Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 11, November 2022

 

Penyelesaian Sengketa Terhadap Dugaan Penyalahgunaan Data Pribadi Dalam Layanan Fintech

 

Ian Dharsono Wijaya Pane, Christine S.T Kansil

Universitas Tarumanagara, Jakarta Barat, Indonesia

Email: [email protected], [email protected].

 

Abstrak

Sekarang ini sudah banyak muncul aplikasi pinjaman online yang memberikan kemudahan bagi masyarakat mendapatkan akses kredit. Pinjaman online memang memberikan kemudahan bagi masyarakat, namun di sisi lain pinjaman online juga memberikan kerugian bagi masyarakat dengan tersebarnya data pribadi bagi para pengguna layanan pinjaman online tersebut. Data pribadi adalah sesuatu yang harus dilindungi karena sejatinya merupakan hak privasi setiap orang. Hak privasi merupakan hak konstitusional warga negara yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di Indonesia masih banyak terjadi permasalahan hukum yang menyalahgunakan data pribadi, terutama dalam layanan pinjaman online. Masih banyak layanan pinjaman online dalam melakukan penagihan hutang kepada penerima pinjaman dengan menggunakan ancaman akan menyebarkan informasi data pribadi si penerima pinjaman. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan konseptual (conseptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian ini mengkaji konsep-konsep dan pasal-pasal yang berkaitan dengan perlindungan data pribadi dalam layanan fintech. Penelitian ini bertujuan untuk membahas ketentuan hukum yang berlaku bila terjadi pelanggaran penyalahgunaan data pribadi, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Hasil dari penelitian ini ialah jenis-jenis penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan dalam sengketa penyalahgunaan data pribadi dalam layanan fintech.

 

Kata Kunci : Pinjaman Online, Data Pribadi, UU Perlindungan Data Pribadi.

 

Abstract

Now there are many online loan applications that make it easy for people to get access to credit. Online loans do provide convenience for the community, but on the other hand online loans also provide a loss for the community by spreading personal data for users of these online loan services. Personal data is something that must be protected because it is actually everyone's right to privacy. The right to privacy is a constitutional right of citizens that has been regulated in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. In Indonesia, there are still many legal problems that involve misusing personal data, especially in online loan services. There are still many online loan services in collecting debts from loan recipients by using threats to share the personal data of the loan recipient. This study uses normative research methods with a conceptual approach (conceptual approach) and statutory approach (statute approach). This research examines the concepts and articles relating to the protection of personal data in fintech services. This study aims to discuss the legal provisions that apply when there is a breach of personal data misuse, in accordance with the provisions of the Law of the Republic of Indonesia Number 27 of 2022 Concerning Personal Data Protection (UU PDP). The results of this study are the types of dispute resolution that can be carried out in disputes over the misuse of personal data in fintech services.

 

Keyword : peer to peer lending, Personal Data, Personal Data Protection Law.

 

Pendahuluan

Globalisasi memberikan pengaruh yang sangat tinggi bagi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Dampak ini juga mengubah pola hidup masyarakat dan berkembang dakam tatanan kehidupan yang baru serta mendorong terjadinya perubahan budaya, social, pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan sangat berpengaruh terhadap perekonomian (Saifuddin, 2020). Indonesia saat ini sudah memasuki Revolusi Industri 4.0. Segala hal dapat dikendalikan dari segala tempat bila terdapat jaringan internet dan perangkat elektronik yang saling terhubung.

Implikasi dari era ini sangat besar ketika teknologi berbasis digital dipakai oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, misalkan untuk meningkatkan poduktivitas kerja, membangun hubungan sosio-ekonomi, dan membantu dalam berbagai hal lainnya (Fathurrahman, 2021). Namun dengan segala kelebihannya, teknologi informasi juga dapat dikatakan sebagai �pedang bermata dua� karena disatu sisi dalam menawarkan kemudahan, di sisi lain juga terdapat masalah yang muncul seiringnya waktu (Simarmata et al., 2021).

Perkembangan teknologi informasi memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan dan kemajuan bidang ekonomi. Hal ini karena seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan masyarakat juga semakin meningkat meliputi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier (Bidari & Nurviana, 2020). Namun, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, tentu tiap manusia memiliki kemampuan ekonomi yang berbeda-beda. Banyak kalangan memiliki kondisi finansial yang rendah menggunakan segala cara untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Terkait dengan pembiayaan dan kebutuhan masyarakat yang mendesak tidak dapat dipenuhi melalui akses perbankan konvensional sehingga diperlukan alternatif pembiayaan lain. Perkembangan teknologi yang semakin canggih, maka sekarang ini telah hadir financial technology (fintech). Jasa layanan fintech diyakini mampu menjadi solusi alternatif pembiayaan yang mudah dan cepat. Jasa layanan fintech merupakan implementasi dari pemanfaatan teknologi informasi untuk meningkatkan dan mempermudah layanan jasa perbankan dan keuangan lainnya. konsep ini melahirkan proses transaksi keuangan yang lebih praktis dengan menggunakan suatu platform atau aplikasi (Yunus, 2019).

Berbagai bentuk platform fintech yang ada, salah satu platform yang banyak digunakan adalah fintech pinjaman dana berbasis online atau yang disebut dengan peer to peer lending (P2PL) yang dapat diunduh oleh masyarakat (Benuf, 2019). Melalui platform P2PL atau pinjaman online masyarakat yang memerlukan dana dalam jumlah tertentu dapat secara mudah dan cepat mendapatkan pinjaman tanpa perlu mengajukan kredit ke bank serta tanpa perlu memberikan jaminan (Wahyudi et al., 2021). �

Hadirnya inovasi dari perkembangan teknologi ini, menimbulkan dua sisi yang bertolak belakang terhadap akibat yang ditimbulkan. Di satu sisi dengan adanya pinjaman online memudahkan masyarakat dalam memperoleh pinjaman dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun disisi lain juga memberikan kerugian bagi pihak yang terlibat maupun tidak terlibat. Seperti sekarang ini banyak kasus yang terjadi sebagai akibat dari adanya pinjaman online, salah satunya ialah kasus penyalahgunaan data pribadi. Akibat dari banyaknya kasus pinjaman online illegal telah memberikan dampak negatif. Salah satu yang sering bermunculan adalah kasus proses penagihan yang dilakukan dengan pelanggaran penyalahgunaan data pribadi, seperti pengancaman bahkan sampai dengan pencemaran nama baik.

Pada 17 Oktober 2022 yang lalu, Presiden Joko Widodo telah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) (Sangojoyo et al., 2022). UU PDP ini memiliki ketentuan yang mengatur mengenai data pribadi setiap masyarakat Indonesia, serta mengatur ketentuan mengenai pengendalian dan pemrosesan data pribadi yang dianggap pantas dalam UU PDP. UU PDP ini diharapkan dapat menjadi pengaturan hukum yang memberikan dampak baik bagi perlindungan data pribadi masyarakat Indonesia.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan konseptual (conseptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian ini mengkaji konsep-konsep dan pasal-pasal yang berkaitan dengan perlindungan data pribadi dalam layanan fintech (Marzuki, 2017).

 

Hasil dan Pembahasan

Fintech

Menurut National Digital Research Centre (NDRC), teknologi finansial adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu inovasi di bidang jasa finansial, dimana istilah tersebut berasal dari kata �financial� dan �technology� yang mengacu pada inovasi finansial dengan melalui teknologi modern (Hadi, 2017). Pasal 1 ayat (1) PBI No. 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial (selanjutnya disebut PBI Fintech): �Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.�

Jenis-jenis fintech, yaitu:

1.      Crowdfunding;

2.      Microfinancing;

3.      Peer to Peer Lending;

4.      Market Comparison;

5.      Digital Payment System;

6.      Payment Gateway;

7.      Insurtech;

8.      Manajemen Aset;

9.      Remitansi;

10.  Investasi;

 

 

Peer to Peer Lending (P2PL) atau Pinjaman Online

Pinjaman online merupakan salah satu inovasi yang termasuk dalam jenis fintech. Fintech berasal dari istilah Financial Technology atau teknologi finansial. Financial Technology merupakan gabungan antara layanan jasa keuangan dengan teknologi informasi yang mengubah model bisnis konvensional menjadi moderat, yang awalnya dalam membayar harus membawa sejumlah uang secara fisik dan bertatap muka antara pembeli dengan penjual secara langsung, kini dapat dilakuan dengan transaksi jarak jauh dalam hitungan detik saja (Marisa, 2020).

Pasal 1 angka 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi menyebutkan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Kemudian dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi menyebutkan Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Pasal 26 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi menyebutkan, penyelenggara wajib:

1.      Menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data tersebut dimusnahkan;

2.      Memastiak tersedianya proses autentikasi, verifikasi, dan validasi yang mendukung kenirsangkalan dalam mengakses, memproses, dan mengeksekusi data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya;

3.      Menjamin bahwa perolehan, penggunaan, pemanfaatan, dan pengungkapan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang diperoleh oleh penyelenggara berdasarkan persetujuan pemilik data pribadi, data transaksi, dan data keuangan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang;

4.      Menyediakan media komunikasi lain selain Sistem Elektronik Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi untuk memastikan kelangsungan layanan nasabah yang dapat berupa surat elektronik, call center, atau media komunikasi lainnya; dan

5.      Memberitahukan secara tertulis kepada pemilik data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya.

Perlindungan Data Pribadi

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) menyebutkan Perlindungan Data Pribadi adalah keseluruhan upaya untuk melindungi data pribadi dalam rangkaian pemrosesan data pribadi guna menjamin hak konstitusional subjek data pribadi. Kemudian dalam Pasal 1 angka 1 UU PDP menyebutkan data pribadi adalah data tentang orang perseorangan yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau kombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik atau nonelektronik. Pasal 1 angka 4 UU PDP menyebutkan Pengendali data pribadi adalah setiap orang, badan publik, dan organisasi internasional yang bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam menentukan tujuan dan melakukan kendali pemrosesan data pribadi, kemudian dalam Pasal 7 UU PDP menyebutkan setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

Kewajiban Penyelenggara Fintech

Berdasarkan penjelasan diatas Penyelenggara fintech dalam UU PDP dapat dikategorikan sebagai pengendali data pribadi karena tergolong sebagai korporasi (Benuf et al., 2019). Ketika menjalankan layanannya, penyelenggara fintech wajib menerapkan prinsip dasar perlindungan pengguna yang diatur dalam Pasal 29 POJK No. 77 Tahun 2016, yaitu:

1.      Transpransi;

2.      Perlakuan adil;

3.      Keandalan;

4.      Kerahasiaan dan keamanan data; dan

5.      Penyelesaian sengketa pengguna secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.

Pemrosesan data pribadi yang dilakukan oleh penyelanggara fintech wajib mengikuti prinsip perlindungan data pribadi yang diatur dalam Pasal 16 ayat (2) UU PDP, yaitu prinsip:

1.      Pengumpulan data pribadi dilakukan secara terbatas dan spesifik, sah secara hukum, dan transparan;

2.      Pemrosesan data pribadi dilakukan sesuai dengan tujuannya;

3.      Pemrosesan data pribadi dilakukan dengan menjamin hak subjek data pribadi;

4.      Pemrosesan data pribadi dilakukan secara akurat, lengkap, tidak menyesatkan, mutakhir, dan dapat dipertanggunjawabkan;

5.      Pemrosesan data pribadi dilakukan dengan melindungi keamanan data pribadi dari pengaksesan yang tidak sah, pengungkapan yang tidak sah, pengubahan yang tidak sah, penyalahgunaan, perusakan, dan/atau penghilangan data pribadi;

6.      Pemrosesan data pribadi dilakukan dengan memberitahukan tujuan dan aktivitas pemrosesan, serta kegagalan perlindungan data pribadi;

7.      Data pribadi dimusnahkan dan/atau dihapus setelah masa retensi berakhir atau berdasarkan permintaan subjek data pribadi, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan; dan

8.      Pemrosesan data pribadi dilakukan secara bertanggung jawab dan dapat dibuktikan secara jelas.

Pada prinsipnya, bentuk perlindungan data pribadi pinjaman online yaitu penyelenggara selaku pengendali data pribadi wajib mendapatkan persetujuan dari pemilik data pribadi yang sah secara eksplisit dari subjek pemilik data pribadi ketika melakukan pemrosesan data pribadi. Penyelenggara fintech ketika memperoleh dan menggunakan data pribadi wajib mendapatkan persetujuan dari pemilik data pribadi. Persetujuan yang dimaksud ialah persetujuan tertulis atau terekam baik secara elektronik maupun non-elektronik yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 22 UU PDP. Jika tidak, maka persetujuan tersebut dinyatakan batal demi hukum. Menurut Pasal 44 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10 / POJK.05/ 2022 Tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (POJK 10 Tahun 2022), penyelenggara fintech dalam melindungi data pribadi wajib:

1.      Menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data tersebut dimusnahkan;

2.      Memastikan tersedia proses autentifikasi, verifikasi, dan validasi yang mendukung kenirsangkalan dalam mengakses, memproses, dan mengeksekusi data pribadi, pada transaksi dan data keuangan yang dikelolanya;

3.      Menjamin perolehan, penggunaan, pemanfaatan dan pengungkapan data pribadi, pada transaksi dan data keuangan yang diperoleh penyelenggara berdasarkan persetujuan pemilik data, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan; dan

4.      Memberitahukan secara tertulis kepada pemilik data pribadi, data transaksi, dan data keuangan jika terjadi kegagalan perlindungan kerahasiaan data pribadi pada data transaksi dan data keuangan yang dikelolanya.

Dengan demikian dapat dikatakan dalam hal perlindungan data pribadi penyelenggara fintech wajib mendapat persetujuan dari pemilik data pribadi sebelum melakukan pemrosesan data pribadi. Selain itu, penyelenggara wajib memastikan adanya proses autentifikasi, verifikasi, dan validasi saat memproses data.

Kemudian dalam Pasal 35 UU PDP mengatakan penyelanggara sebagai pengendali data pribadi wajib melindungi dan memastikan keamanan data pribadi yang diprosesnya, dengan melakukan:

1.      Penyusunan dan penerapan Langkah teknis operasional untuk melindungi data pribadi dari gangguan pemrosesan data pribadi yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

2.      Penentuan tingkat keamanan data pribadi dengan memperhatikan sifat dan risiko dari data pribadi yang harus dilindungi dalam pemrosesan data pribadi.

Dalam melakukan pemrosesan data, pengendali data pribadi wajib menjaga kerahasiaan data pribadi. Hal ini diatur dalam Pasal 36 UU PDP yang berbunyi dalam melakukan pemrosesan data pribadi, pengendali data pribadi wajib menjaga kerahasiaan data pribadi.

Penerapan Itikad Baik Dalam Layanan Fintech

Sebagaimana yang dimaksud di atas pinjaman online atau layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi merupakan salah satu bentuk perjanjian pinjam meminjam, dalam suatu perjanjian hendaklah dilaksanakan dengan jujur dan bersih, sehingga dalam pelaksanaannya tercermin kepastian hukum dan rasa adil bagi para pihak yang terikat dengan perjanjian tersebut (Fa�izah, 2019). Dalam suatu perjanjian yang dibuat, hendaknya perjanjian tersebut sama sekali tidak menimbulkan kerugian bagi kepentingan pemberi pinjaman maupun penerima pinjaman, serta pihak ketiga lainnya diluar perjanjian tersebut (Puspito et al., 2022).

Asosiasi Fintech Indonesia juga mengeluarkan Pedoman Perilaku Pemberian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi Secara Bertanggung Jawab (Disemadi, 2021). Pedoman tersebut menjelaskan mengenai penerapan asas itikad baik dalam layanan fintech yang sudah dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:

1.      Itikad baik dalam hal terjadi kesalahan dan/atau kelalaian pengurus, pegawai, dan sistem elektronik:

a.       Setiap penyelenggara wajib bertanggung jawab atas kerugian pengguna yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian pengurus, pegawai, dan sistem elektronik dari penyelenggara.

b.      Setiap penyelenggara wajib memiliki prosedur dan sistem untuk memastikan dilakukannya Langkah-langkah pemulihan hak pengguna dalam hal terjadi kesalahan dan/atau kelalaian dari pengurus, pegawai, dan sistem elektronik.

2.      Itikad baik dalam perlindungan data pribadi

a.       Setiap penyelenggara wajib memiliki itikad baik dalam setiap pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan data pribadi pengguna dan calon pengguna.

b.      Kegiatan yang dimaksud dalam pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan data pribadi pengguna yang dilakukan tanpa itikad baik antara lain:

1)      Meminta data pribadi dari pengguna meskipun belum ada layanan yang dapat diberikan kepada konsumen tersebut.

2)      Mengumpulkan data pribadi yang tidak berhubungan dengan layanan yang akan diberikan kepada pengguna.

3)      Mengumpulkan data pribadi diluar data yang sudah disetujui untuk diberikan oleh pengguna.

4)      Menggunakan data pribadi untuk tujuan yang belum diberitahukan kepada pengguna.

5)      Mengumpulkan dan meyimpan data pribadi meskipun penyelenggara belum� memiliki sistem elektronik yang handal untuk melakukan kegiatan tersebut.

c.       Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk praktik yang dilarang akan diatur kemudian di dalam pembaruan berkala pedoman perilaku.

3.      Itikad baik dalam penagihan atas pinjaman gagal bayar

a.       Setiap penyelenggara wajib memiliki dan menyampaikan prosedur penyelesaian dan penagihan kepada pemberi dan penerima pinjaman dalam terjadi gagal bayar pinjaman.

b.      Setiap penyelenggara wajib menyampaikan kepada penerima pinjaman dan pemberi pinjaman Langkah-langkah yang akan ditempuh dalam hal terjadi keterlambatan atau kegagalan pembayaran pinjaman, antara lain:

1)      Perihal pemberian surat peringatan;

2)      Persyaratan penjadwalan atau restrukturisasi pinjaman;

3)      Korespondensi dengan penerima pinjaman secara jarak jauh (desk collection), termasik via telepon, email, maupun bentuk percakapan lainnya;

4)      Perihal kunjungan atau komunikasi dengan tim penagihan;

5)      Penghapusan pinjaman.

c.       Prosedur penyelesaian dan penagihan sebagaimana tersebut diatas wajib memperhatikan kepentingan pemberi dan penerima pinjaman.

d.      Ketentuan lebih lanjut mengenai standar penagihan atas pinjaman gagal bayar akan diatur kemudian di dalam pembaruan berkala pedoman perilaku.

4.      Itikad baik pengguna ketiga dalam penagihan

a.       Setiap penyelenggara dilarang menggunakan pihak ketiga dalam pelaksanaan penagihan yang tidak terdaftar atau merupakan dalam daftar hitam otoritas dan/atau asosiasi.

b.      Daftar hitam yang dimaksud diatas akan disusun kemudian dalam pembaruan berkala pedoman perilaku.

Langkah Hukum Jika Data Pribadi Disalahgunakan

Berdasarkan Pasal 37 POJK No. 77 Tahun 2016, penyelenggara fintech wajib bertanggung jawab atas kerugian pengguna yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian direksi, dan/atau pegawai penyelenggara. Kemudian dalam Pasal 12 ayat (1) Subjek Data Pribadi berhak menggugat dan menerima ganti rugi atas pelanggaran pemrosesan Data Pribadi tentang dirinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Maka dengan subjek data pribadi dapat melakukan gugatan berdasarkan Pasal 64 ayat (1) UU PDP yang menyebutkan �Penyelesaian sengketa data pribadi dapat dilakukan melalui arbitrase, pengadilan, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.�

Berdasarkan pernyataan di atas, maka dapat dikatakan bila terjadi penyalahgunaan data pribadi, pengguna layanan fintech dapat menempuh langkah hukum sebagai berikut:

1.      Melaporkan ke Lembaga Terkait

Penyelanggara fintech yang menggunakan data pribadi tanpa persetujuan pemiliknya dapat dikenakan sanksi administrasi berdasarkan UU PDP dan POJK 10/2022. Pengguna layanan fintech dapat melaporkan pelanggaran tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jika tidak ada persetujuan pemrosesan data pribadi atau penyelenggara fintech tidak mematuhi prinsip-prinsip sebagaimana diatur dalam UU PDP dan POJK 10/ 2022.

Adapun sanksi administratif bagi penyelenggara fintech tersebut yaitu peringatan tertulis yang disertai pemblokiran sistem elektronik penyelanggara, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin. Sedangkan dalam UU PDP, pengguna layanan fintech dapat melaporkan ke lembaga penyelenggara perlindungan data pribadi yang akan ditetapkan oleh Presiden sesuai ketentuan Pasal 58 UU PDP. Adapun sanksi administratif berdasarkan Pasal 57 UU PDP, yaitu:

a.       Peringatan tertulis;

b.      Penghentian sementara kegiatan pemrosesan data pribadi;

c.       Penghapusan atau pemusnahan data pribadi; dan/atau

d.      Denda administrative dikenakan paling tinggi 2% dari pendapatan tahunan terhadap variable pelanggaran.

2.      Menggugat Secara Perdata

Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) UU PDP subjek data pribadi berhak menggugat dan menerima ganti rugi atas pelanggaran pemrosesan data pribadi tentang dirinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Mengatur hal serupa dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undnag-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan �Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan�. Maka setiap orang yang haknya dilanggar tersebut dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan. Untuk mengajukan gugatan atas penyalahgunaan data pribadi, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berisikan �Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut�.

Gugatan perdata diawali dengan membuat surat gugatan disesuaikan dengan persyaratan, kemudian diajukan ke pengadilan negeri. Setelah diperiksa gugatan memenuhi persyaratan, maka akan ditetapkan jadwal persidangan dan akan dilakukan pemanggilan secara patut untuk hadir ke persidangan. Dalam proses persidangan akan dilakukan pembacaan gugatan, replik duplik, pembuktian, hingga disampaikan putusan oleh hakim.

3.      Melaporkan Secara Pidana

Berdasarkan UU PDP, apabila penyelenggara fintech melakukan penyalahgunaan data pribadi, maka dapat dilaporkan secara pidana. Pasal 66 UU PDP mengatakan �setiap orang dilarang membuat data pribadi palsu atau memalsukan data pribadi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain�,

Kemudian dalam Pasal 65 UU PDP mengatakan:

a.       Setiap orang dilarang secara melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian subjek data pribadi.

b.      Setiap orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya.

c.       Setiap orang dilarang secara melawan hukum menggunakan data pribadi yang bukan miliknya.

Jika hal di atas dilanggar, maka pengguna layanan fintech dapat menjerat penyelenggara yang menyalahgunakan data pribadi berdasarkan Pasal 67 UU PDP berupa pidana penjara empat sampai lima tahun dan/atau pidana denda Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) sampai Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Selain itu dapat juga dijatuhi pidana tambahan sesuai Pasal 69 UU PDP berupa perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh atau hasil tindak pidana dan pembayaran ganti kerugian.

Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, maka dapat dijatuhkan pidana berdasarkan Pasal 70 UU PDP, dimana pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus, pemegang kendali, pemberi perintah, pemilik manfaat, dan/atau korporasi. Adapun untuk pidana denda yang dijatuhkan keapda korporasi paling banyak 10 (sepuluh) kali dari maksimal pidana denda yang diancamkan.

Selain itu korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berdasarkan Pasal 70 ayat (4) UU PDP yaitu:

a.       perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh atau hasil tindak pidana;

b.      pembekuan seluruh atau sebagian usaha korporasi;

c.       pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu;

d.      penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korporasi;

e.       melaksanakan kewajiban yang telah dilalaikan;

f.       pembayaran ganti kerugian;

g.      pencabutan izin; dan/atau

h.      pembubaran korporasi.

4.      Arbitrase

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, jika dikaitkan dengan sengketa pinjam meminjam uang berbasis teknologi, maka penyelesaian sengketa baru dapat diselesaikan melalui arbitrase apabila para pihak telah sepakat untuk menyelesaikannya dengan arbitrase yang dibuat dalam bentuk perjanjian, atau tertuang dalam perjanjian dokumen elektronik para pihak.

Berdasarkan UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut, terdapat tiga tahap mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase, yaitu tahap persiapan atau pra pemeriksaan, tahap pemeriksaan atau penentuan, dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan adalah tahapan untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk sidang pemeriksaan perkara. Tahap persiapan tersebut meliputi:

a.       Persetujuan arbitrase dalam dokumen tertulis;

b.      Penunjukan arbiter;

c.       Pengajuan surat tuntutan oleh pemohon;

d.      Jawaban surat tuntutan oleh termohon;

e.       Perintah arbiter agar para pihak menghadap siding arbitrase.

Tahap kedua adalah tahap pemeriksaan, yaitu tahap jalannya sidang pemeriksaan perkara, dimulai dari awal pemeriksaan peristiwa, proses pembuktiannya, sampai ditetapkan putusan oleh arbiter. Terakhir adalah tahap pelaksanaan, yaitu tahap untuk merealisasi putusan arbiter yang bersifat final dan mengikat.

5.      Negosiasi

Negosiasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang melibatkan para pihak yang bersengketa (Mamudji, 2017). Artinya pihak-pihak yang tidak berkaitan dengan sengketa tersebut tidak dapat melibatkan dirinya dalam negosiasi. Negosiasi dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a.       Tahap persiapan

Pada tahapan persiapan, hal yang harus dipersiapkan adalah apa yang dibutuhkan dan diinginkan, dimana masing-masing pihak harus mengetahui apa yang menjadi kepentingan mereka masing-masing.

b.      Tahap tawaran awal

Tahapan ini seorang perunding akan melakukan strategi tentang siapa yang harus lebih dulu menyampaikan tawaran dan bagaimana menyikapi tawaran awal tersebut. Apabila terdapat dua tawaran dalam perundingan, biasanya midpoint (titik diantara dua tawaran) dapat dijadikan solusi atau kesepakatan, sebelum midpoint dijadikan kesepakatan hendaknya dibandingkan dengan pendapat para pihak.

c.       Tahap pemberian konsesi

Tahapan ini konsesi harus diungkapkan tergantung pada konteks negosiasi dan konsesi yang diberikan oleh pihak lawan. Seorang perunding harus melakukan kalkulasi yang tepat tentang agresifitas, seperti bagaimana menjaga hubungan baik dengan pihak lawan, empati terhadap pihak lawan, dan fairness. Negosiator mempunyai peranan yang sangat penting dalam konsensi dan menjaga posisi tawar sampai pada kesepakatan yang diinginkan.

d.      Tahap akhir negosiasi

Pada tahap akhir ini meliputi pembuatan komitmen atau membatalkan komitmen yang telah dinyatakan sebelumnya.

6.      Mediasi

Penyelesaian sengketa melalui mediasi, yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menghadirkan pihak ketiga sebagai mediator. Adapun tahap-tahapan mediasi, yaitu:

a.       Tahap pembentukan forum

Pada awal mediasi, sebelum rapat antara mediator dan para pihak, mediator membentuk forum. Setelah forum terbentuk, diadakan rapat bersama. Mediator memberi tahu kepada para pihak mengenai bentuk dari proses, menjelaskan aturan dasar, bekerja berdasarkan hubungan perkembangan dengan para pihak dan mendapat kepercayaan sebagai pihak netral, dan melakukan negosiasi mengenai wewenangnya dengan para pihak, menjawab pertanyaan para pihak, bila para pihak sepakat melanjutkan perundingan, para pihak diminta komitmen untuk taat mengikuti aturan yang berlaku.

b.      Tahap pengumpulan dan pembagian informasi

Setelah tahap awal selesai, maka mediator meneruskan mediasi sengan mengadakan rapat bersama, dengan meminta pernyataan dan penjelasan pendahuluan terhadap masing-masing pihak yang bersengketa. Pada tahap informasi, para pihak dan mediator saling membagi informasi dalam acara bersama dan secara sendiri-sendiri saling membagi informasi dengan mediator, dalam acara bersama. Apabila para pihak setuju meneruskan mediasi, mediator kemudian mempersilahkan masing-masing pihak menyajikan versinya mengenai fakta dan patokan yang daimbil dalam sengketa tersebut. Mediator boleh mengajukan pertanyaan untuk mengembangkan informasi, tetapi tidak mengijinkan pihak lain untuk mengajukan pertanyaan atau melakukan interupsi apapun. Para pihak dalam menyampaikan fakta memiliki gaya dan versi yang berbeda-beda, ada yang santai, ada yang emosi, ada yang tidak jelas, ini semua harus diperhatikan oleh mediator. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi terhadap informasi yang disampaikan oleh masing-masing pihak, untuk mengukuhkan bahwa mediator telah mengerti para pihak, mediator secara netral membuat kesimpulan atas penyajian masingmasing pihak, mengulangi fakta-fakta esensial menyangkut setiap perspektif atau patokan mengenai sengketa.

c.       Tahap penyelesaian masalah

Dalam tahap tawar-menawar atau perundingan penyelesaian problem, mediator bekerja dengan para pihak secara bersama-sama dan terkadang terpisah, menurut keperluannya, guna membantu para pihak merumuskan permasalahan, menyusun agenda untuk membahas masalah dan mengevaluasi solusi. Pada tahap ketiga ini terkadang mediator mengadakan �caucus� dengan masing-masing dalam mediasi untuk menggali informasi lebih dalam.

d.      Tahap pengambilan keputusan

Pada tahap ini para pihak saling bekerja sama dengan bantuan mediator untuk memilih solusi yang dapat disepakati bersama atau setidaknya solusi yang dapat diterima terhadap masalah yang diidentifikasi. Setelah para pihak menemukan solusi yang mungkin, para pihak harus memutuskan sendiri apa yang akan mereka setujui atau sepakati. Akhirnya para pihak yang sepakat berhasil membuat keputusan bersama, yang kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian. Mediator dapat membantu untuk menyusun ketentuan-ketentuan yang akan dimuat dalam perjanjian agar seefisien mungkin, sehingga tidak ada keuntungan para pihak yang tertinggal di dalam perundingan

 

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan perihal perlindungan data pribadi fintech terutama terkait penyalahgunaan data pribadi dapat disampaikan bahwa penyelenggara fintech wajib mendapat persetujuan dari pemilik data pribadi terlebih dahulu ketika akan melakukan pemrosesan data. Selain itu, penyelenggara wajib memastikan adanya proses autentifikasi, verifikasi, dan validasi saat memproses data.

Kemudian dalam pelakasaan layanannya, penyelenggara wajib mengikuti prinsip-prinsip dan kewajiban yang diatur dalam UU PDP, POJK 77/2016, dan POJK 10/2022 disertakan itikad baik yang memberikan kepastian hukum dan rasa adil bagi para pihak yang terikat dalam perjanjian pinjam meminjam. Bila ditemukan pelanggaran hukum penyalahgunaan data pribadi yang dilakukan oleh pihak penyelenggara fintech, subjek data pribadi atau pengguna layanan fintech dapat melakukan tiga Langkah hukum yaitu, Pertama, dengan melaporkan pelanggaran ke lembaga penyelenggaraan perlindungan data pribadi yang akan ditetapkan oleh Presiden. Kedua, menggugat secara perdata dengan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Ketiga, melaporkan secara pidana, dengan dijerat Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, dan Pasal 70 UU Perlindungan Data Pribadi. Kemudian sengkegta juga dapat diselesaikan dengan arbitrase dan lembaga penyelesaian sengketa lainnya seperti negosiasi dan mediasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Benuf, K. (2019). Harmonisasi Hukum: Pemilu Serentak dan Ketenagakerjaan, Analisis Yuridis terhadap Kematian KPPS Tahun 2019. Gema Keadilan, 6(2), 196�216.

 

Benuf, K., Mahmudah, S., & Priyono, E. A. (2019). Perlindungan Hukum Terhadap Keamanan Data Konsumen Financial Technology di Indonesia. Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, 3(2), 145�160.

 

Bidari, A. S., & Nurviana, R. (2020). Stimulus ekonomi sektor perbankan dalam menghadapi pandemi coronavirus disease 2019 di Indonesia. Legal Standing: Jurnal Ilmu Hukum, 4(1), 297�305.

 

Disemadi, H. S. (2021). Fenomena Predatory Lending: Suatu Kajian Penyelenggaraan Bisnis Fintech P2P Lending selama Pandemi COVID-19 di Indonesia. Pandecta Research Law Journal, 16(1), 55�67.

 

Fa�izah, N. (2019). Aspek iktikad baik dalam layanan pinjaman pada aplikasi teknologi finansial perspektif debitur dan fatwa DSN-MUI nomor 117/DSN-MUI/II/2018. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

 

Fathurrahman, I. (2021). Melestarikan Pekerja Rentan di Balik Ekonomi Inovasi: Praktik Kerja Perusahaan Teknologi kepada Mitra Pengemudi Ojek Online di Indonesia. Menyoal Kerja Layak Dan Adil Dalam Ekonomi Gig Di Indonesia, 79.

 

Hadi, F. (2017). Penerapan Financial Technology (Fintech) sebagai Inovasi Pengembangan Keuangan Digital di Indonesia. Terdapat Dalam Https://Temilnas16. Forsebi. Org/Penerapan-Financial-Technology-Fintech-Sebagai-Inovasi-Pengembangan-Keuangan-Digital-Di-Indonesia.

 

Mamudji, S. (2017). Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Jurnal Hukum & Pembangunan, 34(3), 194�209.

 

Marisa, O. (2020). Persepsi kemudahan penggunaan, efektivitas, dan risiko berpengaruh terhadap minat bertransaksi menggunakan financial technology. Jurnal Administrasi Kantor, 8(2), 139�152.

 

Marzuki, P. M. (2017). Penelitian Hukum,. Jakarta: Kencana, 2007. Dalam Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Rajawali Pers.

 

Puspito, D., Roestamy, M., & Santoso, E. (2022). Model Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Ilmiah Living Law, 14(1), 11�23.

 

Saifuddin, A. (2020). Penyusunan skala psikologi. Prenada Media.

 

Sangojoyo, B. F., Kevin, A., & Sunlaydi, D. B. (2022). Urgensi Pembaharuan Hukum Mengenai Perlindungan Data Pribadi E-Commerce di Indonesia. Kosmik Hukum, 22(1), 27�39.

 

Simarmata, J., Manuhutu, M. A., Yendrianof, D., Iskandar, A., Amin, M., Sinlae, A. A. J., Siregar, M. N. H., Hazriani, H., Herlinah, H., & Sinambela, M. (2021). Pengantar Teknologi Informasi. Yayasan Kita Menulis.

 

Wahyudi, T., Mustamam, M., & Mukidi, M. (2021). Online Loan Practice (Pijol) Viewed From Perpsective of The Banking Law System (Study In Medan City). Jurnal Ilmiah METADATA, 3(1), 136�155.

 

Yunus, U. (2019). A comparison peer to peer lending platforms in Singapore and Indonesia. Journal of Physics: Conference Series, 1235(1), 12008.

 

Copyright holder:

Ian Dharsono Wijaya Pane, Christine S.T Kansil (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: