Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 11, November 2022

 

Kajian Penerapan Standar Pelayanan Farmasi Klinik di Puskesmas Rawat Inap Jakarta Tahun 2015

 

Waode Nadia, Delina Hasan, Yetty Hersunaryati

Universitas Pancasila, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Pelayanan farmasi klinik di puskesmasdilaksanakan oleh apoteker merupakan peran penting melindungi pasien dari penggunaan obat yang tidak rasional utamanya yang terjadi di puskemas atau yang biasa disebut dengan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Jenis penelitian non eksperimental, sampel penelitian adalah total populasi. Metode analisis deskriptif denganangket dan wawancara. Melakukan Pengkajian resep 100%; 12,5% tidak melakukan komunikasi bila inkompatibilitas, 12,5% tidak melakukan informasi penyimpanan obat, 12,5% tidak melakukan informasi efek samping dan cara penanggulangannya. 16 apoteker 100% menjawab pertanyaan dari pasien dan tenaga kesehatan lain, 7 apoteker (43,8%)tidak menyediakan brosur kesehatan.15 apoteker (93,8%) memperagakan dan menjelaskan pemakaian obat tertentu;(81,3%) tidak memiliki ruang konseling; 11 apoteker (68,8%) tidak melakukan konseling TB. 6 apoteker (37,5%) melakukan visite bersama ;15 apoteker (93,8%) tidak melakukan visite mandiri pada semua pasien. (87,5%) menyediakan formulir efek samping obat; 12 apoteker (75%) tidak melakukan identifikasi pemantauan terapi pasien yang menerima obat lebih dari 5 jenis; 14 apoteker (87,5%) tidak melakukan pemantauan terapi untuk obat dengan indeks terapi sempit dan obat yang menyebabkan reaksi obat yang merugikan. 14 apoteker (87,5%)melakukan pelaporan evaluasi penggunaan obat. Faktor yang mempengaruhi penerapanpelayanan farmasi klinik puskesmas rawat inap diJakarta adalah belum adanya regulasi di puskesmas yang mengikat dalam pelaksanaan farmasi klinik serta dukungan penuh dari pimpinan dalam menyediakan sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana pelayanan farmasi klinik di puskesmas. Pelayanan farmasi klinik di puskesmas rawat inap sudah terlaksana namun butuh peningkatan agar pelayanan farmasi klinik lebih berkualitas.

 

Kata kunci: Standar Pelayanan Farmasi Klinik, Puskesmas.

 

Abstract

Clinical pharmacy services in puskesmas carried out by pharmacists are an important role in protecting patients from irrational drug use, especially those that occur in puskemas or what is commonly called first-level health facilities. This type of research is non-experimental, with the study sample being the total population. Descriptive analysis method by filling out questionnaires and interview techniques. 100% prescription review; 12.5% did not communicate when incompatibility, 12.5% did not do drug storage information, 12.5% did not inform side effects and how to overcome them. 16 pharmacists 100% answered questions from patients and other health workers, 7 pharmacists (43.8%) did not provide health brochures. 15 pharmacists (93.8%) demonstrated and explained the use of certain medications; (81.3%) did not have a counseling room; 11 pharmacists (68.8%) did not do TB counseling. 6 pharmacists (37.5%) made joint visite ;15 pharmacists (93.8%) did not make independent visite on all patients. (87.5%) provided a form side effects; 12 pharmacists (75%) did not identify the drug and patients were at high risk of drug side effects. 14 pharmacists (87.5%) did not conduct therapeutic monitoring for drugs with a narrow therapeutic index and drugs that caused adverse drug reactions. 14 pharmacists (87.5%) reported an evaluation of drug use. Factors that affect the implementation of clinical pharmacy services for inpatient puskesmas in Jakarta are the absence of regulations in puskesmas that are binding on the implementation of clinical pharmacy and full support from the leadership in providing human resources and facilities and infrastructure for clinical pharmacy services at puskesmas. Clinical pharmacy services at inpatient health centers have been implemented but need improvement so that clinical pharmacy services are of higher quality.

 

Keywords: Clinical Pharmacy Service Standards, Health Centers

 

Pendahuluan

Pelayanan farmasi klinik di puskesmas sangat penting untuk dilakukan karena dapat memantau penggunaan obat rasional dan memperkecil terjadinya kesalahan pengobatan di masyarakat seperti yang telah dihimbau oleh pemerintah saat ini. Harapan ini hanya dapat terjadi jika pelayanan farmasi klinik berjalan secara optimal dan dikerjakan langsung oleh professional apoteker. Seorang professional apoteker juga harus mempunyai kemampuan dalam membangun komunikasi aktif dengan professional kesehatan yang lainnya dengan tujuan untuk penetapan terapi pasien yang dapat dilakukan antara lain dengan cara pemantauan resep dan pelaporan efek samping obat sehingga penggunaan obat rasional dapat tercapai dan juga efektif dalam mengurangi biaya pelayanan kesehatan. Dengan pelayanan ini terbukti dapat menurunkan angka kematian secara signifikan (Supardi et al., 2012).

Berdasarkan dari hasil survey Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat kesehatan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa masih 25% puskesmas perawatan yang sudah menerapkan pelayanan kefarmasian sesuai standar (Shah & Chewning, 2006). Keadaan ini dapat mendeskripsikan bahwa sebagian besar puskesmas perawatan belum menerapkan pelayanan kefarmasian dengan baik. Salah satu pelayanan kefarmasian yang dapat mewujudkan pelayanan secara komprehensif adalah menjalankan peran fungsional apoteker secara komprehensif pula. Peran itu adalah tugas pokok tentang farmasi klinik, namun peranan ini belum dirasakan optimal oleh masyarakat pada umumnya. Penelitian yang sejalan tentang pelayanan kefarmasian oleh Sudibyo S, Raharni, Andi LS, Max JH (Supardi et al., 2012), menunjukkan hasil bahwa pelayanan kefarmasian di puskesmas pada umumnya belum berjalan optimal seperti idealnya. Masih banyaknya puskesmas baik rawat inap maupun non rawat inap yang tidak mempunyai apoteker, sehingga pelayanan obat dilakukan oleh tenaga non farmasi. Bila mana ada puskesmas tertentu yang telah memiliki apoteker namun perannya dalam melakukan pelayanan kefarmasian belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat maupun oleh tenaga professional kesehatan lainnya, sehingga eksistensi peran apoteker di masyarakat masih sangat jauh tertinggal (Wiratama Putra, 2023). Dari latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka dilakukanpenelitian tentang kajian penerapan standar pelayanan farmasi klinik di puskesmas rawat inap yang ada di Jakarta tahun 2015. Penelitian ini ingin mengetahui sejauh mana penerapan pelayanan farmasi klinik yang telah dilakukan pada puskesmas rawat inap di Jakarta dan juga adanya penelitian ini bertujuan dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pelayanan farmasi klinik di puskesmas rawat inapdi Jakarta.

 

Metode Penelitian

Rancangan penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental yakni menggambarkan apa yang ada pada suatu waktu tertentu. Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah rancangan study Cross Sectional dengan alasan bahwa variabel independent dan variabel dependent diobservasi sekaligus pada waktu yang sama. Variable independent dari penelitian ini merupakan input dan proses, sedangkan variable dependentnya adalah output penelitian.

Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, pendekatan kuantitatif menggunakan angket sedangkanpendekatan kualitatif menggunakan tehnik wawancara dalam rangka memperoleh gambaran faktor pendukung penerapan pelayanan kefarmasian khususnya pelayanan farmasi klinik di puskesmas rawat inap. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tak berstruktur yang manatidak menggunakan pedoman wawancara secara sistematis. Pedoman yang digunakan hanya garis besar dari masalah yang akan diteliti.

Penelitian ini dilaksanakan di 8 Puskesmas Kecamatan di Jakarta, yaitu Puskesmas Kecamatan Menteng, Puskesmas Kecamatan Kebayoran baru, Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama, Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, Puskesmas Kecamatan Kebon Jeruk, Puskesmas Kecamatan Grogol Petamburan, Puskesmas Kecamatan Tambora, Puskesmas Kecamatan Penjaringan.

 

Hasil dan Pembahasan

Gambaran umum Puskesmas di Jakarta

Data Kementerian Kesehatan RI bahwa Provinsi DKI Jakarta memiliki sarana pelayanan kesehatan masyarakat Puskesmas yaitu 340 unit yang terbagi menjadi Puskesmas rawat inap 30 unit dan Puskesmas non rawat inap310 unit. Pada tahun 2015 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan yang didasari adanya Permenkes 75 tahun 2014 tentang puskesmas dan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No 1024 tahun 2014 tentang penetapan Puskesmas Kecamatan rawat inap menjadi Rumah Sakit Umum kelas D (Umar, 2020). Dengan adanya penetapan kebijakan tersebut terdapat 15 Puskesmas Kecamatan yang telah ditetapkan menjadi Rumah Sakit Umum kelas D, sehingga Puskesmas rawat inap menjadi 14 unit di Jakarta dan 1 unit di Kepulauan Seribu. Untuk wilayah Jakarta terdapat 8 Puskesmas Kecamatan yang memiliki layanan rawat inap, sedangkan 6 Puskesmas lainnya hanya melayani perawatan pasien bersalin (PONED).

����������� Berdasarkan karakteristik wilayah maka puskesmas di Provinsi DKI Jakarta dikatagorikan sebagai puskesmas perkotaan dimana memiliki karakteristik pelayanan yang diberikan adalah memprioritaskan pelayanan UKM dengan melibatkan partisipasi masyarakat, pelayanan UKP dilaksanakan oleh puskesmas dan fasilitas pelayanan lain yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Pelayanan puskesmas perkotaan yang diberikan adalah berdasarkan kebutuhan dan permasalahan yang sesuai dengan pola kehidupan masyarakat perkotaan. Sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 puskesmas di Provinsi DKI Jakarta mengalami penambahan walaupun tidak terlalu berarti. Tetapi secara jenis pelayanan Puskesmas di Provinsi DKI Jakarta terus berkembang baik jenis pelayanan UKM maupun pelayanan UKP yang diberikan.������ �����������

ProfilApoteker berdasarkan Usia, Jenis kelamin, dan Masa kerja

Pada penelitian ini diketahui bahwa apoteker yang menjadi subjek penelitian sebanyak 16 orang, dengan usia 24-29 tahun 2 orang (12,5%), 30-35 tahun 8 orang (50 %), 36-40 tahun 4 orang (25%), dan diatas 40 tahun 2 orang (12,5%). Jenis kelamin apoteker pada penelitian ini didominasi oleh wanita sebanyak 14 orang (87,5%) dan pria 2 orang (12,5%). Masa kerja apoteker di puskesmas dengan waktu 1-5 tahun sebanyak 12 orang (75%), 6-10 tahun sebanyak 2 orang (12,5%), dan masa kerja diatas 10 tahun sebanyak 2 orang (12,5%).

Kondisi umur responden dalam hal ini berkaitan dengan pengalamannya dalam menjalankan profesinya sebagai apoteker, idealnya semakin lama seorang apoteker menjalankan profesinya maka memiliki nilai tambah dalam melakukan pelayanan kefarmasian oleh karena pengalaman selama bertahun-tahun sebagai sumber informasi pengobatan. Seperti yang dikatakan sastrohadiwiryobahwa lamanya seseorang bekerja akan sangat menentukan banyaknya pengalaman yang dimilikinya (Sastrohadiwiryo, 2002). Hasil penelitian didapatkan bahwa masa kerja seorang apoteker tidak mempengaruhi apakah apoteker melakukan pelayanan farmasi klinik atau tidak di puskesmas. Hal ini dapat disebabkan banyak faktor antara lain, SDM apoteker yang masih kurang, belum ada standard pelayanan yang mengikat khusus pelayanan farmasi klinik, dan apoteker belum melakukan tanggung jawab fungsional secara maksimal khusunya pelayanan farmasi klinik sebab apoteker masih berfokus hanya pada pemberian obat dan ketersediaan obat (Rantucci, 2007).

 

Profil Ruang Pelayanan Farmasi (Apotek) di Puskesmas

Pada penelitian ini dilakukan pada 8 puskesmas di Jakarta diperolehprofil ruang pelayanan kefarmasian di tiap puskesmas antara lain adanya Standar Prosedur Operasional (SPO), data resep yang diterima setiap hari, data jumlah tenaga teknis kefarmasian (TTK), tersedianya ruang konseling farmasi, dan tersedianya formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO) (Krisdiyanto et al., 2023). Hasil penelitian menunjukkan 3 apotek puskesmas belum membuat SOP tentang farmasi klinik sedangkan 5 apotek puskesmas lainnya telah membuat atau menyiapkan SOP tersebut. Adanya SOP pelayanan farmasi klinik sangat diperlukan karena dapat digunakan sebagai pedoman klinis dan informasi berbasis bukti untuk melakukan tanggapan dalam menjelaskan baik kepada tenaga kesehatan maupun kepada pasien (Tri Handayani, 2021). Standar prosedur operasional menjadi sangat penting, menurut Pathman et al agar para pemangku kepentingan dan para praktisi dapat meningkatkan kepatuhan terhadap suatu pedoman yang telah ditetapkan (Putri, 2019). Penting dalam setiap pelayanan mempunyai standar yang jelas untuk menjamin mutu, maka dalam penelitian ini adalah pelayanan kesehatan di puskesmas yang berfokus pada standar pelayanan kefarmasian dimana standar tersebut sebagai acuan bagi apoteker dan asisten apoteker untuk melaksanakan pelayanan kefarmasian di puskesmas. Selain itu menurut Planas tanggung jawab yang dirasakan oleh apoteker terhadap hasil terapi pengobatan sangat dipengaruhi oleh kejelasan standar (Feneranda et al., 2022).

Data hasil penelitian yang diperoleh pada jumlah resep yang diterima setiap hari oleh masing-masing puskesmas adalah sebagai berikut, terdapat 5 puskesmas yang menerima resep sejumlah 150-250 lembar resep setiap harinya, sedangkan 3 puskesmas menerima resep diatas 250 lembar resep setiap harinya. Berdasarkan data jumlah resepper hari ini dapat mempengaruhi kualitas pelayanan dari apoteker sebab berhubungan erat dengan beban kerja dan waktu yang tersedia, sehingga dapat menyebabkan pelayanan kefarmasian khususnya pelayanan farmasi klinik menjadi tidak optimal. Sedangkan peran farmasis akan sangat diharapkan untuk menjamin tersedianya obat yang berkualitas, mempunyai efikasi, jumlah yang cukup, aman, nyaman bagi pemakainya serta pada saat pemberiannya disertai informasi yang cukup memadai, diikuti pemantauan pada saat penggunaan obat dan akhirnya dilakukan evaluasi (PRIYANDANI, 2019).

Jumlah tenaga teknis kefarmasian (TTK) yang ada di tiap puskesmas yang diteliti berbeda-beda jumlahnya. Hasil penelitian diperoleh 2 puskesmas hanya memiliki 3 orang TTK, 2 puskesmas memiliki 8 orang TTK, 2 puskesmas memiliki 12 orang TTK, 1 puskesmas memiliki 5 orang TTK, dan 1 puskesmas memiliki sampai 18 orang TTK. Adanya tenaga teknis kefarmasian pada puskesmas atau rumah sakit dapat memaksimalkan jalannya pelayanan kefarmasian secara optimal. Menurut Yulia (2008) jabatan fungsional TTK memiliki ruang lingkup pekerjaannya yaitu melakukan penyiapan rencana kerja kefarmasian, penyiapan pengelolaan perbekalan farmasi, dan penyiapan pelayanan farmasi klinik (Organization, 1998). Kewenangan tenaga teknis farmasi tergantung dari kebijakan tiap negara. Tetapi secara prinsip tenaga teknis farmasi ini selalu dibawah supervisi farmasis yang mempunyai lisensi atau profesional apoteker (Rantucci, 2007). Dari hasil analisis diperoleh bahwa adanya tenaga teknis kefarmasian memberikan pengaruh pada kegiatan farmasi klinik di puskesmas yaitu konseling. Dengan tenaga teknis kefarmasian dapat membantu menyiapkan pelayanan farmasi klinik sehingga apoteker dapat melayani konseling dengan optimal. Sesuai dengan pengertian tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah farmasi / asisten apoteker. Tenaga kefarmasian melakukan praktik kefarmasian di fasilitas pelayanan kefarmasian, salah satunya puskesmas (Svarstad et al., 2004).

Hasil penelitian tentang ada dan tidaknya ruang yang disediakan khusus untukkonseling di 8 puskesmas yang di teliti, diperoleh hasil yakni hanya ada 1 puskesmas yang menyediakan khusus ruang konseling sedangkan 7 puskesmas lainnya belum menyediakan ruang khusus konseling. Pelayanan konseling ini sangat membutuhkan ruangan khusus dalam melakukannya karena adanya ruangan tersendiri akan meminimalkan segala bentuk interupsi. Adanya ruang khusus juga akan memberi rasa nyaman bagi pasien maupun keluarga pasien saat ingin berkonsultasi tentang penyakit yang dideritanya.

 

Pelayanan Farmasi Klinik

Pengkajian Resep

Tabel 1. Kegiatan pengkajian resep yang dilakukan Apoteker di Apotek Puskesmas rawat inap diJakarta tahun 2015.

 

Kegiatan

Jawaban

N

Persentase (%)

 

1.        Pemeriksaan keabsahan resep

Ya

16

100

2.        Pemeriksaan kelengkapan resep

Ya

16

100

3.        Pemeriksaan kerasionalan resep

Ya

16

100

4.        komunikasi dengan dokter,bila dosis diatas atau dibawah dosis terapi

Ya

16

100

5.        komunikasi dengan dokter bila penulisan resep yang tidak jelas

Ya

16

100

6.        komunikasi dengan dokter bila ditemukan duplikasi pengobatan

Ya

16

100

7.        komunikasi dengan dokter bila ditemukan Interaksi obat

Ya

16

100

 

 

8.        komunikasi dengan dokter bila ditemukan inkompatibilitas

Tidak

2

12,5

Ya

14

87,5

9.        Obat disajikan sesuai resep

Ya

16

100

10.     Memperhatikan mutu fisik obat

Ya

16

100

11.     Pengetiketan dengan jelas dan lengkap

Ya

16

100

12.     Kontrol kesesuaian dengan no resep, nama dokter, nama pasien, jumlah dan jenis obat

Ya

16

100

13.     Informasi penggunaan obat.

Ya

16

100

14.     Informasi khasiat obat.

Ya

16

100

15.     Informasi penyimpanan obat

Tidak

2

12,5

Ya

14

87,5

16.     Informasi dosis dan frekuensi pemakaian obat.

Ya

16

100

17.     Informasi kemungkinan efek samping dan cara penanggulangannya.

Tidak

2

12,5

Ya

14

87,5

 

Berdasarkan data yang terlihat pada tabel V.13 diperoleh nilai persentasekegiatan untuk pengkajian resep adalah hampir seluruh apoteker telah melakukannya (100%) hanya 2 apoteker saja yang tidak melakukan tiga ketentuan/kegiatan pengkajian resep, seperti: komunikasi dengan dokter jika ditemukan inkompatibilitas, informasi tentang penyimpanan obat, informasi kemungkinan efek samping (12,5%). Dari hasil jawaban yang diberikan untuk pengkajian resep menunjukkan bahwa responden termasuk dalam kategori sangat baik untuk penerapannya, hal ini dapat dilihat dari persentase jawabannya : 87,5%; dan 100%. Nilai persentase ini dapat diartikan bahwa apoteker mengetahui tujuan dari pengkajian resep itu adalah untuk mencegah terjadinya kelalaian pencantuman informasi, penulisan resep yang buruk dan penulisan resep yang tidak tepat sehingga apoteker dapat memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan dalam proses pelayanan. Hal ini dapat dihindari jika apoteker saat melakukan prakteknya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Namun berdasarkan pengamatan langsung diketahui bahwa tidak semua kegiatan dalam pengkajian resep ini dilakukan oleh apoteker langsung melainkan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian kecuali untuk obat-obat khusus seperti obat-obat HIV, TB dan metadon semuanya ditangani langsung oleh apoteker. Hal ini disebabkan oleh kurangnya tenaga kefarmasian dengan profesi apoteker dan juga banyaknya jumlah resep per harinya yang harus dilayani sehingga pelayanan resep diutamakan pelayanan cepat dan baik.

 

Pelayanan informasi obat

Berikut Tabel 2. Kegiatan pelayanan informasi obat (PIO) yang dilakukan Apoteker di Apotek Puskesmas rawat inap di Jakarta tahun 2015

Kegiatan

Jawaban

N

Persentase (%)

1.     Ada brosur/ atau bacaan tentang kesehatan

Tidak

7

43,8

Ya

9

56,3

2.     Ada Buletin/leaflet/ mading tentang informasi obat

Tidak

3

18,8

Ya

13

81,3

3.     Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan, rawat inap dan masyarakat

Tidak

6

37,5

Ya

10

62,5

4.     Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat atau tatap muka.

Ya

16

100

 

 

Data pada tabel ini diperoleh persentasekegiatan untuk pelayanan informasi obat di puskesmas. Dari data diperolehbahwa apoteker-apoteker puskesmas rawat inap yang mewakili tiap wilayah DKI Jakarta telah melakukan kegiatan pelayanan informasi obat dengan baik. Persentase tertinggi (100%) untuk kegiatan PIO adalah dalam menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat, dan tatap muka.Hal ini juga didukung dengan hasil pengamatan langsung bahwa hampir seluruh puskesmas rawat inap yang diteliti memiliki dokumentasi pelayanan informasi obat (PIO) seperti : ada leaflet (81,3%); dokumen kegiatan penyuluhan (62,5%); catatan pasien yang telah diberi PIO (Bintang & Raditiyanto, 2023).

Berdasarkan pengamatan ini dapat diartikan bahwa apoteker puskesmas rawat inap di DKI Jakarta menyadari pentingnya pelayanan informasi obat (PIO) yang bertujuan menyediakan informasi mengenai obat kepada tenaga kesehatan lain di lingkungan puskesmas, pasien, dan masyarakat serta dengan PIO dapat menunjang penggunaan obat yang rasional , dan juga tenaga kesehatan dan pasien telah memahami bahwa sumber informasi tentang obat dapat diperoleh melalui apoteker. Namun demikian pada kegiatan penyediaan brosur/ bacaan tentang kesehatan dan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan, rawat inap dan masyarakat persentase apoteker yang belum melakukanmasih tinggi(43,8% dan 37,5%) untuk penyediaan brosur/ bacaan kesehatan, pengadaannya terkait anggaran yang disediakan oleh puskesmas, sedangkan untuk kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan,rawat inap dan masyarakat hal ini terkendala oleh waktu apoteker yang seringkali berbenturan dengan waktu pelayanan obat.Apoteker masih harus lebih memfokuskan pada pelayanan obat, karena pada pelayanan puskesmas harus mengutamakan zero komplain dari masyarakat

 

Konseling

Berikut Tabel 3. Konseling yang dilakukan Apoteker di Apotek Puskesmas rawat inap di Jakarta tahun 2015

Kegiatan

Jawaban

N

Persentase (%)

1. Layanankonseling kardiovasikular

Tidak

7

43,8

Ya

9

56,3

2.Layanan konseling diabetes

Tidak

3

18,8

Ya

13

81,3

3.Layanan konseling TB paru

Tidak

11

68,8

Ya

5

31,3

4.Layanan konseling HIV

Tidak

6

37,5

Ya

10

62,5

5.Memperagakan dan menjelaskan pemakaian obat tertentu (inhaler, Supp, Obat tetes, dan lain-lain ).

Tidak

1

6.3

Ya

15

93,8

6. Mengisi catatan medik pasien yang dikonseling

Tidak

5

31.3

Ya

11

68,8

7.Menanyakan kembali pemahaman pasien tentang pengobatan yang diberikan

Tidak

1

6,3

Ya

15

93,8

 

Hasil penelitian diperoleh dari 16 apoteker puskesmas rawat inap yang ada di pada tiap wilayah Jakarta tahun 2015 hampir seluruhnya telah melakukan kegiatan konseling namun tidak semua kegiatan konseling dilakukan. Dari data dapat dilihat bahwa masih tidak tersedianya ruang konseling di puskesmas, namun tidak menjadi kendala bagi apoteker untuk melaksanakan konseling (Rahayu, 2023). Hal ini berdasarkan data dimana persentase apoteker yang melakukan layanan konseling untuk penyakit-penyakit tertentu persentasenya tinggi, seperti terlihat pada layanan konseling kardiovasikular (56,3%), diabetes (81,3%) dan HIV (62,5%) yang mana sesungguhnya pelayanan ini sangat membutuhkan ruangan khusus dalam melakukannya karena adanya ruangan tersendiri akan meminimalkan segala bentuk interupsi. Penerapan konseling yang baik juga didukung dengan pendokumentasian yang baik. Hasil pengamatan terhadap responden yaitu salah satunya pada saat melakukan konseling pasien HIV dan sudah adanya catatan pengobatan pasien. Catatan medik pasien juga merupakan dokumen untuk mengevaluasi layanan konsultasi (Kusumawati, 2022). Ada kartu pasien yang berisi identitas pasien, kepatuhan pasien, diagnosis, nama dan cara penggunaan obat, keluhan selama minum obat, reaksi alergi, efek samping dan hal-hal lain yang perlu disampaikan ke dokter. Namun dari data (68,8%) dan hasil pengamatan langsung untuk kegiatan layanan konseling untuk pasien TB belum dilakukan oleh apoteker, disebabkan karena pemberian obat paket TB masih dilakukan oleh pemegang program khusus TB. Bahwa sebaiknya Konsultasidilakukan apoteker secara profesional yang manfaatnya adalah untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap regimen pengobatan. Juga berguna untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan terapi obat (Supardi et al., 2012).

Dari data ini menunjukkan bahwa sebagian besar apoteker kini sangat menyadari bahwa salah satu upaya pentingmewujudkan perannya adalah konseling pasien dalam rangka meningkatkan quality of life pasien sehingga diharapkan peningkatan kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian yang dirasakan dampak positifnya. Menurut KemKes tahun 2009 bahwa kegiatan konseling adalah salah satu tugas pokok farmasi klinis dalam peran fungsional seorang apoteker. Disadari oleh responden bahwa penerapannya masih sangat kurang hal ini disebabkan oleh kendala penyediaan ruangan, kurangnya SDM, waktu pelaksanaannya, serta ada beberapa puskesmas yang masih fokus pada manajerial.

 

Ronde / visite

Berikut Tabel 4. Kegiatan ronde/visite yang dilakukan Apoteker di Apotek Puskesmas rawat inap di DKI Jakarta tahun 2015

Kegiatan

Jawaban

N

Persentase (%)

A.    Pelaksanaan visite mandiri

 

 

 

 

1.        kepada pasien baru

Tidak

13

81,3

 

Ya

3

18,8

 

2.        Semua Pasien

Tidak

15

93,8

 

Ya

1

6,3

 

3.        Pasien lama Instruksi baru

Tidak

14

87,5

 

Ya

2

12,5

 

 

 

Kegiatan

Jawaban

N

Persentase (%)

B. Pelaksanaan visite bersama

 

 

 

1.    Bersama tim kesehatan lain

Tidak

10

62,5

Ya

6

37,5

2.    Bersama dokter

Tidak

12

75

Ya

4

25

 

C. Home pharmacy Care

 

 

 

1.    Pasien TB paru

Tidak

13

81,3

Ya

3

18,8

2.    Pasien diabetes

Tidak

15

��� 93,8

 

Ya

1

6,3

 

3.    Pasien lanjut usia

Tidak

15

93,8

 

Ya

1

6,3

 

D.   Melakukan persiapan catatan pengobatan pasien dan pustaka penunjang untuk visite bersama

 

Tidak

 

11

 

68,8

 

Ya

5

31,3

 

E.    Pendokumentasian kegiatan visite

 

Tidak

 

12

 

75

 

Ya

4

25

 

 

Pada tabel dapat kita lihat bahwa pelaksanaan kegiatan ronde/visite oleh apoteker puskesmas rawat inap di tiap wilayah Jakarta bahwahampir seluruh apotekerbelum melakukan (93,8%;81,3%;87,5%;75%) namun demikian sudah ada apoteker yang melakukan walaupun tidak seluruh kegiatan ronde/visite dilakukan. Dari data terlihat persentase apoteker yang melakukan kegiatan visite bersama tim kesehatan lain di puskesmas lebih besar (37,5%), meskipun masih banyak kekurangan salah satunya adalah belum adanya atau belum tertata dengan baik dokumentasi kegiatan ronde/visite yang telah dilakukan. Peran ini sebisa mungkin dilakukan walau masih jauh dari sempurna, karena responden sangat memahami perannya sebagai apoteker pada puskesmas rawat inap dimana ronde/visite adalah juga salah satu tugas pokok farmasi klinik khususnya untuk rawat inap dan juga sudah tertuang dalam Permenkes 30 tahun 2014. Apoteker melakukan praktik di ruang rawat (visite) sesuai dengan kompetensi dan kemampuan farmasi klinik yang dikuasai (Kusumawati, 2023). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberadaan apoteker di ruang rawat mampu mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah terkait obat, serta menurunkan medication errors.(Kemkes,Pedoman visite) (Ikawati, 2010). Hasil Penelitian Kjeldby 2009 juga menunjukkan kontribusi positif apoteker terhadap jaminan kualitas terapi obat di ruang rawat (7 dari 8 dokter dan seluruh perawat mengakui hal tersebut).

�����������

Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Berikut Tabel 5. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) yang dilakukan Apoteker di Puskesmas rawat inap di Jakarta tahun 2015

Kegiatan

Jawaban

N

Persentase (%)

1. Mengumpulkan data untuk di isi di form MESO

Tidak

11

68,8

Ya

5

31,3

2. Melakukan identifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi efek samping obat

Tidak

12

75

Ya

4

25

 

Data penelitian pada tabel memperlihatkan bahwa secara keseluruhan apotekerdi puskesmas rawat inap yang ada pada tiap wilayah Jakarta telah menyediakan formulir monitoring efek samping obat (MESO) walaupun sebagian besar apoteker tidak melakukan semua kegiatannya karena belum ada kasus efek samping obat. Adanya pelaksanaan kegiatan MESO ini dibutuhkan kerjasama yang baik dengan tim kesehatan lain seperti dokter dan perawat. Oleh karena itu MESO ini sangat tergantung motivasi dari masing-masing tim kesehatan.Namun dari pengamatan juga diperoleh bahwasudah ada apoteker yang telah melakukan kegiatan MESO serta dalam melakukan kegiatannya didukung dengan pendokumentasian.

 

Pemantauan Terapi Obat (PTO) dan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)

Berikut 6. Pemantauan terapi obat (PTO) yang dilakukan Apoteker Puskesmas rawat inap diJakarta tahun 2015.

Kegiatan

Jawaban

N

Persentase (%)

1.Monitoring/pemantauan terapi pada pasien anak-anak lanjut usia, ibu hamil dan menyusui

Tidak

11

68,8

Ya

5

31,3

2.Monitoring/ pemantauan terapi pada pasien yang menerima obat lebih dari 5 jenis

Tidak

10

62,5

Ya

6

37,5

3.Monitoring/ pemantauan terapi pada pasien dengan multidiagnosis

Tidak

13

81,3

Ya

3

18,8

4.Monitoring/pemantauan terapi pada pasien yang menerima obat dengan indeks terapi sempit

Tidak

14

87,5

Ya

2

12,5

5.Monitoring/pemantauan terapi pasien menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat yang merugikan (ROM) .

Tidak

14

87,5

Ya

2

12,5

 

 

Berikut Tabel 7.Evaluasi Penggunaan obat (EPO) yang dilakukan Apoteker Puskesmas rawat inap di DKI Jakarta tahun 2015.

Kegiatan

Jawaban

N

Persentase (%)

1.Tiap bulan melakukan pelaporan evaluasi penggunaan obat.

Tidak

2

12,5

 

Ya

14

87,5

 

2. Apakah Mendapatkan gambaran pola penggunaan obat pada kasus tertentu Mis: Diare , ISPA

Tidak

3

18,8

 

Ya

13

81,3

 

 

Data penelitian pada tabel menunjukkan bahwa sebagian besar apoteker belum melakukan pemantauan terapi obat di puskesmas (PTO) seperti yang ada pada Permenkes, namun sudah ada apoteker yang melakukan meskipun dalam penerapannya belum sempurna dan belum terdokumentasi dengan baik. Berdasarkan pengamatan bahwa apoteker yang melakukan kegiatan PTO ini memantau terapi pasien melalui catatan pengobatan pasien (Kusumawati, 2019). Tidak dilakukannya kegiatan ini karena apoteker terkendala dengan waktu dimana apoteker masih harus fokus pelayanan obat, administrasi dan manajemen. Namun khusus pada pelayanan puskesmas bahwa tiap bulan ada laporan pemantauan dan evaluasi penggunaan obat. Pada tabelmemperlihatkan penerapan evaluasi penggunaan obat telah dilakukan diseluruh puskesmas rawat inap pada tiap wilayah Jakarta tahun 2015. Untuk puskesmas sudah dilakukan pemantauan dan evaluasi penggunaan obatoleh apoteker, yang mana kegiatannya yaitu dengan melakukan pelaporan rutin tiap bulan yang dikirimkan ke SUDIN kesehatan masing-masing wilayah Jakarta. Adapun laporan tersebut adalah laporan pemakaian dan lembar permintaan obat (LPLPO), laporan penggunaan obat rasional berupa formulir monitoring indikator peresepan.

 

Hasil Analisa Kualitatif

���������� Pada bagian ini akan disajikan dengan matriks (Lampiran ) hasil wawancara�� peneliti dengan setiap Koordinator Pelayanan Kesehatan (Kaur Yankes) dari tiap puskesmas rawat inap yang diteliti. Koordinator Pelayanan Kesehatan (Kaur Yankes) atau coordinator usaha kesehatan perorangan (UKP) adalah dijabat seorang dokter dimana pelayanan kefarmasian yang ada pada puskesmas secara struktural berada dibawah pelayanan UKP (Jiati, 2022).

Hasil wawancara yang diperoleh dimaksudkan untuk mengetahui faktor yang mendukung penerapan pelayanan farmasi klinik di puskesmas rawat inap di wilayah Jakarta. Dukungan baik dari pimpinan puskesmas, penanggung jawab/coordinator UKP, maupun tenaga professional kesehatan lainnya sangat mempengaruhi pelaksanaan pelayanan farmasi klinik khususnya dalam lingkup kerja puskesmas. Oleh karenanya peneliti mengambil informan untuk diwawancarai adalah kaur yankes/coordinator UKP. Berikut hasil rangkuman dari matriks wawancara delapan Kaur yankes/coordinator UKP Puskesmas rawat inap di Jakarta tahun 2015 bahwa :

     Dalam pelayanan kefarmasian yang terpenting adalah harus dilakukan oleh apoteker. Hasil wawancara ini menunjukkan bahwa penanggung jawab UKP atau kaur yankes pada masing-masing puskesmas sangat mendukung dan mengetahui pentingnya peran apoteker demi terselenggaranya pelayanan kefarmasian yang optimal.

     Pelayanan farmasi klinik di puskesmas telah dilakukan yang ditunjukkan dengan : medication error tidak terjadi, pelayanan obat selalu terpenuhi selama 24 jam untuk layanan rawat inap, zero complain selama pelayanan. Hasil wawancara ini dapat memperlihatkan bahwa pelayanan farmasi klinik di puskesmas rawat inap telah berjalan namun belum dilaksanakan secara menyeluruh yang dimaksudkan bahwa asuhan kefarmasiandalam pelayanan pengobatan pasien belum bisa dirasakan langsung oleh pasien. Hal ini dapat disebabkan oleh monitoring yang belum optimal baik dari pimpinan maupun coordinator pelayanan UKP tentang bagaimana tanggung jawab apoteker dalam memberikan pelayanan farmasi klinik sehingga dapat mewujudkan suatu asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) yang juga memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas hidup pasien.

     Dalam hal kecukupan SDM apoteker di puskesmas rawat inap sudah cukup dan sesuai standard. Namun berdasarkan pengamatan langsung masih ada dua puskesmas yang hanya memiliki satu apoteker. Idealnya untuk puskesmas rawat inap harus memiliki minimal dua orang apoteker sehingga dalam memberikan pelayanan kefarmasian lebih optimal dan menyeluruh.

     Pendapat dengan adanya Permenkes 30 tahun 2014 berharap kedepannya tidak ada lagi kesalahan obat, PIO lebih digiatkan serta apoteker menjadi lebih focus dalam pelayanan kefarmasian sehingga dapat meningkatkan kepuasan pasien

     Komunikasi dan kerjasama dengan tenaga kesehatan lain berjalan baik utamanya tentang ketersediaan obat, ada kerjasama dalam kegiatan berbagai program puskesmas misalnya kegiatan penyuluhan.

Gambaran factor yang mendukung pelaksanaan pelayanan farmasi klinik ini menggambarkan bahwa atmosfer dalam tim kesehatan terprediksi secara positif dan jika kondisi ini terjadi terus menerus maka apoteker akan merasa mereka memiliki mekanisme untuk mendapatkan umpan balik dari rekan seprofesi., sebab menurut Russel G et al bahwa kepemimpinan, klarifikasi peran, dan komunikasi menjadi sangat penting dalam keberhasilan suatu organisasi inter-profesional.

 

Kesimpulan

Penerapan standarpelayanan farmasi klinik pada Puskesmas rawat inap di DKI Jakarta sesuai PerMenKes No 30 tahun 2014 adalah : (a) pengkajian resep dilakukan sangat baik; (b) Apoteker puskesmas rawat inap yang mewakili tiap wilayah DKI Jakarta telah melakukan kegiatan pelayanan informasi obat dengan baik. (c) kegiatan konseling dilakukan cukup baik, walau terkendala ruangan (d) kegiatan ronde/visite sangat kurang dalam pelaksanaanya. (e) kegiatan MESO masih kurang dalam pelaksanaannya, sebatas penyediaan form MESO. (f) kegiatan PTO sangat kurang dalam pelaksanaan. (g) evaluasi penggunaan obat berjalan dengan baik.

Faktor yang mempengaruhi penerapan pelayanan farmasi klinik puskesmas rawat inap di Jakarta adalah belum adanya regulasi di puskesmas yang mengikat dalam pelaksanaan farmasi klinik serta dukungan penuh dari pimpinan dalam menyediakan sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana pelayanan farmasi klinik di puskesmas.

Pelayanan farmasi klinik di puskesmas rawat inap Jakarta tahun 2015 sudah terlaksana namun masih membutuhkan peningkatan agar pelayanan farmasi klinik dilakukan lebih menyeluruh dan terpadu dengan meningkatkan kerja sama dengan professional kesehatan lainnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Bintang, G., & Raditiyanto, S. (2023). The Characterization Of The Main Characte And Ivan Ilyich Character Analysis In The Short Stories The Death Of Ivan Ilyich Written By Leo Tolystoy. Equivalent: Jurnal Ilmiah Sosial Teknik, 5(1), 1�8.

 

Feneranda, E., Pambudi, R. S., & Septiana, R. (2022). Gambaran Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Sehati Surakarta Selama Masa Pandemi Covid-19. Universitas Sahid Surakarta.

 

Ikawati, Z. (2010). Evaluasi Peran Apoteker Berdasarkan Pedoman Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

 

Jiati, J. (2022). Peningkatan Hasil Belajar Pendidikan Kewarganegaraan Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Group Investigation Kelas Xii Ips 4 Di Sma Negeri 1 Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Journal Locus Penelitian Dan Pengabdian, 1(8), 683�693. Https://Doi.Org/10.58344/Locus.V1i8.344

 

Krisdiyanto, A., Dewi, K., Wiguna, S. A., Kriswandaru, A. S., & Kriswanatu, A. (2023). Analisis Pengaruh Aktifitas Pasar Bintoro Demak Terhadap Kemacetan Di Jalan Sultan Fatah. Jurnal Impresi Indonesia, 2(1), 91�100. Https://Doi.Org/10.58344/Jii.V2i1.2047

 

Kusumawati, E. (2019). Minat Beli Produk Ramah Lingkungan Sebagai Dampak Dari Implementasi Green Advertising. In Jurnal Kajian Ilmiah (Vol. 19, Issue 1, P. 57). Https://Doi.Org/10.31599/Jki.V19i1.394

 

Kusumawati, E. (2022). Analisis Swot Faktor Penyebab Penurunan Jumlah Peserta Didik Lembaga Paud Di Kabupaten Bogor. Tarbiatuna: Journal Of Islamic Education Studies, 2(2), 88�96. Https://Doi.Org/10.47467/Tarbiatuna.V2i2.660

 

Kusumawati, E. (2023). Efektivitas Kerja Guru. Jiip - Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 6(3), 1487�1492. Https://Doi.Org/10.54371/Jiip.V6i3.1578

 

Organization, W. H. (1998). The Role Of The Pharmacist In Self-Care And Self-Medication: Report Of The 4th Who Consultative Group On The Role Of The Pharmacist, The Hague, The Netherlands, 26-28 August 1998. In The Role Of The Pharmacist In Self-Care And Self-Medication: Report Of The 4th Who Consultative Group On The Role Of The Pharmacist, The Hague, The Netherlands, 26-28 August 1998.

 

Priyandani, Y. (2019). Model Asuhan Kefarmasian Dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Kepatuhan Regimen Terapi Obat Pada Pasien Tuberkulosis. Universitas Airlangga.

 

Putri, T. N. (2019). Efektivitas Fatwa Mui No 33 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Vaksin Mr (Measles Rubella) Produk Dari Sii (Serum Intitute Of India) Untuk Imunisasi (Studi Kasus Di Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo). Iain Ponorogo.

 

Rahayu, Y. M. (2023). Application Of Inquiry Learning Methods To Increasing Students� Interest In Speaking English. Equivalent: Jurnal Ilmiah Sosial Teknik, 5(1), 63�74.

 

Rantucci, M. J. (2007). Pharmacists Talking With Patients: A Guide To Patient Counseling. Lippincott Williams & Wilkins.

 

Sastrohadiwiryo, B. S. (2002). Manajemen Tenaga Kerja Indonesia: Pendekatan Administratif Dan Operasional. Bumi Aksara.

 

Shah, B., & Chewning, B. (2006). Conceptualizing And Measuring Pharmacist-Patient Communication: A Review Of Published Studies. Research In Social And Administrative Pharmacy, 2(2), 153�185.

 

Supardi, S., Raharni, S. A. L., & Herman, M. J. (2012). Evaluasi Peran Apoteker Berdasarkan Pedoman Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas. Media Litbang Kesehatan, 22.

 

Svarstad, B. L., Bultman, D. C., & Mount, J. K. (2004). Patient Counseling Provided In Community Pharmacies: Effects Of State Regulation, Pharmacist Age, And Busyness. Journal Of The American Pharmacists Association, 44(1), 22�29.

 

Tri Handayani, E. (2021). Gambaran Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Cemara Adiwerna. Diii Farmasi Politeknik Harapan Bersama.

 

Umar, A. (2020). Gambaran Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Obat Di Apotek X Desa Pattimang Kecamatan Malangke Kabupaten Luwu Utara Tahun 2020. Jurnal Kesehatan Luwu Raya, 7(1), 22�27.

 

Wiratama Putra, A. (2023). Implementation Of Anesthesia Ethics To Improve Medical Professionalism. Indonesian Health Journal, 2(1), 78�82. Https://Doi.Org/10.58344/Indonesianhealthjournal.V2i1.25

 

 

Copyright holder:

Waode Nadia, Delina Hasan, Yetty Hersunaryati (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: