Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
11, November 2022
IDIOSINKRASI PEMERINTAH PADA
STAGNANSI IMPLEMENTASI PERDA PROVINSI SUMATERA BARAT 7/2018 TENTANG NAGARI
Muhammad Fakhri Aziz, Azwar, Bob Alfiandi
Universitas Andalas,
Padang, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Pembentukan Perda Prov Sumbar 7/2018 tentang Nagari sebagai amanat UU 6/2014 tentang Desa merupakan upaya perlindungan dan pengakuan masyarakat adat di Sumatera Barat, namun setelah 5 tahun pengesahan Perda ini, masih belum ada titik terang dalam pelaksanaan di seluruh Kabupaten/Kota Sumatera Barat. Dengan menggunakan analisis teori birokrasi Weber beserta pendekatan kualitatif dalam kegiatan pengumpulan data, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penghambat implementasi Perda 7/2018 dari perspektif birokrasi dan adat. Hasil penelitian ini menemukan bahwa terdapat penjelasan mengenai konflik peralihan mandat antara peraturan perundang-undangan yang disebabkan oleh sifat hierarki birokrasi, sehingga terjadi kesalahpahaman di Pemerintah Kabupaten. Berikutnya, muncul keraguan atas visi kelembagaan nagari Perda 7/18 yang menyebabkan tumpang tindih ideologi trias politica dengan nilai-nilai adat, sehingga pelaksanaan Perda Prov Sumbar 7/2018 mandek tanpa tindak lanjut yang jelas.
Kata kunci: Peraturan daerah; birokrasi pemerintah; desa tradisional; kebijakan.
Abstract
The establishment of Perda Prov Sumbar 7/2018 about
Nagari as a mandate of Law 6/2014 about Villages is an effort to protect and
recognize indigenous peoples in West Sumatra, but after 5 years of ratification
of this Perda, there are still no bright spots in the
implementation in all Regencies/Cities of West Sumatera. Using Weber's
bureaucratic theory analysis along with a qualitative approach in data
collection activities, this research aims to determine the factors inhibiting
the implementation of regional regulation 7/2018 from a bureaucratic and
customary perspective. The results of this research found that there was an
explanation of the conflict of mandate transitions between laws and regulations
caused by the nature of the bureaucratic hierarchy, resulting in
misunderstandings in the District Government. Next, doubts arose over the
institutional vision of nagari Perda
7/18 which caused the overlap of trias politica ideology with customary values, so that the
implementation of Perda Prov Sumbar
7/2018 was stagnant without clear follow-up.
Keywords: Local regulations;government bureaucracy; traditional village;policy.
Pendahuluan
Pelaksanaan UU 5/1979 tentang Pemerintahan Desa di Sumatera
Barat memberikan revolusi
yang sangat signifikan terutama
pada tatanan otoritas tradisional Minangkabau dengan sistem uniformitas desa. Diawali dengan
kondisi pengapusan Nagari sebagai unit pemerintahan terendah, yang diganti oleh jorong sebagai Desa baru atas
dasar ketertarikan Dana Desa Manan (1995) dan pengasingan pemuka adat serta
melumpuhkan struktur otoritas tradisional dalam Nagari, yaitu Kerapatan Adat Nagari (KAN) (Pador, 2002). Tak hanya itu, sistem pemerintahan
desa membentuk posisi Kepala Desa
sebagai pemimpin tunggal yang menyalahi konsepsi pemimpin adat Minangkabau, didahuluan salangkah, ditinggian saranting. Hal ini berarti hampir tidak ada kesenjangan
antara pemimpin dengan yang dipimpin, masih terjangkau (Sola, 2020).
Uniformitas desa ini tentu tak
sesuai dengan konsiderans UU 5/1979, sebagaimana
mengindahkan keistimewaan desa atas ketentuan
adat istiadat yang masih berlaku, malah dapat terkatakan
jauh dari pemerintahan yang efektif (Utama, 2017). UU ini tak hanya mengabaikan
hak secara personal warga nagari yang merupakan perbuatan pelanggaran hak asasi Putra (2022), tetapi juga mengindikasikan bahwa pemerintah pusat ingin menjaga kekuasaannya
demi pewujudan dalih stabilitas politik di seluruh tingkat sistem pemerintahan Indonesia (Istianda, 2014).
Menanggapi kelemahan produk hukum ini
dan semangat konstitusional
dalam mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sesuai Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 lahirlah UU 6/2014 tentang Desa (Fanani et al., 2019). Menurut Hariri (2020) muatan asas pemerintahan desa dalam UU ini
adalah asas subsidiaritas dan asas desentralisasi. Subsidiaritas bermakna penetapan kewenangan dan pengambilan keputusan berskala lokal daerah, sedangkan
desentralisasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah dalam mewujudkan demokrasi di tingkat lokal, yang mana intinya dari kedua asas
tersebut adalah desa memiliki legitimasi
dalam mengelola pemerintahan desa sebagai distribution of power (penyaluran
kekuasaan).
Secara yuridis, Prasna (2022) menjelaskan peluang ini ditanggapi
oleh Pemerintah Provinsi
Sumatera Barat untuk memfungsikan
kembali sistem pemerintahan nagari dengan membentuk Perda Prov Sumbar 7/18 tentang Nagari dengan harapan Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dikembalikan
kepada jati dirinya sebagai penyelenggara pemerintahan terdepan berdasarkan hukum adat. Di samping itu, Dewi, & Fatmariza (2020) melihat Perda Prov Sumbar 7/18 mengembalikan esensi nagari dengan menghidupkan
kembali metode musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan.
Namun, mengutip berita sumbarprov.go.id Kepala
DPMD Prov. Sumbar Drs. H. Syafrizal.
MM, Dt Nan Batuah, dalam pembukaan Lokakarya Juknis Perda Prov Sumbar 7/2018 tentang Nagari, di Bukittinggi mengatakan bahwa sudah tiga
tahun Perda Prov Sumbar 7/2018 tentang Nagari diberlakukan, tetapi progres pembentukan Nagari sebagai Nagari Adat boleh dikatakan stagnan. Lebih lanjut, beliau
mengatakan hal ini disebabkan adanya beberapa kendala, seperti teknis, sosiologis maupun politis, dan teknokratis.
Hal menarik
dari pernyataan di atas adalah terdapat
kendala politis dan teknokratis dalam upaya pembentukan desa adat. Jika ditarik menuju pembahasan kewenangan, maka kendala tersebut
dapat bersangkutpaut dengan peran birokrat
dalam pelaksanaan birokrasi pemerintahan karena birokrasi selalu dikaitkan dengan lembaga pelaksana fungsi kenegaraan (Titin Rohayatin, 2021). Dengan demikian, semestinya Perda Prov Sumbar 7/2018 dapat diimplementasikan dengan baik oleh Pemerintah di nagari-nagari di
Sumatera Barat dalam pelaksanaan
birokrasi pemerintahan.
Akan tetapi, hingga saat ini yang telah
menempuh 5 tahun stagnansi Perda Prov Sumbar 7/2018 tersebut masih tak menunjukkan
pergerakan yang positif, meskipun telah ada penunjukkan program pilot
project nagari adat untuk memacu perkembangan
Perda Prov Sumbar 7/2018.
Adapun daftar pilot project nagari adat sebagai berikut:
Tabel 1
Pilot project Nagari Adat di
Sumatera Barat tahun 2018 dan 2019
Tahun |
Nagari |
Kecamatan |
Kabupaten/Kota |
Lawang |
Matur |
Agam |
|
Painan |
IV Jurai |
Pesisir Selatan |
|
2019 |
Taram |
Harau |
Lima Puluh Kota |
Andaleh Baruah Bukik |
Sungayang |
Tanah Datar |
|
Aie Manggih |
Lubuk Sikaping |
Pasaman |
|
KAN Pauh IX |
Kuranji |
Padang |
|
Pakan Sinayan |
Banuhampu |
Agam |
|
Sungai Pua |
Agam |
||
Tigo Balai |
Matur |
Agam |
|
Kapau |
Tilatang Kamang |
Agam |
|
Garagahan |
Lubuk Basung |
Agam |
Sumber: DPMD Prov. Sumbar
Tahun 2019
Berdasarkan pernyataan Kepala DPMD Prov. Sumbar sebelumnya, intervensi birokrat besar memengaruhi keberhasilan idealistis birokrasi dalam pandangan Weber, melayani tujuan masyarakat terutama mewujudkan pengakuan dan penghormatan atas kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya dengan penetapan �Nagari Adat�.
Akan tetapi, hingga saat ini penetapan
�Nagari Adat� mengalami stagnansi
selama 5 tahun tanpa perkembangan yang signifikan. Berlandaskan uraian tersebut, spesifikasi rumusan masalah penelitian ini adalah Mengapa
terjadi stagnansi Implementasi Perda Sumbar 7/2018 di Kabupaten Agam,
Sumatera Barat? Adapun tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui permasalahan implementasi Perda Prov Sumbar 7/2018 dari dua perspektif, yaitu birokrasi dan adat.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif degan model interpretative karena
data hasil peneletian lebih berkenaan dengan interprestasi terhadap data yang ditemukan di lapangan (Siyoto & Sodik, 2015). Penggunaan model
interpretative berkaitan dengan
perolehan data yang tergolong
pada interpretasi yang kemudian
penganalisisan data dengan teori yang berkaitan dengan interpretasi informan terhadap stagnansi implementasi Perda Prov Sumbar 7/2018 tentang nagari.
Teknik wawancara mendalam menjadi cara utama dalam
pengumpulan data penelitian
ini di samping studi dokumen. Adapun teknik penentuan informan adalah snowball
technique, yaitu teknik penetapan informan penelitian melalui sistem pola keterhubungan
(sosiometrik) suatu kelompok (Naderifar et al., 2017). Pemilihan teknik ini karena
kompatibel untuk melihat interaksi antar informan kunci dalam realitas
kasus. Di samping itu, kuantitas informan ditentukan oleh sosiometrik kasus, semakin banyak pola, semakin banyak
pula kuantitas informan ibarat gelindingan salju (Sugiyono, 2017).
Adapun teknik analisa
data menggunakan model analisis
data Miles dan Huberman, yang terdiri atas tahap reduksi
data, penyajian data dan kesimpulan.
Reduksi sebagai penyaringan atas kebutuhan data sesuai tujuan penelitian. Penyajian data berupa kategorisasi data, dan kesimpulan
adalah tahap tafsiran data hasil kategorisasi (Hardani et al., 2020).
Hasil dan Pembahasan
Secara yuridis, muatan Perda
Prov Sumbar 7/2018 adalah pemberian kewenangan khusus Pasal 109 UU 6/2014 dalam
konteks penataan desat adat kepada provinsi yang mengatur tiga hal, yaitu
susunan kelembagaan nagari, pengisian jabatan serta masa jabatan kapalo nagari
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Nagari berdasarkan hukum adat. Adapun tujuan Perda ini adalah
agar Nagari mampu menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan hak asal usul yang
disebut. sebagai
adat salingka nagari dengan legitimasi
birokrasi formal sebuah peraturan daerah. Walaupun demikian, dalam temuan penelitian
ini terungkap bahwa ada permasalahan
implementasi Perda Prov Sumbar 7/2018, yang dikaji melalui dua perspektif, yaitu birokrasi dan adat.
A. Menyoal
Amanat Peralihan
Lahirnya Perda Prov Sumbar
7/2018 bertujuan untuk melindungi, menguatkan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat nagari khususnya masyarakat adat. Melalui kekuatan
hukum ini harapannya keberlangsungan nilai-nilai adat dapat terjaga. Hal ini mengacu pada UU 6/2014 sebagai kebijakan untuk memberikan perlindungan dan pengakuan pada desa adat atas
hak asal usul serta kewenangan
masyarakat adatnya. Atas dasar itu, dalam
ketentuan peralihan Pasal 24 ayat (2) Perda Prov Sumbar 7/18 tertulis bahwa:
�Kabupaten/Kota yang mengubah
status penyelenggaraan Pemerintahan
Nagari menjadi Pemerintahan
Nagari berdasarkan Hukum Adat, menindaklanjutinya
dengan pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Nagari dengan mempedomani Peraturan Daerah ini dan disesuaikan dengan Adat Salingka Nagari�.
Selaras dengan itu, dalam konstelasi hukum perundang-undangan di
Indonesia sesuai UU 15/2019, yang menyaratkan
bahwa terdapat hierarki pembentukan peraturan perundang-undangan dari UUD 1945 sampai Perda Kabupaten/Kota dalam Pasal 7 ayat
(1), yang terdiri atas: (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; (2) Ketetapan
Majelis Permusyawaratan
Rakyat; (3) Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (4) Peraturan Pemerintah; (5) Peraturan Presiden; (6) Peraturan Daerah Provinsi; dan (7) Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
Untuk itu terbentuknya Perda Prov Sumbar 7/2018 menjadi payung hukum Pemda Kabupaten/Kota
untuk mengubah status suatu nagari administratif
menjadi �Nagari Adat� melalui
pembentukan Perda Kabupaten/Kota. Namun, hal ini tampaknya
ditepis oleh Pemda Kabupaten Agam dengan mengacu pada Permendagri 1/2017
yang mengatur pembentuk desa adat berdasarkan
prakarsa masyarakat.
Prakarsa masyarakat dipahami
sebagai syarat pembentukan Perda Kabupaten/Kota tentang penetapan �Nagari Adat�.
Pemahamannya adalah Perda Prov Sumbar 7/18 membuat peraturan yang menggambarkan pembentukan �Nagari Adat� adalah tekanan dari atas,
yang seharusnya ditumbuhkan
dari bawah. Hal ini menggambarkan bahwa Perda Prov Sumbar 7/18 memberlakukan pendekatan top-down, perintah atasan, bukannya bottom-up, kesadaran dari bawah. Munculnya pemahaman Pemda Kabupaten bahwa Perda Prov Sumbar 7/2018 mempertentangkan Permendagri
1/2017 mengacu pada Pasal
61 ayat (1) Permendagri
1/2017 yang berbunyi:
�Perubahan status Desa menjadi Desa Adat dilakukan berdasarkan prakarsa pemerintah Desa dengan memperhatikan
saran dan pendapat masyarakat�.
Pasal di atas juga sesuai dengan Pasal 100 ayat (1) UU 6/2014 yang menyatakan
Status Desa dapat diubah menjadi Desa Adat berdasarkan prakarsa masyarakat yang bersangkutan melalui Musyawarah Desa dan disetujui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Adapun pemahaman Pemda Kabupaten Agam ini dituliskan dalam kutipan wawancara
berikut:
�Kalau sekarang kita buat dulu
perda tentulah bertentangan dengan UU pasal 100 itu, sementara pasal 100 itu amanahnya Perda
penetapan desa itu perubahan sttatus
dan sebagaimananya itu dimulai dari prakarsa
masyarakat. Jadi juknis perda prov sumbar 7/18 itu juga ambigu, ada pula 1 buat Perda dulu di pasal
yang sama kalau saya tidak salah, ayatnya berbeda cuma, jadi berbeda
bedanya di pasal 29 ini pemerintah daerah kabupaten/kota menetapkan desa dengan atau
desa adat yang ada di wilayahnya, bearti kan kita
membuat menetapkan dari atas ya�
(Wawancara 7 September 2022).
Pemahaman ini juga disampaikannya
dengan prinsip hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu lex superiori derogat legi inferiori: peraturan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, Pemda Kabupaten
memahami bahwa Permendagri 1/2017 menjadi landasan yang kuat dalam perumusan Perda Kabupaten tentang perubahan status nagari administratif menjadi �Nagari Adat� yang didahului
oleh prakarsa masyarakat.
Kenyataan berbanding terbalik,
setelah peneliti membaca ulang peraturan-peraturan
yang dimaksud oleh Pemda Kabupaten dengan klaim mereka bahwa
Perda Prov Sumbar 7/18 bertentangan dengan Permendagri 1/2017 sebagai peraturan penataan desa yang akan menjadi desa adat
ternyata hanyalah kesalahpahaman. Menyelidiki UU
6/2014 sebagai peraturan
yang mengatur tentang desa adat memuat
dua tahap penetapan desa adat, yaitu
kewenangan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota menetapkan
desa adat dan penataan desa. Cara pertama, pemberian kewenangan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana tertuang dalam Pasal 116 ayat (2) yang berbunyi: �Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan Peraturan Daerah tentang penetapan Desa dan Desa Adat di wilayahnya.�
Cara pertama ini diperuntukan
langsung kepada Pemda Kabupaten/Kota untuk mendeklarasikan desa di wilayahnya yang dapat memenuhi syarat Desa Adat yang tertera dalam Pasal
97 ayat (1), yaitu kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak tradisionalnya secara nyata masih
hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional, dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Akan tetapi, karena dalam alurnya Peraturan
menteri tidak terbit sesuai Pasal
28 PP 43/2014 dengan perubahannya
PP 47/2015, maka cara pertama ini gagal
karena UU memberikan batasan waktu 1 tahun sebagaimana yang tertera dalam Pasal
116 ayat (3) UU 6/2014. kemudian,
cara kedua adalah Penataan Desa Adat yang diatur dalam Pasal 96 UU 6/2014 yang berbunyi:�Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota melakukan
penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi Desa Adat.�
Oleh karena cara pertama
gagal, penetapan Desa Adat harus melalui tahapan Penataan yang diperkuat dengan melahirkan Perda Provinsi, yaitu Perda Prov Sumbar 7/18 dan kemudian diikuti dengan penunjukkan 11 nagari sebagai pilot project nagari adat. Agar urutan tata cara penetapan Desa Adat tersebut dapat dipahami berikut bagan berikut:
Gambar 1 Mekanisme Peraturan Penetapan
Desa Adat
Sumber: Olahan Data Primer 2022
Penekanan untuk alur Perda
Kabupaten/Kota tetap sama dengan pernyataan Pemda Kabupaten sebelumnya, yaitu
sesuai Pasal 61 ayat (1) Permendagri 1/2017 berdasarkan prakarsa masyarakat.
Atas kesalahpahaman Pemda Kabupaten ada hal penting yang seharusnya dilakukan
Pemda Kabupaten, yaitu sosialisasi. Melalui wawancara bersama perwakilan Tim
Pembahas Perda Prov Sumbar 7/18 bahwasanya stagnasi penetapan �Nagari Adat�
dianalogikan sebagai bola mati.
Bola mati ini mengarah pada Pemda
Kabupaten/Kota yang tidak mengambil sikap apapun, apatis, pasca sosialisasi
yang dilaksanakan oleh Perprov sejak 2018-2020. Perwakilan Tim Pembahas Perda
Prov Sumbar 7/18 menyatakan seharusnya Pemda kabupaten/Kota dapat memberikan
arahan lanjutan kepada nagari-nagari di wilayahnya terutama yang masuk dalam
list pilot project nagari adat. Dengan kata lain, Pemda Kabupaten/kota
memiliki tugas sosialisasi mengenai Penetapan Desa Adat.
Hal ini dikaitkan dengan
kewenangan mereka dalam konteks otonomi daerah. Konteks ini berkaitan dengan
petikan khusus dalam Penetapan Desa Adat, yaitu berdasarkan prakarsa
masyarakat, yang mana Pemerintahan Daerah tingkat Kabupaten/Kota berwenang
untuk mengatur sendiri daerahnya. Berjalan dari prakarsa masyarakat menuju
sistem pemerintahan berlandaskan adat dipandang sebagai bagian dari otonomi
daerah, sebagaimana yang diungkap perwakilan Tim Pembahas Perda Prov Sumbar
7/18 berikut ini:
�Provinsi sudah mengundang
Kabupaten/Kota semua, tuh menunggu lagi? kan tidak mungkin pula provinsi
keseluruhnya pergi siapa yang ia tunggu lagi, apa harus orang provinsi terus?
kan tidak mungkin kan sudah ada yang ditatar di anu tuh (sosialisasi dari
pemerintah provinsi) orang itulah estafet wajib (menyampaikan) analogi
perwakilan iya ia Kabupaten/Kota itu kan punya hak kewenangan otonomi iya kan
artinya nanti begitu pula agar desa itu seluruhnya ke Provinsi turun ia, kan
cukup perwakilan saja ia diundang haa itu berarti ia sudah menyampaikan
fungsinya ke kantor Provinsi, gerakan Kabupaten/Kota itu lagi apa gerakannya
itu� (Wawancara 18 Oktober 2022).
Melalui pernyataan ini juga
digambarkan bagaimana seharusnya sikap positif Pemda Kabupaten Agam memajukan
pengakuan nagari sebagai desa adat dan kepatuhan hukum untuk
mengimplementasikan Perda Prov Sumbar 7/18 sebagai bagian pelaksanaan peraturan
perundang-undangan. Namun, hal inilah yang tak dilakukan oleh Pemda Kabupaten
karena berpegang teguh dengan redaksi �berdasarkan prakarsa masyarakat�,
berkukuh lahirnya Perda Kabupaten harus bermula dari pengajuan masyarakat
nagari, kesadaran nagari sendiri.
Sehubungan dengan itu, nagari
sebagai tingkat pemerintahan setelah Kabupaten pun tak bisa berbuat apa-apa.
Hasil wawancara peneliti dengan dua wali nagari pilot project menyatakan mereka
siap sedia untuk menjadi �Nagari Adat�, menjalankan sistem Pemerintah nagari
berlandaskan hukum adat. Akan tetapi, secara
yuridis mereka menganggap penetapan nagari yang merubah statusnya tersebut tak
berjalan karena tak adanya Peraturan kabupaten. Sebab tak adanya sosialisasi
lebih jelas mengenai penetapan Desa Adat ini nagari pun tak memiliki arah yang
jelas harus mengajukan prakarsa terlebih dahulu.
Dalam analisis teori birokrasi
Weber, hal ini berkaitan dengan karakteristik jabatan yang tersusun dalam
hierarki. Secara birokrasi UU 15/2019 mengatur adanya kepatuhan hukum jabatan
atau tingkat pemerintahan harus mengikuti perintah tingkat di atasnya, yang
bermakna Pemda Kabupaten harus mengikuti Pemerintah Provinsi, lahirnya Perda
Kabupaten setelah adanya Perda Provinsi, dan nagari harus mengikuti Perda
Kabupaten. Hal inilah yang dipahami oleh nagari sebagai tingkat pemerintahan
setelah Kabupaten menunggu lahirnya Perda Kabupaten padahal penetapan �Nagari
Adat� harus sesuai didahului oleh prakarsa mereka.
Prinsip hierarki yang telanjur
tertanam pada pemerintahan nagari menyebabkan mereka menunggu lahirnya Perda
Kabupaten, yang mana ketidaktahuan ini dapat terlihat pada Pemda Kabupaten yang
tidak mengambil sikap apapun sebagai pemerintahan di atas nagari. Pemda
Kabupaten tampak bersikap apatis terhadap upaya penetapan �Nagari Adat� dengan
melakukan sosialisasi lanjutan setelah mereka mendapatkan sosialisasi dari
Pemerintah Provinsi. Pemda Kabupaten berpengang teguh atas jabatan hierarki,
yang mana Perda Prov Sumbar 7/18 adalah kewenangan Pemerintah Provinsi bukan
Pemda Kabupaten.
Namun di sisi lain, Pemda
Kabupaten tampaknya tak menjalankan roda hierarkis tersebut melalui distribusi
kewenangan, otonomi daerah, yang mengakui daerah memiliki wewenangan untuk
mengatur sendiri daerahnya. Jadi, melalui permasalahan ini terdapat hal yang
tak sampai pada pemahaman Pemda Kabupaten, yaitu perbedaan antara kewenangan
untuk membentuk Perda Kabupaten dan kewenangan dalam proses pengubahan status
nagari administratif ke �Nagari Adat� atau penetapan �Nagari Adat� di Sumbar.
Kewenangan untuk membentuk Perda adalah ranah hierarki pembentukan peraturan
perundang-undangan, seperti yang tertera dalam ketentuan peralihan pasal 24 ayat (2) Perda Prov Sumbar
7/18, sedangkan kewenangan dalam proses pengubahan status nagari adalah
memberikan sosialisasi lanjutan untuk mendorong masyarakat membuat keputusan
atas sistem Pemerintah nagari mereka apakah tetap sebagai nagari administratif
atau nagari berlandaskan hukum adat.
B. Keraguan Visi Perda
Selain tak berjalan sifat hierarkis birokrasi, tindak
lanjut Perda Prov Sumbar 7/18 Provinsi ke Kabupaten, memuat permasalahan dari
ketentuan Susunan Kelembagaan Nagari Perda Prov Sumbar 7/18. Permasalahan ini
menjurus pada salah satu lembaga yang bernama Peradilan Adat Nagari. Peradilan
Adat Nagari (PAN) adalah lembaga penyelesaian sengketa masyarakat tertinggi di
Nagari berdasarkan Adat Salingka Nagari . Lembaga ini muncul sebagai pemenuhan
fungsi lembaga yudikatif di samping eksekutif Kapalo Nagari , dan legislatif
Kerapatan Adat Nagari (KAN), sesuai dengan sistem kekuasaan pemerintahan atas
prinsip trias politica.
Di samping representasi lembaga yudikatif di Nagari,
Perda Prov Sumbar 7/18 menetapkan bahwa lembaga ini bersifat mediasi atas
sengketa sako jo pusako�� secara
bajanjang naiak batanggo turun . Adapun keanggotaannya adalah Ninik Mamak, Alim
Ulama, dan Cadiak Pandai . Berdasarkan ketentuan Perda Prov Sumbar 7/18 di
atas, tampaknya Peradilan Adat Nagari adalah subunit otoritas mamak-mamak
suku� di Nagari �saat ini� karena dalam
definsinya adalah lembaga penyelesaian sengketa masyarakat tertinggi di Nagari
yang dapat dipahami sebagai salah satu fungsi KAN (lembaganya Ninik Mamak).
Memahami makna trias politica adalah konsep kekuasaan
pemerintahan dengan pemisahan pada tiga jenis, yaitu eksekutif, legislatif, dan
yudikatif, yang diambil dari bahasa Yunani yang bermakna politik tiga
serangkai. Munculnya konsep ini berawal dari buah pikiran John Locke yang
kemudian dikembangkan oleh Montesquieu dan tertuang dalam bukunya L�Espirit des
Lois. Adapun tujuan sistem trias politica adalah mencegah praktek kekuasaan
absolut dengan maksud trias politica sebagai ajaran yang membatasi tiap lembaga
berkuasa dengan fungsi pemerintahannya. Ringkasnya, trias politica adalah
konsep politik yang bermaksud pemecahan kekuasaan.
Dengan latar belakang trias politica dalam penyusunan
kelembagaan nagari ini menjadi hal yang mengundang kontroversi di tataran Ninik
Mamak. Kontroversi ini muncul karena landasan pembentukan lembaga ini
menunjukkan adanya upaya pelemahan otoritas mamak sebagai pemimpin. Pengertian
mamak pada setiap laki-Iaki yang lebih tua juga berarti pernyataan bahwa yang
muda memperlakukan yang lebih tua menjadi pimpinannya, sebagaimana yang
diungkapkan pada mamang berikut:
�Kamanakan
barajo ka mamak;Mamak barajo ka panghulu;Panghulu barajo ka mupakaik;Mupakaik
barajo ka alua jo patuik.
Maksud mamangan di atas ialah pimpinan kemenakan
adalah mamak, pimpinan mamak adalah penghulu, pimpinan penghulu adalah mufakat,
sedangkan pimpinan mufakat adalah garis hukum dan garis kepatutan atau
kepantasan. Kandungan mamangan ini sebagai pedoman dalam membicarakan
pemufakatan, tetapi juga memiliki makna sebagai herarki kepemimpinan, yang
dengan mamak adalah posisi yang dipandang sebagai pemimpin untuk garis
matrilineal di bawahnya. Di samping itu, posisi mamak sebagai pemimpin tak
hanya satu garis mamak-kemenakan, melainkan terdapat hierarki mamak kelompok
genealogis yang diatur dalam stelsel matrilineal. Hierarki ini berawal dari
tingkat satu rumah gadang atau saparuik disebut tungganai, tingkat kaum disebut
andiko, dan suku yang disebut penghulu suku atau datuk suku. Oleh karenanya,
dapat dilihat bahwa kepemimpinan mamak ini dapat dikatakan sebagai posisi yang
sistematis dan ekstensif pada anggota kelompok genealogisnya.
Menilik pengaturan Perda Prov Sumbar 7/18 mengenai
tugas Peradilan Adat Nagari yang termaktub dalam Pasal 15 ayat (3), yaitu: (a)
Menyelesaikan sengketa sako dan pusako secara bajanjang naiak batanggo turun
melalui proses perdamaian; (b) penyelesaian perkara perdata adat melalui
musyawarah dan mufakat berdasarkan kesepakatan dalam sidang majelis Kerapatan
Adat Nagari yang merupakan kato putuih untuk dipedomani oleh lembaga peradilan
; dan (c) Memberi sanksi adat kepada anggota masyarakat yang melanggar Hukum
Adat sesuai dengan ketentuan Adat Salingka Nagari.
Menyambung penjelasan otoritas mamak dengan tugas
Peradilan Adat Nagari sebelumnya dapat terlihat bahwa implementasi trias
politica dalam Perda Prov Sumbar 7/18 sudah memperlihatkan ketimpangan. Hal ini
juga mempertanyakan tujuan penguatan yang dilakukan pemerintah melalui Perda
Prov Sumbar 7/18, malah berdampak melemahkan pemuka adat dari perspektif adat.
Hal ini berawal pada poin b tugas Peradilan Adat
Nagari dalam penyelesaian perkara perdata adat harus memedomani kato putuih
hasil sidang majelis Kerapatan Adat Nagari. Berdasarkan tugas ini memunculkan
pertanyaan atas faedah musyawarah yang dilakukan oleh Peradilan Adat Nagari
jika kato putuih dalam sidang majelis KAN telah ditemukan, dengan kata lain
menemukan mufakat setelah mufakat. Jika memang PAN diakui sebagai lembaga
penyelesaian sengketa masyarakat tertinggi di Nagari, maka mengapa dalam penyelesaian
perkara perdata adat PAN harus memedomani kato putuih dari KAN.
Hal ini memperlihatkan terdapat ketergantungan PAN
terhadap KAN dalam menjalankan sifatnya sebagai mediator. Jika memahami makna
mediasi, baik dari adat maupun terminologi mediasi mengarah pada proses
pemberian nasihat dalam penyelesaian perselisihan dan pemberian nasihat
disesuaikan dengan adat.
Di samping itu, mamak yang berada Peradilan Adat
Nagari mengikuti keputusan dari mamak yang ada di KAN dengan kato putuih-nya,
padahal ikatan antar mamak suku dalam nagari tidak menggambarkan ketergantungan
satu sama lain, melainkan harmonisasi sebagai sesama pemimpin masing-masing
suku. Selanjutnya pada Pasal 16 yang berbunyi: �Peradilan Adat Nagari
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dipimpin oleh seorang ketua dan
dibantu oleh seorang manti, dan beberapa orang hakim peradilan Adat Nagari�.
Merujuk pada pasal ini, bahwa ada penunjukkan seorang
ketua yang potensi pengisian jabatannya adalah Ninik Mamak. Hal ini
bertentangan dengan batasan otoritas seorang mamak. Berdasarkan mamangan
kamanakan barajo ka mamak memang benar kemenakan atau warga nagari harus patuh
pada mamak-nya, tetapi konsep mamak-nya ini adalah mamak kaum dari kemenakan
yang bersangkutan. Dari sini jelas menjelaskan kekuasaan mamak itu terbatas
hanya pada ruang lingkup kaumnya, tak ada mamak yang boleh menjadi penghukum
atas seluruh kamanakan kaum.
Hal ini menutup kemungkinan jika merujuk pada
lareh� Koto Piliang, walaupun sistem
ber-lareh ini hampir tak dapat kita temukan saat ini mengingat telah terjadinya
pembauran antar lareh di seluruh nagari, sehingga mendorong pencampuran aliran
antara lareh Koto Piliang dan lareh Bodi Caniago. Oleh karena itu, jabatan
ketua Peradilan Adat Nagari ini dianggap menyimpang karena tak ada lagi konsep
penghulu pucuk dalam nagari-nagari Minangkabau dewasa ini.
Jikapun memang dibutuhkannya pemberian sanksi adat
pada masyarakat nagari, maka menurut adat keputusan tersebut lahir dari putusan
seluruh mamak suku se-nagari, bukannya dari satu orang yang dianggap sebagai penghulu pucuk yang saat
ini sudah tak berlaku lagi, ketua KAN, ataupun sesuai Perda Prov Sumbar 7/18
ketua Peradilan Adat Nagari. Pertentangan pemberian sanksi adat ini berkaitan
dengan keterbatasan pemegang otoritas di nagari, yang mana konsepsi pemimpin
Minangkabau didahuluan salangkah ditinggian sarantiang bermakna pemimpin hanya
didahulukan selangkah lebih dulu dan ditinggikan hanya setingkat lebih tinggi
dari orang yang dipimpinnya dalam kaumnya. Oleh karena itu, otoritas seorang
mamak sebagai pemimpin hanya diakui dalam kaumnya. Jikapun keputusan untuk
senagari, maka keputusan itu lahir dari musyawarah seluruh mamak kaum.
Lebih dari itu intrusi trias politica sebagai prinsip
penguatan adat melalui Perda Prov Sumbar 7/18 adalah suatu pertentangan dengan
prinsip adat yang menggambarkan demokrasi adat Minangkabau melalui otoritas
mamak sebagai pemimpin. Walaupun Perda Prov Sumbar 7/18 berusaha mengambil
esensi adat dalam penyelenggaraan pemerintahan, seperti pengambilan keputusan
melalui musyawarah, tetapi dalam rumusan tersebut masih terkandung pengaturan
yang menjurus pada pelemahan adat terkhusus pemuka adat yang disebut Ninik
Mamak atau mamak suku.
Memang tak dipungkiri Perda Prov Sumbar 7/18
mengandung sifat dan kategori yang sama dengan otoritas mamak dalam stelsel
matrilineal, tetapi lahirnya lembaga peradilan Adat Nagari dianggap sebagai
lembaga yang dilahirkan begitu saja oleh Pemerintah Provinsi dan terlegitimasi
dalam Perda Prov Sumbar 7/18. Oleh karena itu, dalam pandangan pemuka adat
lembaga ini disebut sebagai lembaga inisiatif karena pada sejarah adat
Minangkabau atau sistem ber-nagari tak pernah ada yang satu lembaga yang
eksklusif berfungsi sekedar penyelesaian sengketa atau bernuansa putusan pengadilan.
Kedua, merujuk pada fungsi trias politica membatasi
kekuasaan merupakan cara efektif penyelenggaraan pemerintahan negara, konsep
bajanjang naiak batanggo turun dalam Pasal 15 ayat (2) mengenai tugas PAN harus
diselesaikan terlebih dahulu pada tingkat di bawah nagari menggambarkan
ambiguitas pemfungsian lembaga. Ambuguitas ini menjurus pada dualisme nilai
yang harus berjalan kala lembaga PAN hadir di tengan-tengah Kelembagaan Nagari.
Menurut trias politica suatu lembaga kekuasaan dapat
menjalankan fungsi secara efektif yang dilegitimasikan kepadanya dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah. Trias politica melihat lembaga yudikatif
dapat menjalankan fungsi pemutusan perkara PAN secara aktif, tetapi di lain
sisi menurut adat melihat lembaga masyarakat dahulu yang memiliki fungsi yang
sama dengan PAN dianggap berfungsi kala penyelesaian perkara warga nagari telah
selesai di tingkat-tingkat kaum paruik, kaum, dan suku. Pembentukan lembaga
tersebut menjadi simbol peringatan bahwa apapun perkara yang terjadi di antara
warga nagari serunyam- runyamnya dapat diselesaikan oleh penghulu di tingkat
paruik, kaum, dan paling tinggi hanya sampai suku.
Mulanya pembatasan kekuasaan menurut trias politica
bertujuan agar pelaksanaan kekuasaan lembaga pemerintah terus berjalan seiring
kehidupan sosial masyarakat. Namun, dengan adanya intrusi adat dalam konteks
lembaga PAN menjadikan eksistensinya terganggu, yaitu pemungsian PAN hanya
sebagai simbol peringatan dan harapannya tak pernah terselenggara fungsi
pemberi sanksi lembaga ini. Oleh karena itu, penekanannya adalah terdapat
benturan idealisme fungsi lembaga antara ideologi trias politica dengan adat
Minangkabau.
Meskipun leterlek Perda Prov Sumbar 7/18 mengatakan
dengan baik �sesuai dengam Adat Salingka Nagari�, tetapi dengan landasan trias
politica dalam pembentukan ketentuan Susunan Kelembagaan Nagari hal ini menjadi
timpang kala PAN terbentuk dan berada diantara nilai yang saling berseberangan
tersebut. Maka, pembentukan lembaga ini dalam ideologi trias politica sebagai
landasan berpikir Perda Prov Sumbar 7/18 sejatinya langsung dianggap tak
efektif oleh pemuka adat karena tak pernah diharapkan berjalan dengan fungsi
yang dilegitimasikan padanya.
Dalam kaitan masalah ini tentu Perda Prov Sumbar 7/18
dapat dinyatakan tidak atau kurang konsisten terhadap muatan aturannya dengan
implementasinya pada masyarakat. Weber melihat peran birokrat Eropa Barat atau
dalam analisanya terhadap tipe birokrasi ideal atas pelaksanaan birokrasi
pemerintahan, yaitu organisasi pemerintah yang dapat memberikan kemajuan pada
masyarakat sebagai pelayan publik. Kaitan bahwa birokrasi pemerintahan
melahirkan pelayanan publik yang maksimal karena kegiatan-kegiatan dalam
birokrasi diatur oleh aturan-aturan yang bersifat umum, konsisten, dan abstrak.
Namun, konsistensi inilah yang tak tampak pada aturan yang termuat dalam Perda
Prov Sumbar 7/18 tentang Nagari, sehingga ketumpangtindihan ideologi birokrasi
trias politica dengan nilai adat atau benturan idealisme nilai antara birokrasi
dan adat menghasilkan keraguan di tataran pemuka adat.
Kesimpulan
Hambatan Implementasi Perda Prov Sumbar 7/18 dari perspektif birokrasi terjadi di tingkat Kabupaten, yang berkutat mengenai aturan atau prinsip
hierarki birokrasi. Prinsip berhierarki dalam UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan menyebabkan kesalahpahaman pejabat di tingkat Kabupaten mengenai hak dan kewajibannya dalam mekanisme Penetapan Desa Adat atau perubahan status nagari administratif menjadi �Nagari Adat�, padahal penetapan Desa Adat memiliki pendekatan yang eksklusif berbanding Desa pada umumnya, yaitu bottom-up, bergerak dari bawah, berdasarkan
prakarsa masyarakat.
Di samping itu, hambatan dari
perspektif adat adalah ketumpangtindihan implementasi ideologi trias politica dengan adat mengenai
peran mamak dalam lembaga dan keberfungsian lembaga Peradilan Adat Nagari dalam Ketentuan Susunan Kelembagaan Nagari Perda Prov Sumbar 7/18.
Kemestian responsif Pemerintah Daerah, dari Provinsi, Kabupaten, hingga Nagari adalah langkah awal keberhasilan
penetapan Desa Adat,
�Nagari Adat�, di Sumatera Barat tak lepas dari keinginan
luhur masyarakat
Minangkabau kembali banagari
dan penguatan kesatuan masyarakat hukum adat. Di samping itu, perlu pengadaan
sosialisasi lebih lanjut mengenai mekanisme penetapan Desa Adat agar peraturan yang ada tak lagi
menimbulkan kesalahpahaman bagi pejabat Pemerintah
Daerah pelaksana hierarki peraturan.
Selain itu, kebijakan mengenai kesatuan masyarakat hukum adat perlu
diadakan kajian yang lebih mendalam lagi mengingat tujuan utamanya adalah penguatan adat, maka tiap
butir peraturan tentang Desa Adat harus merujuk pada sistem nilai adat
itu sendiri dan bukan mengambil dasar pemikiran di luar adat, sehingga
visi dan misi suatu Peraturan Daerah untuk Desa Adat di wilayahnya dapat berjalan dengan baik.
BIBLIOGRAFI
Dewi, F. A., & Fatmariza, F.
(2020). Reaktualisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Pembangunan Nagari. Journal
of Civic Education, 3(3), 243�249.
https://doi.org/10.24036/jce.v3i3.394
Fanani, A. F., Astutik, W., Wahyono, D., &
Suprapto, S. (2019). Village Law Analysis. DIALEKTIKA: Jurnal Ekonomi Dan
Ilmu Sosial, 4(1), 1�14.
Hardani, H., Andriani, H., Fardani, R. A., Ustiawaty,
J., Utami, E. F., Sukmana, D. J., & Istiqomah, R. R. (2020). Metode
penelitian kualitatif & kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Ilmu.
Hariri, A. (2020). Eksistensi pemerintahan desa
ditinjau dari perspektif asas subsidiaritas dalam undang-undang nomor 6 tahun
2014 tentang desa. Legality: Jurnal Ilmiah Hukum, 26(2), 253�266.
Istianda, M. (2014). Dampak Politik UU No. 5 Tahun
1979 Terhadap Kekuasaan Pesirah Di Marga Buay Pemuka Bangsa Raja Kabupaten OKU
Timur Provinsi Sumatera Selatan. Disertasi Doktor with Universitas Terbuka
Tangerang.
Manan, I. (1995). Birokrasi moderen dan otoritas
tradisional di Minangkabau (nagari dan desa di Minangkabau). Unit
Percetakan MRC FPTK IKIP.
Naderifar, M., Goli, H., & Ghaljaie, F. (2017).
Snowball sampling: A purposeful method of sampling in qualitative research. Strides
in Development of Medical Education, 14(3).
Pador, Z. (2002). Kembali ke nagari: batuka baruak
jo cigak? Lembaga Bantuan Hukum Padang.
Prasna, A. D. (2022). Tinjauan Lembaga Peradilan Adat
Minangkabau Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia (Kajian Terhadap Peraturan
Daerah Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Nagari Di Provinsi Sumatera Barat). Humantech:
Jurnal Ilmiah Multidisiplin Indonesia, 2(2), 427�437.
Putra, A. (2022). Interpretasi Hak Asasi Manusia Dalam
Ideologi Pancasila Dan Implikasinya Terhadap Persatuan Dan Kesatuan Di
Indonesia. JURNAL HAM, 13. https://doi.org/10.30641/ham.2022.13. 1-14
Siyoto, S., & Sodik, M. A.
(2015). Dasar metodologi penelitian. literasi media publishing.
Sola, E. (2020). �BUNDO KANDUANG� MINANGKABAU Vs.
KEPEMIMPINAN. JURNAL SIPAKALEBBI, 4(1), 346�359.
https://doi.org/10.24252/jsipakallebbi.v4i1.15523
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian
Kualitatif : Untuk Penelitian yang bersifat : Eksploratif,
Enterpretif, Interaktif, dan Konstruktif. Alfabeta.
Titin Rohayatin, S. I. P.
(2021). Birokrasi Pemerintahan. Deepublish.
Utama, A. S. (2017). Eksistensi Nagari di Sumatera
Barat sebagai Desa Adat dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Journal Equitable, 2(1),
75�94.
Copyright holder: Muhammad Fakhri Aziz,
Azwar, Bob Alfiandi (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |