Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 5, Mei 2023

 

EFEKTIFITAS KONSELING BEHAVIORISTIK DENGAN TEKNIK DESENSITISASI UNTUK MENGURANGI NOMOPHOBIA DI DALAM RUANG KELAS

 

Venazmi Livia Buamona, Suryani Hi Umar, Nursin M Sapil, Happy Karlina M

Fakultas Tarbiyah Ilmu Keguruan, IAIN Ternate, Ternate, Indonesia

Universitas Negeri Jakarta, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Kondisi remaja di tengah arus perkembangan teknologi memiliki dampak negatif, di samping adanya manfaat positif yang dirasakan para remaja Ketika mereka sudah mengenal smartphone, mereka kemudian melupakan kondisi di sekitar mereka, sehingga menimbulkan kecanduan pada smartphone tersebut. Fenomena dikenal dengan Nomophobia, yakni penyimpangan psikis yang dipengaruhi oleh ketergantungan seseorang terhadap gadget. Remaja yang termasuk dalam fenomena ini, membutuhkan langkah konseling. Tujuan dalam penelitian ini yakni mendeskripsikan langkah konseling yang efektif dengan metode behavioristik dengan teknik desensitisasi untuk mengurangi perilaku nomophobia. Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan telaah pustaka, sehingga mendapatkan hasil bahwa langkah-langkah dalam pelaksanaan konseling behavioristik dengan teknik desensitisasi sistematis pada perilaku nomophobia dapat dilakukan melalui 1) analisis diagnosis kasus, 2) perlakuan (treatment) konseling behavioristik, 3) memberikan follow up sebagai upaya dalam menindak lanjuti permasalahan nomophobia pada siswa. Mengenai ke-efektifitas dari pelaksanaan konseling pada perilaku siswa penderita nomophobia, peneliti mendapatkan hasil bahwa konseling behavioristik dengan teknik desensitisasi digolongkan sangat terstruktur, dikarenakan meliputi beberapa instrument yakni 1) need assesment atau membina hubungan baik, 2) goal setting, 3) tahap awal penerapan teknik konseling (treatment), 4) mengidentifikasi situasi-situasi yang menimbulkan ketegangan kecemasan konseli dan 5) feed back atau umpan balik. Sehingga teknik konseling behavioristik sebagai langkah mereduksi nomophobia dapat dilakukan oleh konselor untuk memperbaiki pola tingkah lakunya dengan melakukan desensitisasi atau gerak-gerak rileksasi yang menyenangkan untuk menurunkan kecemasan siswa terhadap smartphone-nya pada saat belajar. Di sisi lain, efektifitas ini juga membantu untuk mengurangi frekuensi siswa dalam menggunakan smartphone dengan cara mengontrol atau manajemen diri, serta kontrol orang tua terhadap anak.

 

Kata Kunci: konseling; behavioristik; desensitisasi; sistematis dan; nomophobia

 

 

Abstract

The condition of adolescents in the midst of technological developments has a negative impact, in addition to the positive benefits felt by adolescents. When they are familiar with smartphones, they then forget the conditions around them, causing addiction to these smartphones. The phenomenon is known as Nomophobia, which is a psychological disorder that is influenced by a person's dependence on gadgets. Teenagers who are included in this phenomenon, need counseling steps. The purpose of this study is to describe effective counseling steps using behavioristic methods with desensitization techniques to reduce nomophobic behavior. The researcher used a qualitative method with a literature review approach, resulting in the results that the steps in implementing behavioristic counseling with systematic desensitization techniques on nomophobia behavior can be carried out through 1) case diagnosis analysis, 2) behavioristic counseling treatment, 3) providing follow-up as an effort to follow up on the problem of nomophobia in students. Regarding the effectiveness of the implementation of counseling on the behavior of students with nomophobia, the researchers found that behavioristic counseling with desensitization techniques was classified as very structured, because it included several instruments namely 1) need assessment or fostering good relations, 2) goal setting, 3) early stages of implementation counseling techniques (treatment), 4) identify situations that give rise to counselee's tension and anxiety and 5) feed back or feedback. So that behavioristic counseling techniques as a step to reduce nomophobia can be carried out by counselors to improve their behavior patterns by desensitizing or pleasant relaxation movements to reduce students' anxiety about their smartphones while studying. On the other hand, this effectiveness also helps to reduce the frequency of students using smartphones by controlling or self-management, as well as parental control over children.

 

Keywords: behavioristic; counseling; systematic; desensitization; and nomophobia

 

Pendahuluan
����� Remaja di era modern saat ini mendapatkan dampak negatif atas perkembangan teknologi komunikasi, sehingga membuat para remaja memiliki kecanduan pada smartphone. Fenomena ini kemudian dikenal dengan Nomophobia, yakni penyimpangan psikis yang dipengaruhi oleh ketergantungan seseorang terhadap gadget. Dampak dari nomophobia pada remaja, dapat merusak diri, menimbulkan agresi, dan merusak komunikasi secara langsung dan banyak orang berupa munculnya rasa tidak nyaman oleh orang yang berada didekat penderita nomophobia (Yildirim, 2014). Remaja yang terkena dampak Nomophobia, membutuhkan langkah konseling oleh konselor. Sehingga pada penelitian ini, peneliti akan mendeskripsikan langkah konseling yang efektif dengan metode behavioristik (Willis, 2013), dengan teknik desensitisasi untuk mengurangi perilaku nomophobia, dimana, remaja penderita nomophobia dapat menghabiskan banyak waktu untuk sekedar mengecek mobile phone-nya saja, meskipun tanpa ada aplikasi yang dioperasikan.

Kecendrungan seperti nomophobia merupakan salah satu kekhawatiran yang hampir dijumpai di kalangan guru. Dengan demikian perlu adanya langkah tepat dalam menangani maupun dalam memberikan bimbingan serta langkah-langkah yang tepat sasaran dalam mengurangi ketergantungan smartphone (nomophobia). Salah satu langkah yang perlu dilakukan untuk mengatasi nomophobia yakni memberikan Konseling Behavioristik dengan pendekatan Teknik Desensitisasi. Model Konseling Behavioristik dengan Teknik Desensitisasi Sistematis berupaya mengkondisikan individu dari yang tidak nyaman menjadi lebih tenang dan rileks dalam proses pembelajaran sehingga model konseling tersebut diprediksikan mampu meminimalisasi tingkat kecemasan pada perilaku Nomophobia (Rakhmawati, 2017).

Penelitian Aufa, dalam mengatasi permasalahan peserta didik melalui konseling individualsebanyak tiga kali menggunakan pendekatan behavioristik dengan teknik desensitisasi sistematis sangat membantu peneliti untuk menuntaskan permasalahan yang dialami peserta didik. Setelah dilakukan konselingindividu sebanyak tiga kali peserta didik sudah mampu menunjukkan perubahan yang signifikan dalam perubahan perilakunya dan tetap nyaman jika disuruh menjawab pertanyaan guru di depan kelas (Aufa, 2016). Penelitian (Azizah, 2018) juga menjelaskan bahwa, untuk membantu mengatasi permasalahan berkaitan dengan nomophobia diperlukan pendekatan yang dapat digunakan untuk mereduksi nomophobia dengan terapi tingkah laku (behavior) yaitu teknik desensitisasi sitematis (Aziz, 2019).

Konseling Behavioristik merupakan bagian dari teori-teori konseling dengan memiliki pendekatan yang berorientasi pada perubahan perilaku menyimpang dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar. Pendekatan Konseling behavioristik dapat digunakan sebagai bimbingan dan konseling dalam membentuk perubahan tingkah laku peserta didik yang terkena Nomophobia. Behavioristik bertujuan untuk memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku yang maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan perilaku yang diinginkan (Gerald Correy, 2005). Seseorang telah dianggap belajar apabila mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Pandangan behavioristik mengakui pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus, dan keluaran atau output yang berupa respon. Penguatan (reinforcement) adalah faktor penting dalam belajar. Konseling behavioristik sendiri membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian dari para konselor sebagai kriteria pengukuran keberhasilan konseling (Namora Lumongga, 2011).

Teknik konseling behavioristik, memiliki beberapa cara diantaranya (a) desensitisasi sistematis, teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia, tetapi keliru apabila menganggap teknik ini hanya bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal ketakutan menghadapi ujian, ketakutan yang digeneralisasi, kecemasan neorotik serta impotensi dan frigiditas seksual; (Gerald Correy, 2009) (2) Terapi Implosif atau Pembanjiran yakni, konselor memunculkan stimulus-stimulus penghasil kecemasan; (Firosad, Nirwana, & Syahniar, 2016) (3) Latihan Asertif, diterapkan pada situasi-situasi interpersonal dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan dan menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar (Gerald Correy, 2009). (4) Terapi Aversi, dilakukan untuk meredakan perilaku simptomatik dengan cara menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan) sehingga perilaku yang tidak dikehendaki (simptomatik) terhambat kemunculannya; dan (5) Pengondisian operan, yaitu tingkah laku yang memancar yang menjadi ciri organisme aktif. (Gerald Correy, 2019).

Kecenderungan ini berakibat pada terjangkitnya wabah Syndrom Nomophobia yang dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan kepribadian, menurunnya minat belajar, penurunan prestasi akademik serta sikap menjauh belajar siswa. Menurut Dasiroh dkk. Dalam Febbyanti, mereka yang menderita Nomophobia ditandai dengan perilaku kecemasan yang berlebihan seperti, tidak mampu menon-aktifkan ponselnya untuk beberapa waktu, rasa khawatir yang ber-lebihan jika kehabisan daya baterai, terus-menerus memeriksa pesan, panggilan, email baru dan jejaring sosial. (Gerald Correy, 2019).

Biasanya penderita Nomophobia umumnya kecendrungan dengan tiktok, facebook, instagram, whatsApp, twitter. Mereka menggunakan smartphone sebanyak puluhan kali dalam sehari karena selalu melihat informasi terbaru dari smartphone-nya dan selalu membuka smartphone ketika sedang waktu luang, sehingga kebiasaan tersebut secara langsung berpengaruh dikehidupan sehari-hari. Selain itu perlu diketahui bahwa Nomophobia pada dasarnya tidak termasuk pada pembisnis online (Online Shopping), pekerja kantoran mapun lainnya, yang status kerjanya berhubungan dengan akses internet, namun dalam penggunaanya hanya hal tertentu yang dibutuhkan saat jam kerja, maupun informasi penting dalam aktifitas kerjanya, berupa pengiriman file, deksripsi produk, metting online dll.

Tujuan pelaksanaan penelitian ini yakni mendeskripsikan langkah konseling yang efektif dengan metode behavioristik dengan teknik desensitisasi untuk mengurangi perilaku nomophobia, yang kemudian penulis jabarkan dalam dua rumusan masalah penelitian yakni; 1) Untuk mengetahui langkah Konseling Behavioristik dengan Teknik Desensitisasi untuk mengurangi perilaku Nomophobia dan 2) Untuk mengetahui Efektifitas Konseling Behavioristik dengan Teknik Desensitisasi terhadap perilaku Nomophobia.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menyelidiki fenomena sosial dan masalah nomophobia dengan pendekatan konseling behavioristik teknik desensitisasi (Sujarweni, 2014). Dalam menelaah tentang nomophobia, peneliti juga menganalisis dengan metode analisis deskriptif yaitu penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang, yang tujuan utamanya adalah mengembangkan aspek teoritis maupun aspek manfaat praktis (Sukardi, 2021). Sehingga dengan menggunakan metode penelitian ini peneliti dapat menyelesaikan masalah yang diteliti, yakni langkah konseling yang efektif dengan metode behavioristik dengan teknik desensitisasi untuk mengurangi perilaku nomophobia.

Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Apabila peneliti menggunakan dokumentasi, maka dokumen atau catatanlah yang menjadi sumber data, sedangkan isi catatan subjek penelitian atau variabel penelitian.. 1) Sumber Primer yakni; buku-buku yang menjelaskan tentang teori-teori Konseling Behavioristik dengan Teknik Desensitisasi menurut para ahli. Kemudian untuk pengidap Syndrom Nomophobia ditandai dengan adanya skala tingkat kecemasan terhadap smartphone-nya. Sedangkan Sumber Sekunder yakni; sumber-sumber yang diambil dari sumber yang lain yang tidak diperoleh dari sumber primer. Untuk itu, sumber data sekunder meliputi skripsi, jurnal maupun tulisan-tulisan yang relevan dengan hal pokok dalam penelitian ini (Arikunto, 2006).

 

Hasil dan Pembahasan

1.   Langkah Pelaksanaan Konseling Behavioristik Teknik Desensitisasi Sistematis Pada Perilaku Nomophobia

King et al., 2013 dalam Aziz mengemukakan, penderita nomophobia selalu merasakan cemas dan ketakutan yang berlebihan ketika meletakkan smartphone yang mereka miliki sehingga selalu membawanya kemanapun pergi. Ketergantungan mereka yang menderita nomophobia ini terlihat dari cara mereka menggunakan smartphone yang dimiliki seperti takut akan kehabisan baterai, selalu mengecek notifikasi yang masuk, mengupdate status ataupun melihat informasi terbaru didalam smartphone-nya. Nomophobia sendiri merupakan gejala pada dunia modern dan hanya terjadi pada saat sekarang yang mana itu menggambarkan ketidaknyamanan atau kecemasan bagi mereka yang tidak bisa jauh smartphone ataupun alat komunikasi virtual lainnya (Aziz, 2019).

Beberapa tanda-tanda yang mencolok apabila seseorang mengalami nomophobia. Seperti yang dikutip diantaranya: 1) terobsesi dengan ponsel miliknya, yaitu selalu mengecek disetiap ada kesempatan, khawatir bila ada panggilan masuk atau pesan yang terlewatkan. 2) merasa gelisah apabila baterai handphone yang digunakan tersebut mulai habis. Tetapi sebagian masyarakat menyiasati dengan menggunakan powerbank, tujuannya agar selalu terjaga dan memastikan baterai handphone atau gadgetnya dalam keadaan penuh. 3) selalu membawa dan menggunakan ponsel kemana saja, termasuk ke kamar mandi, kamar tidur, diatas motor dan di dalam mobil. 4) memiliki lebih dari satu ponsel, sebagai cadangan apabila salah satunya hilang atau tidak berfungsi. Biasanya orang yang memiliki banyak ponsel tersebut beralasan untuk menghilangkan kegelisahan dan ketakutan akan kehilangan ponsel. 5) merasa panik apabila tidak bisa menemukan handphone atau lupa ketika menaruh handphone. 6) timbul kecemasan berlebih apabila handphone yang digunakan tidak berfungsi atau kehilangan sinyal, bahkan apabila pulsa mulai menipis.

Ditambah lagi handphone dirinya tidak dapat terkoneksi dengan jaringan internet. Seorang nomophobia akan mencari cara agar dapat menghubungkan ponselnya dengan internet. Tanda yang mencolok lainnya adalah lebih peduli terhadap isu yang berkembang di media sosial daripada yang terjadi di lingkungan sekitarnya, dan yang terakhir adalah jarang bersosialisasi langsung dengan orang lain karena lebih nyaman bersosialisasi lewat media sosial yang dapat diakses setiap saat dari ponselnya.

Dari uraian gambaran teori dan hasi riset ilmiah diatas dapat memberikan suatu kesimpulan bahwa, penderita nomophobia tidak bisa menjauh atau setiap aktifitasnya harus berhubungan dengan smartphone-nya, baik remaja, mahasiswa maupun orang-orang yang telah berada usia lanjut. Namun pada kondisi tertentu dijumpai pula anak-anak usia >5 tahun sudah mulai diperbiasakan dengan menggunakan smartphone. Hal tersebut tentu menjadi sesuatu yang negatif, terutama pada usia memasuki remaja akan terbiasa dan kecanduan terhadap smartphone dan dapat mengidap syndrom nomophobia.

Selain itu, apabila dicermati, sesuai dengan realitas saat ini, kondisi remaja sangat memprihatinkan, dimana mereka lebih sibuk dengan akun media sosialnya terutama Facebook, Intagram, tiktok, twitter, dll maupun akun lainnya dibandingkan dengan membaca informasi-informasi penting berupa koran, media online maupun surat kabar lainnya. Umumnya mereka mengabaikan hal-hal tersebut dan lebih mengutamakan notifikasi-notifikasi berupa, pesan masuk, komentar maupun notifikasi lainnya. Terlebih lagi setiap akun menyediakan fitur-fitur terbaik yang dapat memberikan akses pengguna dapat melakukan apa yang diinginkan berupa meng-upload foto, video, maupun seluruh aktifitas kesehariannya perlu diketahui oleh publik di media sosial dan juga pada peminat Game PUBG umumnya menggunakan waktunya selama 1 x 24 jam untuk bermain Game.

2.   Langkah Pelaksanaan Konseling Behavioristik Teknik Desensitisasi Sistematis Pada Nomophobia

Konseling Behavioristik dengan Teknik Desensitisasi Sistematis adalah suatu proses pemberian bantuan kepada konseli/peserta didik guna memperbaiki pola tingkah lakunya dengan melakukan desensitisasi atau gerak-gerak rileksasi yang menyenangkan dan digunakan untuk menurunkan kecemasan serta meningkatkan motivasi belajar peserta didik. Gerakan rileksasi ini memungkinkan penderita nomophobia untuk nyaman dalam proses pembelajaran. Tahap, agar dalam proses konseling dapat berjalan sesuai dengan tahapa-tahapan konseling. Konsep konseling sendiri terbagi atas 3 tahap yaitu 1) seleksi peserta didik penderita nomophobia, 2) proses pelaksanaan konseling dan 3) membuat laporan hasil evaluasi konseling yang diamati.

Tahapan melaksanakan konseling behavioristik untuk menurunkan Nomophobia peserta didik dirincikan sebagaimana berikut: 1) Identifikasi Kasus, 2) Analisis dan diagnosis kasus, 3) Prognosis dalam konseling, 4) Treatment, 5) Follow Up.

3.   Efektifitas Palaksanaan Konseling Behavioristik Dengan Teknik Desensitisasi Sistematis Untuk Mengurangi Nomophobia Di Dalam Ruang Kelas

Tahapan-tahapan dalam konseling behavioristik dengan teknik desensitisasi sistematis, digolongkan menjadi lima tahapan yaitu assesment, goal setting, penerapan teknik konseling, evaluasi serta feed backatau umpan balik (Richard & Jones, 2011).

a.   Need Assesment Atau membina Hubungan Baik

Pada kegiatan ini di dimulai dari rapport, eksplorasi diri peserta didik, identifikasi masalah, sampai merumuskan masalah atau menetapkan inti masalah (problem limit). Konseling mengumpulkan informasi dengan mengemukakan keadaan sebenarnya saat itu, apa yang akan diperbuat peserta didik, dan menentukan bantuan macam apa yang akan diberikan pada peserta didik. Dalam kegiatan pertama diadakan pertemuan untuk menciptakan hubungan baik antara konseli dengan konseli selama proses konseling hingga mencapai tujuannya. Memantapkan kesediaan peserta didik untuk dibantu, sehingga peserta didik dapat menjalani proses konseling secara sukarela dan mendorong konseli untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya secara bebas berkaitan dengan masalah stress akademik yang dialaminya.

b.   Goal setting

Menentukan tujuan dari proses konseling berdasarkan informasi yang telah diperoleh dari tahap sebelumnya, konselor membuat seperangkat instrument untuk merumuskan tujuan dari konseling yang akan dijalani tersebut pada penderita nomophobia. Dalam pertemuan II ini melanjutkan proses konseling yang sudah dilakukan terhadap peserta didik, konselor akan mengupayakan pembinaan keterlibatan dan hubungan baik dengan peserta didik. Kemudian dilakukan kesepakatan waktu dan susunan kegiatan mencapai kesepakatan peserta didik dengan konselor.

c.   Penerapan Teknik Konseling (Treatment)

1)  Memberikan Rangkuman Pertemuan Sebelumnya

Pada kegiatan ini, konselor memberikan deskripsi rangkaian kegiatan sebelumnya terkait dengan perilaku peserta didik. Dalam hal Nomophobia, digambarkan dengan perilaku ketergantungan peserta didik terhadap smartphone-nya, yang dapat memberikan dampak yang negatif terhadap prestasi peserta didik. Selain itu, dapat mengganggu proses belajar mengajar dikelas, membawa sikap maladaptif antra sesama peserta didik di sekolah maupun tempat lain.

2)  Memberikan Rasional

Pada tahap ini konseling memberikan deksripsi permasalahan yang dialami oleh peserta didik terutama dalam perilaku nomophobia, berupa frekuensi penggunaan smartphone yang terlalu sering, sehingga hal tersebut yang menjadikan kecemasan pada peserta didik saat tidak menggunakan smartphone-nya. Menggambarkan pula dampak negatif terhadap perilaku nomophobia. Maka mulai dilaksanakan konseling dengan teknik desensitisasi sistematis yang dapat membantu peserta didik untuk menghilangkan kecemasan/kegelisahan dan kemudian membuat peserta didik akan merasa lebih santai, sehingga nantinya bisa terlepas dari kecemasan yang berlebihan terhadap smartphone-nya.

3)  Memberikan Ikhtisar

Dalam prosedur ini, peserta didik diharapkan belajar untuk rileks. Setelah peserta didik bisa rileks, konselor akan meminta untuk membayangkan beberapa hal tentang seluruh aktivitas peserta didik mulai dari pagi � malam, kemudian berangsur-angsur menuju ke keadaan yang paling menggelisahkan saat kegiatan peserta didik belum selesai. Ketika hal tersebut dilakukan, relaksasi akan mengantikan ketegangan. Dalam situasi-situasi kegiatan yang banyak dengan mengutamakan yang utama pada akhirnya tidak akan membuat tegang dan gelisah hingga mengakibatkan cemas yang berlebihan pada smartphone peserta didik.

4)  Memastikan Pengertian Dan Persetujuan Konseli

Menjelaskan apa dan mengapa teknik desensitisasi diberikan pada peserta didik, dengan tujuan agar peserta didik yakin teknik ini dapat membantu menghilangkan kecemasannya. Dalam setiap pertemuan treatment, konselor melakukan latihan penenangan agar peserta didik benar-benar dalam kondisi rileks.Pada langkah ini juga konselor memberikan penjelasan tentang apa yang harus diawasi oleh peserta didik dari masalah kecemasan yang dialami itu dan mengapa pengawasan diri itu perlu dilakukan, menekankan pada peserta didik bahwa teknik itu dapat digunakan oleh peserta didik sendiri, dapat digunakan untuk mengawasi perilaku pribadi, dan dapat digunakan sesering mungkin dalam latar kehidupan nyata.

5)  Mengidentifikasi Situasi-Situasi Yang Menimbulkan Ketegangan Kecemasan Peserta Didik.

a)  Membantu konseli mengidentifikasi berbagai situasi yang menimbulkan kecemasan terhadap smarphonennya.

b)  Membantu konseli untuk menuliskan situasi problemnya dalam suatu daftar

c)  Memeriksa kembali situasi yang didefinisikan oleh peserta didik.

d)  Evaluasi hasil konseling
Pada kegiatan evaluasi hasil konseling ini, dapat dilakukan dengan tiga tahap, yaitu: 1) evaluasi segera (dengan menanyakan Understanding, Confort, dan Action segera setelah layanan diberikan), 2) evaluasi jangka pendek (untuk memantau action yang dilakukan peserta didik dalam jangka waktu dekat), dan 3) evaluasi jangka panjang (memantau keberhasilan layanan apakah berhasil atau tidak dalam jangka waktu yang lama).

4.   Minimalisir Perilaku Nomophobia

Nomophobia sendiri dominan pada kalangan remaja yang notabene-nya sebagai pelajar maupun pada masa puberitas. Berbagai macam fitur smartphone yang saat memberikan ketertatikan tersendiri bagi pengguna. Dalam hal untuk meminimalisir penderita Syndrome Nomophobia perlu diperhatikan beberapa hal penting menurut (Young, 2004) menyebutkan bahwa terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku kecanduan menggunakan smartphone pada remaja, yaitu:

a)  Memiliki Akses Bebas (Free and Unlimited Access) saat remaja memiliki smartphone pribadi pada umumnya mereka akan merasa telah memiliki akses yang tidak terbatas dan bebas biaya untuk memenuhi kebutuhannya dalam menggunakan smartphone.

b)  Waktu yang tidak terjadwal (Huge Blocks of Unstructured Time) rata-rata remaja SMA/SLTA/SMK menggunakan waktunya untuk mengikuti kegiatan belajar yaitu selama 7-9 jam perhari. Sedangkan sisa waktu yang digunakan oleh remaja (peserta didik) yaitu untuk melakukan aktivitas mandiri seperti ekstrakurikuler, mengerjakan tugas, atau mengulang kembali materi pelajaran yang telah disampaikan. Penggunaan waktu yang bebas mengakibatkan remaja cenderung menggunakan waktunya tersebut untuk aktivitas-aktivitas rekreasional seperti menggunakan akses internet pada smartphone.

c)  Rendahnya kontrol orang tua (Newly Experienced Freedom From Parental Control) memiliki smartphone pribadi merupakan kebebasan baru bagi remaja (peserta didik) tanpa adanya kontrol dari orang tua. Kebebasan tanpa adanya kontrol dari orang tua merupakan suatu kondisi dimana remaja tidak lagi harus meminta izin kepada orang tua untuk menggunakan smartphone seperti sebelumnya. Ketika remaja telah memiliki smartphone pribadi maka mereka akan menghabiskan waktu dengan bermain game, mengirim pesan dengan teman-teman, dan menggunakan seluruh aplikasi yang terdapat pada smartphone. Tidak ada pemantauan terhadap yang dikatakan atau dilakukan (No Monitoring or Censoring of What They Say or Do).

d)  Dorongan penuh dari guru (Full Encouragement From Teachers) pada beberapa sekolah memberikan kebebasan kepada murid-muridnya untuk membawa smartphone. Kondisi tersebut dikarenakan tidak jarang guru meminta kepada murid-muridnya untuk mencari materi pelajaran atau informasi dengan cara mengakses internet. Peserta didik yang memiliki smartphone dengan akses internet didalamnya menyukai kegiatan yang diinstruksikan oleh gurunya tersebut.

e)  Intimidasi sosial dan keterasingan (Social Intimidation and Alienation) memasuki usia remaja tidak jarang bagi individu akan merasa terasingkan ketika berkomunikasi ataupun bersosialisasi dengan teman-temannya. Oleh karena itu, remaja (peserta didik) lebih memilih untuk berinteraksi melalui jejaring sosial dan pesan instan (instant messaging) melalui smartphone mereka. Hal tersebut dikarenakan remaja tidak diharuskan melakukan interaksi secara langsung yaitu bertatap muka dengan lawan bicaranya, sehingga remaja dengan mudah mampu mengatasi rasa takut, cemas, dan tekanan dari kehidupan nyata dengan berinteraksi melalui smartphone.

Dari beberapa uraian faktor utama dalam Nomophobia di atas, yang menjadi hal mendasar berada pada kontrol orang tua terhadap anak sehingga dalam frekuensi penggunaan smartphone, hanya pada hal-hal yang bermanfaat. Namun sebagai orangtua tidak seharusnya terpengaruh pada perkembangan jaman dengan semakin meningkatnya tekonologi yang memudahkan dalam melakukan segala sesuatu. Peran orangtua sangat penting bagi anak maupun dalam perkembangannya dapat mengurangi atau mengontrol dalam penggunaan smartphone dan beranggapan bahwa smartphone hanya sebagai mediator untuk memudahkan melakukan sesuatu dan memperhatikan dampak yang terdapat pada Nomophobia yang cenderung lebih dominan pada hal negatif, baik pada masalah kognitif anak, finansial, ekonomi maupun berbagai persoalan lainnya yang bersumber dari Nomophobia. Permasalahan dalam penggunaan smartphone ada empat menurut Goswami dan Singh (2016) yaitu penggunaan yang berbahaya, kebiasaan dalam penggunaan, gejala ketergantungan, dan masalah finansial atau keuangan. Pemakaian smartphone membuat pengguna mengabaikan kehidupan. Pada msalah finansial ini sejalan dengan penelitian Cain dan Cobs-Orme (2020) status ekonomi dalam keluarga terutama kedua orangtua.

Kesimpulan

Langkah-langkah konseling Behavioristik dengan Teknik Desensitisasi Sistematis pada perilaku Nomophobia yakni, melalui diantaranya; mendiskripsikan karakteristik penderita Nomophobia, kemudian melaksanakan proses konseling, membuat laporan dari hasil konseling, melalui 1) analisis diagnosis kasus, 2) perlakuan (treatment) konseling behavioristik, 3) memberikan follow up sebagai upaya dalam menindak lanjuti permasalahan Nomophobia pada peserta didik. Efektifitas konseling behavioristik pada perilaku peserta didik penderita Nomophobia karna proses pelaksanaan konseling behavioristik teknik desensitisasi sangat terstruktur yakni 1) Need Assesment atau membina hubungan baik, 2) Goal setting, 3) Tahap Awal Penerapan Teknik Konseling (Treatment), 4) Mengidentifikasi situasi-situasi yang menimbulkan ketegangan kecemasan peserta didik dan 5) Feed Back atau umpan balik. Teknik Desensitisasi Sistematis sangat efektif, sebab dapat memberikan bantuan kepada seseorang/konseli guna memperbaiki pola tingkah lakunya dengan melakukan desensitisasi atau gerak-gerak rileksasi yang menyenangkan dan digunakan untuk menurunkan kecemasan terhadap smartphone-nya, maupun membantu untuk mengurangi frekuensi dalam menggunakan smartphone. Upaya meminimalisasi kecendrungan perilaku Nomophobia perlu di lakukan melalui metode konseling, mengontrol/manajemen diri dan lebih penting pada kontrol orang tua terhadap anak dalam frekuensi penggunaan smartphone-nya, mengingat penggunaan smartphone memiliki dampak pada status ekonomi, prestasi siswa dan lainnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Almizri, Wahyu, & Karneli, Yeni. (2021). Teknik Desensitisasi Sistematik Untuk Mereduksi Gangguan Kecemasan Sosial (Social Anxiety Disorder) Pasca Pandemi Covid-19. Educouns Journal: Jurnal Pendidikan Dan Bimbingan Konseling, 2(1), 75�79.

 

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

 

Aryani, Ni Luh Putu Santi, Suarni, Ni Ketut, & Putri, Dewi Arum Widhiyanti Metra. (2014). Penerapan Konseling Behavioral dengan Teknik Desensitisasi Sistematis untuk Meminimalisasi Kecemasan Siswa dalam Menyampaikan Pendapat Kelas VIII 10 SMP Negeri 2 Singaraja Tahun Pelajaran 2013/2014. Jurnal Ilmiah Bimbingan Konseling Undiksha, 2(1).

 

Aufa, N. (2016). Mengatasi Kecemasan Menjawab Pertanyaan Di Depan Kelas Menggunakan pendekatan Behavioristik Teknik Desensitisasi Sistematis Siswa Kelas VIII SMP Bhakti Praja Kaliwungu Kudus Tahun Ajaran 2015/2016. Skripsi, Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus.

 

Aziz, Abdul. (2019). No Mobile Phone Phobia di Kalangan Mahasiswa Pascasarjana. KONSELI: Jurnal Bimbingan Dan Konseling (E-Journal), 6(1), 1�10.

 

Azizah, Faricha. (2018). Keefektifan teknik desensitisasi sistematis untuk mereduksi nomophobia pada siswa SMAN 1 Tulungagung. Universitas Negeri Malang.

 

Bragazzi, Nicola Luigi, & Del Puente, Giovanni. (2014). A proposal for including nomophobia in the new DSM-V. Psychology Research and Behavior Management, 155�160.

 

Bungin, Burhan. (2010). Metodologi Penelitian Social, Format-format Kualitatif dan Kuantitaif. Surabaya: Airlangga University Press.

 

Corey, Gerald. (2009). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.

 

Erford, Bradley T. (40AD). Teknik yang harus diketahui setiap konselor. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 40.

 

Firosad, Ahmad Masrur, Nirwana, Herman, & Syahniar, Syahniar. (2016). Teknik Desensitisasi Sistematik untuk Mengurangi Fobia Mahasiswa. Konselor, 5(2), 100�107.

 

Lubis, Namora Lumongga, & Teori, Memahami Dasar dasar Konseling Dalam. (2011). Praktik. Jakarta: Kencana.

 

 

Nursalim, Estiningsih dan Mohammad. (2018). Penerapan Strategi Desensitisasi Sistematis untuk Mengurangi No Mobile Phone Phobia (Nomophobia)di SMKN 1 Driyorejo, Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya.

 

Rachmawati, Indriyana. (2012). Teknik Desensitisasi Diri (Self-Desensitization) untuk Mengatasi Kecemasan Sosial Siswa Kelas VIII-D SMP Negeri 11 Surakarta.

 

Rakhmawati, Saidah. (2017). Studi deskriptif nomophobia pada mahasiswa di universitas muhammadiyah malang. University of Muhammadiyah Malang.

 

Richard, Jones Nelson, & Jones, P. (2011). Teori dan praktik Konseling dan terapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Sujarweni, V. Wiratna. (2014). Metode Penelitian: Lengkap, praktis, dan mudah dipahami. Yogyakarta: Pustaka baru press.

 

Sukardi, H. M. (2021). Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi Dan Praktiknya (Edisi Revisi). Bumi Aksara.

 

Willis, S. (2013). Sofyan.(2013) Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung.

 

Yildirim, Caglar. (2014). Exploring the dimensions of nomophobia: Developing and validating a questionnaire using mixed methods research. Iowa State University.

 

Copyright holder:

Venazmi Livia Buamona, Suryani Hi Umar, Nursin M Sapil, Happy Karlina M (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: