Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 11, November 2022

 

PERBEDAAN KADAR MPV/PLT RASIO DAN FERRITIN PADA PASIEN HEPATITIS B KRONIK DENGAN SIROSIS ATAU TANPA SIROSIS

 

Afrianda Wira Sasmita, Taufik Sungkar, Jelita Siregar

Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan, Indonesia

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Subdivisi Gastroenterohepatologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan, Indonesia

E-Mail: [email protected]

 

Abstrak

Virus Hepatitis B (VHB) adalah suatu penyakit infeksi yang dewasa ini masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat. MPV merupakan prediktor sirosis hati, karena kadarnya yang sangat erat korelasinya dengan derajat inflamasi atau kerusakan hepatosit. MPV lebih tinggi dilaporkan pada pasien dengan hepatitis B dan Liver sirosis. Kerusakan pada hati dapat mengakibatkan trombopoetin menurun, yakni hormon glikoprotein dari hepatosit, menyebabkan jumlah trombosit menurun. Meningkatnya serum feritin pada penyakit hati dipengaruhi oleh kerusakan yang terjadi pada sel hati. feritin juga diklasifikasikan sebagai reaktan fase akut. Kadar feritin yang tinggi terkait dengan prognosis yang buruk dari penyakit hati kronis serta sirosis karena sekresinya bergantung pada sitokin tertentu yang memiliki peran selama lonjakan inflamasi. Adapun untuk melihat diferensiasi tingkat MPV/PLT rasio serta Feritin terhadap pasien hepatitis B kronis yakni melalui sirosis maupun tidak melalui sirosis. Penelitian dilakukan melalui pengambilan sampel darah terhadap pasien yang dirawat pada ruang perawatan penyakit dalam dan poliklinik Gastroenterohepatologi sebanyak 50 pasien. Sample diperiksa MPV, platelet, kemudian dihitung MPV/PLT rasio dan ferritin. Dalam hal ini, Penelitian dilakukan setelah didapatkan ethical approval serta informed consent. Terdapat perbedaan signifikan nilai ferritin, PLT, MPV, dan rasio MPV/PLT pada kelompok subyek hepatitis B melalui sirosis serta pada kelompok subyek hepatitis B tidak melalui sirosis.(p< 0,001).Terdapat perbedaan yang signifikan nilai ferritin, PLT, MPV, dan rasio MPV/PLT pada kelompok subyek hepatitis B melalui sirosis serta pada kelompok subyek� hepatitis B tidak melalui sirosis.(P< 0,001).

 

Kata Kunci : Hepatitis B kronis melalui sirosis dan tidak melalui sirosis, MPV/PLT rasio, Feritin.

 

Abstract

Hepatitis B Virus (HBV) is an infectious disease which today is still a public health problem. MPV is a predictor of liver cirrhosis, because its levels are closely correlated with the degree of inflammation or hepatocyte damage. Higher MPV was reported in patients with hepatitis B and liver cirrhosis. Liver damage will also cause reduced thrombopoetin, a glycoprotein hormone produced by hepatocytes, causing the platelet count to decrease. The increase in serum ferritin levels in liver disease mostly comes from injured liver cells. ferritin is also classified as an acute phase reactant. High ferritin levels are associated with a poor prognosis of chronic liver disease and cirrhosis because their secretion depends on certain cytokines that play a role during the inflammatory spike. As for seeing the difference in the MPV/PLT ratio and Ferritin levels in chronic hepatitis B patients, namely through cirrhosis or not through cirrhosis. This study took blood samples of 50 patients treated in internal medicine ward and gastroenterohepatology polyclinic. Samples were examined for MPV, platelets, then calculated the MPV / PLT ratio and ferritin. In this case, the research was conducted after obtaining ethical approval and informed consent. There were significant differences in the values of ferritin, PLT, MPV, and MPV / PLT ratio in the hepatitis B subject group with cirrhosis and in the hepatitis B subject group without cirrhosis. (P <0.001). There were significant differences in the values of ferritin, PLT, MPV, and MPV / PLT ratio in the hepatitis B subject group with cirrhosis and in the hepatitis B subject group without cirrhosis (P <0.001).

 

Keywords: Chronic hepatitis B with cirrhosis or without cirrhosis, MPV / PLT ratio, Ferritin.

 

Pendahuluan

Virus Hepatitis B (VHB) adalah suatu penyakit yang dapat menginfeksi seseorang, dan dewasa ini tetap menjadi permasalahan dalam dunia kesehatan, dikarenakan sekitar 2 miliar orang terpapar penyakit tersebut, serta >350 juta terpapar VHB kronis sehingga berdampak pada terjadinya kasus kematian sekitar 2 juta orang tiap tahunnya yang disebabkan kanker liver. Secara geografi, prevalensi virus ini berkisar 40% nya berasal dari populasi pada daerah endemik, misalnya Afrika (Madihi et al., 2020).

WHO menyebutkan virus tersebut adalah virus yang mematikan peringkat ke 10 dunia, yang endemisnya pada benua Asia, diantaranya Indonesia. Setiap tahunnya terjadi kematian berkisar 250 ribu pengidap VHB karena sirosis hati, dan berkisar 350 ribu orang di dunia yang mengalami kematian karena komplikasi VHC (Madihi et al., 2020).

Indonesia termasuk dalam jajaran masyarakat yang paling banyak terpapar VHB peringkat 3 dunia yang pengidapnya berjumlah sekitar 13 juta jiwa, dimana 1 dari 20 orangnya terpapar VHB. Dalam hal ini, masyarakat terpapar VHB dari usia dini. Sekitar 8-10% penduduk di benua Asia merupakan pengidap VHB kronis (Ri, 2018).

Indonesia adalah negara tropis yang memiliki bonus demografi terbanyak dan merupakan peringkat 4 dunia, serta memiliki masyarakat penderita VHB terbanyak ke-2 di Asia Tenggara. Hasil Riskesdas menunjukkan dari 100 masyarakat, 10 diantaranya adalah penderita VHB ataupun VHC. Dengan demikian, sekitar 28 juta masyarakat terpapar VHB maupun VHC, dan sekitar 14 juta jiwanya berpotensi kronik, serta sekitar 1,4 juta jiwanya berpotensi mengalami Kanker hati (Kemenkes RI, 2018).

VHB adalah virus yang memiliki bentuk sirkular. VHB bertambah banyak dengan reverse transcriptase RNA, yang digunakan dalam rangka melakukan sintesis nukleotida. VHB terus berevolusi sampai sekarang, sedikitnya 7,72 x 10 tiap tahunnya. Morfologi VHB memiliki bentuk bulat yang terselubung ganda. Pada bagian luarnya dibentuk oleh HBsAg, adapun pada bagian dalamnya dibentuk oleh HBcAg, yang dibantu replikasi melalui VHB DNA serta enzim polimerase (Kao & Chen, 2018).

VHB bisa menginfeksi orang berapapun umurnya. VHB bisa berjenis asimtomatis, maupun infeksi VHB kronis, yang lambat laun dapat menimbulkan rusaknya hati serta kanker hati yang bisa menyebabkan seseorang meninggal. Penginfeksian VHB biasa dilakukan melalui darah maupun cairan tubuh seseorang pengidap VHB. Infeksinya bisa dengan penyaluran langsung misalnya hubungan seksual, donor darah, maupun karena penggunaan jarum yang digunakan secara berulang dari orang yang terpapar VHB. Adapun penularan lainnya, yakni melalui kontak dalam keluarga saat cairan yang dimiliki anggota keluarga pengidap VHB berkontak dengan kulit anggota keluarga lain yang sedang luka. Adapun aktivitas untuk memeriksa serologi VHB diperlukan suatu peralatan khusus serta tenaga medis yang memiliki keterampilan (Kao & Chen, 2018).

Selain marker yang lazim diperiksa untuk menegakkan diagnosis hepatitis B, terdapat marker alternative seperti MPV yang dapat digunakan sebagai prediktor sirosis hati, karena kadarnya yang sangat erat korelasinya dengan derajat inflamasi atau kerusakan hepatosit. MPV lebih tinggi dilaporkan pada pasien dengan hepatitis B dan Liver sirosis, MPV juga berkorelasi dengan derajat fibrosis pada pasien sirosis hati dengan hepatitis B kronis. Hal ini disebabkan kerusakan hepatosit akan mengaktivasi respon inflamasi dan tissue factor yang akhirnya akan mengaktivasi factor koagulasi sehingga dapat mempengaruhi nilai MPV (Lippi et al., 2009). Selain itu, tingginya MPV atau MPV/PLT rasio dikaitkan dengan risiko tinggi untuk terjadinya HCC. Pemeriksaan korelasi antara rasio MPV/PLT rasio juga dapat sebagai prognosis pasca operasi pasien yang menjalani reseksi hati untuk HCC, MPV/PLT rasio juga terkait dengan kelangsungan hidup pasien setelah menjalani reseksi hati pada HCC (Karagoz et al., 2014).

Feritin yaitu suatu zat besi pendukung yang tersimpan dalam hati. Adapun kadarnya tergantung dari seberapa kerusakan yang terjadi pada sel hati (Al Rahmad & SKM, 2021). Peningkatan kadar pada penyakit hati paling besar dari sel hati pada saat terjadi kerusakan. Adapun pada penyakit hati kronis, mampu menghasilkan zat asam amino esensial untuk memenuhi kebutuhan hemopoeisis yang kurang. Kerusakan pada hati dapat menimbulkan hasilan trombopoetin yang kurang, yakni hormon glikoprotein dari hepatosit, yang membuat keseimbangan pembinasaan serta trombosit mengalami gangguan, sehingga menurunnya jumlah trombosit dalam tubuh.

Kadar feritin yang tinggi atau hiperferritinemia terkait dengan prognosis yang buruk dari penyakit hati kronis serta sirosis karena sekresinya juga bergantung pada sitokin tertentu yang memiliki beberapa peran selama lonjakan inflamasi. Selanjutnya ferritin juga diklasifikasikan sebagai reaktan fase akut Korelasi antara serum kadar feritin dan derajat peradangan terbukti di antara pasien penyakit hati kronis kemudian kadarnya membantu menentukan hasil klinis untuk pasien sirosis hati. Adanya kelebihan besi, merupakan petunjuk pertama, yang sangat diperlukan menginduksi kaskade inflamasi pada pasien radang kronis hati, ini berkaitan dengan perkembangan penyakit dan biasanya terjadi selama infeksi virus hepatitis (Sungkar et al., 2019).

Terdapat hubungan feritin dengan hepcidin yang kaitannya dengan proses inflamasi pada penyakit hati kronik. Hepcidin adalah sarana regulasi utama pada homeostasis besi untuk mengkoordinasikan pemanfaatan serta menyimpan besi dalam tubuh sesuai keperluan. Hasil kerja feroportin bias membuat penyediaan dari zat besi dalam tubuh menjadi berhenti yang membuat kadar besi menjadi turun untuk aktivitas eritropoiesis dalam menandai terjadinya gangguan homeostasis besi dalam tubuh (Sungkar et al., 2019).

Penyakit hati kronis dapat memiliki dampak terhadap metabolisme besi maupun zat besi karena mengalami perubahan yang disebabkan derajat inflamasi, ditambah dengan sitokin yang bisa menambah parah hati saat cedera. Hasil penelitian memperlihatkan retensi zat besi pada hepatosit dapat berdampak buruk terhadap hati yang rusak, serta hubungannya dengan resiko lebih tinggi dalam pengembangannya menjadi sirosis maupun HVB kronis (Nutrisi, 2019).

Pada tahun 1981, Blumberg dkk melaporkan bahwa indeks besi serum cenderung lebih tinggi pada pasien hepatitis B kronik. Kadar besi serum meningkat pada Hepatitis B kronik, pada sirosis dan HCC. Serum besi yang meningkat juga terjadi pada hepatitis C kronis dan penyakit hati alkoholik. Selain itu, tingkat feritin serum secara signifikan lebih tinggi pada hepatitis B, penyakit hati termasuk sirosis dan HCC, kemungkinan besar mencerminkan peningkatan pelepasan feritin dari hepatosit yang rusak akibat replikasi HBV. Hal ini sesuai dengan temuan Yan (2018) bahwa kadar serum feritin lebih besar pada penderita VHB kronis jika dibandingkan pada pasien sirosis dan HCC, karena cedera hati yang lebih menonjol pada penderita VHB kronis, seperti ditunjukkan dalam tingkat ALT yang tinggi terjadi di hepatitis B kronik.

Sebuah studi, dimana Taufik Dkk melakukan Studi dengan menganalisis 54 pasien sirosis hati dekompensasi termasuk 17 perempuan dan 37 pria antara Mei 2016 dan Mei 2017 di RSU H. Adam Malik, Indonesia. Kadar feritin kemudian dibagi menjadi nilai batas. Hasil yang di peroleh adalah Berdasarkan analisis data, gender dan skor CTP berhubungan dengan feritin yang lebih tinggitingkat (P = 0,002 dan P = 0,018. Selanjutnya, korelasi yang signifikan antaraKadar feritin serum dan skor CTP diperoleh dalam derajat sedang (P = 0,000; r = 0,487). Dari penelitian tersebut kemungkinan ada peran signifikan dari kadar feritin serum dalam memprediksi mortalitas dan prognosis di antara pasien sirosis hati dekompensasi (Sungkar et al., 2019). Penelitian ini bertujuan melihat perbedaan kadar MPV/PLT Rasio dan ferritin pada VHB melalui sirosis ataupun tidak melalui sirosis.

 

Tinjauan Pustaka

Hepatitis B merupakan penyakit hati karena VHB, sehingga membuat hati menjadi meradang akut maupun menahun yang kedepannya dapat terjadi lebih buruk, seperti halnya kanker hati. Ada juga banyak marker biokimia noninvasif lainnya tes seperti mean platelet volume (MPV)/platelet rasio adalah pengukuran rutin yang merupakan bagian dari hitung darah lengkap. Peningkatan MPV telah diamati pada infeksi HBV kronis karena peningkatan produksi trombosit yang baru diproduksi ke dalam sirkulasi, yang lebih besar volumenya dari trombosit tua. yang direkomendasikan untuk mendeteksi fibrosis hati, metode ini merupakan parameteryang dapat diukur dalam praktik sehari-hari dan tidak mahal.

Pasienterinfeksi HBV kronis dan VHC, mempunyai MPV dengan kadar lebih tinggi ditemukan di antara penderita yang mengalami fibrosis hati. Kadar besi serum meningkat pada Hepatitis B kronik, pada sirosis dan HCC. Serum besi yang meningkat juga terjadi pada hepatitis C kronis dan penyakit hati alkoholik penyakit. Namun, zat besi dikonsumsi sel kanker dalam jumlah besar sehingga mengakibatkan kadar besi serum berkurang. Selain itu, tingkat feritin serumsecara signifikan lebih tinggi pada hepatitis B, penyakit hati termasuk sirosis dan HCC, kemungkinan besarmencerminkan peningkatan pelepasan feritin dari hepatosit yang rusak akibat replikasi HBV dan/atau cedera terkait retensi besi. Hal ini sesuai dengan temuan Sulaiman (2021) bahwa kadar serum feritin menjadi tinggi pada penderita akibat VHB kronik jika dibandingkan pada pasien sirosis dan HCC, karena cedera hati yang lebih menonjol pada penderita VHB kronik, seperti ditunjukkan tingkat ALT yang tinggi terjadi di hepatitis B kronik.

 

Metode Pelaksanaan

����������� Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan MPVmenggunakan tabung EDTA yang diambil dari vena mediana cubiti sebanyak 2cc, kemudian darah didalam tabung EDTA segera di homogenkan. Pemeriksaan MPV dilaksanakan melalui pemanfaatan alat penganalisa penghitung sel otomatisSysmex XN-1000 melalui cara sitometri aliran. Dalam hal ini, alat tersebut memberi tawaran terkait indek trombosit yang bisa dilakukan pemeriksaan melalui alat penganalisa penghitung sel XN-1000. MPV berbentuk persentase trombosit yang beretikulum. Dalam melakukan pemeriksaan, retikulum trombosit akan diberi warna serta tanda baca melalui sitometri aliran.

Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan Trombosit menggunakan tabung EDTA yang diambil dari vena mediana cubiti sebanyak 2cc, kemudian darah didalam tabung EDTA segera di homogenkan. Pemeriksaan trombosit dilaksanakan melalui pemanfaatan alat penganalisa penghitung sel analyzerSysmex XN-1000 melalui cara sitometri aliran. Dalam hal ini, alat tersebut memberi tawaran terkait indek trombosit yang bisa dilakukan pemeriksaan melalui alat penganalisa penghitung sel XN-1000. Dalam melakukan pemeriksaan, retikulum trombosit akan diberi warna serta tanda baca melalui sitometri aliran.

Data analisis dilaksanakan melalui SPSS. Dengan menyajikan karakteristik responden berbentuk Table. Diferensiasi antara tingkat MPV/PLT Rasio serta Ferritin dalam penyakit karena HVB kronis dengan sirosis maupun tanpa sirosis melalui pengujian T-test saat data terdistribusi secara normal. Serta dilakukan pengujian Mann Whitney, saat data tidak normal. Semua pengujian tersebut apabila p < 0,05 maka dinyatakan bermakna. Pada penelitian ini telah dilakukan uji distribusi data yang menunjukkan data tersebut tidak terdistribusi normal, maka pengujian dilakukan melalui Mann Whitney.

 

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Telah dilakukan penelitian dengan sampel yang terdiri dari 25 responden penderita VHB kronis dengan sirosis serta 25 responden penderita VHB Kronis tanpa sirosis melalui pendekatan Cross Sectional pada yang datang berobat ke Poliklinik Hepatologi dan Ruangan Rawat Inap Subdivisi Gastroenterohepatologi RSU H. Adam Malik yang telah memeuhi kriteria inklusi.

Perbedaan Sesuai Gender dan Umur

Subyek dengan gender pria mayoritas di dua kelompok studi, berjumlah 19 orang (76%) pada kelompok hepatitis B kronik dengan sirosis dan berjumlah 23 orang (92%) pada kelompok hepatitis B kronik tanpa sirosis. Berdasarkan usia, pada kelompok hepatitis B kronik dengan sirosis menunjukkan rerata 58,6 tahun (SD = 6,45 tahun) dan pada kelompok hepatitis B kronik tanpa sirosis dengan

Table 1

Perbedaan Sesuai Gender dan Umur

Karateristik

Hepatitis B Kronik

dengan Sirosis

N������� (%)

Hepatitis B Kronik

Tanpa Sirosis

N������� (%)

p

Gender

 

 

 

�� Pria

19������� (76)

23������ (92)

0,247a

�� Perempuan

�6�������� (24)

2������� (8)

 

Usia, tahun

 

 

 

�� Mean �SD

58,6 �6,45

50,36 �5,12

<0,001b

aFischer�s Exact, bT Independent

 

Perbedaan Nilai Ferritin, Platelet, MPV dan Rasio MPV/PLT

Table 2 menampilkan nilai ferritin, PLT, MPV, dan rasio MPV/PLT pada kelompok subyek VHB kronik dengan sirosis serta pada kelompok subyek VHB kronik tidak dengan sirosis.

 

Table 2

Perbedaan Nilai Ferritin, Platelet, MPV dan Rasio MPV/PLT

VARIABEL

Hepatitis B Kronik

dengan Sirosis

(Mean �SD)

Hepatitis B Kronik

tanpa Sirosis

(Mean �SD)

p*

 

 

 

 

Ferritin, ng/mL

969,12 �571,66

203,38 �56,16

<0,001

 

 

 

 

PLT, x104/mm3

9,98 �1,75

23,65 �6,17

<0,001

 

 

 

 

MPV, fL

10,96 �0,69

8,32 �1,26

<0,001

 

 

 

 

Rasio MPV/PLT

1,15 �0,33

0,37 �0,08

<0,001

 

*Mann Whitney

 

Perbedaan Nilai Ferritin

Hasil studi menunjukkan bahwa rerata nilai ferritin pada kelompok subyek hepatitis B kronik dengan sirosis adalah 969,12 ng/mL (SD �571,66 ng/mL) sementara itu pada kelompok subyek hepatitis B kronik tanpa sirosis memiliki nilai ferritin yang jauh lebih rendah dengan rerata 203,38 ng/mL (SD �56,16 ng/mL). Hasil pengujian Mann Whitney memperlihatkan bahwa ada diferensiasi rerata nilai ferritin secara signifikan yakni kelompok VHB kronik dengan sirosis dan kelompok VHB kronik tanpa sirosis (p<0,001).

 

 

 

 

Gambar 1

Grafik Boxplot Kadar Ferritin pada Kedua Kelompok Subyek

 

Perbedaan Nilai PLT

����������� Hasil studi menunjukkan bahwa rerata nilai PLT pada kelompok subyek hepatitis B kronik tanpa sirosis adalah 23,65 x104/mm3 (SD �6,17 x104/mm3) sementara itu pada kelompok subyek hepatitis B kronik dengan sirosis memiliki nilai PLT yang jauh lebih rendah dengan rerata 9,98 x104/mm3 (SD �1,75 x104/mm3). Hasil pengujian Mann Whitney memperlihatkan bahwa ada diferensiasi rerata nilai PLT secara signifikan yakni kelompok VHB kronik dengan sirosis dan kelompok VHB kronik tanpa sirosis (p<0,001).

 

Gambar 2

Grafik Boxplot Kadar PLT pada Kedua Kelompok Subyek

 

Perbedaan Nilai MPV

����������� Hasil studi menunjukkan bahwa rerata nilai MPV pada kelompok subyek hepatitis B kronik dengan sirosis adalah10,96 fL (SD �0,69fL) sementara itu pada kelompok subyek hepatitis B kronik tanpa sirosis memiliki nilai MPV yang lebih rendah dengan rerata 8,32 fL (SD �1,26 fL). Hasil pengujian Mann Whitney memperlihatkan bahwa ada diferensiasi rerata nilai MPV secara signifikan yakni kelompok VHB kronik dengan sirosis dan kelompok VHB kronik tanpa sirosis (p<0,001). �

 

Gambar 3

Grafik Boxplot Kadar MPV pada pada Kedua Kelompok Subyek

 

Perbedaan Nilai Rasio MPV/PLT

����������� Hasil studi menunjukkan bahwa rerata nilai rasio MPV/PLT pada kelompok subyek hepatitis B kronik dengan sirosis adalah 1,15 (SD �0,33) sementara itu pada kelompok subyek hepatitis B kronik tanpa sirosis memiliki nilai rasio MPV/PLT yang lebih rendah dengan rerata 0,37 (SD �0,08). Hasil pengujian Mann Whitney memperlihatkan bahwa ada diferensiasi rerata nilai rasio MPV/PLT secara signifikan yakni kelompok VHB kronik dengan sirosis dan kelompok VHB kronik tanpa sirosis (p<0,001).�

 

Gambar 4

Grafik Boxplot Rasio MPV/PLT pada pada pada Kedua Kelompok Subyek

Pembahasan

Perbedaan Sesuai Gender dan Umur

Pada penelitian ini di bandingkan subyek antara gender pria serta wanita. Subyek bergender pria mayoritas di dua kelompok studi, berjumlah 19 orang (76%) pada kelompok hepatitis B kronik dengan sirosis dan berjumlah 23 orang (92%) pada kelompok hepatitis B kronik tanpa sirosis. Berdasarkan usia, pada kelompok hepatitis B kronik dengan sirosis menunjukkan rerata 58,6 tahun (SD �6,45 tahun) dan pada kelompok hepatitis B kronik tanpa sirosis dengan rerata 50,36 tahun (SD �5,12 tahun).

Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian saya �didapatkan proporsi tertinggi pasien hepatitis B kronik dengan sirosis hati sesuai gender yaitu pria sejumlah 76 %, serta berjumlah 23 orang (92%) pada kelompok hepatitis B kronik tanpa sirosis. Penelitian yang dilakukan menunjukkan hasil yang selaras dengan Hasieh (2018) dan Karagoz (2014), yang menyebutkan pria lebih banyak terpapar VHB dengan sirosis dibanding wanita.

Berdasarkan usia, pada kelompok hepatitis B kronik dengan sirosis menunjukkan rerata 48,6 tahun (SD = 6,45 tahun) dan pada kelompok hepatitis B kronik tanpa sirosis dengan rerata 40,36 tahun. Selaras dengan penyampaian Liu (2012), bahwa VHB adalah penyakit hati kronis yang akan muncul sejalan dengan usia yang bertambah. Penyakit sirosis yang diakibatkan oleh VHB umumnya berjalan lambat dan berangsur lama. Selaras dengan David (2017) bahwa proporsi tertinggi penderita sirosis mengacu pada riwayat penyakitnya yakni hepatitis B, dimana alkohol merupakan sumber utama penyakit sirosis.

Sirosis hati dikarenakan oleh hepatitis B adalah suatu lanjutan dari rusaknya hati yang sudah kronis. Dalam keadaan penyakit sirosis yang berada di stadium kompensasi, akan dirasa susah untuk melakukan penegakkan diagnose terhadap sirosis hati. Adapun dapat dilakukan penegakkan diagnosa berbantuan dengan memerikan secara klinis pada laboratorium serologi, maupun penunjang lainnya. Dalam kasus tertentu maka dibutuhkan pemeriksaan biopsi hati. Hal tersebut dikarenakan susahnya membedakan hepatitis kronis yang aktif dengan sirosis hati (Liu et al., 2012).

Apabila sirosis mengalami perkembangan menjadi sirosis dekompensata, maka akan muncul berbagai gejala seperti halnya komplikasi kerusakan hati maupun hipertensi porta antara lain: rambut yang rontok, tidur yang terganggu, serta gejala demam. Adapun gejala lain yakni darah yang membeku, gusi berdarah, maupun yang lainnya. Selain itu, ada juga gejala berubahnya mental seseorang (Karagoz et al., 2014).

Perbedaan Nilai Ferritin, Platelet, MPV dan Rasio MPV/PLT

Pada Table 2 terlihat perbedaan yang signifikan nilai ferritin, PLT, MPV, dan rasio MPV/PLT pada kelompok subyek hepatitis B kronik dengan sirosis dan pada kelompok subyek� hepatitis B kronik tanpa sirosis. Perbedaan ini disebabkan karena lebih meningkatnya produksi sitokin pro inflamasi pada pasien Hepatitis B kronik dengan sirosis hepatis jika dibandingkan dengan hepatitis B kronik tanpa sirosis, banyak sitokin terlibat pada awal inflamasi pada pasien Hepatitis B kronik dengan sirosis hepatis seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α),� interleukine-1 beta (IL-1β), Interleukin 6 (IL-6), interferon-γ (IF- γ), IL-17, IL-18, Intercelluler Adhesion molecule 1(ICAM-1), dan Vascular Celluler Adhesion molecule 1 (VCAM-1) dan secara bersamaan terjadi penurunan kadar sitokin antiinflamasi (misalnya, IL-10, transforming growth factor-β (TGF- β) yang berperan pada proses inflamasi hati. Pada kondisi hepatitis B kronis, terjadi produksi sitokin yang berlebih yang memicu peradangan dan kematian sel hati serta meningkatnya perkembangan jaringan ikat hati. Apabila hal ini terjadi terus-menerus, sel-sel hati normal akan rusak dan digantikan oleh jaringan ikat. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya sirosis hati (Cristina et al, 2015).

Ferritin adalah kompleks protein globular yang terdiri dari 24 subunit protein dan merupakan protein penyimpanan besi intraseluler utama di prokariota dan eukariota, menjaga besi dalam bentuk yang larut dan tidak beracun. Ferritin yang tidak digabungkan dengan zat besi disebut apoferritin. Hepatitis B dan disfungsi hati akibat sirosis dapat mengganggu homeostasis besi. Terjadi penumpukan zat besi yang berlebihan di hati menyebabkan cedera lebih lanjut dengan memicu nekrosis hepatoseluler, disfungsi endotel dan sirkulasi pada hepatosit, peradangan, fibrosis, bahwa pengendapan zat besi secara kronis meningkatkan perkembangan kerusakan hati dan meningkatkan risiko fibrosis, peningkatan oksidatif stress pada sirosis, dan karsinoma hepatoseluler pada pasien hepatitis B maupun pasien sirosis hepatis. Selain itu kelebihan zat besi di hati akibat disfungsi hati dapat menyebabkan efek buruk pada respon terapi antivirus untuk hepatitis B kronis (Cristina et al, 2015).

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Imtithal et al (2018). Bahwa kadar feritin serum pada kelompok Hepatitis B positif secara signifikan lebih tinggi dari pada kelompok kontrol (P = 0,000). Penelitian ini menyimpulkan bahwa kadar ferritin serum meningkat pada pasien dengan virus Hepatitis B Peningkatan ferritin kemungkinan besar mencerminkan peningkatan pelepasan ferritin dari hepatosit yang mengalami inflamasi dan terjadi peningkatan deposit atau pengendapan besi di hepatosit akibat replikasi HBV dan / atau besi cedera terkait retensi (Imtithal et al, 2018).

Gangguan zat besi pada pasien hepatitis B maupun sirosis hati erat kaitannya secara fisiologis dengan hepsidin. Hepsidin, memainkan peranan utama dalam hemostasis zat besi, hal ini menjelaskan kenapa pada sirosis hati terjadi kelebihan besi. Hepsidin secara konstitutif diproduksi oleh hati dan dilepaskan ke dalam darah sebagai respons terhadap penyimpanan zat besi yang berlebihan dengan menghambat transporter besi utama dalam enterosit (ferroportin). Oleh karena itu, terjadi gangguan penyerapan zat besi (Cristina et al, 2015).

Hepsidin juga telah terlibat dalam sistem imun bawaan dan produksinya juga diatur oleh keadaan inflamasi. Produksi hepsidin pada pasien dengan sirosis terkait dengan kelebihan zat besi. Mempertimbangkan bahwa hepsidin diproduksi di hati, secara hipotetis, Jika terjadi gagal hati pada sirosis hati, mungkin ada penurunan hepsidin meskipun deposit besi yang cukup atau berlebihan, yang pada gilirannya akan menyebabkan penyerapan zat besi yang lebih besar dari usus dan karenanya kelebihan zat besi (Cristina et al, 2015).

Terdapat hubungan feritin dengan hepcidin yang kaitannya dengan proses inflamasi pada penyakit hati kronik. Hepcidin adalah sarana regulasi utama pada homeostasis besi untuk mengkoordinasikan pemanfaatan serta menyimpan besi dalam tubuh sesuai keperluan. Hasil kerja feroportin bias membuat penyediaan dari zat besi dalam tubuh menjadi berhenti yang membuat kadar besi menjadi turun untuk aktivitas eritropoiesis dalam menandai terjadinya gangguan homeostasis besi dalam tubuh (Sungkar et al., 2019).

Sebaliknya, pasien dengan sirosis hati dan asites memiliki translokasi bakteri yang disebut Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP), oleh karena itu, mengalami peradangan yang lebih besar, yang dapat mempengaruhi produksi hepcidin atau menyebabkan peningkatan ferritin sebagai protein fase akut. Sebaliknya, kelebihan zat besi dapat menyebabkan peningkatan peradangan hati dengan meningkatnya oksidatif stress dan fibrosis dan karena itu dapat berpengaruh tekanan portal (Ripoll et al., 2015).

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Cristina (2015). Pada pasien dengan sirosis, kadar feritin serum berhubungan dengan penanda insufisiensi hati, inflamasi, dan disfungsi peredaran darah. Pada hasil penelitian ini juga terlihat perbedaan yang sangat signifikan antara jumlah trombosit, MPV dan MPV/PLT rasio antara pasien hepatitis B kronik dengan sirosis dan hepatitis B kronik tanpa sirosis. Terlihat jumlah trombosit pada pasien hepatitis B kronik dengan sirosis lebih rendah jika dibandingkan dengan pasien hepatitis B kronik tanpa sirosis, perbedaan ini disebabkan oleh gangguan hematologik yang sering terjadi pada sirosis adalah kecenderungan perdarahan, anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Perdarahan yang terjadi pada sirosis hati dapat bervariasi dari yang paling ringan seperti ekimosis sampai yang paling berat dan mengancam nyawa seperti perdarahan saluran cerna bagian atas (Al Hijjah et al., 2018).

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hiroya (2018). Hasil penelitian mereka memperlihatkan jumlah trombosit group sirosis hati lebih rendah yaitu 116.000 dibandingkan dengan jumlah trombosit pada group non sirosis hati yaitu 260.000. �Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Karagoz et al (2014). Hasil penelitian mereka memperlihatkan jumlah trombosit group sirosis hati lebih rendah yaitu 90.000 dibandingkan dengan jumlah trombosit pada group non sirosis hati yaitu 180.000.

Pada penelitian ini juga terlihat kadar MPV yang lebih tinggi pada pasien hepatitis B kronik dengan sirosis jika dibandingkan dengan pasien hepatitis B kronik tanpa sirosis, perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adanya resiko perdarahan yang sering dialami pasien sirosis hepatis, sehingga menyebabkan jumlah trombosit rendah yang akan memicu sumsum tulang untuk memproduksi trombosit muda yang berukuran lebih besar ini tergambar sebagai MPV. Selain itu ada juga peran inflamasi, sitokin terutama TNFα, interleukin-1 dan interleukin-6, atau infeksi virus yang memicu percepatan destruksi trombosit (Karagoz, 2014).

Data yang diperoleh menunjukan bahwa trombositopenia lebih banyak terjadi pada pasien dengan sirosis hepatis dengan Varises Esofagus (63,8%) dibandingkan dengan pasien tanpa Varises Esofagus (36,2%). Penelitian terdahulu mendapatkan pada sirosis hati dengan Hipertensi Portal 70% mengalami trombositopenia. Pada penelitian yang dilakukan oleh Schoffski et al, 2018 ndengan 180 sampel penelitiaan menemukan bahwa trombositopenia merupakan prediktor yang baik untuk sirosis hepatis dengan Varises Esofagus. Pada keadaan normal kira-kira 30% trombosit berada dalam limpa, tetapi pada Sirosis Hati dengan splenomegali, jumlah trombosit yang menumpuk di limpa � 80%, sehingga pada pemeriksaan di perifer didapati keadaan trombositopenia. Selain itu produksi TPO yang tidak adekuat pada penyakit hati lanjut merupakan penyebab terjadinya trombositopenia (Sch�ffski et al., 2018).

Mean platelet volume (MPV) dihitung dengan mesin yang mengukur� ukuran rata-rata platelet yang termasuk dalam tes hitung darah lengkap. Normal MPV berkisar dari 7,5 fL hingga 11,5 fL. Karena rata-rata ukuran trombosit berbanding lurus dengan angkanya dari trombosit yang diproduksi, MPV merupakan indikasi dari peningkatan produksi� di sumsum tulang. MPV lebih tinggi bila terjadi kerusakan trombosit, seperti yang diamati pada penderita penyakit radang hati, penyakit mieloproliferatif dan sindrom Bernard-Soulier. MPV mungkin juga menjadi lebih tinggi pada pasien dengan penyakit radang hati kronik. Sebaliknya, nilai MPV yang sangat rendah merupakan indikasi trombositopenia karena produksi� trombosit yang rusak seperti yang diamati pada pasien dengan aplastik anemia (Sch�ffski et al., 2018).

Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa sirosis hati dan fibrosis terkait dengan MPV. MPV meningkat, serta penurunan jumlah trombosit, mencerminkan tingkat fibrosis yang lebih besar. Penemuan ini menyarankan bahwa rasio MPV ke PLT mungkin berkorelasi kuat dengan derajat fibrosis hati. MPV lebih tinggi telah dilaporkan pada pasien dengan hepatitis B dan sirosis, dimana tingkat fibrosis dan MPV telah dilaporkan berkorelasi pada pasien dengan hepatitis B kronis. MPV juga dapat memprediksi sirosis pada pasien dengan hepatitis C kronis. MPV telah dikaitkan tidak hanya dengan stadium fibrosis tetapi dengan derajat peradangan hati. Sebagai contoh, MPV yang lebih tinggi telah diamati pada pasien dengan NASH dan MPV ditemukan berkorelasi dengan keberadaannya penyakit hati berlemak nonalkohol (NAFLD) (Karaoğullarindan et al., 2023).

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hiroya et al (2018). Hasil penelitian mereka memperlihatkan kadar MPV group sirosis hati lebih tinggi yaitu 11,7 fL dibandingkan dengan kadar MPV pada group non sirosis hati yaitu 10,2 fL. Sejalan juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Hokan et al 2010. Diagnosis NAFLD secara eksklusif didasarkan pada pemeriksaan darah dan pencitraan ultrasound. Mereka memperoleh hasil bahwa kadar MPV pada pasien NAFLD lebih tinggi yaitu 11,43 fL dari kelompok kontrol yaitu 9,09 fL.

Terdapat perbedaan yang signifikan nilai rasio MPV/PLT pada kelompok subyek hepatitis B kronik dengan sirosis dan pada kelompok subyek� hepatitis B kronik tanpa sirosis ( p< 0,001).� Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hiroya et al (2018). Hasil penelitian mereka memperlihatkan kadar MPV/PLT rasio group sirosis lebih tinggi yaitu 1,10 dibandingkan dengan kadar MPV/PLT rasio pada group non sirosis yaitu 0,64. Pasien terinfeksi HBV kronis dan virus hepatitis C (HCV), memiliki MPV yang lebih tinggi ditemukan di antara pasien yang mengalami fibrosis hati. Kerusakan trombosit di limpa dan peningkatan interleukin-6 karena peradangan pada penyakit hati kronis diyakini terkait dengan peningkatan produksi trombosit di sumsum tulang (Ceylan et al., 2013).

Nilai MPV yang tinggi merupakan indikasi trombositopenia karena trombosit yang rusak banyak diproduksi oleh sumsum tulang. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa sirosis hati dan fibrosis terkait dengan MPV. MPV meningkat, serta penurunan jumlah trombosit (PLT), mencerminkan tingkat fibrosis yang lebih besar. Penemuan-penemuan ini menyarankan bahwa rasio MPV/PLT berkorelasi sangat kuat dengan derajat fibrosis hati (Iida et al., 2018).

 

Kesimpulan

Dari penelitian disimpulkan sebagai berikut : (1) Tidak ada perbedaan yang signifikan berdasarkan gender pada pasien hepatitis B kronik dengan sirosis atau tanpa sirosis (P = 0,247). (2) Ada perbedaan yang signifikan berdasarkan umur pada pasien hepatitis B kronik dengan sirosis atau tanpa sirosis (P< 0,001). (3) Ada perbedaan yang signifikan kadar MPV pada pasien hepatitis B kronik dengan sirosis atau tanpa sirosis (P< 0,001). (4) Ada perbedaan yang signifikan kadar Platelet pada pasien hepatitis B kronik dengan sirosis atau tanpa sirosis (P< 0,001). (5) Ada perbedaan yang signifikan kadar Ferritin pada pasien hepatitis B kronik dengan sirosis atau tanpa sirosis (P< 0,001). (6) Ada perbedaan yang signifikan nilai MPV/PLT rasio pada pasien hepatitis B kronik dengan sirosis atau tanpa sirosis (P< 0,001).


BIBLIOGRAFI

 

Al Hijjah, F., Yaswir, R., & Syah, N. A. (2018). Gambaran Jumlah Trombosit Berdasarkan Berat Ringannya Penyakit pada Pasien Sirosis Hati dengan Perdarahan di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 6(3), 609�614.

 

Al Rahmad, A. H., & SKM, M. P. H. (2021). Penggunaan aplikasi WHO Anthro dalam analisis status gizi. Ashriady (Ed.), Epidemiologi Gizi, 103.

 

Ceylan, B., Fincanci, M., Yardimci, C., Eren, G., T�zalgan, �., M�derrisoglu, C., & Pasaoglu, E. (2013). Can mean platelet volume determine the severity of liver fibrosis or inflammation in patients with chronic hepatitis B? European Journal of Gastroenterology & Hepatology, 25(5), 606�612.

 

Hsieh, K., Ananthanarayanan, G., Bodik, P., Venkataraman, S., Bahl, P., Philipose, M., Gibbons, P. B., & Mutlu, O. (2018). Focus: Querying large video datasets with low latency and low cost. 13th {USENIX} Symposium on Operating Systems Design and Implementation ({OSDI} 18), 269�286.

 

Iida, H., Kaibori, M., Matsui, K., Ishizaki, M., & Kon, M. (2018). Ratio of mean platelet volume to platelet count is a potential surrogate marker predicting liver cirrhosis. World Journal of Hepatology, 10(1), 82.

 

Kao, J.-H., & Chen, D.-S. (2018). Hepatitis B virus and liver disease. Springer.

 

Karagoz, E., Ulcay, A., Tanoglu, A., Kara, M., Turhan, V., Erdem, H., Oncul, O., & Gorenek, L. (2014). Clinical usefulness of mean platelet volume and red blood cell distribution width to platelet ratio for predicting the severity of hepatic fibrosis in chronic hepatitis B virus patients. European Journal of Gastroenterology & Hepatology, 26(12), 1320�1324.

 

Karaoğullarindan, �., �sk�dar, O., Odabaş, E., Saday, M., Akkuş, G., Delik, A., G�m�rd�l�, Y., & Kuran, S. (2023). Is mean platelet volume a simple marker of non-alcoholic fatty liver disease? Indian Journal of Gastroenterology, 1�7.

 

Kemenkes RI. (2018). Pedoman Pengelolaan Rekam Medis Rumah Sakit di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

 

Lippi, G., Filippozzi, L., Salvagno, G. L., Montagnana, M., Franchini, M., Guidi, G. C., & Targher, G. (2009). Increased mean platelet volume in patients with acute coronary syndromes. Archives of Pathology & Laboratory Medicine, 133(9), 1441�1443.

 

Liu, S., Ren, J., Han, G., Wang, G., Gu, G., Xia, Q., & Li, J. (2012). Mean platelet volume: a controversial marker of disease activity in Crohn�s disease. European Journal of Medical Research, 17(1), 1�7.

 

Madihi, S., Syed, H., Lazar, F., Zyad, A., & Benani, A. (2020). A systematic review of the current hepatitis B viral infection and hepatocellular carcinoma situation in Mediterranean countries. Biomed Research International, 2020.

 

Muljono, D. H. (2017). Epidemiology of hepatitis B and C in Republic of Indonesia. Euroasian Journal of Hepato-Gastroenterology, 7(1), 55.

 

Nutrisi, D. (2019). Terapi Hormon Insulin. Penyakit Infeksi Di Indonesia Solusi Kini & Mendatang Edisi Kedua: Solusi Kini Dan Mendatang, 406.

 

Ri, K. (2018). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 170�173.

 

Ripoll, C., Keitel, F., Hollenbach, M., Greinert, R., & Zipprich, A. (2015). Serum ferritin in patients with cirrhosis is associated with markers of liver insufficiency and circulatory dysfunction, but not of portal hypertension. Journal of Clinical Gastroenterology, 49(9), 784�789.

 

Sch�ffski, P., Sufliarsky, J., Gelderblom, H., Blay, J.-Y., Strauss, S. J., Stacchiotti, S., Rutkowski, P., Lindner, L. H., Leahy, M. G., & Italiano, A. (2018). Crizotinib in patients with advanced, inoperable inflammatory myofibroblastic tumours with and without anaplastic lymphoma kinase gene alterations (European Organisation for Research and Treatment of Cancer 90101 CREATE): a multicentre, single-drug, prospective, non-randomised phase 2 trial. The Lancet Respiratory Medicine, 6(6), 431�441.

 

Sulaiman, A. S., Hasan, I., Lesmana, C. R. A., Jasirwan, C. O. M., Nababan, S. H. H., Kalista, K. F., Aprilicia, G., & Gani, R. A. (2021). Analog nukleosida/nukleotida sebagai terapi hepatitis B kronis: studi kohort 3 tahun. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia| Vol, 8(3).

 

Sungkar, T., Rozi, M. F., Dairi, L. B., & Zain, L. H. (2019). Serum ferritin levels: a potential biomarker to represent Child-Turcotte-Pugh score among decompensated liver cirrhosis patients. The Malaysian Journal of Medical Sciences: MJMS, 26(2), 59.

 

Yan, Y., Liu, F., Han, L., Zhao, L., Chen, J., Olopade, O. I., He, M., & Wei, M. (2018). HIF-2α promotes conversion to a stem cell phenotype and induces chemoresistance in breast cancer cells by activating Wnt and Notch pathways. Journal of Experimental & Clinical Cancer Research, 37, 1�14.

 

Copyright holder:

Afrianda Wira Sasmita, Taufik Sungkar, Jelita Siregar (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: