Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
11, November 2022
Kajian Penerapan Standar
Pelayanan Farmasi Klinik di Puskesmas Rawat Inap Jakarta Tahun 2015
Waode Nadia, Delina Hasan,
Yetty Hersunaryati
Universitas Pancasila, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Pelayanan farmasi klinik di puskesmas� dilaksanakan oleh apoteker merupakan peran penting melindungi pasien dari penggunaan obat yang tidak rasional utamanya yang terjadi di puskemas atau yang biasa disebut dengan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Jenis penelitian non eksperimental, sampel penelitian adalah total populasi. Metode analisis deskriptif dengan� angket dan wawancara. Melakukan Pengkajian resep 100%; 12,5% tidak melakukan komunikasi bila inkompatibilitas, 12,5% tidak melakukan informasi penyimpanan obat, 12,5% tidak melakukan informasi efek samping dan cara penanggulangannya. 16 apoteker 100% menjawab pertanyaan dari pasien dan tenaga kesehatan lain, 7 apoteker (43,8%)� tidak menyediakan brosur kesehatan.� 15 apoteker (93,8%) memperagakan dan menjelaskan pemakaian obat tertentu;� (81,3%) tidak memiliki ruang konseling; 11 apoteker (68,8%) tidak melakukan konseling TB. 6 apoteker (37,5%) melakukan visite bersama ;15 apoteker (93,8%) tidak melakukan visite mandiri pada semua pasien. (87,5%) menyediakan formulir efek samping obat; 12 apoteker (75%) tidak melakukan identifikasi pemantauan terapi pasien yang menerima obat lebih dari 5 jenis; 14 apoteker (87,5%) tidak melakukan pemantauan terapi untuk obat dengan indeks terapi sempit dan obat yang menyebabkan reaksi obat yang merugikan. 14 apoteker (87,5%)� melakukan pelaporan evaluasi penggunaan obat. Faktor yang mempengaruhi penerapan� pelayanan farmasi klinik puskesmas rawat inap di� Jakarta adalah belum adanya regulasi di puskesmas yang mengikat dalam pelaksanaan farmasi klinik serta dukungan penuh dari pimpinan dalam menyediakan sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana pelayanan farmasi klinik di puskesmas. Pelayanan farmasi klinik di puskesmas rawat inap sudah terlaksana namun butuh peningkatan agar pelayanan farmasi klinik lebih berkualitas.
Kata kunci: Standar Pelayanan Farmasi Klinik, Puskesmas.
Abstract
Clinical pharmacy services in puskesmas carried out by
pharmacists are an important role in protecting patients from irrational drug
use, especially those that occur in puskemas or what is commonly called
first-level health facilities. This type of research is non-experimental, with
the study sample being the total population. Descriptive analysis method by
filling out questionnaires and interview techniques. 100% prescription review;
12.5% did not communicate when incompatibility, 12.5% did not do drug storage
information, 12.5% did not inform side effects and how to overcome them. 16
pharmacists 100% answered questions from patients and other health workers, 7
pharmacists (43.8%) did not provide health brochures. 15 pharmacists (93.8%)
demonstrated and explained the use of certain medications; (81.3%) did not have
a counseling room; 11 pharmacists (68.8%) did not do TB counseling. 6
pharmacists (37.5%) made joint visite ;15 pharmacists (93.8%) did not make
independent visite on all patients. (87.5%) provided a form side effects; 12
pharmacists (75%) did not identify the drug and patients were at high risk of
drug side effects. 14 pharmacists (87.5%) did not conduct therapeutic
monitoring for drugs with a narrow therapeutic index and drugs that caused
adverse drug reactions. 14 pharmacists (87.5%) reported an evaluation of drug
use. Factors that affect the implementation of clinical pharmacy services for
inpatient puskesmas in Jakarta are the absence of regulations in puskesmas that
are binding on the implementation of clinical pharmacy and full support from
the leadership in providing human resources and facilities and infrastructure
for clinical pharmacy services at puskesmas. Clinical pharmacy services at
inpatient health centers have been implemented but need improvement so that
clinical pharmacy services are of higher quality.
Keywords: Clinical Pharmacy
Service Standards, Health Centers
Pendahuluan
Pelayanan farmasi klinik di puskesmas sangat penting untuk dilakukan karena dapat memantau penggunaan obat rasional dan memperkecil terjadinya kesalahan pengobatan di masyarakat seperti yang telah dihimbau oleh pemerintah saat ini. Harapan ini hanya dapat terjadi jika pelayanan farmasi klinik berjalan secara optimal dan dikerjakan langsung oleh professional apoteker. Seorang professional apoteker juga harus mempunyai kemampuan dalam membangun komunikasi aktif dengan professional kesehatan yang lainnya dengan tujuan untuk penetapan terapi pasien yang dapat dilakukan antara lain dengan cara pemantauan resep dan pelaporan efek samping obat sehingga penggunaan obat rasional dapat tercapai dan juga efektif dalam mengurangi biaya pelayanan kesehatan. Dengan pelayanan ini terbukti dapat menurunkan angka kematian secara signifikan (Supardi et al., 2012).
Berdasarkan dari hasil survey Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat kesehatan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa masih 25% puskesmas perawatan yang sudah menerapkan pelayanan kefarmasian sesuai standar (Shah & Chewning, 2006). Keadaan ini dapat mendeskripsikan bahwa sebagian besar puskesmas perawatan belum menerapkan pelayanan kefarmasian dengan baik. Salah satu pelayanan kefarmasian yang dapat mewujudkan pelayanan secara komprehensif adalah menjalankan peran fungsional apoteker secara komprehensif pula. Peran itu adalah tugas pokok tentang farmasi klinik, namun peranan ini belum dirasakan optimal oleh masyarakat pada umumnya. Penelitian yang sejalan tentang pelayanan kefarmasian oleh Sudibyo S, Raharni, Andi LS, Max JH (Supardi et al., 2012), menunjukkan hasil bahwa pelayanan kefarmasian di puskesmas pada umumnya belum berjalan optimal seperti idealnya. Masih banyaknya puskesmas baik rawat inap maupun non rawat inap yang tidak mempunyai apoteker, sehingga pelayanan obat dilakukan oleh tenaga non farmasi. Bila mana ada puskesmas tertentu yang telah memiliki apoteker namun perannya dalam melakukan pelayanan kefarmasian belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat maupun oleh tenaga professional kesehatan lainnya, sehingga eksistensi peran apoteker di masyarakat masih sangat jauh tertinggal (Wiratama Putra, 2023). Dari latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka dilakukan� penelitian tentang kajian penerapan standar pelayanan farmasi klinik di puskesmas rawat inap yang ada di Jakarta tahun 2015. Penelitian ini ingin mengetahui sejauh mana penerapan pelayanan farmasi klinik yang telah dilakukan pada puskesmas rawat inap di Jakarta dan juga adanya penelitian ini bertujuan dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pelayanan farmasi klinik di puskesmas rawat inap� di Jakarta.
Metode
Penelitian
Rancangan penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental yakni menggambarkan apa yang ada pada suatu waktu tertentu. Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah rancangan study Cross Sectional dengan alasan bahwa variabel independent dan variabel dependent diobservasi sekaligus pada waktu yang sama. Variable independent dari penelitian ini merupakan input dan proses, sedangkan variable dependentnya adalah output penelitian.
Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, pendekatan kuantitatif menggunakan angket sedangkanpendekatan kualitatif menggunakan tehnik wawancara dalam rangka memperoleh gambaran faktor pendukung penerapan pelayanan kefarmasian khususnya pelayanan farmasi klinik di puskesmas rawat inap. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tak berstruktur yang mana� tidak menggunakan pedoman wawancara secara sistematis. Pedoman yang digunakan hanya garis besar dari masalah yang akan diteliti.
Penelitian ini dilaksanakan di 8 Puskesmas Kecamatan di Jakarta, yaitu Puskesmas Kecamatan Menteng, Puskesmas Kecamatan Kebayoran baru, Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama, Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, Puskesmas Kecamatan Kebon Jeruk, Puskesmas Kecamatan Grogol Petamburan, Puskesmas Kecamatan Tambora, Puskesmas Kecamatan Penjaringan.
Hasil dan Pembahasan
Gambaran
umum Puskesmas di Jakarta
Data Kementerian Kesehatan RI bahwa Provinsi DKI Jakarta memiliki sarana pelayanan kesehatan masyarakat Puskesmas yaitu 340 unit yang terbagi menjadi Puskesmas rawat inap 30 unit dan Puskesmas non rawat inap� 310 unit. Pada tahun 2015 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan yang didasari adanya Permenkes 75 tahun 2014 tentang puskesmas dan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No 1024 tahun 2014 tentang penetapan Puskesmas Kecamatan rawat inap menjadi Rumah Sakit Umum kelas D (Umar, 2020). Dengan adanya penetapan kebijakan tersebut terdapat 15 Puskesmas Kecamatan yang telah ditetapkan menjadi Rumah Sakit Umum kelas D, sehingga Puskesmas rawat inap menjadi 14 unit di Jakarta dan 1 unit di Kepulauan Seribu. Untuk wilayah Jakarta terdapat 8 Puskesmas Kecamatan yang memiliki layanan rawat inap, sedangkan 6 Puskesmas lainnya hanya melayani perawatan pasien bersalin (PONED).
����������� Berdasarkan
karakteristik wilayah maka puskesmas di Provinsi DKI Jakarta dikatagorikan
sebagai puskesmas perkotaan dimana memiliki karakteristik pelayanan yang
diberikan adalah memprioritaskan pelayanan UKM dengan melibatkan partisipasi masyarakat,
pelayanan UKP dilaksanakan oleh puskesmas dan fasilitas pelayanan lain yang
diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Pelayanan puskesmas
perkotaan yang diberikan adalah berdasarkan kebutuhan dan permasalahan yang
sesuai dengan pola kehidupan masyarakat perkotaan. Sejak tahun 2010 sampai
dengan tahun 2014 puskesmas di Provinsi DKI Jakarta mengalami penambahan
walaupun tidak terlalu berarti. Tetapi secara jenis pelayanan Puskesmas di
Provinsi DKI Jakarta terus berkembang baik jenis pelayanan UKM maupun pelayanan
UKP yang diberikan.������ �����������
Profil�
Apoteker berdasarkan Usia, Jenis kelamin, dan Masa kerja
Pada penelitian ini diketahui bahwa apoteker yang menjadi subjek penelitian
sebanyak 16 orang, dengan usia 24-29 tahun 2 orang (12,5%), 30-35 tahun 8 orang
(50 %), 36-40 tahun 4 orang (25%), dan diatas 40 tahun 2 orang (12,5%). Jenis
kelamin apoteker pada penelitian ini didominasi oleh wanita sebanyak 14 orang
(87,5%) dan pria 2 orang (12,5%). Masa kerja apoteker di puskesmas dengan waktu
1-5 tahun sebanyak 12 orang (75%), 6-10 tahun sebanyak 2 orang (12,5%), dan
masa kerja diatas 10 tahun sebanyak 2 orang (12,5%).
Kondisi umur responden
dalam hal ini berkaitan dengan pengalamannya dalam menjalankan profesinya
sebagai apoteker, idealnya semakin lama seorang apoteker menjalankan
profesinya maka memiliki nilai tambah dalam melakukan pelayanan kefarmasian
oleh karena pengalaman selama bertahun-tahun sebagai sumber informasi
pengobatan. Seperti yang dikatakan sastrohadiwiryobahwa lamanya seseorang
bekerja akan sangat menentukan banyaknya pengalaman yang dimilikinya (Sastrohadiwiryo,
2002). Hasil penelitian didapatkan bahwa masa kerja seorang apoteker tidak mempengaruhi apakah apoteker
melakukan pelayanan farmasi klinik atau tidak di puskesmas. Hal ini dapat
disebabkan banyak faktor antara lain, SDM apoteker yang masih kurang, belum ada
standard pelayanan yang mengikat khusus pelayanan farmasi klinik, dan apoteker belum melakukan tanggung jawab fungsional secara maksimal khusunya pelayanan farmasi klinik sebab
apoteker masih berfokus hanya pada pemberian obat dan ketersediaan
obat (Rantucci, 2007).
Profil Ruang Pelayanan
Farmasi (Apotek) di Puskesmas
Pada penelitian ini
dilakukan pada 8 puskesmas di Jakarta diperoleh�
profil ruang pelayanan kefarmasian di tiap puskesmas antara lain adanya Standar
Prosedur Operasional (SPO), data resep yang diterima setiap hari, data jumlah
tenaga teknis kefarmasian (TTK), tersedianya ruang konseling farmasi, dan
tersedianya formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO) (Krisdiyanto et
al., 2023). Hasil penelitian menunjukkan 3 apotek
puskesmas belum membuat SOP tentang farmasi klinik sedangkan 5 apotek puskesmas
lainnya telah membuat atau menyiapkan SOP tersebut. Adanya SOP pelayanan farmasi klinik sangat diperlukan karena dapat
digunakan sebagai pedoman klinis dan informasi berbasis bukti untuk melakukan
tanggapan dalam menjelaskan baik kepada tenaga kesehatan maupun kepada pasien (Tri Handayani,
2021). Standar prosedur operasional menjadi sangat penting, menurut Pathman et
al agar para pemangku kepentingan dan para praktisi dapat meningkatkan
kepatuhan terhadap suatu pedoman yang telah ditetapkan (Putri, 2019). Penting dalam
setiap pelayanan mempunyai standar yang jelas untuk menjamin mutu, maka dalam
penelitian ini adalah pelayanan kesehatan di puskesmas yang berfokus pada
standar pelayanan kefarmasian dimana standar tersebut sebagai acuan bagi
apoteker dan asisten apoteker untuk melaksanakan pelayanan kefarmasian di
puskesmas. Selain itu menurut Planas tanggung jawab yang dirasakan oleh
apoteker terhadap hasil terapi pengobatan sangat dipengaruhi oleh kejelasan
standar (Feneranda et al., 2022).
Data hasil penelitian yang
diperoleh pada jumlah resep yang diterima setiap hari oleh masing-masing
puskesmas adalah sebagai berikut, terdapat 5 puskesmas yang menerima resep
sejumlah 150-250 lembar resep setiap harinya, sedangkan 3 puskesmas menerima
resep diatas 250 lembar resep setiap harinya. Berdasarkan data jumlah resep� per
hari ini dapat mempengaruhi kualitas pelayanan dari apoteker sebab berhubungan erat
dengan beban kerja dan waktu yang tersedia, sehingga dapat menyebabkan
pelayanan kefarmasian khususnya pelayanan
farmasi klinik menjadi tidak optimal. Sedangkan peran farmasis akan sangat diharapkan untuk menjamin tersedianya obat yang berkualitas, mempunyai efikasi, jumlah yang
cukup, aman, nyaman bagi pemakainya serta pada saat pemberiannya disertai
informasi yang cukup memadai, diikuti pemantauan pada saat penggunaan obat dan
akhirnya dilakukan evaluasi (PRIYANDANI, 2019).
Jumlah tenaga teknis
kefarmasian (TTK) yang ada di tiap puskesmas yang diteliti berbeda-beda
jumlahnya. Hasil penelitian diperoleh 2 puskesmas hanya memiliki 3 orang TTK, 2
puskesmas memiliki 8 orang TTK, 2 puskesmas memiliki 12 orang TTK, 1 puskesmas
memiliki 5 orang TTK, dan 1 puskesmas memiliki sampai 18 orang TTK. Adanya
tenaga teknis kefarmasian pada puskesmas atau rumah sakit dapat memaksimalkan
jalannya pelayanan kefarmasian secara optimal. Menurut Yulia (2008) jabatan fungsional TTK memiliki ruang lingkup pekerjaannya yaitu melakukan
penyiapan rencana kerja kefarmasian, penyiapan pengelolaan perbekalan farmasi,
dan penyiapan pelayanan farmasi klinik (Organization, 1998). Kewenangan tenaga teknis farmasi tergantung dari kebijakan tiap negara.
Tetapi secara prinsip tenaga teknis farmasi ini selalu dibawah supervisi
farmasis yang mempunyai lisensi atau profesional apoteker (Rantucci, 2007). �Dari hasil
analisis diperoleh bahwa adanya tenaga teknis kefarmasian memberikan pengaruh
pada kegiatan farmasi klinik di puskesmas yaitu konseling. Dengan tenaga teknis
kefarmasian dapat membantu menyiapkan pelayanan farmasi klinik sehingga
apoteker dapat melayani konseling dengan optimal. Sesuai dengan pengertian
tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani
pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi,
analis farmasi, dan tenaga menengah farmasi / asisten apoteker. Tenaga
kefarmasian melakukan praktik kefarmasian di fasilitas pelayanan kefarmasian,
salah satunya puskesmas (Svarstad et al.,
2004).
Hasil penelitian tentang
ada dan tidaknya ruang yang disediakan khusus untuk� konseling di 8 puskesmas yang di teliti,
diperoleh hasil yakni hanya ada 1 puskesmas yang menyediakan khusus ruang
konseling sedangkan 7 puskesmas lainnya belum menyediakan ruang khusus konseling.
Pelayanan konseling ini sangat membutuhkan ruangan khusus dalam
melakukannya karena adanya ruangan tersendiri akan meminimalkan segala bentuk
interupsi. Adanya ruang khusus juga
akan memberi rasa nyaman bagi pasien maupun keluarga pasien saat ingin
berkonsultasi tentang penyakit yang dideritanya.
Pelayanan Farmasi Klinik
Pengkajian Resep
Tabel 1. Kegiatan
pengkajian resep yang dilakukan Apoteker di Apotek Puskesmas rawat inap di� Jakarta tahun 2015.
|
Kegiatan |
Jawaban |
N |
Persentase (%) |
|
|||
1.
Pemeriksaan keabsahan resep |
Ya |
16 |
100 |
|||||
2.
Pemeriksaan kelengkapan resep |
Ya |
16 |
100 |
|||||
3.
Pemeriksaan kerasionalan resep |
Ya |
16 |
100 |
|||||
4.
komunikasi dengan dokter,bila dosis
diatas atau dibawah dosis terapi |
Ya |
16 |
100 |
|||||
5.
komunikasi dengan dokter bila penulisan
resep yang tidak jelas |
Ya |
16 |
100 |
|||||
6.
komunikasi dengan dokter bila ditemukan
duplikasi pengobatan |
Ya |
16 |
100 |
|||||
7.
komunikasi dengan dokter bila ditemukan
Interaksi obat |
Ya |
16 |
100 |
|||||
8.
komunikasi dengan dokter bila ditemukan
inkompatibilitas |
Tidak |
2 |
12,5 |
|||||
Ya |
14 |
87,5 |
||||||
9.
Obat disajikan sesuai resep |
Ya |
16 |
100 |
|||||
10. Memperhatikan
mutu fisik obat |
Ya |
16 |
100 |
|||||
11. Pengetiketan
dengan jelas dan lengkap |
Ya |
16 |
100 |
|||||
12. Kontrol
kesesuaian dengan no resep, nama dokter, nama pasien, jumlah dan jenis obat |
Ya |
16 |
100 |
|||||
13. Informasi
penggunaan obat. |
Ya |
16 |
100 |
|||||
14. Informasi
khasiat obat. |
Ya |
16 |
100 |
|||||
15. Informasi
penyimpanan obat |
Tidak |
2 |
12,5 |
|||||
Ya |
14 |
87,5 |
||||||
16. Informasi
dosis dan frekuensi pemakaian obat. |
Ya |
16 |
100 |
|||||
17. Informasi
kemungkinan efek samping dan cara penanggulangannya. |
Tidak |
2 |
12,5 |
|||||
Ya |
14 |
87,5 |
||||||
Berdasarkan data yang terlihat pada tabel V.13
diperoleh nilai persentase� kegiatan untuk
pengkajian resep adalah hampir seluruh apoteker telah melakukannya (100%) hanya
2 apoteker saja yang tidak melakukan tiga ketentuan/kegiatan pengkajian resep,
seperti: komunikasi dengan dokter jika ditemukan inkompatibilitas, informasi
tentang penyimpanan obat, informasi kemungkinan efek samping (12,5%). Dari hasil
jawaban yang diberikan untuk pengkajian resep menunjukkan bahwa responden
termasuk dalam kategori sangat baik untuk penerapannya, hal ini dapat dilihat
dari persentase jawabannya : 87,5%; dan 100%. Nilai persentase ini dapat
diartikan bahwa apoteker mengetahui tujuan dari pengkajian resep itu adalah
untuk mencegah terjadinya kelalaian pencantuman informasi, penulisan resep yang
buruk dan penulisan resep yang tidak tepat sehingga apoteker dapat memahami dan
menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan dalam proses pelayanan.
Hal ini dapat dihindari jika apoteker saat melakukan prakteknya sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan. Namun berdasarkan pengamatan langsung diketahui
bahwa tidak semua kegiatan �dalam
pengkajian resep ini dilakukan oleh apoteker langsung melainkan dibantu oleh
tenaga teknis kefarmasian kecuali untuk obat-obat khusus seperti obat-obat HIV,
TB dan metadon semuanya ditangani langsung oleh apoteker. Hal ini disebabkan
oleh kurangnya tenaga kefarmasian dengan profesi apoteker dan juga banyaknya
jumlah resep per harinya yang harus dilayani sehingga pelayanan resep
diutamakan pelayanan cepat dan baik.
Pelayanan
informasi obat
Berikut Tabel 2.
Kegiatan pelayanan informasi obat (PIO) yang dilakukan Apoteker di Apotek Puskesmas
rawat inap di Jakarta tahun 2015
Kegiatan |
Jawaban |
N |
Persentase (%) |
1. Ada brosur/ atau bacaan tentang kesehatan |
Tidak |
7 |
43,8 |
Ya |
9 |
56,3 |
|
2. Ada Buletin/leaflet/ mading tentang informasi
obat |
Tidak |
3 |
18,8 |
Ya |
13 |
81,3 |
|
3. Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat
jalan, rawat inap dan masyarakat |
Tidak |
6 |
37,5 |
Ya |
10 |
62,5 |
|
4. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan
melalui telepon, surat atau tatap muka. |
Ya |
16 |
100 |
Data pada tabel ini diperoleh persentase� kegiatan untuk pelayanan informasi obat di
puskesmas. Dari data diperoleh� bahwa
apoteker-apoteker puskesmas rawat inap yang mewakili tiap wilayah DKI Jakarta
telah melakukan kegiatan pelayanan informasi obat dengan baik. Persentase
tertinggi (100%) untuk kegiatan PIO adalah dalam menjawab pertanyaan dari
pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat, dan tatap muka.� Hal ini juga didukung dengan hasil pengamatan
langsung bahwa hampir seluruh puskesmas rawat inap yang diteliti memiliki
dokumentasi pelayanan informasi obat (PIO) seperti : ada leaflet (81,3%);
dokumen kegiatan penyuluhan (62,5%); catatan pasien yang telah diberi PIO (Bintang &
Raditiyanto, 2023).
Berdasarkan pengamatan ini dapat diartikan bahwa
apoteker puskesmas rawat inap di DKI Jakarta menyadari pentingnya pelayanan
informasi obat (PIO) yang bertujuan menyediakan informasi mengenai obat kepada
tenaga kesehatan lain di lingkungan puskesmas, pasien, dan masyarakat serta
dengan PIO dapat menunjang penggunaan obat yang rasional , dan juga tenaga
kesehatan dan pasien telah memahami bahwa sumber informasi tentang obat dapat
diperoleh melalui apoteker. Namun demikian pada kegiatan penyediaan brosur/
bacaan tentang kesehatan dan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan, rawat
inap dan masyarakat persentase apoteker yang belum melakukan� masih tinggi(43,8% dan 37,5%) untuk penyediaan
brosur/ bacaan kesehatan, pengadaannya terkait anggaran yang disediakan oleh
puskesmas, sedangkan untuk kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan,rawat
inap dan masyarakat hal ini terkendala oleh waktu apoteker yang seringkali
berbenturan dengan waktu pelayanan obat.�
Apoteker masih harus lebih memfokuskan pada pelayanan obat, karena pada
pelayanan puskesmas harus mengutamakan zero komplain dari masyarakat
Konseling
Berikut Tabel 3. Konseling yang dilakukan Apoteker di Apotek
Puskesmas rawat inap di Jakarta tahun 2015
Kegiatan |
Jawaban |
N |
Persentase
(%) |
1. Layanankonseling kardiovasikular |
Tidak |
7 |
43,8 |
Ya |
9 |
56,3 |
|
2.Layanan konseling diabetes |
Tidak |
3 |
18,8 |
Ya |
13 |
81,3 |
|
3.Layanan konseling TB paru |
Tidak |
11 |
68,8 |
Ya |
5 |
31,3 |
|
4.Layanan konseling HIV |
Tidak |
6 |
37,5 |
Ya |
10 |
62,5 |
|
5.Memperagakan dan menjelaskan pemakaian obat
tertentu (inhaler, Supp, Obat tetes, dan lain-lain ). |
Tidak |
1 |
6.3 |
Ya |
15 |
93,8 |
|
6. Mengisi catatan medik pasien yang dikonseling |
Tidak |
5 |
31.3 |
Ya |
11 |
68,8 |
|
7.Menanyakan kembali pemahaman pasien tentang
pengobatan yang diberikan |
Tidak |
�1 |
6,3 |
Ya |
15 |
93,8 |
Hasil penelitian diperoleh dari 16 apoteker puskesmas rawat inap yang
ada di pada tiap wilayah Jakarta tahun 2015 hampir
seluruhnya telah melakukan kegiatan konseling namun tidak semua kegiatan
konseling dilakukan. Dari data dapat dilihat bahwa masih tidak tersedianya
ruang konseling di puskesmas, namun tidak menjadi kendala bagi apoteker untuk
melaksanakan konseling (Rahayu, 2023). Hal ini
berdasarkan data dimana persentase apoteker yang melakukan layanan konseling
untuk penyakit-penyakit tertentu persentasenya tinggi, seperti terlihat pada
layanan konseling kardiovasikular (56,3%), diabetes (81,3%) dan HIV (62,5%)
yang mana sesungguhnya pelayanan ini sangat membutuhkan ruangan khusus dalam
melakukannya karena adanya ruangan tersendiri akan meminimalkan segala bentuk
interupsi. Penerapan konseling yang baik juga didukung dengan pendokumentasian yang
baik. Hasil pengamatan terhadap responden yaitu salah satunya pada saat
melakukan konseling pasien HIV dan sudah adanya catatan pengobatan pasien.
Catatan medik pasien juga merupakan dokumen untuk mengevaluasi layanan
konsultasi (Kusumawati,
2022). Ada kartu pasien yang berisi identitas pasien, kepatuhan pasien,
diagnosis, nama dan cara penggunaan obat, keluhan selama minum obat, reaksi
alergi, efek samping dan hal-hal lain yang perlu disampaikan ke dokter. Namun
dari data (68,8%) dan hasil pengamatan langsung untuk kegiatan layanan
konseling untuk pasien TB belum dilakukan oleh apoteker, disebabkan karena
pemberian obat paket TB masih dilakukan oleh pemegang program khusus TB. Bahwa
sebaiknya Konsultasi� dilakukan apoteker
secara profesional yang manfaatnya adalah untuk meningkatkan kepatuhan pasien
terhadap regimen pengobatan. Juga berguna untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan terapi obat (Supardi et al., 2012).
Dari data ini menunjukkan bahwa sebagian
besar apoteker kini sangat menyadari bahwa salah satu upaya penting� mewujudkan perannya adalah konseling pasien
dalam rangka meningkatkan quality of life pasien sehingga diharapkan peningkatan
kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian yang dirasakan dampak
positifnya. Menurut KemKes tahun 2009 bahwa kegiatan konseling adalah salah
satu tugas pokok farmasi klinis dalam peran fungsional seorang apoteker.
Disadari oleh responden bahwa penerapannya masih sangat kurang hal ini
disebabkan oleh kendala penyediaan ruangan, kurangnya SDM, waktu
pelaksanaannya, serta ada beberapa puskesmas yang masih fokus pada manajerial.
Ronde /
visite
Berikut Tabel 4. Kegiatan ronde/visite yang dilakukan Apoteker di Apotek Puskesmas rawat
inap di DKI Jakarta tahun 2015
Kegiatan |
Jawaban |
N |
Persentase
(%) |
|
A. Pelaksanaan visite mandiri |
|
|
|
|
1.
kepada pasien
baru |
Tidak |
13 |
81,3 |
|
Ya |
3 |
18,8 |
|
|
2.
Semua
Pasien |
Tidak |
15 |
93,8 |
|
Ya |
1 |
6,3 |
|
|
3.
Pasien
lama Instruksi baru |
Tidak |
14 |
87,5 |
|
Ya |
2 |
12,5 |
|
Kegiatan |
Jawaban |
N |
Persentase
(%) |
|
B. Pelaksanaan visite bersama |
|
|
|
|
1.
Bersama tim kesehatan lain |
Tidak |
10 |
62,5 |
|
Ya
|
6 |
37,5 |
||
2.
Bersama dokter |
Tidak
|
12 |
75 |
|
Ya
|
4 |
25 |
||
C. Home
pharmacy Care |
|
|
|
|
1.
Pasien
TB paru |
Tidak
|
13 |
81,3 |
|
Ya
|
3 |
18,8 |
||
2.
Pasien
diabetes |
Tidak |
15 |
��� 93,8 |
|
Ya
|
1 |
6,3 |
|
|
3.
Pasien
lanjut usia |
Tidak
|
15 |
93,8 |
|
Ya
|
1 |
6,3 |
|
|
D.
Melakukan persiapan catatan pengobatan pasien dan
pustaka penunjang untuk visite bersama |
Tidak
|
11 |
68,8 |
|
Ya
|
5 |
31,3 |
|
|
E. Pendokumentasian
kegiatan visite |
Tidak |
12 |
75 |
|
Ya
|
4 |
25 |
|
Pada tabel dapat kita lihat bahwa pelaksanaan
kegiatan ronde/visite oleh apoteker puskesmas rawat inap di tiap wilayah
Jakarta bahwa� hampir seluruh
apoteker� belum melakukan (93,8%;81,3%;87,5%;75%)
namun demikian sudah ada apoteker yang melakukan walaupun tidak seluruh
kegiatan ronde/visite dilakukan. Dari data terlihat persentase apoteker yang
melakukan kegiatan visite bersama tim kesehatan lain di puskesmas lebih besar
(37,5%), meskipun masih banyak kekurangan salah satunya adalah belum adanya
atau belum tertata dengan baik dokumentasi kegiatan ronde/visite yang telah
dilakukan. Peran ini sebisa mungkin dilakukan walau masih jauh dari sempurna,
karena responden sangat memahami perannya sebagai apoteker pada puskesmas rawat
inap dimana ronde/visite adalah juga salah satu tugas pokok farmasi klinik
khususnya untuk rawat inap dan juga sudah tertuang dalam Permenkes 30 tahun
2014. Apoteker melakukan praktik di ruang rawat (visite) sesuai
dengan kompetensi dan kemampuan farmasi klinik yang dikuasai (Kusumawati, 2023). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberadaan apoteker di ruang
rawat mampu mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah terkait obat, serta
menurunkan medication errors.(Kemkes,Pedoman visite) (Ikawati, 2010). Hasil Penelitian Kjeldby 2009 juga menunjukkan kontribusi positif apoteker terhadap jaminan
kualitas terapi obat di ruang rawat (7 dari 8 dokter dan seluruh perawat
mengakui hal tersebut).
�����������
Monitoring
Efek Samping Obat (MESO)
Berikut Tabel 5. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) yang dilakukan
Apoteker di Puskesmas rawat inap di Jakarta tahun 2015
Kegiatan |
Jawaban |
N |
Persentase
(%) |
1. Mengumpulkan data untuk di isi di form MESO |
Tidak |
11 |
68,8 |
Ya |
5 |
31,3 |
|
2. Melakukan identifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi
efek samping obat |
Tidak |
12 |
75 |
Ya |
4 |
25 |
Data penelitian pada tabel memperlihatkan bahwa
secara keseluruhan apoteker� di puskesmas
rawat inap yang ada pada tiap wilayah Jakarta telah menyediakan formulir
monitoring efek samping obat (MESO) walaupun sebagian besar apoteker tidak
melakukan semua kegiatannya karena belum ada kasus efek samping obat. Adanya
pelaksanaan kegiatan MESO ini dibutuhkan kerjasama yang baik dengan tim
kesehatan lain seperti dokter dan perawat. Oleh karena itu MESO ini sangat
tergantung motivasi dari masing-masing tim kesehatan.� Namun dari pengamatan juga diperoleh
bahwa� sudah ada apoteker yang telah
melakukan kegiatan MESO serta dalam melakukan kegiatannya didukung dengan
pendokumentasian.
Pemantauan
Terapi Obat (PTO) dan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Berikut 6. Pemantauan terapi obat (PTO) yang dilakukan Apoteker Puskesmas rawat inap di� Jakarta tahun 2015.
Kegiatan |
Jawaban |
N |
Persentase
(%) |
1.Monitoring/pemantauan terapi pada pasien anak-anak lanjut usia, ibu hamil
dan menyusui |
Tidak |
11 |
68,8 |
Ya |
5 |
31,3 |
|
2.Monitoring/ pemantauan terapi pada pasien yang menerima obat lebih
dari 5 jenis |
Tidak |
10 |
62,5 |
Ya |
6 |
37,5 |
|
3.Monitoring/ pemantauan terapi pada pasien dengan multidiagnosis |
Tidak |
13 |
81,3 |
Ya |
3 |
18,8 |
|
4.Monitoring/pemantauan terapi pada pasien yang menerima obat dengan indeks terapi sempit |
Tidak |
14 |
87,5 |
Ya |
2 |
12,5 |
|
5.Monitoring/pemantauan terapi pasien menerima obat yang sering
diketahui menyebabkan reaksi obat yang merugikan (ROM) . |
Tidak |
14 |
87,5 |
Ya |
2 |
12,5 |
Berikut Tabel 7.� Evaluasi
Penggunaan obat (EPO) yang dilakukan Apoteker Puskesmas rawat inap di DKI
Jakarta tahun 2015.
Kegiatan |
Jawaban |
N |
Persentase
(%) |
|
1.Tiap bulan melakukan pelaporan evaluasi
penggunaan obat. |
Tidak |
2 |
12,5 |
|
Ya |
14 |
87,5 |
|
|
2. Apakah Mendapatkan gambaran pola penggunaan
obat pada kasus tertentu Mis: Diare , ISPA |
Tidak |
3 |
18,8 |
|
Ya |
13 |
81,3 |
|
Data penelitian pada tabel menunjukkan bahwa sebagian besar apoteker
belum melakukan pemantauan terapi obat di puskesmas (PTO) seperti yang ada pada
Permenkes, namun sudah ada apoteker yang melakukan meskipun dalam penerapannya
belum sempurna dan belum terdokumentasi dengan baik. Berdasarkan pengamatan
bahwa apoteker yang melakukan kegiatan PTO ini memantau terapi pasien melalui
catatan pengobatan pasien (Kusumawati,
2019). Tidak dilakukannya kegiatan ini karena apoteker terkendala dengan
waktu dimana apoteker masih harus fokus pelayanan obat, administrasi dan
manajemen. Namun khusus pada pelayanan puskesmas bahwa tiap bulan ada laporan
pemantauan dan evaluasi penggunaan obat. Pada tabel�
memperlihatkan penerapan evaluasi penggunaan obat telah dilakukan
diseluruh puskesmas rawat inap pada tiap wilayah Jakarta tahun 2015. Untuk
puskesmas sudah dilakukan pemantauan dan evaluasi penggunaan obat� oleh apoteker, yang mana kegiatannya yaitu
dengan melakukan pelaporan rutin tiap bulan yang dikirimkan ke SUDIN kesehatan
masing-masing wilayah Jakarta. Adapun laporan tersebut adalah laporan pemakaian dan lembar
permintaan obat (LPLPO), laporan penggunaan obat rasional berupa formulir
monitoring indikator peresepan.
Hasil Analisa Kualitatif
����������� Pada bagian ini akan disajikan dengan matriks
(Lampiran ) hasil wawancara�� peneliti
dengan setiap Koordinator Pelayanan Kesehatan (Kaur Yankes) dari tiap puskesmas
rawat inap yang diteliti. Koordinator Pelayanan Kesehatan (Kaur Yankes) atau
coordinator usaha kesehatan perorangan (UKP) adalah dijabat seorang dokter
dimana pelayanan kefarmasian yang ada pada puskesmas secara struktural berada
dibawah pelayanan UKP (Jiati, 2022).
Hasil wawancara yang diperoleh dimaksudkan untuk mengetahui faktor
yang mendukung penerapan pelayanan farmasi klinik di puskesmas rawat inap di
wilayah Jakarta. Dukungan baik
dari pimpinan puskesmas, penanggung jawab/coordinator UKP, maupun tenaga
professional kesehatan lainnya sangat mempengaruhi pelaksanaan pelayanan
farmasi klinik khususnya dalam lingkup kerja puskesmas. Oleh karenanya peneliti
mengambil informan untuk diwawancarai adalah kaur yankes/coordinator UKP. Berikut hasil rangkuman dari matriks wawancara delapan Kaur yankes/coordinator UKP Puskesmas rawat inap di Jakarta tahun 2015 bahwa :
� Dalam pelayanan kefarmasian yang terpenting
adalah harus dilakukan oleh apoteker. Hasil wawancara ini menunjukkan bahwa
penanggung jawab UKP atau kaur yankes pada masing-masing puskesmas sangat
mendukung dan mengetahui pentingnya peran apoteker demi terselenggaranya
pelayanan kefarmasian yang optimal.
� Pelayanan farmasi klinik di puskesmas telah
dilakukan yang ditunjukkan dengan : medication error tidak terjadi, pelayanan
obat selalu terpenuhi selama 24 jam untuk layanan rawat inap, zero complain
selama pelayanan. Hasil wawancara ini dapat memperlihatkan bahwa pelayanan
farmasi klinik di puskesmas rawat inap telah berjalan namun belum dilaksanakan
secara menyeluruh yang dimaksudkan bahwa asuhan kefarmasian� dalam pelayanan pengobatan pasien belum bisa
dirasakan langsung oleh pasien. Hal ini dapat disebabkan oleh monitoring yang
belum optimal baik dari pimpinan maupun coordinator pelayanan UKP tentang
bagaimana tanggung jawab apoteker dalam memberikan pelayanan farmasi klinik
sehingga dapat mewujudkan suatu asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) yang juga memegang peranan penting dalam
meningkatkan kualitas hidup pasien.
� Dalam hal kecukupan SDM apoteker di puskesmas
rawat inap sudah cukup dan sesuai standard. Namun berdasarkan pengamatan
langsung masih ada dua puskesmas yang hanya memiliki satu apoteker. Idealnya
untuk puskesmas rawat inap harus memiliki minimal dua orang apoteker sehingga
dalam memberikan pelayanan kefarmasian lebih optimal dan menyeluruh.
� Pendapat dengan adanya Permenkes 30 tahun 2014
berharap kedepannya tidak ada lagi kesalahan obat, PIO lebih digiatkan serta
apoteker menjadi lebih focus dalam pelayanan kefarmasian sehingga dapat
meningkatkan kepuasan pasien
� Komunikasi dan kerjasama dengan tenaga kesehatan
lain berjalan baik utamanya tentang ketersediaan obat, ada kerjasama dalam
kegiatan berbagai program puskesmas misalnya kegiatan penyuluhan.
Gambaran factor yang mendukung pelaksanaan pelayanan
farmasi klinik ini
menggambarkan bahwa atmosfer dalam tim kesehatan terprediksi secara positif dan
jika kondisi ini terjadi terus menerus maka apoteker akan merasa mereka
memiliki mekanisme untuk mendapatkan umpan balik dari rekan seprofesi., sebab
menurut Russel G et al bahwa
kepemimpinan, klarifikasi peran, dan komunikasi menjadi sangat penting dalam
keberhasilan suatu organisasi inter-profesional.
Kesimpulan
Penerapan
standar� pelayanan farmasi klinik pada
Puskesmas rawat inap di DKI Jakarta sesuai PerMenKes No 30 tahun 2014 adalah :
(a) pengkajian resep dilakukan sangat baik; (b) Apoteker puskesmas rawat inap
yang mewakili tiap wilayah DKI Jakarta telah melakukan kegiatan pelayanan
informasi obat dengan baik. (c) kegiatan konseling dilakukan cukup baik, walau
terkendala ruangan (d) kegiatan ronde/visite sangat kurang dalam pelaksanaanya.
(e) kegiatan MESO masih kurang dalam pelaksanaannya, sebatas penyediaan form
MESO. (f) kegiatan PTO sangat kurang dalam pelaksanaan. (g) evaluasi penggunaan
obat berjalan dengan baik.
Faktor yang
mempengaruhi penerapan pelayanan farmasi klinik puskesmas rawat inap di Jakarta
adalah belum adanya regulasi di puskesmas yang mengikat dalam pelaksanaan
farmasi klinik serta dukungan penuh dari pimpinan dalam menyediakan sumber daya
manusia maupun sarana dan prasarana pelayanan farmasi klinik di puskesmas.
Pelayanan farmasi
klinik di puskesmas rawat inap Jakarta tahun 2015 sudah terlaksana namun masih
membutuhkan peningkatan agar pelayanan farmasi klinik dilakukan lebih
menyeluruh dan terpadu dengan meningkatkan kerja sama dengan professional
kesehatan lainnya.
BIBLIOGRAFI
Bintang, G., & Raditiyanto, S. (2023).
The Characterization Of The Main Characte And Ivan Ilyich Character Analysis In
The Short Stories The Death Of Ivan Ilyich Written By Leo Tolystoy. Equivalent:
Jurnal Ilmiah Sosial Teknik, 5(1), 1�8.
Feneranda, E., Pambudi, R. S., & Septiana, R.
(2022). Gambaran Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Kefarmasian Di
Apotek Sehati Surakarta Selama Masa Pandemi Covid-19. Universitas Sahid
Surakarta.
Ikawati, Z. (2010). Evaluasi Peran Apoteker
Berdasarkan Pedoman Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas. Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Jiati, J. (2022). Peningkatan Hasil Belajar Pendidikan
Kewarganegaraan Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Group Investigation Kelas
Xii Ips 4 Di Sma Negeri 1 Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan
Timur. Journal Locus Penelitian Dan Pengabdian, 1(8), 683�693.
Https://Doi.Org/10.58344/Locus.V1i8.344
Krisdiyanto, A., Dewi, K., Wiguna, S. A., Kriswandaru,
A. S., & Kriswanatu, A. (2023). Analisis Pengaruh Aktifitas Pasar Bintoro
Demak Terhadap Kemacetan Di Jalan Sultan Fatah. Jurnal Impresi Indonesia,
2(1), 91�100. Https://Doi.Org/10.58344/Jii.V2i1.2047
Kusumawati, E. (2019). Minat Beli Produk Ramah
Lingkungan Sebagai Dampak Dari Implementasi Green Advertising. In Jurnal
Kajian Ilmiah (Vol. 19, Issue 1, P. 57).
Https://Doi.Org/10.31599/Jki.V19i1.394
Kusumawati, E. (2022). Analisis Swot Faktor Penyebab
Penurunan Jumlah Peserta Didik Lembaga Paud Di Kabupaten Bogor. Tarbiatuna:
Journal Of Islamic Education Studies, 2(2), 88�96.
Https://Doi.Org/10.47467/Tarbiatuna.V2i2.660
Kusumawati, E. (2023). Efektivitas Kerja Guru. Jiip
- Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 6(3), 1487�1492.
Https://Doi.Org/10.54371/Jiip.V6i3.1578
Organization, W. H. (1998). The Role Of The Pharmacist
In Self-Care And Self-Medication: Report Of The 4th Who Consultative Group On
The Role Of The Pharmacist, The Hague, The Netherlands, 26-28 August 1998. In The
Role Of The Pharmacist In Self-Care And Self-Medication: Report Of The 4th Who
Consultative Group On The Role Of The Pharmacist, The Hague, The Netherlands,
26-28 August 1998.
Priyandani, Y. (2019). Model Asuhan Kefarmasian Dan
Pengaruhnya Terhadap Perilaku Kepatuhan Regimen Terapi Obat Pada Pasien
Tuberkulosis. Universitas Airlangga.
Putri, T. N. (2019). Efektivitas Fatwa Mui No 33
Tahun 2018 Tentang Penggunaan Vaksin Mr (Measles Rubella) Produk Dari Sii
(Serum Intitute Of India) Untuk Imunisasi (Studi Kasus Di Kecamatan Jetis
Kabupaten Ponorogo). Iain Ponorogo.
Rahayu, Y. M. (2023). Application Of Inquiry Learning
Methods To Increasing Students� Interest In Speaking English. Equivalent:
Jurnal Ilmiah Sosial Teknik, 5(1), 63�74.
Rantucci, M. J. (2007). Pharmacists Talking With
Patients: A Guide To Patient Counseling. Lippincott Williams & Wilkins.
Sastrohadiwiryo, B. S. (2002). Manajemen Tenaga
Kerja Indonesia: Pendekatan Administratif Dan Operasional. Bumi Aksara.
Shah, B., & Chewning, B. (2006). Conceptualizing
And Measuring Pharmacist-Patient Communication: A Review Of Published Studies. Research
In Social And Administrative Pharmacy, 2(2), 153�185.
Supardi, S., Raharni, S. A. L., & Herman, M. J.
(2012). Evaluasi Peran Apoteker Berdasarkan Pedoman Pelayanan Kefarmasian Di
Puskesmas. Media Litbang Kesehatan, 22.
Svarstad, B. L., Bultman, D. C., & Mount, J. K.
(2004). Patient Counseling Provided In Community Pharmacies: Effects Of State
Regulation, Pharmacist Age, And Busyness. Journal Of The American
Pharmacists Association, 44(1), 22�29.
Tri Handayani, E. (2021). Gambaran Tingkat Kepuasan
Pasien Terhadap Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Cemara Adiwerna. Diii
Farmasi Politeknik Harapan Bersama.
Umar, A. (2020). Gambaran Tingkat Kepuasan Pasien
Terhadap Pelayanan Obat Di Apotek X Desa Pattimang Kecamatan Malangke Kabupaten
Luwu Utara Tahun 2020. Jurnal Kesehatan Luwu Raya, 7(1), 22�27.
Wiratama Putra, A. (2023). Implementation Of
Anesthesia Ethics To Improve Medical Professionalism. Indonesian Health
Journal, 2(1), 78�82.
Https://Doi.Org/10.58344/Indonesianhealthjournal.V2i1.25
Copyright holder: Waode Nadia, Delina
Hasan, Yetty Hersunaryati (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |