Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
5, Mei 2023
KEDUDUKAN PENGADILAN
PERIKANAN DALAM MEKANISME PENEGAKAN HUKUM PERIKANAN INDONESIA
Welly Angela Riry
Universitas Pattimura
Email: angela.riry@gmail.com
Indonesia merupakan
negara kepulauan yang strategis
yang memiliki peluang besar di bidang perikanan juga menjadi sesuatu hal yang harus diwaspadai karena rentan terjadi
pelanggaran.� Pengadilan Perikanan menjadi lembaga penegakan hukum di bidang perikanan. Indonesia memiliki beberapa lembaga yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan penegakan hukum di wilayah laut Indonesia yang kewenangannya masih tumpang
tindih satu sama lain. Pemasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan pengadilan perikanan dalam mekanisme hukum perikanan Indonesia.� Penelitian ini menggunakan metode penelitan yuridis normatif. Bahan-bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil dari penelitian ini adalah Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan KUHP dengan mengikuti asas lex spesialis derogate lex generalis menjadi dasar kedudukan pengadilan perikanan dalam mekanisme penegakan hukum perikanan Indonesia.�
Berdasarkan
Pasal 71 ayat 2 pengadilan perikanan merupakan pengadilan khusus
yang dibentuk di
lingkungan peradilan umum.
Kata Kunci: Pengadilan Perikanan, Mekanisme Penegakan Hukum
Keywords: Fisheries Court, Law Enforcement
Mechanism
Indonesia merupakan
negara kepulauan yang letaknya
sangat strategis serta memiliki sumber daya kelautan yang melimpah membuat Indonesia menjadi primadona bagi� negara-negara lain� dari� berbagai� kawasan.�� Letak yang� strategis� ini menjadi peluang namun juga menjadi sesuatu hal yang harus diwaspadai (Anom, 2020).� Bidang perikanan memiliki celah yang sangat rentan bagi pihak-pihak� tertentu yang�� secara�� ilegal mengambil keuntungan dari� sumber�� daya�� perikanan yang ada di Indonesia (Leatemia et al., 2022).�
Indonesia memiliki beberapa lembaga yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan penegakan hukum di wilayah laut Indonesia yang kewenangannya masih tumpang tindih
satu sama lain. Contoh beberapa lembaga yang memiliki wewenang tersebut misalnya Polair, Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP), TNI
AL, dan lain-lain termasuk pengadilan perikanan.� Pengadilan perikanan� Indonesia memiliki payung hukum yaitu Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.� UU ini berisi pengaturan terkait tindak pidana perikanan maupun hukum acara pidana
sebagai suatu kebijakan dalam menanggulangi masalah illegal fishing agar terciptanya
efektifitas dan efisiensi penegakan hukum di bidang perikanan (Adam, 2020). Berdasarkan latar belakang tersebut, pemasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan pengadilan
perikanan dalam mekanisme
hukum perikanan Indonesia ?
Undang-undang
tentang Perikanan dibuat sesuai dengan ketentuan hukum Internasional dalam
bidang perikanan dan mengakomodasi masalah IUU Fishing serta mengimbangi perkembangan kemajuan teknologi yang
berkembang saat ini (Putra, 2022).�
Dalam pelaksanaan penegakan hukum di laut, undang-undang ini sangat
penting dan strategis karena menyangkut kepastian hukum dalam bidang
perikanan.� Upaya penegakan hukum tidak
bisa lepas dari 4 (empat) hal yaitu (Mahmudah,
2022):
a. Peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum;
b. Sarana dan prasarana yang
menjadi alat untuk menegakan hukum;
c. Sumber daya manusia yang
menjadi pelaku untuk penegakan hukum; dan
d. Budaya hukum yang berkembang
di masyarakat.
Keempat pilar
penegak hukum tersebut harus dapat menopang pengaturan hukum laut di Indonesia
secara keseluruhan sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan
penegakan hukum dan dapat berjalan secara benar dan optimal. Berlakunya
Undang-undang tentang Perikanan telah memberikan landasan hukum yang cukup kuat
dalam terkait dengan perikanan yaitu berbagai ketentuan hukum mengenai
pengawasan dalam hal pemberian kewenangan pengawasan seperti menghentikan,
memeriksa, menangkap, membawa dan menahan.�
Selain itu penegakan hukum atau tindak pidana juga jelas diatur hukum
acaranya.
Penegakan hukum
di laut bukan hanya mengandung keamanan laut, karena keamanan laut mengandung
pengertian bahwa laut bisa dikendalikan dan aman digunakan oleh pengguna untuk
bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktivitas pemanfaatan laut, yaitu
pertama laut bebas dari ancaman pembajakan, perompakan, sabotase, maupun aksi
teroris bersenjata. Kedua, laut bebas dari ancaman navigasi yang ditimbulkan
oleh kondisi geografis dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu
navigasi sehingga membahayakan keselamatan pelayaran.� Ketiga, laut bebas dari ancaman terhadap
sumber daya laut berupa pencemaran dan kerusakan ekosistem laut serta
eksploitasi dan eksplorasi yang berlebihan.�
Keempat, laut bebas dari ancaman pelanggaran hukum, baik hukum nasional
maupun internasional seperti IUU Fishing,
illegal loging, illegal migrant, penyelundupan, dan lain-lain (Sarkol, 2017).
1.
Dasar Pembentukan dan
Wewenang Pengadilan Perikanan
Ide pembentukan pengadilan perikanan tersebut pada dasarnya
dilandasi oleh semangat mengatasi krisis ketidakberdayaan lembaga-lembaga
peradilan yang ada dalam menjawab berbagai persoalan hukum khususnya yang
terkait penegakan hukum pelanggaran perikanan.�
Untuk memeriksa dan mengadili perkara perikanan dibentuk pengadilan
khusus yang disebut pengadilan perikanan.�
Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk
memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam
salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang
diatur dalam undang-undang.� Pengadilan
perikanan disebut pengadilan khusus karena kekhususannya didasarkan atas hukum
materiil yang menjadi ruang lingkupnya, hukum pidana di bidang perikanan.�
Pengadilan perikanan, sebagaimana pembentukannya
diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 merupakan hal baru
dalam peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Khusus pengaturan
tentang pengadilan perikanan tertuang pada Bab XIII, sementara pengaturan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Bidang Pengadilan Perikanan tertuang
pada Bab XIV.� Sesuai dengan
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman Pasal 27 ayat
(1)� bahwa pengadilan khusus hanya dapat
dibentuk di dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung.� Sebagai pengadilan khusus
berdasarkan Pasal 71 ayat 2 Undang-undang Perikanan dibentuk di lingkungan
peradilan umum, yaitu dalam pengadilan negeri.�
Pada prinsipnya di setiap pengadilan negeri yang wilayah hukumnya
meliputi wilayah pengelolaan perikanan dapat dibentuk pengadilan perikanan dan
pembentukannya dilakukan secara bertahap (Supramono, 2011).
Pada tanggal 4 Oktober 2007 pertama kali Pengadilan Perikanan
di Indonesia yaitu di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pengadilan Negeri Medan,
Pengadilan Negeri Pontianak, Pengadilan Negeri Bitung, dan Pengadilan Negeri
Tual yang dasar pembentukannya adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan (Lestari, 2014).�
Kemudian, pada tanggal 1 Oktober tahun 2010 dibentuk 2 (dua) pengadilan
perikanan lagi yaitu Pengadilan Perikanan di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang
dan Pengadilan Negeri Ranai yang dasar pembentukkannya adalah Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010.� Selanjutnya, pada tanggal 11 Desember 2014
diresmikan Pengadilan Perikanan di Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri
Sorong, dan Pengadilan Negeri Merauke yang dasar pembentukkannya adalah
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014.
2.
Mekanisme Pengadilan
Perikanan Dalam Penengakan Hukum Perikanan di Indonesia
Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 jo Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan telah mengatur secara khusus hukum acara pidana.� Hal-hal yang telah diatur mengenai hukum
acara tersebut adalah mengenai barang bukti, penyidikan, penuntutan, dan
pengadilan di bidang perikanan.�
Sepanjang belum diatur di dalam Undang-undang Perikanan masih tetap
berlaku peraturan umum� yang ada di dalam
KUHP (Simangunsong et al., 2021).�
Jadi, yang menjadi dasar hukum dalam mekanisme penegakan hukum perikanan
di Indonesia adalah Undang-undang Perikanan dan KUHP dengan mengikuti asas lex spesialis derogate lex generalis.
Ketentuan mengenai penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan perikanan diatur dalam BAB XIV Pasal 72 sampai dengan Pasal
83. Dalam sistem pengadilan perikanan yang tertuang pada UU No. 31 Tahun 2004,
penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS), Perwira TNI AL dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
(Pasal 73 ayat 1). Dengan demikian, ada tiga institusi negara yang berwenang
dalam melakukan penyidikan di bidang perikanan. Meski kata koordinasi susah
diterapkan, UU No. 31 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa penyidik dapat melakukan
koordinasi (Pasal 73 ayat 2).� Oleh
karena itu, untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana di bidang
perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan dapat membentuk forum koordinasi
(Pasal 73 ayat 3).
a.
Penyidikan
Perkara pidana di bidang perikanan dalam tingkat penyidikan
ditangani oleh penyidik khusus yang disebut dengan penyidik perikanan.� Dibentuknya penyidik perikanan
dilatarbelakangi oleh pemikiran agar penyidik dilakukan oleh penyidik spesialis
yang menguasai pengetahuan di bidang perikanan sejalan dengan asas efektivitas (Subroto, n.d.). Forum Koordinasi Penanganan
Tindak Pidana di Bidang Perikanan saat ini telah dibentuk dengan Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi
Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan, dengan tugas utama
mengkoordinasikan kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan.� Menurut PER.13/MEN/2005, usunan anggota Forum
Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan, yaitu terdiri dari:
- Ketua, Menteri Kelautan dan
Perikanan;
- Wakil Ketua I, Kepala Staf
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut;
- Wakil Ketua II, Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia
- Sekretaris I merangkap
anggota, Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan, DKP.
- Sekretaris II merangkap anggota,
Asisten Operasional Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.
- Anggota, Jaksa Agung Muda
Bidang Pidanan Khusus, Kejaksaan Agung; Kepala Badan Pembinaan Hukum Kepolisian
Negara Republik Indonesia; Dirjen Imigrasi, Departemen Hukum dan HAM; Dirjen
Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan; Dirjen Bea Cukai, Departemen
Keuangan; Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi; Direktur Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung.
Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan
menyelenggarakan fungsi, yaitu:
a. Koordinasi kegiatan
penyidikan tindak pidana di bidang perikanan;
b. Identifikasi jenis, modus
operandi, volume, dan penyebaran praktikpraktikvtindak pidana di bidang
perikanan;
c. Penetapan jenis tindak pidana
di bidang perikanan yang diprioritaskan untuk diproses secara bertahap;
d. Penyuluhan dan pembinaan
kepada masyarakat untuk mencegah terjadinya tindak pidana di bidang perikanan;
e. Analisis, identifikasi, dan
pengukuran signifikansi tindak pidana di bidang perikanan secara periodik;
f. Perancangan bentuk-bentuk
koordinasi kegiatan-kegiatan pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan;
g. Perumusan dan pemutakhiran
strategi pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan;
h. Pemantauan dan penyajian
laporan pelaksanaan pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan;
i. Pengkajian dan evaluasi
efektivitas strategi pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan secara
berkelanjutan.
Kewenangan penyidik perikanan juga telah ditetapkan secara
limitatif di dalam Pasal 73A Undang-undang Perikanan, yaitu :
a. Menerima laporan atau
pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan;
b. Memanggil dan memeriksa
tersangka dan/atau saksi untuk didengarkan keterangannya;
c. Membawa dan menghadapkan
seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengarkan keterangannya;
d. Menggeledah sarana dan
prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan
tindak pidana di bidang perikanan;
e. Menghentikan, memeriksa,
menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka
melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
f. Memeriksa kelengkapan dan
keabsahan dokumen usaha perikanan;
g. Memotret tersangka dan/atau
barang bukti tindak pidana di bidang perikanan;
h. Mendatangkan ahli yang
diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan;
i. Membuat dan menandatangani
berita acara pemeriksaan;
j. Melakukan penyitaan terhadap
barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana;
k. Melakukan penghentian penyidikan;
dan
l. Mengadakan tindakan lain yang
menurut hukum dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan terbentuknya Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana
di Bidang Perikanan tersebut dikehendaki dapat terciptanya sinkronisasi dan
koordinasi dalam penanganan penyidikan tindak pidana perikanan sehingga dalam
penanganan setiap kasus dapat cepat diselesaikan.� Antara penyidik� perikanan yang satu dengan penyidik perikanan
lainnya dapat saling bekerja sama dan saling menghormati kewenangan yang
diberikan oleh Undang-undang Perikanan.�
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat menahan tersangka paling
lama 20 (dua puluh) hari dan jika belum selesai pemeriksaan dapat diperpanjang
10 hari (Indonesia, 2002).�
Setelah waktu 30 hari, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari
tahanan demi hukum (Indonesia, 2002). Berikut� proses penyidikan sampai dengan penuntutan
menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004.
Gambar 3
Proses Penyidikan Sampai dengan Penuntutan Menurut Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004
b.
Penuntutan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat 1 Undang-undang
Perikanan penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh
penuntut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia yang khusus
bertugas menangani perkara-perkara perikanan sesuai dengan bidang pekerjaannya.
Dalam proses penyidikan, berkas perkara perikanan yang
dilimpahkan ke kejaksaan negeri prosesnya dilakukan penelitian terlebih dahulu
untuk menentukan lengkap tidaknya berkas tersebut.� Penuntut umum diberi waktu maksimal 5 (lima)
hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas penyidik perkara perikanan,
wajib memberitahukan hasil penelitiannya kepada penyidik (Rahmat, 2020).
Penuntut umum diberi kewenangan melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan terhadap tersangka selama 10 hari untuk kepentingan penuntutan.� Apabila penahanan masih diperlukan dan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, penahanan dapat diperpanjang oleh
ketua pengadilan negeri yang berwenang paling lama 10 hari, sehingga total
seluruh penahanan pada proses penuntutan adalah 20 hari. Penuntutan perkara
dimulai sejak berkas perkara penyidikan dinyatakan sudah lengkap, dengan bats
waktu paling lama 30 hari penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan (Wulandari, 2015).
Tugas penuntut umum dalam proses penuntutan selain meneliti
berkas adalah membuat surat dakwaan.�
Surat dakwaan dibuat dengan dasar hasil penyidikan dan di dalam surat
dakwaan menggambarkan ruang lingkup perkara pidana.� Surat dakwaan merupakan dasar bagi hakim
untuk memeriksa dan mengadili terdakwa.
Selanjutnya, penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan
dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat
dakwaan.� Turunan atau fotokopi surat
pelimpahan perkara tersebut disampaikan kepada tersangka atau penasihat
hukumnya dan penyidik.� Penyampaian
dilakukan pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara
ke pengadilan (ABDHI, 2018).
c.
Persidangan
Dibentuknya pengadilan perikanan sebagai pengadilan khusus
diikuti dengan petugas hukum yang khusus pula yaitu hakim perikanan yang
bertugas untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara perikanan.� Hakim perikanan terdiri atas hakim karier dan
hakim ad hoc (Mujib, n.d.). Diaturnya kedua hakim
tersebut untuk kepentingan efisensi dan efektivitas, pengadilan yang cepat
prosesnya dan memberikan putusan yang dapat memuaskan masyarakat.� Keberadaan hakim ad hoc dalam pengadilan perikanan merupakan sebuah kewajiban, untuk
bertugas dalam jangka waktu tertentu. Dengan adanya hakim karier dan hakim ad hoc tersebut di pengadilan perikanan,
penanganan perkara dilakukan oleh majelis hakim dengan susunan satu orang hakim
karier dan dua orang hakim ad hoc (Mujib, n.d.).� Hakim karier sebagai ketua majelis hakim dan
hakim-hakim ad hoc sebagai hakim
anggota.
Setiap pengadilan mempunyai wilayah hukum yang merupakan
kompetensi relatif untuk menyidangkan suatu perkara.� Wilayah hukum pengadilan perikanan mengikuti
wilayah hukum pengadilan negeri suatu kabupaten/kota (Amalia & Wahyuni, n.d.). Namun, selama belum ada pengadilan
perikanan di suatu wilayah maka perkara tindak pidana perikanan tersebut tetap
diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang.� Mengenai tindak pidana di bidang perikanan
yang terjadi di ZEEI ataupun wilayah pengelolaan perikanan regional dimana
Indonesia menjadi anggotanya , pengadilan perikanan� yang berwenang mengadili adalah pengadilan
yang wilayah hukumnya meliputi pelabuhan tempat penahanan terhadap kapal maupun
orang yang diduga melakukan tindak pidana di wilayah ZEEI tersebut.
Jika dalam putusan sidang di Pengadilan Perikanan belum
menghasilkan hukum berkekuatan tetap karena adanya pengajuan banding dan kasasi
terhadap putusan yang diberikan oleh hakim Pengadilan Perikanan ataupun hakim
di tingkat banding jika yang dirasa tidak sesuai menurut terdakwa maupun juga
penuntut umum.
Secara sederhana akan digambarkan proses mekanisme dan jangka
waktu yang terdapat dalam peradilan pidana perikanan pada Pengadilan Perikanan
mulai dari penyidikan sampai pada putusan yang memiki kekuatan hukum tetap
menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Gambar 4
�Proses Mekanisme dan Jangka Waktu Yang Terdapat
Dalam Peradilan Pidana Perikanan Pada Pengadilan Perikanan
Kesimpulan
Kedudukan pengadilan perikanan dalam mekanisme penegakan hukum perikanan Indonesia ada di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.� Pengadilan perikanan merupakan pengadilan khusus berdasarkan Pasal 71 ayat 2 Undang-undang
Perikanan yang dibentuk di lingkungan peradilan umum, di
dalam pengadilan
negeri.� Pada prinsipnya di setiap
pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi wilayah pengelolaan perikanan
dapat dibentuk pengadilan perikanan dan pembentukannya dilakukan secara
bertahap.� Dasar hukum dalam mekanisme
penegakan hukum perikanan di Indonesia adalah Undang-undang Perikanan dan KUHP
dengan mengikuti asas lex spesialis
derogate lex generalis. Ketentuan mengenai penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan perikanan diatur dalam BAB XIV Pasal 72 sampai
dengan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Abdhi, G. Y. (2018). Kewajiban
Menyampaikan Surat Dakwaan Oleh Penuntut Umum Kepada Terdakwa Atau Penasihat
Hukumnya Berdasar Pasal 143 Ayat (4) Kuhap Dan Akibat Hukumnya. Universitas
Airlangga.
Adam, S. (2020). Koordinasi Kelembagaan Dalam Penenggelaman
Kapal Hasil Tindak Pidana Di Bidang Perikanan. Sasi, 26(1),
128�142.
Afandi, I. (2017). Kajian Hukum Terhadap Pencurian Ikan
Dilaut Berdasarkan Uu Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Uu Nomor 31
Tahun 2004 Tentang Perikanan. Lex Privatum, 5(5).
Amalia, R., & Wahyuni, M. (N.D.). Kajian Kritis
Mengenai Undang-Undang No 31 Tahun 2004 Dan No 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan.
Anom, S. (2020). Jurisdiction Of The Relative Authority Of
The Fisheries Court In Deciding Fisheries Cases In Indonesia. Nurani Hukum,
3, 66.
Indonesia, R. (2002). Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jenderal Mpr Ri.
Leatemia, W., Wattimena, R. M., Riry, W. A., &
Soplantila, R. (2022). Urgensi Pengaturan Zona Tambahan Dan Implikasinya Kepada
Indonesia Sebagai Negara Kepulauan. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia,
7(9), 13318�13328.
Lestari, M. M. (2014). Penegakan Hukum Pidana Perikanan Di
Indonesia Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan. Jurnal Ilmu Hukum, 4(2),
271�295.
Mahmudah, N. (2022). Illegal Fishing: Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Di Wilayah Perairan Indonesia. Sinar Grafika.
Matulessy, M. F. (2022). Perlindungan Hukum Bagi Pemilik
Merek Terkenal Terkait Dengan Persamaan Pada Pokoknya Ditinjau Dari
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor 332 K/Pdt. Sus-Hki/2021). Universitas Kristen
Indonesia.
Mujib, M. T. (N.D.). Perubahan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 Tentang Perikanan.
Putra, F. R. (2022). Penegakan Yurisdiksi Indonesia Di
Zona Ekonomi Eksklusif Dalam Melindungi Sumber Daya Ikan (Studi Terhadap Laut
Natuna).
Rahmat, W. (2020). Analisis Hukum Islam Terhadap
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (Studi Pasal 76 Ayat 1 Tentang
Gugatan Atas Pelanggaran Merek). Uin Raden Intan Lampung.
Sarkol, F. J. S. (2017). Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak
Pidana Penangkapan Ikan Dengan Bahan Kimia Di Wilayah Zee Indonesia (Uu No. 31
Tahun 2004 Jo Uu No. 45 Tahun 2009). Lex Privatum, 5(2).
Simangunsong, Y. T. K., Kalsum, U., & Akli, Z. (2021).
Illegal Fishing Dari Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Kuhap).
Reusam: Jurnal Ilmu Hukum, 9(1).
Subroto, J. J. G. (N.D.). Evaluasi Pengadilan Perikanan Dalam
Penegakan Hukum Di Bidang Perikanan Dalam Rangka Perubahan Kedua Undang-Undang
Tentang Perikanan (Evaluation Of Court For Fisheries Cases To Law Enforcement
In The Field Of Fisheries In The Framework Of The Second. Dari Redaksi,
17.
Supramono, G. (2011). Hukum Acara Pidana Dan Hukum Pidana
Di Bidang Perikanan. Rineka Cipta.
Wulandari, E. C. (2015). Penuntutan Perkara Pidana Perikanan
Menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Undang-Undang No.
31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Lex Crimen, 4(4).
Copyright holder: Welly Angela Riry (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed
under: |