Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia� p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 7, No. 11, November
2022
STRATEGI KONTRA INTELIJEN DALAM MENGHADAPI TRANSFORMASI PENDANAAN TERORISME
JAMAAH ISLAMIYAH
Ika Veni Anisa, Muhamad Syauqillah
Universitas
Indonesia, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Kajian Stratejik Intelijen Universitas
Indonesia, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Kajian Terorisme
E-mail: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Jamaah Islamiyah (JI) merupakan
kelompok teroris yang menjalankan sistem organsasi tertutup dan sangat adaptif
terhadap perkembangan, termasuk di dalamnya modus pendanan dana. Modus
pendanaan JI terus bertransformasi menyesuaikan perkembangan jaman dan
lingkungan, termasuk dalam menggunakan potensi donasi dari masyarakat yang
sangat besar melalui lembaga non profit. Pentingnya pendanaan bagi kelompok
teror membuat pemberantasannya akan berpengaruh pada operasional kelompok
teror, sehingga diperlukan strategi kontra intelijen dalam melakukannya. Tulisan
ini merupakan penelitian kualitatif melalui studi literatur. Hasil dari
penelitian ini diperoleh bahwa pemberantasan pendanaan teror dapat dilakukan
dengan pendekatan kontra terorisme defensif dan ofensif termasuk fungsi
intelijen dalam kerjasama antar lembaga, peningkatkan edukasi kesadaran
masyarkat dan reformasi regulasi, sehingga diperoleh strategi kontra intelijen
yang diharapkan dapat berguna dalam pemberantasan dan penanggulangan pendanaan
terorisme.
Kata kunci: Transformasi pendanaan terorisme,
strategi kontra intelijen, Terorisme Jamaah Islamiyah.
Abstract
Jamaah Islamiyah (JI) is a terrorist group that runs a closed
organizational system and very adaptive to developments, including the modus of
financing. JI's funding modus continues to transform in accordance with the times and the environment, including in using the enormous
potential of donations from the community through non-profit organizations. The
importance of financing for terror groups makes its eradication will affect the
operations of terror groups, so a counterintelligence strategy is needed in
doing so. The counterintelligence strategy is carried out in the form of
defensive and offensive measures. Literature study is conducted to compile the
paper so as to obtain counterintelligence strategies that can be done in
eradicating and countering financing terrorism.
Keyword: Transformation of financing
terrorism, counter intelligence�s strategies, Jemaah Islamiyah terrorism.
Pendahuluan
Pendanaan merupakan darah bagi pergerakan terorisme, Setiawan
(2019) menyebutkan posisi pendanaan
esensial mendorong bertumbuhnya ideologi dan ekstrimisme. Pendanaan terorisme
merupakan bentuk lain dari pencucian uang dengan tipologi yang disebutkan oleh
The Financial Action Task Force (FATF) (2021) dibagi menjadi tiga yaitu,
bagaimana kelompok tersebut mendapatkan dana (collecting), bagaimana
teroris memindahkan dan/atau menyimpan uang tersebut (moving), serta
bagaimana teroris menggunakan dana tersebut (using).
Pendanaan terorisme, menurut Acharya (2009) dapat berasal dari sumbangan, uang
pada yayasan amal, keuntungan bisnis yang legal maupun hasil dari kejahatan.
Sumber dana teroris dapat berupa hasil legal maupun ilegal yang dijelaskan oleh
Freeman (2006) dapat memenuhi enam unsur yaitu
jumlah dana yang besar untuk operasional dan serangan (quantity),
mengumpulkan dana sebagai penyokong legitimasi kelompok (legitimacy),
melakukan secara rahasia (security), sumber dana yang tetap (reliability),
kendali penuh pada sumber dana (control) serta menggunakan metode yang
lebih simpel (simplicity). Sumber dana ilegal yang biasa digunakan oleh
kelompok teroris disebutkan Freeman (2006) adalah permintaan tebusan dari
penculikan seperti yang dilakukan oleh Kelompok Abu Sayyaf di Filipina. Di
dalam catatanya Freeman (2006) menyebutkan jumlah tebusan paling
tinggi yang pernah diberikan adalah tebusan kepada kelompok Monteneros di
Argentina sebesar $60 juta pada penculikan Juan dan Jorge Born. Sementara itu,
pendanaan legal pernah dilakukan oleh Jamaah Islamiyah (JI) Mantiqi
Ula yang saat itu dipimpin oleh Hambali seperti yang dijelaskan oleh
Solahudin (2013), dimana pendanaan diperoleh dari
bisnis ekspor minyak kelapa sawit dan keuntungan dari bisnis tersebut harus
disumbangkan 10% untuk JI. Sumber pendanaan lain seperti yang disebutkan Safrudin (2018) diterima JI pada pembiayaan Bom Bali I diperoleh dari Al
Qaeda dalam bentuk cash yang dikirimkan melewati batas negara atau disebut cross
border cash carry (CBCC).
Pasca serangan ke World Trade Center (WTC) 11 September,
investigasi tentang bagaimana teroris memindahkan dana dilakukan berbagai
lembaga intelijen dan pengak hukum di Amerika Serikat dan kemudian diteliti
oleh Freeman dan Ruehsen (2013). Pada penelitiannya Freeman dan Ruehsen (2013) menyatakan bahwa, terdapat enam cara yang paling
banyak digunakan kelompok teror dalam memindahkan dana diantaranya, uang tunai,
transfer melalui jalur informal (hawala), bisnis jasa penukaran uang, melalui
Penyedia Jasa Keuangan (PJK) formal, invoice
perdagangan palsu dan barang dengan komoditas tinggi. Kelompok teroris
melakukan pemindahan dana melalui sistem perbankan dan tunai. Kajian yang
dilakukan Biswas dan Sana (2019) menunjukkan dana teroris berpindah
melalui berbagai cara seperti transfer konvensional (sektor formal) dengan
menggunakan nama perusahaan sehingga tidak terdeteksi, sistem cash and carry,
pengiriman melalui lembaga kemanusiaan, virtual currency, bank syariah, hawala atau remittance, kartu
ATM, serta pencucian uang. Kajian Safrudin (2018) menunjukkan, kelompok teroris banyak
menggunakan sistem remitansi yang biasa digunakan untuk mengirimkan atau
menerima dana dari luar negeri tanpa melalui sistem perbankan yaitu dengan
menggunakan jasa pengiriman uang seperti Western Union, MoneyGram, PT. Pos dan
perusahaan lainnya.
Penggunaan dana oleh teroris baik pada level individu maupun
kelompok cukup beragam, Murthi (2022) mencatat penggunaan dana oleh
terorisme dapat berupa pembelian senjata dan bahan peledak guna melakukan
serangan, pelatihan, perjalanan dan akomodasi, serta pengembangan organisasi.
Dalam melakukan serangan kelompok teroris membutuhkan dana yang cukup besar,
Freeman (2006) mencatat, dana yang dibutuhkan
untuk melakukan serangan kepada World Trade Center (WTC) tahun 1993 berjumlah
$19.0000, serangan WTC tahun 2001 membutuhkan dana $350.000 sampai dengan
$500.000, serangan Bom Bali I tahun 2002 membutuhkan dana $20.000, Bom Madrid
di tahun 2004 membutuhkan dana $10.000 sampai $50.000. Selain dana-dana yang
dilakukan sebagai biaya langsung tersebut, terdapat pembiayaan teroris yang
dilakukan sebagai pendukung. Freeman (2006) mencatat penggunaan dana teroris
juga dapat berupa memberikan bantuan kepada keluarga para martir dalam
serangan. Beragamnya kebutuhan pembiayaan organisasi teroris membuat kebutuhan
dana bervariasi, Freeman (2006) mencatat Al Qaeda membutuhkan
sekitar $30.000.000 setiap tahunnya, pada tahun 1990 terdapat Irish Republican
Army (IRA) di Irlandia Utara membutuhkan dana $15.000.000 setiap tahun.
Sementara itu kelompok seperti Hizbullah memiliki kebutuhan tertinggi sampai
$400.000.000.
Beragamnya modus yang digunakan oleh kelompok teror baik
pada tahap penggalangan dana, pendistribusian maupun penggunaan menunjukkan sebuah
bentuk transformasi yang sangat dinamis. Pada kajian yang dilakukan oleh Freeman dan Ruehsen (2013), disebutkan bahwa banyaknya
metode yang digunakan oleh kelompok teror menunjukkan bagaimana kelompok
tersebut fleksibel dan adaptif, metode akan terus berubah jika bahwa metode
tersebut dinilai berisiko serta menggunakan perbedaan skema dan regulasi antar
negara. Pendanaan teror menurut Acharya (2009) sebagaimana
serangan teror, terus berevolusi untuk dapat beradaptasi dengan cara mengubah
struktur finansial guna menghindari upaya pemberantasan pendanaan terorisme dan
perkembangan sistem finansial global.
Beberapa kajian telah dilakukan untuk
membahas fenomena pendaaan teror, salah satunya transformasi pendanaan
terorisme dari cara-cara teradisional yang berubah ke arah digital disebut oleh
Prasetya, Subroto dan Nurish (2021) yaitu dengan menggunakan media cryptocurrecy karena dikenal
dengan anonimitasnya dan dikaburkan dalam bentuk amal atau donasi. Kajian
tentang keberadaan aset keuangan digital oleh Assyamiri
dan Hardinanto (2022) menunjukan bahwa aset digital dalam bentuk urang kripto dan
bitcoin terdapat celah yang berpotensi digunakan untuk pendanaan
terorisme meskipun belum dapat dijadikan alat
pembayaran sehingga memerlukan payung hukum yang jelas agar tidak disalahgunakan. Selain
transformasi dari tradisional ke digital, penggalangan dana dinilai masih
menjadi inti dari sebuah kegiatan terorisme, sehingga menuurut kajian Rasyid (2018) diperlukan penindakan hukum untuk menghentikan terorisme di
Indonesia. Sementara itu, kajian yang dilakukan oleh Maulana (2021) menunjukkan salah satu cara pencegahan terorisme adalah
dengan mengembangkan sistem keamanan di target-target aksi terorisme yang
diharapkan mampu menghentikan keinginan beraksi dan mempersempit ruang gerak
pelaku terorisme.
Selain melalui pendekatan hukum dan keamanan, penelaahan
pola-pola penggalangan dana guna mendapatkan proyeksi transformasi penggalangan
dana perlu dilakukan terutama oleh intelijen. Peran intelijen sebagai penunjang
penegakan hukum dijelaskan oleh Lowe (2017) dilakukan dalam bentuk reaktif
setelah terjadi sebuah serangan atau permintaan penyelidikan. Bentuk lain
intelijen dijelaskan oleh Lowe (2017) adalah penunjang dalam penegakan
hukum dalam bentuk proaktif yaitu bentuk upaya identifikasi guna mencegah
kejahatan di masa depan. Pendekatan preventif tersebut oleh Pickett (2002) pada Gowhor
(2022) lebih direkomendasikan untuk mencegah kejahatan pendanaan
teror di masa depan. Salah satu cara preventif dalam mencegah kejahatan
pendanaan teror adalah dengan melakukan analisis terkait transformasi pendanaan
terorisme di masa yang akan datang dan menerapkan strategi kontra intelijen. Peran
kontra intelijen dijelaskan oleh Barnea (2017) berfungsi sebagai
penyedia peringatan dini tentang apa yang akan terjadi dan melakukan
langkah-langkah untuk mengeliminasinya. Oleh karena itu perlu dilakukan deteksi
dini pada trasformasi pendanaan terorisme dan strategi kontra intelijn dalam
menghadapinya Tulisan ini diharapkan dapat menjelaskan identifikasi bentuk
pendanaan terorisme di masa yang akan datang dan langkah-langkah kontra
intelijen yang dapat dilakukan.
Kontra
Intelijen
Kontra intelijen dijelaskan oleh Taylor (2007) sebagai proses melawan aktivitas
intelijen musuh dari negara lain atau entitas luar negeri. Tujuan dari kontra
intelijen dalam bentuk organisasi disebutkan West (2007) adalah untuk mengidentifikasi,
masuk, kemudian mengontrol atau menetralkan musuh. Pada Ensiklopedia Intelijen
dan Kontra Intelijen, Carlisle (2004) menjelaskan kontra intelijen sebagai
mencari informasi tentang segala ancaman yang berasal bukan hanya dari praktik
spionase. Pasca runtuhnya Uni Soviet dan menurunnya eskalasi konflik eksternal,
Barnea
(2017) mengungkapkan
pergeseran praktik kontra intelijen dari yang digunakan untuk menghadapi konflik
dari eksternal menjadi konflik internal. Penggunaan kontra intelijen juga
kemudian berkembang ke entitas yang lebih kecil, Barnea (2017) menjelaskan hal
itu terjadi pasca serangan 11 September dan peranan kontra intelijen dalam
mencegah terorisme, subversi politik ekstimis dan spionase, atau praktik kontra
intelijen menjadi lebih spesifik kepada individu atau kelompok kecil. Kontra
intelijen menurut Van Cleave (2013) mencakup informasi yang berisi tentang siapakah musuh dan
sumbernya, kapan menyerang, apa alat yang digunakan,
bagainana cara menyerang; sementarakontra intelijen yang berarti kegiatan
operasi untuk mengumpulkan informasi atau melakukan akivitas guna mencegah
spionase.
Penggunaan kontra intelijen pada sebuah fungsi intelijen
dijelaskan oleh Godson (1995) pada Prunckun
(2014) sebagai pendukung praktik intelijen yang nantinya digunakan
dalam pertimbangan pengambilan kebijakan. Fungsi tersebut dijelaskan Prunckun sebagai aksioma pertama
dalam teori kontra intelijen terutama dalam menghadapi kejutan berbentuk
serangan invasi, kejahatan terhdap masyarakat dan kejutan lain yang
membahayakan keamanan. Aksioma kedua dijelaskan Prunckun (2014) adalah aksioma pengumpulan data, dimana musuh melakukan
pengumpulan data tentang negara baik dalam bentuk legal maupun ilegal. Aksioma
ketiga pada kontra intelijen adalah penargetan yang dijelaskan oleh Prunckun (2014) yaitu pihak lawan akan mencari data tentang geografi,
politik, ekonomi, kemampuan, niat di masa yang akan datang serta kelemahan yang
dimiliki sebuah negara.
Guna menghadapi pendadakan, pengumpulan data dan sasaran
dari lawan, dikembangkan empat prinsip kontra intelijen yang dikelompokan
menjadi dua cluster oleh Prunckun (2014) menjadi kontra intelijen defensif yang
terdiri dari tindakan deteren dan deteksi serta ofensif yang terdiri dari
desepsi dan menetralkan. Langkah deteren dalam kontra intelijen menurut
Prunckun (2014) berbentuk pencegahan melalui
keamanan fisik, informasi, personel dan komunikasi, sementara pada deteksi
dijelaskan sebagai sistem untuk mendeteksi adanya kegiatan mencurigakan,
kemampuan untuk mengidentifikasi pelaku dan kaitannya dengan pihak tertentu, kemampuan
mencari informasi tentang pihak terkait tersebut dan mengumpulkan informasi
tentang keterlibatan pelaku. Segala hal terrkait dukungan kepada kontra
intelijen seperti pengumpulan, analisis dan produksi serta fungsi pelayanan
dijelaskan oleh Melendez (2019) sebagai bagian
dari kontra intelijen defensif. Pada kluster kontra intelijen ofensif Prunckun (2014) diawali dengan dekteksi untuk kemduian dilanjutkan dengan
langkah desepsi atau penyesatan pengambilan keputusan lawan baik dari aspek
operasi, kamampuan dan niat; serta melakukan netraliasi dengan cara penghacuran
dalam hal ini dilakukan dengan menangkap pelaku atau lawan sehingga operasi
yang dijalankan gagal dan pelumpuhan yaitu upaya untuk menghambat
dilaksanakannya operasi sehingga dalam jangka panjang operasi tersebut gagal.
Kegiatan ofensif lainnya pada kontra intelijen juga dijelaskan Prunckun (2014) sebagai operasi yang menyebabkan hilangnya minat atau
kepercayaan lawan untuk menjalankan operai pengumpulan informasi. Kegiatan
kontra intelijen yang masuk dalam kelompok ofensif menurut Melendez
(2019) adalah
pengumpulan, investigasi dan operasi.
Kontra Intelijen
Ofensif Defensif
Naturalisasi Desepsi Deteren
Deteksi
Sumber:� Model Logical Counterintelligence Prunckun (2014)
�����������
Metode
Penelitian�����
Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif yang dijelaskan oleh Vishnevsky
dan Beanlands (2004) pada Cope dan Diane (2014) sebagai penelitian yang dilakukan guna mengeksplorasi
pengalaman individual, menjelaskan fenomena dan mengembangkan teori. Penelitian
ini merupakan literature reiview yang didukung menggunakan data sekunder
diperoleh dari publikasi lembaga pemerintahan, jurnal artikel ilmiah sertap
publikasi lainnya.
Perubahan
Jamaah Islamiyah ke Neo Jamaah Islamiyah
Jamaah Islamiyah (JI) dijelaskan
oleh Solahudin (2013) sebagai organisasi yang diiriman
oleh para alumni mujahidin Afghanistan di tahun 1993 dan pertama kali dipimpin
oleh Abdullah Sungkar. JI mengembangkan Pedoman Umum Perjuangan Jamaah
Islamiyah (PUPJI) sebagai pedoman dalam menjalankan dan mengembangkan
organisasinya. JI membagi organisasinya menjadi Amir jamaah, dibantu oleh
Majelis Qiyadah Markaziyah, Majelis Syuro (dewan pertimbangan), Majelis Fatwa (menaungi
fatwa-fatwa JI), serta Majelis Hisbah (penegak disiplin). JI membagi wilayahnya
menjadi Mantiqi Ula (Malaysia dan Singapura), Matiqi Tsani (Indonesia kecuali
Kalimantan, Sulawesi, Ambon dan Papua), Mantiqi Tsalis (Sabah, Kalimantan Sulawesi
sampai Mindanao) serta Mantiqi Ukhro (Papua dan Australia).
Pada tahun 1999, Hwang, et al. (2019) menyebutkan, muncul perintah jihad melawan Amerika Serikat dan
sekutunya dari Osama bin Laden. Perintah ini ditanggapi secara beragam oleh
anggota JI. Akan tetapi, karena perkembangan situasi politik Indonesia rencana
serangan yang disusun tidak dilaksanakan. Selain itu, munculnya konflik di Ambon dan Poso yang disebutkan oleh Hwang, et al. (2019) sebagai
fokus ladang jihad JI sejak tahun 2000 sampai 2007. Abdullah Sungkar meninggal
dunia, sehingga kepemimpinan dilanjutkan oleh Abu Bakar Ba�asyir (ABB). Akan
tetapi, Solahudin (2013) menyebutkan bahwa kepemimpinan
ABB lemah, sehingga muncul pergerakan di luar komando Amir JI yang dilakukan
oleh Mukhlis dai Mantiqi Ula dan beberapa tokoh lain seperti Amrozi, Imam
Samudra, Dr. Azhari, Noordin M. Top sehingga muncul serangkaian bom dari Bom
Bali I, Bom Bali II. Bom Kedubes Australia dan Bom J.W. Marriott.
JI berhasil menggunakan konflik
Ambon dan Poso sebagai ladang jihad dan berhasil membangun kekuatannya di sama
sehingga muncul kamp pelatihan di kedua daerah tersebut. Pihak kepolisian
kemudian melakukan penangkapan besar-besaran di Tanah Runtuh tahun 2007
kepada tokoh-tokoh JI. Penangkapan tersebut membuat JI melakukan reorganiasi
sebagaimana Arianti (2022) menyebutkan Amir JI selanjutnya yaitu Para Wijayanto yang ditunjuk pada
2009 melakukan sejumlah perubahan. JI pimpinan Para Wjayanto dijelaskan Arianti
(2022) melandaskan organisasinya pada tiga pilar yaitu pilar sosial, politik
dan militer. Pilar militer dibentuk untuk tujuan jangka panjang JI dan
melakukan i�dad (persiapan pembentukan laskar jihad) yang rutin melakukan
kegiatan penjelajah alam sebagai kedok serta melakukan pelatihan dengan pelatih
adalah jamaah yang pulang dari Suriah/ Irak. Pilar politik dijelaskan Arianti (2022) dengan menerapkan tandzim sirri
(menyembunyikan identitas/bergerak secara rahasia) dengan ikut serta dalam
momentum seperti unjuk rasa dan Pemilu, serta menyusup ke beberapa institusi
negara dan organisasi keagamaan mainstream. Sementara pilar sosial
dilakukan melalui jalur pendidikan dan dakwah dimana IPAC (2017) menyebutkan data aparat keamanan menunjukkan
beberapa pondok pesantren (ponpes) terkait dengan JI serta adanya yayasan atau
lembaga kemanusiaan yang terkait dengan JI seperti Syam Organizer. Pilar
pendidikan ini menurut IPAC (2017) juga termasuk upaya JI untuk merekrut
orang-orang dengan keahlian dan tingkat pendidikan tertentu untuk memenuhi
proyeksi JI sampai tujuannya terwujud.
Perubahan
Masyarakat
Masyarakat Indonesia memiliki
dengan budaya berbagi yang sangat tinggi dan terlihat dari World Giving Index
oleh Charities Aid Foundation (CAF) (2022) yang menunjukkan Indonesia pada peringkat
pertama dengan nilai 68%. Selama tahun 2021, sebanyak delapan dari 10 orang
Indonesia atau 84% mendonasikan uang mereka dan enam dari 10 orang (63%) melakukan
kerja suka rela. �Rizal Algamar, Ketua
Badan Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia pada CAF (2022) menyebutkan
bahwa Indonesia menjadi negara paling dermawan karena budaya berbagi dan
membantu melalui zakat sebagai kewajiban bagi 231 juta umat muslim di
Indonesia. Pada generasi muda, budaya kedermawanan tersebut berkembang dengan
baik, terutama dengan adanya donasi online melalui platform digital yang
dinilai lebih cepat, aman dan mudah.�
Perkembangan pendanaan terorisme
dipengaruhi oleh berbagai perkembangan kondisi masyarakta dan lingkungannya.
Perubahan pada lingkungan masyarakat yang berkaitan dengan globaliasi
dijelaskan oleh Alexander (2011) sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
perkembangan pendanaan teror. Globalisasi telah memicu internasionalisasi
aktivitas politik, ekonomi, sosial, agama dan teknologi. Perekembangan
penggunaan internet menjadi hal yang mendorong terjadinya interaksi global
selama 24 jam penuh dari sisi finansial maupun sosial.� Data yang dirilis oleh International
Telecommunication Union (ITU) (2022) menunjukkan sebanyak 5,3 miliar orang atau
sebannyak 66% dari populasi dunia menggunakan internet. Angka tersebut naik 24%
dibandingkan data tahun 2019. Di Indonesia sendiri data yang dirilis oleh
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) (2022) menyebutkan
sebanyak 77,02% dari populasi Indonesia atau sebanyak 210.026.769
jiwa dari 272.682.600 total populasi Indonesia telah menggunakan internet.
Meningkatnya penggunaan internet tersebut menurut Alexander (2011) memungkinkan
kelompok teroris untuk menggunakan serangkaian produk teknologi financial untuk
melakukan pemindahan dana transnasional secara mudah, cepat, murah dan dapat
kadang menyamarkan pengirim maupun penerima. Hal tersebut dapat dilihat dari
adanya cyberterrorism yang menurut PPATK
(2021) dengan adanya usaha pendanaan terorisme melalui financial technologi (fintech) yaitu pembobolan
virtual currency yang dilakukan oleh teroris. Selian itu, penggunaan bit coin
dan block chain menjadi perhatian menurut PPATK karena aliran dana yang dapat
dilakukan ke luar negera dengankode angka dan huruf bukan lagi nama, sehingga
akan sulit untuk terdeteksi.
Perubahan
Modus Penggalangan Dana JI
Pada pembiayaan Bom Bali I, Solahudin (2013) mengungkapkan bahwa salah satu sumber
pendanaan yang digunakan adalah perampokan toko emas Elita di Serang Banten
pada Agustus 2002 yang dilakukan oleh Ring Banten. Selain melakukan perampokan,
Abuza (2003) mengungkapkan bahwa Imam
Samudra, salah satu pelaku Bom Bali I, melakukan transaksi pembelian emas
melalui kartu kredit curian yang kemudian dijual kembali dan dana yang
dihasilkan digunakan untuk pembiayaan Bom Bali 1 tahun 2002. Bentuk pembiayaan
ini juga berubah dalam bentuk. Selain menggunakan cara ilegal, dalam bentuk
Neo-JI Institute for Policy Analysis of Conflict/IPAC (2017) mengungkapkan
bahwa JI juga memiliki beberapa aset berupa tanah garapan di Sulawesi Selatan
yang hasilnya digunakan untuk JI.
Perubahan Isu Pada Penggalangan Dana
Perubahan penggalangan dana yang dilakukan kelompok teror
mengalami adaptasi bukan hanya pada metode, tetapi juga pada isu yang diangkat
terutama yang terkait dengan penggunaan donasi dari yayasan kemanusiaan. Hal
itu dilakukan oleh JI pada tahun 1999, Solahudin (2013) menyebutkan JI memerlukan dana untuk melakukan operasi
jihad di Ambon sehingga menggunakan Komite Aksi Penanggulangan Akibat
Krisis (KOMPAK), sebuah yayasan organisasi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
(DDII) melalui Ibu Thoyib. Melalui dana yang dikumpulkan KOMPAK Semarang, Solo
dan Surabaya, Solahudin (2013) mengungkapkan JI berhasil melakukan pembelia senjata dan
bahan peledak untuk Maluku serta membiayai latihan militer di Waimorat, Yayasan
lain muncul saat JI bertransformasi menjadi Neo JI, pada tahun 2013 JI
mendirikan Syam Organizer (SO) sebuah Yayasan Sosial yang menggalang dana dari
masyarakat dengan membawa isu kemanusiaan di negara konflik Suriah. IPAC (2017)
menyebutkan, SO berada di bawah tandzim dakwah Neo JI, dan berdasarkan sidang
beberapa petingginya dana dari SO juga mengalir ke JI dan digunakan untuk
memberangkatkan jamaah ke Suriah. JI menjadi kelompok yang sangat aktif dalam
menggalang dana, beberapa penangkapan terkait kelompok tersebut banyak didominasi
oleh kejahatan pendanaan terorisme. Pasca kepemimpinan Para Wijayanto, JI mulai
membangun diri menjadi bentuk organisasi modern. Pada tuliasnnya Arianti (2022) menyebutkan bahwa JI mempersiapkan
diri dengan membentuk kantong-kantong pendanaan dari berbagai sumber guna
mencapai tujuan utamanya yaitu mendirikan negara Islam dan menerapkan Syariat
Islam.
Strategi
Kontra Intelijen
Deteren
Langkah deteren sebagaimana
Prunckun (2014) dan Melendez (2019) memfokuskan pada pembangunan
sistem yang mampu memonitor adanya perubahan yang terjadi. Sistem ini dibangun
untuk mendeteksi adanya ancaman atau serangan serta digunakan untuk
menangkap guna melindungi baik kepentingan organisasi ataupun negara
sebagaimana Melendez (2019). Pada lembaga financial
intelligence unit (FIU) dalam hal ini adalah PPAK telah membangun sistem untuk
mencegah orang-orang yang masuk daftar (watch list) atau yang dikenal dengan
Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT). Daftar tesebut
dikeluaran oleh Kapolri dan disahkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk
kemudian disebarkan ke seluruh pemangku kepentingan yang tergabung dalam Satgas
DTTOT, termasuk di dalamnya PJK. Peraturan Kepala PPTAK Nomor 3 Tahun 2015
tentang Indikator Transasksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan.
Melalui peraturan tersebut, PJK akan memfilter orang yang akan membuka
rekening, jika namanya masuk ke dalam DTTOT, maka secara otomatis PJK akan
menolaknya. Setiap DTTOT diperbaharui, PJK juga akan melakukan screening kepada
seluruh data nasabahnya untuk memastikan ada atau tidaknya nasabah yang masuk
dalam daftar tersebut. PPATK selaku FIU di Indonesia juga
mengembangkan aplikasi Sistem Informasi Terduga
Pendanaan Terorisme (SIPENDAR) yang berisi pemangku kepentingan dalam
pemberantasan dan penanggulangan pendanaan terorisme seperti BIN, Densus 88
Anti Teror Polri, Ditjen Imigrasi Kemenkumham, Dirjen Bea Cukai, dan lembaga
lain sesuai peraturan Kepala PPATK. Sistem ini dijelaskan oleh PPATK (2021)
sebagai sistem yang ditujukan untuk mengelola dan mengintegrasi informasi
terkait terduga pendanaan terorisme dan sarana pertukaran informasi,
mengoptimalkan� pelaksanaan kewajiban PJK
antara lain, profiling dan identifikasi pengguna jasa terindikasi Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme (TPPT) dan Tindak Pidana Terorisme (TPT), pemantauan
transaksi pengguna jasa yang teridentifisikasi, identifikasi Transaksi Keuangan
Mencurigakan (TKM) dan percapatai penyampaian informasi guna memenuhi
permintaan baik PPTK maupun penegak hukum. �Melalui sisitem tersebut, pemangku
kepentingan dapat meminta informasi spesifik dari PJK
berdasarkan permintaan melalui PPATK yang terdiri atas permintaan informasi (inquiry) insiden dan permintaan
informasi (inquiry) normal.
Adaptifnya pendanaan
teror yang dilakukan JI tidak menurup kemungkinan juga akan berkembang kepada
penggunaan fintech melihat semakin banyaknya masyarakat menggunakan alat
pembayaran digital. Perkembangan tersebut harus diantisipasi dengan langkah
kontra intelijen berupa membuat
sistem monitoring untuk mencegah distribusi uang dalam jumlah besar pada alat
pembayaran digital. Selain itu, kerjasama antara PPTK, OJK dan Badan Pengawas
Perdanganan Berjangka Komoditi (Bappeti) diperlukan untuk mencegah adanya
penyalahgunaan perdagangan seperti produk bitcoin
untuk pendanaan terorisme.
Deteksi
Deteksi sebagaimana yang
dijelaskan oleh Prunckun (2014) dilakukan adengan langkah-langkah
deteksi yang sistematis guna mengantisipasi praktik pendanaan terorisme. Dalam
melakukan pendeteksian pendanaan terorisme yang dilakukan oleh JI, petugas
maupun organisasi intelijen dapat memulai dengan melakukan analisis
karakteristik JI sebagai organisasi yang menerapkan sistem tertutup, sangat
adaptif terhadap perkembangan situasi yang terjadi serta menerapkan strategi tandzim sirri. Keadaan tersebut sebagaimana awal tahap deteksi
yang dijelaskan oleh Prunckun (2014) dimulai dengan mencari akor yang
terlibat, sehingga mengamati tokoh-tokoh pergerakan JI harus terus dilakukan
sebagai saah satu langkah kontra defensif. �Pengmatan tersebut dengan sistem JI yang
tertutup lebih efektif dengan menggunakan HUMINT berupa agen yang disusupkan ke
kelompok tersbeut. Monitoring melekat kepada aktor akan membuka peluang untuk
mengetahui organiasasi mana aktor tersebut berkaitan, terutama dalam bentuk
yayasan fundraising yang bergerak di bidang kemanusiaan maupun keagamaan. Setelah
mengetahui organiasi tempat bernaungnya aktor JI tersebut, pengamatan kepada
organiasasi tersebut harus terus dilakukan baik melalui sistem monitoring
evaluasi lembaga amil zakat (LAZ) yang diterapkan Kementerian Agama maupun yang
dilakukan oleh Kementerian Sosial bagi lembaga yang bergerak di bidang sosial
mengingat besarnya potensi zakat dan sumbangan sosial lainnya dari masyarakat
Indonesia. Selain itu, monitoring melalui open source intelijen (OSINT) juga
efektif untuk medapatkan informasi tentang kegiatan pengumpulan dana dengan modus
dan isu tertentu oleh lembaga kemanusiaan atau LAZ. Pada tahap ini koordinasi
dan integrasi perlu dilakukan baik antara komunitas intelijen maupun dengan
pemangku kepentingan lainnya untuk mencegah praktik pengumpulan uang oleh
kelompok tertentu yang terafiliasi dengan kelompok JI. Jika kemudian telah
diperoleh adanya bukti aliran dana atau praktik penyimpangan (missuse) lembaga
kemanusiaan dan LAZ yang beraitan dengan JI dan/atau terorisme maka dapat
dilakukan penegakan hukum. Kerjasama dan integrasi intelijen tersebut menurut Sulick (2014) saat ini diperlukan baik dalam sharing informasi dan kebutuhan penegakan hukum pada
pemberantasan dan pencegahan terorisme, termasuk dalam penanganan pendanaannya.
Kerjasma yang melibatkan banyak institusi menurut Slick (2014) memiliki potensi kebocoran
sehingga penerapan kontra intelijen juga perlu dilakukan pada masing-masing
pemangku kepentingan. �
Desepsi
Pengaburan informasi melalui
desepsi dijelaskan oleh Menledez (2019) tidak dapat dipisahkan dengan penolakan
atau yang disebut dengan strategi denial
and deception (D&D) dengan menerapkan empat prinsip truth, denial, deceit dan misdirection. Denial dijelaskan oleh Roy
Godson pada Melendez (2019) adalah usaha untuk mencegah
informasi yang dapat digunakan lawan untuk mempelajari informasi sebenarnya, sementara desepsi adalah usaha sebuah organiasi untuk
membuat lawan percaya sesuatu yang tidak benar. Kedua sisi antara denial adan
desepsi harus dilakuan secara bersamaan agar strategi tersebut efektif, adapun
langkah pertamanya adalah dengan memasukan double agen di organiasi yang
teridentifikasi JI, sehingga organiasi tersebut tidak dapat mengambil keputusan
dengan baik. Langkah kedua sebagaimana Mendelaz (2019) mengungkapkan adanya keharusan bagi
organiasi untuk mengetahui budaya dan karakteristik lawan dalam hal ini JI yang
memiliki sistem tertutup dan semangat untuk membangun organisasi yang tidak
pernah berakhir sampai tujuannya diperoleh, sehingga saat satu atau dua lembaga
afiliasinya dibekukan, terdapat potensi bahwa lembaga-lembaga lainnya dibentuk
dengan sistem yang lebih matang. Langkah ketiga adalah memastikan double agen
yang disusupkan ke dalam kelompok JI atau kelompok terafiliasi mendapatkan
posisi yang baik untuk memberikan masukan bagi organisasi tersebut yang
dilanjutkan dengan tahap keempat yaitu informasi tentang reaksi dan aksi yang
dilakukan target dalam hal ini kelompok JI atau afiliasi JI harus terpantau
dengan baik. Langkah terakhir adalah memastikan kebutuhan logistik dalam
kampanye D&D terpenuhi. Hal-hal tesebut masuk dalam pengendalian agen
intelijen yang dilakukan oleh seorang case oefficer (CO), sehingga kemampuan
SDM petugas CO pun harus terus ditingkatkan.
Naturalisai
Strategi ofensif naturalisasi
sebagaimana Prunckun (2014) jelaskan dilakukan dengan
penghacuran dan pelumpuhan. Penghancuran atau destruction pada kontra intelijen
dilakukan dengan menangkap sel atau aktor yang terlibat dalam operasi dengan
harapan operasi yang dijalankannya dapat berhenti. Penerapan strategi kontra
intelijen pada pemberantasan pendanaan terorisme ini dilakukan dengan menangkap
pelaku yang melakukan upaya penggalangan, pendistribusian dan penggunaan dana
untuk kepentingan terorisme baik dalam hal operasional kelompok maupun serangan
amaliyah. Sistem kerja JI yang tertutup serta adanya kecenderungan pilihan
distribusi dana dalam bentuk tunai menjadi tantangan tersendiri untuk
membuktikan aliran dana dari perorangan maupun lembaga ke JI. Keadaan tersebut
membutuhkan kerjasama antara agen di lapangan dengan proses penegakan hukum
untuk mendapatkan alat bukti hukum yang sah dan membuktikan adanya keterkaitan
JI dengan institusi individu maupun kelompok. Selain itu, tindakan PPATK untuk
membekukan dana pada rekening yang teridentifikasi masuk dalam DTTOT merupakan
sebuah langkah kontra intelijen yang efektif untuk menghentikan distribusi dana
terorisme melalui sistem perbankan. Langkah kontra intelijen dengan melakukan
koordinasi dengan Kemenag juga diperlukan untuk melakukan pembekuan pada LAZ
yang melakukan missuse seperti yang
dilakukan pada LAZ BM ABA. Tindakan pembekuan pada operasional sebuah lembaga
yang terkait dengan terorisme akan efektif mengeliminasi lembaga-lembaga yang
melakukan penyalahgunaan dana zakat, infak sodaqah dan sumbangan sosial lainnya
dari masyarakat.
Langkah naturalisasi selanjutnya
disebutkan Prunckun (2014) adalah melumpuhkan, pada strategi
ini sasaran atau musuh dihambat untuk melakukan kegiatan sehingga diharapkan
dapat berhenti melakukan operasi. Pada pendanaan
terorisme langkah kontra intelijen yang dapat dilakukan untuk menghambat adalah
dengan menggalang masyarakat agar melakukan donasi dan sumbangan kemanusiaan
lainnya kepada lembaga berizin yang teraudit secara baik dari sisi hukum
perizinan, keuangan dan syariah untuk LAZ.
Edukasi
Kesadaran Masyarakat
Kebijakan kontra terorisme yang
dijelaskan Ford (2020) meliputi beberapa
aspek antara lain, pengumpulan dan sharing
intelijen, pencegahan, keterlibatan masyarakat, respon terhadap insiden,
deradikalisasi dan pemulihan pasca insiden. Konsep tersebut juga dapat
diterapkan dalam pemberantasan dan penanggulangan pendanaan terorisme.
Keterlibatan masyarakat untuk menghentikan upaya penggalangan dana kelompok
teroris harus diaktifkan dengan menggunakan kampanye kesadaran masyarkat
sebagai salah saru bentuk strategi kontra intelijen.
Salah satu modus penggalangan dana
yang dilakukan JI adalah donasi pengajian seperti yang dilakukan Syam Organizer
serta kotak amal seperti yang dilakukan LAZ BM ABA. Modus tersebut tidak dapat
terdeteksi pada sistem perbankan konvensional karena pada distribusi dana juga
dilakukan melalui kurir. Saat modus tersebut diterapkan oleh kelompok teror dan
bertemu dengan sifat masyarakat Indoensia yang dermawan, maka jumlah donasi
yang dikumpulkan akan masif. Langkah kontra intelijen perlu diterapkan dalam
menghadapai modus pendanaan terorisme dengan cara tersebut yaitu dengan
meningkatkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat.
Salah satu langkah kontra intelijen pada pendanaan terorisme dapat dilakukan dengan mendiseminasi
konten-konten berisi edukasi tentang �cara pintar berdonasi� dapat dilakukan
melalui berbagai saluran baik media konvensional maupun media sosial. Edukasi
dapat dilakukan dengan mengajak para pemangku kepentingan seperti Kementerian
Agama dan Kementerian Sosial, akademisi dan lembaga sywadaya masyarakat. Edukasi
tersebut diharapkan dapat menggerakan kesadaran masyarakat akan lebih bijak
dalam memilih lembaga untuk berdonasi, sehingga potensi pengumpulan dana pada
lembaga filantropi yang belum jelas perizinannya dapta dikurangai. Edukasi
melalui para pemangku kepetingan juga dapat dilakukan dengan melakukan
publikasi lembaga-lembaga yang tidak berizin dan masih beroperasi di masyarkat,
sehingga lembaga yang kemudian melakukan praktik penyalahgunaan mengarah pada
terorisme tidak akan berlanjut
pada proses kepengurusan izin. Kesadaran masyarakat dan tanggung jawab lembaga tersebut
secara tidak langsung akan melumpuhkan kegiatan penggalangan dana ilegal yang
dilakukan kelompok teroris. Selain itu, monitoring, audit kepatuhan (peraturan,
syariah dan NKRI) serta evaluasi berkala dari pemangku kepentingan terkait dana
masyarakat akan menghambat mempersempit langkah JI dalam menggunakan lembaga
fundraising untuk mengumpulkan dana dari masyarakat.
Posisi
Intelijen Dalam Legal Reform
Pada langkah pencegahan terorisme,
Dahl (2008) menyatakan bahwa diperlukanan
kerjasama pada komunitas intelijen dan pembuat kebijakan. Pada sisi kebijakan,
Dahl (2008) mengungkapkan pentingnya
menunjukkan tingkat ancaman yang muncul dari terorisme, sehingga dapat mencegah
terjadinya aksi serupa di masa yang akan datang. Sementara itu, salah satu
fungsi intelijen sebagaimana Davis (2006) adalah memberikan peringatan dalam
bentuk peringatan strategis maupun taktis terhadap potensi ancaman yang akan
muncul dan mengganggu pencapaian kepentingan nasional. Dukungan kepada
kebijakan nasional juga muncul pada siklus intelijen yang dijelaskan oleh Phythian (2013) sebagai proses yang dimulai dengan perintah dari pengguna,
pengumpulan informasi, analisis dan diseminasi produk kepada user yang
digunakan sebagai masukan bagi pembuat kebijakan. Berdasarkan hal tersebut
intelijen berperan dalam memberikan masukan pada pembuatan kebijakan dalam hal
ini peraturan perundangan yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme dan
tindak pidana pendanaan terorisme.
Undang-Undang
yang mengatur tentang donasi sosial diatur dalam Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan
Sumbangan, serta Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraaan Pengumpulan Uang atau Barang. Sementara itu, regulasi
yang mengatur tentag zakat diatur dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat, Peraturan Pemerintah Nomor 14
Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat, serta peraturan turunan lainnya. Regulasi yang mengatur
tentang donasi baik secara sosial maupun keagamaan tersebut harus selalu
dilakukan evaluasi dan penyesuaian secara periodik dalam rangka beradaptasi
dengan perkembangan sistem keuangan dan kondisi masyarakat. Reformasi hukum
pada peratuaran-peratauran tersebut menjadi lebih optimal saat intelijen ikut
berperan dalam memberikan masukan terutama dalam transformasi ancaman-ancaman
yang muncul dari kelompok-kelompok teroris termasuk di dalamnya JI yang selalu
beradaptasi dengan perkembangan lingkungan strategis (lingstra).
Kesimpulan
JI merupakan kelompok yang
menerapkan sistem organisasai tertutup, tandzim srri serta sangat adaptif pada
perkembangan situasi, termasuk dalam hal pendanaan kelompoknya. JI terus
melakukan transformasi dalam pendananaanya baik melalui sumber legal, maupun donasi
perorangan dan masyarakat. JI memanfaatkan kondisi masyarakat Indonesia yang
memiliki budaya gotong royong dan dermawan dengan
mengumpulkan dana melalui lembaga fundraising dengan menggunakan isu-isu sesuai
perkembangan situasi di masyarakat. Penggalangan dana juga dapat berkembang
kepada pnyedia layanan keuangan digital sebagaimana perkembangan penggunaannya
di masa yang akan datang.
Strategi kontra intelijen yang
dapat dilakukan untuk mencegah dan menghentikan operasi pendanaan terorisme
tersebut terbagai menjadi langkah defensive dengan menciptakan sistem yang
mampu mendeteksi individu atau kelompok yang terkait dengan terorisme termasuk di
dalamnya mengoptimalkan penggunaan agen (HUMINT) dan informasi dari sumber
terbuka (OSINT). Langkah kontra intelijen ofensif dapat dilakukan dengan
menyusupkan agen ganda pada posisi strategis kelompok JI untuk melakukan
desepsi, melakukan penangkapan dalam rangka penegakan hukum serta menghambat
berkembangnya lembaga filantropi yang berkaita dengan pendanaan terorisme. Straetgi
kontra intelijen tersebut membutuhkan sinergi dan kerjasama antar pemangku
kepentingan untuk mengoptimalkan sistem pencegahan pendanaan terorisme di masa
yang akan datang. Edukasi kesadaran masyarakat menjadi poin penting dalam
mencegah pengumpulan dana dalam bentuk tunai yang sering dilakukan oleh JI
melalui yayasan di bawah sayap orrganisasi dakwahnya yang dilakukan melalui
diseminasi informasi tentang �bijak berdonasi� pada media konvensional maupun
digital. Selain itu, intelijen juga berperan dalam memberikan masukan atas
transformasi ancaman di masa yang akan datang pada pembuat kebijakan dalam
bentuk reformasi hukum/perundangan terkait donasi sosial dan/atau keagamaan.
BIBLIOGRAFI
Acharya,
V. V. (2009). A theory of systemic risk and design of prudential bank
regulation. Journal of Financial Stability, 5(3), 224�255.
Arianti, F. D., Pertiwi, M. D., Triastono, J., Purwaningsih,
H., Minarsih, S., Hindarwati, Y., Jauhari, S., Sahara, D., & Nurwahyuni, E.
(2022). Study of Organic Fertilizers and Rice Varieties on Rice Production and
Methane Emissions in Nutrient-Poor Irrigated Rice Fields. Sustainability,
14(10), 5919.
Assyamiri, M. A. T., & Hardinanto, A. (2022). Penggunaan
Bitcoin Dalam Cryptocurrency Terhadap Pendanaan Terorisme. INICIO LEGIS,
3(1), 1�17.
Barnes, P. J. (2017). Cellular and molecular mechanisms of
asthma and COPD. Clinical Science, 131(13), 1541�1558.
Biswas, D. (2019). Sensory aspects of retailing: Theoretical
and practical implications. In Journal of Retailing (Vol. 95, Issue 4,
pp. 111�115). Elsevier.
Carlisle, J. F. (2004). Morphological processes that
influence learning to read. Handbook of Language and Literacy: Development
and Disorders, 1, 318�339.
Cope, D. G. (2014). Methods and meanings: credibility and
trustworthiness of qualitative research. Oncology Nursing Forum, 41(1).
Dahl, R., Kapp, A., Colombo, G., De Monchy, J. G. R., Rak,
S., Emminger, W., Riis, B., Gr�nager, P. M., & Durham, S. R. (2008).
Sublingual grass allergen tablet immunotherapy provides sustained clinical
benefit with progressive immunologic changes over 2 years. Journal of Allergy
and Clinical Immunology, 121(2), 512�518.
Davis, J. B. (2006). The turn in economics: neoclassical
dominance to mainstream pluralism? Journal of Institutional Economics, 2(1),
1�20.
Ford, J. D., & Courtois, C. A. (2020). Defining and understanding
complex trauma and complex traumatic stress disorders.
Freeman, G. J., Wherry, E. J., Ahmed, R., & Sharpe, A. H.
(2006). Reinvigorating exhausted HIV-specific T cells via PD-1�PD-1 ligand
blockade. The Journal of Experimental Medicine, 203(10),
2223�2227.
Freeman, M., & Ruehsen, M. (2013). Terrorism financing
methods: An overview. Perspectives on Terrorism, 7(4), 5�26.
Godson, R. (1995). Covert action: neither exceptional tool
nor magic bullet. US Intelligence at the Crossroads: Agendas for Reform,
Potomac Books, 30.
Gowhor, H. S. (2022). The existing financial intelligence
tools and their limitations in early detection of terrorist financing
activities. Journal of Money Laundering Control, 25(4), 843�863.
Hwang, J., Choi, D., Han, S., Choi, J., & Hong, J.
(2019). An assessment of the toxicity of polypropylene microplastics in human
derived cells. Science of the Total Environment, 684, 657�669.
Lowe, D. T. (2017). Cupping therapy: An analysis of the
effects of suction on skin and the possible influence on human health. Complementary
Therapies in Clinical Practice, 29, 162�168.
Mandela, R., Bellew, M., Chumas, P., & Nash, H. (2019).
Impact of surgery timing for craniosynostosis on neurodevelopmental outcomes: a
systematic review. Journal of Neurosurgery: Pediatrics, 23(4),
442�454.
Maulana, H. A. (2021). Persepsi mahasiswa terhadap
pembelajaran daring di pendidikan tinggi vokasi: Studi perbandingan antara
penggunaan Google Classroom dan Zoom Meeting. Edukatif: Jurnal Ilmu
Pendidikan, 3(1), 188�195.
Melendez, J. A., Furnstahl, R. J., Phillips, D. R., Pratola,
M. T., & Wesolowski, S. (2019). Quantifying correlated truncation errors in
effective field theory. Physical Review C, 100(4), 44001.
Murthi, N. K. (2022). Implementasi Resolusi Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 2462 dalam Menanggulangi Pendanaan
Terorisme di Indonesia oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
UIN Sunan Ampel Surabaya.
Phythian, C., Michalopoulou, E., Duncan, J., &
Wemelsfelder, F. (2013). Inter-observer reliability of Qualitative Behavioural
Assessments of sheep. Applied Animal Behaviour Science, 144(1�2),
73�79.
Pickett, K. H. S., & Pickett, J. M. (2002). Financial
crime investigation and control. John Wiley & Sons.
Prasetya, A. Y., Subroto, A., & Nurish, A. (2021). Model
Pendanaan Terorisme Melalui Media Cryptocurrency. Journal of Terrorism
Studies, 3(1), 3.
Prunckun, H. (2014). The First Pillar of Terror�Kill One,
Frighten Ten Thousand: A Critical Discussion of the Doctrinal Shift Associated
with the �New Terrorism.� The Police Journal, 87(3), 178�185.
Rasyid, A. A., & Harmain, H. (2018). Analisis
Penerapan Prinsip Akuntansi dalam Meningkatkan Akuntabilitas Laporan Keuangan
Masjid di Indonesia.
Safrudin, R., & IP, S. (2018). Penanggulangan Terorisme
di Indonesia Melalui Penanganan Pendanaan Terorisme: Studi Kasus Al-Jamaah
Al-Islamiyah (JI). Jurnal Pertahanan & Bela Negara, 3(1),
113�138.
Setiawan, E. (2019). Interpretasi Paham Radikalisme Pascabom
di Surabaya dalam Perspektif Historis. SANGKEP: Jurnal Kajian Sosial
Keagamaan, 2(2), 119�138.
Slick, S. N., & Lee, C. S. (2014). The relative levels of
grit and their relationship with potential dropping-out and university
adjustment of foreign students in Korea. Journal of Digital Convergence,
12(8), 61�66.
Solahudin, M. (2013). Pengembangan metode pengendalian
gulma pada pertanian presisi berbasis multi agen komputasional.
Sulick, M. J. (2014). Spying in America: Espionage from
the Revolutionary War to the dawn of the Cold War. Georgetown University
Press.
Taylor, J. B. (2007). Housing and monetary policy.
National Bureau of Economic Research.
Van Cleave, M. (2013). What is counterintelligence. Intelligencer:
Journal of US Intelligence Studies, 20(2), 57�65.
Vishnevsky, T., & Beanlands, H. (2004). Qualitative
research. Nephrology Nursing Journal, 31(2), 234.
West, M. L. (2007). Indo-European poetry and myth.
Oxford university press.
Copyright
holder: Ika
Veni Anisa, Muhamad Syauqillah (2022) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |