Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesiap�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 11, Nomber 2022

IMPLIKASI AL-WAQF WA AL-IBTIDA>� DALAM MUSHAF ASY-SYADZILI TERHADAP PENAFSIRAN AL-QUR�AN

 

Muhammad Romli

UIN Sunan Ampel Surabaya, Indonesia

[email protected]

 

Abstrak

al-Waqf wa al-Ibtida>� merupakan salah satu kajian cukup penting bagi para pengkaji al-Qur�an, karena kesalahan dalam meletakkan waqaf dan ibtida� dapat menjerumuskan pembaca al-Qur�an dalam pemahaman yang salah, bahkan pada jurang kesesatan dan kekafiran. Oleh karenanya, bagi yang belum menguasai ilmu ini, sangat tidak disarankan menafsirkan al-Qur�an, karena besarnya resiko kesalahan makna jika ia salah meletakkan waqaf. Hal ini tentu memunculkan polemik dan problem baru dikalangan para Ulama. KH. Ahmad Syadzili merumuskan dan menyusun teori-teori tentang Waqf dan Ibtidā� yang kemudian dicantumkan dalam Mushaf yang dinamai Mushaf Asy-Syadzili dengan tanda-tanda tertentu. Lalu apa Implikasi waqaf dan Ibtida� mushaf Asy-Syadzili dalam sebuah penafsiran al-Qur�an?. Tulisan ini mencoba memberi jawaban sehingga upaya ini diharapkan dapat menjadi khazanah intelektual yang memperkaya pemahaman umat.

Kata kunci: Waqf dan Ibtidā�, Mushaf Asy-Syadzili, Implikasi penafsiran al-Quran

 

Abstract

al-Waqf wa al-Ibtida>' is one of the most important studies for the reviewers of the Qur'an, because mistakes in placing Waqf and Ibtida' can plunge the readers of the Qur'an into a wrong understanding, even to the abyss of error and error. disbelief. Therefore, for those who have not mastered this knowledge, it is not recommended to interpret the Qur'an, because of the high risk of misinterpretation if he misplaces the waqf. This of course raises new polemics and problems among the Ulama. KH. Ahmad Syadzili formulated and compiled theories about Waqf and Ibtidā' which were then included in the Mushaf called the Asy-Syadzili Mushaf with certain signs. Then what are the implications of waqf and Ibtida 'asy-Syadzili manuscripts in an interpretation of the Qur'an?. This paper tries to provide an answer so that this effort is expected to become an intellectual treasure that enriches the understanding of the people.

 

Keywords: Waqf and Ibtidā', Asy-Syadzili Mushaf, Implications of interpretation of the Koran

Pendahaluan

����������� Salah satu kewajiban umat Islam terhadap al-Qur�an adalah membacanya dengan tartil sebagaimana perintah Allah dan Rasulnya. Sahabat Ali Bin Abi Thalib ra memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud tartil adalah membaguskan huruf (Tajwi>d al-H{uru}f) dan mengetahui waqaf ketika membaca al-Qur�an (Ma�rifat ah}wa>l al-Waqf).

Ketika membaca al-Qur�an tentu kita akan menemui kesulitan membaca satu ayat yang panjang dalam satu nafas, karena dalam tata cara membaca al-Qur�an tidak diperbolehkan bernafas di tengah ayat. Untuk itu dibutuhkan al-Waqaf (berhenti) untuk sekedar menarik nafas dan melanjutkan bacaan berikutnya (al-Ibtida>�) dengan tetap menjaga keutuhan makna ayat yang kita baca.

al-Waqf wa al-Ibtida>� merupakan salah satu kajian cukup penting bagi para pengkaji al-Qur�an, karena kesalahan dalam meletakkan waqaf dan ibtida� dapat menjerumuskan pembaca al-Qur�an dalam pemahaman yang salah, bahkan pada jurang kesesatan dan kekafiran. Oleh karenanya, bagi yang belum menguasai ilmu ini, sangat tidak disarankan menafsirkan al-Qur�an, karena besarnya resiko kesalahan makna jika ia salah meletakkan waqaf. Hal ini tentu memunculkan polemik dan problem baru dikalangan para Ulama.

Salah satu problem di tengah masyarakat adalah ketika akhir-akhir ini diberitakan tentang munculnya fenomena baru dengan munculnya seorang Gus Nur yang dianggap sebagai �tokoh agama� oleh sebagian masyarakat. Isi ceramah-ceramahnya keras, profokatif dan yang sangat meresahkan masyarakat. Kasus yang terjadi ketika Gus Nur menjelaskan tentang devinisi ulama, ia mengutip ayat al-Qur�an dalam surat Fa>t}ir ayat 28:

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ ٢٨

Pada ayat tersebut Gus Nur memberikan penjelasan sebagai berikut:

Firman Allah surah Fatir ayat kalau nggak 28-29 buka itu! di antara manusia, diantara manusia, di antara binatang baik melata apapun jenisnya. Siapa yang takut kepada-Ku maka dia ulama. Diantara manusia, diantara binatang, Siapa yang takut kepada ku, maka dia ulama. Surat Fathir 29 bukan kalau nggak 29, 28 nya tapi ayat 29 ya. berarti ulama menurut Allah adalah bisa ular bisa ayam bisa kambing bisa manusia yang penting takut kepada Allah. Bisa Gunung �Law anzalna> ha>dza> al-Qur�a>na �ala> jabalin lara�aitahu> kha>syi�an mutas}addi�an min khasyyatilla>h� kalau aku turunkan al-Qur�an kepada gunung bisa kamu lihat gunung terpecah karena takutnya kepadaku. Kalau Gunung itu takut kepada Allah maka dia ulama, Lurah kalau takut kepada Allah maka dia ulama. Aman desanya, pedagang kalau takut kepada Allah maka dia ulama. Aman pelanggannya. Suami kalau takut kepada Allah maka dia ulama. Aman rumah tangganya.

 

Penafsiran yang disampaikan oleh Gus Nur didepan jamaah dalam pengajian tersebut jelas sangat kontradiksi dengan penjelasan para Ulama� dalam kitab-kitab tafsir. Bagaimana tidak, Gus Nur menyatakan bahwa Ulama� tidak mesti dari kalangan manusia yang menguasai ilmu agama saja, tapi bisa dari kalangan hewan baik itu ular, buaya, sapi, bahkan gunung asal mereka mereka takut kepada Allah. Pendapat kontroversi inilah yang memicu respon khalayak masyarakat masyarakat sehingga tidak sedikit para ulama� yang menanggapi �tafsir aneh� tersebut.

Dari pernyataan tersebut, apabila kita tinjau dari segi kajian al-Waqf wa al-Ibtida>�, maka kita akan mengetahui secara jelas bahwa tanda-tanda waqaf yang ada didalam al-Qur�an fungsinya bukan sekedar sebagai hiasan, akan tetapi al-Waqf wa al-Ibtida>� tersebut berfungsi sebagai petunjuk yang mempunyai pengaruh terhadap makna al-Qur�an. Karena pada kalimat:

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ

didalam rasm mushaf standar Utsmani cetakan Madinah dan mushaf-mushaf lainnya secara umum disana terdapat tanda قلى singkatan dari lafadh (al-Waqf aula>) yang berarti �berhenti lebih utama� baik secara bacaan maupun secara pemaknaan. Karena ketika di-was}al-kan akan menimbulkan kerancuan makna. Karena pada ayat tersebut ada dua kalimat yang semestinya dipisah. Sebagaimana Syekh Ibra>hi>m bin �Umar al-Biqa>�i> (wafat tahun 885 M/1480 H) di dalam kitab tafsirnya Naz}m al-Durar fi> Tana>sub al-A<yya>t wa al-Suwar mengatakan, �dua anak kalimat pada ayat 28 ini saling terpisah: pada kalimat yang pertama terhubung dengan ayat sebelumnya dan pada kalimat yang kedua terhubung dengan ayat setelahnya�.

Kasus tersebut terjadi karena beberapa faktor, diantaranya bahwa tanda waqaf di dalam mushaf adalah ijtihad para ulama, artinya pintu berpendapat tentu sangat terbuka dan dapat diperdebatkan secara ilmiyah. Kedua, wawasan tentang al-Waqf wa al-Ibtida>� bagi masyarakat awam sangat minim sehingga tanda-tanda waqaf yang ada di dalam mushaf al-Qur�an belum berfungsi sebagaimana mestinya. Ketiga, tanda waqaf yang beredar pada mushaf-mushaf pada umumnya masih menyisakan masalah yang perlu diberikan penjelasan ilmiyah.

Salah satu gagasan yang cukup menarik dalam Kaidah al-Waqf wa al-Ibtida>��� adalah bacaan (Qira>�ah) KH. Ahmad Syadzili, pendiri Pondok pesantren Salaf al-Qur�an Asy-Syadzili kabupaten Malang-Jawa Timur. Beliau membuat Kaidah al-Waqf wa al-Ibtida>� yang didokumentasikan dalam bentuk mushaf yang beliau namai Mushaf al-Sya>dzily. Tanda al-Waqf wa al-Ibtida>� dalam mushaf tersebut sangat unik, berbeda dengan mushaf-mushaf pada umumnya. Jika selama ini kebanyakan umat Islam ketika membaca al-Qur�an berhenti pada akhir ayat. Sedangkan rumusan waqaf Ibtida� KH. Ahmad Syadzili berbeda, beliau mewashalkan bacaan akhir ayat pada ayat-ayat yang maknanya saling berkaitan.

Teori ini sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut, untuk melihat bagaimana sebenarnya Kaidah al-Waqf wa al-Ibtida>� dalam mushaf Asy-Syadzili serta implikasinya dalam penafsiran al-Qur�an.

Ada beberapa alasan akademik mengapa penulis memilih riset dengan tema al-Waqf wa al-Ibtida>�, dan mengapa penulis memilih tokoh KH. Ahmad Syadzili sebagai obyek penelitian ini, bukan yang lain. Pertama, tanda al-Waqf wa al-Ibtida>� merupakan hasil dokumentasi para sahabat pencatat wahyu serta hasil ijtihad para ulama� yang tentu dalam merumuskan tanda waqaf terdapat perbedaan pendapat, dan dalam hal tentu menimbulkan kebingungan bagi masyarakat awam yang ingin memahami isi kandungan al-Qur�an, sehingga dengan penelitian ini diharapkan menghasilkan kontribusi positif dalam memahami al-Qur�an melalui Ilmu al-Waqf wa al-Ibtida>�.

Kedua, pengetahuan tentang al-Waqf wa al-Ibtida>� ��dijadikan para ulama� sebagai salah satu disiplin �Ulu>m al-Qur�a>n yang berfungsi sebagai panduan awal dalam menafsirkan al-Qur�an. Hal ini didasarkan pada pendapat Imam al-Nakza>wi> yang dinukil oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya al-Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur�a>n.Beliau mengatakan:

باب الوقف عظيم القدر,جليل القدر لأنه لا يتأتى لأحد معرفة معاني القرآن ولا استنباط الأدلة منه إلا بمعرفة الفواصل

�Ilmu Waqaf adalah bab yang sangat penting, karena seseorang tidak akan mampu mengetahui kandungan makna al-Qur�an dan mengambil dalil (Istinbat) darinya terkecuali dengan mengetahui pemisah diantara kalimat (Waqaf)�

 

Senada dengan pendapat al-Nakza>wi>, jauh sebelumnya pada masa Rasulullah Saw saat mengajarkan kepada para sahabat memberikan warning ketika membaca al-Qur�an agar tidak menutup ayat tentang rahmat dengan ayat yang berisi adzab (siksa), atau sebaliknya, yakni dengan me-was}alkan antara keduanya lalu waqaf, seperti ketika membaca surat Fa>t}ir:

ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَهُمۡ عَذَابٞ شَدِيدٞۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ

 

Ketika ayat tersebut dibaca dengan mewashalkan lafadz شَدِيدٞۖ dan waqaf pada lafadz ءَامَنُواْ, maka akan menimbulkan dugaan bahwa orang-orang yang beriman juga akan mendapatkan siksa sebagaimana orang-orang kafir[?]. Padahal maksud ayat diatas tidak demikian. Untuk menghindari kesalahan dalam memahami ayat tersebut, hendaknya pembaca al-Qur�an berhenti pada kata شَدِيدٞۖ, kemudian memulai pada kata وَٱلَّذِينَhingga akhir ayat, sehingga maknanya sesuai maksud yang dikehendaki.

Ketiga, Mushaf Asy-Syadzili memberikan tawaran solusi berupa tanda al-Waqf wa al-Ibtida>� yang unik, berbeda dibanding mushaf-mushaf pada umumnya. Diantara keunikan mushaf tersebut adalah me-was}al-kan setiap Ra�s al-a>yah (akhir ayat) pada ayat yang berkaitan maknanya, dalam rangka menjaga keutuhan makna. Sehingga pembaca al-Qur�an tidak salah faham terhadap ayat-ayat yang dibaca. Salah satu contoh pada surat al-Ma>�u>n: 4-5 yang berbunyi:

فَوَيۡلٞ لِّلۡمُصَلِّينَ٤ ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ٥

Pada mushaf Asy-Syadzili, ayat ke-4 dan ke-5 di-was}al-kan (digabungkan) sehingga maknanya sempurna. Karena seandainya seorang pembaca al-Qur�an tidak menggabung, kemudian berhenti pada ayat ke-4 saja tanpa meneruskan (al-Qat}�u), maka maknanya akan sangat fatal. Karena ayat ke-empat terjemahannya adalah�kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat�[?].

Keempat, Mushaf Asy-Syadzili adalah karya Ulama� Nusantara yang bacaannya dianut sebagian besar Huffa>z} al-Qur�a>n di kota Malang, para muridnya yang mempelajari mushaf tersebut menyebar diseluruh pelosok tanah air. Ciri khas bacaan (al-Waqf wa al-Ibtida>�) model Asy-Syadzili sangat mempengaruhi mayoritas penghafal al-Qur�an di Indonesia. Ini adalah salah satu keunikan yang tidak dimiliki pada mushaf lainnya, sehingga penulis tertarik untuk mengangkatnya sebagai obyek primer penelitian ini. Namun, dari sisi kajian penelitian ilmiah, penulis hendak melakukan kajian yang lebih kritis dan obyektif, yakni dengan melihat plus-minus dari Kaidah al-Waqf wa al-Ibtida>� tersebut dan implikasinya dalam penafsiran, serta relevansinya dalam pemahaman ulama� tafsir di Indonesia.

 

Metode Penelitian

����������� Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif, karena penulis hendak bermaksud mencari kejelasan rumusan waqaf dan ibtida� dalam Mushaf Asy-Syadzili kemudian mengkonfirmasikannya dengan kitab-kitab Tajwid. Disebut kualitatif karena data yang dihadapi berupa pernyatan verbal. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), karena sumber datanya berasal dari literatur-literatur tertulis yang berkaitan langsung dengan permasalahan Qira�ah, Waqaf dan Ibtida�, Tajwid, dan tafsir-tafsir yang berbasis Waqaf dan Ibtida�, serta karya-karya dalam bentuk lainnya.

Dari berbagai macam metode pendekatan dalam sebuah penelitian, penulis lebih memilih metode pendekatan analisis (al-Manhaj al-Tah}li>li>) dalam penelitian ini, yaitu mendasarkan kepada pembacaan naskah dengan menelaah, mengkaji, memahami secara seksama dan komprehensif obyek penelitian (Mushaf Asy-Syadzili) kemudian menganalisisnya dengan kaidah ilmu Waqaf Ibtida� dan Kaidah Bahasa arab, sehingga menmbuahkan hasil penelitian.

Hasil dan Pembahasan

1.     Qs. al-Baqarah: 14

�������� Allah swt berfirman:

وَاِذَا لَقُوا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قَالُوْٓا اٰمَنَّا وَاِذَا خَلَوْا اِلٰى شَيٰطِيْنِهِمْ ۙ قَالُوْٓا اِنَّا مَعَكُمْ ۙاِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِءُوْنَ ١٤

Terjemah Kemenag 2019

14. Apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, �Kami telah beriman.� Akan tetapi apabila mereka menyendiri dengan setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, �Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya pengolok-olok.�

 

Mushaf Asy-Syadzili melarang seorang Qari� waqaf pada kalimat (قَالُوْٓا اٰمَنَّا ) dengan tidak memberi tanda pada kalimat tersebut, karena akan menimbulkan dugaan yang salah, �orang-orang munafiq adalah orang yang juga beriman saat bertemu dengan orang mukmin [?], pemahaman seperti ini tentu adalah pemahaman yang salah. Oleh karenanya mushaf Asy-Syadzili menyarankan untuk mewasalkan kalimat (قَالُوْٓا اٰمَنَّا ۚ) sampai dengan akhir ayat.

Senada dengan Mushaf Asy-Syadzili, Imam al-Ashmu>ni di dalam Mana>r al-Huda> juga melarang Qari� waqaf pada lafaz tersebut:

قَالُوا آَمَنَّا ١٤ ليس بوقف؛ لأنَّ الوقف عليه يوهم غير المعنى المراد، ويثبت لهم الإيمان، وإنما سمَّوهُ النطق باللسان إيمانًا، وقلوبهم معرضة، تورية منهم وإيهامًا، والله سبحانه وتعالى أطلع نبيه على حقيقة ضمائرهم، وأعلمه أنَّ إظهارهم للإيمان لا حقيقة له، وإنه كان استهزاءً منهم

Karena (waqaf pada ayat tersebut) itu merubah makna yang dimaksudkan Allah Swt. Mereka (orang munafiq) menampakkan keimanan, tetapi mereka hanya menampakkan dibibir saja, padahal hati mereka bertentangan denga napa yang mereka katakan, mereka hanya mempermainkan kata-kata, dan sesungguhnya Allah SWT memberitahu para Nabi-Nya apa yang sesungguhnya dalam hati mereka. Dan (Allah) memberitahu bahwa hakikat keimanan mereka adalah kepalsuan. (keimanan orang munafiq) itu hanyalah ejekan mereka.

 

Orang munafik yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang hidupnya penuh dengan kebohongan untuk menipu. Lebih dari itu, mereka tidak sekadar lihai dalam berbohong akan tetapi licik dalam memanfaatkan kaum muslimin. Keimanan yang mereka tunjukkan hanya kepada kaum mukmin adalah kepalsuan yang dibungkus manis untuk mengelabui kaum muslimin.

Sebab turunnya (Asbab al-Nuzul) ayat ini karena Allah Swt mengecam sikap seorang tokoh Munafiq Madinah yang bernama Abdullah bin Ubay yang suka memuji-muji Abu Bakar, Umar Bin Khatab, dan Ali Bin Abi Thalib. Ketika ia ditegur oleh temannya �jangan bermuka dua�, ia berkata �Aku tidak mengucapkan suatu perkataan kecuali karena iman kita sama�. Setelah ia kembali kepada teman komplotannya, ia mengatakan �Lakukanlah kepada kaum muslimin sebagaimana yang kulakukan kepada mereka.�

Berdasarkan Asbab al-Nuzul ayat diatas, Q.S. al-Baqarah:14 tentu tidak mungkin dipahami sebagai �orang-orang munafiq adalah orang yang juga beriman saat bertemu dengan orang mukmin [?]. Pemahaman seperti ini tentu adalah pemahaman yang salah ketika menentukan waqaf.

2.     Qs. al-Ma>�idah: 3

Allah swt berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَاَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِالْاَزْلَامِۗ ذٰلِكُمْ فِسْقٌۗ اَلْيَوْمَ يَىِٕسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ دِيْنِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِۗ اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ٣

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang (sempat) kamu sembelih. (Diharamkan pula) apa yang disembelih untuk berhala. (Demikian pula) mengundi nasib dengan azlām (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu. Oleh sebab itu, janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Maka, siapa yang terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

Di dalam mushaf Asy-Syadzili tertulis larangan waqaf dan ibtida� pada kalimat (اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ) dan mewasalkan lafaz (وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ) karena dikhawatirkan akan menimbulkan dugaan bahwa kalimat (وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ) ber�ataf dengan lafaz (اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ). sehingga timbul sebuah penafsiran baru bahwa hewan yang disembelih (adalah halal) menjadi haram [?] atau pun muncul pemahaman �Hewan yang disembelih untuk berhala menjadi halal [?]� karena mengikuti lafaz sebelumnya (اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ) (hewan halal yang disembelih), padahal yang maksud ayat ini tidak demikian. Sebagaimana Imam al-Ashmuni juga melarang seorang Qari� waqaf pada lafaz (اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ) karena masing-masing lafaz tersebut memiliki keterkaitan makna yang erat.

Pemahaman yang semestinya dari makna lafaz (وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ)�hewan yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, adalah hewan halal ketika tercekik, dipukul, jatuh, ataupun diterkam hewan buas itu belum mati, sehingga masih memungkinkan untuk disembelih secara syar�i sehingga hewan tersebut tetap dihukumi halal.

3.     Qs. al-Ma>�idah: 6

Allah swt berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ٦

6. Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur.

 

Di dalam mushaf Asy-Syadzili terdapat larangan Waqaf atau Ibtida� pada lafaz (وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ) karena akan menimbulkan kesalahfahaman berupa anggapan bahwa lafaz (وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ) adalah �Ataf dari lafaz (وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ) padahal tidak demikian. Kalau hal itu tetap dilakukan (waqaf pada lafaz tersebut), secara penafsiran akan timbul dugaan bahwa bahwa pada bagian kaki dalam anggota wudhu� cukup diusap [?] padahal seperti yang kita ketahui bahwa anggota kaki dalam rukun wudhu� adalah dibasuh bukan diusap.

Akan tetapi dalam masalah ayat ini, Imam al-Ashmu>ni berbeda pendapat. Beliau memperbolehkan waqaf pada lafaz tersebut. Karena lafaz (وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ) �Ataf pada (فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ) tidak mungkin dimaknai dengan mengusap kaki, karena membasuh kaki dalam bab wudhu� sudah ditetapkan dalam Nas hadits Nabi Muhammad Saw. Berikut uraian penjelasan Imam al-Ashmu>ni:

بِرُءُوسِكُمْ} [6] جائز، لمن قرأ (1): �وأرجلَكم� بالنصب عطفًا على فاغسلوا وجوهكم وأيديكمإيذانًا بأنَّ فرض الرجلين الغسل، لا المسح وهو الثابت عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - في الأحاديث المتواترة

Bahwasanya waqaf pada lafaz بِرُءُوسِكُمْ diperbolehkan bagi yang meng-�ataf-kannya pada lafaz وأرجلَكم (dalam qira�ah yang dibaca nasab). Indikasi pada ayat فاغسلوا وجوهكم وأيديكم adalah mengenai kewajiban membasuh kaki, bukan mengusap, dan itu ditetapkan Rasulullah Saw. dalam haditsnya.

 

Namun dalam Qiraah yang lain, ada yang membaca (وَاَرْجُلِكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ) huruf lamnya di-kasrah, yaitu bacaan Imam Hamzah dan Imam Abu �Amr. Implikasi hukum fiqihnya digunakan sebagian Ulama� sebagai dalil bolehnya mengusap khuf saat bersuci ketika musim dingin atau panas.

4.     Q.s. Yusuf: 24

Allah swt berfirman:

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهٖۖ وَهَمَّ بِهَا ۚ لَوْلَآ اَنْ رَّاٰ بُرْهَانَ رَبِّهٖۗ كَذٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوْۤءَ وَالْفَحْشَاۤءَۗ اِنَّهٗ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِيْنَ ٢٤

Terjemah Kemenag 2019

24. Sungguh, perempuan itu benar-benar telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Yusuf pun berkehendak kepadanya sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, Kami memalingkan darinya keburukan dan kekejian. Sesungguhnya dia (Yusuf) termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.

 

Q.s. Yusuf: 24 ini yang rentan akan kesalahan makna ketika salah dalam menentukan waqaf, karena berkaitan dengan Aqidah keimanan seorang muslim dalam masalah kemaksuman para Nabi (Ismah al-Anbiya�). Dalam Aqidah kalangan Ahlussunnah wal-jama�ah meyakini bahwa setiap para nabi adalah maksum, yakni terjaga dari dosa. Namun sangat disayangkan Mushaf Asy-Syadzili tidak memberikan keterangan apapun mengenai kekhawatiran ini.

Penulis sependapat dengan Imam al-Ashmu>ni yang memberikan solusi untuk waqaf pada lafaz وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهٖ kemudian Ibtida� pada lafaz وَهَمَّ بِهَا dan mewasalkannya sampai pada lafaz لَوْلَآ اَنْ رَّاٰ بُرْهَانَ رَبِّهٖۗ. Alasan mengapa harus waqaf pada lafaz وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهٖۙ adalah karena perempuan (Imroah al-Aziz) tersebutlah yang pada hakikatnya adalah orang yang tergila-gila terhadap ketampanan Nabi Yusuf dan mendorong Nabi Yusuf untuk melayani nafsu birahinya, Maka secara makna sebaiknya memang waqaf pada Waqad Hammat Bihi (وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهٖۙ). Sedangkan ketertarikan Nabi Yusuf terhadap perempuan (وَهَمَّ بِهَا ) tersebut hanya karena dilandasi bahwa Nabi Yusuf adalah hamba sahaya dari perempuan tersebut sehingga beliau harus menghormatinya. Kemudian mengapa harus Ibtida� pada lafaz وَهَمَّ بِهَا dan mewasalkannya sampai pada kalimat لَوْلَآ اَنْ رَّاٰ بُرْهَانَ رَبِّهٖۗ (sekiranya dia tidak melihat tanda (Hidayah) dari Tuhannya, niscaya dia akan terjatuh dalam perbuatan maksiat)? karena antara ketertarikan Nabi Yusuf dengan Hidayah yang datang dari Allah tidak bisa dipisahkan. Dan alasan yang paling kuat adalah bahwa Nabi Yusuf adalah Nabi Allah yang maksum (terjaga dari dosa) tidak mungkin melakukan perbuatan maksiat.

Dalam kitab tafsir klasik, cerita ini berkembang sampai melampaui batas, bahkan mencederai kemaksuman Nabi Yusuf. Sebagai contoh penafsiran Ibn Jarir al-Thabari ketika menafsirkan Q.s. Yusuf: 24 beliau mengutip riwayat Israiliyat yang berasal dari Ibn �Abbas. Isi Riwayat Israiliyat tersebut adalah bagaimana reaksi Nabi Yusuf Ketika digoda oleh perempuan bangsawan (Imroah al-�Aziz) tersebut? Ibnu Abbas berkata: �Ia menanggalkan pakaiannya dan duduk seperti duduknya seorang pengkhianat�. Kemudian perempuan tersebut berkata: �Hai Yusuf! Janganlah duduk seperti duduknya seekor burung. Karena burung Ketika berzina duduk seperti itu�. Menyadari adanya Riwayat yang batil seperti itu, beliau pun segera memberikan komentarnya �pendapat yang paling benar adalah bahwa Allah mengabarkan bahwa nabi Yusuf digoda seorang wanita cantik. Seandainya ia tidak melihat ayat maka ia tergelincir dengan godaan tersebut. Ayat yang dimaksud adalah berupa tampaknya wajah ayahnya, Nabi Ya�qub atau berupa ancaman raja bagi pelaku Zina.�

5.     Q.s. Qasas: 68

Allah swt berfirman:

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ وَيَخْتَارُ ۗمَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ ۗسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَتَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ ٦٨

Terjemah Kemenag 2019

68. Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Mahasuci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.

 

Imam al-Ashmu>ni menghimbau kepada para Qari� untuk Waqaf pada lafaz وَيَخْتَارُkarena waqaf tersebut adalah waqf tam. Waqaf tersebut adalah pendapat mayoritas ulama ahli waqf dan ulama ahli tafsir. Imam al-Shaukani bahkan menyatakan hal ini sebagai ijmak (konsensus) ulama, di dalamnya termasuk mushaf Asy-Syadzili. Dengan waqaf pada lafaz tersebut maka menjadi pembeda antara kaum Ahlusunah dengan kaum Mu�tazilah. Kalangan Ahlusunah menafikan pilihan Allah berdasarkan pilihan makhluknya. Artinya, dalam pandangan Ahlusunah, tidak ada pilihan bagi makhluk atas apa yang telah Allah pilih. Pilihan hanya milik Allah dalam semua perbuatan-Nya. Dia yang lebih mengetahui hikmah di balik yang tersembunyi.

Tidak ada seorang pun yang mampu menentukan pilihan bagi-Nya. Adapun Ma (ما) pada ayat ini berfungsi sebagai nafy. ia menafikan pilihan pada makhluk dan menetapkannya hanya untuk Allah. Dengan penafsiran seperti ini, ayat di atas sejalan dengan firman Allah,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗوَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ

Terjemah Kemenag 2019

36.Tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.

Kesimpulan

Berdasarkan dari semua uraian yang telah dikemukakan dalam penelitian ini, maka penulis menyimpulkan 3 (tiga) point, yaitu: 1) Waqaf dan Ibtida� dalam mushaf Asy-Syadzili adalah sebuah upaya untuk menjaga seorang Qari� dari kesalahan dalam memahami al-Qur�an. 2) Wasal pada ra�s al-Ayah dalam surat al-Baqarah membuktikan adanya implikasi yang cukup signifikan dalam sebuah penafsiran al-Qur�an, Meskipun andaikata ketika diwaqafkan juga tidak merubah makna. Di antara keterkaitan lafaz baik berupa Man�u>t dan na�atnya, Shart} dan Jawabnya, Mausuf dan Sifatnya, Ra>fi� (isim yang me-rafa�kan) dengan Marfu>�-nya, Na>s}ib dengan Mans}ubnya, Mu�akkad dengan Tauki>dnya, Ma�tu>f dengan Ma�tu>f �alai>hnya, Badal dengan Mubdal Minhu-nya, Anna, Ka>na, Dzonna> (�A<mil Nawa>sikh) dengan Isim-nya, Isimnya �A<mil Nawa>sikh dengan Khabar-nya, maupun Mustastna> dengan Mustastna> Minhunya. 3) Implikasi waqaf atau wasal pada ayat-ayat yang rentan rancu maknanya ketika salah dalam menentukan al-Waqf wa al-Ibtida>� akan berdampak yang sangat fatal dalam aspek makna.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur�an dan Tafsir, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2015)

 

Abi Dawud Sulaiman bin al-�Ats al-Sijistani, Bab Sifat Wudhu al-Nabi, Diwan al-Hadis al-Nabawy al-Sunan Abi Dawud, Jilid 2, (Kairo: Dar al-Ta�sil, 2010 )

 

Abi> al-H{asan �Ali> bin Ah}mad al-Wa>hidi>y, Asba>b al-Nuzu>l (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah,tt)

 

Ahmad Badruddin, �Waqf dan Ibtidā' dalam Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah; Pengaruhnya terhadap Penafsiran�, Jurnal Suhuf, Vol. 6, No. 2, 2013, 169-196, (30 September 2021)

 

Ahmad bin Ah}mad al-T{a>wi>l, Fann al-Tarti>l wa �Ulu>muh (Madinah: Mujamma� al-Malik Fahd, 1999), Juz II

 

Ahmad Bin Muhammad al-Ashmu>ny>, Manna>r al-Huda> Fi> Baya>n al-Waqf wa al-Ibtida�,

Ahmad Fathoni, Petunjuk Praktis Tahsin Tartil Metode �Maisura�, (Jakarta: Yayasan Bengkel Metode Maisura, 2019)

 

Ibn Jarir al-Tabari, Jami� al-Bayan fi Tafsir al-Qur�an, Juz 12 (Beirut: Dar al-Fikr, 1988)

 

Abu> al-Fida>� al-Ha>fiz bin Kas}i>r al-Dimashqi>, Tafsi>r al-Qur�a>n al-Az}i>m, (Beiru>t: Da>r al-Fikr)

 

Ibra>hi>m bin �Umar al-Biqa>�i>, Naz{m al-Duror fi>> Tana>sub al-A<ya>t wa al-Suwar (Kairo: Da>r al-Kita>b al-Isla>mi>, tt), Jilid 16

 

Jala>l al-Addi>n �Abd al-Rahma>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n Fi> Ulu>m al-Qur�a>n, (Kairo: Maktabah da>r al-Tura>ts, 2010)

 

Jala>l al-Addi>n �Abd al-Rahma>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n Fi> Ulu>m al-Qur�a>n

 

M. Afifuddin Dimyati dalam: https://islami.co/al-waqaf-wal-ibtida-ilmu-yang-harus-dikuasai-sebelum-menafsirkan-al-Qur�an/ (18 Oktober 2021)

 

Muhammad �Ali al-S{a>bu>ni>, Rowa>�i� al-Baya>n, Jilid 1, (Jakarta: Da>r al-Kutub al-Isla>miyah, 1999)

 

Muhammad �Ali al-Shauka>ni>, Fath al-Qadi>r, Juz 5, (Beirut: Maktabah �As}riyah, 1997)

 

Muhammad Abid Mu�afan, �Mengenal sosok KH. Ahmad Syadzili Muhdor� dalam https://iqra.id/mengenal-sosok-kh-achmad-syadzili-muhdlor-217520/ (28 September 2021)

 

Mushaf al-Qur�an standar Usmani cetakan Madinah tahun 1436 H/2016 M, Mushaf standar Usmani cetakan Mesir tahun 1433H/2013M

 

Mushaf Asy-Syadzili, (Malang: Penerbit Pondok Pesantren Salaf al-Qur�an Asy-Syadzili, 2016 )

 

Santri Chanel dalam: https://www.youtube.com/watch?v=QmbhQFx2_ak&t=3s (20 September 2021)

 

Shams al-Di>n Muhammad Bin Muhammad Ibn al-Jazari,> al-Tamh}i>d fi> �Ilm al-Tajwi>d (Beirut: Da>r al-Kutub al-�Ilmiyah, 2016)

 

Sukardi, Belajar mudah 'Ulum al-Qur'an: Studi Khazanah Ilmu al-Qur�an (Jakarta: Lentera, 2002)

Utsma>n bin Sa�i>d al-Da>ny>, al-Muktafa> fi> al-Waqf wa al-Ibtida>� (Beirut: Mu�assasah al-Risa>lah, 1987)

 

Copyright holder:

Muhammad Romli (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: