Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 11, November 2022

 

IMPLIKASI POLITIK HUKUM KEBEBASAN BERSERIKAT DAN HAK BERORGANISASI PEKERJA/BURUH DALAM PRODUK HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP PELAKSANAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA

 

Wahyudi Siswanto

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Indonesia

E-mail: [email protected]

 

Abstrak

Politik hukum (legal policy) adalah berbagai tujuan dan alasan dari dibentuknya� peraturan perundang-undangan, yang dibedakan dalam dua dimensi, yaitu dimensi� kebijakan dasar (basic policy), dan dimensi kebijakan pemberlakuan (enachtmen policy). Penelitian ini berfokus pada dimensi kedua politik hukum, yaitu formulasi politik hukum kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh dalam perundang-undangan ketenagakerjaan yang diundangkan pada Periode Pemerintahan Sebelum Reformasi, Periode Pemerintahan Reformasi, dan Periode Pemerintahan Setelah Reformasi. Ruang lingkup penelitian dan pembahasan mencakup segi normatif, implementasi dan termasuk juga didalamnya bentuk atau model ideal formulasi politik hukum kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh yang merupakan masukan bagi Pemerintah dalam rangka penyempurnaan Sistem Hubungan Industrial di Indonesia.

 

Kata Kunci: Politik Hukum, Kebebasan Berserikat, Hak Berorganisasi Pekerja/Buruh, Hukum Ketenagakerjaan.

 

Abstract

Legal policy is the various objectives and reasons for the establishment of laws and regulations, which are distinguished in two dimensions, namely the basic policy dimension, and the enactment policy dimension. This research focuses on the second dimension of legal politics, namely the formulation of legal politics of freedom of association and the right to organize workers / workers in labor legislation promulgated in the Government Period Before the Reformation, the Period of Government of the Reformation, and the Period of Government After the Reformation. The scope of research and discussion �includes normative aspects, implementation and also includes �the ideal form or model of political formulation, law, freedom of association and workers/labor rights of organization which are inputs for the Government in the context of improving the Industrial Relations System in Indonesia.

 

Keywords: Legal Politics, Freedom of Association, Workers' Right to Organize, Labor Law

 

Pendahuluan

Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap prinsip-prinsip kebebasan berserikat dan hak berorganisasi dalam konstitusi Negara. Pasal 28E ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 memberikan rumusan bahwa, �Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat� (Kemenhuk & HAM, 2009). Rumusan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 tersebut tidak hanya menjadi landasan pengertian yuridis konseptual tentang makna kebebasan berserikat dan hak berorganisasi bagi setiap Warga Negara Indonesia, namun bagi pekerja/buruh di Indonesia, rumusan tersebut menjadi dasar pengakuan dan perlindungan secara konstitusional, terhadap hak untuk secara bebas berserikat dan hak untuk berorganisasi bagi pekerja/buruh di Indonesia. Menurut Jimly Asshiddiqie, kebebasan berserikat bukan hanya kebebasan untuk mendirikan sebuah organisasi/serikat pekerja, tetapi lebih dari itu terjaminnya pelaksanaan dan tujuan dilaksanakannya kebebasan berserikat tersebut sesuai dengan konstitusi. Sebagai salah satu wujud pengorganisasian ide, pikiran, dan pandangan dalam masyarakat yang demokratis melalui pembentukan organisasi (freedom of association), bentuk natural rights yang bersifat fundamental dan melekat dalam peri kehidupan bersama umat manusia (Asshiddiqie, 2017).

Kebebasan untuk terlibat dalam organisasi atau perkumpulan memang terkait erat dan penting dalam mengekspresikan gagasan, aspirasi, dan keyakinan. Karena manusia pada hakikatnya merupakan makhluk sosial yang berarti senantiasa untuk hidup berkelompok. Dalam kehidupan berkelompok itulah manusia saling mengkomunikasikan gagasan dan menyusun aksi bersama untuk memenuhi kepentingan/kebutuhan mereka. Kepentingan atau kebutuhan bersama melahirkan gagasan untuk melindungi dan memperjuangkan pemenuhan kebutuhan bersama melalui wadah organisasi, sebagai konsep hak atas kebebasan berserikat (Hakim, 2020). Bagi pekerja/buruh, wadah organisasi serikat pekerja/serikat buruh menjadi sarana yang strategis untuk mengkomunikasikan gagasan, aspirasi dan keyakinan, serta wadah untuk menyusun aksi bersama guna memenuhi kepentingan/kebutuhan mereka.

Secara yuridis, pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap prinsip-prinsip kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh telah diberikan, baik oleh instrumen internasional, maupu instrumen nasional (perundang-undangan organik) yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia (HAM) (Asnawi, 2012). Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) Perserikatan Bangsa-Bangsa 1948 (DUHAM PBB 1948) menjadi instrumen internasional pertama yang memasukkan hak berserikat (union rights) sebagai bagian dari HAM. Hal tersebut termuat dalam Pasal 20 ayat (1) DUHAM PBB 1948 yang menyebutkan, �Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan�. Pasal 23 ayat (4) DUHAM PBB 1948, dengan rumusan, �Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya� (Setiawan et al., 2022).

Hak berserikat (union rights) yang oleh DUHAM PBB 1948 dideklarasikan sebagai HAM, oleh Kovenan Internasional Mengenai Hak Sipil dan Politik (International Covenan on Civil and Political Rights/ICCPR) 1976 (Setiawan et al., 2022), hak dasar tersebut ditetapkan (lebih rinci) menjadi dua hak, yaitu hak untuk berkumpul yang bersifat damai (the rights of peaceful assembly), dan hak setiap orang atas kebebasan berserikat (freedom of association). Pasal 22 ayat (1) ICCPR, menyatakan bahwa, �Setiap orang berhak untuk bergabung berasosiasi dengan dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan memasuki serikat pekerja untuk menjaga kepentingan-kepentingannya sendiri�. Dalam perkembangannya DUHAM PBB 1948 juga diadopsi oleh International Labour Organisation (ILO), dalam dua konvensi, yaitu Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi 1948 (No. 87), dan Konvensi ILO tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Kolektif 1949 (No. 98) (Sandra et al., 2016).

Substansi Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi 1948 (No. 87), yaitu (Kartini et al., 2022): Menjamin semua pekerja dan pengusaha tanpa perbedaan apapun, dan tanpa ijin sebelumnya, hak untuk membentuk dan mengikuti organisasi pilihannya sendiri. Organisasi ini harus memiliki hak untuk membuat konstitusi dan peraturannya sendiri, memilih wakil-wakilnya dengan kebebasan penuh, mengatur administrasi dan kegiatannya, serta menyusun program-programnya, tanpa campur tangan oleh pemerintah. Organisasi ini tidak dapat dibubarkan atau dibekukan oleh pemerintah, organisasi ini harus mempunyai hak untuk membentuk federasi dan konfederasi, dan berafiliasi dengan organisasi internasional pekerja dan pengusaha. Hal yang sama berlaku untuk federasi dan konfederasi.

Sedangkan substansi Konvensi ILO tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Kolektif 1949 (No. 98) melengkapi Konvensi ILO 1948 (No. 87), lebih diarahkan pada masalah hubungan-hubungan antara pengusaha dan pekerja. Konvensi ini melindungi pekerja terhadap tindakan diskriminasi anti serikat pekerja/serikat buruh dalam hubungannya dengan pekerjaan, dan khususnya mempersyaratkan agar organisasi pekerja mendapatkan perlindungan cukup terhadap campur tangan pengusaha (Setiawan et al., 2022).

Di samping instrumen internasional tengang HAM seperti diuraikan di atas, prinsip-prinsip pengakuan dan perlindungan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh juga diatur dalam instrumen nasional tentang HAM yang merupakan perundang-undangan formil sebagai pelaksanaan dari amanat konstitusi Negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945, diantaranya adalah Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Negara telah memberikan pengakuan dan jaminan perlindungan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh, melalui pengaturan dalam bentuk hukum tertinggi yaitu dalam konstitusi Negara. Instrumen internasional tentang HAM juga telah diratifikasi, termasuk mengatur pengakuan dan jaminan perlindungan hak dasar tersebut dalam perundang-undangan formel melalui Ketetapan MPR tentang HAM dan Undang-undang HAM. Dalam perspektif politik hukum (legal policy) (Putra, 2015), dengan pengaturan dalam konstitusi Negara tersebut, maka Negara telah memformulasikan dalam UUD Negara RI Tahun 1945 kebijakan dasar (basic policy) (Sihombing, 2019), pengakuan dan perlindungan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh di Indonesia.

Kebijakan dasar (basic policy) kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh yang telah diformulasikan dalam konstitusi Negara tersebut, harus dijabarkan melalui kebijakan pemberlakuan (enachment policy) dalam peraturan perundang-undangan formil (produk hukum ketenagakerjaan). Persoalannya adalah, kebijakan dasar yang telah ditetapkan dalam konstitusi Negara, tidak serta merta paralel dengan kebijakan pemberlakuan dalam produk hukum ketenagakerjaan yang diundangkan oleh pemerintah. Relasi antara dua dimensi politik hukum tersebut sangat dipengaruhi oleh kehendak politik rezim pemerintahan yang sedang berkuasa. Pada periode tertentu dimana cara penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan Negara dilakukan secara otoriter, maka kebijakan pemberlakuan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh yang diformulasikan dalam produk hukum ketenagakerjaan cenderung bersifat represif/ortodoks/elitis. Sebaliknya, pada periode tertentu dimana cara penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan Negara dilakukan secara demokratis, maka kebijakan pemberlakuan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh yang diformulasikan dalam produk hukum ketenagakerjaan cenderung bersifat responsive/populis (Siswanto, 2023).

Perbedaan sifat/karakter produk hukum ketenagakerjaan tersebut di atas memberikan dampak/pengaruh dalam pelaksanaan hubungan industrial (Sahabuddin, 2017), yang melibatkan unsur/sub sistem Organisasi SP/SB, unsur/sub sistem Pengusaha/Asosiasi Pengusaha, dan unsur/sub sistem Pemerintah. Dampak/pengaruh dalam pelaksanaan hubungan industrial, lebih banyak ditentukan oleh kekuatan relative ketiga unsur/sub sistem tersebut. Teori hubungan industrial mengakui adanya konflik kepentingan yang bersifat inheren (bawaan) antara pengusaha dan pekerja. Namun teori ini juga mengakui adanya kesamaan-kesamaan kepentingan antara pengusaha dan pekerja. Karena itu, upaya untuk mencapai hubungan industrial yang harmonis hendaknya dititikberatkan kepada kesamaan-kesamaan kepentingan tersebut dan merekonsiliasikan (menjembatani) perbedaan-perbedaan kepentingan yang berpotensi menimbulkan konflik.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dalam penelitian ini akan dilakukan kajian bagaimana kebijakan pemberlakuan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh diformulasikan dalam produk hukum ketenagakerjaan yang diundangkan pada setiap periode pemerintahan di Indonesia, sehingga dapat diketahui implikasi kebijakan pemberlakuan tersebut terhadap pelaksanaan hubungan industrialnya. Kajian dilakukan dengan membagi sejarah penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dalam tiga kategori (Aditya, 2019), yaitu pada Periode Pemerintahan Sebelum Reformasi, Periode Pemerintahan Reformasi, dan Periode Pemerintahan Setelah Reformasi.

Reformasi menjadi acuan dalam penyusunan kategori periode pemerintahan, karena seperti yang disebutkan Satya Arinanto, reformasi tidak hanya menghasilkan transisi demokrasi, namun juga menghasilkan keadilan transisional (transitional justice), yaitu keadilan dalam masa transisi politik. Menurut Ruti G. Teitel, konsepsi keadilan dalam periode perubahan politik bersifat luar biasa konstruktif. Hal ini secara bergantian dibentuk oleh, dan merupakan inti dari, transisi politik. Konsepsi keadilan yang timbul bersifat kontekstual dan parsial. Apa yang dipertimbangkan sebagai sesuatu yang �adil� bersifat tidak pasti dan dapat dikaitkan dengan masa yang akan datang dan hal ini didasarkan atas informasi dari ketidakadilan sebelumnya (Prasetyawati, 2013).

Pada Periode Pemerintahan Sebelum Reformasi, yaitu Pemerintahan Orde Lama Presiden Soekarno dan Pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto. Kepentingan untuk mendapatkan detail, pada Pemerintahan Orde Lama Soekarno dibagi lagi menjadi dua, yaitu Periode Demokrasi Parlementer (1950 s/d 1955) dan Periode Demokrasi Terpimpin (1955 s/d 1966). Pada Pemerintahan Orde Lama Soekarno, produk hukum ketenagakerjaan yang diundangkan adalah Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan; Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan; Undang-undang Nomor 7 PRPS 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Perusahaan, Jawatan dan Badan Vital. Sementara pada Pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, diundangkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Subijanto, 2011).

Pada Periode Pemerintahan Reformasi, yang oleh banyak kalangan disebut sebagai era transisi demokrasi politik di Indonesia, pada era Pemerintahan Presiden B.J. Habibie meratifikasi Konvensi ILO tentang�� Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi 1948 (No. 87) melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 83 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 87 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi. Masih dalam Periode Pemerintahan Reformasi, pada era Pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid, diundangkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Selanjutnya Periode Pemerintahan Reformasi pada era Pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri, diundangkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Terakhir, pada Periode Pemerintahan Setelah Reformasi, hasil dari transisi demokrasi pada era sebelumnya adalah telah mulai dilakukannya konsolidasi politik pada era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada periode pemerintahan ini diundangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Maudina & Nurdin, 2023).

Berdasarkan uraian di atas, pada tiga periode pemerintahan yang berbeda tersebut, diundangkan produk hukum ketenagakerjaan dengan sifat/karakter yang berbeda. Perbedaan sifat/karakter produk hukum ketenagakerjaan tersebut disebabkan perbedaan dalam memformulasikan kebijakan pemberlakuan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh dalam produk hukum ketenagakerjaan yang diundangkan. Formulasi kebijakan pemberlakuan yang memberikan dampak terhadap sifat/karakter produk hukum, menjadi dasar untuk mengkonstruksikan asumsi dalam penelitian ini, yaitu bahwa tidak serta merta relasi terhubung secara paralel antara kebijakan dasar yang telah ditetapkan dalam konstitusi Negara, dengan kebijakan pemberlakuan yang diformulasikan dalam rumusan pasal-pasal perundang-undangan. Determinasi politik atas hukumlah yang kemudian melekatkan perbedaan sifat/karakter produk hukum ketenagakerjaan yang diundangkan pada tiga periode pemerintahan di Indonesia.

 

Metode Penelitian

Penelitian hukum secara umum dapat dikategorikan menjadi penelitian doktrinal dan penelitian non doktrinal. Penelitian doktrinal atau penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang bersifat preskriptif bukan deskriptif sebagaimana ilmu sosial dan ilmu alam (Marzuki, 2010). Penelitian hukum normatif mencakup penelitian inventarisasi hukum positif, asas-asas hukum, penelitian hukum klinis, sistimatika peraturan perundang-undangan, sejarah hukum dan perbandingan hokum (Marzuki, 2010). Sifat penelitian yang digunakan dalan penelitian ini adalah deskriptif-analitis. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach).

Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Bahan hukum primer meliputi produk lembaga legislatif (Campbell & MacDougall, 1967). Bahan hukum sekunder dipergunakan pula dalam penelitian ini untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, meliputi berbagai literatur tentang Hukum Ketenagakerjaan, didukung oleh buku-buku ilmiah, artikel, jurnal, makalah ilmiah, hasil-hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan Disertasi ini, berupa Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan Ensiklopedi.

Untuk menyusun hasil penelitian ini, peneliti menggunakan cara pengumpulan data melalui studi kepustakaan. Data penelitian yang diperoleh disusun secara sistimatis untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Bahan hukum yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah diperoleh dan disusun sistematis, kemudian ditarik kesimpulan.

 

Hasil dan Pembahasan

1.    Analisis Formulasi Politik Hukum Kebebasan Berserikat dan Hak Berorganisasi Pekerja/Buruh dalam Produk Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia

a.    Formulasi Kebijakan Dasar (basic policy) Kebebasan Berserikat dan Hak Berorganisasi Pekerja/Buruh dalam Konstitusi Negara

Salah satu cakupan dalam pembangunan hukum adalah pembangunan materi hukum, yang oleh Bagir Manan digunakan istilah politik pembentukan hokum (Manan & Harijanti, 2016), atau istilah lain seperti yang digunakan Hikmahanto Juwono, politik hukum perundang-undangan (Juwono, 2014). Di dalam politik pembentukan hukum, secara konseptual melekat dua dimensi politik hukum, yaitu dimensi politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan. Politik hukum dalam dimensi demikian disebut sebagai kebijakan dasar (basic policy).� Dimensi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan. Politik hukum dalam dimensi ini disebut kebijakan pemberlakuan (enachtment policy) (Juwono, 2014).

Dimensi kebijakan dasar politik pembentukan hukum, bersifat netral karena bergantung kepada nilai universal dari tujuan dan alasan pembuatan undang-undang tertentu. Kebijakan dasar tersebut diformulasikan atau dituangkan pada bentuk hukum yang tertinggi yaitu dalam konstitusi Negara. Dalam kaitannya dengan politik hukum kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh dalam produk hukum ketenagakerjaan di Indonesia, Negara mengakui dan memberikan jaminan perlindungan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh, sebagai kebijakan dasar (basic policy) dalam pembentukan perundang-undangan ketenagakerjaan, yang diformulasikan melalui rumusan pasal-pasal dalam konstitusi Negara, yaitu Pasal 28E ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945, dengan rumusan, �Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat� (Indonesia, 1959).

Selanjutnya identifikasi yang dilakukan terhadap 3 (tiga) konstitusi Negara yang pernah berlaku di Indonesia, kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh juga ditetapkan sebagai kebijakan dasar dalam pembentukan hukum, dan diformulasikan pada pasal tertentu pada ketiga konstitusi Negara tersebut, yaitu UUD 1945, Pasal 28 dengan rumusan, �Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan tulisan atau lisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.� Konstitusi RIS 1948, Pasal 28 dengan rumusan, �Setiap orang berhak mendirikan serikat pekerja dan masuk didalamnya untuk melindungi kepentingannya; serta UUDS 1950, Pasal 29 yang menyebutkan, �Setiap orang berhak mendirikan serikat-sekerja dan masuk kedalamnya untuk memperlindungi dan memperjuangkan kepentingannya� (Kemenhuk & HAM, 2009).

b.    Formulasi Kebijakan Pemberlakuan (Enachtment Policy) Kebebasan Berserikat dan Hak Berorganisasi Pekerja/Buruh dalam Produk Hukum Ketenagakerjaan

1)   Periode Pemerintahan Sebelum Reformasi

Periode Pemerintahan Sebelum Reformasi, terdiri dari Pemerintahan Orde Lama Presiden Soekarno (Periode Demokrasi Parlementer 1950-1955 dan Periode Demokrasi Terpimpin 1956-1965), dan Pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, merepresentasikan dua kutup penyelenggaraan kekuasaan Negara, yaitu dalam kutub konfigurasi politik yang demokratis, dan kutub konfigurasi politik yang otoriter. Periode Demokrasi Parlementer 1950-1955, adalah rentang waktu dimana Presiden Soekarno menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan Negara secara demokratis. Selebihnya, yaitu sampai dengan saat dimana Pemerintahan Orde Baru berkuasa, Soekarno menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan Negara secara otoriter, yaitu pada Periode Demokrasi Terpimpin 1956-1965.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan terhadap produk hukum ketenagakerjaan yang diundangkan pada Periode Demokrasi Parlemter, formulasi kebijakan dasar dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, adalah dalam rangka memberikan perlindungan terhadap pekerja/buruh untuk melaksanakan hak kolektifnya (termasuk berserikat dan berorganisasi), dan perlindungan terhadap serikat buruh (sebagai pihak yang posisi alamiahnya lemah), melalui intervensi pemerintah dalam penyelesaian perselisihan perburuhan (Nomor, 32 C.E.).

Kebijakan pemberlakuan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954, yang berorientasi kepada kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh, diformulasikan dalam rumusan pasal-pasal undang-undang, diantaranya penggunaan hak kolektif serikat buruh untuk berunding dengan pengusaha baru dapat dilakukan apabila merupakan Serikat Buruh Terdaftar di Kementrian Perburuhan, bentuk tertulis Perjanjian Perburuhan, akibat hukum pembubaran organisasi serikat buruh, pembatalan Perjanjian Perburuhan melalui pengadilan. Kebijakan pemberlakuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957, juga� berorientasi kepada kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh, diformulasikan dalam rumusan pasal-pasal dalam undang-undang, diantaranya adalah, penyelesaian perselisihan melalui Pegawai Perantara, penyelesaian perselisihan melalui P4D dan P4P, serta Veto Menteri Perburuhan. Sampai disini, dapat menjelaskan bahwa dengan konfigurasi politik yang demokratis, cenderung diundangkan produk hukum ketenagakerjaan yang bersifat/berkarakter responsive/populis (Nomor, 32 C.E.).

Pada Periode Demokrasi Terpimpin (1956-1965), cara penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan Negara dilakukan secara otoriter, dimana kebijakan yang diambil pemerintah mulai bersifat subyektif, diantaranya dikeluarkannya Tap MPR tentang pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat dan Konstituante. Presiden Soekarno bahkan membuat Tap MPR yang berisi penegasan kepemimpinannya yang tanpa batas masa jabatan. Istana menjadi menguat, partai-partai lain selain PKI menjadi lemah dan bahkan kekuatan militer pun menguat. Dengan konfigurasi politik yang otoriter tersebut, memberikan dampak pada politik hukum dalam produk hukum ketenagakerjaan yang bersifat represif/elitis, dimana kebijakan pemberlakuan dalam Undang-undang Nomor 7 PRPS 1963 bertujuan memberikan larangan melakukan pemogokan atau penutupan (lock-out) di perusahaan dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan dan tujuan revolusi. Sedangkan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, ditujukan untuk mengamankan Manifesto Politik Pemerintah.

Pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, masih mempertahankan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan Negara secara otoriter. Pilihan prioritas pada pembangunan ekonomi, dan kepentingan agar stabilitas nasional terjaga, Pemerintah Orde Baru secara sistematis berusaha menjauhkan masyarakat dari politik, dengan melakukan depolitisasi di dalam masyarakat. Dalam konfigurasi politik yang otoriter diundangkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.

Periode pemerintahan Orde Baru, dengan rentang waktu berkuasa yang relative lama (32 tahun), berhasil secara terstruktur melaksanakan pembatasan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh, dan berhasil melakukan unifikasi organisasi pekerja/buruh dalam wadah tunggal SPSI, serta mengembangkan konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Kebijakan pemberlakuan produk hukum ketenagakerjaan yang bertujuan memberikan pembatasan-pembatasan terhadap hak dasar pekerja/buruh seperti diuraikan diatas, maka sifat/karakter produk hukumnya cenderung represif/elitis.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka pada Periode Pemerintahan Sebelum Reformasi, khususnya pada Periode Demokrasi Terpimpin (1956-1965) dan Pemerintahan Orde Baru Soeharto (1966-1998), politik hukum dimensi kebijakan pemberlakuan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh dalam produk hukum ketenagakerjaan,� secara paradok bertentangan dengan kebijakan dasar (basic policy) yang telah ditetapkan dalam konstitusi Negara (UUDS 1950 dan UUD 1945), dimana Negara mengakui dan menjamin perlindungan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi bagi pekerja/buruh di Indonesia.

2)   Periode Pemerintahan Reformasi

Reformasi politik tahun 1998, mengakhiri periode Pemerintahan Orde Baru Soeharto yang menjalankan kekuasaan pemerintahan Negara secara otoriter, dan kemudian beralih kepada Periode Pemerintahan Reformasi (melalui Presiden B.J. Habibie, Presiden Abdulrahman Wahid, dan Presiden Megawati Soekarno Putri), yang menjalankan kekuasaan pemerintahan Negara secara demokratis. Berbeda dengan Orde Baru yang tidak memberikan ruang yang luas kepada pekerja/buruh untuk berserikat, pada periode pemerintahan reformasi kebebasan berserikat dan hak berorganisasi mendapatkan ruang yang luas, karena menjadi bagian dari tuntutan reformasi komponen masyarakat.

Formulasi kebijakan pemberlakuan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000, menegaskan komitmen pemerintahan reformsai terhadap pemenuhan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh, salah satu diantaranya seperti yang dirumuskan dalam konsideran (menimbang) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000, yang merumuskan, �Diundangkan undang-undang ini adalah untuk mewujudkan kemerdekaan berserikat, pekerja/buruh berhak membentuk dan mengembangkan serikat pekerja/serikat buruh yang bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab� (Nomor, 32 C.E.). Formulasi kebijakan pemberlakuannya dalam undang-undang ini, dalam banyak hal sejalan dengan standar/prinsip-prinsip dasar ILO tentang kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh yang termuat dalam Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi 1948 (No. 87), dan Konvensi ILO tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Kolektif 1949 (No. 98), bahkan dalam pandangan penulis kebijakan pemberlakuan yang dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (2) melampaui standar/prinsip dasar dalam Konvensi, karena �Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh� (Nomor, 32 C.E.).

Perundang-undangan ketenagakerjaan yang diundangkan pada Periode Pemerintahan Reformasi terkoneksi dari aspek materi hukum yang diatur. Persoalan/masalah hukum yang belum diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000, mendapatkan pengaturannya dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003. Formulasi kebijakan pemberlakuan dua produk hukum ketenagakerjaan tersebut, dengan spirit yang sama, yaitu kepentingan untuk memenuhi hak dasar pekerja/buruh, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi. Konfigurasi politik yang demokratis yang dijalankan Pemerintahan Reformasi, memberikan dampak kepada sifat/karakter produk hukumnya yang cenderung responsive/populis.

3)   Periode Pemerintahan Setelah Reformasi

Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diselenggarakan secara langsung untuk pertama kalinya di Indonesia pada tahun 2004 menjadi akhir periode pemerintahan reformasi dan sekaligus menjadi awal periode pemerintahan pasca reformasi. Presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono, melanjutkan cara penyelenggarakan pemerintahan Negara pada periode sebelumnya yang mengedepankan praktik politik yang demokratis. Pada periode ini, diundangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian Perselihan Hubungan Industrial.

Formulasi kebijakan pemberlakuan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, memberikan penguatan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh. Persoalan/masalah hukum yang dipicu pasca diundangkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, mendapatkan mekanisme penyelesaiannya melalui pengaturan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004. Sebagai contoh, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, mengisi kekosongan hukum dampak pengaturan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu dalam penyelesaian perselisihan apabila di dalam satu perusahaan terdapat lebih dari satu organisasi serikat pekerja/serikat buruh. Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, memberikan rumusan bahwa, �Pertama kali diatur penyelesaian perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan�. Hal ini sekaligus mengkonfirmasi adanya koneksitas tiga undang-undang yang merupakan produk hukum pemerintahan reformasi, yaitu Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004.

Berdasarkan analisis dan pembahasan formulasi dimensi politik hukum kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh dalam produk hukum ketenagakerjaan di Indonesia, beberapa catatan penting, sebagai ikhtisar, yaitu:

a)        Formulasi politik hukum kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh dalam produk hukum ketenagakerjaan, mengkonfirmasi relasi antara konfigurasi politik dengan karakter produk hukum yang dihasilkan, seperti yang pernah dikemukakan oleh Satya Arinanto, bahwa dalam konfigurasi politik demokratis karakter produk hukumnya bersifat responsive/populis, sedangkan pada konfigurasi politik yang otoriter karakter produk hukumnya bersifat konservatif/ortodoks/elitis.�

b)       Temuan hasil penelitian, menunjukkan bahwa formulasi politik hukum kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh, berbanding lurus dengan konfigurasi politik dan karakter produk hukumnya, yaitu: Pada konfigurasi politik yang demokratis, yang direpresentasikan oleh Pemerintahan Orde Lama Presiden Soekarno Periode Demokrasi Parlementer, Pemerintahan Reformasi (Presiden B.J. Habibie, Abdulrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri), dan Pemerintahan Setelah Reformasi (Presiden Susilo Bambang yudhoyono), diundangkan produk hukum ketenagakerjaan yang bersifat responsive/populis, maka formulasi politik hukumnya memberikan kebebasan secara luas kepada pekerja/buruh untuk berserikat dan melaksankan hak berorganisasi.

c)        Pada konfigurasi politik yang otoriter, yang direpresentasikan oleh Pemerintahan Orde Lama Soekarno Periode Demokrasi Terpimpin, dan Pemerintahan Orde Baru Soeharto, diundangkan produk hukum ketenagakerjaan yang represif/ortodoks/elitis, maka formulasi politik hukumnya memberikan pembatasan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi.

2.    Analisis Implikasi Formulasi Politik Hukum Kebebasan Berserikat dan Hak Berorganisasi Pekerja/Buruh Terhadap Dinamika Pelaksanaan Hubungan Industrial

a.    Pelaksanaan Hubungan Industrial dalam Konfigurasi Politik Otoriter�

Dalam sejarah pemerintahan di Indonesia, representasi pemerintahan dengan konfigurasi politik otoriter adalah pada Pemerintahan Orde Lama Soekarno Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan Pemerintahan Orde Baru Soeharto (1966-1998). Karakteristik menonjol pada dua pemerintahan tersebut, adalah peran Negara yang dominan dalam mengatur semua aspek kehidupan masyarakat. Dominasi politik dan kekuasaan, ditunjukkan dengan mengintervensi secara langsung kehidupan masyarakat menggunakan alat-alat kekuasaan negara (militer), namun juga dilakukan secara tidak langsung melalui kontrol pemerintah dalam pembentukan hukum (peraturan perundang-undangan), melalui formulasi politik hukum perundang-undangan yang arah tujuannya untuk mendukung kepentingan kekuasaan pemerintah. Hal ini ditunjukkan dalam formulasi politik hukum kebebasan berserikat dan hak berorganisasi dalam produk hukum ketenagakerjaan yang memberikan pembatasan dan/atau larangan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh.

Implikasi dari formulasi politik hukum tersebut, tidak hanya membatasi penggunaan hak untuk berserikat dan berorganisasi bagi pekerja/buruh, namun meluas, memberikan dampak negative merugikan kepentingan Organisasi SP/SB dalam pelaksanaan hubungan industrial. Sebelum dilakukan pembahasan perihal dampak negative tersebut, diuraikan terlebih dahulu beberapa aspek mendasar terkait dengan hubungan industrial.

Internasional Labour Organisation (ILO), memberikan deskripsi mengenai konsep dasar hubungan industrial, yaitu hubungan individual dan kolektif antara pekerja dan pengusaha di tempat kerja yang timbul dari situasi kerja; dan/atau hubungan antara wakil-wakil pekerja dan pengusaha di tingkat industri (sektoral) dan di tingkat nasional, dan interaksi antara wakil-wakil pekerja dan pengusaha dengan Negara (pemerintah) (Ghosh, 2021).

Mengacu kepada konsep dasar hubungan industrial menurut ILO, maka hubungan industrial dapat dilakukan dalam bentuk hubungan individual antara pekerja/buruh dengan pengusaha di tempat kerja yang timbul dari situasi kerja, dan/atau dilaksanakan dalam bentuk hubungan kolektif, yaitu antara wakil-wakil pekerja/buruh dan pengusaha di tingkat industri (sektoral) dan di tingkat nasional, dan interaksi antara wakil-wakil pekerja dan pengusaha dengan negara (pemerintah). Dengan demikian, secara umum dapat diberikan pengertian mengenai pelaksanaan hubungan industrial, aktivitas/kegiatan/interaksi yang dilakukan oleh para pihak/subjek yang terlibat dalam hubungan industrial tersebut, yaitu unsur pekerja/buruh (termasuk Organisasi SP/SB), unsur pengusaha (termasuk asosiasi pengusaha), dan unsur pemerintah. Tujuan dari aktivitas/kegiatan/interaksi tersebut adalah upaya dari masing-masing pihak/subjek yang terlibat dalam hubungan industrial untuk memperjuangkan kepentingannya.

Teori hubungan industrial mengakui adanya konflik kepentingan yang bersifat inheren (bawaan) antara unsur pekerja/buruh dengan unsur pengusaha. Disinilah posisi strategis pemerintah (unsur ketiga dalam hubungan industrial) untuk merekonsiliasikan (menjembatani) perbedaan-perbedaan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang berpotensi menimbulkan konflik (Ghosh, 2021). Kedudukan pemerintah dalam pelaksanaan hubungan industrial adalah sebagai pihak ketiga yang netral, untuk merekonsiliasikan (menjembatani) perbedaan-perbedaan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.

Persoalannya adalah, sistem hubungan industrial pada waktu tertentu, dalam sejarah perkembanganya akan ditentukan oleh bagaimana tiga unsur yang terlibat dalam hubungan industrial (Organisasi SP/SB, Pengusaha, dan Pemerintah), masing-masing mengambil dan memberikan porsi/bagian masing-masing. Dalam kurun waktu tertentu, salah satu unsur, bisa jadi mengambil dan memberikan porsi/bagiannya secara berlebihan, karena pelaksanaan hubungan industrial akan ditentukan oleh konteks (social, ekonomi, politik) dan ikatan idiologi. Oleh karena itu, sistem hubungan industrial yang dikembangkan oleh Pemerintahan dengan konfigurasi politik otoriter maupun pemerintahan dengan konfigurasi politik demokratis, secara diametral berbeda, karena masing-masing unsur dalam hubungan industrial akan memberi dan mengambil porsinya sesuai dengan kontek social, ekonomi, dan politik serta idiologi yang saat itu.

Pada periode pemerintahan dengan konfigurasi politik otoriter, di dalam sistem dan praktik pelaksanaan hubungan industrialnya, kedudukan pemerintah tersebut tidak dapat sepenuhnya netral. Posisi strategis pemerintah juga tidak dapat sepenuhnya menjalankan fungsi-fungsi rekonsiliatif untuk mengkompromikan konflik kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Pemerintah, justru menjadi unsur ketiga dalam hubungan industrial, yang terlibat masuk dan menjadi bagian dalam praktik pelaksanaan hubungan industrial, dengan membawa dan memaksakan kepentingannya sendiri. Hal ini dapat diamati dalam pelaksanaan hubungan industrial pada Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan Pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto (1966-1998).

Upaya pemerintah untuk terlibat masuk dan menjadi bagian dalam pelaksanaan hubungan industrial, dengan membawa dan memaksakan kepentingannya sendiri, tersirat dalam produk hukum ketenagakerjaan yang diundangkan. Undang-undang Nomor 7 PRPS 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Perusahaan, Jawatan dan Badan Vital, dalam konsideran (menimbang), memberikan rumusan, �Larangan melakukan pemogokan atau penutupan (lock-out) di perusahaan dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan dan tujuan revolusi�. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, Penjelasan Umum, juga memberikan rumusan, �Diundangkannya undang-undang ini ditujukan untuk mengamankan Manifesto Politik Pemerintah�. Rumusan dalam konsideran (menimbang) dan penjelasan umum seperti tersebut diatas, menegaskan bahwa produk hukum dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk mencapai tujuan kekuasaan. Salah satu tujuan kekuasaan adalah untuk mempertahankan usia kekuasaan, dan dengan kekuasaan itu suatu pemerintahan melakukan apa saja yang dikehendakinya karena hukum telah dijadikan sebagai alat semata-mata. Tujuan revolusi dan manifesto politik, adalah kepentingan kekuasaan pemerintahan Negara, diluar kepentingan pekerja/buruh dan pengusaha. Dengan demikian, pemerintah pada Periode Demokrasi Terpimpin, memaksakan kepentingannya sendiri dalam pelaksanaan hubungan industrial.

Melalui pola yang lebih terstruktur, Pemerintahan Orde Baru Soeharto, melanjutkan politik hukum yang dikembangkan oleh Pemerintahan Demokrasi Terpimpin Soekarno, dengan melembagakan Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Perbedaannya adalah, Pemerintahan Orde Baru tidak menetapkan produk hukum yang berseifat imperative melalui larangan dengan sanksi pidana/penal, namun kepentingan kekuasaan pemerintahan Negara dipaksakan dalam pelaksanaan hubungan industrial, melalui HIP yang merepresentasikan pembatasan-pembatasan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh.

Formulasi kebijakan pemberlakuan dalam produk hukum ketenagakerjaan yang menetapkan larangan dan/atau pembatasan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi perkerja/buruh, merupakan kebijakan pemerintah masing-masing pada Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan Pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto (1966-1998). Pada kedua periode pemerintahan tersebut, penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan Negara, sama-sama dijalankan secara otoriter.

Dengan konfigurasi politik yang otoriter tersebut, Pemerintahan Orde Lama Soekarno Periode Demokrasi Terpimpin, melakukan upaya-upaya unifikasi organisasi serikat pekerja/serikat buruh. Presiden Soekarno berusaha untuk menyatukan buruh dalam satu wadah bersama (unitaris) dengan membentuk Serikat Bersama Buruh (Sekber Buruh) yang merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi buruh di Indonesia. Formulasi kebijakan pemberlakuan dengan menetapkan larangan mogok kerja pada perusahaan, jawatan dan badan vital, diundangkan melalui Undang-undang Nomor 7 PRPS 1963. Larangan melakukan pemogokan dan penutupan (lock-out) di perusahaan, jawatan, dan badan vital bertujuan untuk mengamankan kepentingan dan tujuan revolusi (Kritis & Rizal, 2012). Melalui undang-undang ini, pemerintah akan memberikan sanksi pidana terhadap barang siapa melakukan atau turut melakukan pemogokan atau penutupan (lock-out) di perusahaan, jawatan atau badan vital. Sanksi pidana terhadap barang siapa memberi kesempatan atau memancing, mengajak, menganjurkan, menghasut, menyuruh, memerintahkan atau memaksa dilakukannya pemogokan atau penutupan (lock-out) di perusahaan, jawatan atau badan vital. Tindakan penyitaan terhadap barang-barang yang dipergunakan untuk mewujudkan atau yang berhubungan dengan atau yang diperoleh dari tindakan pemogokan atau penutupan perusahaan (lock-out) (Devi Rahayu, 2020).

Undang-undang Nomor 7 PRPS 1963 efektif bagi pemerintah dalam mengkontrol hubungan industrial, sekaligus memberikan tekanan terhadap gerakan serikat buruh, yang ditunjukkan dengan berkurangnya intensitas aksi-aksi unjuk rasa dan pemogokan pekerja/buruh. Pada tahun 1960 tercatat 1.096 kasus pemogokan. Tahun 1961 tercatat 1.159 kasus pemogokan. Tahun 1962 tercatat 914 kasus pemogokan. Tahun 1963 tercatat 809 kasus pemogokan. Tahun 1964 tercata 341 kasus pemogokan (Soegiri & Cahyono, 2003). Data statistik tersebut menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah kasus pemogakan.

Sebagai komparasi, situasi yang bertolak belakang pada saat Pemerintahan Orde Lama Soekarno Periode Demokrasi Parlementer (1950-1957), dimana pemerintah memberikan hak kepada pekerja/buruh bebas berserikat dan berorganisasi, yang kemudian memicu peningkatan jumlah kasus pemogokan. Mengutip keterangan Suri Suroto, data statistik perselisihan perburuhan antara 1951-1955 tercatat 11.736 kasus perselisihan, disertai 1.787 pemogokan, yang melibatkan 918.739 buruh. Sementara, antara 1956-1959 terdapat 14.003 kasus perselisihan perburuhan, disertai 631 pemogokan, yang melibatkan 441.900 buruh (Irmayani, 2017).

Unifikasi organisasi serikat pekerja/serikat buruh yang dirintas Pemerintahan Soekarno Periode Demokrasi Terpimpin, baru benar-benar dapat dilaksanakan dalam Pemerintahan Orde Baru Soeharto melalui pembentukan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) sebagai wada Lembaga Penelitian SEMURU (Toyamah & Usman, 2004), merilis bahwa pembentukan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) sebagai satu-satunya serikat pekerja memberikan peran dominan kepada serikat pekerja dalam proses hubungan industrial. Tetapi, SPSI secara luas dianggap dikendalikan oleh pemerintah. Pegawai negeri, pejabat militer dan politisi yang sudah pensiun sering kali mendapat kursi dalam struktur kepengurusan SPSI.

Model sistem politik yang diterapkan pemerintahan Orde Baru adalah korporatisme Negara, yaitu sistem politik dari representasi dan artikulasi kepentingan. Pada sistem politik ini, masyarakat diorganisir ke dalam sejumlah terbatas kelompok kepentingan dalam bentuk asosiasi, sosietas dan serikat pekerja (Dwikardana, 2020). Hubungan industrial dikendalikan secara ketat oleh pemerintah Orde Baru, sebagai upaya menarik investasi asing dan pertumbuhan industri baru. Termasuk dalam praktek pengendalian ini adalah intervensi militer dalam perselisihan industrial dan pembatasan hak berserikat (Boulton, 2002). Pemerintahan Orde Baru kemudian mengembangkan konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka sistem hubungan industrial yang dikembangkan Pemerintahan Orde Lama Soekarno Periode Demokrasi Terpimpin dan Pemerintahan Orde Baru Soeharto, adalah sistem hubungan industrial berbasis konfiguasi politik yang otoriter. Secara teoritis sistem hubungan industrial yang dikembangkan pada dua periode pemerintahan tersebut dapat dikualifikasikan ke dalam model corporatist model. Menurut Uwiyono (2017), corporatist model adalah suatu model hubungan industrial dimana peran pemerintah sangat dominan dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja. Kemudian, model keserikatburuhannya adalah single union. Dalam hal ini serikat buruh diposisikan sebagai kepanjangan tangan pemerintah (Uwiyono, 2017).

b.    Pelaksanaan Hubungan Industrial dalam Konfigurasi Politik Demokratis

Pemerintahan Reformasi (Presiden B.J Habibie, Abdulrahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri), yang kemudian diteruskan oleh Pemerintahan Setelah Reformasi (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), mengembangkan sistem hubungan industrial berbasis konfigurasi politik demokratis, yang teridentifikasi pada formulasi politik hukum dalam produk hukum ketenagakerjaan yang memberikan kebebasan secara luas kepada pekerja/buruh untuk berserikat dan berorganisasi.

Pemerintahan Reformasi dan Pemerintahan Setelah Reformasi, menunjukkan komitmen kuat untuk memberikan perlindungan (pemenuhan) hak-hak dasar pekerja/buruh, termasuk didalamnya kebebasan berserikat dan hak berorganisasi. Komitmen tersebut, dikonversi dalam bentuk formulasi politik hukum kebebasan berserikat dan hak berorganisasi dalam rumusan pasal-pasal perundang-undangan ketenagakerjaan yang diundangkan pada kedua periode pemerintahan tersebut, yaitu Pemerintahan Reformasi Presiden B.J. Habibie meratifikasi Konvensi ILO No. 87/1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Berorganisasi (Freedom of Association and Protection of Right to Organize) dibuat� pada tahun 1948 dan diratifikasi pada tahun 1998 berdasarkan Kepres Nomor 83 Tahun 1998, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Formulasi politik hukum tersebut menandai proses demokratisasi di lingkungan Organisasi SP/SB. Formulasi politik hukum telah menggeser Organisasi SP/SB dari yang sebelumnya bersifat monolitik (wadah tunggal/FSPSI), menjadi bersifat pluralistik. Kebebasan berserikat dan hak berorganisasi menjadi pintu pembuka, pendirian banyak Organisasi SP/SB baru di Indonesia.� Sejak tahun 1998 pemerintah mengijinkan pembentukan organisasi buruh selain FSPSI, dan hingga bulan Agustus 2001 tercatat sebanyak 59 serikat buruh telah dibentuk di Indonesia. Data Statistik Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, menunjukkan peningkatan jumlah yang signifikan organisasi serikat pekerja/serikat buruh terdaftar Tahun 1998-2003. Pada bulan Februari 2003 tercatat sekitar 66 Federasi serikat pekerja di tingkat nasional dan lebih dari 11 ribu serikat pekerja tingkat perusahaan di tingkat lokal. Pada Oktober 1998 tencatat 20 serikat pekerja/serikat buruh yang terdaftar dan pada Februari 2003 jumlah ini meningkat menjadi 70 serikat pekerja/serikat buruh terdaftar.

Implikasi formulasi politik hukum tersebat memberikan dampak terhadap pelaksanaan hubungan industrial. Hal yang menonjol dalam sistem hubungan kerja yang dikembangkan dalam konfigurasi politik yang demokratis, adalah menguatnya peran dari Organisasi SP/SB dan melemahnya dominasi/peran Negara (pemerintah) dalam hubungan kerja. Indikator menguatnya peran Organisasi SP/SB dalam pelaksanaan hubungan kerja terkait dengan semakin banyaknya berdiri Organisasi SP/SB, sehingga memberikan dampak pada posisi tawar pada saat melakukan negosiasi baik dengan unsur Pengusaha maupun dengan Pemerintah.

Peran-peran Negara (Pemerintah) yang dominan dalam hubungan industrial pada pemerintahan dengan konfigurasi politik otoriter, telah direduksi, dan mengembalikan peran Pemerintah dalam hubungan industrial sebagai pihak penyeimbang antara kepentingan pekerja/buruh dengan kepentingan majikan/pengusaha. Dengan karakteristik tersebut, maka sistem hubungan industrial yang dikembangkan oleh Pemerintahan Reformasi dan Pemerintahan Setelah Reformasi adalah contractualits model yaitu model hubungan industrial dimana peran pemerintah dalam menentukan syarat-syarat kerja sangat minim

 

Kesimpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang dilakukan terhadap dua pokok permasalahan yang diajukan dalam penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) Politik hukum (legal policy) pada dasarnya merupakan visi politik pemerintah dalam pembentukan hukum, yaitu arah, tujuan dan alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan. Politik hukum tersebut dapat dibedakan dalam dua dimensi, yaitu politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan. Politik hukum dalam dimensi demikian disebut kebijakan dasar (basic policy). Dimensi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam rentang waktu periode pemerintahannya. Politik hukum dalam dimensi ini disebut sebagai kebijakan pemberlakuan (enachtment policy). 2) Implikasi dari adanya perbedaan dalam memformulasikan politik hukum dimensi kebijakan pemberlakuan kebebasan berserikat dan hak berorganisasi dalam rumusan pasal-pasal perundang-undangan ketenagakerjaan yang diundangkan oleh masing-masing periode pemerintahan tersebut, memberikan dampak terhadap pelaksanaan hubungan industrial.

 

 

 

 

BLIBLIOGRAFI

 

Aditya, Z. F. (2019). Romantisme Sistem Hukum di Indonesia: Kajian atas Konstribusi Hukum Adat dan Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum di Indonesia. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 8(1), 37�54. https://doi.org/10.33331/rechtsvinding.v8i1.305

 

Asnawi, H. S. (2012). Hak Asasi Manusia Islam dan Barat: Studi Kritik Hukum Pidana Islam dan Hukuman Mati. Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum, 1(1).

 

Asshiddiqie, J. (2017). Telaah Kritis Mengenai Perspektif Historis-Evolusioner Dalam Studi Hukum dan Perkembangan Sosial di Indonesia. Jurnal Hukum & Pembangunan, 18(3), 254�266.

 

Boulton, A. J. (2002). Struktur Hubungan Industrial di Indonesia Masa Mendatang. Masalah Dan Tantangan, Jakarta: Kantor Perburuhan International.

 

Campbell, E., & MacDougall, D. J. (1967). Legal research: materials and methods. Law Book Company.

 

Devi Rahayu, S. H. (2020). Buku Ajar: Hukum Ketenagakerjaan. SCOPINDO MEDIA PUSTAKA.

 

Dwikardana, S. (2020). Reinventing Cities as Global Players. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, 95�102.

 

Ghosh, A. (2021). An Exemplary Gay Scientist and Mentor: Martin Gouterman (1931�2020). Angewandte Chemie International Edition, 60(18), 9760�9770.

 

Hakim, A. (2020). (BUKU) Jihad Konstitusi. Kumpulan Berkas Kepangkatan Dosen.

 

Indonesia, R. (1959). Undang-Undang Dasar 1945. Dewan Pimpinan PNI, Department Pen. Prop. Pen. Kader.

 

Irmayani, T. (2017). Gerakan Buruh Sejak Proklamasi Sampai 1965. Politeia: Jurnal Ilmu Politik, 3(2).

 

Juwono, H. (2014). Penanganan Illegal Migrant dalam Rangka Menjaga Ketahanan Nasional. Jurnal Lemhannas RI, 2(1), 53�62.

 

Kartini, S., Perdana, F. W., Irwan, I., Setiawan, B., & Purboyo, P. (2022). Politik Hukum Kebebasan Berserikat Pekerja/Buruh dalam Produk Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, 3(02), 342�350.

 

Kemenhuk & HAM. (2009). UU No. 44 tentang Rumah Sakit. Peraturan Presiden.

 

Kritis,� ditinjau dari kriminologi, & Rizal, M. (2012). Kriminalisasi Protes Buruh dan Serikat Buruh.

 

Manan, B., & Harijanti, S. D. (2016). Artikel Kehormatan: Konstitusi dan Hak Asasi Manusia. PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law), 3(3), 448�467.

 

Marzuki, P. M. (2010). Penelitian Hukum, Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

 

Maudina, F., & Nurdin, M. (2023). Implementasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam Hal Penyelesaian Pemenuhan Hak Pekerja Wanita. AL-MANHAJ: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam, 5(1), 393�400.

 

Nomor, U.-U. (32 C.E.). Tahun 1954 Tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang RI Tanggal 21 November 1946 Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Perkawinan. Talak, Dan Rujuk Diseluruh Daerah Luar Jawa Dan Madura.

 

Prasetyawati, E. (2013). Konsep Hukum Pembiayaan Konsumen Di Masa Yang Akan Datang. Yustisia Jurnal Hukum, 2(2).

 

Putra, M. A. (2015). Eksistensi lembaga negara dalam penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. FIAT JUSTISIA: Jurnal Ilmu Hukum, 9(3).

 

Sahabuddin, E. S. (2017). Filosofi Cemaran AIR. PTK Press.

 

Sandra, R., Pratiwi, C. S., & Mugiyanto, M. (2016). Modul Pelatihan Prinsip-prinsip Panduan PBB Tentang Bisnis dan HAM. Memastikan Praktik Yang Menghormati Hak Asasi Manusia.

 

Setiawan, B., Perdana, F. W., Apriani, D. D., Pusriansya, F., & Santoso, S. (2022). Implementasi Instrumen Internasional Tentang Kebebasan Berserikat dan Hak Berorganisasi Pekerja/Buruh di Indonesia. Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, 3(02), 307�314.

 

Sihombing, E. N. A. M. (2019). Perilaku Lgbt Dalam Perspektif Konstitusi Negara Republik Indonesia Dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Xiv/2016. Edutech: Jurnal Ilmu Pendidikan Dan Ilmu Sosial, 5(1).

 

Siswanto, W. (2023). Implikasi Politik Hukum Kebebasan Berserikat dan Hak Berorganisasi Pekerja/Buruh Dalam Produk Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Pelaksanaan Hubungan Industrial di Indonesia.

 

Soegiri, D. S., & Cahyono, E. (2003). Gerakan serikat buruh. Hasta Mitra.

 

Subijanto, S. (2011). Peran Negara dalam Hubungan Tenaga Kerja di Indonesia. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, 17(6), 705�718.

 

Toyamah, N., & Usman, S. (2004). Alokasi Anggaran Pendidikan di Era Otonomi Daerah: Implikasinya terhadap Pengelolaan Pelayanan Pendidikan Dasar. Education Budget Allocation in the Era of Regional Autonomy: Its Implications on Basic Education Service Management]. Laporan Lapangan SMERU. Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta.

 

Uwiyono, A. (2017). Masalah Perselisihan Perburuhan. Jurnal Hukum & Pembangunan, 15(5), 499�507.

 

Copyright holder:

Wahyudi Siswanto (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: