Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 5, Mei 2023

 

KEDUDUKAN PENGADILAN PERIKANAN DALAM MEKANISME PENEGAKAN HUKUM PERIKANAN INDONESIA

 

Welly Angela Riry

Universitas Pattimura

Email: angela.riry@gmail.com

 

Abstrak����������������������������������������������������������������������������������������������������������������

Indonesia merupakan negara kepulauan yang strategis yang memiliki peluang besar di bidang perikanan juga menjadi sesuatu hal yang harus diwaspadai karena rentan terjadi pelanggaran.� Pengadilan Perikanan menjadi lembaga penegakan hukum di bidang perikanan. Indonesia memiliki beberapa lembaga yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan penegakan hukum di wilayah laut Indonesia yang kewenangannya masih tumpang tindih satu sama lain. Pemasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan pengadilan perikanan dalam mekanisme hukum perikanan Indonesia.� Penelitian ini menggunakan metode penelitan yuridis normatif. Bahan-bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil dari penelitian ini adalah Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan KUHP dengan mengikuti asas lex spesialis derogate lex generalis menjadi dasar kedudukan pengadilan perikanan dalam mekanisme penegakan hukum perikanan Indonesia.� Berdasarkan Pasal 71 ayat 2 pengadilan perikanan merupakan pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan peradilan umum.

 

Kata Kunci: Pengadilan Perikanan, Mekanisme Penegakan Hukum

 

Abstract

Indonesia is a strategic archipelagic country that has great opportunities in the field of fisheries which is also something that must be watched out for because it is prone to violations. The Fisheries Court is a law enforcement agency in the field of fisheries. Indonesia has several institutions that have the authority to carry out law enforcement in Indonesia's maritime areas whose authorities still overlap with one another. The problem in this study is how is the position of the fisheries court in the Indonesian fisheries legal mechanism. This study uses a normative juridical research method. The legal materials used are primary, secondary and tertiary legal materials. The results of this study are Law Number 31 of 2004 concerning Fisheries and the Criminal Code by following the principle of lex specialist derogate lex generalis as the basis for the position of the fisheries court in the Indonesian fisheries law enforcement mechanism. Based on Article 71 paragraph 2 the fisheries court is a special court formed within the general court environment.

 

Keywords: Fisheries Court, Law Enforcement Mechanism

 

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan yang letaknya sangat strategis serta memiliki sumber daya kelautan yang melimpah membuat Indonesia menjadi primadona bagi� negara-negara lain� dari� berbagai� kawasan.�� Letak yang� strategis� ini menjadi peluang namun juga menjadi sesuatu hal yang harus diwaspadai (Anom, 2020).� Bidang perikanan memiliki celah yang sangat rentan bagi pihak-pihak� tertentu yang�� secara�� ilegal mengambil keuntungan dari� sumber�� daya�� perikanan yang ada di Indonesia (Leatemia et al., 2022).�

Indonesia memiliki beberapa lembaga yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan penegakan hukum di wilayah laut Indonesia yang kewenangannya masih tumpang tindih satu sama lain. Contoh beberapa lembaga yang memiliki wewenang tersebut misalnya Polair, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), TNI AL, dan lain-lain termasuk pengadilan perikanan.� Pengadilan perikanan� Indonesia memiliki payung hukum yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.� UU ini berisi pengaturan terkait tindak pidana perikanan maupun hukum acara pidana sebagai suatu kebijakan dalam menanggulangi masalah illegal fishing agar terciptanya efektifitas dan efisiensi penegakan hukum di bidang perikanan (Adam, 2020). Berdasarkan latar belakang tersebut, pemasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan pengadilan perikanan dalam mekanisme hukum perikanan Indonesia ?

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitan yuridis normatif dengan menggunakan bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan topik yang diteliti (Matulessy, 2022).� Bahan-bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang diolah dan dianalisis secara kualitatif untuk mendapatkan hasil yang tepat.

 

Hasil dan Pembahasan

Dalam penegakan IUU Fishing diperlukan perundang-undangan yang dijadikan pedoman dalam menindak para pelaku IUU Fishing.� Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi dan mengeluarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985. Indonesia juga telah membuat Undang-undang tentang Perikanan yaitu Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 (Afandi, 2017).� Hal ini bertujuan agar para pelaku IUU Fishing dapat ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku.

Undang-undang tentang Perikanan dibuat sesuai dengan ketentuan hukum Internasional dalam bidang perikanan dan mengakomodasi masalah IUU Fishing serta mengimbangi perkembangan kemajuan teknologi yang berkembang saat ini (Putra, 2022).� Dalam pelaksanaan penegakan hukum di laut, undang-undang ini sangat penting dan strategis karena menyangkut kepastian hukum dalam bidang perikanan.� Upaya penegakan hukum tidak bisa lepas dari 4 (empat) hal yaitu (Mahmudah, 2022):

a.     Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum;

b.     Sarana dan prasarana yang menjadi alat untuk menegakan hukum;

c.     Sumber daya manusia yang menjadi pelaku untuk penegakan hukum; dan

d.     Budaya hukum yang berkembang di masyarakat.

Keempat pilar penegak hukum tersebut harus dapat menopang pengaturan hukum laut di Indonesia secara keseluruhan sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan penegakan hukum dan dapat berjalan secara benar dan optimal. Berlakunya Undang-undang tentang Perikanan telah memberikan landasan hukum yang cukup kuat dalam terkait dengan perikanan yaitu berbagai ketentuan hukum mengenai pengawasan dalam hal pemberian kewenangan pengawasan seperti menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa dan menahan.� Selain itu penegakan hukum atau tindak pidana juga jelas diatur hukum acaranya.

Penegakan hukum di laut bukan hanya mengandung keamanan laut, karena keamanan laut mengandung pengertian bahwa laut bisa dikendalikan dan aman digunakan oleh pengguna untuk bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktivitas pemanfaatan laut, yaitu pertama laut bebas dari ancaman pembajakan, perompakan, sabotase, maupun aksi teroris bersenjata. Kedua, laut bebas dari ancaman navigasi yang ditimbulkan oleh kondisi geografis dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu navigasi sehingga membahayakan keselamatan pelayaran.� Ketiga, laut bebas dari ancaman terhadap sumber daya laut berupa pencemaran dan kerusakan ekosistem laut serta eksploitasi dan eksplorasi yang berlebihan.� Keempat, laut bebas dari ancaman pelanggaran hukum, baik hukum nasional maupun internasional seperti IUU Fishing, illegal loging, illegal migrant, penyelundupan, dan lain-lain (Sarkol, 2017).

1.      Dasar Pembentukan dan Wewenang Pengadilan Perikanan

Ide pembentukan pengadilan perikanan tersebut pada dasarnya dilandasi oleh semangat mengatasi krisis ketidakberdayaan lembaga-lembaga peradilan yang ada dalam menjawab berbagai persoalan hukum khususnya yang terkait penegakan hukum pelanggaran perikanan.� Untuk memeriksa dan mengadili perkara perikanan dibentuk pengadilan khusus yang disebut pengadilan perikanan.� Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.� Pengadilan perikanan disebut pengadilan khusus karena kekhususannya didasarkan atas hukum materiil yang menjadi ruang lingkupnya, hukum pidana di bidang perikanan.�

Pengadilan perikanan, sebagaimana pembentukannya diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 merupakan hal baru dalam peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Khusus pengaturan tentang pengadilan perikanan tertuang pada Bab XIII, sementara pengaturan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Bidang Pengadilan Perikanan tertuang pada Bab XIV.� Sesuai dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman Pasal 27 ayat (1)� bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk di dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.� Sebagai pengadilan khusus berdasarkan Pasal 71 ayat 2 Undang-undang Perikanan dibentuk di lingkungan peradilan umum, yaitu dalam pengadilan negeri.� Pada prinsipnya di setiap pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi wilayah pengelolaan perikanan dapat dibentuk pengadilan perikanan dan pembentukannya dilakukan secara bertahap (Supramono, 2011).

Pada tanggal 4 Oktober 2007 pertama kali Pengadilan Perikanan di Indonesia yaitu di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Pontianak, Pengadilan Negeri Bitung, dan Pengadilan Negeri Tual yang dasar pembentukannya adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lestari, 2014).� Kemudian, pada tanggal 1 Oktober tahun 2010 dibentuk 2 (dua) pengadilan perikanan lagi yaitu Pengadilan Perikanan di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai yang dasar pembentukkannya adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010.� Selanjutnya, pada tanggal 11 Desember 2014 diresmikan Pengadilan Perikanan di Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong, dan Pengadilan Negeri Merauke yang dasar pembentukkannya adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014.

2.      Mekanisme Pengadilan Perikanan Dalam Penengakan Hukum Perikanan di Indonesia

Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 jo Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan telah mengatur secara khusus hukum acara pidana.� Hal-hal yang telah diatur mengenai hukum acara tersebut adalah mengenai barang bukti, penyidikan, penuntutan, dan pengadilan di bidang perikanan.� Sepanjang belum diatur di dalam Undang-undang Perikanan masih tetap berlaku peraturan umum� yang ada di dalam KUHP (Simangunsong et al., 2021).� Jadi, yang menjadi dasar hukum dalam mekanisme penegakan hukum perikanan di Indonesia adalah Undang-undang Perikanan dan KUHP dengan mengikuti asas lex spesialis derogate lex generalis.

Ketentuan mengenai penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan perikanan diatur dalam BAB XIV Pasal 72 sampai dengan Pasal 83. Dalam sistem pengadilan perikanan yang tertuang pada UU No. 31 Tahun 2004, penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Perwira TNI AL dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (Pasal 73 ayat 1). Dengan demikian, ada tiga institusi negara yang berwenang dalam melakukan penyidikan di bidang perikanan. Meski kata koordinasi susah diterapkan, UU No. 31 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa penyidik dapat melakukan koordinasi (Pasal 73 ayat 2).� Oleh karena itu, untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana di bidang perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan dapat membentuk forum koordinasi (Pasal 73 ayat 3).

a.     Penyidikan

Perkara pidana di bidang perikanan dalam tingkat penyidikan ditangani oleh penyidik khusus yang disebut dengan penyidik perikanan.� Dibentuknya penyidik perikanan dilatarbelakangi oleh pemikiran agar penyidik dilakukan oleh penyidik spesialis yang menguasai pengetahuan di bidang perikanan sejalan dengan asas efektivitas (Subroto, n.d.). Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan saat ini telah dibentuk dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan, dengan tugas utama mengkoordinasikan kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan.� Menurut PER.13/MEN/2005, usunan anggota Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan, yaitu terdiri dari:

-       Ketua, Menteri Kelautan dan Perikanan;

-       Wakil Ketua I, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut;

-       Wakil Ketua II, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

-       Sekretaris I merangkap anggota, Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, DKP.

-       Sekretaris II merangkap anggota, Asisten Operasional Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.

-       Anggota, Jaksa Agung Muda Bidang Pidanan Khusus, Kejaksaan Agung; Kepala Badan Pembinaan Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia; Dirjen Imigrasi, Departemen Hukum dan HAM; Dirjen Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan; Dirjen Bea Cukai, Departemen Keuangan; Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi; Direktur Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung.

Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan menyelenggarakan fungsi, yaitu:

a.     Koordinasi kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan;

b.     Identifikasi jenis, modus operandi, volume, dan penyebaran praktikpraktikvtindak pidana di bidang perikanan;

c.     Penetapan jenis tindak pidana di bidang perikanan yang diprioritaskan untuk diproses secara bertahap;

d.     Penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat untuk mencegah terjadinya tindak pidana di bidang perikanan;

e.     Analisis, identifikasi, dan pengukuran signifikansi tindak pidana di bidang perikanan secara periodik;

f.      Perancangan bentuk-bentuk koordinasi kegiatan-kegiatan pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan;

g.     Perumusan dan pemutakhiran strategi pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan;

h.     Pemantauan dan penyajian laporan pelaksanaan pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan;

i.      Pengkajian dan evaluasi efektivitas strategi pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan secara berkelanjutan.

Kewenangan penyidik perikanan juga telah ditetapkan secara limitatif di dalam Pasal 73A Undang-undang Perikanan, yaitu :

a.     Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan;

b.     Memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk didengarkan keterangannya;

c.     Membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengarkan keterangannya;

d.     Menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan;

e.     Menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan;

f.      Memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan;

g.     Memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan;

h.     Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan;

i.      Membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;

j.      Melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana;

k.     Melakukan penghentian penyidikan; dan

l.      Mengadakan tindakan lain yang menurut hukum dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan terbentuknya Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan tersebut dikehendaki dapat terciptanya sinkronisasi dan koordinasi dalam penanganan penyidikan tindak pidana perikanan sehingga dalam penanganan setiap kasus dapat cepat diselesaikan.� Antara penyidik� perikanan yang satu dengan penyidik perikanan lainnya dapat saling bekerja sama dan saling menghormati kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang Perikanan.� Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat menahan tersangka paling lama 20 (dua puluh) hari dan jika belum selesai pemeriksaan dapat diperpanjang 10 hari (Indonesia, 2002).� Setelah waktu 30 hari, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum (Indonesia, 2002). Berikut� proses penyidikan sampai dengan penuntutan menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004.

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 3

Proses Penyidikan Sampai dengan Penuntutan Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

 

 

b.     Penuntutan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat 1 Undang-undang Perikanan penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia yang khusus bertugas menangani perkara-perkara perikanan sesuai dengan bidang pekerjaannya.

Dalam proses penyidikan, berkas perkara perikanan yang dilimpahkan ke kejaksaan negeri prosesnya dilakukan penelitian terlebih dahulu untuk menentukan lengkap tidaknya berkas tersebut.� Penuntut umum diberi waktu maksimal 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas penyidik perkara perikanan, wajib memberitahukan hasil penelitiannya kepada penyidik (Rahmat, 2020).

Penuntut umum diberi kewenangan melakukan penahanan atau penahanan lanjutan terhadap tersangka selama 10 hari untuk kepentingan penuntutan.� Apabila penahanan masih diperlukan dan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, penahanan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang paling lama 10 hari, sehingga total seluruh penahanan pada proses penuntutan adalah 20 hari. Penuntutan perkara dimulai sejak berkas perkara penyidikan dinyatakan sudah lengkap, dengan bats waktu paling lama 30 hari penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan (Wulandari, 2015).

Tugas penuntut umum dalam proses penuntutan selain meneliti berkas adalah membuat surat dakwaan.� Surat dakwaan dibuat dengan dasar hasil penyidikan dan di dalam surat dakwaan menggambarkan ruang lingkup perkara pidana.� Surat dakwaan merupakan dasar bagi hakim untuk memeriksa dan mengadili terdakwa.

Selanjutnya, penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.� Turunan atau fotokopi surat pelimpahan perkara tersebut disampaikan kepada tersangka atau penasihat hukumnya dan penyidik.� Penyampaian dilakukan pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara ke pengadilan (ABDHI, 2018).

c.     Persidangan

Dibentuknya pengadilan perikanan sebagai pengadilan khusus diikuti dengan petugas hukum yang khusus pula yaitu hakim perikanan yang bertugas untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara perikanan.� Hakim perikanan terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc (Mujib, n.d.). Diaturnya kedua hakim tersebut untuk kepentingan efisensi dan efektivitas, pengadilan yang cepat prosesnya dan memberikan putusan yang dapat memuaskan masyarakat.� Keberadaan hakim ad hoc dalam pengadilan perikanan merupakan sebuah kewajiban, untuk bertugas dalam jangka waktu tertentu. Dengan adanya hakim karier dan hakim ad hoc tersebut di pengadilan perikanan, penanganan perkara dilakukan oleh majelis hakim dengan susunan satu orang hakim karier dan dua orang hakim ad hoc (Mujib, n.d.).� Hakim karier sebagai ketua majelis hakim dan hakim-hakim ad hoc sebagai hakim anggota.

Setiap pengadilan mempunyai wilayah hukum yang merupakan kompetensi relatif untuk menyidangkan suatu perkara.� Wilayah hukum pengadilan perikanan mengikuti wilayah hukum pengadilan negeri suatu kabupaten/kota (Amalia & Wahyuni, n.d.). Namun, selama belum ada pengadilan perikanan di suatu wilayah maka perkara tindak pidana perikanan tersebut tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang.� Mengenai tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI ataupun wilayah pengelolaan perikanan regional dimana Indonesia menjadi anggotanya , pengadilan perikanan� yang berwenang mengadili adalah pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi pelabuhan tempat penahanan terhadap kapal maupun orang yang diduga melakukan tindak pidana di wilayah ZEEI tersebut.

Jika dalam putusan sidang di Pengadilan Perikanan belum menghasilkan hukum berkekuatan tetap karena adanya pengajuan banding dan kasasi terhadap putusan yang diberikan oleh hakim Pengadilan Perikanan ataupun hakim di tingkat banding jika yang dirasa tidak sesuai menurut terdakwa maupun juga penuntut umum.

Secara sederhana akan digambarkan proses mekanisme dan jangka waktu yang terdapat dalam peradilan pidana perikanan pada Pengadilan Perikanan mulai dari penyidikan sampai pada putusan yang memiki kekuatan hukum tetap menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Gambar 4

�Proses Mekanisme dan Jangka Waktu Yang Terdapat Dalam Peradilan Pidana Perikanan Pada Pengadilan Perikanan

 

 

Kesimpulan

Kedudukan pengadilan perikanan dalam mekanisme penegakan hukum perikanan Indonesia ada di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.� Pengadilan perikanan merupakan pengadilan khusus berdasarkan Pasal 71 ayat 2 Undang-undang Perikanan yang dibentuk di lingkungan peradilan umum, di dalam pengadilan negeri.� Pada prinsipnya di setiap pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi wilayah pengelolaan perikanan dapat dibentuk pengadilan perikanan dan pembentukannya dilakukan secara bertahap.� Dasar hukum dalam mekanisme penegakan hukum perikanan di Indonesia adalah Undang-undang Perikanan dan KUHP dengan mengikuti asas lex spesialis derogate lex generalis. Ketentuan mengenai penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan perikanan diatur dalam BAB XIV Pasal 72 sampai dengan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abdhi, G. Y. (2018). Kewajiban Menyampaikan Surat Dakwaan Oleh Penuntut Umum Kepada Terdakwa Atau Penasihat Hukumnya Berdasar Pasal 143 Ayat (4) Kuhap Dan Akibat Hukumnya. Universitas Airlangga.

 

Adam, S. (2020). Koordinasi Kelembagaan Dalam Penenggelaman Kapal Hasil Tindak Pidana Di Bidang Perikanan. Sasi, 26(1), 128�142.

 

Afandi, I. (2017). Kajian Hukum Terhadap Pencurian Ikan Dilaut Berdasarkan Uu Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Uu Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Lex Privatum, 5(5).

 

Amalia, R., & Wahyuni, M. (N.D.). Kajian Kritis Mengenai Undang-Undang No 31 Tahun 2004 Dan No 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan.

 

Anom, S. (2020). Jurisdiction Of The Relative Authority Of The Fisheries Court In Deciding Fisheries Cases In Indonesia. Nurani Hukum, 3, 66.

 

Indonesia, R. (2002). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jenderal Mpr Ri.

 

Leatemia, W., Wattimena, R. M., Riry, W. A., & Soplantila, R. (2022). Urgensi Pengaturan Zona Tambahan Dan Implikasinya Kepada Indonesia Sebagai Negara Kepulauan. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 7(9), 13318�13328.

 

Lestari, M. M. (2014). Penegakan Hukum Pidana Perikanan Di Indonesia Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan. Jurnal Ilmu Hukum, 4(2), 271�295.

 

Mahmudah, N. (2022). Illegal Fishing: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Wilayah Perairan Indonesia. Sinar Grafika.

 

Matulessy, M. F. (2022). Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Merek Terkenal Terkait Dengan Persamaan Pada Pokoknya Ditinjau Dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 332 K/Pdt. Sus-Hki/2021). Universitas Kristen Indonesia.

 

Mujib, M. T. (N.D.). Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

 

Putra, F. R. (2022). Penegakan Yurisdiksi Indonesia Di Zona Ekonomi Eksklusif Dalam Melindungi Sumber Daya Ikan (Studi Terhadap Laut Natuna).

 

Rahmat, W. (2020). Analisis Hukum Islam Terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (Studi Pasal 76 Ayat 1 Tentang Gugatan Atas Pelanggaran Merek). Uin Raden Intan Lampung.

 

Sarkol, F. J. S. (2017). Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Penangkapan Ikan Dengan Bahan Kimia Di Wilayah Zee Indonesia (Uu No. 31 Tahun 2004 Jo Uu No. 45 Tahun 2009). Lex Privatum, 5(2).

 

Simangunsong, Y. T. K., Kalsum, U., & Akli, Z. (2021). Illegal Fishing Dari Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Kuhap). Reusam: Jurnal Ilmu Hukum, 9(1).

 

Subroto, J. J. G. (N.D.). Evaluasi Pengadilan Perikanan Dalam Penegakan Hukum Di Bidang Perikanan Dalam Rangka Perubahan Kedua Undang-Undang Tentang Perikanan (Evaluation Of Court For Fisheries Cases To Law Enforcement In The Field Of Fisheries In The Framework Of The Second. Dari Redaksi, 17.

 

Supramono, G. (2011). Hukum Acara Pidana Dan Hukum Pidana Di Bidang Perikanan. Rineka Cipta.

 

Wulandari, E. C. (2015). Penuntutan Perkara Pidana Perikanan Menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Lex Crimen, 4(4).

 

Copyright holder:

Welly Angela Riry (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: