Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 7, No. 11, November 2022
IMPLIKASI
POLITIK HUKUM KEBEBASAN BERSERIKAT DAN HAK BERORGANISASI PEKERJA/BURUH DALAM PRODUK
HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP PELAKSANAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA
Wahyudi Siswanto
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Politik
hukum (legal policy) adalah berbagai tujuan dan
alasan dari dibentuknya� peraturan
perundang-undangan, yang
dibedakan dalam dua dimensi, yaitu dimensi�
kebijakan dasar (basic policy), dan dimensi kebijakan pemberlakuan
(enachtmen policy). Penelitian ini
berfokus pada dimensi kedua politik hukum, yaitu formulasi politik hukum
kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh dalam
perundang-undangan ketenagakerjaan yang diundangkan pada Periode Pemerintahan
Sebelum Reformasi, Periode Pemerintahan Reformasi, dan Periode Pemerintahan
Setelah Reformasi. Ruang lingkup penelitian dan pembahasan mencakup segi
normatif, implementasi dan termasuk juga didalamnya bentuk atau model ideal formulasi politik
hukum kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh yang
merupakan masukan bagi Pemerintah dalam rangka penyempurnaan Sistem Hubungan Industrial di Indonesia.
Kata Kunci: Politik Hukum, Kebebasan
Berserikat, Hak Berorganisasi Pekerja/Buruh, Hukum Ketenagakerjaan.
Abstract
Legal policy is the various objectives and
reasons for the establishment of laws and regulations, which are
distinguished in two dimensions, namely the basic policy dimension, and the
enactment policy dimension. This research focuses on the second dimension of
legal politics, namely the formulation of legal politics of freedom of
association and the right to organize workers / workers in labor legislation
promulgated in the Government Period Before the Reformation, the Period of
Government of the Reformation, and the Period of Government After the
Reformation. The scope of research and discussion �includes normative aspects, implementation and also
includes �the ideal form or
model of political formulation, law, freedom of association and workers/labor
rights of organization which are inputs for the Government in the context of
improving the Industrial Relations System in Indonesia.
Keywords: Legal Politics, Freedom of Association, Workers' Right to Organize,
Labor Law
Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memberikan pengakuan dan
perlindungan terhadap prinsip-prinsip kebebasan berserikat dan hak
berorganisasi dalam konstitusi Negara. Pasal 28E ayat (3) UUD Negara RI Tahun
1945 memberikan rumusan bahwa, �Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat� (Kemenhuk & HAM, 2009). Rumusan dalam Pasal 28E ayat (3)
UUD Negara RI Tahun 1945 tersebut tidak hanya menjadi landasan pengertian
yuridis konseptual tentang makna kebebasan berserikat dan hak berorganisasi
bagi setiap Warga Negara Indonesia, namun bagi pekerja/buruh di Indonesia,
rumusan tersebut menjadi dasar pengakuan dan perlindungan secara
konstitusional, terhadap hak untuk secara bebas berserikat dan hak untuk
berorganisasi bagi pekerja/buruh di Indonesia. Menurut Jimly Asshiddiqie,
kebebasan berserikat bukan hanya kebebasan untuk mendirikan sebuah
organisasi/serikat pekerja, tetapi lebih dari itu terjaminnya pelaksanaan dan
tujuan dilaksanakannya kebebasan berserikat tersebut sesuai dengan konstitusi.
Sebagai salah satu wujud pengorganisasian ide, pikiran, dan pandangan dalam
masyarakat yang demokratis melalui pembentukan organisasi (freedom of association), bentuk natural rights yang bersifat fundamental dan melekat dalam peri
kehidupan bersama umat manusia (Asshiddiqie, 2017).
Kebebasan untuk terlibat dalam organisasi atau perkumpulan memang
terkait erat dan penting dalam mengekspresikan gagasan, aspirasi, dan
keyakinan. Karena manusia pada hakikatnya merupakan makhluk sosial yang berarti
senantiasa untuk hidup berkelompok. Dalam kehidupan berkelompok itulah manusia
saling mengkomunikasikan gagasan dan menyusun aksi bersama untuk memenuhi
kepentingan/kebutuhan mereka. Kepentingan atau kebutuhan bersama melahirkan
gagasan untuk melindungi dan memperjuangkan pemenuhan kebutuhan bersama melalui
wadah organisasi, sebagai konsep hak atas kebebasan berserikat (Hakim, 2020). Bagi pekerja/buruh, wadah
organisasi serikat pekerja/serikat buruh menjadi sarana yang strategis untuk
mengkomunikasikan gagasan, aspirasi dan keyakinan, serta wadah untuk menyusun
aksi bersama guna memenuhi kepentingan/kebutuhan mereka.
Secara yuridis, pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap
prinsip-prinsip kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh telah
diberikan, baik oleh instrumen internasional, maupu instrumen nasional
(perundang-undangan organik) yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia (HAM) (Asnawi, 2012). Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (Universal Declaration of Human
Rights) Perserikatan Bangsa-Bangsa 1948 (DUHAM PBB 1948) menjadi instrumen
internasional pertama yang memasukkan hak berserikat (union rights) sebagai bagian dari HAM. Hal tersebut termuat dalam
Pasal 20 ayat (1) DUHAM PBB 1948 yang menyebutkan, �Setiap orang mempunyai hak
atas kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan�. Pasal 23 ayat (4)
DUHAM PBB 1948, dengan rumusan, �Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki
serikat-serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya� (Setiawan et al., 2022).
Hak berserikat (union
rights) yang oleh DUHAM PBB 1948 dideklarasikan sebagai HAM, oleh Kovenan
Internasional Mengenai Hak Sipil dan Politik (International Covenan on Civil and Political Rights/ICCPR) 1976 (Setiawan et al., 2022), hak dasar tersebut ditetapkan
(lebih rinci) menjadi dua hak, yaitu hak untuk berkumpul yang bersifat damai (the rights of peaceful assembly), dan
hak setiap orang atas kebebasan berserikat (freedom
of association). Pasal 22 ayat (1) ICCPR,
menyatakan bahwa, �Setiap orang berhak untuk bergabung berasosiasi dengan
dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan memasuki serikat pekerja
untuk menjaga kepentingan-kepentingannya sendiri�. Dalam perkembangannya DUHAM
PBB 1948 juga diadopsi oleh International
Labour Organisation (ILO), dalam dua konvensi, yaitu Konvensi ILO tentang
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi 1948 (No. 87), dan
Konvensi ILO tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Kolektif 1949 (No. 98) (Sandra et al., 2016).
Substansi Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan
Perlindungan Hak Berorganisasi 1948 (No. 87), yaitu (Kartini et al., 2022): Menjamin semua pekerja dan
pengusaha tanpa perbedaan apapun, dan tanpa ijin sebelumnya, hak untuk
membentuk dan mengikuti organisasi pilihannya sendiri. Organisasi ini harus
memiliki hak untuk membuat konstitusi dan peraturannya sendiri, memilih
wakil-wakilnya dengan kebebasan penuh, mengatur administrasi dan kegiatannya,
serta menyusun program-programnya, tanpa campur tangan oleh pemerintah.
Organisasi ini tidak dapat dibubarkan atau dibekukan oleh pemerintah,
organisasi ini harus mempunyai hak untuk membentuk federasi dan konfederasi,
dan berafiliasi dengan organisasi internasional pekerja dan pengusaha. Hal yang
sama berlaku untuk federasi dan konfederasi.
Sedangkan substansi Konvensi ILO tentang Hak Berorganisasi dan
Berunding Kolektif 1949 (No. 98) melengkapi Konvensi ILO 1948 (No. 87), lebih
diarahkan pada masalah hubungan-hubungan antara pengusaha dan pekerja. Konvensi
ini melindungi pekerja terhadap tindakan diskriminasi anti serikat
pekerja/serikat buruh dalam hubungannya dengan pekerjaan, dan khususnya
mempersyaratkan agar organisasi pekerja mendapatkan perlindungan cukup terhadap
campur tangan pengusaha (Setiawan et al., 2022).
Di samping instrumen internasional tengang HAM seperti diuraikan
di atas, prinsip-prinsip pengakuan dan perlindungan kebebasan berserikat dan
hak berorganisasi pekerja/buruh juga diatur dalam instrumen nasional tentang
HAM yang merupakan perundang-undangan formil sebagai pelaksanaan dari amanat
konstitusi Negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD Negara RI
Tahun 1945, diantaranya adalah Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Negara telah memberikan
pengakuan dan jaminan perlindungan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi
pekerja/buruh, melalui pengaturan dalam bentuk hukum tertinggi yaitu dalam
konstitusi Negara. Instrumen internasional tentang HAM juga telah diratifikasi,
termasuk mengatur pengakuan dan jaminan perlindungan hak dasar tersebut dalam
perundang-undangan formel melalui Ketetapan MPR tentang HAM dan Undang-undang
HAM. Dalam perspektif politik hukum (legal
policy) (Putra, 2015), dengan
pengaturan dalam konstitusi Negara tersebut, maka Negara telah memformulasikan
dalam UUD Negara RI Tahun 1945 kebijakan dasar (basic policy) (Sihombing, 2019), pengakuan dan perlindungan
kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh di Indonesia.
Kebijakan dasar (basic
policy) kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh yang telah
diformulasikan dalam konstitusi Negara tersebut, harus dijabarkan melalui
kebijakan pemberlakuan (enachment policy)
dalam peraturan perundang-undangan formil (produk hukum ketenagakerjaan).
Persoalannya adalah, kebijakan dasar yang telah ditetapkan dalam konstitusi
Negara, tidak serta merta paralel dengan kebijakan pemberlakuan dalam produk
hukum ketenagakerjaan yang diundangkan oleh pemerintah. Relasi antara dua
dimensi politik hukum tersebut sangat dipengaruhi oleh kehendak politik rezim
pemerintahan yang sedang berkuasa. Pada periode tertentu dimana cara
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan Negara dilakukan secara otoriter, maka
kebijakan pemberlakuan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh
yang diformulasikan dalam produk hukum ketenagakerjaan cenderung bersifat
represif/ortodoks/elitis. Sebaliknya, pada periode tertentu dimana cara
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan Negara dilakukan secara demokratis, maka
kebijakan pemberlakuan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh
yang diformulasikan dalam produk hukum ketenagakerjaan cenderung bersifat
responsive/populis (Siswanto, 2023).
Perbedaan sifat/karakter produk hukum ketenagakerjaan tersebut di
atas memberikan dampak/pengaruh dalam pelaksanaan hubungan industrial (Sahabuddin, 2017), yang melibatkan unsur/sub sistem
Organisasi SP/SB, unsur/sub sistem Pengusaha/Asosiasi Pengusaha, dan unsur/sub
sistem Pemerintah. Dampak/pengaruh dalam pelaksanaan hubungan industrial, lebih
banyak ditentukan oleh kekuatan relative ketiga unsur/sub sistem tersebut.
Teori hubungan industrial mengakui adanya konflik kepentingan yang bersifat inheren (bawaan) antara pengusaha dan
pekerja. Namun teori ini juga mengakui adanya kesamaan-kesamaan kepentingan
antara pengusaha dan pekerja. Karena itu, upaya untuk mencapai hubungan
industrial yang harmonis hendaknya dititikberatkan kepada kesamaan-kesamaan
kepentingan tersebut dan merekonsiliasikan (menjembatani) perbedaan-perbedaan
kepentingan yang berpotensi menimbulkan konflik.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dalam penelitian ini akan
dilakukan kajian bagaimana kebijakan pemberlakuan kebebasan berserikat dan hak
berorganisasi pekerja/buruh diformulasikan dalam produk hukum ketenagakerjaan
yang diundangkan pada setiap periode pemerintahan di Indonesia, sehingga dapat
diketahui implikasi kebijakan pemberlakuan tersebut terhadap pelaksanaan
hubungan industrialnya. Kajian dilakukan dengan membagi sejarah penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia dalam tiga kategori (Aditya, 2019), yaitu pada Periode Pemerintahan
Sebelum Reformasi, Periode Pemerintahan Reformasi, dan Periode Pemerintahan
Setelah Reformasi.
Reformasi menjadi acuan dalam penyusunan kategori periode
pemerintahan, karena seperti yang disebutkan Satya Arinanto, reformasi tidak
hanya menghasilkan transisi demokrasi, namun juga menghasilkan keadilan
transisional (transitional justice),
yaitu keadilan dalam masa transisi politik. Menurut Ruti G. Teitel, konsepsi
keadilan dalam periode perubahan politik bersifat luar biasa konstruktif. Hal
ini secara bergantian dibentuk oleh, dan merupakan inti dari, transisi politik.
Konsepsi keadilan yang timbul bersifat kontekstual dan parsial. Apa yang
dipertimbangkan sebagai sesuatu yang �adil� bersifat tidak pasti dan dapat
dikaitkan dengan masa yang akan datang dan hal ini didasarkan atas informasi
dari ketidakadilan sebelumnya (Prasetyawati, 2013).
Pada Periode Pemerintahan Sebelum Reformasi, yaitu Pemerintahan
Orde Lama Presiden Soekarno dan Pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto.
Kepentingan untuk mendapatkan detail, pada Pemerintahan Orde Lama Soekarno
dibagi lagi menjadi dua, yaitu Periode Demokrasi Parlementer (1950 s/d 1955)
dan Periode Demokrasi Terpimpin (1955 s/d 1966). Pada Pemerintahan Orde Lama
Soekarno, produk hukum ketenagakerjaan yang diundangkan adalah Undang-undang
Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan
Majikan; Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan; Undang-undang Nomor 7 PRPS 1963 tentang Pencegahan Pemogokan
dan/atau Penutupan (Lock Out)
Perusahaan, Jawatan dan Badan Vital. Sementara pada Pemerintahan Orde Baru
Presiden Soeharto, diundangkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, dan Undang-undang Nomor 25
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Subijanto, 2011).
Pada Periode Pemerintahan Reformasi, yang oleh banyak kalangan disebut
sebagai era transisi demokrasi politik di Indonesia, pada era Pemerintahan
Presiden B.J. Habibie meratifikasi Konvensi ILO tentang�� Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
Berorganisasi 1948 (No. 87) melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 83 Tahun
1998 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 87 Tentang Kebebasan Berserikat dan
Perlindungan Hak Berorganisasi. Masih dalam Periode Pemerintahan Reformasi,
pada era Pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid, diundangkan Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Selanjutnya Periode
Pemerintahan Reformasi pada era Pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri,
diundangkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Terakhir, pada Periode Pemerintahan Setelah Reformasi, hasil dari transisi
demokrasi pada era sebelumnya adalah telah mulai dilakukannya konsolidasi
politik pada era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada periode
pemerintahan ini diundangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (Maudina & Nurdin, 2023).
Berdasarkan uraian di atas, pada tiga periode pemerintahan yang
berbeda tersebut, diundangkan produk hukum ketenagakerjaan dengan
sifat/karakter yang berbeda. Perbedaan sifat/karakter produk hukum
ketenagakerjaan tersebut disebabkan perbedaan dalam memformulasikan kebijakan
pemberlakuan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh dalam
produk hukum ketenagakerjaan yang diundangkan. Formulasi kebijakan pemberlakuan
yang memberikan dampak terhadap sifat/karakter produk hukum, menjadi dasar
untuk mengkonstruksikan asumsi dalam penelitian ini, yaitu bahwa tidak serta
merta relasi terhubung secara paralel antara kebijakan dasar yang telah ditetapkan
dalam konstitusi Negara, dengan kebijakan pemberlakuan yang diformulasikan
dalam rumusan pasal-pasal perundang-undangan. Determinasi politik atas hukumlah
yang kemudian melekatkan perbedaan sifat/karakter produk hukum ketenagakerjaan
yang diundangkan pada tiga periode pemerintahan di Indonesia.
Metode
Penelitian
Penelitian hukum secara umum dapat
dikategorikan menjadi penelitian doktrinal dan penelitian non doktrinal.
Penelitian doktrinal atau penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum
yang bersifat preskriptif bukan deskriptif sebagaimana ilmu sosial dan ilmu
alam (Marzuki, 2010). Penelitian hukum
normatif mencakup penelitian inventarisasi hukum positif, asas-asas hukum,
penelitian hukum klinis, sistimatika peraturan perundang-undangan, sejarah
hukum dan perbandingan hokum (Marzuki, 2010). Sifat penelitian yang digunakan dalan penelitian
ini adalah deskriptif-analitis.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach), dan pendekatan konseptual (conseptual
approach).
Berdasarkan
jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Bahan hukum primer meliputi
produk lembaga legislatif (Campbell & MacDougall, 1967). Bahan hukum sekunder dipergunakan
pula dalam penelitian ini untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer, meliputi berbagai literatur tentang Hukum Ketenagakerjaan, didukung
oleh buku-buku ilmiah, artikel, jurnal, makalah ilmiah, hasil-hasil penelitian
yang dilakukan sebelumnya. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder yang digunakan dalam penulisan Disertasi ini, berupa Kamus Hukum,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan Ensiklopedi.
Untuk menyusun hasil penelitian ini, peneliti menggunakan
cara pengumpulan data melalui studi kepustakaan. Data penelitian yang diperoleh disusun secara sistimatis
untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Bahan hukum yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu analisis yang
dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah diperoleh dan disusun
sistematis, kemudian ditarik kesimpulan.
Hasil
dan Pembahasan
1. Analisis Formulasi Politik Hukum
Kebebasan Berserikat dan Hak Berorganisasi Pekerja/Buruh dalam Produk Hukum
Ketenagakerjaan di Indonesia
a.
Formulasi Kebijakan Dasar (basic policy) Kebebasan Berserikat dan Hak Berorganisasi
Pekerja/Buruh dalam Konstitusi Negara
Salah satu
cakupan dalam pembangunan hukum adalah pembangunan materi hukum, yang oleh
Bagir Manan digunakan istilah politik pembentukan hokum (Manan & Harijanti, 2016), atau istilah lain seperti yang
digunakan Hikmahanto Juwono, politik hukum perundang-undangan (Juwono, 2014). Di dalam politik pembentukan hukum, secara konseptual melekat dua dimensi
politik hukum, yaitu dimensi politik hukum yang menjadi alasan dasar
dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan. Politik hukum dalam
dimensi demikian disebut sebagai kebijakan dasar (basic policy).� Dimensi
kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik
pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan. Politik hukum dalam dimensi
ini disebut kebijakan pemberlakuan (enachtment
policy) (Juwono, 2014).
Dimensi
kebijakan dasar politik pembentukan hukum, bersifat netral karena bergantung
kepada nilai universal dari tujuan dan alasan pembuatan undang-undang tertentu.
Kebijakan dasar tersebut diformulasikan atau dituangkan pada bentuk hukum yang
tertinggi yaitu dalam konstitusi Negara. Dalam kaitannya dengan politik hukum
kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh dalam produk hukum
ketenagakerjaan di Indonesia, Negara mengakui dan memberikan jaminan
perlindungan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh, sebagai
kebijakan dasar (basic policy) dalam
pembentukan perundang-undangan ketenagakerjaan, yang diformulasikan melalui
rumusan pasal-pasal dalam konstitusi Negara, yaitu Pasal 28E ayat (3) UUD
Negara RI Tahun 1945, dengan rumusan, �Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat� (Indonesia, 1959).
Selanjutnya
identifikasi yang dilakukan terhadap 3 (tiga) konstitusi Negara yang pernah
berlaku di Indonesia, kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh
juga ditetapkan sebagai kebijakan dasar dalam pembentukan hukum, dan
diformulasikan pada pasal tertentu pada ketiga konstitusi Negara tersebut,
yaitu UUD 1945, Pasal 28 dengan rumusan, �Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan tulisan atau lisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang.� Konstitusi RIS 1948, Pasal 28 dengan rumusan, �Setiap orang
berhak mendirikan serikat pekerja dan masuk didalamnya untuk melindungi
kepentingannya; serta UUDS 1950, Pasal 29 yang menyebutkan, �Setiap orang
berhak mendirikan serikat-sekerja dan masuk kedalamnya untuk memperlindungi dan
memperjuangkan kepentingannya� (Kemenhuk & HAM, 2009).
b.
Formulasi Kebijakan Pemberlakuan (Enachtment Policy) Kebebasan Berserikat dan Hak Berorganisasi
Pekerja/Buruh dalam Produk Hukum Ketenagakerjaan
1)
Periode Pemerintahan Sebelum Reformasi
Periode
Pemerintahan Sebelum Reformasi, terdiri dari Pemerintahan Orde Lama Presiden
Soekarno (Periode Demokrasi Parlementer 1950-1955 dan Periode Demokrasi
Terpimpin 1956-1965), dan Pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto,
merepresentasikan dua kutup penyelenggaraan kekuasaan Negara, yaitu dalam kutub
konfigurasi politik yang demokratis, dan kutub konfigurasi politik yang
otoriter. Periode Demokrasi Parlementer 1950-1955, adalah rentang waktu dimana
Presiden Soekarno menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan Negara secara
demokratis. Selebihnya, yaitu sampai dengan saat dimana Pemerintahan Orde Baru
berkuasa, Soekarno menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan Negara secara
otoriter, yaitu pada Periode Demokrasi Terpimpin 1956-1965.
Selanjutnya
penelitian yang dilakukan terhadap produk hukum ketenagakerjaan yang
diundangkan pada Periode Demokrasi Parlemter, formulasi kebijakan dasar dalam
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat
Buruh dan Majikan, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan, adalah dalam rangka memberikan perlindungan terhadap
pekerja/buruh untuk melaksanakan hak kolektifnya (termasuk berserikat dan
berorganisasi), dan perlindungan terhadap serikat buruh (sebagai pihak yang
posisi alamiahnya lemah), melalui intervensi pemerintah dalam penyelesaian
perselisihan perburuhan (Nomor, 32 C.E.).
Kebijakan
pemberlakuan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954, yang berorientasi kepada
kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh, diformulasikan dalam
rumusan pasal-pasal undang-undang, diantaranya penggunaan hak kolektif serikat
buruh untuk berunding dengan pengusaha baru dapat dilakukan apabila merupakan
Serikat Buruh Terdaftar di Kementrian Perburuhan, bentuk tertulis Perjanjian
Perburuhan, akibat hukum pembubaran organisasi serikat buruh, pembatalan
Perjanjian Perburuhan melalui pengadilan. Kebijakan pemberlakuan dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957, juga�
berorientasi kepada kebebasan berserikat dan hak berorganisasi
pekerja/buruh, diformulasikan dalam rumusan pasal-pasal dalam undang-undang,
diantaranya adalah, penyelesaian perselisihan melalui Pegawai Perantara,
penyelesaian perselisihan melalui P4D dan P4P, serta Veto Menteri Perburuhan.
Sampai disini, dapat menjelaskan bahwa dengan konfigurasi politik yang
demokratis, cenderung diundangkan produk hukum ketenagakerjaan yang
bersifat/berkarakter responsive/populis (Nomor, 32 C.E.).
Pada Periode
Demokrasi Terpimpin (1956-1965), cara penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan
Negara dilakukan secara otoriter, dimana kebijakan yang diambil pemerintah
mulai bersifat subyektif, diantaranya dikeluarkannya Tap MPR tentang pembubaran
Dewan Perwakilan Rakyat dan Konstituante. Presiden Soekarno bahkan membuat Tap
MPR yang berisi penegasan kepemimpinannya yang tanpa batas masa jabatan. Istana
menjadi menguat, partai-partai lain selain PKI menjadi lemah dan bahkan
kekuatan militer pun menguat. Dengan konfigurasi politik yang otoriter
tersebut, memberikan dampak pada politik hukum dalam produk hukum
ketenagakerjaan yang bersifat represif/elitis, dimana kebijakan pemberlakuan
dalam Undang-undang Nomor 7 PRPS 1963 bertujuan memberikan larangan melakukan
pemogokan atau penutupan (lock-out)
di perusahaan dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan dan tujuan revolusi.
Sedangkan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, ditujukan untuk mengamankan Manifesto
Politik Pemerintah.
Pemerintahan
Orde Baru Presiden Soeharto, masih mempertahankan penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan Negara secara otoriter. Pilihan prioritas pada pembangunan
ekonomi, dan kepentingan agar stabilitas nasional terjaga, Pemerintah Orde Baru
secara sistematis berusaha menjauhkan masyarakat dari politik, dengan melakukan
depolitisasi di dalam masyarakat. Dalam konfigurasi politik yang otoriter
diundangkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Mengenai Tenaga Kerja, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan.
Periode
pemerintahan Orde Baru, dengan rentang waktu berkuasa yang relative lama (32
tahun), berhasil secara terstruktur melaksanakan pembatasan kebebasan
berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh, dan berhasil melakukan
unifikasi organisasi pekerja/buruh dalam wadah tunggal SPSI, serta
mengembangkan konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Kebijakan
pemberlakuan produk hukum ketenagakerjaan yang bertujuan memberikan
pembatasan-pembatasan terhadap hak dasar pekerja/buruh seperti diuraikan
diatas, maka sifat/karakter produk hukumnya cenderung represif/elitis.
Berdasarkan
uraian tersebut diatas, maka pada Periode Pemerintahan Sebelum Reformasi,
khususnya pada Periode Demokrasi Terpimpin (1956-1965) dan Pemerintahan Orde
Baru Soeharto (1966-1998), politik hukum dimensi kebijakan pemberlakuan
kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh dalam produk hukum
ketenagakerjaan,� secara paradok
bertentangan dengan kebijakan dasar (basic policy) yang telah ditetapkan dalam
konstitusi Negara (UUDS 1950 dan UUD 1945), dimana Negara mengakui dan menjamin
perlindungan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi bagi pekerja/buruh di
Indonesia.
2) Periode
Pemerintahan Reformasi
Reformasi
politik tahun 1998, mengakhiri periode Pemerintahan Orde Baru Soeharto yang
menjalankan kekuasaan pemerintahan Negara secara otoriter, dan kemudian beralih
kepada Periode Pemerintahan Reformasi (melalui Presiden B.J. Habibie, Presiden
Abdulrahman Wahid, dan Presiden Megawati Soekarno Putri), yang menjalankan
kekuasaan pemerintahan Negara secara demokratis. Berbeda dengan Orde Baru yang
tidak memberikan ruang yang luas kepada pekerja/buruh untuk berserikat, pada
periode pemerintahan reformasi kebebasan berserikat dan hak berorganisasi
mendapatkan ruang yang luas, karena menjadi bagian dari tuntutan reformasi
komponen masyarakat.
Formulasi kebijakan
pemberlakuan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000, menegaskan komitmen
pemerintahan reformsai terhadap pemenuhan kebebasan berserikat dan hak
berorganisasi pekerja/buruh, salah satu diantaranya seperti yang dirumuskan
dalam konsideran (menimbang) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000, yang
merumuskan, �Diundangkan undang-undang ini adalah untuk mewujudkan kemerdekaan
berserikat, pekerja/buruh berhak membentuk dan mengembangkan serikat
pekerja/serikat buruh yang bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab� (Nomor, 32 C.E.). Formulasi kebijakan
pemberlakuannya dalam undang-undang ini, dalam banyak hal sejalan dengan
standar/prinsip-prinsip dasar ILO tentang kebebasan berserikat dan hak
berorganisasi pekerja/buruh yang termuat dalam Konvensi ILO tentang Kebebasan
Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi 1948 (No. 87), dan Konvensi ILO
tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Kolektif 1949 (No. 98), bahkan dalam
pandangan penulis kebijakan pemberlakuan yang dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (2)
melampaui standar/prinsip dasar dalam Konvensi, karena �Serikat pekerja/serikat
buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh� (Nomor, 32 C.E.).
Perundang-undangan
ketenagakerjaan yang diundangkan pada Periode Pemerintahan Reformasi terkoneksi
dari aspek materi hukum yang diatur. Persoalan/masalah hukum yang belum diatur
dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000, mendapatkan pengaturannya dalam
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003. Formulasi kebijakan pemberlakuan dua produk
hukum ketenagakerjaan tersebut, dengan spirit yang sama, yaitu kepentingan
untuk memenuhi hak dasar pekerja/buruh, khususnya yang berkaitan dengan
kebebasan berserikat dan hak berorganisasi. Konfigurasi politik yang demokratis yang dijalankan Pemerintahan
Reformasi, memberikan dampak kepada sifat/karakter produk hukumnya yang
cenderung responsive/populis.
3) Periode
Pemerintahan Setelah Reformasi
Penyelenggaraan
Pemilihan Umum (Pemilu) dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang
diselenggarakan secara langsung untuk pertama kalinya di Indonesia pada tahun
2004 menjadi akhir periode pemerintahan reformasi dan sekaligus menjadi awal
periode pemerintahan pasca reformasi. Presiden terpilih, Susilo Bambang
Yudhoyono, melanjutkan cara penyelenggarakan pemerintahan Negara pada periode
sebelumnya yang mengedepankan praktik politik yang demokratis. Pada periode
ini, diundangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian
Perselihan Hubungan Industrial.
Formulasi
kebijakan pemberlakuan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, memberikan penguatan
kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh. Persoalan/masalah
hukum yang dipicu pasca diundangkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 dan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, mendapatkan mekanisme penyelesaiannya
melalui pengaturan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004. Sebagai contoh,
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, mengisi kekosongan hukum dampak pengaturan
dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003,
yaitu dalam penyelesaian perselisihan apabila di dalam satu perusahaan terdapat
lebih dari satu organisasi serikat pekerja/serikat buruh. Pasal 1 angka 5
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, memberikan rumusan bahwa, �Pertama kali
diatur penyelesaian perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan
antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain
hanya dalam satu perusahaan�. Hal ini sekaligus mengkonfirmasi adanya
koneksitas tiga undang-undang yang merupakan produk hukum pemerintahan
reformasi, yaitu Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000, Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003, dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004.
Berdasarkan
analisis dan pembahasan formulasi dimensi politik hukum kebebasan berserikat
dan hak berorganisasi pekerja/buruh dalam produk hukum ketenagakerjaan di
Indonesia, beberapa catatan penting, sebagai ikhtisar, yaitu:
a)
Formulasi politik hukum kebebasan berserikat dan hak
berorganisasi pekerja/buruh dalam produk hukum ketenagakerjaan, mengkonfirmasi
relasi antara konfigurasi politik dengan karakter produk hukum yang dihasilkan,
seperti yang pernah dikemukakan oleh Satya Arinanto, bahwa dalam konfigurasi
politik demokratis karakter produk hukumnya bersifat responsive/populis,
sedangkan pada konfigurasi politik yang otoriter karakter produk hukumnya
bersifat konservatif/ortodoks/elitis.�
b)
Temuan hasil penelitian, menunjukkan bahwa formulasi
politik hukum kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh,
berbanding lurus dengan konfigurasi politik dan karakter produk hukumnya,
yaitu: Pada konfigurasi politik yang demokratis, yang direpresentasikan oleh
Pemerintahan Orde Lama Presiden Soekarno Periode Demokrasi Parlementer,
Pemerintahan Reformasi (Presiden B.J. Habibie, Abdulrahman Wahid, Megawati
Soekarno Putri), dan Pemerintahan Setelah Reformasi (Presiden Susilo Bambang
yudhoyono), diundangkan produk hukum ketenagakerjaan yang bersifat
responsive/populis, maka formulasi politik hukumnya memberikan kebebasan secara
luas kepada pekerja/buruh untuk berserikat dan melaksankan hak berorganisasi.
c)
Pada konfigurasi politik yang otoriter, yang
direpresentasikan oleh Pemerintahan Orde Lama Soekarno Periode Demokrasi
Terpimpin, dan Pemerintahan Orde Baru Soeharto, diundangkan produk hukum
ketenagakerjaan yang represif/ortodoks/elitis, maka formulasi politik hukumnya
memberikan pembatasan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi.
2. Analisis Implikasi
Formulasi Politik Hukum Kebebasan Berserikat dan Hak Berorganisasi
Pekerja/Buruh Terhadap Dinamika Pelaksanaan Hubungan Industrial
a.
Pelaksanaan Hubungan Industrial dalam Konfigurasi Politik Otoriter�
Dalam sejarah pemerintahan di Indonesia, representasi pemerintahan
dengan konfigurasi politik otoriter adalah pada Pemerintahan Orde Lama Soekarno
Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan Pemerintahan Orde Baru Soeharto
(1966-1998). Karakteristik menonjol pada dua pemerintahan
tersebut, adalah peran Negara yang dominan dalam mengatur semua aspek kehidupan masyarakat. Dominasi
politik dan kekuasaan, ditunjukkan dengan mengintervensi secara langsung
kehidupan masyarakat menggunakan alat-alat kekuasaan negara (militer), namun
juga dilakukan secara tidak langsung melalui kontrol pemerintah dalam
pembentukan hukum (peraturan perundang-undangan), melalui formulasi politik
hukum perundang-undangan yang arah tujuannya untuk mendukung kepentingan
kekuasaan pemerintah. Hal ini ditunjukkan dalam formulasi politik hukum
kebebasan berserikat dan hak berorganisasi dalam produk hukum ketenagakerjaan yang memberikan pembatasan dan/atau larangan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh.
Implikasi dari formulasi politik hukum tersebut, tidak hanya
membatasi penggunaan hak untuk berserikat dan berorganisasi bagi pekerja/buruh,
namun meluas, memberikan dampak negative merugikan kepentingan Organisasi SP/SB
dalam pelaksanaan hubungan industrial. Sebelum dilakukan pembahasan perihal
dampak negative tersebut, diuraikan terlebih dahulu beberapa aspek mendasar
terkait dengan hubungan industrial.
Internasional Labour Organisation (ILO), memberikan deskripsi
mengenai konsep dasar hubungan industrial, yaitu hubungan individual dan
kolektif antara pekerja dan pengusaha di tempat kerja yang timbul dari situasi
kerja; dan/atau hubungan antara wakil-wakil pekerja dan pengusaha di tingkat
industri (sektoral) dan di tingkat nasional, dan interaksi antara wakil-wakil
pekerja dan pengusaha dengan Negara (pemerintah) (Ghosh, 2021).
Mengacu kepada konsep dasar hubungan industrial menurut ILO, maka
hubungan industrial dapat dilakukan dalam bentuk hubungan individual antara
pekerja/buruh dengan pengusaha di tempat kerja yang timbul dari situasi kerja,
dan/atau dilaksanakan dalam bentuk hubungan kolektif, yaitu antara wakil-wakil
pekerja/buruh dan pengusaha di tingkat industri (sektoral) dan di tingkat
nasional, dan interaksi antara wakil-wakil pekerja dan pengusaha dengan negara
(pemerintah). Dengan demikian, secara umum dapat diberikan pengertian mengenai pelaksanaan hubungan industrial,
aktivitas/kegiatan/interaksi yang dilakukan oleh para pihak/subjek yang
terlibat dalam hubungan industrial tersebut, yaitu unsur pekerja/buruh
(termasuk Organisasi SP/SB), unsur pengusaha (termasuk asosiasi pengusaha), dan
unsur pemerintah. Tujuan dari aktivitas/kegiatan/interaksi tersebut adalah
upaya dari masing-masing pihak/subjek yang terlibat dalam hubungan industrial
untuk memperjuangkan kepentingannya.
Teori hubungan industrial mengakui adanya konflik kepentingan yang
bersifat inheren (bawaan) antara unsur pekerja/buruh dengan unsur pengusaha.
Disinilah posisi strategis pemerintah (unsur ketiga dalam hubungan industrial)
untuk merekonsiliasikan (menjembatani) perbedaan-perbedaan kepentingan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha yang berpotensi menimbulkan konflik (Ghosh, 2021). Kedudukan pemerintah dalam
pelaksanaan hubungan industrial adalah sebagai pihak ketiga yang netral, untuk
merekonsiliasikan (menjembatani) perbedaan-perbedaan kepentingan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha.
Persoalannya adalah, sistem hubungan industrial pada waktu
tertentu, dalam sejarah perkembanganya akan ditentukan oleh bagaimana tiga
unsur yang terlibat dalam hubungan industrial (Organisasi SP/SB, Pengusaha, dan
Pemerintah), masing-masing mengambil dan memberikan porsi/bagian masing-masing.
Dalam kurun waktu tertentu, salah satu unsur, bisa jadi mengambil dan
memberikan porsi/bagiannya secara berlebihan, karena pelaksanaan hubungan
industrial akan ditentukan oleh konteks (social, ekonomi, politik) dan ikatan
idiologi. Oleh karena itu, sistem hubungan industrial yang dikembangkan oleh
Pemerintahan dengan konfigurasi politik otoriter maupun pemerintahan dengan
konfigurasi politik demokratis, secara diametral berbeda, karena masing-masing
unsur dalam hubungan industrial akan memberi dan mengambil porsinya sesuai
dengan kontek social, ekonomi, dan politik serta idiologi yang saat itu.
Pada periode pemerintahan dengan konfigurasi politik otoriter, di
dalam sistem dan praktik pelaksanaan hubungan industrialnya, kedudukan
pemerintah tersebut tidak dapat sepenuhnya netral. Posisi strategis pemerintah
juga tidak dapat sepenuhnya menjalankan fungsi-fungsi rekonsiliatif untuk
mengkompromikan konflik kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
Pemerintah, justru menjadi unsur ketiga dalam hubungan industrial, yang
terlibat masuk dan menjadi bagian dalam praktik pelaksanaan hubungan
industrial, dengan membawa dan memaksakan kepentingannya sendiri. Hal ini dapat
diamati dalam pelaksanaan hubungan industrial pada Periode Demokrasi Terpimpin
(1959-1965), dan Pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto (1966-1998).
Upaya pemerintah untuk terlibat masuk dan menjadi bagian dalam
pelaksanaan hubungan industrial, dengan membawa dan memaksakan kepentingannya
sendiri, tersirat dalam produk hukum ketenagakerjaan yang diundangkan.
Undang-undang Nomor 7 PRPS 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan
(Lock Out) Perusahaan, Jawatan dan Badan Vital, dalam konsideran (menimbang),
memberikan rumusan, �Larangan melakukan pemogokan atau penutupan (lock-out) di
perusahaan dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan dan tujuan revolusi�. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, Penjelasan
Umum, juga memberikan rumusan, �Diundangkannya undang-undang ini ditujukan
untuk mengamankan Manifesto Politik Pemerintah�. Rumusan dalam konsideran
(menimbang) dan penjelasan umum seperti tersebut diatas, menegaskan bahwa
produk hukum dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk mencapai tujuan kekuasaan.
Salah satu tujuan kekuasaan adalah untuk mempertahankan usia kekuasaan, dan
dengan kekuasaan itu suatu pemerintahan melakukan apa saja yang dikehendakinya
karena hukum telah dijadikan sebagai alat semata-mata. Tujuan revolusi dan
manifesto politik, adalah kepentingan kekuasaan pemerintahan Negara, diluar
kepentingan pekerja/buruh dan pengusaha. Dengan demikian, pemerintah pada
Periode Demokrasi Terpimpin, memaksakan kepentingannya sendiri dalam
pelaksanaan hubungan industrial.
Melalui pola yang lebih terstruktur, Pemerintahan Orde Baru
Soeharto, melanjutkan politik hukum yang dikembangkan oleh Pemerintahan
Demokrasi Terpimpin Soekarno, dengan melembagakan Hubungan Industrial Pancasila
(HIP). Perbedaannya adalah, Pemerintahan Orde Baru tidak menetapkan produk
hukum yang berseifat imperative melalui larangan dengan sanksi pidana/penal,
namun kepentingan kekuasaan pemerintahan Negara dipaksakan dalam pelaksanaan
hubungan industrial, melalui HIP yang merepresentasikan pembatasan-pembatasan
kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh.
Formulasi kebijakan pemberlakuan dalam produk hukum
ketenagakerjaan yang menetapkan larangan dan/atau pembatasan kebebasan
berserikat dan hak berorganisasi perkerja/buruh, merupakan kebijakan pemerintah
masing-masing pada Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan Pemerintahan
Orde Baru Presiden Soeharto (1966-1998). Pada kedua periode pemerintahan
tersebut, penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan Negara, sama-sama dijalankan
secara otoriter.
Dengan konfigurasi politik yang otoriter tersebut, Pemerintahan
Orde Lama Soekarno Periode Demokrasi Terpimpin, melakukan upaya-upaya unifikasi
organisasi serikat pekerja/serikat buruh. Presiden Soekarno berusaha untuk
menyatukan buruh dalam satu wadah bersama (unitaris) dengan membentuk Serikat
Bersama Buruh (Sekber Buruh) yang merupakan gabungan dari berbagai macam
organisasi buruh di Indonesia. Formulasi kebijakan pemberlakuan dengan
menetapkan larangan mogok kerja pada perusahaan, jawatan dan badan vital,
diundangkan melalui Undang-undang Nomor 7 PRPS 1963. Larangan melakukan
pemogokan dan penutupan (lock-out) di perusahaan, jawatan, dan badan vital
bertujuan untuk mengamankan kepentingan dan tujuan revolusi (Kritis & Rizal, 2012). Melalui undang-undang ini,
pemerintah akan memberikan sanksi pidana terhadap barang siapa melakukan atau
turut melakukan pemogokan atau penutupan (lock-out) di perusahaan, jawatan atau
badan vital. Sanksi pidana terhadap barang siapa memberi kesempatan atau memancing,
mengajak, menganjurkan, menghasut, menyuruh, memerintahkan atau memaksa
dilakukannya pemogokan atau penutupan (lock-out) di perusahaan, jawatan atau
badan vital. Tindakan penyitaan terhadap barang-barang yang dipergunakan untuk
mewujudkan atau yang berhubungan dengan atau yang diperoleh dari tindakan
pemogokan atau penutupan perusahaan (lock-out) (Devi Rahayu, 2020).
Undang-undang Nomor 7 PRPS 1963 efektif bagi pemerintah dalam
mengkontrol hubungan industrial, sekaligus memberikan tekanan terhadap gerakan
serikat buruh, yang ditunjukkan dengan berkurangnya intensitas aksi-aksi unjuk
rasa dan pemogokan pekerja/buruh. Pada tahun 1960 tercatat 1.096 kasus
pemogokan. Tahun 1961 tercatat 1.159 kasus pemogokan. Tahun 1962 tercatat 914
kasus pemogokan. Tahun 1963 tercatat 809 kasus pemogokan. Tahun 1964 tercata
341 kasus pemogokan (Soegiri & Cahyono, 2003). Data statistik tersebut
menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah kasus pemogakan.
Sebagai komparasi, situasi yang bertolak belakang pada saat
Pemerintahan Orde Lama Soekarno Periode Demokrasi Parlementer (1950-1957),
dimana pemerintah memberikan hak kepada pekerja/buruh bebas berserikat dan
berorganisasi, yang kemudian memicu peningkatan jumlah kasus pemogokan.
Mengutip keterangan Suri Suroto, data statistik perselisihan perburuhan antara
1951-1955 tercatat 11.736 kasus perselisihan, disertai 1.787 pemogokan, yang
melibatkan 918.739 buruh. Sementara, antara 1956-1959 terdapat 14.003 kasus
perselisihan perburuhan, disertai 631 pemogokan, yang melibatkan 441.900 buruh (Irmayani, 2017).
Unifikasi organisasi serikat pekerja/serikat buruh yang dirintas
Pemerintahan Soekarno Periode Demokrasi Terpimpin, baru benar-benar dapat
dilaksanakan dalam Pemerintahan Orde Baru Soeharto melalui pembentukan Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) sebagai wada Lembaga Penelitian SEMURU (Toyamah & Usman, 2004), merilis bahwa pembentukan Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) sebagai satu-satunya serikat pekerja
memberikan peran dominan kepada serikat pekerja dalam proses hubungan
industrial. Tetapi, SPSI secara luas dianggap dikendalikan oleh pemerintah.
Pegawai negeri, pejabat militer dan politisi yang sudah pensiun sering kali
mendapat kursi dalam struktur kepengurusan SPSI.
Model sistem politik yang diterapkan pemerintahan Orde Baru adalah
korporatisme Negara, yaitu sistem politik dari representasi dan artikulasi
kepentingan. Pada sistem politik ini, masyarakat diorganisir ke dalam sejumlah
terbatas kelompok kepentingan dalam bentuk asosiasi, sosietas dan serikat
pekerja (Dwikardana, 2020). Hubungan industrial dikendalikan
secara ketat oleh pemerintah Orde Baru, sebagai upaya menarik investasi asing
dan pertumbuhan industri baru. Termasuk dalam praktek pengendalian ini adalah
intervensi militer dalam perselisihan industrial dan pembatasan hak berserikat (Boulton, 2002). Pemerintahan Orde Baru kemudian
mengembangkan konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka sistem hubungan
industrial yang dikembangkan Pemerintahan Orde Lama Soekarno Periode Demokrasi
Terpimpin dan Pemerintahan Orde Baru Soeharto, adalah sistem hubungan
industrial berbasis konfiguasi politik yang otoriter. Secara teoritis sistem
hubungan industrial yang dikembangkan pada dua periode pemerintahan tersebut
dapat dikualifikasikan ke dalam model corporatist model. Menurut Uwiyono (2017), corporatist model adalah suatu
model hubungan industrial dimana peran pemerintah sangat dominan dalam
menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi
kerja. Kemudian, model keserikatburuhannya adalah single union. Dalam hal ini serikat buruh diposisikan sebagai kepanjangan tangan
pemerintah (Uwiyono, 2017).
b. Pelaksanaan
Hubungan Industrial dalam Konfigurasi Politik Demokratis
Pemerintahan Reformasi (Presiden B.J Habibie, Abdulrahman Wahid,
dan Megawati Soekarno Putri), yang kemudian diteruskan oleh Pemerintahan
Setelah Reformasi (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), mengembangkan sistem
hubungan industrial berbasis konfigurasi politik demokratis, yang
teridentifikasi pada formulasi politik hukum dalam produk hukum ketenagakerjaan
yang memberikan kebebasan secara luas kepada pekerja/buruh untuk berserikat dan
berorganisasi.
Pemerintahan Reformasi dan Pemerintahan Setelah Reformasi, menunjukkan
komitmen kuat untuk memberikan perlindungan (pemenuhan) hak-hak dasar
pekerja/buruh, termasuk didalamnya kebebasan berserikat dan hak berorganisasi.
Komitmen tersebut, dikonversi dalam bentuk formulasi politik hukum kebebasan
berserikat dan hak berorganisasi dalam rumusan pasal-pasal perundang-undangan
ketenagakerjaan yang diundangkan pada kedua periode pemerintahan tersebut,
yaitu Pemerintahan Reformasi Presiden B.J. Habibie meratifikasi Konvensi ILO
No. 87/1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak
Berorganisasi (Freedom of Association and Protection of Right to Organize)
dibuat� pada tahun 1948 dan diratifikasi
pada tahun 1998 berdasarkan Kepres Nomor 83 Tahun 1998, Undang-undang Nomor 21
Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Formulasi politik hukum tersebut menandai proses demokratisasi di
lingkungan Organisasi SP/SB. Formulasi politik hukum telah menggeser Organisasi
SP/SB dari yang sebelumnya bersifat monolitik (wadah tunggal/FSPSI), menjadi
bersifat pluralistik. Kebebasan berserikat dan hak berorganisasi menjadi pintu
pembuka, pendirian banyak Organisasi SP/SB baru di Indonesia.� Sejak tahun 1998 pemerintah mengijinkan
pembentukan organisasi buruh selain FSPSI, dan hingga bulan Agustus 2001
tercatat sebanyak 59 serikat buruh telah dibentuk di Indonesia. Data Statistik
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, menunjukkan peningkatan jumlah yang
signifikan organisasi serikat pekerja/serikat buruh terdaftar Tahun 1998-2003.
Pada bulan Februari 2003 tercatat sekitar 66 Federasi serikat pekerja di
tingkat nasional dan lebih dari 11 ribu serikat pekerja tingkat perusahaan di
tingkat lokal. Pada Oktober 1998 tencatat 20 serikat pekerja/serikat buruh yang
terdaftar dan pada Februari 2003 jumlah ini meningkat menjadi 70 serikat
pekerja/serikat buruh terdaftar.
Implikasi formulasi politik hukum tersebat memberikan dampak terhadap
pelaksanaan hubungan industrial. Hal yang menonjol dalam sistem hubungan kerja
yang dikembangkan dalam konfigurasi politik yang demokratis, adalah menguatnya
peran dari Organisasi SP/SB dan melemahnya dominasi/peran Negara (pemerintah)
dalam hubungan kerja. Indikator menguatnya peran Organisasi SP/SB dalam
pelaksanaan hubungan kerja terkait dengan semakin banyaknya berdiri Organisasi
SP/SB, sehingga memberikan dampak pada posisi tawar pada saat melakukan
negosiasi baik dengan unsur Pengusaha maupun dengan Pemerintah.
Peran-peran Negara (Pemerintah) yang dominan dalam hubungan
industrial pada pemerintahan dengan konfigurasi politik otoriter, telah
direduksi, dan mengembalikan peran Pemerintah dalam hubungan industrial sebagai
pihak penyeimbang antara kepentingan pekerja/buruh dengan kepentingan
majikan/pengusaha. Dengan karakteristik tersebut, maka sistem hubungan
industrial yang dikembangkan oleh Pemerintahan Reformasi dan Pemerintahan
Setelah Reformasi adalah contractualits
model yaitu model hubungan industrial dimana peran
pemerintah dalam menentukan syarat-syarat kerja sangat minim
Kesimpulan
Berdasarkan
analisis dan pembahasan yang dilakukan terhadap dua pokok permasalahan yang
diajukan dalam penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) Politik
hukum (legal policy) pada dasarnya
merupakan visi politik pemerintah dalam pembentukan hukum, yaitu arah, tujuan
dan alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan. Politik
hukum tersebut dapat dibedakan dalam dua dimensi, yaitu politik hukum yang
menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan
perundang-undangan. Politik hukum dalam dimensi demikian disebut kebijakan
dasar (basic policy). Dimensi kedua
dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan
suatu peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam rentang waktu periode
pemerintahannya. Politik hukum dalam dimensi ini disebut sebagai kebijakan
pemberlakuan (enachtment policy). 2) Implikasi
dari adanya
perbedaan dalam memformulasikan politik hukum
dimensi kebijakan pemberlakuan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi dalam
rumusan pasal-pasal perundang-undangan ketenagakerjaan yang
diundangkan oleh masing-masing periode pemerintahan tersebut, memberikan dampak terhadap pelaksanaan hubungan
industrial.
BLIBLIOGRAFI
Aditya,
Z. F. (2019). Romantisme Sistem Hukum di Indonesia: Kajian atas Konstribusi
Hukum Adat dan Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum di Indonesia. Jurnal
Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 8(1), 37�54.
https://doi.org/10.33331/rechtsvinding.v8i1.305
Asnawi, H. S. (2012). Hak Asasi Manusia Islam dan Barat:
Studi Kritik Hukum Pidana Islam dan Hukuman Mati. Supremasi Hukum: Jurnal
Kajian Ilmu Hukum, 1(1).
Asshiddiqie, J. (2017). Telaah Kritis Mengenai Perspektif
Historis-Evolusioner Dalam Studi Hukum dan Perkembangan Sosial di Indonesia. Jurnal
Hukum & Pembangunan, 18(3), 254�266.
Boulton, A. J. (2002). Struktur Hubungan Industrial di
Indonesia Masa Mendatang. Masalah Dan Tantangan, Jakarta: Kantor Perburuhan
International.
Campbell, E., & MacDougall, D. J. (1967). Legal
research: materials and methods. Law Book Company.
Devi Rahayu, S. H. (2020). Buku Ajar: Hukum
Ketenagakerjaan. SCOPINDO MEDIA PUSTAKA.
Dwikardana, S. (2020). Reinventing Cities as Global Players. Jurnal
Ilmiah Hubungan Internasional, 95�102.
Ghosh, A. (2021). An Exemplary Gay Scientist and Mentor:
Martin Gouterman (1931�2020). Angewandte Chemie International Edition, 60(18),
9760�9770.
Hakim, A. (2020). (BUKU) Jihad Konstitusi. Kumpulan Berkas
Kepangkatan Dosen.
Indonesia, R. (1959). Undang-Undang Dasar 1945. Dewan
Pimpinan PNI, Department Pen. Prop. Pen. Kader.
Irmayani, T. (2017). Gerakan Buruh Sejak Proklamasi Sampai
1965. Politeia: Jurnal Ilmu Politik, 3(2).
Juwono, H. (2014). Penanganan Illegal Migrant dalam Rangka
Menjaga Ketahanan Nasional. Jurnal Lemhannas RI, 2(1), 53�62.
Kartini, S., Perdana, F. W., Irwan, I., Setiawan, B., &
Purboyo, P. (2022). Politik Hukum Kebebasan Berserikat Pekerja/Buruh dalam
Produk Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Jurnal Indonesia Sosial Teknologi,
3(02), 342�350.
Kemenhuk & HAM. (2009). UU No. 44 tentang Rumah Sakit. Peraturan
Presiden.
Kritis,� ditinjau dari
kriminologi, & Rizal, M. (2012). Kriminalisasi Protes Buruh dan Serikat
Buruh.
Manan, B., & Harijanti, S. D. (2016). Artikel Kehormatan:
Konstitusi dan Hak Asasi Manusia. PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of
Law), 3(3), 448�467.
Marzuki, P. M. (2010). Penelitian Hukum, Jakarta. Kencana
Prenada Media Group.
Maudina, F., & Nurdin, M. (2023). Implementasi
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial dalam Hal Penyelesaian Pemenuhan Hak Pekerja Wanita. AL-MANHAJ:
Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam, 5(1), 393�400.
Nomor, U.-U. (32 C.E.). Tahun 1954 Tentang Penetapan
Berlakunya Undang-Undang RI Tanggal 21 November 1946 Nomor 22 Tahun 1946
Tentang Pencatatan Perkawinan. Talak, Dan Rujuk Diseluruh Daerah Luar Jawa
Dan Madura.
Prasetyawati, E. (2013). Konsep Hukum Pembiayaan Konsumen Di
Masa Yang Akan Datang. Yustisia Jurnal Hukum, 2(2).
Putra, M. A. (2015). Eksistensi lembaga negara dalam
penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. FIAT JUSTISIA: Jurnal Ilmu Hukum,
9(3).
Sahabuddin, E. S. (2017). Filosofi Cemaran AIR. PTK
Press.
Sandra, R., Pratiwi, C. S., & Mugiyanto, M. (2016). Modul
Pelatihan Prinsip-prinsip Panduan PBB Tentang Bisnis dan HAM. Memastikan
Praktik Yang Menghormati Hak Asasi Manusia.
Setiawan, B., Perdana, F. W., Apriani, D. D., Pusriansya, F.,
& Santoso, S. (2022). Implementasi Instrumen Internasional Tentang
Kebebasan Berserikat dan Hak Berorganisasi Pekerja/Buruh di Indonesia. Jurnal
Indonesia Sosial Teknologi, 3(02), 307�314.
Sihombing, E. N. A. M. (2019). Perilaku Lgbt Dalam Perspektif
Konstitusi Negara Republik Indonesia Dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/Puu-Xiv/2016. Edutech: Jurnal Ilmu Pendidikan Dan Ilmu Sosial, 5(1).
Siswanto, W. (2023). Implikasi Politik Hukum Kebebasan
Berserikat dan Hak Berorganisasi Pekerja/Buruh Dalam Produk Hukum
Ketenagakerjaan Terhadap Pelaksanaan Hubungan Industrial di Indonesia.
Soegiri, D. S., & Cahyono, E. (2003). Gerakan serikat
buruh. Hasta Mitra.
Subijanto, S. (2011). Peran Negara dalam Hubungan Tenaga
Kerja di Indonesia. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, 17(6), 705�718.
Toyamah, N., & Usman, S. (2004). Alokasi Anggaran
Pendidikan di Era Otonomi Daerah: Implikasinya terhadap Pengelolaan Pelayanan
Pendidikan Dasar. Education Budget Allocation in the Era of Regional
Autonomy: Its Implications on Basic Education Service Management]. Laporan
Lapangan SMERU. Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta.
Uwiyono, A. (2017). Masalah Perselisihan Perburuhan. Jurnal
Hukum & Pembangunan, 15(5), 499�507.
Copyright
holder: Wahyudi Siswanto (2022) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |