Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
5, Mei 2023
Dinamika Politik Lokal di Era Otonomi Khusus Papua
Untung
Muhdiarta, Diego Romario de
Fretes, Ferinandus L. Snanfi
Program
Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Cenderawasih, Jayapura Papua
Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak
Sebagai sebuah
kebijakan politik yang strategis, Undang-Undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus) bagi Provinsi
Papua yang kemudian diperbaharui
dengan Undang-Undang No. 35
tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua
Barat, yang serta Inpres
No. 5 tahun 2007 tentang�� Percepatan
Pembangunan Papua dan Papua Barat, adalah dalam rangka mengejar
mempercepat dan mengejar ketertinggalan pembangunan dari daerah-daerah lain di
Indonesia. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif� analitis
dengan metode� analisis kualitatif. Penelitian ini disebut penelitian
deskriptif karena berupaya untuk memaparkan fenomena apa adanya mengenai� relasi kekuasaan antara Pusat dan Daerah
melalui produk-produk kebijakan yang dibuat. Disamping mendeskripsikan fenomena tersebut penelitian ini juga memberikan penilaian dan analisis terhadap fenomena yang terjadi. Dalam penelitian ini dapat dikemukakan
kesimpulan bahwa dinamika politik lokal di Papua, adalah disebabkan karena persoalan implementasi UU Otsus Papua. Dinamika tersebut disebabkan karena dikeluarkannya berbagai kebijakan baik oleh Pemerintah Pusat yang diniai tidak konsisten
dengan materimuatan yang ada dalam UU Otsus
Papua. Sehinggan Otsus
Papua sebagai instrumen akselerasi pembangunan di Papua sampai dengan 10 tahun pertama belum
terwujud secara efektif, dan pada beberapa aspek masih memerlukan
pembenahan dan atau peningkatan.
Kata kunci: Dinamika,
Politik, Otonomi, Papua
Abstract
As a strategic political policy,
Law No. 21 of 2001 concerning Special Autonomy (Special Autonomy Law) for Papua
Province, which was later updated by Law No. 35 of 2008 concerning Special Autonomy
for Papua and West Papua Provinces, and Presidential Instruction No. 5 of 2007 concerning
the Acceleration of Development of Papua and West Papua, is in order to pursue,
accelerate and catch up with development from other regions in Indonesia. This research
is an analytical descriptive research with qualitative
analysis methods. This research is called descriptive research because it seeks
to explain the phenomenon as it is regarding power relations between the Center
and the Regions through the policy products made. In addition to describing the
phenomenon, this study also provides an assessment and analysis of the phenomenon
that occurs. In this study, it can be concluded that the dynamics of local politics
in Papua are caused by problems in the implementation of the Papua Special Autonomy
Law. This dynamic is caused by the issuance of various good policies by the Central
Government which are considered inconsistent with the content contained in the Papua
Special Autonomy Law. Thus, Special Autonomy Papua as an instrument for accelerating
development in Papua for the first 10 years has not been effectively realized,
and in some aspects still requires improvement and/or improvement.
Keywords:�Dynamics, Politics, Autonomy, Papua
Pendahuluan
Sebagai sebuah kebijakan politik yang strategis, Undang-Undang No.21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus) bagi Provinsi Papua yang kemudian
diperbaharui dengan Undang-Undang No. 35 tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua dan Papua Barat, yang serta Inpres No. 5 tahun 2007 tentang�� Percepatan Pembangunan Papua dan Papua
Barat, adalah dalam rangka mengejar mempercepat dan mengejar ketertinggalan
pembangunan dari daerah-daerah lain di Indonesia.� Semangat yang terkandung dalam status OTSUS
tersebut adalah pemberian kewenangan seluas-luasnya kepada pemerintah daerah
untuk merumuskan, menyusun, dan merancang strategi pembangunan yang dibutuhkan
masyarakat setempat. Semangat otsus merupakan jawaban atas kebijakan politik
pembangunan sebelumnya yang belum banyak membawa dampak yang nyata (Politik, 1992).
Pemerintahan dibentuk untuk menciptakan suatu tatanan guna menjamin
keteraturan dan ketertiban. Jaminan keteraturan dan ketertiban merupakan
prasyarat bagi keberlangsungan proses hidup dan kehidupan masyarakat. Ini
berarti bahwa substansi pemerintahan adalah memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri atau
dilayani, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi kondusif
yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya
guna mencapai kemajuan bersama. Salah satu cara untuk dapat memenuhi format
pemerintahan seperti tersebut maka� Negara Republik Indonesia sejak
merdeka telah memilih anutan desentralisasi sebagai strategi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan (Danim, 2000). Pengaturan mengenai
pemerintahan daerah dilegitimasi dengan undang-undang, yang dalam kurun waktu
72 tahun merdeka (1945�2017), silih berganti telah diberlakukan delapan
undang-undang. Kondisi ini menunjukan bahwa belum ditemukan suatu model yang
cocok dengan tuntutan dinamika sosial politik kemasyarakatan maupun tuntutan
kewilayahan.
Dalam konteks Papua pengaturan mengenai pemerintahan daerah, juga
mengalami nasib yang tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia sebagai suatu
negara. Jika produk hukum mengenai pemerintahan daerah di Indonesia yang
berlaku untuk semua daerah mencapai delapan dalam kurun waktu 72 tahun, maka
khusus untuk Papua�
tercatat sekitar delapan produk hukum dalam kurun waktu tahun
1956 s/d� 2001. Ini adalah suatu
kenyataan, yang mungkin saja akan menimbulkan berbagai macam diskursus, tetapi
yang jelas bahwa sejak tanggal 21 Nopermber 2001, Pemerintah dan masyarakat
Indonesia pada umumnya dan Papua pada khususnya memasuki suatu babakan baru,
yakni �Otonomi Khusus�, yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang No.
21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU No. 21 Tahun
2001).
Otonomi Khusus bagi Papua pada dasarnya adalah pengakuan dan/atau
pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk
mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.� Kewenangan yang lebih luas
tersebut berarti pula mencakup kewenangan untuk mengatur pemanfaatan kekayaan
alam di wilayah Provinsi Papua, sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua,
memberdayakan potensi perekonomian, sosial, dan budaya� yang dimiliki, termasuk di dalamnya
memberikan peranan yang signifikan bagi orang asli Papua melaluii
wakil-wakilnya untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan daerah,
menetukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman
kehidupan masyarakat di Provinsi Papua. Sebagai akibat dari penetapan otonomi
khusus ini, maka ada perlakuan berbeda yang diberikan Pemerintah kepada
Provinsi Papua. Dengan otonomi khusus ini, maka terdapat hal-hal mendasar yang
hanya berlaku di Provinsi Papua dan tidak berlaku di provinsi lain di
Indonesia, seiring dengan itu terdapat pula hal-hal yang berlaku di daerah lain
yang tidak diberlakukan di Provinsi Papua.
Perlakuan berbeda tersebut tentunya tidak akan berkorelasi
signifikan terhadap peningkatan peran dan fungsi pemerintahan daerah yang
berkontribusi positif terhadap peningkatan pelayanan (service), pelaksanaan
pembangunan (development), dan pemberdayaan (empowerment) masyarakat, jika
tidak diikuti dengan perubahan� struktur dan kewenangan Pemerintah
Daerah. Perubahan yang dimaksud dalam konteks ini berarti ada proses reformasi
yang dilakukan dalam pemerintahan daerah, sebagai upaya penyesuaian dengan tatanan
hukum yang mengaturnya (Miriam, 1981).
Perubahan status provinsi Papua menjadi daerah yang berotonomi
khusus harus diikuti dengan perubahan struktur dan kewenangan. Hal ini
disebabkan karena perubahan status akan mengakibatkan perubahan tujuan. Ketepatan
suatu struktur adalah terkait dengan kemampuan struktur tersebut dalam merespon
lingkungannya. Ini berarti bahwa struktur bukanlah sesuatu yang statis dan
mati, tetapi sebaliknya bersifat dinamis dan dapat direkayasa ulang untuk
maksud efektivitas pelaksanaan fungsi dari suatu organisasi.
Struktur pemerintahan perlu direkayasa sedemikian rupa sehingga
pemerintah dapat didekatkan dengan masyarakat. Dalam kaitan ini maka pemerintah
harus dipandang sebagai suatu oraganisasi yang organistik bukan mekanistik.
Struktur pemerintahan yang hirarkikal secara berjenjang perlu disiasati
sehingga tidak menghambat kreativitas dan inovasi pemerintahan pada tingkat
tertentu. Struktur pemerintahan harus direkayasa untuk memenuhi tuntutan pelayanan,
pembangunan, dan pemberdayaan bagi masyarakat. Struktur organisasi pemerintahan
harus pula disesuaikan dengan tujuan organisasi dan kewenangan yang dimiliki (Danim, 2005).
Perubahan struktur harus sejalan dengan perubahan kewenangan. Dalam konteks� pemerintahan
daerah, kewenangan tergantung pada pola hubungan antara Pusat dengan Daerah,
maupun antar Daerah. UU No. 23 Tahun 2014, memberi arahan bahwa Pemerintah
Daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya memiliki hubungan dengan
Pemerintah dan dengan Pemerintahan Daerah lainnya. pola hubungan antara Pusat
dan Daerah maupun antara Daerah sebagaimana dimaksud mencakup hubungan
wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam, dan sumberdaya
lainnya. Sebagai konsekuensi logis dari adanya hubungan tersebut, maka telah
menimbulkan adanya hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan
pemerintahan (Dahl & Zainuddin, 2001).
Ditinjau dari aspek administratif pemerintahan, ditemukan bahwa
kelembagaan pemerintahan di wilayah Provinsi Papua pada tingkat pemerintahan
provinsi, pemerintahan kabupaten/kota, serta pemerintahan kampung, diakui belum
seimbang dengan jangkauan luas wilayah. Luas wilayah Provinsi Papua 319.553,07
Km�, terdiri atas 28 kabupaten, 1 kota, dengan jumlah distrik 472, dan� kampung/kelurahan
4.375. Selain itu topografi wilayah Provinsi Papua yang bervariasi dan
didominasi dengan topografi yang bergunung-gunung maupun lereng-lereng lembah
yang terjal, serta keterbatasan infrastruktur transportasi, telah pula
berakibat terbatasnya aksessibilitas antar wilayah (antar kampung/kelurahan,
antar distrik, maupun antar kabupaten). Kondisi ini mengakibatkan timbulnya
berbagai kendala struktural maupun fungsional dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan. Beberapa kendala antara lain: (1) rentang kendali (span of
control)� menjadi luas, yang bermuara
pada terciptanya hambatan koordinasi dan pengawasan; (2) terbatasnya sumberdaya
aparatur secara kuatitas maupun kualitas, sehingga menimbulkan hambatan dalam
mengaktualisasi fungsi penyelenggaraan pemerintahan secara optimal; (3)
keterbatasan infrastruktur akibat tidak berimbangnya sumber keuangan yang
tersedia dengan kebutuhan infrastruktur, akibatnya menimbulkan hambatan
dibidang transportasi dan komunikasi. Semua ini pada akhirnya akan menimbulkan
pelaksanaan fungsi utama penyelenggaraan pemerintahan dalam hal pelayanan
(service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development) menjadi
tidak efektif dan efisien;
Kebijakan pembangunan daerah diharapkan: pertama, mendorong
peningkatan pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment) masyarakat dan
akselerasi pembangunan (development acceleration); kedua, meningkatkan
kemampuan dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi daerah untuk mendukung
penyelenggaraan otonomi daerah; dan ketiga memberi ruang yang lebih luas bagi
berkembangnya proses demokratisasi dan meningkatnya partisipasi masyarakat (Dahl Robert, 2001).
Papua merupakan Provinsi yang diberlakukan otonomi khusus, yaitu
dengan diterapkannya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua yangkemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. Lahirnya UU Otsus merupakan
solusi politik bagi nasib Papua ke depan, terutama kaitannya dengan
penyelesaian konflik dan pendekatan pembangunan kesejahteraan masyarakat Papua
ke depan. Kebijakan Otonomi Khusus merupakan kebijakan yang bertujuan untuk
memperbaiki berbagai ketertinggalan serta ketimpangan yang ada di Provinsi
Papua.
Berdasarkan UU Otsus tersebut sebagai Provinsi paling timur dan
berbatasan langsung dengan negara Papua New Guinea (PNG) dan di sebelah barat
berbatasan dengan Provinsi Papua Barat, memiliki potensi kekayaan sumberdaya
alam yang berlimpah yang yang menghadapi berbagai persoalan mendasar terkait dengan
fakta ketertinggalan wilayah. Daerah yang sebenarnya sangat kaya dengan potensi
sumberdaya alam (SDA) ternyata secara riil menghadapi fakta yang bertolak
belakang seperti ketertinggalan perekonomian rakyat, minimnya penyelenggaraan
pelayanan publik, jaringan infra struktur yang masih memprihatinkan, hingga
persoalan rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM, merupakan permasalahan
mendasar bagi wilayah Papua.
Kontradiksi seperti ini lambat laun menciptakan kesenjangan yang
secara langsung sangat dirasakan oleh masyarakat Papua. Pembangunan yang
dilakukan oleh pemerintah ternyata justru membawa dampak negatif yang sangat
besar, mulai dari kerusakan lingkungan hingga peminggiran hak-hak masyarakat
asli. Berbagai aspirasi dan tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan
ketertinggalan Papua telah lama disuarakan oleh masyarakat. Namum lambannya
respon pemerintah menyebabkan aspirasi dan tuntutan tersebut menjadi resistensi
masyarakat yang tidak jarang berubah menjadi konflik fisik yang mengarah pada
tututan kemerdekaan. Masyarakat asli Papua mulai mempertanyakan keseriusan
pemerintah dalam mencari solusi berbagai persoalan mendasar di Papua. Terlebih
lagi, berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat terkait dengan
kekayaan alam Papua terkesan sangat eksploitatif dan justru memarjinalkan peran
masyarakat local yang berdampak pada kesejahteraan mereka yang stagnan.
Intensitas konflik fisik maupun tuntutan kemerdekaan yang semakin
tinggi akhirnya membuat pemerintah mau tidak mau harus secara serius memperhatikan
perkembangan aspirasi masyarakat Papua. Seiring dengan semkakin populernya
konsep desentralisasi pemerintahan sejak UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah disahkan, penyelenggaraan pemerintahan yang lebih sensitif
terhadap konteks lokal mulai menjadi mainstream utama reformasi pemerintahan.
Konsep desentralisasi juga mulai diterapkan oleh pemerintah untuk
konsteks wilayah Papua, yang dijalankan dengan pendekatan yang berbeda, yang
diharapkan dapat menciptakan perbaikan kualitas penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan di Papua, yaitu dengan sistem Otonomi Khusus (Gaffar, 1983). Lahirnya UU Otsus merupakan
pilihan kebijakan Pemrintah Pusat dan rakyat Papua sebagai kompromi, bentuk
penyelesaian politik jalan tengah, antara kepentingan nasional dan desakan
pemenuhan tuntutan rakyat Papua. Kebijakan Otonomi khusus akhirnya diambil guna
menyelesaikan berbagai persoalan di Papua.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua (UU Otsus) yang diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang Undang No. 1 Tahun 2008 ditetapkan menjadi Undang Undang Nomor 35 Tahun
2008 adalah instrumen hukum yang memuat kebijakan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus. Kebijakan khusus tersebut setidaknya memiliki 2 (dua) sasaran
strategis, yaitu: Pertama, Kebijakan afirmasi (affirmative policy) di bidang
pendidikan, kesehatan dan perekonomian rakyat dalam rangka peningkatan kualitas
sumber daya manusia untuk penduduk asli (orang asli) Papua menuju tercapainya
kesejahteraan, dan Kedua, Kebijakan di bidang infrastruktur dalam rangka
percepatan pembangunan prasarana dan sarana transportasi untuk membuka
keterisolasian daerah (KAHO, 1982).
Melalui UU Otsus Papua, pemerintah memberikan kewenangan yang besar
kepada pemerintah daerah disertai kucuran dana yang juga sangat besar. Dana
puluhan triliun rupiah ini diluar dana lain seperti APBD dan dana
dekonsentrasi. Untuk mempercepat proses pembangunan di Papua, Pemerintah juga
mengeluarkan 2 (du)a Peraturan Presiden (Perpres) yang ditandatangani 20
September 2011. Pertama, Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua, Perpres Nomor 66 Tahun 2011
tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Perpres ini
dilengkapi dengan dokumen rinciberjudul Rencana Aksi yang bersifat Cepat
Terwujud Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun
2011-2012.
Pelaksanaan Otonomi Khusus hingga kini telah masuk tahun ke 20,
semenjak disyahkan tanggal 21 November 2001 dan dinyatakan berlaku mulai
tanggal 1 Januari 2002. Filosofi dasar UU Otsus Papua yang ingin mengangkat
martabat orang asli Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Filosofi dasar itulah yang menjadi amanat pemberlakuan UU Otsus Papua yang
bergabung ke dalam NKRI sejak 1 Mei 1963 silam.
Dengan kata lain, pelaksanaan UU Otsus Papua sejak awal
dilaksanakannya diiringi dengan berbagai kebijakan baik di tingkat Pusat maupun
Daerah sendiri, sehingga menimbulkan dinamika politik lokal yang sangat dinamis
(Mochtar Mas�oed & MacAndrews, 1981).
Dinamika politik lokal dapat diartikan perubahan yang terjadi pada
lembaga-lembaga poitik yang ada di daerah (lokal). Kalau istilah dinamika
dikaji secara terminologi konsepsional maka kata dinamika dalam bahasa Inggris
disebut Dynamic artinya selalu bersemangat (Fadillah, 2001). Sedangkan kata lain yaitu
Dynamics artinya penunjuk pada tenaga gerak (Islamy, 1997). Kajian terminologi dapat
dikonsepsionalkan secara teoritis bahwa dinamika politik adalah pertumbuhan,
dan perubahan struktur politik secara fungsional menuju ke demokratisasi dalam
sistem politik (Mohtar Mas�oed, 2006).
Dinamika politik masyarakat secara teoritis bersumber dari keinginan
individu masyarakat yang mengelompok dalam berbagai lembaga politik yang secara
spontan berupaya untuk mendinamikakan fungsi-fungsi lembaga politik. Multilined
Theories of Evolution lebih menekankan pada penelitian-penelitian terhadap
tahap-tahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Oleh sebab itu
masyarakat berkembang selalu diamati melalui tahap-tahap perkembangan
berdasarkan suatu sistem kebenaran (Pratama & Adnan, 2014)
Wilayah Papua kaya dengan sumberdaya alam, tetapi masih tertinggal
dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, di sisi lain Otonomi khusus
memberikan tambahan kewenangan dan dana yang besar pula, tetapi pencapaian
tingkat kesejahteraan masyarakat asli Papua masih rendah. Rendahnya tingkat
kesejahteraan masyarakat asli Papua ini dapat dilihat indikasinya dari permasalahan
yang menjadi program utama Otonomi Khusus Papua, yaitu pembangunan di bidang
Pendidikan, Kesehatan, Perekonomian Rakyat dan pembangunan infrastruktur.
Keempat prioritas pembangunan dalam rangka otonomi khusus tersebut
mengalami geliat pembangunan pasang surut, sebagai implikasi dari dinamika
politik yang terjadi secara nasional, bahkan internasional. Diantara geliat
pembangunan dan besarnya kucuran dana Otsus, tentu masih saja ada kondisi
kontras. Sebagian besar orang asli Papua seakan berkutat dalam kondisi
kemiskinan dan termarginalkan sehingga cenderung menuntut perbaikan nasib
mereka. Bahkan tuntutan itu dari waktu ke waktu terus menguat menjadi aspirasi
pemisahan Tanah Papua dari NKRI.
Indikasi kegagalan ini, menurut beberapa tokoh Papua merupakan
kesalahan pendekatan pembangunan yang lebih menekankan pendekatan politik dan
keamanan disbanding pendekatan kesejahteraan. Akibat dari pendekatan yang
seperti ini, telah menimbulkan ketergantugan yang sangat kuat di kalangan
masyarakatasli Papua. Ketergantugan juga Nampak dalam bentuk ketergantugan
Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) kepada Pemerintah Provinsi, maupun
ketergantungan Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Pusat.
Dalam konteks inilah, perlu dilakukan penelitian awal guna
menemukenali berbagai fenomena dan aspek yang mewarnai dinamika politik local
di era otonomi khusus, yang di kerangkakan dalam penelitian yang berjudul
�Dinamika Politik Lokal Era Otsus Papua�.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif� analitis dengan metode� analisis kualitatif. Penelitian ini disebut
penelitian deskriptif karena berupaya untuk memaparkan fenomena apa adanya mengenai� relasi
kekuasaan antara Pusat dan Daerah melalui produk-produk kebijakan yang dibuat.
Disamping mendeskripsikan fenomena tersebut penelitian ini juga memberikan
penilaian dan analisis terhadap fenomena yang terjadi. Ada beberapa teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dokumentasi,
terutama untuk memperoleh data-data sekunder baik dari literature dan hasil
penelitian, berita di media massa, serta dokumen-dokumen pemerintah (Nugrahani & Hum, 2014).
Ruang lingkup wilayah penelitian ini wilayah pemerintahan
Provinsi Papua. Sedangkan lingkup obyek yang diamati dalam penelitian ini
mencakup kebijakan kebijakan pemerintah baik yang dikeluarkan oleh Pamerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah sejak diberlakukanya UU Otsus Papua. Lingkup
kegiatan, terdiri atas kegiatan persiapan, pelaksanaan, verifikasi, dan diseminasi.
Penelitian ini dijadwalkan dalam waktu 6 (enam) bulan.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik analisis kualitatif. Data yang diperoleh diseleksi dan dikelompokkan� berdasar
klasifikasi-klasifikasi yang telah ditentukan, kemudian data tersebut
diinterpretasikan. Dari interpretasi yang dilakukan tersebut� dapat ditarik kesimpulan yang sesuai
dengan data yang tersedia..
Hasil dan Pembahasan
1. Pengantar
Memasuki tahun
ke dua puluh implementasi Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, masyarakat dunia,Indonesia dan juga Papua diperhadapkan pada berbagai
perubahan yang bergejolak (turbulent) dan kondisi ketidak pastian
(uncertainty). Setiap perubahan direspon oleh pemerintah dengan mengeluarkan
kebijakan. Begitu pula dikeluarkannya setiap kebijakan oleh pemerintah,
menimbulkan dampak yang dinamik di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan itu
saling mempengaruhi dari tingkat global dunia ke ranah nasional dan lokal.
Sebaliknya, dinamika masyarakat di tingkat lokal yang direspon oleh pemerintah
nasional, membawa dampak dan pengaruh pada tatanan global.
Semenjak
dikeluarkannya UU Otsus Bagi Provinsi Papua Tahun 2001, telah berdampak sangat
signifikan dalam kehidupan masyarakat Papua. Kehadiran bebrapa kebijakan
Pemerintah Pusat telah memunculkan paradoksal respon masyarakat. Bagi sebagaian
kalangan masyarakat Papua kehadiran kebijakan Pemerintah Pusat tersebut
direspon dengan penuh antusias dan optimistis, karena dinilai sebagai suatu
kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka menyelesaikan masalah Papua.
Bersamaan dengan itu bagi sebagaian kalangan masyarakat Papua yang lain
merespon kebijakan tersebut dengan sikap apatis dan pesimistis, karena dianggap
sebagai kebijakan yang tidak populer, kontroversial, dan menjadi momok atau
masalah baru dalam implementasi Otonomi Khusus. Menurut kelompok ini, pertama,
jika kebijakan tersebut dipaksakan, akan berimplikasi negatif terhadap
implementasi Otonomi Khusus, sekaligus dapat menjastifikasi ketidakpercayaan
masyarakat terhadap Pemerintah. Kedua kondisi paradoksal ini adalah suatu
kenyataan yang saat ini hingga beberapa waktu mendatang akan mewarnai dinamika
social politik kehidupan masyarakat di Papua. Kondisi ini perlu disiasati agar
tidak terjebak dalam pertentangan yang kerkepanjangan, yang bisa mengarah
menjadi kontra produktif dalam upaya membangun tanah Papua yang bermartabat.
Undang-undang
Otsus Papua telah dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2002.�� Hal ini merupakan suatu langkah maju yang
monomental bagi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.� Melalui� Undang-undang ini (lihat konsiderans
menimbang), Pemerintah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui
bahwa� penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa
keadilan, memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, mendukung terwujudnya
penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakan penghormatan terhadap hak
asasi manusia. Diakui pula bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan
alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat asli. Sebagai akibat dari hal tersebut, maka memunculkkan
kesenjangan antara Provinsi Papua dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Atas dasar pengakuan tersebut, maka dalam undang-undang tersebut juga memuat
komitmen Pemerintah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni: menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai
budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat dan menghargai kesetaraan dan
keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, serta memberi perlindungan
terhadap hak-hak dasar penduduk asli dan hak asasi manusia, supremasi hukum,
penegakan demokrasi, penghargaan terhadap pluralisme, dan penyelesaian masalah
pelanggaran hak asasi manusia penduduk asli Papua.
Undang-undang
Otsus Papua telah menghantar bangsa Indonesia khususnya rakyat Indonesia di
Provinsi Papua�
memasuki satu babakan baru�
dalam sejarah kehidupannya. Melalui undang-undang ini, rakyat Indonesia
di Provinsi Papua telah memiliki dasar hukum yang kuat secara normatif untuk
mempercepat kegiatan-kegiatan pembangunan dengan inisiatif dan prakarsa sendiri� secara
kreatif-inovatif, sehingga diharapkan mampu sejajar dengan rakyat Indonesia
di� provinsi lain.
Undang-undang
tersebut dapat dipandang sebagai instrument yang diharapkan mampu menstimulus
akselerasi pembangunan di Papua. Tesis ini didasarkan pada asumsi bahwa
kebijakan Otonomi Khusus Papua memberi ruang yang representative untuk
teraktualisasinya tiga nilai dasar pembangunan, yakni kecukupan (sustenance),
jati diri (self-esteem), dan kebebasan (freedom). Melalui kebijakan Otonomi
Khusus diharapkan dapat�
meningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi kebutuhan
pokok, peningkatan standar hidup, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai
cultural dan kemanusiaan.
Sebagai
pengejawantahan dari semangat tersebut, maka kebijakan Otonomi Khusus Papua
dilandasi atas 7 (tujuh) nilai dasar, yakni : (1)
perlindungan terhadap hak-hak penduduk asli Papua; (2) demokrasi dan kedewasaan
berdemokrasi; (3) penghargaan terhadap etika dan moral; (4) supremasi hukum;
(5) penegakan HAM; (6) penghargaan terhadap pluralisme;dan (7) persamaan
kedudukan , hak, dan kewajiban sebagai warga Negara. Nilai dasar tersebut
kemudian diinterpretasi dalam 5 (lima) prinsip, yakni PAPUA (Proteksi,
Affirmasi, Pemberdayaan, Universal, dan Akuntabilitas). Nilai dasar dan prinsip
sebagaimana tersebut, pada ranah operasional diaktualisasikan dalam bentuk
rumusan XXIV Bab dan 79 Pasal.
Permasalahan
yang kemudian muncul adalah sejak pemberlakuan kebijakan tersebut silih
berganti bermunculan sejumlah permasalahan yang cenderung mengganggu
implementasinya, baik dalam konteks internal (lokal) maupun eksternal
(nasional). Salah satu faktor yang dikategorikan sebagai faktor pengganggu
adalah munculnya sejumlah perundang-undangan/kebijakan nasional, yang
terindikasi menimbulkan kontradiktif dengan substansi Undang-undang Otsus
Papua. Paparan ini diharapkan dapat menguak berbagai persoalan tersebut secara proporsional,
meskipun diakui belum komprehensif karena keterbatasan ruang dan waktu.
Mengingat bahwa
otsus Papua merupakan suatu kebijakan nasional yang diatur dalam undang-undang,
Pemerintah Pusat merupakan pihak yang paling bertanggungjawab atas efektivitas
Otsus Papua. Dengan kewenangan yang dimiliki, Pemerintah Pusat dapat melakukan
segala hal baik untuk mengefektifkan Otsus Papua atau sebaliknya malah dapat� menghambat
efektivitas otsus Papua. Selain itu pihak yang juga bertanggungjawab terhadap
efektivitas Otsus Papua adalah Pemerintahan Daerah (baca: Pemprov, DPRP, &
MRP), melalui kewenangan yang dimiliki, Pemerintahan Daerah bertanggungjawab
pada ranah tehnis operasional dari kebijakan Otsus Papua.
Kondisi ini
tentunya menarik untuk dikaji, karena secara normatif konseptual Undang-undang
Otsus Papua memiliki sejumlah keistimewaan, baik muatannya maupun proses
penyusunannya, antara lain:
(1) kebijakan
otonomi khusus merupakan suatu hal yang baru di dalam kerangka penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia;
(2) materi
muatan yang tertuang dalam UU.No. 21 Tahun 2001 sangat komprehensif, karena
memuat banyak aspek (politik, hukum & HAM, sosial, budaya,� ekonomi, pertahanan dan keamanan);
(3) proses
penyusunan RUU ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat Provinsi
Papua, yang kemudian diusulkan dan setelah melalui proses pembahasan diadopsi
sebagai RUU usul inisiatif oleh DPR RI. Proses ini� berbeda dengan kebiasaan proses
penyusunan RUU lainnya� yang cenderung
tidak melibatkan pihak Daerah.
Keistimewaan
yang dimiliki oleh Undang-undang Otsus Papua ternyata tidak serta-merta memberi
jaminan terhadap penerimaan masyarakat.�
Sejumlah keistimewaan tersebut perlu diikuti dengan efektivitas
pelaksanaannya, sehingga dijamin mampu mengatarkan masyarakat Papua untuk
menapak kehidupan yang lebih layak dan bermarabat dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konteks ini diyakini bahwa dalam perspektif
politik ada sejumlah kebijakan yang berkontribusi terhadap belum efektifnya kebijakan
otonomi khusus, sehingga dinamika politik local semakin dinamis.
2. Kebijakan-kebijakan
yang mengiringi implementasi UU Otsus
a. Inpres
Nomor 1 Tahun 2003 tentang percepatan pelaksanaan pemekaran Provinsi Irian Jaya
sesuai Undang-undang No. 45 Tahun 1999.
Kehadiran Inpres
Nomor 1 Tahun 2003 tentang percepatan pelaksanaan pemekaran Provinsi Irian Jaya
sesuai Undang-undang No. 45 Tahun 1999, dapat dipandang sebagai suatu kebijakan
yang kotroversial dan telah mengakibatkan munculnya konflik norma (conflic of
norm) antara ketentuan Undang-Undang No 45 Tahun 1999 dengan Ketentuan� Undang-Undang No 21 Tahun 2001.
Sebagaimana
diketahui bahwa Inpres No. 1 Tahun 2003 yang dikeluarkan pada tanggal 27
Januari 2003 oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri,
menginstruksikan. kepada perangkat Pemerintah, yakni; Menteri Dalam Negeri,
Menteri Keuangan, Gubernur Provinsi Papua, dan Bupati/Walikota se Provinsi
Papua. Sedangkan Undang-undang Nomor 45 tahun 1999 tentang� pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah,
Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak
Jaya, dan Kota Sorong,� disahkan oleh
Presiden RI �Bacharuddin Jusuf Habibie�, pada tanggal 4 Oktober 1999. Kondisi
ini bermuara pada timbulnya ketidak pastian hukum, serta kebingungan bagi
pejabat publik (pemerintah) provinsi, kabupaten/kota di Papua dalam
penyelenggaraan pemerintahan, terutaman dalam menjalankan Undang-undang Otsus
Papua.
Selain itu
dikeluarkannya Perpu No. 1 Tahun 2008, yang telah di tetapkan sebagai Undang-Undang
No. 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Udang-undang No. 21 tahun 2001, juga
dianggap sebagai suatu kebijakan yang kontraproduktif. Materi muatan dalam� Perpu No. 1
Tahun 2008 sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi� Undang-undang No. 35 tahun 2008 tidak cukup
mampu menyelesaikan masalah Papua Barat. Perpu tersebut hanya mengatur� dua hal; (1)
menegaskan bahwa Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang sekarang
menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat; (2) Pemilihan Kepala Daerah di
Provinsi Papua dilaksanakan secara langsung. Dalam kaitan ini muncul sejumlah
pertanyaan kritis: (1) bagaimana dengan kedudukan MRP? apakah hanya 1 atau ada
disetiap ibukota provinsi? (2) bagaimana dengan jumlah kursi DPRD Papua Barat ? (3) bagaimana dengan teritorial keberlakuan
Perdasus? (4) bagaimana dengan pembagian dana Otsus? (5) bagaimana dengan
kewenangan Gubernur Papua Barat terhadap sejumlah kewenangan Pusat (politik
luar negeri, pertahanan-keamanan, fiskal-moneter, yustisia, & agama)? serta
sejumlah pertanyaan lain. Undang-undang 35 tahun 2008 tidak sedikitpun mengatur
hal-hal tersebut.
b. Regulasi
Daerah
Sebagai
konsekuensi dari penetapan otonomi khusus, maka di provinsi Papua diberlakukan
dua bentuk Peraturan Daerah, yakni: Peraturan Daerah Khusus yang disingkat
Perdasus dan Peraturan Daerah Provinsi yang disingkat Perdasi. Dalam konteks
ini kedudukan Perdasus dan Perdasi adalah sama, artinya yang satu tidak lebih
tinggi dari yang lainnya. Perdasus dibuat oleh DPRP bersama-sama dengan
Gubernur yang dalam penetapannya harus mendapat pertimbangan dan persetujuan
dari MRP. Sedangkan Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama dengan
Gubernur. Perdasus maupun Perdasi� kedua-duanya adalah Peraturan Daerah
Provinsi Papua dengan lingkup domain yang berbeda. Untuk menindaklanjuti
ketentuan-ketentuan dalam Perdasus dan Perdasi pada tahapan implementasi, maka
dibentuk Keputusan Gubernur.
Perdasus,
Perdasi, dan Keputusan Gubernur merupakan perangkat hukum Daerah yang strategis
dalam rangka implementasi Undang-undang No. 21 Tahun 2001. Jika pada
undang-undang lainnya membutuhkan penjabaran lebih lanjut dalam bentuk beberapa
Peraturan Pemerintah, maka berbeda dengan Undang-undang No. 21 Tahun 2001.
Undang-undang-undang ini hanya membutuhkan 1 (satu) Peraturan Pemerintah, yakni
tentang Majelis Rakyat Papua (MRP). Hal ini mengandung pengertian bahwa
perangkat hukum yang bersifat teknis operasional sebagai pelaksana
Undang-undang No. 21 Tahun 2001 adalah dalam bentuk Perdasus dan Perdasi.
Kelambatan dan/atau ketidakmampuan Daerah dalam merumuskan Perdasus dan Perdasi
akan berimplikasi signifikan terhadap implementasi undang-undang ini, bahkan
undang-undang ini menjadi tidak bermakna jika tidak ada Perdasus dan Perdasi.
Hingga memasuki
tahun ke 20, mejelang berakhirnya dana otonomi khusus setara 2% DAU, instrument
regulasi daerah yang diamanatkan sebagian besar sudah disusun. Akan tetapi
sejumlah masalah masih belum terjawab terutama regulasi tentang Komisi Hukum Ad
Hoc, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan regulasi tentang kewenangan daerah.
Terutama regulasi tentang kewenangan bagi Provinsi Papua dan Kabupaten/Kota
menjadi focus perhatian rakyat Papua, karena sejatinya UU Otsus bukan hanya
soal uang semata tetapi yang lebih substansi adalah kewenangan untuk mengatur
lebih besar, agar kebijakan afirmasi ini benar-benar terasa.
c. Kebijakan
Keuangan
Sejak
diberlakukannya kebijakan Otsus Papua, semua pihak sepakat bahwasanya wilayah
Provinsi Papua adalah yang sebelumnya menjadi wilayah Provinsi Irian Jaya. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 21 Tahun 2001, Pasal 1 huruf a,
bahwa Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi otonomi khusus
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Atas dasar
tersebut, maka dana dalam rangka Otsus Papua dibagi secara berkeadilan antara
provinsi dan kabupaten/kota se Papua. Sebagai konsekuensi dari pemahaman
tersebut, maka sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2007, semua kabupaten/kota
se Papua berdasarkan Undang-undang Otsus Papua mendapatkan bagian dari
pembagian dana otsus. Hal ini tentunya tidak menjadi masalah ketika Inpres No.
1 Tahun 2003 belum dikeluarkan, serta belum diikuti dengan pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Irian Jaya Barat.
Kondisi ini
tentunya akan berbeda jika eksistensi Provinsi Papua Barat semakin definitif
dengan terbentuknya DPRD Provinsi Irian Jaya Barat, hasil Pemilu 2004 maupun
terpilihnya Gubernur dan wakil Gubernur Provinsi Irian Jaya Barat, hasil
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung tahun 2006.� Defenitifnya eksistensi Provinsi Irian Jaya
Barat yang telah berubah menjadi Provinsi Papua Barat, tentunya akan
memunculkan permasalahan baru. Terutama terkait dengan pemanfaatan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Papua, yang bersumber dari dana dalam
rangka otonomi khusus, untuk membiayai program pembangunan kabupaten/kota di
wilayah Papua Barat.
Salah satu
prinsip dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah �batas teritorial�, sebagai
locusnya. Hal ini mengandung arti bahwa suatu daerah otonom memiliki batas
wilayah dan tidak dibolehkan melampaui batas tersebut kecuali dalam kerangka
kerjasama. Dengan demikian maka akomodasi� program-kegiatan dan penyediaan dana
bagi kabupaten/kota di wilayah Provinsi Papua Barat dalam� Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Provinsi Papua seperti yang terjadi saat ini nyata-nyata merupakan suatu
pelanggaran dan kerancuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pembagian dan
pengelolaan dana dalam rangka otonomi khusus Papua juga menjadi unsur yang
berimplikasi terhadap efektivitas otonomi khusus Papua. Dana dalam rangka
otonomi khusus Papua selama � 6 (enam) tahun anggaran (2002 s/d 2007), dibagi
hanya berdasarkan pada kesepakatan antara Gubernur Provinsi Papua dan para
Bupati/Walikota se Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat). Sedangkan
pengeloloaanya dilakukan berdasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri), yang telah diubah beberapa kali, terakhir Permendagri No. 59
Tahun 2006.
Uraian diatas
menunjukan bahwa pembagian dan� pengeloloaan dana dalam rangka otonomi
khusus Papua selama � 6 (enam) tahun anggaran (2002 s/d 2007), dilakukan tidak
berdasarkan tuntunan Undang-undang No. 21 Tahun 2001. Pada prinsipnya
Undang-undang No. 21 Tahun 2001, Pasal 34 ayat (7) menyebutkan bahwa Pembagian
penerimaan dalam rangka otonimi khusus Papua antara Provinsi Papua dengan
kabupaten/kota se Papua�
diatur secara adil dan berimbang dengan Perdasus, dengan
memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal. Dalam hal
penyusunan, pelaksanaan, perubahan, dan perhitungan, serta pertanggungjawaban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Undang-undang No. 21 tahun 2001,
Pasal 36 ayat (3) memberi arahan didasarkan pada Perdasi. Akibatnya dana
tersebut cenderung tidak tepat sasaran dan tidak tepat guna. Selain itu dalam
struktur Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Papua, sejak
pemberlakuan kebijakan otonomi khusus Papua, tidak ditemukan besaran dana dalam
rangka otonomi khusus Papua yang dialokasikan 30 % untuk aspek pendidikan dan
15 % untuk aspek kesehatan, padahal Undang-undang No. 21 Tahun 2001,
mengisyaratkan hal tersebut
d. Kebijakan
Pemilu
1) Pemilu 2004
di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
Dalam konteks
pelaksanaan otonomi khusus Papua, keberhasil penyelenggaraan Pemilu 2004,
ternyata meninggal sejumlah masalah yang perlu dicermati. Keberhasilan Pemilu
2004 ternyata meninggalkan sejumlah implikasi terhadap� kebijakan Otsus Papua. Beberapa
persoalan yang mengemuka dalam proses pelaksanaan Pemilu 2004,� dapat diuraikan sebagai berikut:
a.� Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam ketetapannya
mengenai daerah pemilihan, membagi daerah pemilihan di Papua menjadi dua, yakni
daerah pemilihan Papua dan daerah pemilihan Irian Jaya Barat. Pembagian daerah
pemilihan ini tentunya�
berimplikasi terhadap pelaksanaan otonomi khusus Papua, karena
bertentangan dengan� Undang-undang No. 21
tahun 2001, pasal 1 huruf a, Provinsi papua h�dala Provinsi Irian Jaya yang
diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal
ini bermakna bahwa wilayah Provinsi Papua meliputi seluruh wilayah yang
sebelumnya bernama Irian Jaya, sebagaimana disebutkan dalam Tambahan Lembaran
Negara RI nomor 4151 sebagai penjelasan atas Lembaran Negara RI tahun 2001
nomor 135, disebutkan bahwa �� Wilayah Provinsi Papua pada saat ini terdiri
atas 12 kabupaten dan 2 kota, yang berbatasan disebelah utara dengan Samudera
Pasifik, di sebelah selatan dengan Provinsi Maluku dan Laut Arafuru, dik
sebelah barat dengan Provinsi maluku dan Maluku Utara, dan sebelah timur dengan
Negara Papua New Guinea.
b.� Menindaklanjuti penetapan KPU mengenai daerah
pemilihan sebagaimana dimaksud, maka KPU menetapkan pula quota kursi bagi
masing-masing daerah pemilihan.
Berdasarkan
keputusan KPU, maka kursi untuk calon anggota DPR RI untuk daerah pemilihan
Papua 10 kursi sedangkan untuk daerah pemilihan Irian Jaya Barat 3 kursi.
Penetapan ini tidak hanya bertentangan dengan Undang-undang No. 21 Tahun 2001,
tetapi juga bertentangan dengan Undang-undang No. 12 Tahun 2003 Tentang
Pemilihan Umum. Dalam penjelasan pasal 48, ayat 1 huruf b Undang-undang No. 12
Tahun 2003, disebutkan bahwa �Jumlah kursi untuk
anggota DPR pada setiap provinsi dialokasikan tidak kurang dari jumlah kursi
provinsi sesuai Pemilu 1999�.
Jika KPU
konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan ketentuan ini, maka jumlah kursi
untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) daerah pemilihan Provinsi
Papua adalah 13 kursi bukan 10 kursi (Pemilu 1999 jumlah kursi untu anggota DPR
daerah pemilihan Irian Jaya adalah 13 kursi); (c) Penetapan jumlah kursi untuk
DPR Papua (DPRP) sebanyak� 56 kursi (45
kursi berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 2003 dan 11 kursi berdasarkan
Undang-undang No. 21 tahun 2001), telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hal ini berbeda dengan penetapan 44 kursi bagi DPRD Provinsi
Irian Jaya Barat (35 kursi berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 2003 dan 9
kursi berdasarkan Undang-undang No. 21 Tahun 2001). Penetapan quota kursi ini
nyata-nyata bertentangan dengan Undang-undang No. 21 Tahun 2001. Berdasarkan
ketentuan pasal 6 ayat (4) Undang-undang No. 21 Tahun 2001, disebutkan: � Jumlah anggota DPRP adalah 1� (satu seperempat) kali dari
jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan�.� Pasal ini
menunjukan bahwa jumlah 1� (satu seperempat) kali hanya diberlakukan pada DPRP
(Dewan Perwakilan Rakyat Papua) bukan DPRD Papua Barat.
2) Pemilihan
Kepala Daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
Memperhatikan
amanat UUD 1945, Pasal 18 B, menyebutkan� �Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa�,
maka di dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 juga diakui dan dihormati
daerah-daerah yang bersifat khusus atau istimewa, seperti Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam ,Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
serta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Materi muatan yang terkandung dalam
ketentuan Undang-undang No. 32 Tahun 2004, Pasal 225 dan 226 ayat (1)
sebagaimana tersebut mengandung makna bahwa materi muatan Undang-undang No. 32
Tahun 2004 diberlakukan juga bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang No. 34
tahun 1999 Tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Undang-undang No.44 Tahun
1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, jo
Undang-undang No. 18 Tahun 2001,� Tentang
Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, jo Undang-undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, dan
Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Provinsi Papua,
Pengaturan
mengenai pemilihan kepala daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur) berdasarkan
Undang-undang No. 21 Tahun 2001, Pasal 7 ayat (1) huruf a DPRP mempunyai tugas
dan wewenang: memilih Gubernur dan Wakil Gubernur. Selain itu pada pasal� 11 ayat (3)
disebutkan bahwa tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan
dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan . Analisis terhadap
pasal-pasal dalam Undang-undang Otsus yang mengatur mengenai pemilihan kepala
daerah sebagaimana tersebut di atas, menunjukan bahwa yang berwenang memilih
Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Papua adalah DPRP. Dalam prosesnya
bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur harus mendapatkan pertimbangan dan
persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP). Pertimbangan dan persetujuan Mejelis
Rakyat Papua (MRP) hanya terkait dengan pemenuhan persyaratan sebagaimana
diatur dalam pasal 12 huruf a Undang-undang Otsus, yaitu mengenai keaslian
bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur sebagai orang Papua.
Pemilihan Kepala
Daerah� yang
digelar di Provinsi Papua pada tahun 2005 untuk memilih Gubernur dan Wakil
Gubernur, ternyata� tidak didasarkan pada
ketentuan Undang-undang No. 21 Tahun 2001. Jika Pilkada di Provinsi Papua
dasarkan pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 21 Tahun
2001, maka seharusnya yang berwenang menyelenggarakan dan melakukan pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Dewan perwakian Rakyat Papua (DPRP), sesuai
dengan ketentuan pasal 7 ayat (1) huruf a, sebagaimana tersebut di atas. Dalam
kenyataannya Pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Papua yang diselenggarakan
pada tahun 2005, untuk memilih� Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan
secara langsung oleh rakyat (Pilkadasung). Pilkadasung di Provinsi Papua
sebagaimana dimaksud, ternyata juga tidak sepenuhnya berdasarkan ketentuan
Undang-undang No. 32 Tahun 2004, sebagaimana yang digunakan oleh
provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa
berdasarkan ketentuan Undang-undang No.32 Tahun 2004, pasal 57 ayat (1)
disebutkan bahwa � Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang
bertanggungjawab kepada DPRD�. Berdasarkan Peraturan Pemerintah pengganti
Undang-undang (Perpu) No. 3 Tahun 2004, ketentuan pasal� 57 ayat (1) Undang-undang No. 32 Tahun
2004, telah mengalami perubahan, yakni�
KPUD dalam menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah� bertanggungjawab kepada rakyat
bukan kepada� DPRD.
Uraian ini
menunjukan bahwa Pilkadasung�
berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dilaksanakan secara
langsung di bawah kendali KPUD sebagai penyelenggara. Dalam kenyataannya
Pilkasung untuk memilih Gubernur dan wakil Gubernur yang berlangsung di
Provinsi Papua tidak menggunakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang 32 Tahun 2004 tersebut. Dalam kenyataannya Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur di Provinsi Papua dilakukan secara langsung oleh rakyat akan
tetapi pesertanya (pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur)� harus diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Papua (DPRP). DPRP memiliki wewenang untuk melakukan proses penyaringan
terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh partai
pilitik atau gabungan partai politik tersebut. Hasil penyaringan DPRP kemudian
disampaikan kepada MRP untuk mendapat pertimbangan dan persetujuan dalam hal
keaslian calon sebagai orang papua.
Kalau demikian
halnya maka akan muncul suatu pertanyaan kritis,� apa dasar penyelenggaraan Pilkadasung� tahun 2005 di Provinsi Papua untuk memilih
Gubernur dan wakil Gubernur ? ternyata jawabannya adalah Peraturan Pemerintah
No. 6 Tahun 2005. Penyelenggaraan Pilkadasung di Provinsi Papua ternyata hanya
di dasarkan pada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005.
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005,�
Pasal 139 menyebutkan bahwa �Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di
Provinsi Papua dilakukan secara langsung oleh rakyat, yang pencalonannya diusulkan
melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua oleh Partai Politik atau
Gabungan Partai Politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas
persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua atau
15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum
anggota DPRD.
Paparan di atas
semakin memperjelas bahwa dasar penyelenggaraan Pilkadasung di Provinsi Papua
hanyalah dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Seandainya berbagai ketentuan dalam
peraturan pemerintah tersebut sesuai atau merupakan penjabaran/interpretasi
dari ketentuan yang ada dalam suatu undang-undang tentunya hal ini tidak
menimbulkan masalah. Akan tetapi jika pengaturan dalam peraturan pemerintah
tersebut tidak sesuai dan/atau tidak dalam konteks menjabarkan ketentuan yang
ada dalam suatu undang-undang tentunya hal ini menimbulkan masalah.
Dalam hal
pelaksanaan Pilkadasung di Provinsi Papua tahun 2005 untuk memilih Gubernur dan
Wakil Gubernur� yang
didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 sebagaimana tersebut di
atas nyata-nyata tidak sesuai dengan pengaturan yang terdapat dalam
Undang-undang No. 21 Tahun 2001 maupun Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Sebagai
peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No.32 tahun 2004 (undang-undang
pemda), seharusnya Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 hanya menjabarkan
lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut.
Peraturan pemerintah No. 6 Tahun 2005 tidak pada posisi membuat aturan baru
yang sebelumnya tidak diatur dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, seperti
yang terjadi saat ini. Hal yang sama juga terjadi pada Provinsi Papua Barat.
Bahkan pelaksanaan Pikada di Papua Barat tahun 2006, untuk memilih Gubernur dan
Wakil Gubernur, ternyata tidak dilaksanakan berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Artinya bahwa pelaksanaan Pilkada di provinsi
ini tidak sepenuhnya berdasarkan pada Undang-undang No. 21 Tahun 2001,� tidak
berdasarkan pada� Undang-undang No. 32
Tahun 2004, serta juga tidak berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005.
Sebagaimana yang
telah dibahas pada bagian terdahulu bahwa apabila didasarkan pada ketentuan
Undang-undang No. 21 Tahun 2001 maka pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
harus dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Ketentuan ini jelas
tidak berlaku bagi Provinsi Papua Barat, sebab Provinsi Irian Jaya Barat tidak
identik dengan Provinsi Papua, dan DPRD Papua Barat bukan DPRP, meskipun dalam
hal tertentu ada pihak-pihak yang karena kelalainnya mengidentikan Provinsi
Papua dengan Papua Barat seperti dalam hal penetapan qouta kursi DPRD provinsi
dsb. Pilkadasung di Provinsi Papua Barat untuk memilih Gubernur dan Wakil
Gubernur juga tidak didasarkan pada ketentuan Undang-undang No. 32 Tahun 2004,
maupun Peraturan�
Pemerintah No. 6 Tahun 2005. Dalam ketentuan Pasal 141 Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2005, disebutkan bahwa: �Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur hasil pemekaran di Provinsi Papua sebelum dikeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004, dilaksanakan selambat-lambatnya 4 (empat) bulan
setelah diselesaikannya Pasal 73 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004.
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud, dilaksanakan
setelah terbentuknya Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagaimana dimaksud Pasal 74
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004. Dalam hal Majelis Rakyat
Papua (MRP) sebagaimana dimaksud belum terbentuk, penetapan pasangan bakal
calon Gubernur dan Wakil Gubernur menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur
pada pemilihan sebagaimana dimaksud� dilaksanakan oleh DPRD Provinsi yang
bersangkutan. Secara faktual terbukti bahwa dalam pemilihan Kepala daerah di
Provinsi Papua Barat ketentuan sebagaimana tersebut tidak
dilaksanakan/dipatuhi.
Berdasarkan
berbagai uraian sebagaimana tersebut di atas, maka jelaslah bahwa pemberlakuan
Undang-undang No. 35 tahun 2008 tidak mampu mengakomodir berbagai permasalahan
yang mengemuka dalam proses implementasi kebijakan Otsus Papua. Undang-undang
tersebut sangat dangkal dan tidak dapat diposisikan sebagai instrumen yang
dapat mendorong efektivitas implementasi kebijakan Otsus Papua sesuai dengan
perkembangan dan fakta politik kekinian di Papua (adanya Provinsi Papua &
Provinsi Papua Barat). Undang-undang tersebut juga tidak memperhatikan
perkembangan Papua dimasa datang, dan karena dapat dikatakan bahwa spektrum
dari undang-undang dimaksud sangat sempit dan tidak prospektif.
Wilayah Papua
kaya dengan sumberdaya alam, tetapi masih tertinggal dibandingkan dengan daerah
lain di Indonesia, di sisi lain Otonomi khusus memberikan tambahan kewenangan
dan dana yang besar pula, tetapi pencapaian tingkat kesejahteraan masyarakat
asli Papua masih rendah. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat asli Papua
ini dapat dilihat indikasinya dari permasalahan yang menjadi program utama
Otonomi Khusus Papua, yaitu pembangunan di bidang Pendidikan, Kesehatan,
Perekonomian Rakyat dan pembangunan infrastruktur.
Keempat
prioritas pembangunan dalam rangka otonomi khusus tersebut mengalami geliat
pembangunan pasang surut, sebagai implikasi dari dinamika politik yang terjadi
secara nasional, bahkan internasional. Diantara geliat pembangunan dan besarnya
kucuran dana Otsus, tentu masih saja ada kondisi kontras. Sebagian besar orang
asli Papua seakan berkutat dalam kondisi kemiskinan dan termarginalkan sehingga
cenderung menuntut perbaikan nasib mereka. Bahkan tuntutan itu dari waktu ke
waktu terus menguat menjadi aspirasi pemisahan Tanah Papua dari NKRI.
Indikasi
kegagalan ini, menurut beberapa tokoh Papua merupakan kesalahan pendekatan
pembangunan yang lebih menekankan pendekatan politik dan keamanan disbanding
pendekatan kesejahteraan. Akibat dari pendekatan yang seperti ini, telah
menimbulkan ketergantugan yang sangat kuat di kalangan masyarakatasli Papua.
Ketergantugan juga Nampak dalam bentuk ketergantugan Pemerintah Daerah
(Kabupaten/Kota) kepada Pemerintah Provinsi, maupun ketergantungan Pemerintah
Provinsi, Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Pusat.
Selain itu,
fakta yang terjadi setelah sekitar 10 (sepuluh) tahun UU Otsus Papua
diundangkan, pelaksanaannya masih jauh berbeda dengan sasaran utama yang
dikehendaki. Hasil berbagai studi awal yang dilakukan, terdapat beberapa
masalah yang masih menjadi kendala dalam pelaksanaan kebijakan otonomi khusus
tersebut, yaitu:
a.� Pemahaman terhadap UU Otsus sejauh ini hanya
sebatas pada dana otsus, bukan berkaitan dengan aspek mendasar dari UU Otsus
yaitu hubungan dan pembagian kewenangan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota)
dalam melaksanakan substansi UU Otsus.
b.� Adanya penyimpangan dalam melaksanakan
substansi UU Otsus yang berdampak pada adanya perubahan kelembagaan dan
pemerintahan daerah di Papua yang mengabaikan nilai-nalai filosofi UU Otsus.
c.� Kebijakan politik di tingkat pusat dan
provinsi yang tidak konsisten, bersifat reaktif dan berorientasi jangka pendek
menjadikan wilayah pelaksanaan UU Otsus menjadi tidak jelas. Seharusnya tetap
berpandangan bahwa UU Otsus tetap diberlakukan di tanah Papua, berapa pun
jumlah provinsi yang dibentuk.
Hasil kajian
yang dilakukan oleh Pusat Kajian Demokrasi Universits Cenderawasih tahun 2010
merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut: Sejak diberlakukannya pada
tanggal 21 November 2001, dalam implementasi UU Otsus mengalami berbagai
hambatan, yaitu: Pertama, berbagai kelemahan formulasi yuridis yang terdapat
dalam materi muatan pasal-pasalnya, Kedua, kelemahan sebagai akibat kebijakan
Pemerintah Pusat yang menyimpang dari substansi UU Otsis, Ketiga, kelemahan
kebijakan pemerintah provinsi yang tidak melaksanakan substansi UU Otsus secara
konsisten, serta Keempat, masih banyaknya perbedaan persepsi dan pemahaman
substnasi UU Otsus dari berbagai pemangku kepentingan di tingkat nasional dan
di Papua. Hambatan-hambatan tersebut bedampak negatif, dalam bentuk: Pertama,
materi muatan UU Otsus sudah tidak sesuai dengan penyelenggaraan pemerintahan
di Papua, dan tidak sesuai� lagi kondisi
objektif dinamika sosial politik di Papua, Kedua, implementasi UU Otsus yang
tidak efektif dan tidak sesuai lagi dengan UU Otsus, serta, Ketiga, banyaknya
sikap dan reaksi dalam bentuk protes penolakan yang dilakukan berbagai unsur
masyarakat, terutama masyarakat asli Papua (yang berada di Papua maupun di luar
Papua) terhadap pelaksanaan UU Otsus yang tidak sesuai lagi dengan substansi
atau materi muatan UU Otsus.
Kesimpulan
Dalam penelitian ini dapat
dikemukakan kesimpulan bahwa dinamika politik lokal di Papua, adalah disebabkan
karena persoalan implementasi UU Otsus Papua. Dinamika tersebut disebabkan
karena dikeluarkannya berbagai kebijakan baik oleh Pemerintah Pusat yang diniai
tidak konsisten dengan materimuatan yang ada dalam UU Otsus Papua. Sehinggan
Otsus Papua sebagai instrumen akselerasi pembangunan di Papua sampai dengan 10
tahun pertama belum terwujud secara efektif, dan pada beberapa aspek masih
memerlukan pembenahan dan atau peningkatan. Di sisi lain pemberlakuan Perpu No.
1 Tahun 2008 yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang No. 35 Tahun 2008,
yang diharapkan menjadi instrumen yang dapat meyelesaikan berbagai permasalahan
yang mengemuka seiring dengan perkembangan dan fakta politik kekinian di Papua
(terdapat 2 provinsi), ternyata jauh dari harapan. Perpu dan undang-undang
tersebut bahkan telah menimbulkan masalah baru yang cenderung kontraproduktif.
Hal ini semakin mempertegas bahwasanya masih banyak diantara komponen bangsa
dalam lingkup lokal (Papua) maupun nasional (Indonesia) yang belum memahami
secara baik dan benar hakikat otsus Papua. Penilaian ini terbukti dari adanya
berbagai persepsi, penafsiran bahkan kebijakan yang keliru dari berbagai pihak
(elit politik, praktisi, akademisi, maupun masyarakat awam) terhadap materi
muatan yang termaktub dalam undang-undang tersebut.
Adanya kebijakan Pemerintah pasca
pemberlakuan Otsus Papua yang kontradiktif (Inpres No.1 Tahun 2003, Perpu No. 1
tahun 2008/UU.No.35 Th 2008, Pemilu dan Pilkada yang tidak taat asas, dsb)
merupakan pembenaran (jastification) atas penilaian tersebut. Oleh karena itu
perlu adanya komitmen dari semua pihak untuk melaksanakan Undang-undang Otsus
Papua secara murni, konsisten, dan konsekuen.
BIBLIOGRAFI
Dahl Robert, A. (2001). Perihal
Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat, judul asli
On Democracy, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Dahl, Robert Alan, & Zainuddin,
A. Rahman. (2001). Perihal demokrasi: Menjelajahi teori dan praktek
demokrasi secara singkat. Yayasan Obor
Indonesia.
Danim, Sudarwan. (2000). Pengantar studi penelitian kebijakan. Jakarta:
Bumi Aksara, 89.
Danim, Sudarwan. (2005). Pengantar
Studi Penelitian Kebijakan, Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Fadillah, Putra. (2001). Paradigma
kritis dalam studi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Gaffar, Afan. (1983). Beberapa
aspek pembangunan politik: sebuah bunga rampai. (No Title).
Islamy, Irfan. (1997). Prinsip-prinsip
perumusan kebijaksanaan negara. Bumi Aksara.
KAHO, Josef Riwo. (1982). Analisa
hubungan pemerintah pusat dan daerah di Indonesia. Bina Aksara.
Mas�oed, Mochtar, & MacAndrews,
Colin. (1981). Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Mas�oed, Mohtar. (2006). colin
MacAndrews, PERBANDINGAN SISTEM POLITIK. Gadjah Mada University Press.
Jogjakarta.
Miriam, Budiarjo. (1981). Partisipasi
Dan Partai Politik, Sebuah Bunga Rampai, Glora. Surakarta: Aksara Pratama.
Nugrahani, Farida, & Hum, M.
(2014). Metode penelitian kualitatif. Solo: Cakra Books, 1(1),
3�4.
Politik, Dasar Dasar Ilmu. (1992). Miriam
Budiardjo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pratama, Satriyogi, & Adnan,
Muhammad. (2014). Perubahan Pola Rekruitmen Calon Anggota Legislatif Partai
Keadilan Sejahtera Pasca Ditetapkan Sebagai Partai Terbuka Pada Pemilu 2014 Di
Kota Semarang. Journal of Politic and Government Studies, 3(2),
341�355.
Copyright holder:
Untung
Muhdiarta, Diego Romario
de Fretes, Ferinandus
L. Snanfi (2023)
|
First publication right:
Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
|
This article is licensed under:
|