Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 5, Mei 2023

 

TINJAUAN FENOMENOLOGI HEIDEGGERIAN TENTANG PRAPEMAHAMAN PEMILIK USAHA ETNIS TIONGHOA DALAM DUNIA BISNIS

 

Ban Jung, Hendrawan Supratikno, Fransisco Budi Hardiman, Rudy Pramono

Universitas Pelita Harapan, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Perkembangan ilmu manajemen dan bisnis sangat cepat menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi yang turut mengubah cara manusia menjalani kehidupannya. Namun, perubahan yang terjadi jangan sampai meminggirkan begitu saja nilai-nilai kehidupan yang kita yakini. Sudah saatnya teori manajemen dikonstruksikan dan dikembangkan selaras dengan cara hidup manusia di dalam lingkungan dan budayanya. Untuk itu, penelitian mencoba mengeksplorasi manajemen dan bisnis lewat interaksi kompleks antara dunia kehidupan dan praktik-praktik usaha yang dimiliki secara langsung oleh kelompok etnis Tionghoa di Jakarta. Duduk perkaranya akan sesak jika kita mencoba untuk memahami kesuksesan mereka dalam berbisnis hanya dengan mengandalkan narasi teknis dalam sistem manajemen dengan metodologi yang ketat. Cara mereka menjalani kehidupan dan mengartikulasinya dalam bisnis hampir seragam. Oleh karena itu, penelitian mengambil lintasan lain, yaitu dengan masuk ke persoalan filosofis tentang manusia yang berciri antropologis, ontologis dan epistemologis. Tujuannya adalah untuk memperkaya wawasan kita terkait ilmu manajemen dan binis yang berbasis pada praktik-praktik hidup pemilik usaha dari etnis tertentu di negara kita. Untuk menjawab duduk perkara dan tujuan tersebut, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan metodologi fenomenologi hermeneutika Martin Heidegger dan konsep prapemahaman. Hasilnya diharapkan dapat menyeimbangkan ketimpangan pemahaman kita terkait teori manajemen yang umumnya didominasi oleh penelitian di dunia barat ke dalam praktik-praktik kearifan lokal masyarakat kita.

 

Kata Kunci: prapemahaman; fenomenologi; hermeneutika; martin heidegger

 

Abstract

The development of management and business science is very fast in adapting technological advances that have also changed the way humans live their lives. However, the changes that occur should not just marginalize the values of life that we believe in. It is time for management theory to be constructed and developed in harmony with the human way of life in its environment and culture. For this reason, the research attempts to explore management and business through the complex interactions between the world of life and business practices that are directly owned by the Chinese ethnic group in Jakarta. The situation will be tight if we try to understand their success in doing business only by relying on technical narratives in a management system with a strict methodology. The way they live life and articulate it in business is almost uniform. Therefore, the research takes another trajectory, namely by entering into philosophical issues about humans that are anthropological, ontological, and epistemological. The aim is to enrich our insights regarding management and business science based on the life practices of business owners from certain ethnicities in our country. To answer these problems and objectives, the researcher uses a qualitative approach with Martin Heidegger's hermeneutic phenomenology and the concept of pre-understanding. The results are expected to be able to balance the gap in our understanding of management theory which is generally dominated by research in the western world into the local wisdom practices of our society.

 

Keywords: prapemahaman; fenomenologi; hermeneutika; martin heidegger

 

Pendahuluan

Perusahaan-perusahaan di Indonesia yang dimilik oleh pengusaha lokal, mulai dari yang berskala kecil, menengah, hingga besar operasional manajemen perusahaannya pada umumnya dikelola secara �tradisional� dengan keputusan mutlak di tangan pemilik usaha (Wahjono, 2011). Keterlibatan pemilik usaha dalam aktivitas keseharian operasional perusahaan dengan sendirinya membentuk model bagaimana perusahaan dijalankan (Sumantri & Susanto, 2020). Sekalipun perusahaan - perusahan itu tampak formal dan profesional, tidak dapat disangkal bahwa berbagai keputusan eksistensial perusahaan dipengaruhi oleh cara pandang dan kebiasaan pemilik.

Dengan demikian, performa perusahaan adalah refleksi citra dari pemiliknya. Para stakeholder, seperti supplier, customer, partner, dan competitor dalam menilai apakah suatu perusahaan dapat diandalkan atau tidak dalam hubungan kerja sama didasarkan atas asas integritas kepercayaan dan komitmen (Sule & Saeful, 2019). Penilaian para stakeholder terhadap owner menjadi kunci utama keberlangsungan perusahaan. Tanpa hal tersebut, perusahaan hampir pasti sulit untuk dapat bertahan. Inovasi yang disebut-sebut sebagai ujung tombak kesuksesan perusahaan harus menyatu dengan kemampuan owner dalam mempertahankan reputasinya di dunia bisnis. Jika tidak, maka inovasi pun tidak memiliki jalan (Duha, 2018).

Mempertimbangkan kuatnya posisi pemilik usaha dalam menentukan kebijakan arah perusahaan, maka keterlibatan pemilik usaha secara langsung dalam operasional perusahaan melalui setiap keputusan yang dibuat tentu akan menghasilkan keputusan dan arah kebijakan perusahaan berdasarkan struktur prapemahaman atau pengalaman pemilik itu sendiri (Faruq & Usman, 2014).

Dari pengalaman personal tersebut, tanpa disadari terbentuklah pemahaman pemilik usaha sebagai cara pandang terhadap kemungkinan- kemungkinannya di masa depan. Interpretasi pemahaman pemilik usaha akan kemungkinannya di masa depan itu adalah bentuk antisipasi yang dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan kewaspadaan dalam rangka menghadapi berbagai perubahan yang akan terjadi. Jadi, interprestasi dalam arti ini adalah bentuk konkret yang bersumber dari cara pandang pemilik usaha pada realitas yang ada dan kemungkinannya masa depan yang dalam strategi manajemen kita sebut dengan inovasi.

Paparan tersebut menunjukkan bahwa prapemahaman merupakan persoalan penting untuk memahami relasi antara visi dan strategi inovasi. Melalui penelitian ini, peneliti ingin memberikan alternatif penelitian terkait strategi manajemen yang umumnya didominasi oleh positivisme menjadi cara memahami manusia dalam praktik-praktik hidup yang dijalani, yang akan menjadi titik tolak interpretasi itu sendiri.

Di sini, peneliti bukanlah anti mazhab positivisme. Peneliti hanya ingin memberi sumbangan sederhana tentang pentingnya penelitian terkait ilmu strategi manajemen, khususnya entrepreneurship untuk dieksplorasi dengan penalaran yang beragam, di mana kematangan proses keilmuan tidak terlepas dari berbagai lintas peristiwa historis revolusi ilmu pengetahuan. Untuk itu, penelitian ini menggunakan suatu metode di luar positivisme, yakni Fenomenologi Heidegger.

Fenomenologi secara umum dipahami sebagai suatu ilmu tentang yang menampak atau apa saja tampak, yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia. Fenomenologi memahami tentang kedalaman�� dari�� semua�� bentuk�� kesadaran dan pengalaman langsung, religius, estetis, konseptual, serta indrawi. Fokus penyelidikan fenomenologi adalah tentang dunia kehidupan atau kehidupan subjektif batiniah (Habsy, 2017). Fenomenologi menggambarkan ciri-ciri intrinsik dari gejala sebagaimana gejala itu menyingkapkan dirinya sendiri pada kesadaran, yakni �kesadaran murni�. Untuk mencapai �kesadaran murni� tersebut, kita harus bertitik tolak pada subjek.

Dengan masuk ke dalam praktik-praktik kehidupan atau konsep tentang lebenswelt (dunia-kehidupan), yaitu memahami entrepreneurship sebagai cara manusia bereksistensi atau mengada, diharapkan pendekatan ini dapat memberi jalan masuk pada hal-hal intrisik dari prastruktur memahami para pemilik usaha, yang menopang pemahaman dan�� interpretasi�� dalam�� praktik di dunia bisnis untuk menghadapi berbagai kemungkinan di masa depan.

Kemahiran para pemilik usaha dalam menjalankan bisnis ditandai dengan penguasaan mereka atas sejumlah sektor, seperti properti, jalur distribusi, dan produksi (FoEh, 2020). Keterlibatan mereka tampak jelas, yaitu bagaimana mereka menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi baik dalam lingkup internal maupun eksternal, mulai dari menangani urusan negosiasi dengan vendor dan pelanggan sampai pada hal-hal yang berkaitan dengan urusan kepegawaian, ketepatan waktu pembayaran utang, penentuan jumlah produksi, inovasi produk baru, penentuan harga jual, dan sebagainya (Kamaluddin & Patta Rapanna, 2017). Dalam kehidupan sosial di lingkungan tempat tinggal, kemahiran itu tampak dari bagaimana mereka menunaikan keyakinannya, menjalankan norma dan tradisinya, memikul tanggung jawab keluarganya, cara mereka menjalin hubungan pertemanan, dan lain sebagainya.

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan intuisi pemilik usaha yang bersumber dari pengalaman pribadi dalam keseharian di lingkungan sosial, dunia bisnis, dan Pendidikan (Sunarta & Yusuf, 2018). Pengalaman yang melahirkan pemahaman akan �visi� dan interpretasi �inovasi� pemilik usaha pada kemungkinan-kemungkinan perusahannya di masa depan.

Dalam mengkaji kerterlibatan total pemilik usaha di dalam praktik-praktik binis, peneliti menggunakan tiga perspektif, yaitu ontologi, epistemilogi, dan antropologi. Dari sudut pandang ontologi, peneliti berupaya mencari inti atau prinsip yang mendasari setiap praktik bisnis yang dilakukan pemilik usaha. Dari perspektif epistemologi, peneliti berusaha untuk mencari kebenaran akan suatu pengetahuan� dalam konteks ini adalah pengetahuan seputar dunia bisnis�dengan berlandaskan teori-teori yang sudah ada untuk menguji teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya (Nadirah et al., 2022). Sementara itu, dari sudut pandang antropologi, peneliti berupaya untuk memahami praktik bisnis yang dilakukan oleh pemilik usaha dengan mempertimbangkan asal-usul, adat istiadat, dan kepercayaan mereka.

 

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, data dikumpulkan menggunakan pendekatan partisipasi murni atau observasi partisipasi, di mana peneliti terlibat di tengah kehidupan para pemilik usaha dan mengamatinya secara langsung (Wijaya, 2020). Keterlibatan sehari-hari dengan para pemilik usaha sebagai subjek penelitian memungkinkan peneliti ikut merasakan apa yang dialami responden dalam melakukan perkerjaannya, serta situasi yang melatarbelakanginya. Dengan memahami perkembangan situasi dari waktu ke waktu selama penelitian, peneliti tidak hanya sekadar memperoleh pengetahuan yang lengkap�yang akan digunakan kemudian sebagai data penelitian�namun juga dapat �menangkap� makna dari setiap kejadian.

Alasan peneliti memilih teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi partisipasi adalah karena dalam keseharian, peneliti beraktivitas sebagai pemilik usaha di pusat perdagangan di lokasi penelitian. Selain itu, populasi key informan dalam penelitian ini merupakan relasi dari peneliti di tempat peneliti berdomisili (Indriyani, 2018). Kedua kondisi tersebut menjadikan peneliti dengan sendirinya berada dalam keseharian di tengah konsep lebenswelt (dunia-kehidupan) untuk memahami entrepreneurship sebagai cara manusia bereksistensi.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-probability sample, di mana informan atau partisipan yang diambil sebagai sampel telah ditentukan di awal berdasarkan pengetahuan dan pandangan yang dimilikinya, yang disesuaikan dengan tujuan dan hasil penelitian yang diharapkan, yakni bertumpu pada pengembangan dan pemaknaan konsep-konsep manajemen strategis (Sahir, 2021).

Data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan tahapan sebagai berikut.

1.   Transcription

2.   Listening to the interview or reviewing transcripts for a sense of the whole

3.   Delineating units of the general meaning

4.   Delineating units of meaning relevant to the research question and TL.

5.   Clustering units of relevant meaning

6.   Determining themes from clusters of meaning

7.   Writing a summary for each informant�s data

8.   Contextualization of themes

9.   Composite summary

Hasil dan Pembahasan

Wawancara dengan para narasumber menghasilkan sejumlah penemuan penting untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini.

1.   Prapemahaman sebagai Pembentuk Visi Pemilik Usaha

Pemahaman penting yang diperoleh dari hasil wawancara menunjukkan bahwa prapemahaman yang dimiliki pemilik usaha menjadi faktor utama yang membentuk visi bisnis mereka.

Para pemilik usaha mengatakan bahwa pengalaman personal mereka tanpa disadari mengarahkan pemahaman mereka akan dunia bisnis. Pengalaman-pengalaman tersebut membentuk visi awal mereka dalam berbisnis, seperti keinginan untuk keluar dari impitan ekonomi hingga pembuktian terhadap keluarga.

Berikut sejumlah kata kunci yang muncul dalam pernyataan-pernyataan signifikan narasumber terkait prapemahaman sebagai pembentuk visi mereka dalam berbisnis.

2.   Peran

Para pemilik usaha sadar bahwa mereka memegang sejumlah peran sekaligus, baik sebagai orang tua, suami, anak dan pemimpin perusahaan. �Saya ini sebagai suami, sebagai ayah, sebagai sahabat bagi teman-teman, sebagai pimpinan di perusahaan, dan sebagai pelayan Tuhan. Oleh karenanya, harus pandai-pandai dalam menempatkan diri dalam berbagai peran tersebut. (Ko Acheng)�; �Saya merasa sekarang orang yang sudah berkeluarga, punya anak-anak, yang melakukan pekerjaan sehari-hari untuk keluarga. (Ko Billy)�; �Peran saya dalam bisnis itu tidak hanya bisnis saja. Bisnis itu tidak lepas dari keluarga, dari teman, dan lain-lain.�, �Bisnis itu hanya salah satu peran dalam hidup saya.�, �Dalam bisnis pun, saya bisa berperan sebagai partner, sebagai bos, sebagai mitra dari vendor. Jadi, peran saya banyak.�, �Saya juga mempunyai peran dalam keluarga sebagai bapak yang seorang pebisnis bagi anak-anak, sebagai juga suami pebisnis bagi istri.�, �Dalam peran-peran yang berbeda-beda tersebut, saya harus berperan yang terbaik yang bisa saya mainkan. (Ko Calvin)�.

Di tengah berbagai peran tersebut, ada satu peran dominan yang bagi mereka menjadi yang utama. Peran dominan tersebut secara tidak sadar mengarahkan mereka dalam menjalankan peran-peran yang lain.

3.   Keluarga

Keluarga adalah bagian sangat penting bagi para pemilik usaha sehingga bisa dikatakan menjadi faktor penentu bagi mereka dalam menentukan arah bisnisnya. Para pemilik usaha tersebut menyadari bahwa kesuksesan yang mereka raih bukanlah hasil usaha mereka sendiri melainkan tidak terlepas dari dukungan keluarga.

Para pemilik usaha sadar akan tanggung jawab mereka untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Kesadaran tersebut memotivasi mereka untuk menjalankan bisnis sebaik mungkin. Selain itu, bisnis yang dijalankan dalam perjalanannya tidak selalu dalam kondisi baik. Ada masa ketika bisnis mereka mengalami keterpurukan. Dalam kondisi tersebut, para pemilik usaha merasakan dukungan keluarga yang sangat besar. Dukungan emosional yang mereka peroleh dari keluarga tersebut memungkinkan para pemilik usaha untuk bangkit dari keterpurukan.

Dukungan emosional dari keluarga itulah yang menjadi pengalaman personal berharga bagi para pemilik usaha. Dolan Canavan dan Pinkerton mengatakan bahwa banyak orang percaya jika dukungan emosional adalah salah satu fungsi umum dari sebuah keluarga yang karenanya anggota keluarga, dalam konteks ini kepala keluarga sebagai pemilik usaha, dapat memperoleh kesuksesan (Che Hasan et al., 2020). Sadar akan hal tersebut, para pemilik usaha selalu melibatkan keluarga dalam setiap keputusan penting dalam bisnis mereka. Beberapa narasumber bahkan mengatakan bahwa mereka tidak mau menempatkan keluarga dalam risiko ketika ingin berinovasi. Mereka lebih memilih untuk tidak mengambil peluang dengan risiko kehilangan potensi keuntungan daripada harus menempatkan keluarga dalam risiko.

4.   Pengalaman Berbisnis

Selain memberi pengetahuan dan keterampilan, pengalaman juga mengasah mental. Mental yang terasah dengan baik sangat penting agar pelaku bisnis bisa bangkit saat mengalami kerugian dan kegagalan.

Sadar akan ketiga hal pokok tersebut�pengetahuan, keterampilan, dan mental�semua pemilik usaha sebagai subjek dalam penelitian ini mengatakan bahwa keputusan untuk langsung terjun menjalankan bisnis adalah pengalaman personal yang sangat menentukan. Melalui pengalaman berbisnis secara langsung, para pemilik usaha tersebut malakukan apa yang kerap disebut dengan istilah learning by doing.

5.   Kebahagiaan

Kebahagiaan adalah sesuatu yang menarik untuk dikaji. Hal ini mengingat setiap orang ketika diminta membuat daftar hal-hal penting yang ingin dicapai dalam hidup, maka kebahagiaan selalu menempati posisi teratas. Pada umumnya, orang menganggap kebahagiaan sebagai sesuatu yang lebih penting dibandingkan dengan mempunyai banyak uang atau memiliki kesehatan yang baik. Hal ini pulalah yang tampak jelas dalam diri para pemilik usaha yang menjadi subjek penelitian ini. Ketika dihadapkan dengan pertanyaan terkait tujuan hidup yang ingin dicapai, maka kebahagiaan adalah hal pertama yang mereka ucapkan. �Tujuan hidup kita pada umumnya biar hidup senang (bahagia), sehat, keluarga bahagia. Kalau bisa dikasih panjang umur, ya panjang umur, damai, sukacita, dan hidup berkecukupan.� Beliau terus menegaskan bahwa hidup itu harus bahagia, �Happy terus. Kalau orang cari susah, cari masalah, itu jangan. (Ko Billy)� , �Kalau tujuan, ya untuk saat sekarang ini ya bagaimana kita bisa membahagiakan keluarga. (Ko Yanto)�, �Saya ya adalah orang yang selalu berusaha mencari kebahagiaan. Karena sesuai dengan usia dan jenis pekerjaan saya yang saat ini semi-retired. Jadi kalau pertanyaannya siapa saya, maka ya saya adalah orang yang mencari kebahagiaan. (Ko Hardi)�, �Ya dengan berjalannya waktu. Dengan umur yang sudah mau di garis finish, tujuan hidup saya ya santai-santai, tidak ngoyo, melewati hari dengan keluarga, dengan teman, mengontrol anak-anak...Lebih banyak berkomunikasi dengan Yang Di Atas. Jadi tujuannya sekarang, ya menjalani sisa hidup ini dengan happy. Lebih akrab dengan Yang Di Atas, dengan keluarga...ya happy-happy aja, lah. (Ko Acheng)�.

Kebahagiaan bagi para pemilik usaha menjadi tujuan sekaligus motor dalam hidup, baik dalam menjalankan bisnis maupun dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Keinginan untuk menjadi bahagia sangat menentukan bagi mereka dalam mengambil keputusan atas berbagai pilihan. Sekiranya ada opsi yang berpotensi memberikan keuntungan lebih secara bisnis tetapi mengancam kebahagiaan mereka (dan keluarga) opsi tersebut tidak akan diambil. Atau, ketika dihadapkan dengan peluang bisnis baru tapi berisiko menggangu kebahagiaan yang telah mereka dapatkan (di hari tua) peluang itu pun tidak akan diambil. Bagi beberapa dari mereka, keputusan tertentu juga tidak akan diambil jika bertentangan dengan rasa kemanusiaan mereka meskipun secara bisnis lebih menguntungkan. Hal ini menunjukkan bahwa memperoleh banyak keuntungan tetapi merugikan orang lain adalah sesuatu yang tidak membahagiakan.

6.   Strategi Inovasi sebagai Artikulasi Visi Pemilik Usaha

Strategi inovasi yang diambil pemilik usaha dalam rangka menjawab perubahan atau kebutuhan pasar sangat ditentukan oleh visi yang mereka miliki terhadap bisnis yang sedang dijalankan. Inovasi yang dibuat oleh pemilik usaha pada dasarnya adalah cara yang mereka lakukan untuk mengantisipasi perubahan yang sedang atau akan terjadi dalam rangka mempertahankan atau memperluas bisnis yang mereka jalankan. Namun, para pemilik usaha juga sadar bahwa inovasi selain menjanjikan kemungkinan keuntungan juga bisa berakibat sebaliknya. Dengan kata lain, inovasi dapat diibaratkan seperti pisau bermata dua yang bisa digunakan sebagai alat untuk mempertahankan eksistensi perusahan atau justru menghancurkan bisnis yang sudah dibangun. Oleh karena itu, strategi inovasi yang tepat sangat perlu untuk dipikirkan.

Sadar akan dua kemungkinan tersebut, para pemilik usaha terbagi menjadi dua kelompok, mereka yang tidak segan untuk mengambil risiko bisnis untuk berinovasi dan mereka yang cenderung segan untuk mengambil risiko. Perbedaan dua tipe pemilik usaha tersebut sangat dipengaruhi oleh visi yang mereka miliki terkait bisnis yang sedang mereka jalankan. Kelompok yang tidak segan untuk mengambil risiko pada umumnya tidak memiliki pengalaman kesulitan ekonomi di masa lalu. Sebaliknya, kelompok yang cenderung segan untuk mengambil risiko umumnya pernah memiliki pengalaman impitan ekonomi.

Berikut sejumlah kata kunci yang di bawah alam sadar para pemilik usaha menjadi penentu dalam mereka menentukan strategi inovasi dalam berbisnis.

7.   Kekhawatiran

Kekhawatiran akan masa depan, baik dalam hidup secara umum atau dalam berbisnis cukup dominan dialami oleh sejumlah responden. Ko Davis misalnya mengatakan, �Hal kedua yang dulu juga membuat sulit tidur adalah banyak memikirkan masa depan.� Bisnis ke depannya akan seperti apa. Artinya gini, kita kadang sudah buat planing bagus, perenungan bagus, dan tahu ada peluang bagus. Tapi lagi, itu kan hari ini, artinya belum terjadi, masih diandaikan. Nah, itulah salah satu yang kadang membuat sulit untuk tidur, karena memikirkan risiko-risiko yang tidak kita inginkan di balik setiap peluang yang terlihat baik di awalnya. Jika risiko-risiko itu benar terjadi, mesti gimana? Itulah yang membuat sulit tidur.� Senada dengan Ko Davis, kekhawatiran mengalami kegagalan dalam bisnis juga dirasakan oleh Ko Billy.

�Takut nanti tidak berhasil. Ada juga pengalaman waktu pernah mengalami kebakaran, tidak bisa tidur karena khawatir tidak bisa melunasi hutang-hutang.�

Berangkat dari kekhawatiran tersebut, muncul berbagai pemikiran kreatif dari para pemilik usaha sebagai antisipasi agar apa yang mereka khawatirkan tidak terjadi. Jika kemiskinan atau kegagalan adalah hal-hal yang membuat para pemilik usaha khawatir, mereka mengantisipasinya misalnya dengan tidak mengambil risiko bisnis yang terlalu besar agar kerugian yang dialami, seandainya pun itu terjadi, tidak terlalu berdampak terhadap kondisi finansial mereka.

8.   Kegagalan

Pengalaman kegagalan tentu menakutkan bagi siapa pun. Namun, tidak dipungkiri bahwa pengalaman tersebut memberikan peluang untuk bangkit kembali, untuk belajar dari kesalahan, dan untuk lebih menghargai kesuksesan.

Dalam dunia bisnis, kegagalan adalah hal yang wajar. Narasumber dalam penelitian ini juga mengalami kegagalan sepanjang perjalanan bisnis mereka. Kegagalan yang dialami barvariasi, mulai dari kegagalan di awal ketika mereka mengalami impitan ekonomi yang membuat mereka tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya dan kegagalan sepanjang perjalanan mereka mengelola bisnis.

Kegagalan tersebut menjadi pengalaman personal yang pada akhirnya menentukan karakteristik inovasi mereka dalam berbisnis. Pemilik usaha yang pernah mengalami impitan kondisi ekonomi yang akhirnya �memaksa� mereka untuk mulai berbisnis cenderung lebih berhati-hati ketika harus mengambil risiko bisnis. Bahkan, ada yang mengaku jarang mengambil risiko bisnis meskipun ada potensi keuntungan yang besar. Karakter khas tersebut lahir dari pengalaman hidup miskin yang pernah dialami. Pengalaman kegagalan di awal karier bisnis tersebut membuat mereka cenderung untuk sangat berhati-hati mengambil risiko. Hal ini terkonfirmasi dari pernyataan-pernyataan Ko Ahua berikut. �Saya termasuk pebisnis yang kurang berani ambil risiko. Alasannya karena takut rugi.�, �Jujur, saya termasuk orang yang kurang berani mengambil risiko dalam bisnis. Saya cenderung bermain di wilayah yang aman. Kemungkinan itu dipengaruhi oleh pengalaman masa kecil saya yang pernah berada dalam situasi miskin. Akibatnya, saya sadar betul, banyak peluang keuntungan saya loss karena ketakutan itu (takut rugi dan kembali jadi miskin). Padalah kalau mau cepet maju ya harus berani ambil risiko. Jangan semuanya serba takut.�

Di sisi lain, ada pula kelompok pemilik usaha yang tidak segan untuk mengambil risiko. Kelompok ini sadar betul bahwa bisnis selain membawa potensi keuntungan yang besar juga sangat lekat dengan risiko. Pengalaman kegagalan kerap dialami oleh pemilik usaha dengan karateristik seperti ini. Ketika akan mengambil keputusan untuk berinovasi, mereka memikirkan setiap risiko yang mungkin akan dialami. Mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi semua kemungkinan risiko tersebut, hingga yang terburuk sekalipun, dengan memikirkan jalan keluar ketika risiko tersebut pada akhirnya terjadi. Terkait hal ini, Ko Calvin mengatakan, �... dan tidak ada sesuatu yang pasti. Maka, terusin aja, ambil risikonya, hadapin!�

9.   Kemiskinan

Ketika seseorang hidup dalam kemiskinan, mereka cenderung untuk berusaha lebih keras untuk meraih kesuksesan. Pengalaman hidup narasumber mengonfirmasi bahwa bukan kemiskinan yang menghalangi mereka untuk bisa sukses melainkan kemalasan dan keputusasaan (Abrar, 2021). Para pemilik usaha mengajarkan bahwa tekad yang kuat adalah kunci untuk menjadi sukses. Ketika seseorang memiliki tekad yang kuat, tidak ada satupun rintangan yang tidak bisa diatasi. Orang dengan tekad yang kuat akan menjadikan pengalaman kemiskinan yang dimilikinya sebagai kesempatan untuk belajar bagaimana menjadi sabar dan mampu mengatasi segala kesulitan hidup.

Menjadi miskin tidak berarti seseorang tidak memiliki hak untuk memiliki mimpi menjadi orang sukses dan mewujudkannya. Para pemilik usaha mengajarkan bahwa jika kehidupan tidak memberimu kesempatan (terlahir dalam keluarga kaya), maka ciptakanlah sendiri. Kesempatan tidak datang kepada orang yang hanya diam dan menunggu kesempatan datang. Kesempatan datang kepada mereka yang berani mengambil tindakan. Jika kamu tidak memiliki cukup uang untuk sekolah, maka belajarlah lebih giat untuk mendapat beasiswa atau jika kamu tidak memiliki uang untuk memulai bisnismu sendiri, carilah orang-orang kaya untuk mendanai bisnimu. Setiap masalah selalu memiliki solusi, yang perlu dilakukan adalah bekerja keras menemukan solusi tersebut.

10.  Kesehatan

�� Kesadaran akan pentingnya kesehatan finansial tidak diragukan lagi sudah dimiliki para pemilik usaha sejak awal. Kesadaran itulah yang mendorong mereka menjadi pelaku bisnis. Akan tetapi, kesadaran akan kesehatan fisik secara umum baru muncul dalam diri pemilik usaha setelah mereka memasuki usia lanjut. Umumnya, ketika muda, kesehatan fisik tidak menjadi prioritas bagi mereka. Kesehatan fisik seolah mereka korbankan demi mengejar kesehatan finansial. Seiring berjalannya waktu, ketika usia semakin bertambah dan kesehatan finansial yang mereka dambakan sudah terpenuhi, kesadaran akan pentingnya kesehatan fisik pun mulai muncul. Kesadaran akan pentingnya kesehatan fisik juga turut dipicu oleh munculnya sejumlah penyakit yang diderita. Kondisi tersebut memunculkan kesadaran akan pentingnya kesehatan fisik. Ko Billy, misalnya mengatakan, �Tujuan hidup kita pada umumnya biar hidup senang (bahagia), sehat, keluarga bahagia. Kalau bisa dikasih panjang umur, ya panjang umur, damai, sukacita, dan hidup berkecukupan. Pernyataan di atas dapat ditafsirkan bahwa pemilik usaha mendambakan semua aspek kesehatan yang disebutkan di atas, yaitu kesehatan fisik, mental, spiritual, emosional, dan finansial.

Kepedulian para pemilik usaha tentang kesehatan secara sadar maupun tidak turut menentukan cara mereka menjalankan bisnis. Untuk para pemilik usaha yang sudah berusia lanjut, profit oriented dan ekspansi bisnis tidak lagi menjadi prioritas. Kondisi itu tampak dari pernyataan Ko Hardi berikut. �... itulah mengapa orang yang berusia semakin lamban dalam mengambil keputusan berisiko. Saya, misalnya, sudah tidak mau lagi diajak (berbisnis) ini dan itu. Kenapa? Karena di usia saya (umur 50-60), saya sudah sampai pada kesadaran bahwa banyaknya uang tidak lagi menjadi patokan kesuksesan. Saya sekarang sudah merasa tidak perlu berlomba-lomba lagi untuk menjadi yang terkaya.�, �Kesadaran itu menjadi sangat berpengaruh tentunya terhadap cara saya menjalankan bisnis. Agresivitas dalam berbisnis tentu menurun sampai pada level sejauh masih ada pertumbuhan, itu sudah cukup.�

Menarik untuk dicatat di sini, yaitu bagaimana kesadaran akan kesehatan masuk ke alam bawah sadar para pemilik usaha sehingga turut menentukan strategi inovasi mereka dalam berbisnis.

11.  Kesejahteraan

Bagi para pemilik usaha, mewujudkan kesejahteraan menjadi salah satu visi mereka dalam berbisnis. Hal itu tampak dalam sejumlah pernyataan pemilik usaha berikut. �...supaya kehidupan keluarga saya bahagia, kebutuhan mereka semua terpenuhi, tercukupi, dan tidak kekurangan. Udah itu cukup. Tidak perlu yang lain-lain. (Ko Yanto)�, �Kalau kita, karena sudah berkeluarga, maka visi utama yang keluarga. Bisniskan utamanya cari makan, cari untung.�, �Kita mencari uang, keluarga butuh makan, pendidikan, sandang, pangan, papan, jalan-jalan. (Ko Billy)� Kendati kata �kesejahteraan� tidak muncul secara eksplisit, hal-hal yang diupayakan untuk dicapai oleh para pemilik usaha tersebut adalah untuk mencapai well-being dalam hidup.

Selain kesejahteraan pemilik usaha, yang tentu di dalamnya termasuk kesejahteraan keluarganya, pemilik usaha juga menjalankan bisnisnya bukan semata-mata untuk mencapai kemakmuran pribadi, tetapi juga kesejahteraan para karyawan. Kepedulian tersebut tampak dalam sejumlah pernyataan berikut. �Dalam situasi pandemi kamarin, kalau kita berhentikan karyawan, kan kasihan juga. Jadi pilihannya, bergantian masuk, tetapi tidak diberhentikan. Tetapi kita juga minta pengertian dari mereka ketika gaji dipotong berdasarkan kehadiran karena pemasukan perusahaan juga berkurang selama pandemi. (Ko Billy)�, �Saya sudah tidak ada lagi yang saya cari sebetulnya, cuma satu, yaitu tetap mempertahankan semua karyawan untuk bekerja. Sebetulnya saya sudah capek, sudah males karena tidak ada lagi yang saya kejar sebenarnya. Cuman, kalau bisnis ini tidak saya teruskan, bagaimana dengan nasib karyawan-karyawan saya? (Ko Martinus)�, �Visinya sih saat ini simpel-simpel saja, yaitu bagaimana dengan bisnis ini bisa menghidupi orang banyak. Semakin banyak orang yang bisa kita hidupin dengan bisnis yang kita jalani, kita kan menjadi semakin bangga. Lalu nanti setelah itu mau apa, ya..coba-coba menjadi filantropis kecil-kecilan. Cuman itu saja. Kalau nanti ada duit banyak gimana? Ya mencoba membantu lebih banyak orang sesuai dengan kemampuan saat itu saja. Kalau kekuatannya cuman bisa hanya untuk membantu satu orang saja ya satu orang saja, kalau bisa 10 orang ya 10 orang, kalau bisa 100 orang ya 100, bahkan kalau bisa 1 juta orang ya tetap akan saya layani. Intinya sesuai kemampuan saya saat itu. (Ko Calvin)�.

Sejumlah pernyataan tersebut mencerminkan visi yang dimiliki pemilik usaha dalam menjalankan bisnisnya. Visi tersebut pada gilirannya memengaruhi pilihan strategi inovasi yang dipilih. Dalam beberapa contoh di atas, inovasi yang dipilih para pemilik usaha lebih ke arah bagaimana mempertahankan bisnis yang sudah berjalan agar tetap dapat menjamin kesejahteraan bagi semua.

12.  Prapemahaman sebagai Titik Tolak Pemilik Usaha dalam Manentukan Strategi Inovasi

Berikut beberapa kata kunci yang signifikan yang membentuk prapemahaman para pemilik usaha yang turut menentukan strategi inovasi mereka dalam berbisnis.

13.  Rasa Syukur

Rasa syukur juga membuat seseorang memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Hal ini tentu sangat penting mengingat relasi adalah salah satu faktor penting dalam berbisnis. Rasa syukur membuat seseorang bisa memenangkan kepercayaan dari banyak orang. Bermodal kepercayaa tersebut, pengusaha dapat lebih mudah menawarkan dan menjual produk atau layanan kepada pelanggan.

Selain itu, kemampuan untuk selalu bersyukur juga membuat pemilik usaha lebih mampu menghargai kinerja karyawannya. Hal itu tentu akan meningkatkan moral karyawan sehingga tercipta budaya kerja yang positif. Pemilik usaha yang mampu menciptakan budaya kerja yang positif bisa membuat performa kerja karyawan meningkat. Hal itu secara langsung akan meningkatkan performa perusahaan.

Kemampuan untuk bersyukur memang membutuhkan latihan dan tidak bisa diperoleh dalam waktu yang singkat. Sebagaimana disiplin mental lainnya, rasa syukur juga membutuhkan waktu dan latihan. Namun, mengingat manfaat positif yang dapat diperoleh dari rasa syukur, kemampuan tersebut sangat layak untuk dibiasakan. Oleh karena itu, untuk menjadi seorang pengusaha yang sukses komitmen untuk melatih rasa syukur dalam praktik keseharian sangat diperlukan. Dengan rasa syukur, pemilik usaha akan menjadi orang yang lebih bahagia dan lebih puas dengan hasil yang telah diraih. Selain itu, pemilik usaha juga akan menjadi lebih produktif dan mampu mengelola emosi dalam segala situasi.

Terkait rasa syukur ini, pemilik usaha dalam penelitian ini memandangnya sebagai sesuatu yang perlu untuk dilakukan dalam berbisnis. Dengan tegas Ko Yanto mengatakan, �Itu nomor satu! Kita sebagai makhluk hidup harus bersyukur dan tahu diri siapa kita. Kita tadinya lahir tanpa apa-apa, tapi sekarang kita semua sudah dicukupi, dilindungi, diberkati, dan diberikan semua yang kita mau oleh Tuhan. Oleh karena itu, kita seharusnya bersyukur dan berdoa dan tidak boleh tamak.� Manfaat dari rasa syukur dalam berbisnis juga dirasakan oleh Ko Ajis. �Kalau bisa bersyukur, bersyukur saja lah. Kalau tidak malah bisa stres.�

 

 

 

14.  Keberanian

Setidaknya terdapat dua hal yang penting untuk dicatat perihal keberanian yang perlu dimiliki seorang pengusaha untuk meraih kesuksesan dalam berbisnis, yaitu keberanian menghadapi risiko dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman.

Dua macam keberanian itulah yang setidaknya perlu dimiliki oleh pengusaha jika ingin meraih kesuksesan berbisnis. Hal itu sangat disadari oleh pemilik usaha dalam penelitian ini. Ko Ahua mengatakan, �Saya melihat ada satu klien saya yang di mata saya terlalu berani mengambil risiko. Terlalu berani mengambil risiko adalah salah satu tipe pebisnis ulung. Ketika saya tanya kenapa dia begitu berani berinvestasi sedemikan besar, dia hanya menjawab bahwa dia mulai dari nol. Jadi andaikata gagal pun saya hanya kembali ke titik awal saya, tidak akan merenggut nyawa saya. Jadi, kenapa tidak. Sehingga, saya menyimpulkan bahwa kata bisnis itu berarti berani rugi. Tentu tidak ada pebisnis yang mau rugi, tapi keberanian itulah yang membuat pebisnis menjadi hebat.� Ko Ahua juga mengonfirmasi pentingnya keberanian keluar dari zona nyaman untuk orang yang ingin memulai berbisnis. Ia mengatakan, �Ketika terjun langsung dalam dunia bisnis, mereka harus menanggalkan status sarjana dia. Harus juga berani keluar dari zona nyaman. Contonya, ada lulusan sarjana yang berpikir sudah sekolah capek-capek tapi harus diminta memulai dari nol lagi untuk berbisnis. Maka banyak yang kemudian berkerja, tahu-tahu usianya udah 55 tahun yang sebentar lagi harus pensiun. Hal itu terjadi selain karena enggan keluar dari zona nyaman juga karena dia tidak mau menanggalkan status sarjananya.�

Sebaliknya, para pemilik usaha juga menyadari betul akibat dari kekurangberanian mengambil risiko terhadap kemajuan bisnis. Kesadaran tersebut tampak pula dari pernyataan Ko Ahua berikut. �Jujur, saya termasuk orang yang kurang berani mengambil risiko dalam bisnis. Saya cenderung bermain di wilayah yang aman. Kemungkinan itu dipengaruhi oleh pengalaman masa kecil saya yang pernah berada dalam situasi miskin. Akibatnya, saya sadar betul, banyak peluang keuntungan saya loss karena ketakutan itu (takut rugi dan kembali jadi miskin). Padahal kalau mau cepet maju ya harus berani ambil risiko.�

Terkait keberanian ini, hal yang menarik dicatat adalah adanya penurunan tingkat keberanian berbisnis seiring bertambahnya usia pemilik usaha. Fenomena ini tampak dari pernyataan Ko Ajis berikut. �... seumur saya ini, terus terang tidak boleh jatuh lagi. Kalau jatuh lagi, maka habis kita. Kita punya nyali dan keberanian tidak seperti umur 30-an. Sekarang tidak bisa lagi dengan mudah mengambil risiko karena banyak yang harus dipikirkan.� Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ko Hardi. �Bisnis itu kaitannya dengan uang. Jadi, kalau sampai rugi, ruginya berapa. Itu istilahnya calculated risk. Itu saja yang saya pertimbangkan. Makanya, saya tidak lagi seberani orang (pebisnis) berumur 20�30-an yang tidak terlalu peduli risiko karena tanggungan dan beban mereka belum sebanyak orang yang sudah berusia (seperti saya).�

15.  Kejujuran

Seringkali, kejujuran dipertentangkan dengan kesuksesan dalam berbisnis. Tidak sedikit yang percaya bahwa untuk meraih sukses dalam bisnis, kejujuran seringkali harus dikompromikan. Padahal, kejujuran adalah kunci utama dalam kesuksesan bisnis. Hal ini bisa dimengerti jika kita melihat kejujuran dari sudut pandang kerpercayaan.

Kepercayaan adalah hal yang mahal dalam berbisnis. Tanpa kepercayaan, belum tentu bisnis dapat berjalan dengan baik, apalagi berkembang. Oleh karena itu, membangun kepercayaan menjadi hal yang amat krusial dalam bisnis. Dengan membangun kepercayaan yang baik, banyak hal akan berjalan dengan baik dan menjadi lebih mudah. Sebaliknya, tanpa kepercayaan dapat dipastikan bisnis pun akan terhambat.

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan kepercayaan dalam berbisnis. Salah satunya adalah dengan mengutamakan kejujuran. Mengingat perkembangan teknologi informasi saat ini, sangat penting bagi pemilik usaha untuk tidak berkompromi terkait kejujuran dalam berbisnis. Satu kali saja unit bisnis melakukan kebohongan, tidak hanya satu orang, melainkan banyak orang yang akan mengetahuinya. Alhasil, kepercayaan yang sudah bertahun-tahun dibangun akan hilang seketika. Dengan hilangnya kepercayaan, dapat dipastikan bisnis akan mengalami kemunduran.

Pentingnya kejujuran dalam berbisnis demi memenangkan kepercayaan� sangat disadari oleh pemilik usaha dalam penelitian ini. Ketika diminta untuk menyebutkan hal yang paling diperlukan dalam kewirausahaan, kejujuran muncul sebagai salah satu jawaban. Ko Ajis dengan tegas mengatakan, �...kita harus jujur lah. Kita kalau tidak ada uang, modal jujur lah.�

Kesimpulan

Visi pemilik usaha yang menjalankan bisnisnya dengan model yang masih tradisional memahami visi dalam berbisnis sebagai jalan bagi mereka untuk menjadi bahagia. Bahagia yang dimaksud di sini lebih condong ke arah tercukupinya kebutuhan keluarga dan diri mereka sendiri. Dengan demikian, mereka dapat menikmati hidup tanpa harus memiliki kekhawatiran finansial.

Terbentuknya visi semacam itu tidak dapat dilepaskan dari prapemahaman yang dimiliki para pemilik usaha tersebut terkait bisnis yang mereka jalankan. Prapemahama tersebut mereka peroleh dari pengalaman masa lalu mereka. Prapemahaman yang mereka miliki terkait bagaimana cara berbisnis secara tidak sadar membentuk intuisi mereka dalam berbisnis yang dengannya mereka memiliki semacam ide panduan untuk mengambil keputusan dengan cepat dan relatif tepat ketika dihadapakan dengan situasi tertentu.

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah bias dan keterbatasan pengetahuan peneliti. Penelitian ini menggunakan hermeneutika faktisitas Martin Heidegger dalam proses penafsiran data empiris. Dalam hermeneutika faktisitas Heidegger, penafsiran dilakukan dengan membiarkan realitas menampakkan diri. Penafsir tidak menaruh kerangka berpikir miliknya ke dalam sesuatu yang menampakkan diri tersebut. Sebab, jika penafsir menggunakan interpretasi yang ia ketahui, maka tafsirannya merupakan pantulan pengetahuan dan realitas. Padahal, hermeneutika Heidegger benar-benar ingin membiarkan fenomen itu tampil apa adanya. Dengan kata lain, penafsir�dalam hal ini peneliti�menyilahkan fenomen menyingkapkan diri apa adanya. Hal ini sulit dilakukan mengingat kemampuan, pengetahuan bawaan, dan tingkat pemahaman peneliti terkait teori-teori yang digunakan dapat menimbulkan bias dalam upaya menafsirkan jawaban responden. Untuk penelitian selanjutnya, dapat dikembangkan dengan mengkaji bagaimana prapemahaman bisnis dapat diwariskan antargenerasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abrar, A. N. (2021). Susila Wartawan Muslim. UGM PRESS.

 

Che Hasan, M. K., Azman, M. S., Sidek Ahmad, Z. N. Bin, Che Jamaludin, F. I., & Hasymi Firdaus, M. K. Z. (2020). Assessing carpal tunnel syndrome among administrative staff of a higher learning institution: A preliminary study. Belitung Nursing Journal, 6(6), 209�213. https://doi.org/10.33546/BNJ.1191

 

Duha, T. (2018). Perilaku organisasi. Deepublish.

 

Faruq, M. A., & Usman, I. (2014). Penyusunan strategi bisnis dan strategi operasi usaha kecil dan menengah pada perusahaan konveksi scissors di surabaya. Jurnal Manajemen Teori Dan Terapan, 7(3), 173�198.

 

FoEh, J. E. H. J. (2020). Perencanaan Bisnis (Business Plan): Aplikasi Dalam Bidang Sumberdaya Alam. Deepublish.

 

Habsy, B. A. (2017). Seni memehami penelitian kuliatatif dalam bimbingan dan konseling: studi literatur. Jurnal Konseling Andi Matappa, 1(2), 90�100.

 

Indriyani, S. (2018). Eksplorasi etnomatematika pada aksara lampung. UIN Raden Intan Lampung.

 

Kamaluddin, I. H. A., & Patta Rapanna, S. E. (2017). Administrasi Bisnis (Vol. 1). Sah Media.

 

Nadirah, S. P., Pramana, A. D. R., & Zari, N. (2022). METODOLOGI PENELITIAN Kualitatif, Kuantitatif, Mix Method (Mengelola Penelitian Dengan Mendeley dan Nvivo). CV. Azka Pustaka.

 

Sahir, S. H. (2021). Metodologi penelitian. KBM Indonesia.

 

Sule, E. T., & Saeful, K. (2019). Pengantar manajemen. Prenada Media.

 

Sumantri, P. E., & Susanto, I. (2020). Analisis Kompensasi Dan Stres Kerja Terhadap Turnover Intention Karyawan Pada Usaha Kecil Di Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas. Majalah Ilmiah Manajemen Dan Bisnis, 17(2), 132�140.

 

Sunarta, S., & Yusuf, B. P. (2018). Gaya Kepemimpinan Wanita pada Usaha Kecil Menengah di Tangerang Selatan. Agregat, 2(1), 1�19.

 

Wahjono, S. I. (2011). Suksesi Internal Bisnis Keluarga Untuk Penguatan Ekonomi Nasional Menghadapi Persaingan Bebas Afta-China. National Conference on Perkembangan Bisnis & Industri Indonesia, Kesiapan Dalam Menghadapi Persaingan Bebas AFTA-China, Jurusan Ilmu Ekonomi, FBE, Universitas Surabaya Dan Forum Dosen Ekonomi ISEI Jawa Timur, 11, 16�35.

 

Wijaya, H. (2020). Analisis data kualitatif teori konsep dalam penelitian pendidikan. Sekolah Tinggi Theologia Jaffray.

 

Copyright holder:

Ban Jung, Hendrawan Supratikno, Fransisco Budi Hardiman, Rudy Pramono (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: