Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia �p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
11, November 2022
PERBEDAAN KADAR MPV/PLT RASIO DAN FERRITIN PADA PASIEN
HEPATITIS B KRONIK DENGAN SIROSIS ATAU TANPA SIROSIS
Afrianda
Wira Sasmita, Taufik
Sungkar, Jelita Siregar
Departemen
Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam
Malik Medan, Indonesia
Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Subdivisi Gastroenterohepatologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan, Indonesia
E-Mail: [email protected]
Abstrak
Virus Hepatitis B
(VHB) adalah suatu penyakit infeksi yang dewasa ini masih
menjadi permasalahan
kesehatan masyarakat. MPV merupakan prediktor
sirosis hati, karena kadarnya yang sangat erat korelasinya dengan derajat
inflamasi atau kerusakan hepatosit. MPV lebih tinggi dilaporkan pada pasien
dengan hepatitis B dan Liver sirosis. Kerusakan pada hati
dapat mengakibatkan trombopoetin menurun,
yakni hormon glikoprotein dari
hepatosit, menyebabkan jumlah trombosit menurun. Meningkatnya serum
feritin pada penyakit hati dipengaruhi
oleh kerusakan yang terjadi pada sel hati. feritin juga diklasifikasikan
sebagai reaktan fase akut. Kadar feritin yang tinggi terkait dengan prognosis
yang buruk dari penyakit hati kronis serta sirosis karena sekresinya bergantung
pada sitokin tertentu yang memiliki peran selama lonjakan inflamasi. Adapun untuk melihat diferensiasi tingkat
MPV/PLT rasio serta Feritin terhadap pasien hepatitis B
kronis yakni melalui sirosis maupun tidak melalui sirosis. Penelitian dilakukan melalui pengambilan sampel darah terhadap pasien yang dirawat pada ruang perawatan penyakit dalam dan
poliklinik Gastroenterohepatologi sebanyak 50 pasien. Sample diperiksa MPV, platelet, kemudian dihitung
MPV/PLT rasio dan ferritin. Dalam hal ini, Penelitian
dilakukan setelah didapatkan ethical approval serta
informed consent.
Terdapat perbedaan signifikan nilai ferritin, PLT, MPV, dan rasio MPV/PLT pada
kelompok subyek hepatitis B melalui sirosis serta pada kelompok subyek hepatitis
B tidak melalui sirosis.(p< 0,001).Terdapat perbedaan yang
signifikan nilai ferritin, PLT, MPV, dan rasio MPV/PLT pada kelompok subyek hepatitis
B melalui sirosis serta pada kelompok subyek�
hepatitis B tidak melalui sirosis.(P< 0,001).
Kata Kunci : Hepatitis B kronis
melalui sirosis dan tidak melalui sirosis, MPV/PLT
rasio, Feritin.
Abstract
Hepatitis B Virus (HBV) is an infectious disease which
today is still a public health problem. MPV is a predictor of liver cirrhosis,
because its levels are closely correlated with the degree of inflammation or
hepatocyte damage. Higher MPV was reported in patients with hepatitis B and
liver cirrhosis. Liver damage will also cause reduced thrombopoetin, a
glycoprotein hormone produced by hepatocytes, causing the platelet count to
decrease. The increase in serum ferritin levels in liver disease mostly comes
from injured liver cells. ferritin is also classified as an acute phase
reactant. High ferritin levels are associated with a poor prognosis of chronic
liver disease and cirrhosis because their secretion depends on certain
cytokines that play a role during the inflammatory spike. As for seeing the
difference in the MPV/PLT ratio and Ferritin levels in chronic hepatitis B
patients, namely through cirrhosis or not through cirrhosis. This study took
blood samples of 50 patients treated in internal medicine ward and
gastroenterohepatology polyclinic. Samples were examined for MPV, platelets,
then calculated the MPV / PLT ratio and ferritin. In this case, the research
was conducted after obtaining ethical approval and informed consent. There were
significant differences in the values of ferritin, PLT, MPV, and MPV / PLT
ratio in the hepatitis B subject group with cirrhosis and in the hepatitis B
subject group without cirrhosis. (P <0.001). There were significant differences in the values of
ferritin, PLT, MPV, and MPV / PLT ratio in the hepatitis B subject group with
cirrhosis and in the hepatitis B subject group without cirrhosis (P <0.001).
Keywords: Chronic hepatitis B with cirrhosis or without
cirrhosis, MPV / PLT ratio, Ferritin.
Virus Hepatitis B
(VHB) adalah suatu penyakit yang dapat menginfeksi seseorang,
dan dewasa ini tetap menjadi permasalahan dalam dunia kesehatan, dikarenakan sekitar 2 miliar orang terpapar penyakit tersebut, serta
>350 juta terpapar VHB kronis sehingga berdampak pada terjadinya kasus kematian sekitar 2 juta orang tiap tahunnya yang disebabkan kanker liver.
Secara geografi, prevalensi virus ini
berkisar 40% nya berasal dari
populasi pada daerah endemik, misalnya Afrika
(Madihi et al., 2020).
WHO menyebutkan virus tersebut adalah virus yang mematikan peringkat ke 10 dunia, yang endemisnya pada
benua Asia, diantaranya Indonesia. Setiap tahunnya terjadi kematian berkisar 250 ribu pengidap VHB karena sirosis hati, dan
berkisar 350 ribu orang di dunia yang mengalami kematian karena komplikasi VHC
(Madihi et al., 2020).
Indonesia termasuk dalam jajaran masyarakat yang paling banyak terpapar VHB peringkat
3 dunia yang pengidapnya berjumlah sekitar 13 juta jiwa,
dimana 1 dari 20 orangnya terpapar VHB. Dalam hal ini, masyarakat terpapar VHB dari usia dini. Sekitar 8-10% penduduk di benua Asia merupakan
pengidap VHB
kronis (Ri, 2018).
Indonesia adalah negara
tropis yang memiliki bonus demografi terbanyak dan merupakan
peringkat 4 dunia,
serta memiliki masyarakat penderita VHB terbanyak ke-2 di Asia Tenggara.
Hasil Riskesdas menunjukkan dari 100 masyarakat, 10
diantaranya adalah penderita VHB ataupun VHC. Dengan demikian, sekitar 28 juta masyarakat terpapar
VHB maupun VHC,
dan sekitar 14
juta jiwanya berpotensi kronik, serta sekitar 1,4
juta jiwanya berpotensi mengalami Kanker hati (Kemenkes RI, 2018).
VHB adalah virus
yang memiliki bentuk sirkular. VHB bertambah banyak dengan reverse transcriptase RNA, yang digunakan dalam rangka melakukan sintesis nukleotida. VHB terus berevolusi sampai sekarang, sedikitnya 7,72 x 10 tiap tahunnya.
Morfologi VHB memiliki bentuk bulat yang terselubung
ganda. Pada bagian luarnya dibentuk oleh HBsAg, adapun pada bagian dalamnya dibentuk oleh HBcAg, yang dibantu replikasi melalui VHB DNA serta
enzim polimerase (Kao & Chen, 2018).
VHB bisa menginfeksi orang berapapun umurnya. VHB bisa berjenis asimtomatis,
maupun infeksi VHB kronis, yang lambat laun dapat menimbulkan rusaknya hati serta
kanker hati yang bisa menyebabkan seseorang meninggal. Penginfeksian VHB biasa dilakukan melalui darah maupun
cairan tubuh seseorang pengidap VHB. Infeksinya bisa dengan penyaluran langsung misalnya hubungan seksual,
donor darah, maupun karena
penggunaan jarum yang digunakan secara berulang dari orang yang terpapar VHB. Adapun penularan lainnya, yakni melalui kontak dalam
keluarga saat cairan yang dimiliki anggota keluarga pengidap VHB berkontak
dengan kulit anggota keluarga lain yang sedang luka. Adapun aktivitas untuk memeriksa serologi VHB diperlukan suatu peralatan
khusus serta tenaga medis yang memiliki keterampilan (Kao & Chen, 2018).
Selain marker yang
lazim diperiksa untuk menegakkan diagnosis hepatitis B, terdapat marker
alternative seperti MPV yang dapat digunakan sebagai prediktor sirosis hati,
karena kadarnya yang sangat erat korelasinya dengan derajat inflamasi atau
kerusakan hepatosit. MPV lebih tinggi dilaporkan pada pasien dengan hepatitis B
dan Liver sirosis, MPV juga berkorelasi dengan derajat fibrosis pada pasien
sirosis hati dengan hepatitis B kronis. Hal ini disebabkan kerusakan hepatosit
akan mengaktivasi respon inflamasi dan tissue factor yang akhirnya akan
mengaktivasi factor koagulasi sehingga dapat mempengaruhi nilai MPV (Lippi et al., 2009). Selain itu, tingginya MPV atau MPV/PLT rasio dikaitkan dengan risiko
tinggi untuk terjadinya HCC. Pemeriksaan korelasi antara rasio MPV/PLT rasio
juga dapat sebagai prognosis pasca operasi pasien yang menjalani reseksi hati
untuk HCC, MPV/PLT rasio juga terkait dengan kelangsungan hidup pasien setelah
menjalani reseksi hati pada HCC (Karagoz et al., 2014).
Feritin yaitu suatu zat
besi pendukung yang tersimpan
dalam
hati. Adapun kadarnya tergantung dari seberapa kerusakan yang terjadi pada
sel hati (Al Rahmad & SKM, 2021). Peningkatan kadar pada penyakit hati paling besar dari sel hati pada saat terjadi kerusakan. Adapun pada penyakit hati
kronis, mampu menghasilkan zat asam amino
esensial untuk memenuhi kebutuhan hemopoeisis yang kurang.
Kerusakan pada hati dapat menimbulkan hasilan
trombopoetin yang kurang, yakni hormon
glikoprotein dari hepatosit, yang membuat keseimbangan
pembinasaan serta trombosit mengalami gangguan,
sehingga menurunnya jumlah
trombosit dalam tubuh.
Kadar feritin yang
tinggi atau hiperferritinemia terkait dengan prognosis yang buruk dari penyakit
hati kronis serta sirosis karena sekresinya juga bergantung pada sitokin
tertentu yang memiliki beberapa peran selama lonjakan inflamasi. Selanjutnya
ferritin juga diklasifikasikan sebagai reaktan fase akut Korelasi antara serum
kadar feritin dan derajat peradangan terbukti di antara pasien penyakit hati
kronis kemudian kadarnya membantu menentukan hasil klinis untuk pasien sirosis
hati. Adanya kelebihan besi, merupakan petunjuk pertama, yang sangat diperlukan
menginduksi kaskade inflamasi pada pasien radang kronis hati, ini berkaitan
dengan perkembangan penyakit dan biasanya terjadi selama infeksi virus
hepatitis (Sungkar et al., 2019).
Terdapat hubungan feritin dengan hepcidin yang kaitannya dengan proses
inflamasi pada penyakit hati kronik. Hepcidin adalah sarana regulasi utama pada homeostasis besi untuk mengkoordinasikan pemanfaatan serta menyimpan besi dalam tubuh sesuai keperluan. Hasil kerja feroportin
bias membuat penyediaan dari zat besi dalam tubuh menjadi berhenti
yang membuat kadar besi menjadi turun untuk
aktivitas eritropoiesis dalam menandai
terjadinya
gangguan homeostasis besi dalam tubuh (Sungkar et al., 2019).
Penyakit hati
kronis dapat memiliki dampak terhadap metabolisme besi maupun zat
besi karena mengalami perubahan yang disebabkan derajat inflamasi, ditambah dengan sitokin
yang bisa menambah parah hati saat cedera. Hasil penelitian memperlihatkan retensi zat besi pada
hepatosit dapat berdampak buruk terhadap hati yang rusak, serta
hubungannya dengan
resiko lebih tinggi dalam pengembangannya menjadi sirosis maupun HVB
kronis (Nutrisi, 2019).
Pada tahun 1981,
Blumberg dkk melaporkan bahwa indeks besi serum cenderung lebih tinggi pada
pasien hepatitis B kronik. Kadar besi serum meningkat pada Hepatitis B kronik,
pada sirosis dan HCC. Serum besi yang meningkat juga terjadi pada hepatitis C
kronis dan penyakit hati alkoholik. Selain itu, tingkat feritin serum secara
signifikan lebih tinggi pada hepatitis B, penyakit hati termasuk sirosis dan
HCC, kemungkinan besar mencerminkan peningkatan pelepasan feritin dari
hepatosit yang rusak akibat replikasi HBV. Hal ini sesuai dengan temuan Yan (2018) bahwa kadar serum feritin lebih besar
pada penderita VHB kronis jika dibandingkan
pada pasien sirosis dan HCC, karena cedera hati yang lebih menonjol pada penderita VHB kronis,
seperti ditunjukkan dalam tingkat ALT yang
tinggi terjadi di hepatitis B kronik.
Sebuah
studi, dimana Taufik Dkk melakukan Studi dengan menganalisis 54 pasien sirosis
hati dekompensasi termasuk 17 perempuan dan 37 pria antara Mei 2016 dan Mei
2017 di RSU
H.
Adam Malik, Indonesia. Kadar feritin kemudian dibagi menjadi nilai batas. Hasil
yang di peroleh adalah Berdasarkan analisis data, gender dan skor CTP
berhubungan dengan feritin yang lebih tinggitingkat (P = 0,002 dan P = 0,018.
Selanjutnya, korelasi yang signifikan antaraKadar feritin serum dan skor CTP
diperoleh dalam derajat sedang (P = 0,000; r = 0,487). Dari
penelitian tersebut kemungkinan ada peran signifikan dari kadar feritin serum
dalam memprediksi mortalitas dan prognosis di antara pasien sirosis hati
dekompensasi (Sungkar et al., 2019). Penelitian ini bertujuan melihat
perbedaan kadar MPV/PLT Rasio dan ferritin pada VHB melalui
sirosis ataupun tidak melalui sirosis.
Hepatitis B merupakan penyakit hati karena VHB, sehingga membuat hati menjadi
meradang akut maupun menahun yang kedepannya dapat terjadi lebih buruk, seperti
halnya kanker hati. Ada
juga banyak marker biokimia noninvasif lainnya tes seperti mean platelet volume
(MPV)/platelet rasio adalah pengukuran rutin yang merupakan bagian dari hitung
darah lengkap. Peningkatan MPV telah diamati pada infeksi HBV kronis karena
peningkatan produksi trombosit yang baru diproduksi ke dalam sirkulasi, yang
lebih besar volumenya dari trombosit tua. yang direkomendasikan untuk
mendeteksi fibrosis hati, metode ini merupakan parameteryang dapat diukur dalam
praktik sehari-hari dan tidak mahal.
Pasienterinfeksi HBV kronis dan VHC, mempunyai MPV dengan kadar lebih tinggi ditemukan di antara penderita yang mengalami fibrosis hati. Kadar besi serum meningkat pada Hepatitis B
kronik, pada sirosis dan HCC. Serum besi yang meningkat juga terjadi pada
hepatitis C kronis dan penyakit hati alkoholik penyakit. Namun, zat besi
dikonsumsi sel kanker dalam jumlah besar sehingga mengakibatkan kadar besi
serum berkurang. Selain itu, tingkat feritin serumsecara signifikan lebih
tinggi pada hepatitis B, penyakit hati termasuk sirosis dan HCC, kemungkinan
besarmencerminkan peningkatan pelepasan feritin dari hepatosit yang rusak
akibat replikasi HBV dan/atau cedera terkait retensi besi. Hal ini sesuai
dengan temuan Sulaiman (2021) bahwa kadar serum feritin menjadi tinggi pada penderita akibat VHB kronik jika dibandingkan
pada pasien sirosis dan HCC, karena cedera hati yang lebih menonjol pada penderita VHB kronik, seperti
ditunjukkan tingkat ALT yang tinggi terjadi di hepatitis B kronik.
����������� Pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan MPVmenggunakan tabung EDTA yang diambil dari vena mediana cubiti
sebanyak 2cc, kemudian darah didalam tabung EDTA segera di homogenkan. Pemeriksaan
MPV dilaksanakan melalui pemanfaatan alat penganalisa penghitung sel otomatisSysmex
XN-1000 melalui cara sitometri aliran. Dalam hal ini, alat tersebut
memberi tawaran terkait indek
trombosit yang bisa dilakukan pemeriksaan melalui alat penganalisa penghitung sel XN-1000. MPV berbentuk persentase
trombosit yang beretikulum. Dalam melakukan
pemeriksaan, retikulum
trombosit akan diberi warna serta tanda baca melalui sitometri aliran.
Pengambilan sampel
darah untuk pemeriksaan Trombosit menggunakan tabung EDTA yang diambil dari
vena mediana cubiti sebanyak 2cc, kemudian darah didalam tabung EDTA segera di
homogenkan. Pemeriksaan trombosit dilaksanakan melalui
pemanfaatan
alat penganalisa penghitung sel analyzerSysmex
XN-1000 melalui cara sitometri aliran. Dalam hal ini, alat
tersebut memberi tawaran terkait indek trombosit
yang bisa dilakukan pemeriksaan melalui alat penganalisa penghitung sel XN-1000. Dalam melakukan pemeriksaan, retikulum
trombosit akan diberi warna serta tanda baca melalui sitometri aliran.
Data analisis dilaksanakan melalui SPSS. Dengan menyajikan karakteristik
responden berbentuk Table. Diferensiasi antara tingkat MPV/PLT Rasio serta Ferritin dalam penyakit karena HVB kronis dengan sirosis maupun tanpa sirosis melalui pengujian T-test saat data terdistribusi secara normal. Serta
dilakukan pengujian Mann Whitney, saat
data tidak normal. Semua pengujian tersebut apabila p < 0,05 maka
dinyatakan bermakna. Pada penelitian ini telah dilakukan uji distribusi data
yang menunjukkan data tersebut tidak terdistribusi normal, maka pengujian
dilakukan melalui Mann Whitney.
Hasil
Telah dilakukan
penelitian dengan sampel yang terdiri dari 25 responden penderita
VHB kronis dengan sirosis serta 25 responden penderita VHB Kronis tanpa sirosis
melalui pendekatan Cross Sectional pada yang
datang berobat ke Poliklinik Hepatologi dan Ruangan Rawat Inap Subdivisi
Gastroenterohepatologi RSU H. Adam Malik yang telah memeuhi kriteria inklusi.
Perbedaan
Sesuai Gender dan Umur
Subyek dengan gender
pria mayoritas di dua kelompok studi, berjumlah 19 orang
(76%) pada kelompok hepatitis B kronik dengan sirosis dan berjumlah 23 orang
(92%) pada kelompok hepatitis B kronik tanpa sirosis. Berdasarkan usia, pada
kelompok hepatitis B kronik dengan sirosis menunjukkan rerata 58,6 tahun (SD =
6,45 tahun) dan pada kelompok hepatitis B kronik tanpa sirosis dengan
Table 1
Perbedaan Sesuai Gender dan Umur
Karateristik |
Hepatitis B
Kronik dengan Sirosis N������� (%) |
Hepatitis B
Kronik Tanpa Sirosis N������� (%) |
p |
Gender |
|
|
|
��
Pria |
19������� (76) |
23������ (92) |
0,247a |
��
Perempuan |
�6��������
(24) |
2������� (8) |
|
Usia, tahun |
|
|
|
��
Mean �SD |
58,6 �6,45 |
50,36 �5,12 |
<0,001b |
aFischer�s Exact, bT
Independent
Perbedaan Nilai Ferritin, Platelet, MPV
dan Rasio MPV/PLT
Table 2
menampilkan nilai ferritin, PLT, MPV, dan rasio MPV/PLT pada kelompok subyek VHB
kronik dengan sirosis serta pada kelompok
subyek VHB
kronik tidak dengan sirosis.
Table 2
Perbedaan Nilai
Ferritin, Platelet, MPV dan Rasio MPV/PLT
VARIABEL |
Hepatitis B Kronik dengan Sirosis (Mean �SD) |
Hepatitis B
Kronik tanpa Sirosis (Mean �SD) |
p* |
|
|
|
|
Ferritin, ng/mL |
969,12 �571,66 |
203,38 �56,16 |
<0,001 |
|
|
|
|
PLT, x104/mm3 |
9,98 �1,75 |
23,65 �6,17 |
<0,001 |
|
|
|
|
MPV, fL |
10,96 �0,69 |
8,32 �1,26 |
<0,001 |
|
|
|
|
Rasio MPV/PLT |
1,15 �0,33 |
0,37 �0,08 |
<0,001 |
*Mann Whitney
Perbedaan
Nilai Ferritin
Hasil studi menunjukkan bahwa rerata nilai
ferritin pada kelompok subyek hepatitis B kronik dengan sirosis adalah 969,12
ng/mL (SD �571,66 ng/mL) sementara itu pada kelompok
subyek hepatitis B kronik tanpa sirosis memiliki nilai ferritin yang jauh lebih
rendah dengan rerata 203,38 ng/mL (SD �56,16 ng/mL). Hasil pengujian Mann Whitney memperlihatkan
bahwa ada diferensiasi rerata nilai ferritin
secara signifikan yakni kelompok VHB
kronik dengan sirosis dan kelompok VHB
kronik tanpa sirosis (p<0,001).
Gambar 1
Grafik Boxplot
Kadar Ferritin pada Kedua Kelompok Subyek
Perbedaan
Nilai PLT
����������� Hasil
studi menunjukkan bahwa rerata nilai PLT pada kelompok subyek hepatitis B
kronik tanpa sirosis adalah 23,65 x104/mm3 (SD �6,17
x104/mm3) sementara itu pada kelompok subyek hepatitis B
kronik dengan sirosis memiliki nilai PLT yang jauh lebih rendah dengan rerata
9,98 x104/mm3 (SD �1,75 x104/mm3).
Hasil pengujian Mann
Whitney
memperlihatkan bahwa ada
diferensiasi rerata nilai PLT secara
signifikan yakni kelompok VHB kronik dengan
sirosis dan
kelompok VHB
kronik tanpa sirosis (p<0,001).
Gambar 2
Grafik Boxplot
Kadar PLT pada Kedua Kelompok Subyek
Perbedaan
Nilai MPV
����������� Hasil
studi menunjukkan bahwa rerata nilai MPV pada kelompok subyek hepatitis B
kronik dengan sirosis adalah10,96 fL (SD �0,69fL) sementara
itu pada kelompok subyek hepatitis B kronik tanpa sirosis memiliki nilai MPV
yang lebih rendah dengan rerata 8,32 fL (SD �1,26 fL). Hasil pengujian Mann Whitney memperlihatkan
bahwa ada diferensiasi rerata nilai MPV secara
signifikan yakni kelompok VHB kronik dengan
sirosis dan
kelompok VHB
kronik tanpa sirosis (p<0,001). �
Gambar 3
Grafik Boxplot
Kadar MPV pada pada Kedua Kelompok Subyek
Perbedaan
Nilai Rasio MPV/PLT
����������� Hasil
studi menunjukkan bahwa rerata nilai rasio MPV/PLT pada kelompok subyek
hepatitis B kronik dengan sirosis adalah 1,15 (SD �0,33)
sementara itu pada kelompok subyek hepatitis B kronik tanpa sirosis memiliki
nilai rasio MPV/PLT yang lebih rendah dengan rerata 0,37 (SD �0,08).
Hasil pengujian Mann
Whitney
memperlihatkan bahwa ada
diferensiasi rerata nilai rasio MPV/PLT secara
signifikan yakni kelompok VHB kronik dengan
sirosis dan
kelompok VHB
kronik tanpa sirosis (p<0,001).�
Gambar 4
Grafik Boxplot
Rasio MPV/PLT pada pada pada Kedua Kelompok Subyek
Pembahasan
Perbedaan Sesuai
Gender dan Umur
Pada penelitian
ini di bandingkan subyek antara gender pria serta
wanita. Subyek bergender pria
mayoritas di dua kelompok studi, berjumlah 19 orang (76%) pada kelompok
hepatitis B kronik dengan sirosis dan berjumlah 23 orang (92%) pada kelompok
hepatitis B kronik tanpa sirosis. Berdasarkan usia, pada kelompok hepatitis B
kronik dengan sirosis menunjukkan rerata 58,6 tahun (SD �6,45
tahun) dan pada kelompok hepatitis B kronik tanpa sirosis dengan rerata 50,36
tahun (SD �5,12 tahun).
Berdasarkan data
yang diperoleh dari penelitian saya �didapatkan proporsi tertinggi pasien
hepatitis B kronik dengan sirosis hati sesuai gender yaitu
pria sejumlah
76 %, serta berjumlah 23 orang (92%) pada kelompok hepatitis B kronik tanpa
sirosis. Penelitian yang dilakukan menunjukkan hasil yang selaras
dengan Hasieh
(2018) dan Karagoz (2014), yang menyebutkan
pria lebih banyak terpapar VHB dengan sirosis dibanding wanita.
Berdasarkan usia, pada kelompok hepatitis B kronik dengan sirosis
menunjukkan rerata 48,6 tahun (SD = 6,45 tahun) dan pada kelompok hepatitis B
kronik tanpa sirosis dengan rerata 40,36 tahun. Selaras dengan penyampaian Liu (2012), bahwa VHB adalah penyakit hati
kronis yang akan muncul sejalan dengan usia yang bertambah. Penyakit sirosis yang diakibatkan oleh VHB umumnya berjalan lambat dan berangsur lama. Selaras dengan David
(2017) bahwa
proporsi tertinggi penderita sirosis mengacu pada
riwayat penyakitnya yakni hepatitis B, dimana alkohol
merupakan sumber utama penyakit sirosis.
Sirosis hati dikarenakan
oleh hepatitis B adalah suatu lanjutan dari rusaknya hati yang sudah kronis. Dalam keadaan
penyakit sirosis yang berada di stadium kompensasi, akan dirasa
susah untuk melakukan penegakkan diagnose terhadap
sirosis hati. Adapun dapat dilakukan penegakkan diagnosa berbantuan dengan memerikan secara klinis pada
laboratorium serologi, maupun penunjang lainnya.
Dalam kasus tertentu maka
dibutuhkan pemeriksaan
biopsi hati. Hal tersebut dikarenakan susahnya
membedakan hepatitis kronis yang aktif dengan
sirosis hati (Liu et al., 2012).
Apabila sirosis mengalami perkembangan menjadi sirosis dekompensata, maka
akan muncul berbagai gejala seperti halnya komplikasi kerusakan hati maupun hipertensi
porta antara lain: rambut yang rontok, tidur yang terganggu, serta gejala
demam. Adapun gejala lain yakni darah yang membeku,
gusi berdarah, maupun yang
lainnya. Selain itu, ada juga gejala berubahnya mental seseorang (Karagoz et al., 2014).
Perbedaan Nilai Ferritin, Platelet, MPV
dan Rasio MPV/PLT
Pada Table 2
terlihat perbedaan yang signifikan nilai ferritin, PLT, MPV, dan rasio MPV/PLT
pada kelompok subyek hepatitis B kronik dengan sirosis dan pada kelompok
subyek� hepatitis B kronik tanpa sirosis.
Perbedaan ini disebabkan karena lebih meningkatnya produksi sitokin pro
inflamasi pada pasien Hepatitis B kronik dengan sirosis hepatis jika
dibandingkan dengan hepatitis B kronik tanpa sirosis, banyak sitokin terlibat
pada awal inflamasi pada pasien Hepatitis B kronik dengan sirosis hepatis
seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α),� interleukine-1
beta (IL-1β), Interleukin 6 (IL-6), interferon-γ (IF- γ), IL-17,
IL-18, Intercelluler Adhesion molecule 1(ICAM-1), dan Vascular Celluler Adhesion molecule 1 (VCAM-1) dan secara bersamaan
terjadi penurunan kadar sitokin
antiinflamasi (misalnya, IL-10,
transforming growth factor-β (TGF- β) yang berperan pada proses inflamasi hati. Pada kondisi hepatitis B
kronis, terjadi produksi sitokin yang berlebih yang memicu peradangan dan
kematian sel hati serta meningkatnya perkembangan jaringan ikat hati. Apabila
hal ini terjadi terus-menerus, sel-sel hati normal akan rusak dan digantikan
oleh jaringan ikat. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya sirosis hati
(Cristina et al, 2015).
Ferritin adalah
kompleks protein globular yang terdiri dari 24 subunit protein dan merupakan
protein penyimpanan besi intraseluler utama di prokariota dan eukariota,
menjaga besi dalam bentuk yang larut dan tidak beracun. Ferritin yang tidak
digabungkan dengan zat besi disebut apoferritin.
Hepatitis B dan disfungsi hati akibat sirosis dapat mengganggu homeostasis besi. Terjadi penumpukan zat
besi yang berlebihan di hati menyebabkan cedera lebih lanjut dengan memicu nekrosis hepatoseluler, disfungsi endotel dan sirkulasi pada
hepatosit, peradangan, fibrosis, bahwa pengendapan zat besi secara kronis
meningkatkan perkembangan kerusakan hati dan meningkatkan risiko fibrosis,
peningkatan oksidatif stress pada
sirosis, dan karsinoma hepatoseluler
pada pasien hepatitis B maupun pasien sirosis hepatis. Selain itu kelebihan zat
besi di hati akibat disfungsi hati dapat menyebabkan efek buruk pada respon
terapi antivirus untuk hepatitis B kronis (Cristina
et al, 2015).
Sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Imtithal et al
(2018). Bahwa kadar feritin serum pada
kelompok Hepatitis B positif secara signifikan lebih tinggi dari pada kelompok
kontrol (P = 0,000). Penelitian ini menyimpulkan bahwa kadar ferritin serum
meningkat pada pasien dengan virus Hepatitis B Peningkatan ferritin
kemungkinan besar mencerminkan peningkatan pelepasan ferritin dari hepatosit
yang mengalami inflamasi dan terjadi peningkatan deposit atau pengendapan besi
di hepatosit akibat replikasi HBV dan
/ atau besi cedera terkait retensi (Imtithal et al, 2018).
Gangguan zat besi
pada pasien hepatitis B maupun sirosis hati erat kaitannya secara fisiologis
dengan hepsidin. Hepsidin, memainkan peranan utama dalam hemostasis zat besi,
hal ini menjelaskan kenapa pada
sirosis hati terjadi kelebihan besi. Hepsidin secara konstitutif diproduksi
oleh hati dan dilepaskan ke dalam darah sebagai respons terhadap penyimpanan
zat besi yang berlebihan dengan menghambat transporter
besi utama dalam enterosit (ferroportin).
Oleh karena itu, terjadi gangguan penyerapan zat besi (Cristina et al, 2015).
Hepsidin juga
telah terlibat dalam sistem imun bawaan dan produksinya juga diatur oleh
keadaan inflamasi. Produksi hepsidin pada pasien dengan sirosis terkait dengan
kelebihan zat besi. Mempertimbangkan bahwa hepsidin diproduksi di hati, secara hipotetis, Jika terjadi gagal
hati pada sirosis hati, mungkin ada penurunan hepsidin meskipun deposit besi
yang cukup atau berlebihan, yang pada gilirannya akan menyebabkan penyerapan
zat besi yang lebih besar dari usus dan karenanya kelebihan zat besi (Cristina
et al, 2015).
Terdapat hubungan feritin dengan hepcidin
yang kaitannya dengan proses inflamasi pada penyakit hati kronik. Hepcidin adalah sarana regulasi utama pada homeostasis besi untuk mengkoordinasikan
pemanfaatan serta menyimpan besi dalam tubuh sesuai
keperluan.
Hasil kerja feroportin bias membuat penyediaan dari
zat besi dalam tubuh menjadi berhenti yang membuat kadar
besi menjadi turun untuk aktivitas
eritropoiesis dalam menandai terjadinya
gangguan homeostasis besi dalam tubuh (Sungkar et al., 2019).
Sebaliknya, pasien
dengan sirosis hati dan asites
memiliki translokasi bakteri yang disebut Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP), oleh karena itu, mengalami
peradangan yang lebih besar, yang dapat mempengaruhi produksi hepcidin atau
menyebabkan peningkatan ferritin sebagai protein fase akut. Sebaliknya,
kelebihan zat besi dapat menyebabkan peningkatan peradangan hati dengan
meningkatnya oksidatif stress dan
fibrosis dan karena itu dapat berpengaruh tekanan portal (Ripoll et al., 2015).
Sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Cristina (2015). Pada pasien dengan sirosis, kadar feritin serum berhubungan
dengan penanda insufisiensi hati, inflamasi, dan disfungsi peredaran darah. Pada hasil penelitian ini juga terlihat
perbedaan yang sangat signifikan antara jumlah trombosit, MPV dan MPV/PLT rasio
antara pasien hepatitis B kronik dengan sirosis dan hepatitis B kronik tanpa
sirosis. Terlihat jumlah trombosit pada pasien hepatitis B kronik dengan
sirosis lebih rendah jika dibandingkan dengan pasien hepatitis B kronik tanpa
sirosis, perbedaan ini disebabkan oleh gangguan hematologik yang sering terjadi
pada sirosis adalah kecenderungan perdarahan, anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Perdarahan yang terjadi
pada sirosis hati dapat bervariasi dari yang paling ringan seperti ekimosis sampai yang paling berat dan
mengancam nyawa seperti perdarahan saluran cerna bagian atas (Al Hijjah et al., 2018).
Sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hiroya (2018). Hasil penelitian mereka
memperlihatkan jumlah trombosit group sirosis hati lebih rendah yaitu 116.000 dibandingkan dengan jumlah trombosit
pada group non sirosis hati yaitu 260.000. �Sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Karagoz et al (2014). Hasil penelitian
mereka memperlihatkan jumlah trombosit group sirosis hati lebih rendah yaitu 90.000
dibandingkan dengan jumlah trombosit pada group non sirosis hati yaitu 180.000.
Pada penelitian ini juga terlihat kadar MPV yang lebih tinggi pada pasien
hepatitis B kronik dengan sirosis jika dibandingkan dengan pasien hepatitis B kronik tanpa sirosis,
perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adanya resiko
perdarahan yang sering dialami pasien sirosis hepatis, sehingga menyebabkan
jumlah trombosit rendah yang akan memicu sumsum tulang untuk memproduksi
trombosit muda yang berukuran lebih besar ini tergambar sebagai MPV. Selain itu ada
juga peran inflamasi, sitokin terutama
TNFα, interleukin-1 dan interleukin-6, atau infeksi virus yang
memicu percepatan destruksi trombosit
(Karagoz, 2014).
Data yang diperoleh menunjukan bahwa
trombositopenia lebih banyak terjadi pada pasien dengan sirosis hepatis dengan Varises Esofagus (63,8%) dibandingkan dengan pasien
tanpa Varises Esofagus (36,2%). Penelitian terdahulu mendapatkan pada sirosis
hati dengan Hipertensi Portal 70% mengalami trombositopenia. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Schoffski et al, 2018 ndengan
180 sampel penelitiaan menemukan bahwa trombositopenia
merupakan prediktor yang baik untuk sirosis hepatis
dengan
Varises Esofagus. Pada keadaan normal kira-kira 30% trombosit berada dalam
limpa, tetapi pada Sirosis Hati dengan splenomegali, jumlah trombosit yang menumpuk
di limpa � 80%, sehingga pada pemeriksaan di perifer didapati keadaan
trombositopenia. Selain itu produksi TPO yang tidak adekuat pada penyakit hati
lanjut merupakan penyebab terjadinya trombositopenia (Sch�ffski et al., 2018).
Mean platelet volume (MPV) dihitung dengan mesin yang
mengukur� ukuran rata-rata platelet yang termasuk dalam tes hitung
darah lengkap. Normal MPV berkisar dari 7,5 fL hingga 11,5 fL. Karena rata-rata
ukuran trombosit berbanding lurus dengan angkanya dari trombosit yang diproduksi,
MPV merupakan indikasi dari peningkatan produksi� di sumsum tulang. MPV lebih tinggi bila
terjadi kerusakan trombosit, seperti yang diamati pada penderita penyakit
radang hati, penyakit mieloproliferatif
dan sindrom Bernard-Soulier. MPV
mungkin juga menjadi lebih tinggi pada pasien dengan penyakit radang hati
kronik. Sebaliknya, nilai MPV yang sangat rendah merupakan indikasi
trombositopenia karena produksi�
trombosit yang rusak seperti yang diamati pada pasien dengan aplastik
anemia (Sch�ffski et al., 2018).
Beberapa
penelitian telah melaporkan bahwa sirosis hati dan fibrosis terkait dengan MPV.
MPV meningkat, serta penurunan
jumlah trombosit, mencerminkan tingkat fibrosis yang lebih besar. Penemuan ini
menyarankan bahwa rasio MPV ke PLT mungkin berkorelasi kuat dengan derajat
fibrosis hati. MPV lebih tinggi telah dilaporkan pada pasien dengan hepatitis B
dan sirosis, dimana tingkat fibrosis dan MPV telah dilaporkan berkorelasi pada
pasien dengan hepatitis B kronis. MPV juga dapat memprediksi sirosis pada
pasien dengan hepatitis C kronis. MPV telah dikaitkan tidak hanya dengan
stadium fibrosis tetapi dengan derajat peradangan hati. Sebagai contoh, MPV
yang lebih tinggi telah diamati pada pasien dengan NASH dan MPV ditemukan
berkorelasi dengan keberadaannya penyakit hati berlemak nonalkohol (NAFLD) (Karaoğullarindan et al., 2023).
Sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hiroya et al (2018). Hasil penelitian mereka memperlihatkan kadar MPV group sirosis hati
lebih tinggi yaitu 11,7 fL dibandingkan dengan kadar MPV pada group non sirosis
hati yaitu 10,2 fL. Sejalan juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Hokan et
al 2010. Diagnosis NAFLD secara eksklusif didasarkan pada pemeriksaan darah dan
pencitraan ultrasound. Mereka memperoleh hasil bahwa kadar MPV pada pasien
NAFLD lebih tinggi yaitu 11,43 fL dari kelompok kontrol yaitu 9,09 fL.
Terdapat perbedaan yang signifikan nilai rasio MPV/PLT pada kelompok
subyek hepatitis B kronik dengan sirosis dan pada kelompok subyek� hepatitis B kronik tanpa sirosis ( p<
0,001).� Sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hiroya et al (2018). Hasil penelitian mereka memperlihatkan kadar MPV/PLT rasio group
sirosis lebih tinggi yaitu 1,10 dibandingkan dengan kadar MPV/PLT rasio pada
group non sirosis yaitu 0,64. Pasien terinfeksi HBV kronis dan virus hepatitis C
(HCV), memiliki MPV yang lebih tinggi ditemukan di antara pasien yang mengalami
fibrosis hati. Kerusakan trombosit di limpa dan peningkatan interleukin-6 karena peradangan pada
penyakit hati kronis diyakini terkait dengan peningkatan produksi trombosit di
sumsum tulang (Ceylan et al., 2013).
Nilai MPV yang
tinggi merupakan indikasi trombositopenia
karena trombosit yang rusak banyak diproduksi oleh sumsum tulang. Beberapa
penelitian telah melaporkan bahwa sirosis hati dan fibrosis terkait dengan MPV.
MPV meningkat, serta penurunan jumlah trombosit (PLT), mencerminkan tingkat
fibrosis yang lebih besar. Penemuan-penemuan ini menyarankan bahwa rasio
MPV/PLT berkorelasi sangat kuat dengan derajat fibrosis hati (Iida et al., 2018).
Dari penelitian
disimpulkan sebagai berikut : (1) Tidak ada perbedaan yang signifikan
berdasarkan gender pada pasien hepatitis B kronik dengan sirosis atau tanpa
sirosis (P = 0,247). (2) Ada perbedaan yang signifikan berdasarkan umur pada pasien
hepatitis B kronik dengan sirosis atau tanpa sirosis (P< 0,001). (3) Ada
perbedaan yang signifikan kadar MPV pada pasien hepatitis B kronik dengan
sirosis atau tanpa sirosis (P< 0,001). (4) Ada perbedaan yang signifikan
kadar Platelet pada pasien hepatitis B kronik dengan sirosis atau tanpa sirosis
(P< 0,001). (5) Ada perbedaan yang signifikan kadar Ferritin pada pasien
hepatitis B kronik dengan sirosis atau tanpa sirosis (P< 0,001). (6) Ada
perbedaan yang signifikan nilai MPV/PLT rasio pada pasien hepatitis B kronik
dengan sirosis atau tanpa sirosis (P< 0,001).
Al
Hijjah, F., Yaswir, R., & Syah, N. A. (2018). Gambaran Jumlah Trombosit
Berdasarkan Berat Ringannya Penyakit pada Pasien Sirosis Hati dengan Perdarahan
di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 6(3), 609�614.
Al Rahmad, A. H., & SKM, M. P. H.
(2021). Penggunaan aplikasi WHO Anthro dalam analisis status gizi. Ashriady
(Ed.), Epidemiologi Gizi, 103.
Ceylan, B., Fincanci, M., Yardimci,
C., Eren, G., T�zalgan, �., M�derrisoglu, C., & Pasaoglu, E. (2013). Can
mean platelet volume determine the severity of liver fibrosis or inflammation
in patients with chronic hepatitis B? European Journal of Gastroenterology
& Hepatology, 25(5), 606�612.
Hsieh, K., Ananthanarayanan, G.,
Bodik, P., Venkataraman, S., Bahl, P., Philipose, M., Gibbons, P. B., &
Mutlu, O. (2018). Focus: Querying large video datasets with low latency and low
cost. 13th {USENIX} Symposium on Operating Systems Design and Implementation
({OSDI} 18), 269�286.
Iida, H., Kaibori, M., Matsui, K.,
Ishizaki, M., & Kon, M. (2018). Ratio of mean platelet volume to platelet
count is a potential surrogate marker predicting liver cirrhosis. World
Journal of Hepatology, 10(1), 82.
Kao, J.-H., & Chen, D.-S. (2018).
Hepatitis B virus and liver disease. Springer.
Karagoz, E., Ulcay, A., Tanoglu, A.,
Kara, M., Turhan, V., Erdem, H., Oncul, O., & Gorenek, L. (2014). Clinical
usefulness of mean platelet volume and red blood cell distribution width to
platelet ratio for predicting the severity of hepatic fibrosis in chronic hepatitis
B virus patients. European Journal of Gastroenterology & Hepatology,
26(12), 1320�1324.
Karaoğullarindan, �., �sk�dar,
O., Odabaş, E., Saday, M., Akkuş, G., Delik, A., G�m�rd�l�, Y., &
Kuran, S. (2023). Is mean platelet volume a simple marker of non-alcoholic
fatty liver disease? Indian Journal of Gastroenterology, 1�7.
Kemenkes RI. (2018). Pedoman
Pengelolaan Rekam Medis Rumah Sakit di Indonesia. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Lippi, G., Filippozzi, L., Salvagno,
G. L., Montagnana, M., Franchini, M., Guidi, G. C., & Targher, G. (2009).
Increased mean platelet volume in patients with acute coronary syndromes. Archives
of Pathology & Laboratory Medicine, 133(9), 1441�1443.
Liu, S., Ren, J., Han, G., Wang, G.,
Gu, G., Xia, Q., & Li, J. (2012). Mean platelet volume: a controversial
marker of disease activity in Crohn�s disease. European Journal of Medical
Research, 17(1), 1�7.
Madihi, S., Syed, H., Lazar, F.,
Zyad, A., & Benani, A. (2020). A systematic review of the current hepatitis
B viral infection and hepatocellular carcinoma situation in Mediterranean
countries. Biomed Research International, 2020.
Muljono, D. H. (2017). Epidemiology
of hepatitis B and C in Republic of Indonesia. Euroasian Journal of
Hepato-Gastroenterology, 7(1), 55.
Nutrisi, D. (2019). Terapi Hormon
Insulin. Penyakit Infeksi Di Indonesia Solusi Kini & Mendatang Edisi
Kedua: Solusi Kini Dan Mendatang, 406.
Ri, K. (2018). Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 170�173.
Ripoll, C., Keitel, F., Hollenbach,
M., Greinert, R., & Zipprich, A. (2015). Serum ferritin in patients with
cirrhosis is associated with markers of liver insufficiency and circulatory
dysfunction, but not of portal hypertension. Journal of Clinical
Gastroenterology, 49(9), 784�789.
Sch�ffski, P., Sufliarsky, J.,
Gelderblom, H., Blay, J.-Y., Strauss, S. J., Stacchiotti, S., Rutkowski, P.,
Lindner, L. H., Leahy, M. G., & Italiano, A. (2018). Crizotinib in patients
with advanced, inoperable inflammatory myofibroblastic tumours with and without
anaplastic lymphoma kinase gene alterations (European Organisation for Research
and Treatment of Cancer 90101 CREATE): a multicentre, single-drug, prospective,
non-randomised phase 2 trial. The Lancet Respiratory Medicine, 6(6),
431�441.
Sulaiman, A. S., Hasan, I., Lesmana,
C. R. A., Jasirwan, C. O. M., Nababan, S. H. H., Kalista, K. F., Aprilicia, G.,
& Gani, R. A. (2021). Analog nukleosida/nukleotida sebagai terapi hepatitis
B kronis: studi kohort 3 tahun. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia| Vol, 8(3).
Sungkar, T., Rozi, M. F., Dairi, L.
B., & Zain, L. H. (2019). Serum ferritin levels: a potential biomarker to
represent Child-Turcotte-Pugh score among decompensated liver cirrhosis
patients. The Malaysian Journal of Medical Sciences: MJMS, 26(2),
59.
Yan, Y., Liu, F., Han, L., Zhao, L.,
Chen, J., Olopade, O. I., He, M., & Wei, M. (2018). HIF-2α promotes
conversion to a stem cell phenotype and induces chemoresistance in breast
cancer cells by activating Wnt and Notch pathways. Journal of Experimental
& Clinical Cancer Research, 37, 1�14.
Copyright
holder: Afrianda Wira
Sasmita, Taufik Sungkar, Jelita Siregar (2022) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |