klien atau bisa dikatakan tidak memiliki loyalitas pada perusahaan. Sehingga auditor tetap melakukan temuan sesuai dengan aturan yang ada dan tidak akan membenarkan adanya kecurangan laporan keuangan. Temuan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sinaga & Rahcmawati (2018).

Selain itu, adanya suatu aturan tentang pertukaran auditor dan KAP (Kantor Akuntan Publik) serta penetapan fee audit yang diminta oleh KAP menyebabkan besarnya fee audit tidak ada hubungannya dengan loyalitas auditor. Pertukaran auditor atau KAP juga diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.423/KMK.06 tentang jasa KAP dan direvisi dengan KMK No.359/KMK.06/ kemudian disempurnakan dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan No.17/PMK.01.2008 yang memisahkan masa perikatan perusahaan dengan KAP selama enam tahun berturut-turut dan akuntan publik paling lama tiga tahun buku berturut-turut pada satu klien yang sama. Selain itu, dalam pasal 3 ayat 2 dan 3 diatur bahwa �akuntan publik dan kantor akuntan dapat menerima kembali penugasan audit setelah satu tahun buku tidak memberikan jasa audit kepada klien yang seperti yang disebutkan di atas�. Sehingga, adanya peraturan tersebut, menandakan bahwa loyalitas perusahaan kurang terbentuk pada pemilihan KAP, hasil ini juga didukung oleh penelitian Martina (2010) Megdy dan Rafik (2011).

Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris pengaruh faktor Analisis Fraud Hexagon yaitu Stimulus (Financial stability), Opportunity (Ineffective monitoring), Capability (Directur Change), Rationalization (kepemilikan pemerintah), Ego (Frequent Number of CEO�s Picture) dan Collusion (Audit fee) dalam mendeteksi potensi kecurangan laporan keuangan pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terdaftar di Indonesia� Bursa Efek selama 2016-2020. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif, data dan regresi linier berganda dengan tingkat kepercayaan 95%.

Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa variabel stimulus secara empiris berpengaruh signifikan terhadap kecurangan laporan keuangan. Ketika suatu perusahaan berada dalam kondisi yang stabil maka nilai perusahaan dipandangan investor akan naik. Inilah hal yang memunculkan adanya sebuah tekanan bagi para manajemen untuk selalu memperlihatkan performa perusahaan yang stabil, sehingga investor tidak menurunkan tingkat investasi di kemudian hari. Kecenderungan perusahaan untuk menampilkan jumlah aset yang tinggi guna memperlihatkan kondisi perusahaan tetap stabil dan baik membuat pihak manajemen berpotensi untuk melakukan kecurangan laporan keuangan. Sebaliknya, dalam penelitian ini, variabel opportunity, capability, rationalization, ego dan collusion secara empiris tidak berpengaruh signifikan terhadap kecurangan laporan keuangan. Namun, secara keseluruhan faktor dari fraud hexagon teori secara empiris berpengaruh terhadap kecurangan laporan keuangan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Albrecht, W. Steve, Albrecht, Chad O., Albrecht, Conan C., & Zimbelman, Mark F. (2012). Fraud Examination. South-Western Cengage Learning. Mason, OH.

 

Ananta, Y. (2019). BPK Temukan Banyak Rekayasa dalam Lapkeu Garuda 2018. Retrieved from https://www.cnbcindonesia.com/market/20190626090139-17-80654/bpk-temukan-banyak-rekayasa-dalam-lapkeu-garuda-2018

 

Anggraeni, Novia Nur. (2019). Pengaruh Fee Audit, Rotasi Audit, Ukuran Perusahaan Terhadap Kualitas Audit (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2014-2018). Skripsi, Universitas Muhammadiyah Magelang.

 

Annisya, Mafiana, & Asmaranti, Yuztitya. (2016). Pendeteksian kecurang laporan keuangan menggunakan fraud diamond. Jurnal Bisnis Dan Ekonomi, 23(1).

 

Apriliana, Siska, & Agustina, Linda. (2017). The Analysis of Fraudulent Financial Reporting Determinant through Fraud Pentagon Approach. Jurnal Dinamika Akuntansi, 9(2), 154�165. https://doi.org/10.15294/jda.v7i1.4036

 

Arles, Leardo. (2014). Faktor�Faktor Pendorong Terjadinya Fraud: Predator vs. Accidental Fraudster Diamond theory Refleksi Teori Fraud Triangle (Klasik) Suatu Kajian Teoritis. Kajian Teoritis. Universitas Riau.

 

Aryanti, Ni Wayan Desi. (2014). Prinsip-prinsip Kepemilikan Saham Pemerintah dalam Perusahaan Milik Negara (Studi Perbandingan antara Indonesia dengan Singapura). Jurnal Magister Hukum Udayana, 3(1), 44106.

 

Atmoko, Citro. (2020). Survei: Kasus fraud dan penyelewengan aset melonjak di tengah pandemi. Antaranews. Com. https://www. antaranews. com/berita/1872.

 

Aviantara, Ryan. (2019). The BIG 4 role in moderating the detection of fraud pentagon against fraudulent financial reports (study on Indonesian public sector government companies). International Journal of Sciences: Basic and Applied Research, 4531, 94�107.

 

Aviantara, Ryan. (2021). The Association Between Fraud Hexagon and Government�s Fraudulent Financial Report. Asia Pacific Fraud Journal, 6(1), 26. https://doi.org/10.21532/apfjournal.v6i1.192

 

Bamber, Martin R. (2013). Overcoming your workplace stress: A CBT-based self-help guide. Routledge.

 

Bawakes, H. F., Simanjuntak, A. M. A., & Daat, S. C. (2018). Testing theraints of the Fareud Pentagon to Fraudulent Financial Reporting (Study on the Company listed on the Indonesia Stock Exchange Year 2011-2015). Journal of Accounting & Finance Region, 13, 114�134.

 

Beasley, Mark S. (1996). An empirical analysis of the relation between the board of director composition and financial statement fraud. Accounting Review, 443�465.

 

Calderon, Thomas G., Wang, Li, & Klenotic, Thomas. (2012). Past control risk and current audit fees. Managerial Auditing Journal, 27(7), 693�708.

 

Chantia, Dona, Guritno, Yoyoh, & Sari, Retna. (2021). Detection of Fraudulent Financial Statement: Fraud Hexagon SCCORE Model Approach. Prosiding BIEMA (Business Management, Economic, and Accounting National Seminar), 2, 594�613.

 

Chen, Jun, Dong, Wang, Li, Shuo, & Zhang, Yu. (2018). Perceived audit quality, state ownership, and stock price delay: evidence from China. Asia-Pacific Journal of Accounting & Economics, 25(1�2), 253�275.

 

Coderre, David G. (2004). Fraud Detection: A Revealing Look At Fraud. Ekaros Analytical.

 

Cressey, Donald R. (1953). Other people�s money; a study of the social psychology of embezzlement.

 

Darise, Rezky Febriendy. (2019). Detection Of Fraudulent Financial Statements Using The Beneish Ratio Index For Manufacturing Companies Listed On The Indonesian Stock Exchange In 2016 And 2017 Period. ACCOUNTABILITY, 8(2), 66�74.

 

Dechow, Patricia M., Ge, Weili, Larson, Chad R., & Sloan, Richard G. (2011). Predicting material accounting misstatements. Contemporary Accounting Research, 28(1), 17�82.

 

Devi, Putu Nirmala Chandra, Widanaputra, Anak Agung Gde Putu, Budiasih, IGAN, & Rasmini, Ni Ketut. (2021). The effect of fraud Pentagon theory on financial statements: Empirical evidence from Indonesia. The Journal of Asian Finance, Economics and Business, 8(3), 1163�1169.

 

Dewi, Ni Putu Gina Puspita. (2020). Pendeteksian Kecurangan Pelaporan Keuangan Dengan Menggunakan Pentagon Fraud Pada BUMN Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia. Universitas Pendidikan Ganesha.

 

Eisenhardt, Kathleen M. (1989). Agency theory: An assessment and review. Academy of Management Review, 14(1), 57�74.

 

Gaio, Cristina, & Pinto, In�s. (2018). The role of state ownership on earnings quality: evidence across public and private European firms. Journal of Applied Accounting Research.

 

Ghozali, I. (2015). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program IBM dan SPSS 16. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program IBM Dan SPSS 16.

 

Hall, James A. (2015). Accounting information systems. Cengage Learning.

 

Herawati, Nurul. (2015). Application of Beneish M-Score models and data mining to detect financial fraud. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 211, 924�930.

 

Hikmawati, Puteri. (2017). Dugaan Suap Dalam Mendapatkan Opini WTP. Majalah Info Singkat, 9.

 

Rumpf, H. (1990). The characteristics of systems and their changes of state disperse. Particle Technology, Chapman and Hall; Springer: Berlin/Heidelberg, Germany, 8�54.

 

Copyright holder:

Atika Gando Suri, Annisaa Rahman (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: