Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
5, Mei 2023
POLA HUBUNGAN SOSIAL DAN EKSISTENSI MASYARAKAT HINDU
TOLOTANG DI DESA KALOSI ALAU, KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG PROVINSI SULAWESI
SELATAN
Moch. Dienul Fajry
Kadir, Hasbi, Muh. Iqbal Latief
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian ini mengkaji tentang pola hubungan sosial
dan eksistensi pada masyarakat
benteng Tolotang di desa Kalosi alau
kabupaten Sidrap. Istilah benteng Tolotang terdiri dari kata �Tolotang� dan �Benteng�. Tolotang berasal dari istilah
toriolota yang disingkat menjadi rakyat dan riolota artinya untuk sekali
kemudian disingkat menjadi nama Tolotang.
Kemudian tolotang ini menjadi kepercayaan
masyarakat setempat.
Artikel ini juga mendeskripsikan
keberadaan Hindu Tolotang dalam masyarakat Bugis, yang sebagian besar berdomisili di Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan. Tolotang
pada awalnya adalah agama lokal kuno orang Bugis yang telah berafiliasi ke Hindu sejak tahun 1966, sehingga sekarang dikenal sebagai Hindu Tolotang. Pilihan mereka untuk berafiliasi ke Hindu disebabkan oleh tekanan dari komunitas
agama lain selama beberapa abad. Masyarakat Benteng Tolotang merupakan komunitas masyarakat yang memiliki dua unsur, yaitu unsur Islam dan unsur Tolotang, mereka mengakui sebagai Tuhannya para Dewa SeuwaE Mereka dan Sawerigading sebagai Nabinya. Dan mereka memiliki kitab suci berupa lontara-lontara,
memiliki pemmali-pemmali Benteng Tolotang yang dipimpin oleh seorang �Uwatta� sebagai tokoh informal. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif dengan metode studi kasus
dengan mengambil informan sebanak 3 orang dengan observasi dan wawancara .
Hasil penelitian ini menunjukkan struktur sosial Benteng Tolotang berdimensi dua yaitu vertikal dan horizontal,
dan pola hubungan sosial dalam masyarakat
Benteng Tolotang terdapat dua pola hubungan yaitu uwatta sebagai pemimpin spiritual dalam masyarakat mempercayai Benteng Tolotang dan uwatta sebagai pemimpin informal dalam masyarakat. Dengan demikian, keputusan para pemuka agama lokal Tolotang untuk berafiliasi ke dalam agama Hindu pada tahun
1966, sebenarnya memiliki landasan yang tepat. Implementasi perbedaan antara Hindu Tolotang dengan komunitas Hindu dari etnis lain disebabkan oleh prinsip desa (tempat), kala (waktu), dan patra (situasi dan kondisi), serta perbedaan yang diekspresikan dari konsep satwam (ketaatan), siwam (keagungan), dan sundaram (keindahan) dalam agama Hindu.
Kata Kunci: pola hubungan sosial; eksistensi kepmimpinan uwata; komunitas hindu tolotang
Abstract
This study examines the patterns of social
relationships and eksistensi in the community Tolotang fort in village Kalosi alau kabupaten Sidrap. The term Tolotang
fortress consists of the word �Tolotang� and
�Castle�. Tolotang derived from the term toriolota abbreviated to mean the people and riolota To once or ancestors later
shortened the name Tolotang and later became a
confidence and trust. This article describes the existence of Hindu Tolotang in Bugisnese society,
which most of them are domiciled in Sidenreng Rappang District, South Sulawesi Province. Tolotang at the firstly is the ancient local religion of Bugisnese that have been affiliated to Hindu since 1966, so
have been known as Hindu Tolotang now. Their option
to affiliate to Hinduism was caused by pressures from other religious
communities for several centuries. Community Tolotang
Fortress is a community of people who have two elements, namely the elements of
Islam and elements Tolotang, they recognize as the
God of Gods SeuwaE They and Sawerigading
as Prophet m hey. And they have a holy book in the form of lontara-lontara,
has pemmali-pemmali Tolotang
Citadel led by a �Uwatta� as the highest piumpinan. The approach used is qualitative with case study
method by taking informants sebanak 4 by way of
sampling. The results of this study indicate social structures are
two-dimensional Tolotang Fort vertical and
horizontal, and the pattern of social relations in the community Tolotang fortress there are two patterns of relationships
that uwatta as a spiritual leader in the community
trust Tolotang Fortress and uwatta
as informal leaders in the community. Thus, the decision of the leaders of Tolotang local religion to affiliate into Hinduism in 1966,
actually have the right foundation. The implementation of the differences
between Hindu Tolotang and Hinduism communties from other ethnic groups are caused by the
principles of desa (place), kala (time), and patra (situation and condition), also the differences
expressing of the concept of satwam (obedience), siwam (greatness), and sundaram
(beauty) in Hinduism.
Keywords:
social relationship; existence; leadership
uwatta; tolotang hindu community
Pendahuluan
Di Indonesia terdapat beberapa etnis yang mempunyai kepercayaan lokal dengan konsep
ajaran yang jelas dan tradisinya masih dijalankan oleh masyarakat pendukungnya hingga sekarang, seperti: kepercayaan Kaharingan pada masyarakat Dayak, Aluk Todolo pada masyarakat Toraja, Tolotang pada masyarakat Bugis, Kejawen pada masyarakat Jawa, Sunda Wiwitan atau
Karuhunan pada masyarakat Sunda, dan lain-lain (Asri, 2022). Namun dalam kenyataannya kepercayaan-kepercayaan lokal
yang terdapat di dalam suku-suku di Indonesia kurang mendapat perhatian pemerintah, dibandingkan dengan agama-agama resmi yang diakui oleh negara, seperti
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Hal ini terbukti dengan
tidak terdapatnya instansi yang menangani kepercayaan-kepercayaan lokal di
Kementerian Agama.
Kehidupan bermasyarakat dalam proses interaksi sosial itu terjadi
antara individu didalam komunitas yang sama ataupun komunitas
yang berbeda dengan berbagai pola interaksi
(Lestari, 2013). Dengan adanya interaksi tersebut biasanya tercipta kehidupan yang dinamika dan kondusif yang seimbang, serasi ataupun harmonis diantara berbagai individu serta komunitas dalam masyarakat.
Perbedaan-perbedaan itu terkadang disebabkan persoalan sosial, suku, organisasi politik, agama, ras serta budaya yang dimiliki. Oleh sebab itu manusia Indonesia menciptakan dan� menentukan serta ditentukan oleh lingkungan dimana mereka hidup
sebagai kelompok yang mampu beradaptasi dengan lingkungan fisik dan biologisnya (Sudaryo et al., 2018). Pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan serta tradisi-tradisi yang diwariskan itu secara tersosialisasi
dari generasi ke generasi yang sampai pada muaranya mereka tidak mengetahuinya
(Maidin, 2016). Sehingga pada akhirnya kelompok atau suku dan� ras itu menerimanya secara legal dari pembenaran itu, apakah itu berupa
nilai- nilai, norma-norma, status dan lain-lain yang cenderung
untuk mempercayainya serta menerimanya dalam kehidupan sehari-hari mereka.� Kehidupan bermasyarakat dalam proses interaksi sosial itu terjadi antara
individu didalam komunitas yang sama ataupun komunitas yang berbeda dengan berbagai pola interaksi
(Agustang, 2021). Dengan adanya interaksi tersebut biasanya tercipta kehidupan yang dinamika dan kondusif yang seimbang, serasi ataupun harmonis diantara berbagai individu serta komunitas dalam masyarakat.
Pada setiap komunitas
manusia memiliki struktur sosial atau tatanan baku
yang disepakati serta fungsi yang melekat pada setiap bagian struktur
sosial tersebut. Apakah yang berkaitan dengan kedudukan atau posisi, peranan,
dan pola kepemimpinan serta faktor-faktor yang pengikat yang dapat diterapkan dalam bentuk tatanan baku (Maidin & SH, 2017). Sebab dalam suatu komunitas
sangat perlu adanya Pattern
yang berfungsi sebagai pengatur tingkah laku setiap anggota
komunitasnya (Agustang, 2021). Dengan demikian masyarakat tersebut memiliki solidaritas yang cukup tinggi dan dapat dijadikan identitas sosial, sehingga berbeda dengan komunitas atau kelompok sosial yang lain. Ikatan sosial yang dimiliki oleh komunitas itu merupakan suatu
wilayah yang terbatas dan jelas.
Begitu juga komunitas yang terdapat di Desa Kalosi Alau Kabupaten
Sidenreng Rappang yaitu yang hidupnya sehari-hari kelihatan seperti masyarakat umum, tapi jika
ditelusuri lebih dalam sesungguhnya memiliki spesifik tersendiri baik dari segi norma-norma
peranan, pola kepemimpinan, interaksi antara mereka, utamanya pemimpin mereka yang disebut �Uwatta�. Tolotang juga merupakan sebutan bagi aliran kepercayaan
yang mereka anut.
Metode Penelitian
Artikel ini merupakan hasil penelitian lapangan yang dilakukan selama satu bulan di Desa
Kalosi Alau, Kabupaten Sidenreng Rappang pada bulan Desember 2022. Penelitian ini menggunkan metode kualitatif melalui pendekatan studi kasus dengan
tujuan untuk menganalisa secara komparasi pola hubungan sosial masyarakat tolotang di Desa Kalosi Alau
Kabupaten Sidrap (Samad, 2022) (Harahap, 2020). Sebagaimana yang dijelaskan oleh (Creswell, 2016) bahwa proses penelitian kualitatif melibatkan upaya-upaya penting, yang meliputi pengajuan pertanyaan dan prosedur pengumpulan data secara spesifik dari subyek penelitian,
menganalisis data secara induktif dimulai dari tema khusus
ke tema umum
dan menafsirkan makna data.
Secara garis besar data tersebut terbagi menjadi dua, yaitu data primer
dan data sekunder. Data primer dalam
penelitian ini adalah data yang diperoleh secara langsung di lokasi penelitian melalui observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi terhadap informan penelitian di Desa Kalosi Alau
(Yani & Salam, 2020). Sedangkan data sekunder merupakan data���� yang diperoleh secara tidak langsung
melalui referensi terkait tentang pola hubungan sosial
masyarakat dan eksistensi tolotang khususnya di Desa Kalosi Alau
Kabupaten Sidrap (Asriadi, 2022). Informan dalam penelitian ini sebanyak 3 orang yang terdiri dari 1 orang Ketua Adat, 1 orang kepala desa dan 1 orang masyarakat yang bekerja sebagai petani� sekaligus menganut kepercayaan Tolotang.
Hasil dan Pembahasan
Kabupaten Sidenreng
Rappang atau yang biasa disingkat Sidrap secara geografis
terletak di bagian tengah Provinsi Sulawesi Selatan.
Secara astronomis terletak pada koordinat 3o 43� s.d. 4o 09� LS dan 119o 41� s.d.
120o 10� BT (Setiawan,
n.d.). Sebelah
utara berbatasan dengan Kabupaten Pinrang dan Kabupaten Enrekang, sebelah timur dengan Kabupaten
Luwu dan Kabupaten Wajo, sebelah selatan
dengan Kabupaten Barru dan Kabupaten Soppeng, sebelah barat dengan Kabupaten Pinrang dan Kotamadya Pare-Pare (Rahim,
2017). Ibukota
Kabupaten Sidenreng Rappang adalah Pangkajene (termasuk dalam wilayah Kecamatan MaritengngaE) yang berjarak 183
km dari Kota Madya Makassar. Kata Towani
berasal dari struktur kata to yang
berarti orang, dan wani yang merupakan nama
sebuah kampung. Dengan demikian, towani berarti orang yang berasal dari Wani, di Kabupaten Wajo. Sedangkan Tolotang berasal dari kata to yang
berarti orang dan lotang berarti selatan.
Dengan demikian Towani Tolotang berarti orang-orang yang berasal dari Desa Wani dan tinggal di sebelah selatan pasar (Setiawan,
n.d.). Ajaran
Tolotang tidak dituliskan di dalam kitab, melainkan disampaikan secara turun-temurun melalui tradisi lisan. Setelah berafiliasi ke Hindu, ajaran Tolotang melalui tradisi lisan tersebut dipadukan dengan ajaran Hindu yang didasarkan pada
kitab- kitab Weda.
Masyarakat Towani
Tolotang menyebut Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan
Dewata Seuwae. Tempat suci bagi
mereka terletak di Parinyameng, sebelah barat Pasar Amparita, di pusat Kecamatan Tellu LimpoE. Parinyameng adalah tempat makam
leluhur masyarakat Tolotang, seorang wanita bernama Ipabbere (Setiawan,
n.d.). Ia
adalah tokoh yang lari dari Wajo
dengan membawa kepercayaan Tolotang ke Sidenreng Rappang.
Sebelum meninggal, Ipabbere berpesan agar penganut kepercayaan Tolotang membuat acara tahunan di Parinyameng yang disebut Sipulung, yang berarti �bertemu dan bersatu�.� Sampai sekarang setiap tahun, tepatnya
pada pertengahan Januari, diadakan upacara Sipulung di makam Ipabbere.
Hal yang sedikit
berbeda antara kepercayaan Tolotang dengan filosofi Hindu adalah konsep mengenai
reinkarnasi dan hari kiamat. Penganut Hindu Tolotang tidak percaya terhadap konsep reinkarnasi, namun mempercayai adanya hari kiamat,
yang disebut dengan lino paimang (Buku,
2018). Meskipun
demikian, penganut Hindu Tolotang mengenal konsep karma phala, yaitu perbuatan manusia yang akan dibalas, baik ketika
masih hidup maupun di akhirat nanti. Konsep karma phala dalam bahasa
Bugis disebut dengan baliwindru, berasal dari kata bali yang berarti
�lawan� dan windru yang berarti �perbuatan�. Dengan demikian baliwindru berarti �balasan terhadap perbuatan yang tidak baik�.
Di samping
terdapat perbedaan konsep reinkarnasi dan hari kiamat, terdapat
pula perbedaan implementasi
ajaran Hindu dalam kehidupan sehari-hari antara umat Hindu Tolotang dengan umat Hindu pada umumnya, khususnya umat Hindu dari Bali (Segara
et al., n.d.). Perbedaan
implementasi tersebut, antara lain:
a)
Salam terhadap sesama umat Hindu
Antara sesama umat Hindu Tolotang ketika saling bertemu
tidak menggunakan salam �Om Swastiastu.� Ucapan
salam yang mereka gunakan adalah �Salamo�,
yaitu ucapan salam bagi masyarakat
Bugis pada umumnya. Salam �Om Swastiastu� baru
diucapkan ketika bertemu dengan sesama umat Hindu dari etnis lain.
b)
Tempat ibadah dan waktu sembah yang
Umat Hindu Tolotang tidak mengenal tempat beribadah secara khusus, seperti pura untuk umat Hindu etnis Bali atau mandhir Tidak diakuinya
kepercayaan-kepercayaan lokal
setingkat dengan
agama-agama resmi negara menyebabkan
masyarakat yang tetap ingin mempertahankan kepercayaan lokalnya terpaksa berkompromi dengan berafiliasi ke salah satu dari
agama-agama resmi negara. Hal yang menarik, banyak di antara penganut kepercayaan lokal tersebut yang memilih berafiliasi ke agama Hindu.� Meskipun telah berafiliasi ke Hindu, mereka tetap mempraktikkan upacara- upacara dari ajaran leluhurnya.
Hal ini menyebabkan munculnya penggabungan nama antara kepercayaan
lokal dengan agama Hindu, seperti: Hindu Kaharingan, Hindu Alukta, Hindu Tolotang, Hindu Kejawen, dan lain-lain. Di lain pihak,
masyarakat awam masih beranggapan bahwa praktik-praktik upacara agama Hindu yang dianggap
benar selama ini adalah praktik-praktik
upacara yang mengacu pada penganut Hindu di Bali, sehingga implementasi tradisi Hindu di luar Bali dianggap salah. Salah satu kepercayaan lokal yang berafiliasi dengan agama Hindu yang hendak dipaparkan dalam tulisan ini adalah Hindu Tolotang pada masyarakat Bugis. Penganut Hindu Tolotang sebagian besar berdomisili di Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan, dengan
jumlah penganut sekitar 30 ribu jiwa (Hasse, n.d.)
Meskipun secara resmi telah
berafiliasi ke agama Hindu,
komunitas Hindu Tolotang masih mengalami permasalahan, baik yang disebabkan oleh faktor dari luar maupun
dari dalam. Faktor dari luar,
antara lain dalam menjalin hubungan sosial-keagamaan dengan penganut agama lainnya, terutama sesama komunitas Bugis yang pada umumnya
menganut agama Islam. Sedangkan
faktor dari� dalam,
antara lain: mensinergikan ajaran agama Hindu dengan kepercayaan Tolotang, pendidikan agama Hindu untuk anak-anak mereka selaku generasi muda penerus tradisi
Tolotang, dan lain-lain.
Masyarakat Towani Tolotang menyebut Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan
Dewata Seuwae. Tempat suci bagi
mereka terletak di Parinyameng, sebelah barat Pasar Amparita, di pusat Kecamatan Tellu LimpoE. Parinyameng adalah tempat makam
leluhur masyarakat Tolotang, seorang wanita bernama Ipabbere. Ia adalah
tokoh yang lari dari Wajo dengan
membawa kepercayaan Tolotang ke Sidenreng
Rappang. Sebelum meninggal, Ipabbere berpesan agar penganut kepercayaan Tolotang membuat acara tahunan di Parinyameng yang disebut Sipulung, yang berarti �bertemu dan bersatu�.� Sampai sekarang setiap tahun, tepatnya pada pertengahan Januari, diadakan upacara Sipulung di makam Ipabbere.
Hal yang sedikit berbeda antara kepercayaan Tolotang dengan filosofi Hindu adalah konsep mengenai
reinkarnasi dan hari kiamat. Penganut Hindu Tolotang tidak percaya terhadap konsep reinkarnasi, namun mempercayai adanya hari kiamat,
yang disebut dengan lino paimang. Meskipun demikian, penganut Hindu Tolotang mengenal konsep karma phala, yaitu perbuatan
manusia yang akan dibalas, baik ketika
masih hidup maupun di akhirat nanti. Konsep karma phala dalam bahasa
Bugis disebut dengan baliwindru, berasal dari kata bali yang berarti
�lawan� dan windru yang berarti �perbuatan�. Dengan demikian baliwindru berarti �balasan terhadap perbuatan yang tidak baik�.
Di samping terdapat perbedaan konsep reinkarnasi dan hari kiamat, terdapat
pula perbedaan implementasi
ajaran Hindu dalam kehidupan sehari-hari antara umat Hindu Tolotang dengan umat Hindu pada umumnya, khususnya umat Hindu dari Bali. Perbedaan implementasi tersebut, antara lain:
c)
Salam terhadap sesama umat Hindu
Antara sesama umat Hindu Tolotang ketika saling bertemu
tidak menggunakan salam �Om Swastiastu.� Ucapan
salam yang mereka gunakan adalah �Salamo�,
yaitu ucapan salam bagi masyarakat
Bugis pada umumnya. Salam �Om Swastiastu� baru
diucapkan ketika bertemu dengan sesama umat Hindu dari etnis lain.
d)
Tempat ibadah dan waktu sembah yang
Umat Hindu Tolotang tidak mengenal tempat beribadah secara khusus, seperti pura untuk umat Hindu etnis Bali atau mandiri.
Untuk�umat�Hindu etnis India. Tempat sembahyang bagi umat Hindu Tolotang adalah rumah adat-rumah adat milik para uwata, yang sering disebut sebagai bola lampoE.
Di rumah para uwata ini pula yang mereka pergunakan sebagai tempat pembinaan agama bagi generasi muda.
Penggunaan rumah-rumah milik para uwata untuk tempat beribadah
ini menunjukkan adanya keterikatan yang kuat antara umat
Hindu Tolotang dengan para uwata.
Berkaitan dengan waktu sembahyang,
umat Hindu etnis Bali misalnya, mempunyai waktu khusus untuk
bersembahyang di pura secara
periodik, yaitu setiap purnama dan tilem, sedangkan umat Hindu etnis India mempunyai waktu khusus untuk bersembahyang
setiap minggu sekali di mandhir.� Sebaliknya, umat Hindu Tolotang tidak mempunyai waktu khusus untuk
sembah yang di rumah-rumah
para uwata.
Mereka dapat datang ke rumah
para uwata kapan saja, baik ketika
ada penyelenggaraan upacara maupun ada kepentingan pribadi yang bersangkutan.
e) Etika dalam pelaksanaan ibadah
Terdapat perbedaan etika dalam melaksanakan ibadah antara umat Hindu Tolotang dengan umat Hindu asal Bali. Bagi umat Hindu dari Bali, terdapat larangan bagi orang yang sedang mengalami cuntaka untuk memasuki pura. Orang yang digolongkan
cuntaka, antara lain: wanita yang sedang menstruasi, wanita yang masih dalam masa nifas setelah melahirkan/ keguguran, dan orang-orang yang baru
saja berduka karena ada kerabat
dekatnya yang meninggal
dunia. Pada umat Hindu Tolotang
tidak ada larangan seperti itu. Semua orang, bagaimana pun kondisinya, tetap diperkenankan untuk datang mengikuti
upacara-upacara.
1. Uwata
Pimpinan umat Hindu Tolotang disebut dengan uwata. Para uwata selain bertugas sebagai pimpinan umat Hindu Tolotang, juga bertugas sebagai pembina sosial keagamaan dan pemimpin upacara keagamaan. Kata uwata berasal dari kata uwa dan ta.
Uwa adalah panggilan untuk orang yang dituakan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan ta adalah partikel yang berarti menguatkan kata uwa di depannya. Dalam hal ini sebutan
uwata hanya berlaku bagi komunitas
Hindu Tolotang, sedangkan masyarakat Islam di Sidenreng Rappang, khususnya komunitas Tolotang Benteng, hanya mengenal sebutan uwa untuk pemimpin komunitas adatnya. Dengan kata lain, mereka tidak mengenal
istilah uwata. Pada saat ini di Kabupaten Sidenreng Rappang terdapat sekitar 30 orang uwata untuk umat Hindu Tolotang. Penentuan dan pengangkatan seorang uwata, yang paling diutamakan adalah berdasarkan keturunan. Seorang uwata yang sudah berusia lanjut biasanya telah menunjuk salah seorang anaknya untuk menggantikannya
menjadi uwata kelak setelah meninggal.
Meskipun demikian, penentuan tersebut tetap didasarkan pada keputusan dalam musyawarah adat masyarakat Hindu Tolotang. Hal
yang menarik pada masyarakat
Hindu Tolotang adalah tidak ada uwata yang ditunjuk menjadi
ketua atau pimpinan di antara sesama uwata. Semua uwata mempunyai kedudukan
yang sejajar.
Meskipun cukup banyak penganutnya
di Kecamatan Tellu LimpoE, namun tidak
terdapat bangunan ibadah bagi umat Hindu Tolotang. Hal ini disebabkan dalam konsep yang diyakini umat Hindu Tolotang, untuk bersembahyang kepada Tuhan tidak
diperlukan tempat ibadah seperti halnya masjid untuk umat Islam atau gereja untuk
umat Kristiani. Sebagai gantinya, mereka menggunakan rumah- rumah para uwata untuk beribadah atau melakukan pembinaan agama. Sebagai perbandingan, umat Islam di Kecamatan Tellu LimpoE memiliki
17 masjid dan 2 mushola. Umat
Hindu Tolotang juga memiliki
tempat bermusyawarah bagi para uwata dan pengurus umat, yang disebut dengan Balai Masyarakat Amparita. Bila ada sesuatu hal yang perlu diputuskan, misalnya menentukan jatuhnya hari pelaksanaan
Upacara Sipulung, maka para uwata akan bermusyawarah di balai tersebut. Balai yang terletak di wilayah Kelurahan Amparita.
2. Upacara Sipulung
Upacara Sipulung dilaksanakan setiap tahun sekali,
tepatnya setiap bulan Januari, namun hari dan tanggalnya baru ditentukan beberapa minggu sebelumnya berdasarkan kesepakatan para uwata. Secara harafiah kata Sipulung berarti berkumpul, bersatu bersama. Memang dalam pelaksanaannya ribuan umat berdatangan,
baik yang tinggal di Kabupaten Sidenreng Rappang maupun� yang� telah merantau ke kota-kota
lain, berkumpul menjadi satu untuk mengikuti
upacara ini.
Kriteria penetapan Upacara Sipulung adalah menentukan hari baik berdasarkan sistem kalender kuno yang terdapat pada Lontara Pacenga.
Lontara Pacenga
juga digunakan untuk penentuan upacara perkawinan, pertanian, dan
lain-lain. Lontara berarti naskah dari daun lontar, sedangkan Pacenga berarti diterawang. Dalam hal ini
yang diterawang adalah peristiwa-peristiwa alam dan cuaca yang terjadi selama satu pariama atau delapan tahun. Penerawangan selama delapan tahun tersebut kemudian digunakan sebagai patokan penentuan berbagai upacara pada masyarakat Hindu Tolotang, seperti pertanian, perkawinan, dan
lain-lain.
3. Upacara Daur Hidup
Masyarakat Hindu Tolotang mengenal rangkaian upacara yang berkaitan dengan kehidupan manusia, dimulai sejak dari kandungan
hingga meninggal. Upacara-upacara tersebut, antara lain:
a. Macera wetang/ macera otang (upacara kehamilan). Upacara ini diselenggarakan ketika bayi masih berada di dalam kandungan
dalam usia antara 5-9 bulan).
b. Macera anak (upacara kelahiran, yaitu satu hari
setelah bayi lahir).
c. Mandisalo (upacara
hari ke-7 setelah bayi lahir)
d. Masunah (upacara
sunatan bagi anak laki-laki menjelang remaja)
Tradisi upacara masunah ini tampaknya merupakan
pengaruh dari agama Islam.
e. Palaisulara/ palaiwaju (upacara akil baliq)
Upacara akil baliq untuk
anak laki-laki disebut dengan palaisulara, sedangkan untuk perempuan disebut dengan palaiwaju.
f. Perkawinan
Upacara perkawinan terdiri dari dua tahap, yaitu: Ipasiala (ijab kabul) dan Ipaboting (pesta pernikahan). Upacara ipasiala biasanya dilaksanakan di rumah para uwata. Dalam hal ini
uwata yang ditempati
rumahnya bertindak sebagai penghulu yang mengawinkan
kedua mempelai. Selanjutnya, upacara ipaboting diselenggarakan
di rumah mempelai.
g. Meninggal dunia
Ketika seseorang meninggal dunia, maka sebelum dimakamkan jenazah harus dimandikan
terlebih dahulu. Cara memandikan jenazah orang Hindu Tolotang pada prinsipnya sama dengan orang Islam, hanya doa-doanya yang berbeda. Doa-doa untuk memandikan orang Islam menggunakan bahasa Arab, sedangkan untuk orang Hindu Tolotang menggunakan bahasa Bugis. Apabila ada orang Hindu Tolotang yang meninggal dunia, maka keluarganya membuatkan tangga sementara melalui jendela rumah. Tangga itu
digunakan untuk mengeluarkan� jenazah setelah ketika akan dikubur. Setelah
jenazah dikubur, tangga itu dibongkar
kembali. Tujuannya adalah supaya arwah
orang yang meninggal tidak kembali ke rumah.
Arwah tidak dapat masuk ke
rumah karena tangga untuk masuk
(melalui jendela) sudah tidak ada.
Berbeda halnya dengan umat Islam, yang mana jenazah harus sudah
dimakamkan sebelum 24 jam,
pada penganut Hindu Tolotang
jenazah boleh dimakamkan setelah lebih dari 24 jam meninggal, tergantung kesepakatan pihak keluarga.
Upacara untuk orang yang meninggal dunia dilakukan dalam beberapa tahap, dimulai pada hari ke-3, ke-7,
ke-40, dan yang terakhir hari
ke-100 hari, yang disebut dengan matampung. Dalam upacara Matampung, makam sudah boleh dipasangi
batu nisan.
h.
Pola Hubungan Sosial
Antara Uwatta dengan KTB (Komunitas Tolotang Benteng) terdapat dua bagian yaitu :
Uwatta sebagai Pemimpin
Spritual dalam Kepercayaan KTB
a) Mempercayai Dewata Seuwae sebagai Tuhan mereka
b) Mempercayai Sawerigading sebagai Nabi mereka dan La Panaungi sebagai penerusnya.
c) Mempercayai lontara sebagai Kitab Suci mereka
d) Mempercayai bahwa akan ada hari
akhirat dan hari kiamat (asolanggeng Lino)
e) Mempercayai uwatta sebagai turunan La Panaungi yang suci dan juga sebagai penyambung kepada Dewata Seuwae
Uwatta memimpin ritual ada tiga tempat
yaitu;
a) Sumur Pakkawaruhe (Sumur Keselamatan)
b) Sumur Pabbaju Ejae
c) Kuburan Matanre Batunna La Panaungi Sebelum mereka melakukan ritual, didahului dengan tudang sipulung
dan sipulung.
4.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala desa setempat,
mereka berpendapat bahwa Uwatta yang menjadi salah satu sosok yang dihormati di desa kalosi alau.
�kami sangat menjunjung tinggi dan sangat menghormati uwatta, apapun kegiatan atau acara adat yang akan desa kami lakukan kami selalu meminta pendapat uwatta� (wawancara dengan kepala desa
13 desember 2022).
Uwatta sebagai Pemimpin Informal dalam Masyarakat Dapat ditandai dengan banyaknya masyrakat yang silih berganti mengunjungi rumah uwatta menanyakan berbagai permasalahan yang berupa sosial ekonomi,
agama dan keluarga bahkan politik.
a) Temuan 1
�komunitas
tolotang ini ada karena penyatuan
peradaban bugis dan islam dan dibawa langsung oleh nenek moyang turun temurun�
(hasil wawancara dengan ketua adat
setempat dengan wawancara ketua adat kalosi alau
kabupaten sidrap, 19 Desember 2022)�
Keberadaan Komunitas Tolotang Benteng merupakan sebuah akulturasi peradaban Bugis dan peradaban
Islam yang datang dari
Timur Tengah kemudian melahirkan
sebuah peradaban baru yang disebut Komunitas Tolotang.
b) Temuan 2
�Kelurahan Amparita merupakan pusat pemerintahan kerajaan Sidenreng masa lalu yang kini dianggap sebagai
sebuah kota suci( kota kuddus) baik dari kalangan
Komunitas Tolotang Benteng maupun Towani Tolotang sebagai suatu tempat
dan anugrah yang dapat memberikan kesempatan melestarikan dan eksis serta menyelamatkan adat istiadat dan agama nenek moyang mereka
(agama Toriolota)� (hasil wawancara dengan ketua adat setempat
dengan wawancara ketua adat kalosi
alau kabupaten sidrap , 17 Desember 2022).
c) Temuan 3
�Keyakinan yang dijalankan bagi Komunitas Tolotang Benteng merupakan sebuah keyakinan yang berasal dari adat istiadat
nenek moyang kita dan menjadi pedoman dan petunjuk bagi kehidupan kita baik dari
segi sosial, politik dan ekonomi serta keagamaan� wawancara dengan ketua adat 22 desember
2022.
d) Temuan 4
�Komunitas
tolotang merupakan sebuah komunitas yang berasal dari �singkatan
Toriolota yang disingkat dengan nama Tolotang
dan kemudian menjadi sebutan sebuah keyakinan dan kepercayaan�. (Wawancara dengan masyarakat setempat Ibu camma 27 desember 2022).
5.
Eksistensi Penganut Hindu Tolotang
1.
Status Keagamaan
Meskipun telah menyatakan diri bernaung di bawah agama Hindu, banyak masyarakat awam yang masih mengkategorikannya sebagai penganut kepercayaan. Hal ini tampak pada hasil catatan sensus penduduk tahun 2000, yang menyebutkan bahwa pemeluk Hindu hanya 1.479 orang, sedangkan sisanya pada� kolom� agama dalam KTP-nya hanya disebutkan
�lain-lain�. Hal ini� tidak� terlepas dari pandangan masyarakat luas yang menganggap tidak ada keterkaitan sama sekali antara
kepercayaan Tolotang dengan agama Hindu, sehingga mereka tidak sepantasnya
dikategorikan beragama
Hindu.
Sebagian masyarakat menganggap kepercayaan Tolotang masih sebagai salah satu aliran penghayat
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Masyarakat Tolotang memilih berafiliasi ke Hindu karena agama Hindu dapat memahami kepercayaan Tolotang dan sebaliknya, kepercayaan Tolotang memahami Hindu. Di samping itu, penganut kepercayaan
Tolotang juga merasa memiliki keterkaitan dengan agama Hindu, yaitu pada
masa lampau Kepulauan
Nusantara pernah dikuasai
agama Hindu dan Buddha. Dengan demikian,
leluhur mereka pun adalah orang-orang penganut
Hindu. Dengan demikian, bila ada yang menyatakan
bahwa penganut kepercayaan Tolotang dipaksa masuk Hindu, maka hal itu
dianggap mencederai keputusan para tokoh Tolotang yang telah memperjuangkan kepercayaannya untuk� masuk ke Hindu.
Hal yang sedikit berbeda antara kepercayaan Tolotang dengan filosofi Hindu adalah konsep mengenai reinkarnasi dan hari kiamat. Penganut Hindu Tolotang tidak percaya terhadap konsep reinkarnasi, namun mempercayai adanya hari kiamat,
yang disebut dengan Lino
Paimang. Kedua konsep ini tampaknya
merupakan hasil pengaruh dari agama Islam, karena selama ratusan
tahun mereka diharuskan mengikuti kaidah-kaidah Islam. Meskipun demikian, penganut Hindu Tolotang mengenal konsep karma phala, yaitu perbuatan manusia yang akan dibalas, baik ketika
masih hidup maupun di�
akhirat�
nanti. Konsep karma
phala dalam bahasa Bugis disebut dengan baliwindru, berasal dari kata bali yang berarti lawan dan windru yang
berarti perbuatan. Dengan demikian baliwindru berarti
�lawan atau balasan terhadap perbuatan.�
Tidak terdapatnya konsep
reinkarnasi dan dikenalnya konsep hari kiamat
pada kepercayaan Tolotang menunjukkan adanya mata rantai yang putus dan perlu dicari benang merahnya
kembali.
Kesimpulan
Bahwa dalam
struktur sosial tolotang terdapat dua dimensi yaitu dimensi
vertikal dan dimensi
horizontal. Dalam pola hubungan sosial antara uwatta dan Komunitas Tolotang Benteng terdapat dua bagian yaitu uwatta
sebagai pemimpin spiritual dalam kepercayaan komunitas tolotang benteng Uwatta sebagai pemimpin informal dalam masyarakat. Tolotang merupakan kepercayaan yang dibawa langsung oleh nenek moyang turun temurun.
Masyarakat Hindu Tolotang pun mengakui
bahwa leluhur mereka pada masa lampau adalah orang-orang penganut Hindu.
Dengan demikian, proses afiliasi dari kepercayaan
Tolotang ke dalam agama Hindu tidak dapat dianggap sebagai proses pemaksaan pemerintah untuk memilih salah satu dari enam agama yang diakui oleh pemerintah. Untuk mempertahankan kepercayaan Hindu Tolotang, sebelum dikenalnya pendidikan agama di sekolah-sekolah,
masyarakat telah memiliki sistem pendidikan tersendiri, yaitu dengan membawa
anak-anaknya ke rumah para uwata untuk diberikan nasihat dan pendidikan secara lisan.
BIBLIOGRAFI
Agustang, A. (2021). Interaksi Sosial
Komunitas Lokal Dengan Pendatang Dan Perubahan Struktur Komunitas Lokal (Studi
Pada Masyarakat Majemuk Di Kawasan Industri Makassar).
Asri, M. (2022). Eksistensi Upacara
Kematian Towani Tolotang Kecamatan Watang Sidenreng Kab Sidrap 1966-2020. Universitas
Negeri Makassar.
Asriadi, N. R. (2022). Akulturasi
Pernikahan Masyarakat Tolotang Benteng Di Kabupaten Sidenreng Rappang Dalam
Tinjauan Hukum Islam. Iain Parepare.
Buku, T. (2018). Meyakini Menghargai:
Ensiklopedia Agama-Agama. Expose.
Creswell, J. W. (2016). Research Design:
Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, Dan Campuran. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 5.
Harahap, N. (2020). Penelitian
Kualitatif.
Hasse, J. (N.D.). Agama Lokal. Editor
Muhammad Rais, 79.
Lestari, I. P. (2013). Interaksi Sosial
Komunitas Samin Dengan Masyarakat Sekitar. Komunitas, 5(1).
Maidin, A. M. R. (2016). Struktur Dan Pola
Hubungan Sosial Dalam Komunitas Tolotang Benteng Di Amparita Kab. Sidrap
Provinsi Sul-Sel. Jurnal Ilmiah Ecosystem, 16(1), 1�13.
Maidin, A. M. R., & Sh, M. S. (2017). Model
Kepemimpinan Uwatta Dalam Komunitas Tolotang Benteng (Vol. 1). Sah Media.
Rahim, A. (2017). Permodelan Ekonometri
Produktivitas Tangkapan Dan Permintaan Ikan Laut Segar Di Sulawesi Selatan.
Samad, A. B. D. (2022). Investasi Mata
Uang Asing Di Kabupaten Sidenreng Rappang. Universitas Bosowa.
Segara, I. N. Y., Gunarta, I. K., Putrawan,
I. N. A., & Brahman, I. M. A. (N.D.). Hindu Alukta: Sejarah, Keberadaan,
Aktivitas, Dan Dinamikanya Di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Setiawan, B. (N.D.). Eksistensi Masyarakat
Hindu Tolotang, Sulawesi Selatan. Menteri Kebudayaan Dan Pariwisata,
127.
Sudaryo, Y., Aribowo, A., & Sofiati, N.
A. (2018). Manajemen Sumber Daya Manusia: Kompensasi Tidak Langsung Dan
Lingkungan Kerja Fisik. Penerbit Andi.
Yani, N. F., & Salam, H. B. (2020).
Ritual Maccera Pea (Akikah) Pada Masyarakat Massenrempulu Di Desa Paladang Kec.
Maiwa Kabupaten Enrekang. Jurnal Onoma: Pendidikan, Bahasa, Dan Sastra, 6(2),
704�715.
Copyright holder: Moch. Dienul Fajry Kadir, Hasbi, Muh. Iqbal Latief (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |