Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 7, Juli 2023

 

REVISI KEBIJAKAN PENGANGKATAN PLT KEPALA DAERAH

 

Angga Rosidin, Iip Mualip, A'rif Rokhman, Leo Agustino, Rina Yulianti

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Indonesia

Emai: [email protected]

 

Abstrak

Tujuan dari penyelidikan dan analisis ini adalah untuk menghasilkan rencana bagaimana memilih kepala daerah sementara dalam pemerintahan daerah yang sempurna. Penghentian Pilkada 2022 merupakan konsekuensi dari Pilkada serentak 2024. Pemerintah Indonesia kemudian akan menunjuk belasan gubernur daerah untuk menjabat sebagai pimpinan sementara hingga ditemukan pengganti yang tetap. Dari segi kerangka persoalan, penelitian ini menanyakan, �Pertama, apa persoalannya dengan mekanisme pengangkatan pelaksana tugas kepala daerah?� �Kedua,� Anda mungkin bertanya-tanya, �bagaimana Anda mengatur kembali kewenangan untuk menunjuk penjabat kepala daerah? Dengan menggunakan sumber primer dan sekunder, penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif sebagai metodologinya. Pada akhirnya, analisis ini menyimpulkan: Di Indonesia saat ini penyelenggaraan pemerintahan daerah, sistem penunjukan penjabat kepala daerah berpotensi menimbulkan konflik kepentingan politik, jika koalisi politik mengusulkan presiden dan wakil presiden, mereka dapat tunduk pada kepentingan koalisi dan memilih penjabat kepala daerah yang tidak netral. Kedua, rendahnya legitimasi kepala daerah yang bertindak selama dua tahun tanpa dipilih oleh rakyat. Ketiga, kemampuan untuk memilih kepala daerah sementara harus ditata kembali. Apalagi dalam statuta pemda secara tegas disebutkan bahwa kedudukan kepala daerah pelaksana tugas kepala daerah dijabat oleh sekretaris daerah (sekda), menjadikan sekda sebagai alternatif yang paling memungkinkan bagi kepala daerah dan melindunginya dari kepentingan politik.

 

Kata Kunci: Kepala Daerah; Pelaksana; Pilkada; Kebijakan.

 

Abstract

The purpose of this investigation and analysis is to produce a plan for how to elect temporary regional heads in perfect local government. The termination of the 2022 regional elections is a consequence of the 2024 simultaneous regional elections. The Indonesian government will then appoint dozens of regional governors to serve as interim leaders until a permanent replacement is found. In terms of the problem framework, this study asks, "First, what is the problem with the mechanism for appointing acting regional heads?" "Second," you may wonder, "how do you reorganize the authority to appoint acting regional heads? Using primary and secondary sources, this study uses normative juridical research as its methodology. In the end, this analysis concludes: In Indonesia's current administration of regional government, the system of appointing acting regional heads has the potential to create political conflicts of interest, if political coalitions propose a president and vice president, they can bow to the interests of the coalition and elect acting regional heads who are not neutral. Second, the low legitimacy of regional heads who act for two years without being elected by the people. Third, the ability to elect regional heads temporarily must be reorganized. Moreover, the local government statute expressly states that the position of the regional head is held by the regional secretary (sekda), making the regional secretary the most likely alternative for the regional head and protecting him from political interests.

 

Keywords: Regional Head; Executive; Elections; Policy.

 

Pendahuluan

Konsep otonomi daerah saat ini baik dari segi kedudukan maupun peranannya, baik sebagai pimpinan suatu organisasi pemerintahan yang mengayomi dan melayani masyarakat maupun dalam mengelola penyelenggaraan pemerintahan (ISMAIL NURDIN, 2017). Kepala Daerah terus menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan baik dari dalam maupun luar negeri, yang harus disikapi dan diantisipasi agar roda penyelenggaraan pemerintahan, pembinaan masyarakat, dan pembangunan tetap berputar. Untuk itu perlu dibangun birokrasi yang efisien melalui pengangkatan dan pemindahan pejabat yang sesuai dengan kemampuannya (OPD). Karena pilihannya akan mempengaruhi seberapa baik fungsi pemerintahan, pemimpin daerah memiliki peran yang krusial dan strategis untuk dijalankan.

Menurut (Kaloh, 2009), (Rampengan, 2016) efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah menentukan efisiensi pemerintahan negara. Keberhasilan kepemimpinan nasional dipengaruhi oleh kepemimpinan daerah (Nasution, 2016). Rendahnya atau berkurangnya kinerja dan keberhasilan pelaksanaan pembangunan merupakan konsekuensi dari kegagalan kepala daerah dalam mencapai pembangunan daerah (Purwidayani & Slamet, 2022).

Kepala organisasi yang melaksanakan ketentuan perundang-undangan disebut sebagai kepala daerah (Zarkasi, 2010). dalam bentuk organisasi yang melaksanakan kebijakan daerah. biasa digunakan untuk menggambarkan sebuah lembaga pemerintah dengan kepala daerah yang bertindak sebagai administrator daerah. Jika merujuk pada pemimpin daerah, kata "gubernur" digunakan untuk pemimpin provinsi, "bupati" untuk pemimpin kabupaten, dan "walikota" untuk pemimpin kota. Direktur regional bertanggung jawab atas kelancaran operasional instansi pemerintah di wilayahnya.

Seberapa pentingkah pemerintah? Karena ketiga tingkat pemerintahan provinsi, kabupaten/kota, dan desa bekerja sama sebagai satu kesatuan sistem yang utuh di bawah pemerintahan pusat, maka kepala daerah dimaksudkan untuk dipilih oleh rakyat di tingkat lokal setelah terjadi perubahan. Selain merevitalisasi demokrasi di sana, hal ini juga memberikan kepercayaan kepada kepala daerah (Hanafi, 2014).

Ada beberapa metode berbeda untuk mengisi peran pemimpin pemerintahan: pemilihan (untuk pejabat publik) dan penunjukan (untuk orang lain) (pejabat publik yang tidak dipilih) (Simanjuntak, 2017). Sebagai patokan, pejabat terpilih memegang jabatan politik, sedangkan pejabat yang ditunjuk memegang jabatan manajerial. Anehnya, aktor politik di Indonesia presiden dan menteri dalam negeri dalam kasus gubernur memutuskan siapa yang akan menggantikan kepala daerah yang tidak hadir untuk sementara atau tetap (Aji, 2016). Sebaliknya, gubernur yang juga anggota partai politik mengangkat bupati dan walikota. Karena tujuan reformasi adalah memulihkan demokrasi di tingkat kotamadya, hal ini jelas menimbulkan masalah hukum (Ghafur, 2023).

Sehubungan dengan pemberhentian kepala daerah tetap baru-baru ini, kepala daerah sementara diangkat untuk mengisi peran tersebut sampai dapat ditemukan pengganti yang tetap. Karena pejabat sementara berbeda dengan pejabat tetap, maka pengangkatannya menimbulkan beberapa persoalan hukum (Assyayuti, 2022). Prosedur untuk membuat penunjukan sementara jelas berbeda dengan yang digunakan untuk membuat penunjukan permanen. Apalagi mengingat pada tahun 2024, pemilihan gubernur, bupati, dan walikota semuanya akan dilakukan secara bersamaan. Secara default, ratusan provinsi akan membutuhkan petahana sementara di kabupaten atau kota mereka pada tahun 2022.

Tahun 2022 dan 2023, gubernur sementara akan dilantik langsung oleh Presiden Joko Widodo. Demikian pula, walikota dan pejabat kota lainnya mewakili kepemimpinan daerah. Direktur Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menyatakan, pelantikan Pj Gubernur, Pj Bupati, atau Pj Walikota jangka panjang tidak sesuai dengan otonomi daerah, sehingga berujung pada keputusan untuk menyelenggarakan pilkada serentak pada tahun 2024. kesenjangan cakupan dua tahun untuk daerah yang tidak menjadi tuan rumah Pilkada pada tahun 2022 atau 2023.

Salah satu prinsip sentral gagasan otonomi daerah adalah hak rakyat untuk memilih wakilnya sendiri, sehingga keberadaan pejabat sementara dengan jangka panjang yang cukup bertentangan dengan prinsip ini (Sudaryo et al., 2021). Seolah-olah untuk manajer regional. Artinya, 101 gubernur daerah akan selesai masa jabatannya pada 2022. Selain itu, masa jabatan 170 gubernur daerah dan pejabat tinggi lainnya akan berakhir pada 2023. Jumlah pejabat sementara yang dibutuhkan untuk memimpin daerah hingga Pilkada 2024 akan terpengaruh.

Kewajiban konstitusional untuk mengikuti dan menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan kesepakatan bersama yang tertuang dalam konstitusi diwujudkan dalam pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh rakyat sebagai perwujudan hak warga negara dalam urusan kebangsaan dan kenegaraan (Mulyono & Fatoni, 2020). Prinsip desentralisasi kemudian diubah dengan adanya pejabat sementara yang akan menduduki jabatan kepala daerah yang lowong.

Solusi optimal adalah lowongan tersebut diputuskan secara hukum, tetapi hal ini tidak selalu memungkinkan. Undang-undang membuat panggilan dengan meletakkan prasyarat untuk berpartisipasi. Baik Presiden maupun Menteri Dalam Negeri tidak memiliki kekuasaan mutlak. Oleh karena itu, penelitian tentangRevisi Kebijakan Pengangkatan Pj Pimpinan Daerah� menjadi sangat penting.

 

Metode Penelitian

Revisi Kebijakan Pengangkatan Pelaksana Tugas Kepala Daerah merupakan kajian normatif-kualitatif. Pengangkatan kepala daerah sementara merupakan topik penyelidikan normatif, yang berfokus pada norma hukum positif yang ditetapkan oleh undang-undang dan peraturan.

 

 

 

 

 

Hasil dan Pembahasan

Presiden dan Wakil Presiden sebagai wakil partai politik

Sederhananya, dalam bentuk pemerintahan presidensial, presiden berada di episentrum otoritas eksekutif dan legislatif. Hal ini menjadikan Presiden sebagai eksekutif puncak dan pemimpin tertinggi negara (kepala negara). "Presiden, sebagai eksekutif tunggal, dipilih sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan," jelas Rett R. Ludwikowsk.

Presiden memimpin cabang eksekutif pemerintahan dan memiliki kekuasaan yang luas sebagai pemimpin negara. Menyelenggarakan pemerintahan berarti menjalankan fungsi dan kekuasaannya dengan cara yang sesuai dengan hukum. Kewenangan presiden adalah kekuasaan presiden untuk bertindak secara independen dari otoritas lain (Sihombing & Hadita, 2023). Pemimpin negara modern (raja atau presiden) juga menjabat sebagai kepala pemerintahan, dengan hak prerogatif tertentu yang diberikan oleh konstitusi (Tampubolon, 2022). Presiden dulunya adalah seorang raja, dan itu adalah pengaturan yang sangat berisiko karena kurangnya check and balances.

Sekarang, di era reformasi ini, pengawasan menjadi lebih penting dari sebelumnya. Presiden yang tergabung dalam partai politik mungkin lebih cenderung mendukung kebijakan partainya, meskipun bertanggung jawab kepada rakyat. Jelas dari Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 �partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum diadakannya pemilihan umum�. Pemerintah federal akan memainkan peran penting, jika bukan yang paling signifikan, dalam memutuskan siapa yang akan memimpin masing-masing daerah.

Karena banyaknya jabatan gubernur daerah yang terbuka, maka pemerintahan, khususnya di bawah Presiden Jokowi, akan semakin tersentralisasi. Penjabat kepala daerah mungkin tidak mempengaruhi hasil partai nasional, tetapi mereka dapat mempengaruhi hasil pemilu daerah. Tidak berpengaruh jika tidak segera. Pj Gubernur diangkat oleh pemerintah, sehingga bisa saja berakhir menjadi pendukung Presiden Jokowi.

 

Lemahnya legitimasi pejabat sementara

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kepala daerah adalah pelaksana tugas sehari-hari atau penjabat kepala daerah apabila kepala daerah atau kepala badan tertentu berhalangan (Ramadhani, 2022). Bahkan, diketahui bahwa di beberapa daerah yang mengalami kekosongan kepemimpinan karena kasus hukum, pensiun, atau meninggal dunia, telah terjadi praktik pengangkatan atau pelaksana jabatan sementara sebagai Kepala Daerah. Pelaksana tugas kepala daerah atau disebut juga dengan penjabat sementara menjalankan sisa masa jabatan kepala daerah.

Pengangkatan pejabat sementara di sejumlah daerah dimaksudkan agar operasional pemerintahan tetap berjalan tanpa kehadiran kepala daerah tetap. Namun dalam kenyataannya, kewenangan pelaksana tugas terkendala karena tidak dapat mengambil tindakan atau kebijakan strategis yang akan menghambat jalannya pemerintahan. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka penting adanya aturan-aturan tentang PLT, antara lain yang berkaitan dengan kewenangan, perlindungan hukum, kualifikasi menjadi pelaksana tugas, dan sanksi bagi pelaksana yang menyalahgunakan wewenang.

Jangan sampai pencalonan PLT bermuatan politis karena dia pejabat pemerintah yang bisa jadi perpanjangan tangan pemerintah pusat; Persoalan ini menjadi sangat penting mengingat banyaknya daerah yang dikepalai PLT, terutama daerah yang dikuasai PLT selama dua tahun. Pejabat publik sementara terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat memaksa di masyarakat atau publik, yang menimbulkan komplikasi hukum tersendiri di tengah tingginya tingkat pergantian pejabat pemerintah.

Sejauh mana pejabat publik interim atau pengganti diperbolehkan mengambil keputusan yang bersifat mengikat masyarakat dan kebijakan publik yang bersifat strategis merupakan persoalan yang muncul terkait dengan kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pejabat publik interim. Di sisi lain, kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan publik yang bersifat strategis tetap berada pada pejabat definitif, sehingga menimbulkan pertanyaan siapa yang harus bertanggung jawab jika terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik untuk sementara.

Menurut Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi, keputusan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk tidak merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) akan menimbulkan sejumlah masalah, yang paling mendesak di antaranya adalah legitimasi penjabat kepala daerah. Penjabat kepala daerah, seperti gubernur, bupati, atau walikota yang masa jabatannya berakhir sebelum 2024, akan dipertanyakan legitimasinya, menurut Burhanuddin.

Sesuai UU Pilkada, baik pemilihan kepala daerah (pilkada) 2022 maupun 2024 akan dilakukan pada hari yang sama di tahun 2024. Akan ada tambahan 270 kepala daerah sementara jika pemungutan suara ditunda hingga tahun 2024. Mereka tidak sah karena mereka tidak dipilih oleh rakyat itu sendiri. Saya tidak mengerti bagaimana kita bisa memberikan mandat kepada pejabat, apalagi yang berlangsung selama dua tahun pada ayat (3), dan pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing diisi oleh Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Walikota masing-masing, sampai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, dan Walikota masing-masing.

Ketika pemerintah federal menunjuk pejabat sementara untuk mengambil kendali atas pemerintah negara bagian dan kota, mereka mengutip artikel ini sebagai pembenaran hukum untuk melakukannya. Artinya, daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2022 harus memiliki pejabat sementara untuk menjabat hingga pemilihan kepala daerah yang dijadwalkan berikutnya pada tahun 2024. Masa jabatan pemegang jabatan sebagai pegawai honorer akan berlangsung selama itu. Hal ini tentu saja bisa diperdebatkan, karena mengisyaratkan bahwa daerah yang seharusnya dipimpin oleh kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat justru akan dipimpin oleh presiden melalui perluasan kewenangannya.

Septa Dinata, Pengamat Politik Lembaga Kebijakan Publik Paramadina, menilai pemerintah pusat tidak seharusnya bertanggung jawab atas pengangkatan ratusan pejabat sementara kepala daerah. Mempertimbangkan perkiraannya, beberapa kelompok mungkin mencoba memanfaatkan gelombang popularitas penunjukan tersebut. memperkuat kedudukan dan pengaruh elektoral mereka.

Karena mereka yang terpilih untuk memimpin daerah hingga dua tahun sebelum Ziarah Serentak 2024, jika akhirnya dilaksanakan, akan memiliki kesempatan untuk melakukannya. Banyak individu pada akhirnya akan mencoba untuk menyakiti orang tersebut dalam peran akting ini. Anda bisa menjadi aktor sementara untuk waktu yang lama dengan bayaran rendah. Ini bisa mengarah pada bentuk politik komersial. Pemerintahan baru dapat berfungsi atas dasar otoritas yang diperolehnya; barangsiapa diberi wewenang oleh undang-undang dalam hal ini adalah subjek hukum, dan ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang dinyatakan dalam wewenang itu. Otoritas, dalam hukum publik, identik dengan kontrol.

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia saat ini secara intrinsik terkait dengan struktur pemerintahan daerah. Setelah pelaksanaan otonomi daerah, diharapkan bahwa pemerintah daerah dapat diatur dengan lebih baik, dan sumber daya dapat dimanfaatkan dengan lebih baik daripada sistem sentralisasi sebelumnya. Namun, otoritas pusat tetap menguasai aspek-aspek kehidupan tertentu, termasuk ekonomi, agama, dan hubungan internasional.

 

Revisi Kebijakan Mengangkat Pj Kepala Daerah

Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri, mengatakan pada 2022 dan 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan memilih gubernur sementara. Pada 2022 dan 2023, ketika masa jabatan sejumlah kepala daerah berakhir karena pemilihan umum, ratusan pejabat kepala daerah, termasuk gubernur, bupati, dan walikota, akan dilantik. Baru pada tahun 2024 akan ada lagi pertemuan regional. Apabila sudah sampai di tingkat provinsi, maka akan disampaikan kepada Presiden oleh Menteri Dalam Negeri.

Presiden memiliki keputusan akhir. Gubernur kemudian memberikan rekomendasi kepada Menteri Dalam Negeri untuk bupati dan walikota. Mengingat Presiden Jokowi adalah anggota partai politik, hal ini pasti akan menjadi kontroversi.

Jangan ulangi kesalahan dengan menyebut perwira polisi senior sebagai pimpinan sementara. Di Jawa Barat, misalnya, Komjen Pol M. Iriawan dipilih oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk menjabat sebagai Pj Gubernur. Hal ini bertentangan dengan tujuan reformasi untuk mengurangi keterlibatan polisi dan TNI dalam pertemuan masyarakat pemerintah. Tanpa ragu, ini adalah regresi. Untuk alas an sederhana bahwa penulis mengklaim hanya spesialis materi pelajaran yang mampu menampilkan profesionalisme. Gelar sekretaris daerah sepertinya lebih cocok untuk pegawai biasa.

Lebih mengetahui masalah pemerintahan daerah daripada kepala daerah dan wakil kepala daerah, sekretaris daerah berfungsi sebagai jenderal dalam aparatur sipil negara. Pelayanan dalam pengaturan administrasi, perencanaan, dan manajemen untuk semua organisasi perangkat daerah.

Bertanggung jawab untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah sumber daya, keuangan, infrastruktur, dan fasilitas dan menyelenggarakan pengembangan kebijakan pemerintah daerah. Tanggung jawab dan peran ini sangat strategis, karena mencakup koordinasi penyusunan peraturan daerah dengan DPRD, menafsirkan dan melaksanakan kebijakan lintas program, dan menginformasikan kebijakan dan arahan baru kepada semua SKPD.

Sekretaris daerah digambarkan di sini sebagai orang yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan, memfasilitasi, dan menyuntikkan energi ke dalam kegiatan tersebut. Konsekuensinya, sekretariat daerah harus diberi peran sebagai pelaksana tugas kepala daerah sementara jabatan pelaksana tugas kepala daerah kosong. Dalam rangka memberikan bantuan ahli kepada masyarakat umum, ini mungkin terbukti bermanfaat.

Menurut penulis studi, Perludem titi Anggaraini, sebaiknya menunjuk sekretaris daerah dalam kapasitas pelaksana. Itu karena ada sekretaris daerah yang bertanggung jawab di setiap daerah. Selain itu, Pasal 201 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menyebutkan bahwa: (10). Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat pejabat sementara Gubernur dari jabatan pimpinan menengah sampai dengan pelantikan Gubernur.

Seperti yang telah ditunjukkan di atas, mereka sepakat, baik secara konseptual maupun hukum, untuk mendelegasikan kewenangan kepada sekretaris daerah untuk menjabat sebagai kepala daerah dalam hal kepala daerah tidak ada. Agar pemerintah dapat menjalankan tugasnya dalam menjalankan roda pemerintahan. Sekda merupakan pejabat tertinggi PNS, seperti yang diketahui. Sekretaris daerah tidak memiliki konflik kepentingan dalam pemilihan umum yang memilih kepala daerah, meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka akan sepenuhnya netral.

 

Kesimpulan

Salah satu isu tersebut adalah proses penunjukan kepala daerah sementara yang membutuhkan penunjukan presiden dengan dukungan Kementerian Dalam Negeri. Sejumlah faktor, termasuk pencalonan langsung presiden atau menteri dalam negeri untuk penjabat sementara dan kekhawatiran tentang legitimasi posisi itu dan potensi bias orang tersebut, telah berkontribusi pada persepsi ini. Harus ada perubahan siapa yang berwenang menunjuk direktur daerah interim. Penjabat kepala daerah harus diangkat sesuai dengan kriteria hukum yang ditetapkan. Tidak lagi harus menunggu kemauan politik presiden atau pemikiran menteri dalam negeri. Perintah sederhana dari Menteri Dalam Negeri yang menunjuk Sekda sebagai Pjs sementara sudah cukup.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAPHY

Aji, A. M. (2016). Pemakzulan kepala daerah di era otonomi daerah dalam perspektif politik dan hukum; Analisis kasus prosesi pemakzulan Bupati Garut Aceng Fikri.

 

Assyayuti, M. M. (2022). Urgensi Penataan Ulang Mekanisme Pengisian Jabatan Penjabat Kepala Daerah Perspektif Demokrasi Konstitusional. Lex Renaissance, 7(2), 281�295.

 

Ghafur, J. (2023). Demokratisasi Internal Partai Politik Era Reformasi: Antara Das Sollen dan Das Sein. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 30(1), 1�25.

 

Hanafi, R. I. (2014). PEMILIHAN LANGSUNG KEPALA DAERAH DI INDONESIA: BEBERAPA CATATAN KRITIS UNTUK PARTAI POLITIK DIRECT ELECTION FOR LOCAL LEADERS IN INDONESIA: SOME CRITICAL NOTES FOR POLITICAL PARTIES. Jurnal Penelitian Politik| Volume, 11(2), 1�16.

 

ISMAIL NURDIN, M. S. (2017). Etika Pemerintahan: Norma, Konsep, dan Praktek bagi Penyelenggara Pemerintahan. Lintang Rasi Aksara Books.

 

Kaloh, J. (2009). Kepemimpinan Kepala Daerah (Pola kegiatan kekuasaan dan perilaku kepada daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah).

 

Mulyono, G. P., & Fatoni, R. (2020). Demokrasi sebagai wujud nilai-nilai sila keempat Pancasila dalam pemilihan umum daerah di Indonesia. Citizenship Jurnal Pancasila Dan Kewarganegaraan, 7(2), 97�107.

 

Nasution, E. (2016). Problematika pendidikan di Indonesia. Mediasi, 8(1).

 

Purwidayani, V., & Slamet, K. (2022). Retrospective Voting Pada Pemilihan Kepala Daerah Di Indonesia: Akuntabilitas Keuangan dan Kinerja. Jurnal Pajak Dan Keuangan Negara (PKN), 4(1S), 220�235.

 

Ramadhani, F. (2022). Analisis Pengaturan Kewenangan Pejabat Pelaksana Tugas Sementara Kepala Daerah Ditinjau Dari Asas Kepastian Hukum. Universitas Muhammadiyah Malang.

 

Rampengan, M. (2016). Analisis Efektifitas Dan Efisiensi Pelaksanaan Anggaran Belanja Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Manado. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, 16(3).

 

Sihombing, E. N. A. M., & Hadita, C. (2023). Kewenangan Presiden Membentuk Undang-Undang Dalam Sistem Presidensial. Reformasi Hukum, 27(1), 14�24.

 

Simanjuntak, D. (2017). Pengisian Jabatan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Untuk Mewujudkan BPK Yang Independen. Jurnal Hukum & Pembangunan, 47(2), 239�266.

 

Sudaryo, Y., Sjarif, D., Sofiati, N. A., & Bandung, S. I. (2021). Keuangan di era otonomi daerah. Penerbit Andi.

 

Tampubolon, I. (2022). Tinjauan Yuridis Prerogatif Presiden Menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

 

Zarkasi, A. (2010). Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan. INOVATIF| Jurnal Ilmu Hukum, 2(4).

 

Copyright holder:

Angga Rosidin, Iip Mualip, A'rif Rokhman, Leo Agustino, Rina Yulianti (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: